Anda di halaman 1dari 120

“Tafsir al-Silm Kāffah QS.

Al-Baqarah [2]: 208:

Studi Komparatif Penafsiran Mufassir Klasik dan Modern”

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh :
FIQIH KURNIAWAN
NIM: 1112034000072

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

1437 H/2017 M
ABSTRAK

Fiqih Kurniawan
Tafsir al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208: Studi Komparatif Penafsiran
Mufassir Klasik Dan Modern

Islam kāffah merupakan istilah yang diangkat dari ayat al-Qur‘an.


Sementara dalam ranah tafsir sendiri, kata al-silm yang terkandung dalam ayat
tersebut memuat beragam macam penafsiran. Kata al-silm mengandung arti Islam,
ketaatan, tunduk dan perdamaian. Dari ragam penafsiran tersebut kemudian dalam
konteks sekarang di Indonesia sebagian kalangan Islam menggunakan penafsiran
al-silm dengan Islam. Implikasi dari penafsiran tersebut kemudian memunculkan
pemahaman bahwa Islam harus diterapkan secara kāffah (menyeluruh) meliputi
ideologi negara berdasarkan QS. Al-Baqarah [2]: 208. Penafsiran yang pada
awalnya sebagai sebuah alat untuk untuk mengetahui makna yang terkandung
dalam kalam ilahi—bergeser menjadi sebuah alat kepentingan kelompok Islam
tertentu.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana sumber teks tafsir berbicara
mengenai kata al-silm kāffah dan mengetahui bagaimana relevansi di antara
kalangan Islam di Indonesia memahami sebuah konsep Islam kāffah. Maka
metode penelitian skripsi yang digunakan peneliti adalah metode analisis-
komparatif. Metode bermaksud menganalisis perbandingan penafsiran klasik
dengan modern terhadap masalah yang sedang peneliti kaji. Penafsiran klasik
menyajikan banyak makna al-silm yang bersumber pada riwayat, sementara
mufassir modern lebih menekankan konteks sosial masyarakat dalam
penafsirannya. Kemudian untuk mengkaitkan dengan konteks sekarang, penulis
menggunakan pendekatan kontekstual Abdullah Saeed. Pendekatan kontekstual
bertujuan untuk memahami bagaimana sebuah penafsiran relevan dengan konteks
yang mengitarinya.
Berdasarkan objek yang diteliti, penulis telah menemukan beberapa
temuan terkait tersebut. Pertama, mufassir klasik cenderung menafsirkan al-silm
dengan Islam, sedangkan mufassir modern menafsirkan al-silm dengan nilai.
Kedua, sebagian kelompok Islam menggunakan Islam kāffah untuk menerapkan
syariat Islam. Ketiga, sebagian cendekiawan Muslim di Indonesia seperti
Abdurrahman Wahid menolak pemahaman Islam kāffah, di samping merupakan
tindakan subversif kebahasaan, yaitu titik puncak dari Islam kāffah menurut
Abdurrahman Wahid ialah mendirikan negara Islam. Keempat, dalam ranah nalar
publik, Islam kāffah sebagai ideologi telah mengalami benturan karena
berseberangan dengan ideologi Pancasila dan sistem demokrasi yang dianut oleh
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah

SWT. Yang telah memberikan kekuatan jasmani, rohani, taufik, rahmat dan

hidayah-Nya, serta kemudahan dan kesabaran dalam menghadapi berbagai

kesulitan atau pun cobaan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam

semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Rasulullah SAW. Rasul penutup para

Nabi, serta tidak lupa untuk para keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga

akhir zaman.

Skripsi merupakan satu di antara tugas yang harus diselesaikan dalam

rangka mendapatkan gelar Sarjana Agama Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

jurusan Ilmu al-Qur‘an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Judul skripsi ini adalah ―Tafsir al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208:

Studi Komparatif Penafsiran Mufassir Klasik dan Modern‖. Penulis menyadari

kesulitan dalam menyelesaikan skripsi yang dikerjakan dan juga penulis

menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini dan sangat

memerlukan perbaikan. Oleh karena itu, penulis membuka lebar-lebar kritikan dan

saran yang sifatnya konstruktif.

Penulis menyadari sepenuhnya, karya ini bisa terwujud bukan karena hasil

seorang diri, namun tidak lain berkat dukungan moril dan materil yang telah rela

meluangkan waktu disela-sela kesibukannya. Untuk itu dengan segala kerendahan

hati, penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

v
1. Bapak Prof. Dede Rosyada, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat beserta seluruh jajarannya.

3. Ibu Dr. Lilik Umi Kultsum, MA. dan Ibu Dra. Banun Binaningrum

M.Pd. selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur‘an dan Tafsir.

4. Dr. Ahzami Samiun Jazuli, MA. selaku dosen pembimbing yang telah

membimbing dengan penuh kesabaran serta memberikan banyak ilmu

serta dukungan dan motifasi dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga

Allah memanjangkan umurnya, dan senantiasa membalas segala

kebaikan beliau.

5. Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA. selaku Pengasuh penulis

ketika mondok di Pondok Pesantren Dar al-Qur‘an Arjawinangun-

Cirebon dan Pamulang-Tangerang Selatan. Maha Guru yang telah

memberikan dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Kusmana MA. selaku dosen penasehat akademik yang telah

memotivasi penulis untuk selalu bersikap kritis serta dituntut untuk

selalu doyan membaca.

7. Mang Mukti Ali selaku paman penulis yang telah memberikan banyak

ilmu yang tidak didapat penulis selama duduk di bangku kuliah. Yang

telah ikhlas merelakan kesibukannya untuk ngaji kitab fiqh dan

tasawuf, diskusi tasawuf Ibnu ‗Arabi dan pemikiran-pemikiran tokoh-

tokoh Timur Tengah dan Barat modern.

vi
8. Kedua orang tua tercinta dan tersayang, Bapak H. Sanaji dan Ibu Hj.

Nurasiya, yang telah mencurahkan cinta, kasih dan doa-doa yang tulus

ikhlas sepanjang waktu. Semoga Allah memanjangkan umur

keduanya, senantiasa diberikan kesehatan dan dijembarkan rejekinya.

Semoga Allah membalas semua kebaikan-kebaikan keduanya.

9. Keluarga besar Bani Qusyairi dan Bani ‗Abdullah yang telah banyak

berbagi suka dan duka, dukungan serta do‘a.

10. Teman-teman seperjuangan Ilmu al-Qur‘an dan Tafsir angkatan 2012,

semoga tali kekeluargaan kita semua senantiasa tetap berjalan dengan

baik juga semoga senantiasa diberikan kesehatan dan kemudahan

dalam mencapai maksud dan tujuannya.

11. Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD), Himpunan

Mahasiswa Cirebon Jakarta Raya (HIMA-CITA), dan Persatuan

Mahasiswa Alumni Dar al-Tauhid (Permada) Arjawinangun-Cirebon,

yang telah banyak memberikan ilmu dalam suasana organisasi dan

diskusi-diskusi yang interaktif.

12. Keluarga besar alumni Pondok Pesantren Dar al-Qur‘an

Arjawinangun-Cirebon, Kang Mukromin, Kang Nasihin, Kang Ali

Murtadlo, Gus Firnas Adha, Azhar Maulana, Syuhada al-Ibnu, dan

lain-lain, yang telah banyak berbagi suka dan duka.

13. Kelompok KKN Infijar, semoga dimudahkan dan dilancarkan dalam

menyusun skripsi.

vii
14. Teman-teman Penerbit Buku, Mas Shalahuddin selaku penyunting

penerbit Javanica, Exchange, Mas Aryo penerbit Serambi, yang telah

memberikan banyak ilmu tentang perbukuan.

Ciputat, 07, 05, 2017

viii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada buku

―Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi)‖ yang diterbitkan

oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

A. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

‫ا‬ - Tidak dilambangkan

‫ب‬ B be

‫خ‬ T te

‫ز‬ Ts te dan es

‫ج‬ J je

‫ح‬ ẖ h dengan garis bawah

‫خ‬ Kh Ka dan ha

‫د‬ D de

‫ر‬ Dz de dan zet

ix
‫س‬ R er

‫ص‬ Z zet

‫ط‬ S es

‫ش‬ Sy es dan ye

‫ص‬ Sh es dengan ha

‫ض‬ Dh de dengan ha

‫ط‬ ṯ te dengan garis di bawah

‫ظ‬ ẕ zet dengan garis di bawah

‫ع‬ ‗ koma terbalik di atas

hadap kanan

‫غ‬ Gh ge dan ha

‫ف‬ F ef

‫ق‬ Q ki

‫ك‬ K ka

x
‫ل‬ L el

‫م‬ M em

‫ى‬ N en

‫و‬ W we

ٍH ha

‫ء‬ ‘ apostrof

ٍY ye

B. Tanda Vokal

1. Vokal Pendek

Tanda Vocal Arab Tanda Vocal Latin Keterangan

‫ﹷـــــ‬ A fatẖah

‫ﹻـــــ‬ I Kasrah

‫ﹹـــــ‬ U dhammah

2. Vokal Panjang

xi
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫اى‬ Ā a dengan garis di atas

ٍ‫ى‬ Ī i dengan garis di atas

‫ىى‬ Ū u dengan garis di atas

Contoh:

‫لاق‬ : qāla

ٍ‫لىق‬ :

yaqūlu ‫لٍق‬

: qīla ‫يشج‬ :

jarā

3. Diftong

Tanda Vocal Arab Tanda Vocal Latin Keterangan

ٍ‫ﹷـــــ‬ Ai a dan i

‫ﹷـــــ و‬ Au a dan u

4. Kata Sandang (‫)لا‬

‫ذجسول ا‬: al-Masjidu

‫جسوشضلا‬ : al-Dharûrah

xii
5. Tasydid )‫)ﹽــــ‬

‫حٍهالسلإا‬ : al-Islāmiyyah

‫اٍتس‬ : Rabbunā

6. Ta Marbutah

Kata Arab Alih Aksara

‫حقٍشط‬ Tarīqah

‫حعهاجلا حٍهالسإلا‬ al-Jāmi‟ah al-Islāmiyyah

‫جذحو دىجىلا‬ Waẖdah al-Wujūd

7. Singkatan-singkatan

QS : al-Qur‘an Surat

SAW : Shallallahu ‗Alaihi Wasallam

SWT : Subhanahu Wa Ta‗ala

RA : Radhiyallahu ‗Anhu

xiii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................i


LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................iii
ABSTRAK ............................................................................................................iv
KATA PENGANTAR ..........................................................................................v
PEDOMAN TRANSLITERASI .........................................................................ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................xiv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..............................................................................1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ........................................................14
C. Tujuan Penelitian .......................................................................................15
D. Manfaat Penelitian .....................................................................................15
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................16
F. Metodologi Penelitian ...............................................................................19
G. Sistematika Penulisan ................................................................................21

BAB II DISKURSUS ISLAM KĀFFAH


A. Definisi ......................................................................................................23
1. Islam ..........................................................................................................23
2. Kāffah ........................................................................................................35
3. Islam Kāffah ..............................................................................................40
B. Pandangan Ulama Terhadap Islam Kāffah ................................................43

C. Cara Pandang Islam Kāffah .......................................................................51

BAB III PENAFSIRAN KLASIK DAN MODERN ATAS AYAT AL-SILM


KĀFFAH QS. AL-BAQARAH [2]: 208
A. Asbāb al-Nuzūl QS. Al-Baqarah [2]: 208 ..................................................56
B. Penafsiran Klasik atas al-Silm Kāffah .......................................................59
C. Penafsiran Modern atas al-Silm Kāffah .....................................................67

xiv
BAB IV ANALISIS-KOMPARATIF PENAFSIRAN KLASIK DAN
MODERN ATAS AYAT AL-SILM KĀFFAH QS. AL-BAQARAH [2]:208
DAN RELEVANSINYA DENGAN KONTEKS INDONESIA
A. Corak Penafsiran .......................................................................................76
B. Keserasian al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 ................................77
C. Segi Penafsiran ..........................................................................................78
D. Relevansi Penafsiran ayat al-Silm Kāffah dalam Konteks Indonesia ........84

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................93
B. Saran-saran ...............................................................................................94
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................95

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Metode penafsiran terhadap al-Qur‘an senantiasa menarik untuk dikaji

maupun diteliti. Jika ditarik pada masa lalu, para ulama klasik telah menerapkan

beberapa cara menafsirkan al-Qur‘an, seperti tafsir bi al-Ma‟tsūr yang

menekankan pada riwayat dan cenderung tekstualis, sedangkan bi al-Ra‟yi yang

lebih mengutamakan pendekatan akal dan cenderung kontekstual.1 Namun, upaya

rekonstruksi metode penafsiran tidak berhenti pada masa klasik saja, pada era

kontemporer ini beragam cendekiawan Muslim yang konsentrasi di bidang al-

Qur‘an menawarkan beragam cara pembacaan al-Qur‘an, misalnya Muhammad

‗Abduh,2 Fazl al-Rahman,3 atau ‗Abd al-Hay al-Farmāwī. Merujuk pendapat al-

Farmāwī di dalam kitabnya al-Bidāyah fī Tafsīr al-Maudhū„ī, ia merumuskan ada

1
Misalnya mufassir klasik menafsirkan al-Qur‘an dengan cara: Pertama, bi al-Ma‟tsūr
seperti Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān; Ibnu ‗Atiyyah, al-Muharrar
al-Wajīz; Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm; al-Suyūtī, al-Dur al-Mantsūr. Kedua, bi al-Ra‟yi
seperti al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf; al-Rāzī, Mafātih al-Ghaib; al-Alūsī, Rūh al-Ma„ānī; Abī
Hayyān, al-Bahr al-Muhīt; Abī al-Sa‗ūd, Irsyād al-„Aql al-Salīm. Lihat ‗Abd al-Rahman ibn
Sulaimān al-Rūmī, Buhūtsu fī Ushūl al-Tafsīr waManāhijuhu, (Riyādh: Maktabah al-Taubah,
1994) cet. IV.
2
Yang ditekankan oleh ‗Abduh adalah bagaimana caranya mengembalikan al-Qur‘an
sebagai kitab hidayah untuk umat Islam.Namun, secara eksplisit ‗Abduh melakukan pembacaan
terhadap al-Qur‘an bukan saja lewat ilmu-ilmu yang berkembang dalam Islam, melainkan juga
yang berkembang di barat seperti ilmu-ilmu sosial, politik, dan hermeneutika. Aspek tersebut yang
secara tidak langsung mempengaruhi pembacaan ‗Abduh terhadap al-Qur‘an.
3
Fazl al-Rahman menawarkan pembacaan al-Qur‘an dengan metode yang dikenal yaitu
double movements (gerak ganda). Berbeda dengan ‗Abduh, Ia secara implisit menawarkan
pembacaan terhadap al-Qur‘an dengan metode yang berkembang di barat yaitu hermeneutika. Hal
tersebut yang mempengaruhi cendekiawan Muslim setelahnya untuk mengembangkan metode
pembacaan al-Qur‘an dengan ilmu bantu yang terdapat di barat, khususnya hermeneutika.

1
2

empat metode penafsiran al-Qur‘an 4 yaitu tahlīlī (analitis), ijmalī (global),

muqarran (perbandingan) dan maudhū„ī (tematik).5

Beberapa ulama di atas telah menawarkan beragam metode penafsiran al-

Qur‘an menginsipirasi Abdullah Saeed untuk bergelut di dunia kajian al-Qur‘an.

Berbeda dengan yang lain, Saeed mempersoalkan pendekatan tekstualis yang

mengadopsi pendekatan literalistik terhadap teks.6 Demi menyeimbangkan tafsir

tekstual yang begitu dominan, Saeed menawarkan pendekatan kontekstual yang

menurutnya amat penting untuk umat Islam kontemporer.7 Perdebatan inilah yang

akhir-akhir ini menarik untuk dikaji. Sebagaimana Ahmad Taufik catat bahwa

metode tafsir klasik dianggap bisa melahirkan penafsiran yang eksklusif. Ini

disebabkan metode penafsiran yang digunakan adalah metode kebahasaan yang

cenderung tekstual.8

Berbeda dengan pendekatan tekstual, pendekatan kontekstual cenderung

melihat al-Qur‘an terutama sebagai sumber pedoman praktis yang seharusnya

diimplementasikan secara berbeda ketika perubahan dalam masyarakat

membutuhkannya, sepanjang tidak melanggar hal-hal fundamental dalam Islam.9

Sementara pendekatan tekstual cenderung bersifat rigid, literal, dan tidak

menerima kondisi perubahan zaman. Hal tersebut yang disoroti oleh cendekiawan

4
Penulis punya pendapat berbeda apa yang sudah dirumuskan oleh al-Farmāwī di dalam
kitabnya. Menurut penulis apa yang dirumuskan al-Farmāwī ini hanya pada sistematika penulisan
saja bukan pada teknik penafsiran.
5
‗Abd al-Hay al-Farmāwī, al-Bidāyah fī Tafsīr al-Maudhū„ī: Dirasah Manhājiyyah
Maudhū„iyyah, (Cairo: Matba‗ah al-Hadharah al-‗Arabiyyah, 1997) h. 9.
6
MK Ridwan, Metodologi Penafsiran Kontekstual; Analisis Gagasan dan Prinsip Kunci
Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed, dalam Millati: Journal of Islamic Studies and
Humanities, Vol. 1, No. 1, Juni 2016, h. 4.
7
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015) h. 12.
8
Ahmad Taufik, Hubungan Antar Umat Beragama (Studi Kritis Metodologi Penafsiran
Tekstual) dalam Journal of Qur‟ȃn and Hadīts Studies, Vol. 3, No. 2, 2014, h. 142.
9
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, h. 43.
3

Muslim kontemporer untuk mengkaji tafsir yang terkait dengan gerakan Islam

fundamentalisme.10

Dalam menyikapi persoalan ini, seringkali ayat yang berbunyi tentang

Islam yang secara eksplisit disebutkan di dalam al-Qur‘an ditafsirkan secara

tekstual seperti, ―Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah

Islam‖ (QS. Ali ‗Imran [3]: 19), ―Barangsiapa mencari agama selain agama Islam,

Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,‖ (QS. Ali

‗Imran [3]: 85), ―dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu‖ (QS. Al-

Maidah [5]: 3).

Ayat-ayat di atas sangat rentan untuk dijadikan justifikasi (pembenaran)

oleh kelompok Islam fundamentalis 11 atas sikap fanatisme dan sektarianisme 12

10
Izza Rahman dalam tulisannya mengatakan bahwa popularitas di antara para salafi
modern seringkali didasarkan pada tradisi tafsir sebagaimana halnya Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm
karya Ibnu Katsīr (yang mana secara prinsip dan metode mengikuti apa yang digariskan oleh
gurunya yaitu Ibnu Taimiyyah, salah satu figur salafi unggulan) dan Jāmi„ al-Bayān karya al-
Tabarī (sebagian besar direkomendasi dalam tafsir Ibnu Taimiyyah). Lihat Izza Rahman, Salafi
Tafsir: Textualist and Authoritarian? dalam Journal of Qur‟ȃn and Hadīts Studies, Vol. 3, No. 2,
2012, h. 200.
11
Istilah fundamentalisme sampai sekarang masih diperdebatkan. Fundamentalisme
sendiri merupakan sebuah istilah keagamaan yang lahir dari tradisi keagamaan Kristen. Lihat
Badarussyamsi, Fundamentalisme Islam: Kritik atas Barat, (Yogyakarta: LKiS, 2015) h. 2. Istilah
ini juga tidak bisa lepas dari respon sebagian pemikir Muslim seperti Hassan Hanafi, menurutnya
dalam Islam dikenal dengan istilah al-ushȗliyyah sebagai padanan dari kata asing yakni
fundamentalisme. Sehubungan dengan ini banyak di kalangan Muslim yang menolak anggapan
Barat yang menjadikan istilah fundamentalisme sebagai istilah yang menunjuk peristiwa mutakhir
setelah Khomeini memerintah di Iran dan para peneliti Barat memutar balik fakta yang ada. Lihat
Hassan Hanafi, Fundamentalisme dan Modernitas Gerakan Islam Kontemporer: Periode Sejarah
Ketiga, dalam Hassan Hanafi & Muhammad ‗Abid al-Jabiri, Dialog Timur & Barat: Menuju
Rekonstruksi Metodologis Pemikiran Politik Arab yang Progresif dan Egaliter, Penerjemah: Umar
Bukhory, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), h. 58. Istilah fundamentalisme sering disandingkan
dengan ekstrimisme dan radikalisme. Secara sederhana Tholkhatul Khoir telah menulis perbedaan
karakter antara ketiganya. Menurutnya, radikalisme adalah orang-orang yang ingin mengubah
masyarakat dari atau bersama akarnya. Sementara ekstrimisme adalah komitmen dan keinginan
untuk menggunakan sebuah perhitungan yang memberikan nilai yang luar biasa terhadap sasaran
dan hasil. Karenanya, ia adalah sebuah gerakan yang rasional, tentunya bagi orang yang bekerja di
dalamnya, di mana nilai-nilainya berbeda dengan gerakan lain. Sedang fundamentalisme merujuk
pada skripturalisme, pemahaman ketat terhadap perintah-perintah yang tertulis dalam teks-teks
agama, dan tendensi kuat untuk kembali kepada dasar-dasar (fundamental) agama. Lihat
4

yang berujung pada SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Karena

mereka meyakini bahwa apa yang mereka persepsikan tentang Islam adalah yang

paling benar (truth claim) 13 atau meminjam istilah Tariq Ramadan—alienasi, 14

sedangkan yang lain adalah salah. Sikap keberagamaan ini yang biasa disebut

dengan keberagamaan yang eksklusif.15

Sayangnya, Islam sebagai sebuah agama mempunyai teks yang bisa

dipandang dari berbagai sudut. Betapa tidak, al-Qur‘an yang diyakini sebagai

Tholkhatul Khoir, Tujuh Karakter Fundamentalisme Islam, dalam Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei
2014, h. 54-55.
12
Sektarianisme adalah semangat membela suatu sekte atau madzhab. Lihat Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008) h. 1287. Para penganut sektarianisme
berpandangan bahwa realitas duniawi sudah tercemari kejahatan. Kedamaian tak akan tercipta di
dalam dunia, melainkan di luarnya. Lihat Muhammad Abu Nimer, Nirkekerasan dan Bina-Damai
Dalam Islam: Teori dan Praktik, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010) h. 11. Jika merujuk dalam al-
Qur‘an, Islam bukanlah agama sektarianisme. Adapun ada beberapa tafsir yang tendesi
mengandung ajaran sekte-sektenya. Sekte Mu‗tazilah yaitu al-Zamakhsyarī, Al-Kasysyāf. Sekte
Syi‗ah yakni Muhammad Husaīn al-TabāTabā‘ī, Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān. Selain itu al-
Dzahabī mencatat Kitab Tafsīr liSayyīd al-„Alwī sebagai tafsir dari sekte Syi‗ah. Lihat Muhammad
Husaīn al-Dzahabī, al-Ittijāh al-Munharifah fī Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm: Dawāfi„uhā wa
Daf„uhā, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1986) Cet. III, h. 55.
13
Secara bervariasi, klaim kebenaran agama itu didasarkan atas ajaran otoritatif dari
pemimpin karismatik ―yang mendapatkan ilham‖ atau menyerupai orang suci, juga didasarkan
pada interpretasi atas teks suci, yang sering dikaitkan dengan para pemimpin berbakat semacam
itu. Klaim-klaim itu mewarnai tradisi agama secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.
Dalam setiap agama, klaim kebenaran merupakan fondasi yang mendasari keseluruhan struktur
agama. Namun, ketika interpretasi tertentu atas klaim tersebut menjadi proporsi-proporsi yang
menuntut pembenaran tunggal dan diperlakukan sebagai doktrin kaku, kecenderungan terhadap
penyelewengan dalam agama ini muncul dengan mudah. Kecenderungan tersebut merupakan
tanda-tanda awal kejahatan yang menyertainya. Lihat Charles Kimball, Kala Agama Jadi
Bencana. Penerjemah: Nurhadi dan Izzuddin Washil, (Bandung: Mizan Publika, 2013) h. 78.
14
Istilah alienasi sebagaimana dikutip oleh Abd. Muid—adalah istilah Tariq Ramadhan
yang diartikannya sebagai penampilan pemahaman kebenaran yang eksklusif; kebenaran yang buta
dan membutakan; kebenaran yang mengukung, bukan yang membebaskan; padahal menafikan
keragaman yang merupakan kehendak Tuhan sendiri. Lihat Abd. Muid N. Harmoni Islam dan
Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural, dalam Jurnal Bimas Islam, Vol. 6 no. 4, Tahun
2013) h. 649.
15
Dalam menanggapi persoalan kebenaran dari tradisi agama, ada beberapa pendekatan
yang prinsipil, yaitu, ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Pandangan eksklusivisme sangat
ekstrem, karena mengklaim bahwa kebenaran hanyalah miliknya. Sedangkan pluralisme adalah
bentuk moderat dari relativisme, yang mengatakan bahwa semua agama adalah benar. Sedangkan
inklusivisme yang mengatakan bahwa keselamatan bukanlah milih agama tertentu, tetapi agama-
agama lain pun memilikinya. Hanya saja, kebenaran yang ada di luar dirinya itu disebut sebagai
agama ―anonim‖. Lihat Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001) h. 12.
Bandingkan dengan buku Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun
Toleransi Bersasis Al-Qur‟an, (Depok: KataKita, 2009) h. 54-59.
5

kalam Allah yang transenden (di luar segala kesanggupan manusia), akhirnya

harus ―Terintervensi‖ oleh upaya-upaya manusia yang tidak bisa lepas dari
16
persoalan-persoalan teologi, politik, sosial dan budaya. Karenanya,

heterogenitas penafsiran merupakan sesuatu yang tak terelakkan.17

Celakanya, keragaman teks kemudian disederhanakan menjadi satu-dua

ayat yang digunakan sebagai justifikasi untuk mengabsahkan kekerasan.18 Karena

pembacaan terhadap al-Qur‘an yang cenderung kaku, tekstual dan menanggalkan

aspek sosio-historis ketika ayat al-Qur‘an tersebut diturunkan. 19 Kasus ini bisa
20
dilihat pada ayat-ayat tentang perintah membunuh orang kafir, larangan

pengambilan seorang pemimpin non-Muslim 21 dan lebih dari itu, menurut

Muhammad al-Ghazali ada orang yang berpandangan dikotomis dengan

mengatakan bahwa Islam adalah yang mendorong umatnya untuk berperang.22

16
M. Quraish Shihab dalam pengantar buku Taufik Adnan Kamal, Rekonstruksi Sejarah
al-Qu‟an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2013) h. ix.
17
Junaidi Abdillah, Dekontruksi Tafsir Ayat-ayat Kekerasan, (Lampung: Analisis,
Volume XI, Nomor 1, Juni 2011) h. 73.
18
Zuhairi Misrawi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007) h. 38.
19
Menurut Baharudin, tradisi muslim ‗radikal‘ sering menafsirkan beberapa ayat al-
Qur‘an secara sepotong-potong untuk menguatkan pendirian dan ideologinya. Lihat Mohammad
Baharudin, Islam Idealitas Islam Realitas, (Jakarta: Gema Insani, 2012) h. 41.
20
Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari
tempat mereka telah mengusir kamu (Makkah). (al-Baqarah [2]: 191).
21
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. (Ali Imran [3]: 28).
22
Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Al-Qur‟an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan
Kitab Suci dalam Konteks Masa Kini, (Bandung: Mizan, 2008) h. 113, dalam kasus ini
Muhammad al-Ghazali menukil firman Allah yang berbunyi, Dan perangilah kaum musyrik itu
semuanya, dan hanya berhenti sampai di situ, padahal menurut al-Ghazali ayat tersebut masih ada
lagi kelanjutannya, Sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya.
6

Abdul Mustaqim mengutarakan bahwa ayat-ayat di atas dapat disebut

ayat-ayat ‗radikal‘ 23 yang dapat menjadi pemicu terjadinya aksi kekerasan

terhadap non-Muslim, atau bahkan terhadap kelompok lain yang tidak satu

ideologi, 24 apalagi jika dipahami hanya dari sisi terjemahan (makna teksnya),

tanpa mempertimbangkan konteks, spirit, dan implikasinya dalam masyarakat

multikultural dewasa ini. 25 Hal ini yang dicermati oleh Ziauddin Sardar,

menurutnya ada dua kelompok yang sama-sama keliru dalam memahami al-

Qur‘an. Sebagian muslim dijadikan dalil bagi kekerasan tak pandang bulu dan

oleh sebagian non-Muslim dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa Islam pada

dasarnya adalah agama kekerasan.26

Seperti diketahui, kelompok-kelompok garis keras memahami teks-teks

keagamaan secara harfiah, dan mengabaikan ayat-ayat dan hadits-hadits yang

tidak mendukung kepentingan mereka. Maka pesan agama pun direduksi sebatas

makna atau pesan yang bisa disampaikan dalam rangkaian-rangkaian huruf-huruf

23
Dalam kamus istilah , radikal memiliki arti sama sekali; besar-besaran dan menyeluruh,
keras, kokoh, mau dan tajam (dalam berpikir). Lihat Pius A Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus
Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, t.th) h. 648.
24
Ideologi dipakai untuk menunjukkan kelompok ide-ide yang teratur menangani
bermacam-macam masalah politik, ekonomi dan sosial; atas haluan; pandangan hidup dunia. Lihat
Pius A Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmah Populer, h. 239. Andrew Heywood
mengatakan bahwa, asal usul istilah ideologi sendiri ternyata tidak sejelas yang diduga. Kata ini
dipadukan selama Relovusi Prancis oleh Antoine Destutt de Tracy (1754-1836), dan digunakan di
media publik pertama kali 1796. Di benak de Tracy ketika menggagasnya, istilah ideologie berarti
―ilmu tentang ide-ide‖—secara harfiah ―idea-logy‖, sebuah bidang studi yang baru diklaimnya.
Menurut Heywood, konsep ideologi sampai sekarang masih terjadi ketidaksepakatan. Namun
Heywood menyimpulkan makna-makna terkait ideologi salah satunya; ide-ide politik yang
membentuk atau mengartikulasikan kepentingan-kepentingan kelas atau sosial. Lihat Andrew
Heywood, Ideologi Politik: Sebuah Pengantar, Penerjemah: Yudi Santoso, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2016) h. 8. Lihat juga L. Laeyendecker, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan: Suatu
Pengantar Sejarah Sosiologi, Penerjemah: Samekto, (Jakarta: Gramedia, 1983) h. 63.
25
Abdul Mustaqim, Deradikalisasi Penafsiran al-Qur‟an dalam Konteks Keindonesiaan
yang Multikultur, dalam Muhlis M. Hanafi (ed.), Al-Qur‟an di Era Global: Antara Teks dan
Realitas, h. 356.
26
Ziauddin Sardar, Ngaji Qur‟an di Zaman Edan: Sebuah Tafsir untuk Menjawab
Persoalan Mutakhir, (Jakarta: Serambi, 2014) h. 218.
7

saja sesuai dengan ideologi mereka. 27 Dalam konteks ini, perhatian penulis

terhadap masalah tersebut berfokus pada munculnya isu Islam kāffah. 28 Istilah

Islam kāffah merupakan salah satu kasus penafsiran yang sampai sekarang masih

debatable.

Berislam secara kāffah berarti mengamalkan syariat Islam dengan baik dan

benar sesuai dengan tuntunan yang diajarkan. 29 Tidak dibenarkan percaya dan

mengamalkan sebagian ajarannya dan menolak atau mengabaikan sebagian ajaran

Islam yang lain.30 Pandangan ini berdasarkan QS. Al-Baqarah [2]: 208:

―Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam al-silm


keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.‖(QS. Al-Baqarah
[2]: 208)

Istilah Islam kāffah diangkat dari kata ‫( ف اىلخداٍ نلسلا حفاك‬masuklah kalian

ke dalam al-silm secara kāffah). Dalam literatur tafsir sendiri memunculkan

beragam macam penafsiran, sebagian menafsirkan kata al-silm dengan Islam,

27
Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional
di Indonesia, (Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, the Wahid Institute, Maarif Institue, 2009)
28
h. 103. Isu Islam kāffah sejajar dengan isu islamic state (negara Islam). Dalam era rezim
Soeharto, isu Islam kāffah maupun negara Islam tidak bisa didiskusikan secara terbuka, sehingga
hanya menjadi diskusi ―bawah tanah‖. Lihat Farha Ciciek, Melawan Kekerasan Yang Tidak Kasat
Mata “Pergulatan Kaum Perempuan di Pesantren al-Firdaus, Siraman, Jawa Tengah”. Dalam
MAARIF, Vol. 5, No. 2 – Desember 2010, h. 90. Selain itu, Ahmad Syafi‘i Mufid mencatat bahwa
faham al-Islām din wa daulah atau Islam kāffah ternyata mendapatkan perhatian dan diminati
kalangan kampus dan anak muda Islam pada tahun 1980-an. Lihat Ahmad Syafi‘i Mufid, Faham
Islam Transnasional dan Proses Demokratisasi di Indonesia, dalam HARMONI: Jurnal
Multikultural & Multireligius, Volume VIII, Nomor 30, April – Juni 2009, h. 15.
29
Cecep Supriadi, Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan Keindonesiaan,
(Jurnal Kalimah, Vol. 13, No. 1, Maret 2015) h. 204.
30
Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam, (Jurnal Karsa, Vol IX, 2006) h. 809.
8

sebagian yang lain menafsirkannya dengan kepasrahan, perdamaian, dan

ketundukan. Penafsiran terhadap al-silm dengan Islam ini yang kemudian pada

konteks sekarang mendapatkan tanggapan yang serius oleh kalangan cendekiawan

Muslim di Indonesia. Sementara kata kāffah secara umum dimaknai dengan

keseluruhan atau totalitas.

Bila ditinjau dari segi penafsiran, perbedaan penafsiran tersebut dapat

diklasifikasikan menjadi dua kategori. Pertama, era mufassir klasik seperti;

Ṯabarī, 31 al-Qurṯubī,32 dan Ibnu Katsīr, 33 cenderung menafsirkan al-silm dengan

pengertian Islam sebagai agama, yang harus diikuti seluruh syariat-Nya, dengan

pengertian mengerjakan seluruh yang diperintah-Nya, dan meninggalkan seluruh

yang dilarang-Nya. Sedangkan yang kedua, ter-reprentasi pada mufassir modern

seperti Muẖammad ‗Abduh dan al-Marāghī.34

Meskipun sebagian mufassir modern berhaluan sama dengan mufassir

klasik,35 namun karena pendekatan yang digunakan berbeda dalam penafsirannya,

maka mereka lebih cenderung menafsirkan kata al-silm dengan rekonsiliasi.

Artinya, rekonsiliasi yang ditegaskan dalam mufassir modern yakni hendak

mendamaikan persoalan-persoalan konflik internal umat Islam yang sampai

31
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 401. Misalnya Ibnu
‗Abbās juga menafsirkan ayat tersebut dengan, ―di dalam syariat agama Muhammad SAW.
seluruhnya. Lihat Muẖammad ‗Alī Baidhāwī, Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr ibn „Abbās, (Bairūt:
Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2000) h. 36.
32
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, (Bairūt: Mu‘assasah al-Risālah,
2006) Juz III, Cet. I, h. 329.
33
Al-Hā fiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-
„Aẕīm, (Cairo: Mu‘assasah Qurṯubah, 2000) Juz II, Cet. I, h. 273.
34
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2009) Cet. I, Vol. I, h. 543.
35
Seperti tafsir al-Syaikh Muẖammad al-Nawāwī al-Jāwī, Maraẖ Labīd Tafsīr al-
Nawawī, (Dār al-Fikr, t.th) Juz I, h. 54. Lihat juga Bisyrī Mushṯafa, Al-Ibrīz liMa„rifati Tafsīr al-
Qur‟ān al-„Azīz, (Kudus: Menara Kudus, t.th) Juz I, h. 74.
9

sekarang masih saja terus terjadi permusuhan dan pertikaian. 36 Seperti halnya

dalam tafsir al-Tabarī, rekonsiliasi yang dimaksud adalah masuklah kamu sekalian

dalam perdamaian dan egalitarian atau perbaikan, meninggalkan perang dan

membayar jizyah atau upeti.37

Jika mengambil penafsiran al-silm kāffah dengan Islam yang menyeluruh,

maka ayat ini berarti memerintahkan kepada setiap orang yang beriman agar

melaksanakan seluruh ajaran Islam secara totalitas. Konsekuensi pemahaman

seperti ini yang pada era dewasa sekarang akrab disebut dengan Islam kāffah yang

mengandaikan tegaknya syariat Islam sebagai sumber hukum di muka bumi. 38

Pemahaman tersebut mencapai titik kulminasi (tertinggi) ketika al-silm bermakna

dengan Islam ditafsirkan secara formalis dan simbolis. Artinya, pengaktualisasian

Islam tidak berhenti sebatas tingkah laku personal, lebih dari itu yang dikehendaki

Islam kāffah adalah penerapan secara menyeluruh meliputi perubahan ideologi

dan struktur negara yang sesuai dengan syariat Islam. Masalah demikian bisa

36
Penafsiran demikian bisa dilihat dalam tafsir Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-
Qur‟ān al-Karīm, (Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1999) Juz II, Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī,
Tafsīr al-Marāghī, (Mesir: Syarkah Maktabah wa Maṯba‘ah Mushṯafa al-Bābi al-Halbi, 1946) Juz
II.
37
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 398.
38
Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam, h. 809. Terakit dengan ini, Gus Dur mengatakan bahwa bermula dari
ayat inilah muncul istilah yang sebenarnya masuk dalam kategori al-akhta‟ al-sya‟iah (kesalahan-
kesalahan yang populer) yaitu idiom ―Islam kāffah‖ yang hanya dikenal dalam komunitas muslim
Indonesia yang tidak begitu akrab dengan kaidah-kaidah gramatikal Arab. Istilah ―Islam kāffah ‖
tidak hanya merupakan tindakan subversif gramatikal tetapi juga pemaksaan istilah yang
kebablasan. Kalangan fundamentalis sering merujuk ―Islam kāffah‖ ini sebagai doktrin teologis.
Doktrin ini di tangan mereka mengalami pergeseran, yakni ke arah ideologisasi dengan
mendasarkan pada ayat ini. Lihat Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama
Masyarakat Negara Demokrasi. (Jakarta: The Wahid Institue, 2006) h. 3
10

dilihat pada
blok timur pemikiran
seperti tokoh-tokoh
al-Maudūdī, 39
Sayyidperintis
Quṯb,40Islam fundamentalis
dan Taqiyuddin kontemporer
al-Nabẖani. 41

Pemikiran dan gerakan Islam di negara-negara Islam memang mempunyai

pengaruh luas terhadap pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia, meskipun ada

juga beberapa perbedaan penting, baik dalam substansi maupun bentuknya. 42

Namun, ide taṯbīq al-syarī„ah (penerapan syariat) masih menjadi ―idaman‖ bagi

para penyeru negara Islam khususnya di Indonesia, 43 hal tersebut sesuai dalam

pandangan sebagian gerakan Islam yang menyatakan bahwa Islam adalah agama

dan negara.44 Karena menurutnya, Islam adalah agama dan sekaligus kekuasaan,

39
Misalnya al-Maudūdī dengan ẖakimiyatullah yang diartikan dengan hanya mengikuti
peraturan-peraturanNya saja. Abū al-‗Alā al-Maudūdī, al-Khilāfah wa al-Mulk, (Dār el-Qalam,
1978) Cet. I, h. 16.
40
Sama halnya dengan al-Maudūdī, bentuk pemerintahan yang ideal adalah suatu negara
yang berdasarkan atas kedaulatan hukum Ilahi (ẖakimiyatullah). Sayyid Quṯb, Petunjuk Sepanjang
Jalan, (tp, t.th) h. 38.
41
Taqiyuddin ialah pendiri Hizbut Tahrir. Bagi Hizbut Tahrir, Allah telah mewajibkan
umat Islam agar menerapkan Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan mereka,
menjalankan pemerintahan Islam, serta menjadikan hukum-hukum syariat yang bersumber dari
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sebagai konstitusi dan sistem perundang-undangan mereka.
Muhammad Muhsin Rodhi, Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan Negara
Khilafah Islamiyyah, Penerjemah: Muhammad Bajuri dan Romli Abu Wafa, (Bangil: Al-Izzah)
2008. h. 376. Lihat juga Taqiyuddin al-Nabẖani, Mafāhim Hizbut Tahrir, (Jakarta: Hizbut Tahrir
Indonesia, 2011) Cet. XI, h. 21.
42
Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di
Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2012) h. 92.
43
Khamami Zada telah mencatat gerakan Islam radikal di Indonesia banyak dipengaruhi
oleh pemikiran tokoh (pionir) beberapa negara Timur Tengah, seperti al-Maudūdī, Sayid Quṯb,
Hassan al-Banna, Hasan al-Turabi, dan Muẖammad Taqiyuddin al-Nabhani. Pada gilirannya,
Islam radikal di Indonesia pun sebagiannya dalam hal penamaan organisasi/kelompok
menggunakan nama yang sama dengan gerakan Islam di Timur Tengah, seperti Ikhwanul
Muslimin, Hizbut Tahrir, Front Islamic Salvation (FIS), dan Mujahidin. Lihat lebih detail, 43
Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, h. 92.
44
Farag Fouda, Kebenaran Yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan
dalam Sejarah Kaum Muslim, Penerjemah: Novriantoni, (Jakarta: Paramadina, 2008) Cet. II, h. 9.
Diskursus tentang hal demikian sebenaranya telah ada sejak dulu. Para pemikir dan tokoh Islam
modernis dan Masyumi di Indonesia selain Z.A. Ahmad, banyak mengupas gagasan negara Islam
dan terlibat dalam polemik soal dasar negara pada awal kemerdekaan hingga pada masa
perdebetan di Majelis Konstituante tahun 1957. Agus Salim, Muhammad Natsir, Soekiman, Kahar
Muzakkar, Hamka, Isa Anshari, Kasman Singodimedjo, banyak menggagas soal Islam sebagai
dasar negara dan tentang konsep negara Islam sejak era kebangkitan hingga awal dan pasa-
11

sehingga hubungan antara agama dan negara, antara aspek ritual dan politik,

sangat erat kaitannya, bahkan tidak bisa dipisahkan.45

Pada aspek lain, sebagaimana dalam pandangan Moh. Zahid, ia menyebut

stigma terhadap Islam bahwa tindakan kekerasan seringkali dikaitkan sebagai

upaya berislam kāffah dengan pemberian label jihad dan amar ma„ruf nahi

munkar untuk membenarkan dan menguatkan kebenarannya. 46 Lebih tegas lagi

Abdul Mustaqim mengatakan bahwa dalam benak mereka, seolah ada anggapan

bahwa jika seorang muslim semakin militan dan agresif, serta intoleransi akan

semakin Islamis dan semakin kāffah.47

Dengan demikian, ayat al-silm kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 ini telah

mengeluarkan satu poin pemikiran yang sangat mendasar dalam wacana Islam

kontemporer yaitu bagaimana al-silm kāffah diartikan dengan Islam secara

menyeluruh (Islam kāffah). Pandangan demikian yang menurut hemat penulis

sangat kontradiktif apabila mengacu pada aspek penafsiran yang sangat multi-

tafsir. Apalagi tidak ditemukan dalam ijma„ (konsensus) tafsiran kata al-silm

kemerdekaan tahun 1945. Sedangkan kartosoewirjo, Daud Beureuh, dan Kahar Muzakkar yang
terlibat dalam gerakan DI/TII dalam fase yang panjang sejak tahun-tahun awal pasca-kemerdekaan
hingga tahun 1964; negara Islam merupakan tujuan dari gerakannya, yakni membentuk Negara
Islam Indonesia. Lihat Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia, h. 172.
45
Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peradaban Islam
di Panggung Sejarah, (Jakara: Paramadina, 2003) h. 93.
46
Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam, h. 816.
47
Abdul Mustaqim, Deradikalisasi Penafsiran al-Qur‟an dalam Konteks Keindonesiaan
yang Multikultur, dalam Muhlis M. Hanafi (ed.), Al-Qur‟an di Era Global: Antara Teks dan
Realitas, h. 361. Lihat juga Irfan Idris, Membumikan Deradikalisasi, (Jakarta: Daulat Press, 2016)
h. 30.
12

adalah Islam. 48 Sehingga perlu untuk mengadopsi penafsiran lain yang lebih

inklusif untuk menghindari pemahaman yang keliru di tengah masyarakat dalam

menyikapi QS. Al-Baqarah [2]: 208.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sentralitas penafsiran, baik penafsiran klasik

maupun modern, atau penafsiran secara tekstualis maupun kontekstualis,

seringkali dijadikan pijakan legitimasi (pembenaran) untuk beberapa tindakan

yang berdasarkan pada produk penafsiran yang inklusif atau eksklusif. Karena

istilah Islam kāffah sebagaimana yang muncul dan berkembang sekarang,

merupakan sesuatu yang berangkat dari sebuah penafsiran secara tekstual 49

terhadap teks al-Qur‘an. Sehubungan dengan ini Abdullah Saeed menulis:

Pada masa modern, tekstualisme secara erat dihubungkan dengan aliran


salafisme kontemporer, namun pendekatan ini seharusnya dipahami
sebagai pendekatan yang lebih tersebar luas, mengingat banyak pemikiran
tradisional dalam penafsiran-penafsiran ayat-ayat hukum dan teologi
didasarkan pada pendekatan tekstual seperti ini.50

48
Misbahuddin Jamal, Konsep Al-Islam Dalam Al-Qur‟an. (Manado: Jurnal Al-Ulum,
Volume. 11, Nomor 2, Desember 2011) h. 291. Bahkan dalam tradisi tafsir dikenal dengan istilah
Ijma„ (kesepakatan). Berbeda dengan fiqh yang mempunyai bagian istimewa karena keperdulian
para ulama, maka ijma„ merupakan sesuatu yang dianggap sangat penting. Sebaliknya, para ulama
tidak terlalu memperdulikan ijma„ dalam dunia tafsir. jika fiqh menandakan kesepakatan atas suatu
hukum syara‗, maka ijma„ dalam tafsir adalah adanya kesepakatan dari para mufassir dari sesuatu
yang tetap tentang penyingkapan ucapan mereka di dalam tafsir—atas suatu makna dari beberapa
makna dalam menafsirkan ayat dari Kitab Allah. Lihat Musa‗īd ibn Sulaimān al-Ṯayyār, Fushūl fī
Ushūl al-Tafsīr, (Riyādh: Dār al-Nasyr al-Daulī, 1993) h. 70.
49
Yusuf Rahman dalam menela‘ah buku Adis Duderija ―Constructing a Religiously Ideal
“Believer” and “Woman” in Islam: Neo-traditional Salafi and Progressive Muslims‟ Method of
Interpretation, ia menggambarkan perbedaan metode pendekatan penafsiran antara muslim Salafi,
atau neo tradisional salafi (NTS), dengan muslim progresif (MP). Menurutnya, yang pertama
menggunakan pendekatan tekstual sementara yang kedua menggunakan kontekstual. Kedua
pendekatan inilah yang kemudian mempengaruhi bagaimana mereka menafsirkan tema-tema
penting dalam Islam, seperti konsep orang beriman (believer/mu‟min) dan perempuan (woman)
yang ideal dalam Islam. Lihat Yusuf Rahman, Penafsiran Tekstual dan Kontekstual terhadap al-
Qur‟an dan Hadits (Kajian terhadap Muslim Salafi dan Muslim Progresif), Journal of Qur‘ȃn and
Hadȋth Studies – Vol. 1, No. 2 (2012), h. 297.
50
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015) h.
38. Secara lebih gamblang Saeed menjelaskan lebih lanjut. Saeed membagi praktik tekstualisme
dalam suatu spektrum: dari tekstualisme lunak (soft tekstualisme) hingga tekstualisme keras (hard
tekstualisme). Tekstualisme lunak menganggap makna literal sebagai basis pengkajian makna teks,
13

Pemahaman tentang praktek penafsiran yang digambarkan Abdullah Saeed

di atas, bisa diasosiasikan dengan cara pandang sebagian gerakan Islam yang

melakukan pendekatan terhadap al-Qur‘an secara tekstual (literal), sebagaimana

dalam kasus kata al-silm kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 di atas. Dan hingga

sekarang, istilah Islam kāffah sangat familiar dijadikan sebuah alat legitimasi

khususnya di Indonesia. Karena bagi yang pro-penafsiran al-silm dengan Islam—

mengatakan ayat tersebut merupakan sebagai sebuah perintah untuk menegakkan

syariat Islam secara kāffah dalam tataran personal maupun struktur negara.

Sementara tidak sedikit pula cendekiawan Muslim yang menolak pemahaman

tersebut.

Berangkat dari permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk

mengangkat judul “Tafsir al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208: Studi

Komparatif Penafsiran Mufassir Klasik dan Modern.” Penelitian ini penting

dilakukan untuk melihat perbedaan dan pergeseran makna terhadap kata al-silm

kāffah di kalangan para mufassir, baik klasik maupun modern. Penelitian ini juga

akan melihat kesesuaian penafsiran-penafsiran mereka dengan persoalan kekinian,

khususnya Indonesia.

Dalam literatur tafsir sendiri, kata al-silm memiliki banyak arti/penafsiran

seperti ketaatan, tunduk, perdamaian, dan Islam (agama). Penulis menyoal

tetapi juga memungkinkan kelenturan penafsiran sambil berusaha mempertahankan makna


berbasis riwayatnya. Tekstualisme keras mempraktikkan pemahaman makna literal kata secara
kaku tanpa mempertimbangkan kompleksitas maknanya. Lihat Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad
21: Tafsir Kontekstual, h. 38.
14

kembali pemaknaan kata al-silm dan al-silm kāffah perspektif karya tafsir klasik

dan modern agar relevan dengan kondisi kekinian, khususnya di Indonesia. Oleh

karena itu, judul penelitian skripsi ini adalah Tafsir al-Silm Kāffah dalam QS. Al-

Baqarah [2]: 208: Studi Komparatif Penafsiran Mufassir Klasik dan Modern.

. Batasan dan Rumusan Masalah

Mengacu kepada latar belakang di atas, penulis membatasi diri pada

kajian menyangkut penafsiran. Pada poin ini, penulis meneliti penafsiran ayat

yang terkait terma al-silm kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 dalam tafsir klasik

seperti al-Ṯabarī, al-Qurṯubī, dan penafsiran modern seperti, Muẖammad ‗Abduh

dan al-Marāghī. Penulis menggunakan penafsiran al-Ṯabarī dan al-Qurṯubī untuk

melihat aspek penafsiran yang ditekankan oleh keduanya yaitu berupa

kecenderungan tekstualis yang berkaitan dengan kebahasaan. Karena aspek

tersebut menyediakan berbagai macam tafsiran yang diakses lewat jalur riwayat

dan qira‘at. Selain itu penulis menggunakan penafsiran Muẖammad ‗Abduh dan

al-Marāghī untuk melihat aspek penafsiran dari sudut aspek sosial (adab al-

ijtimȃ„).

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah skripsi ini

adalah Bagaimana penafsiran mufassir klasik dan modern terhadap kata “al-silm

kāffah” QS. al-Baqarah [2]: 208 dan relevansinya dalam konteks kekinian,

khususnya di Indonesia?
15

C. Tujuan Penelitian

1. Penulis berusaha mencari relevansi penafsiran al-Ṯabarī, al-Qurṯubī, al-

Marāghī, dan Muẖammad ‗Abduh dengan menyesuaikan terhadap

masyarakat Indonesia, dengan situasi dan kondisi kebhinekaan suku

bangsa, ras dan agama dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik, dan

budaya yang sama-sama berkeinginan untuk menciptakan kehidupan yang

damai dan sejahtera.

2. Penelitian ini sekaligus berusaha mengetahui perdebatan akademik dalam

menyikapi paham Islam kāffah di tengah masyarakat Indonesia pada masa

kini dengan cara mengumpulkan data-data yang terlibat yaitu dari sumber

pustaka maupun sumber internet yang berkaitan dengan pemahaman

terhadap Islam kāffah.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

a. Hasil pembahasan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

wawasan mengenai terma al-silm kāffah secara komprehensif,

sehingga menjauhkan dari produk penafsiran secara literal yang

bertentangan dengan konteks sekarang di Indonesia.

b. Selain itu juga sebagai bahan khazanah keilmuan untuk mendapatkan

pemahaman yang lebih mendalam tentang makna al-silm kāffah dalam

berbagai literatur kitab tafsir.

2. Secara Praktis
16

a. Sekiranya pembahasan ini dapat mengurangi pemahaman keliru yang

berkembang di kalangan masyarakat dalam menyikapi istilah Islam

kāffah yang digencarkan oleh sebagian kalangan Islam untuk

menegakkan syariat Islam di Indonesia.

b. Selain itu agar dapat menambah rasa kasih sayang di antara sesama

manusia, serta memberikan motivasi untuk menegakkan agama Islam

yang mempunyai rasa cinta damai dan menghargai perbedaan dalam

tatanan masyarakat Indonesia yang pluralistik.

E. Tinjauan Pustaka

Sejauh penelaah penulis, belum ada penelitian ilmiah yang secara khusus

membahas tentang masalah ayat al-silmi kāffah dalam tinjauan penafsiran

mufassir klasik dan modern. Meskipun sudah terdapat beberapa penelitian dalam

bentuk buku, namun dalam perspektif yang berbeda. Selain aspek penafsiran,

penelitian ini juga merambah pada aspek gerakan keagamaan yang menunggangi

doktrin Islam kāffah sebagai kepentingannya. Dua aspek tersebut yang

membedakan dengan penelitian-penelitian lainnya yang penulis temukan di bawah

ini.

Pertama, penelitian dalam bentuk buku yang dilakukan oleh Abd. Rahman

Assegaf, Studi Islam Kontekstual: Elaborasi Paradigma Baru Muslim Kaffah.51

Rahman dalam buku tersebut menjelaskan bahwa Islam harus diamalkan secara

totalitas, tidak sepotong atau sepihak, serta kontekstual. Yang menarik adalah

buku tersebut membicarakan Islam kāffah tidak hanya dalam segi syariat, tauhid,

51
Abd. Rahman Assegaf, Studi Islam Kontekstual; Elaborasi Paradigma Baru Muslim
Kaffah. (Yogyakarta, Gama Media, 2005)
17

atau akhlak saja, melainkan juga memperhatikan isu-isu kontemporer yang sedang

dihadapi oleh umat Islam.

Kedua, jurnal yang cukup menarik di tulis oleh Moh. Zahid dengan judul

Islam Kaffah dan Implementasinya (Mencari Benang Merah Tindak Kekerasan

atas Nama Islam).52 Dengan cara pandang hukum Islam, Zahid secara eksplisit

menyetujui konsep keberislam secara kāffah. Namun, Zahid mengatakan bahwa

wujud kongkrit Islam kāffah diyakini akan berbeda-beda di muka bumi karena

implikasi dari pemahaman terhadap konsep qat„i-zanny. Ia juga mengakui bahwa

dalam hukum Islam juga terdapat keragaman sehingga tidak mungkin untuk

menerapkannya.

Ketiga, buku yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin

Abdullah at-Tuwaijiri dengan judul Ensiklopedia Islam Kaffah. 53 Ensiklopedia

tersebut merupakan cakupan hampir seluruh persoalan tentang Islam seperti;

akidah, tauhid dan keimanan, adab (etika), serta persoalan fiqh seperti taharah

(bersuci), shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain. At-Tuwaijiri berhasil

menyatukan pemahaman persoalan keislaman secara menyeluruh. Pendeknya, ia

memahami Islam kāffah sebagai sebuah perangkat yang tersaji secara lengkap

dalam disiplin ilmu keislaman.

Keempat, penelitian dalam bentuk Tesis ditulis oleh Muslih Hidayat

berjudul, Strategi Pendidikan Islam Kaffah Dalam Kegiatan Kerohanian Islam

Dan Halaqah Tarbawiyah Serta Implikasinya Terhadap Sikap Keberagamaan

52
Moh. Zahid, ―Islam Kaffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam,‖ Jurnal KARSA, Vol. IX, 2006.
53
Syaikh Muhammad bin Ibrahim at Tuwaijiri, Ensikopledia Islam Kaffah, (Surabaya:
Pustaka Yassir, 2013).
18

Siswa Di Sma Islam Terpadu Abu Bakar Yogyakarta.54 Tesis tersebut menyajikan

penelitian lapangan yang berkaitan dengan dunia pendidikan sekolah. Secara

singkat, Muslih memahami Islam kāffah sebagai sebuah sistem yang berkaitan

dengan kegiatan agama yang ada di sekolah ia teliti.

Kelima, karya tulis lainnya tentang Islam kāffah tersaji dalam karya Hilmy

Bakar Almascaty, Islam Kaffah: Paradigma Idiologi dan Intelektual Untuk Aktivis

Gerakan Islam. 55 Secara garis besar, Hilmy Bakar mendukung penuh terhadap

gagasan Islam kāffah dalam pengertian menerapkan syariat Islam. Tidak sampai di

situ, ia mencoba untuk mengubah paradigma negatif terhadap Islam kāffah, bahwa

Islam kāffah merupakan jalan yang lurus atau benar dalam pandangan al-Qur‘an

dan sunnah bukan jalan yang sesat. Oleh karena itu, ia mendukung penuh gagasan

dari berbagai tokoh yang menyetujui ideologi tersebut.

Beberapa literatur pustaka yang telah penulis sampaikan di atas, belum ada

yang meneliti penafsiran al-silm kāffah perspektif karya tafsir, khususnya karya

tafsir klasik (tafsir al-Tabarī dan al-Qurtubī) dan modern (tafsir al-Manār dan

tafsir al-Marāghī). Ranah kosong inilah yang penulis akan teliti tentang penafsiran

al-silm kāffah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208 dari perspektif karya tafsir klasik

dan modern. Meskipun penulis tidak menafikan ada yang memahami al-silm

kāffah dengan Islam Kāffah.

54
Muslih Hidayat, Strategi Pendidikan Islam Kaffah Dalam Kegiatan Kerohanian Islam
Dan Halaqah Tarbawiyah Serta Implikasinya Terhadap Sikap Keberagamaan Siswa Di SMA
Islam Terpadu Abu Bakar Yogyakarta, (UIN Sunan Kalijaga: Program Studi Pendidikan Islam,
2015).
55
Hilmy Bakar AlMascaty, Islam Kaffah: Paradigma, Intelektual, Gerakan. Di unduh dari
https://www.scribd.com/doc/17233507/. Diakses pada tanggal 20/10/2016.
19

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library

research) yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi

penela‘ahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan

laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.

2. Metode Pengumpulan Data

a. Sumber Data Primer

Sumber primer adalah tempat atau gudang penyimpan orisinal dari data

sejarah.56 Adapun sumber data primer yang berkaitan dengan buku yaitu Abdullah

Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, Bandung: Mizan, 2015.

Sementara tafsir yang akan diteliti yaitu tafsir Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān

„an Ta‟wīlal-Jāmi
Qurṯubī, Ay al-Qur‟ān, Bairūt:
„ li Ahkam al-Qur ‟ān,al-Fikr,
Dār Bairūt:2005. Aẖmad bin
Mu‘assasah Abī Bakr
al-Risālah, al-
2006.

Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Manār. Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah,

1999.
wa Ahmad Mushṯafa
Maṯba‗ah Mushtafa al-Bābi
al-Marāghī, Tafsīr
al-Halbi, al-Marāghī, Mesir: Syarkah Maktabah
1946.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber sekunder adalah catatan-catatan yang ―jaraknya‖ telah jauh dari

sumber orisinil. 57 Data sekunder merupakan data pendukung, biasanya sudah

tersusun dalam dokumen-dokumen,58 buku-buku, kitab tafsir, kitab hadis, kamus,

56
Moh, Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) Cet. VII, h. 50.
57
Moh. Nazir, Metode Penelitian ,h. 50.
58
Sumardi Surya Brata, Metode Penelitian, (Jakarta: Grafindo Persada, 1998) h. 85.
20

artikel di majalah dan internet, maupun media informasi lainnya yang bisa

dipertanggungjawabkan kebenaran datanya yang berkaitan dengan pokok pada

permasalahan ini dan dianggap penting untuk dikutip.

3. Metode Analisis Data

a. Metode Deskriptif Analisis

Dalam menganalisis penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan yang

ditawarkan oleh Abdullah Said yaitu kontekstual. pendekatan ini menaruh

perhatian terhadap suatu konteks yang mengitari suatu teks ketika diturunkan,

kemudian menyesuaikannya dengan masa kini.59

b. Metode Analisis-Komparatif

Metode komparatif sendiri terdapat tiga aspek yang dapat

diperbandingkan, yaitu membandingkan ayat al-Qur‘an dengan ayat yang lainnya,

baik redaksinya sama maupun membandingkan ayat yang seolah-olah saling

bertentangan, membandingkan ayat al-Qur‘an dengan hadits-hadits nabi, dan

membandingkan berbagai penafsiran ulama tafsir dengan pendapat yang

lainnya.60

Dalam penelitian ini, penulis membandingkan penafsiran Ibnu Jarīr al-

Ṯabarī, al-Qurṯubī, al-Marāghī dan Muhammad ‗Abduh mengenai makna al-silm

kāffah. Karena yang menjadi sasaran pembahasan adalah pendapat ulama tafsir,

maka metodenya adalah: 1) menyajikan ayat yang dijadikan objek studi beserta

sebab turunnya ayat tersebut; 2) mengumpulkan dan mengemukakan pendapat

59
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015).
60
Nashrudin Baidan, Wawasan Baru al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) h.
383.
21

para ulama tafsir mengenai pengertian ayat tersebut, 61 dalam hal ini penafsiran

ulama klasik dan modern yang dijadikan objek kajian; 3) membandingkan

pendapat mereka untuk mendapatkan persamaan dan perbedaannya.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika pembahasan dalam kajian ini terdiri dari lima bab, yaitu:

Bab I pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, pembatasan dan

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode

penelitian, sistematika pembahasan.

Bab II membahas diskursus umum tentang Islam kāffah. Pertama

menyajikan definisi antara Islam dan kāffah dan Islam. Setelah itu, menyajikan

pandangan ulama terhadap Islam kāffah. Kemudian mencari cara pandang Islam

kāffah dalam konteks pemikiran Islam dan negara.

Bab III membahas penafsiran terhadap ayat al-silm kāffah. Poin pertama

membahas sebab turunnya ayat tersebut, lalu kedua pada aspek penafsiran dibagi

menjadi dua bagian yakni penafsiran klasik dan penafsiran modern.

Bab IV membahas analisis-komparatif antara penafsiran klasik dan

modern. Aspek pertama, menjelaskan tentang corak penafsiran. Kedua, terkait

dengan keserasian ayat al-silm kāffah dengan ayat sebelumnya. Ketiga,

menjelaskan penafsiran, dan keempat menjelaskan relevansi ayat al-silm kāffah

dengan konteks Indonesia.

61
Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2009) h. 145. Syukri Saleh
menambahkan dengan metode membandingkan pendapat mufassir sehingga diketahui identitas,
pola pikir, kecenderungan dan aliran yang mereka promosikan. Lihat Ahmad Syukri Saleh,
Metodologi Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jambi: Sulthan
Thaha Press, 2007) h. 53.
22

Bab V adalah bab terakhir yang berisikan kesimpulan dan saran-saran

penulis berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan penulisan

skripsi ini.
BAB II

DISKURSUS ISLAM KĀFFAH

. Definisi

Sebelum mendefinisikan istilah Islam kāffah secara utuh, perlu diketahui

bahwa istilah tersebut berangkat dari sebuah ayat yang berbunyi udkhulū fī al-silm

kāffah, 1 artinya masuklah kalian semua ke dalam Islam/perdamaian secara

menyeluruh.2 Dari ayat tersebut kemudian menjadi sebuah istilah yang maklum

disebut dengan Islam kāffah. Sejalan dengan hal ini Esack mengatakan bahwa

pengkajian atas istilah din dan, terutama, islam, jelas menjadi sentral bagi

pemahaman ayat-ayat ini dan juga soal Islam, eksklusivisme, dan pluralisme

agama.3 Oleh sebab itu dalam bab ini, penulis akan menjelaskan keterkaitan ayat

al-silm kāffah dengan Islam kāffah dalam format yang eksklusif dan sebaliknya

perdamaian kāffah yang bersifat inklusif.

1. Islam

Di dalam al-Qur‘an, kata yang terambil dari akar kata s-l-m disebut
A
sebanyak 73 kali, baik dalam bentuk fi„il (kata kerja), mashdar (kata dasar/asal),

maupun isim fa„il (kata sifat/pelaku perbuatan) dengan perincian sebagai berikut:

1
QS. Al-Baqarah [2]: 208.
2
Penulis menyajikan makna Islam/Perdamaian merujuk pada penafsiran Quraish Shihab
terhadap QS. Al-Baqarah [2]: 208. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur‟an, (Ciputat: Lentera Hati, 2009) Cet. I, Vol. I, h. 544.
3
Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur‟an, Liberalisme, Pluralisme,
Penerjemah: Watung A. Budiman, (Bandung: Mizan, 2000) h. 169.

23
24

1. Bentuk fi„il:

a. Fi„il madhi (sebanyak 14 kali): 1) Aslama: 5 kali: QS. Al-Baqarah [2]:

112. ‗Ali ‗Imrān [3]: 83, al-Nisā [4]: 125, al-An‘ām [6]: 14, al-Jin [72]:

14. 2) Aslamā: 1 kali pada QS. Al-Shāffat [37] : 103. 3) Aslamū: 3 kali

QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 20. Al-Māidah [5]: 44, al-Hujurat [49]: 17. 4)

Aslamtum: 1 kali pada QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 20. 5) Aslamtu: 3 kali pada

QS. Al-Baqarah [2]: 121, ‗Ali ‗Imrān [3]: 20, dan al-Naml [27]: 44.

b. Fi„il Mudhari„: (sebanyak 5 kali): 1) Yuslim pada QS. Luqmān [31]: 22.

2) Yuslimūn pada QS. Al-Fath [48]: 16. 3) Tuslimūn pada QS. Al-Nahl

[16]: 81. 4) Uslima pada QS. Ghāfir 40: 66. 5) Muslima pada QS. Al-

An‗ām [6]: 71.

c. Fi„il Amar: (sebanyak 3 kali): 1) Aslim pada QS. Al-Baqarah [2]: 131. 2)

Aslimū: QS. Al-Hajj [22]: 34, dan al-Zumar [39]: 54.

2. Bentuk Mashdar sebanyak 9 kali.

a. Kata dasar aslama sebanyak 8 kali: 1) Al-Islām 6 kali: QS. ‗Ali ‗Imrān

[3]: 18, 85; al-Māidah [5]: 3; al- An‗ām [6]: 125; al-Zumar [39]: 22; al-

Shāff [61]: 7. 2) Islāmakum pada QS. Al-Hujurat [49]: 17. 3) Islāmihim

pada QS. Al-Taubah [9]: 74.

b. Kata dasar salima: al-silm QS. Al-Baqarah [2]: 208.

3. Bentuk fa„il/kata sifat: sebanyak 24 kali.

a. Mufrad sebanyak 3 kali: 1) Musliman 2 kali, QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 67;

Yusuf [12]: 101. 2) Muslimātun QS. Al-Baqarah [2]: 128.

b. Mutsanna 1 kali pada QS. Al-Baqarah: 128.


25

c. Jamak sebanyak 38 kali: Muslimūn 15 kali pada QS. Al-Baqarah [2]:

132, 133, 136; ‗Ali ‗Imrān [3]: 152, 64, 80, 84, 102, al-Māidah [5]: 111;

al-Naml [27]: 81; al-‗Ankabūt [29]: 46; al-Rūm [30]: 53; al-Jin [72]: 14.

Secara lebih ringkas, dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Mustaslimȗn (menyerah diri)

Mustaslimȗn juga memiliki huruf dasar yang sama dengan ―Islam‖, yaitu

sin, lam, dan mim. Sehingga Mustaslimȗn atau menyerah diri merupakan makna

lain dari Islam secara bahasa. Allah SWT Berfirman:

―Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri.” (QS. Al-Shāffat [37]: 26)

2. Aslama (menyerahkan diri)

“Maka Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah,
di bumi, kepada-Nya-lah
Padahal baik dengan suka maupun terpaksa
menyerahkan dan hanya
diri segala kepada
apa yang Allahlah
di langit dan
mereka dikembalikan.‖ (QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 83)
26

“(tidak demikian) bahkan Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada


Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi
Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]: 112)

3. Salīm (bersih dan suci)

“Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”


(QS. Al-Syu‘ara [26]: 89)

“(lngatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci.”


(QS. Al-Shāffat [37: 84)

4. Salmu (damai)

Al-silm yang diartikan dengan Islam, dalam bentuk fathah sin juga

diartikan dengan perdamaian merujuk QS. Al-Anfāl [8]: 61.

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah


kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah.‖ (QS. Al-Anfāl [8]: 61).

“Janganlah kamu lemah dan minta damai Padahal kamulah yang di atas
dan Allah pun bersamamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi
pahala amal-amalmu. (QS. Muhammad [35]: 47)

5. Islam
27

Kata salm dalam ayat di atas memiliki arti damai atau perdamaian. Selain

itu, dalam al-Qur‘an banyak ayat yang secara eksplisit menyebutkan kata Islam

sebagaimana berikut:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS.


‗Ali ‗Imrān [3]: 19)

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali


tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 85)

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama
bagimu.” (QS. Al-Māidah [5]: 3)

6. Salām (selamat dan sejahtera)

―Berkata Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku


akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia
sangat baik kepadaku. (QS. Maryam [19: 47)

7. Muslimūn (menyerahkan diri)


28

―Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang


diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail,
Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa,
Isa dan Para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan
seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah Kami
menyerahkan diri." (QS. ‗Ali ‗Imrūn [3]: 84)

“Ya Tuhan Kami, Jadikanlah Kami berdua orang yang tunduk patuh
kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu Kami umat yang
tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada Kami cara-cara
dan tempat-tempat ibadat haji Kami, dan terimalah taubat kami.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 128)
29

“Dan Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya,


demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku!
Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka janganlah
kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". (QS. Al-Baqarah [2]:
132)

Menurut Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini, Ibrahim telah

mewasiatkannya yakni millat/agama, atau prinsip ajaran itu kepada anak-anaknya,

yakni Ismail, Ishak, dan saudara-saudara mereka, demikian pula Ya‗qub, yang

merupakan anak Nabi Ishak putra Nabi Ibrahim as. Dia juga mewasiatkkannya

kepada anak-anaknya, yakni para leluhur dari Bani Israil yang hidup pada masa

Nabi Muhammad SAW.4

Wasiat adalah pesan yang disampaikan kepada pihak lain secara tulus,

menyakut suatu kebaikan. Biasanya wasiat disampaikan pada saat-saat menjelang

kematian, karena ketika itu, interes dan kepentingan duniawi sudah tidak menjadi

perhatian si pemberi wasiat. Nabi Ibrahim as, berkata, ―Hai anak-anakku!

Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kamu.‖ Maksudnya, agama ini

adalah tuntunan Allah, bukan ciptaanku. Memang banyak agama yang dikenal

oleh manusia, tetapi yang ini, yakni yang intinya adalah penyerahan diri secara

mutlak kepada-Nya, adalah yang direstui dan dipilih oleh-Nya. Karena itu, maka

janganlah kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah diri kepada-Nya,

yakni memeluk agama Islam.5

4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2009) Cet. I, Vol. I, h. 312.
5
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, h. 313.
30

Al-Tabarī mengatakan firman Allah wawashshā bihā ketika Ibrahim

mewasiatkan ucapan ini, yang dimaksud ucapan tersebut adalah firman Allah

aslamtu lirabb al-„ālamīn, yaitu Islam yang diperintahkan Allah kepada

Muhammad SAW, yakni ikhlas beribadah, mengesakan Allah, hati dan tubuh

tunduk kepada-Nya. 6 Dari perkataan al-Tabarī dapat ditegaskan bahwa maksud

dari agama Islam yang diwasiatkan oleh Ibrahim adalah Islam dalam definisi

menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya.

Dari penjelasan ayat ini dapat diketahui bahwa para mufassir memiliki

pandangan yang beragam dalam mendeskripsikan model agama Islam yang

termaktub melalui wasiat Ibrahim. Sebagian mufassir menafsirkan wasiat tersebut

yakni agama (millah). Namun menurut satu pendapat, yang dimaksud adalah

ucapan yang berbunyi, aslamtu lirabb al-„ālamīn, ―Aku tunduk patuh kepada

Tuhan semesta alam.‖ Menurut al-Qurtubī, pendapat ini lebih benar. Sebab

ungkapan tersebut merupakan ungkapan terdekat yang baru diucapkan. Yakni

katakanlah oleh kalian,: ―Kami telah tunduk.‖7 Senada dengan al-Qurtubī, Sayyid

Qutb mengutip ayat sebelumnya bahwa aslamtu lirabb al-„ālamīn ―Aku tunduk

patuh kepada Tuhan semesta alam.‖ Menurut Qutb, itulah millah Ibrahim. Islam

yang murni dan tegas.8

6
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, (Cairo: Dār Hajr, 2001)
Cet. I, Juz II, h. 582.
7
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, (Bairūt: Mu‘assasah al-Risālah,
2006) Juz II, h. 408.
8
Sayyid Qutb, Fi Zilal Al-Qur‟an, Penerjemah: Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Syafril
Halim, (Jakarta: Robbani Press, 2001) Cet. I, Jilid I, h. 363.
31

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-


benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam Keadaan beragama Islam.” (QS. ‗Ali ‗Imran [3]: 102)

“Berkata Musa: "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, Maka
bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang
berserah diri." (QS. Yunus [10]: 84)

“Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kamilah


penolong-penolong (agama) Allah, Kami beriman kepada Allah; dan
saksikanlah bahwa Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang
berserah diri. (QS. ‗Ali ‗Imran [3]: 52)

Jika ditinjau secara lebih luas mengenai definisi Islam, di dalam kamus

disebutkan Islam secara harfiah bermakna ketundukan, kepasrahan, kepatuhan.9

Dalam kamus al-Munawwir, al-Islam diartikan dengan damai dan selamat. 10

Glasse sendiri mendefinisikan Islam dari kata salam yang berarti pasrah, damai,

selamat. 11 Menurut Toishihiko Izutsu, secara harfiah Islam berarti ―Ia telah

menyerahkan wajahnya kepada Allah‖. 12 Adanya penyerahan terhadap Tuhan,

9
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab - Indonesia,
(Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak 1996) h. 24.
10
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997) Cet . XIV h. 655.
11
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (Ringkas), Penerjemah: Ghufron A. Mas‘udi,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999) Cet. II, h. 174.
12
Toishihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-
Qur‟an, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997) h. 221.
32

Rajudin Isma‘il menambahkan bahwa Islam itu adalah hubungan jiwa pribadi

dengan Allah.13

Kata ―Islam‖ berasal dari kata salima yang artinya selamat. Dari kata itu

terbentuk aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh (QS. Al-

Baqarah [2]: 112). Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam, pemeluknya

disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada

Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya.14 Menurut Cak Nur, pasrah kepada Allah

atau al-islam itu sebenarnya suatu sikap batin, jadi bersifat sangat perorangan

(personal). Maka, dari sudut kenyataan ini, hanyalah orang bersangkutan sendiri

saja—selain Allah Yang Mahatahu—yang benar-benar mengetahui apakah ia

secara sejati pasrah kepada Allah (muslim) atau tidak.15

Secara terminologi menurut Harun Nasution, Islam adalah agama yang

ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi

Muhammad SAW. sebagai Rasul. 16 Selain itu, al-Rāghib al-Isfahānī membagi

istilah Islam menjadi dua macam:

13
Radjudin Isma‘il, Akar Islam Kontemporer, (Jakarta: Badan Wakaf Al-Qur‘an. 2005)
h. 196.
14
Misbahuddin Jamal, Konsep Al-Islam dalam Al-Qur‟an, (Manado: Jurnal Al-Ulum,
2011) h. 285. Baca juga Toishihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik
terhadap Al-Qur‟an, h. 221.
15
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta: Paramadina, 1992) h. 345.
16
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 2010) Jilid
I, h. 17. Baca juga Kenneth W. Morgan, Islam Jalan Lurus, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya,
1980) Cet. II, h. 98. Khalifah Abdul Hakim memiliki persepektif tersendiri, menurutnya Islam
bukan agama yang bersumber pada diri pribadi Muhammad. Nabi muhammad menyatakan bahwa
semenjak Adam dan seterusnya semua pembawa ajaran agama yang benar, yang diutus oleh Allah
untuk menyebarkan dan mengamalkan kebenaran, memeluk satu-satunya agama yang sama dalam
bahasa Arab disebut Islam. Lihat Khalifah Abdul Hakim, Hidup yang Islami: Menyeharikan
pemikiran Transedental (Akidah dan Ubudiah), Penerjemah: Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali
Press, 1986) h. 3.
33

Pertama, di bawah iman, yakni mengakui dengan lidah saja, dengan begitu

darahnya terpelihara. Tidak jadi soal apakah keyakinan masuk ke dalam hatinya

atau tidak.

Kedua, di atas iman, yakni bersamaan dengan pengakuan lisan, juga dalam

hati, dan diamalkan dalam perbuatan dan penyerahan diri kepada Tuhan dalam

segala hal yang telah Dia tentukan dan tetapkan. Sebagaimana, yang diingatkan

dalam kisah Ibrahim, ketika Tuhan berkata kepadanya, ―Islamlah (Pasrahlah)‖.

Ibrahim berkata, ―Aku pasrah kepada Pemelihara Seluruh Alam.‖ (surah al-

Baqarah ayat: 131).17

Menurut Cyril Glasse, selain digunakan sebagai nama agama, kata ―Islam‖

juga digunakan dalam pengertian teknis bersama dua istilah lainnya, yakni Islam,

iman, ihsan, ketiganya merupakan aspek fundamental dari agama ini. Dalam

istilah ini Islam mengandung pengertian yang sama dengan ibadah, yang

mencakup segala macam perbuatan kebajikan, lima rukun Islam, dan ketundukan

terhadap syariat.18

Bernard Lewis memosisikan kata Islam sebagai dua makna yang saling

terkait namun berbeda, seperti halnya Christianity 19 dan Christendom (Umat

Kristen). Pada satu sisi kata tersebut berarti sebuah agama, sebuah sistem

keyakinan dan ibadah; sementara pada sisi lain, kata tersebut bisa bermakna

peradaban yang tumbuh dan berkembang di bawah perlindungan tersebut. Oleh

17
Al-Rāghib al-Ishfahānī, Mufradāt al-Qur‟ān, (Bairūt: Dār al-Syamiyyah. 1996) h. 270.
18
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (ringkas), Penerjemah: Ghufron A. Mas‘adi, h. 174.
19
Agama yang berdasarkan pada keyakinan bahwa Kristus adalah anak Tuhan, dan
ajaran-ajarannya. Lihat Kamus Oxford, h. 72.
34

karena itu, menurut Lewis kata Islam mencerminkan sejarah lebih dari empatbelas

abad, sepertiga miliar umat, dan tradisi agama serta budaya yang beragam. 20

Dalam kerangka yang lebih luas, Haedar Nashir membagi Islam ke dalam

tiga tingkatan yang saling berhubungan, yaitu: (1) Islam sebagai keyakinan dan

sebagai sistem keagamaan yang kepercayaan-kepercayaan pokoknya

mengidentifikasikan para penganutnya sebagai Muslim; (2) Islam sebagai sebuah

kebudayaan dan cara hidup yang akan mengintegrasikan Muslim ke dalam suatu

negara-negara; dan (3) Islam sebagai suatu ideologi politik yang serangkaian

nilainya dapat menyosialisasikan umat Islam ke dalam komunitas politik yang

terpisah.21

Dari pengertian yang tersaji di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam al-

Qur‘an dengan berbagai derivasinya dari kata Islam, dapat ditarik kesimpulan

bahwa arti Islam dengan berbagai derivasinya lebih condong kepada arti sikap

berserah diri. Ini sesuai dengan berbagai definisi-definisi di atas, baik secara

bahasa maupun istilah yakni merupakan suatu sikap kepasrahan, tunduk, dan

patuh terhadap Tuhan. Namun, ditemukan pula kata yang sejenis dengan al-silm

20
Bernard Lewis, Krisis Islam: Antara Jihad dan Teror Yang Keji, Penerjemah Ahmad
Lukman (Jakarta: PT. Ina Publikatama, 2004) h. 3. Hal serupa terdapat dalam skripsi Rizky
Munggaran, ia membagi Islam ke dalam dua variabel, baik sebagai ajaran normatif maupun secara
empiris. Dalam artian normatif, al-Islam mengarah kepada suatu makna luhur dan tinggi, yakni
―berserah diri kepada Tuhan‖, sedangkan dalam realitas empiris al-Islam merupakan suatu refleksi
dari suatu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. yang dibedakan dengan agama-agama
lain, seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu dan lain sebagainya. Lihat Rizky
Munggaran, Penafsiran Inklusif Nurcholis Madjid Mengenai Makna Al-Islam: Telaah Surah Ali-
Imran ayat 19 dan 85, (Ciputat: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010) h. 33.
21
Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis Di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 2013) h. 120.
35

dalam al-Qur‘an, termaktub bahwa kata al-salmu memiliki arti damai atau

perdamaian.

Secara lebih luas kini Islam telah membentuk sebuah formatnya dalam

bungkusan yang formal. Sehingga Islam kini tidak lagi bersifat privasi yang

dipraktekkan setiap individualnya, melainkan telah mewujud apa yang disebut

Haedar Nashir di atas dengan suatu ideologi politik (publik).22 Poin terakhir ini

yang akan penulis jelaskan mengenai perdebatan yang menyelimuti al-silm kāffah,

Islam kāffah, perdamaian kāffah. Sebagaimana menurut Esack, dalam konteks

kalimat ―ia masuk ke dalam al-silm.‖ Islam diartikan sebagai nama suatu agama.

Menurutnya, istilah ini juga bermakna ―rekonsiliasi‖, ―damai‖ atau

―keseluruhan‖.23

2. Kāffah

Menurut Ibnu Manzȗr, kāffah yakni al-jamā„ah (kelompok). Dikatakan:

―al-jamā„ah min al-nās‖ (sekelompok orang). Dikatakan juga ―laqaituhum

kāffatan ay kulluhum‖ (saya bertemu mereka semuanya, artinya semua mereka).

Setiap yang memanjang maka ujung tepinya disebut dengan kuffah, dan setiap

yang bundar disebut kiffah, contoh kiffah al-mīzān (piring timbangan). Dinamakan

kuffah al-tsaub (tepi baju) karenanya mencegah baju berantakan. Asal kaff yaitu

22
Menurut Komaruddin Hidayat, perkembangan Islam akan mudah diterima oleh
masyarakat yang semakin plural dan memberikan pencerahan moral, spiritual, dan intelektual,
ketika tampil tidak dengan jargon dan kendaraan politis-ideologis. Memang, ideologisasi agama
itu suatu kenyataan yang sulit dielakkan sepanjang sejarahnya, tetapi perlu ditegaskan, bahwa
Islam bukan produk ideologi. Islam adalahh ajaran wahyu, namun melahirkan ideologi sosial
keagamaan. Lihat Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa, (Jakarta: Noura Books,
2012) h. 179.
23
Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur‟an, Liberalisme, Pluralisme, h.
172.
36

al-man„u (mencegah). Dari sini dikatakan, karena bagian pinggir tangan adalah

kaffu (telapak), karenanya bagian dari anggota badan. Dan yang dimaksud

tersebut adalah al-rāhah (telapak tangan) serta al-ashābi„ (jari-jari).24

Dalam al-Qur‘an disebutkan, yā ayyuhā alladzīna āmanū udkhulū fī al-

silm kāffah.‖ Menurut Abū Ishaq, makna ―kāffah‖ dalam ayat ini adalah ―jāmi„‖

(semuanya) dan ―ihātah‖ (serba meliputi). Maka, menurutnya, ayat ini boleh

diartikan, ―Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam

secara menyeluruh, atau dalam seluruh syariatnya.‖25 Namun yang dipaparkan

Abū Ishaq adalah sebuah kemungkinan. Sebab, ia masih menyebut kata-kata

―fayajūzu an yakūna ma„nahu‖ yang berarti ―maka boleh jadi maknanya‖

demikian.26

Dalam literatur lain dikatakan, kāffah adalah bentuk muannats dari al-kaff

yakni al-jamā„ah (kelompok). Dikatakan ―sekelompok orang telah datang secara

menyeluruh, artinya seluruh mereka. 27 Namun dalam konteks ayat ini, kata

―kāffah‖ tidak menunjukkan makna sekelompok orang. Menurut Ibnu


‗Asyūr,

kāffah adalah isim yang berfaedah mencakup bagian-bagian sesuatu yang

mensifatinya. Dalam gambaran bentuknya, kāffah seperti bentuk isim fa„il dari

kata kaffa, akan tetapi secara kebetulan bentuknya seperti itu. Tidak ada makna
kaff dan tidak ada kebutuhan untuk memaksakan penjelasan keserasian di antara

kata dan maknanya yang dimaksud di dalam kalimat tersebut.

24
Ibnu Manzūr, Lisān al-„Arab, (Bairūt: Dār al-Shādir, t.th) Jilid IX, h. 305.
25
Ibnu Manzūr, Lisān al-„Arab, h. 305.
26
Ibnu Manzūr, Lisān al-„Arab, h. 305.
27
Luīs Ma‗lūf, Al-Munjīd fī al-Lughah wa al-Adāb wa al-„Ulūm, (Bairūt: Al-Matba‗ah al-
Katsulikiyyah, t.th) Cet. XVIIII, h. 689.
37

Huruf ta yang ada dalam kata kāffah menurut Ibnu ‗Asyūr, yakni di dalam

semua keadaan. Sebagaimana dalam keadaan mu‟akkad (penegas), mudzakkar,

mufrad (tunggal) atau jamak. Contoh ―wa qātilȗ al-musyrikīna kāffah.‖

Kebanyakan kāffah digunakan dalam sebuah kalimat sebagai hāl dari isim

sebelumnya sebagaimana QS. Al-Baqarah [2]: 208 tersebut, kāffah menjadi hāl

dari dhamir udkhulū, artinya menjadi hāl bagi keadaan kamu sekalian.28

Senada dengan Ibnu Manzūr, al-Alūsī dalam tafsirnya mengatakan bahwa

kāffah, kata asalnya dari kaff yang bermakna mencegah. 29 Dengan penjelasan

yang berbeda menurut al-Zamakhsyarī, kāffah dari huruf kaff, seakan-akan bahwa

mereka mencegah salah satu dari sebagian mereka untuk keluar dari kelompok

mereka.30 Kāffah juga digunakan sebagai arti jumlah, dengan dihubungkan bahwa

kāffah ialah sesuatu yang dapat mencegah beberapa bagian dari perpecahan. Huruf

ta dalam kȃffah menurut al-Alūsī merupakan ta‟nits atau untuk memindahkan dari

kategori sifat (sifatiyyah) kepada kategori isim (ismiyyah) seperti kata ‫حهاعك‬

―ka„āmatin‖ dan ‫― حصاخك‬kakhashshātin.‖

Abī Hayyān menjelaskan dalam tafsirnya bahwa kata kāffah merupakan

isim fa„il yang bermakna jamī„ān (menyeluruh). Asal kata kāffah merupakan

derivasi (isytiqāq) dari kaff yaitu sesuatu yang dapat mencegah dari seseorang

28
Muhammad Tāhir ibn ‗Asyūr, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr, (Tunis: Dār Sahnūn li al-
Nasyr wa al-Tauzī‗, t.th) Juz II, h. 278.
29
Imām al-Alūsī al-Baghdādī, Rūẖ al-Ma„ānī īȋ Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm wa al-Sab„ al-
Matsānī, (Bairūt: Dār Iẖya al-Turats al-‗Arabī, 1985) Cet. IV, Juz I h. 97.
30
Abī al-Qāsim Mahmūd ibn ‗Umar al-Zamakhsyarī, Al-Kasysyāf, (Riyādh: Maktabah al-
‗Abȋkan, 1998) Cet. I Juz II, h. 418
38

yang mengambilnya, dan kaff dalam kalimat tersebut bermakna mencegah. 31 Ibnu

‗Atiyyah dalam tafsirnya menjelaskan lebih lanjut beberapa hubungan khitab

dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208 dengan kata kāffah sebagaimana berikut:

―‗Ikrimah berkata bahwa khitab ayat tersebut ditujukan kepada orang yang
percaya dengan nabi dari Bani Israil seperti ‗Abdullah ibn Salām dan
selainnya, bahwa mereka pergi untuk mengagungkan hari sabtu dan
membenci daging unta, dan mereka berkehendak menggunakan sesuatu
dari hukum taurat dan mencampur hukum taurat dengan hukum Islam,
maka turunlah ayat ini kepada mereka. Maka menurut Ibnu ‗Atiyyah,
kāffah dalam konteks ini yaitu untuk memisahkan bagian syariat belaka.‖
―Ibnu ‗Abbas berkata, ayat ini diturunkan kepada Ahl al-Kitab. Bermakna
―Hai orang-orang yang beriman kepada Musa dan Isa, masuklah kalian
ke dalam Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW. secara keseluruhan.‖
Menurut Ibnu ‗Atiyyah, kāffah dalam konteks ini berfungsi untuk
memisahkan bagian syariat, dan ditujukan kepada orang yang memandang
kata al-silm dengan Islam. Dan orang yang memandang kāffah dengan al-
musālamāh ia berkata: mereka diperintahkan untuk masuk ke dalam
ketaataan mereka yang masih bersifat terbagi-bagi, maka kāffah dalam
konteks tersebut maknanya adalah jamȋ„ān (seluruhnya). Kemudian
menurut Ibnu ‗Atiyyah, yang dimaksud kāffah dengan arti jamā„ah
(kelompok) yaitu saling mencegah terjadi pertentangan.‖32
Sementara itu dalam menafsirkan kata kāffah, al-Rāzī mengutip pendapat

Imam Qaffāl. Ia berkata, kāffah itu maknanya kembali kepada orang-orang yang

diperintah untuk masuk, yaitu masuklah kalian secara berjama‗ah di dalam Islam,

janganlah kalian berpecah-belah dan janganlah kalian berselisih. Imam Qotrab

berkata: orang-orang Arab mengatakan, ―saya melihat satu kaum berkumpul yang

punya komunitas, dan saya melihat perempuan-perempuan berkumpul.‖ Kāffah

bisa juga dikembalikan pada Islam yaitu masuklah kalian semua ke dalam Islam

seluruhnya, yaitu seluruh syariatnya. Al-Wāhidī berkata, ini tepatnya jika tafsir

31
Abī Hayyān al-Andalūsī, Al-Bahr al-Muhīt, (Bairūt: Dūr al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1993)
Cet. I Juz II, H. 118.
32
Ibnu ‗Atiyyah al-Andalūsī, Al-Muharrar al-Wajīz īȋ Tafsīr al-Kitāb al-„Azīz, (Bairūt:
Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2001) Juz I h. 283.
39

secara zahir karena memang mereka diperintahkan untuk melakukan semuanya,

artinya makna kāffah dalam lughah itu pencegahan, dikatakan: ‫دففك اٍالف يع ءىسال‬

ٍ‫― رعٍه ا‬saya mencegah fulan dari kejelekkan artinya saya mencegahnya.‖33

Kata ‫( حفاك‬kāffah) sendiri dalam kamus al-Munawwir bermakna seluruhnya

(tanpa terkecuali).34 Dalam menafsirkan kata kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208, al-

Suyūtī mengatakan bahwa kata ini di-nashab-kan karena menjadi hāl dari kata al-

silm,35 atau dari dhamir orang-orang yang beriman. Kata ini menurut al-Qurtȗbȋ

diambil dari ucapan mereka ―kafaftu,‖ yakni mana„tu (aku mencegah).

Maksudnya, tidak ada seorang pun dari kalian yang tercegah atau terlarang untuk

masuk ke dalam Islam. Itu karena makna al-kaff adalah al-man„u (larangan).36

Dalam tinjauan al-Qur‘an, terma ‫( حفاك‬kāffah) terdapat empat kali dipakai

dalam al-Qur‘an. Dua kali disebut dalam QS. Al-Taubah [9]: 36), yaitu:

“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun


memerangi kamu semuanya.‖ (QS. al-Taubah [9]: 36)

33
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, (Bairūt: Dār al-Fikr, 1981) Juz V, h. 226.
Lihat juga Ibnu Manzūr, Lisān al-„Arab, h. 303.
34
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997) cet ke-XIV, h. 1220. Lihat juga Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam
al-Qur‟ān, Juz II, h.394.
35
Jalāl al-Dīn Muẖammad ibn Ahmad Muẖammad al-Maẖallī dan Jalāl al-Dīn ‗Abd al-
Rahman ibn Abī Bakr al-Suyūṯī, Tafsīr al-Jalālaīn, (Damasykus: Dār Ibn Katsīr, t.th) Juz II, h. 33.
Sebagian mufassir mengatakan kāffah menjadi hāl dari udkhulū. Lihat Al-Hā fiz ‗Imaddudīn Abī
al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm, (Cairo: Mu‘assasah Qurṯubah,
2000) Juz II, Cet. I, h. 273.
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 394. Lihat juga Imām al-Alūsī al-
Baghdādī, Rūẖ al-Ma‟ānȋ fī Tafsīr al-Qur„ān al-„Aẕīm wa al-Sab„ al-Matsānȋ, h. 97.
40

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).‖
(QS. al-Taubah [9]: 122)

―Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia.‖ (QS.
al-Saba‘ [34]: 28)

3. Islam Kāffah
Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa Istilah Islam

kāffah diangkat dari kata ‫( اىلخدا نلسال ٍف حفاك‬masuklah kalian ke dalam Islam secara

kāffah).37 Islam kāffah memiliki makna mengamalkan syariat Islam dengan baik

dan benar sesuai dengan tuntunan yang diajarkan.38 Tidak dibenarkan percaya dan

mengamalkan sebagian ajarannya dan menolak atau mengabaikan sebagian ajaran

Islam yang lain.39 Pemahaman demikian tidak bisa lepas dari penafsiran terhadap

kata al-silm kāffah yang terkandung dalam ayat tersebut.

Islam kāffah sebagaimana yang dilansir situs Assunah maknanya adalah

Islam secara menyeluruh, dengan seluruh aspeknya, seluruh sisinya, yang terkait

urusan iman, atau terkait dengan akhlak, atau terkait dengan ibadah, atau terkait

dengan mu‗amalah, atau terkait dengan urusan pribadi, rumah tangga, masyarakat,

37
Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam, (Jurnal Karsa, Vol IX, 2006) h. 809.
38
Cecep Supriadi, Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan Keindonesiaan,
(Jurnal Kalimah, Vol. 13, No. 1, Maret 2015) h. 204.
39
Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam, h. 809.
41

negara dan yang lainnya yang sudah diatur dalam Islam. 40 Semua masuk dalam

perintah ini: ―Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kepada Islam secara

kāffah (menyeluruh).41

Perspektif lain Islam kāffah dimaknai secara ritual. Dalam pandangan ini,

muslim yang kāffah tidak berhenti pada ritual-ritual keagamaan saja, tetapi sudah

menjajaki substansi dari ritual-ritual tersebut. Seperti seorang Muslim yang rajin

shalat berjamaah di masjid, rajin i„tikaf, rajin berpuasa sunnah, rajin ―memutar‖

tasbih, tetapi perilakunya kurang baik, misalnya, sering menggunjing dan lain-

lain. Itu terjadi karena ibadah ritual yang ia lakukan tidak sampai pada

substansinya.42

Sebagian yang lain memandang QS. Al-Baqarah [2]: 208,

mengindikasikan hanya ada dua buah pilihan. Pertama, masuk ke dalam Islam

secara keseluruhan dengan melaksanakan ajarannya yang komprehensif dan

paripurna, atau apabila tidak mau melaksanakan ajaran Islam secara keseluruhan,

maka yang ada hanya pilihan kedua, yaitu mengikuti langkah-langkah setan

dengan melakukan pembeda-bedaan ajaran Islam atau meremehkan sebagian

ajarannya.43

40
Tanpa penulis, Islam Kaffah. Di unduh dari http://www.assunnah.mobie.in/. Diakses
pada tanggal 1/November/2016.
41
Tanpa penulis, Memahami dan Mengamalkan Islam Secara Kaffah Solusi Satu-satunya
Bagi Umat Islam, di unduh dari http://kajiansalafyui.wordpress.com/2009/06/06/ Diakses pada
tanggal 1/November/2016.
42
Nanang Rosyidi, Apa itu Muslim Yang Kaffah, di unduh dari
http://m.kompasiana.com/nanagrosidi/. Diakses pada tanggal 1/November/2016.
43
Muhammad Nur Ichwan Muslim, Kaffah dalam Beragama, di unduh dari
http://muslim.or.id. Diakses pada tanggal 1/November/2016.
42

Tulisan Muhammad Shiddiq al-Jawi dengan judul ―Menjadi Muslim

Kaffah: Menerjunkan Diri dalam Syariat Islam Secara Total,” menjelaskan

bahwa seorang Muslim wajib masuk Islam secara kāffah, yaitu masuk ke dalam

segala syariat dan hukum Islam secara keseluruhan, bukan berislam sebagian dan

mengambil selain syariat Islam untuk sebagian lainnya. Lebih tegas Shiddiq

mengatakan merupakan kesesatan yang nyata, apabila ada orang yang mengaku

dirinya Islam, namun mereka mengingkari atau mencampakkan sebagian syari‗at

Islam dari realitas kehidupan—seperti mengikuti sekulerisme.44

Pemahaman tentang Islam yang menyeluruh ini mencapai titik kulminasi

(tertinggi) ketika Islam dipandang bukan hanya persoalan pribadi melainkan juga

berbaur dengan struktur negara—sesuai dengan apa yang Bassam Tibi katakan

bahwa ciri-ciri kalangan Islamis adalah bersifat totaliter. 45 Menurut Nadirsyah

Hosen, bagi mereka yang berpandangan bahwa Islam itu mewajibkan bentuk dan

sistem ketatanegaraan tertentu, maka berislam secara kāffah artinya mendukung

dan berjuang untuk menegakkan sistem dan bentuk ketatanegaraan tersebut.

44
Muhammad Shiddiq al-Jawi, Menjadi Muslim Kaffah Menerjunkan Diri Dalam Syariat
Islam Secara Total, di unduh dari http://jasawebenigma.wordpress.com/2012/12/13. Diakses pada
tanggal 28/November/2016.
45
Argumentasi yang ditulis Bassam Tibi sebagai respon terhadap slogan kalangan Islamis
yang mengatakan al-Islām huwa al-hāll (Islam adalah solusi). Dalam menyikapi hal demikian
Bassam Tibi mengatakan bahwa Islam bukanlah solusi, setidaknya bukan solusi politik bagi krisis
pembangunan yang ada dan bagi krisis pemerintahan politik rezim otoriter. Kalangan Islamis
sudah tepat merujuk pada krisis yang ada (dalam pembangunan, ekonomi, legitimasi kekuasaan,
dan alienasi budaya), tetapi solusi yang mereka hadirkan, ketika mengambil bentuk konkret
sebagai negara syariat, malah menunjuk kepada pemerintahan totaliter. Jika mereka merebut
kekuasaan, baik melalui jihad maupun melalui kotak suara, mereka tidak berada dalam posisi
untuk memecahkan masalah-masalah masyarakat Islam. Sebaliknya, Islamisme menciptakan suatu
kode perilaku eksklusif yang kaku dengan maksud memaksa orang menjadi patuh, bukan
menggunakan syariat sebagai ―hukum‖ tetapi menyatakan hukum dari gerakan tersebut agar
menjadi syariat. Pemaksaan ini yang menurut Tibi merupakan ciri-ciri totaliter yang tidak pernah
ada dalam Islam tradisional. Bassam Tibi, Islam dan Islamisme. Penerjemah: Alfathri Adlin,
(Bandung: Mizan, 2016) h. 225.
43

Sebaliknya bagi mereka yang berpandangan bahwa Islam itu tidak mewajibkan

secara syar„i akan bentuk dan sistem ketatanegaraan tertentu, maka mereka tidak

merasa berkurang ke-kāffah-an mereka dalam ber-islam hanya karena tidak

mendukung sistem dan bentuk ketatanegaraan tersebut.46

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah Islam kāffah

merujuk kepada dua perspektif. Pertama, Islam kāffah dipahami secara moderat

dengan mengandaikan menjadi seorang muslim yang kāffah pada persoalan

pribadi. Kedua, Islam kāffah yang dipahami sebagai suatu gagasan yang

menghendaki Islam tidak hanya memperhatikan persoalan pribadi, juga

mengandaikan Islam diterapkan secara menyeluruh (kāffah) meliputi struktur

kenegaraan. Namun, dalam penelitian ini, penulis hendak mengurai Islam kāffah

dalam perspektif kedua.

B. Pandangan Ulama Terhadap Islam Kāffah

Quraish Shihab mengatakan dalam tafsirnya bahwa kata al-silm, yang

diterjemahkan dengan kedamaian atau Islam, makna dasarnya adalah damai atau

tidak mengganggu. 47 Kedamaian oleh ayat ini diibaratkan berada dalam suatu

wadah yang dipahami dari kata fī, yakni dalam; orang yang beriman diminta

untuk memasukkan totalitas dirinya ke dalam wadah itu secara menyeluruh

sehingga semua kegiatannya berada dalam wadah atau koridor kedamaian. Ia

damai dengan dirinya, keluarganya, dengan seluruh manusia, binatang, dan

46
Nadirsyah Husein, Islam Kaffah, di unduh dari
http://media.isnet.org/kmi/isnet/Nadirsyah/. Diakses pada tanggal 1/November/2016.
47
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, h. 543.
44

tumbuh-tumbuhan serta alam raya, walhasil kāffah, yakni secara menyeluruh

tanpa kecuali.48

Lebih lanjut Shihab menegaskan bahwa ayat ini menuntut setiap yang

beriman agar melaksanakan seluruh ajaran Islam, jangan hanya percaya dan

mengamalkan sebagian ajarannya dan menolak atau mengabaikan sebagian yang

lain. Ia dapat juga bermakna masuklah kamu semua kāffah tanpa kecuali, jangan

seorang pun di antara kamu yang tidak masuk ke dalam kedamaian/Islam.

Berbeda dengan Quraish Shihab, dalam menafsirkan ayat tersebut Ibnu

Katsīr mengatakan bahwa Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang

beriman kepada-Nya dan membenarkan Rasul-Nya, hendaklah mereka berpegang

kepada tali Islam dan semua syariatnya serta mengamalkan semua perintahnya

dan meninggalkan semua larangannya dengan segala kemampuan yang ada pada

mereka.49

Al-‗Aufi sebagaimana Ibnu Katsīr kutip dalam penafsirannya mengatakan

bahwasannya maknanya adalah ‗Islam‘ (Diriwayatkan dari Ibnu ‗Abbās, Mujāhid,

Tawūs, Al-Dhahāk, Qatādah, Al-Suddi, dan Ibnu Zaid), sementara al-Dhahāk

mengatakan ‗ia bermakna ketaatan‘ (Diriwayatkan dari Ibnu ‗Abbās, Abū al-

‗Aliyah, dan Rabī‗ bin Anas). Mengenai firman-Nya ‗kāffah‟, Ibnu ‗Abbas,

Mujāhid, Abū al-‗Aliyah, ‗Ikrimah, Rabī‗ bin Anas, Al-Suddi, Muqātil bin

Hayyān, Qatādah, dan al-Dhahāk mengatakan ‗maknanya berarti jamī„ān

48
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, h.
544.
49
Al-Hā fiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-
„Aẕīm, h. 273.
45

(keseluruhan),‘ sementara Mujāhid mengatakan, ―Artinya, kerjakanlah semua

amal shalih dan segala macam kebajikan.‖ Oleh karena itu, makna

keseluruhannya adalah bahwa mereka seluruhnya diperintahkan untuk

mengerjakan semua cabang iman dan syariat Islam, yang jumlahnya sangat

banyak, sesuai dengan kemampuan mereka.50

Berbeda dengan mufassir lainnya, dengan perspektif yang berbeda

TabāTabā‘ī dalam menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa ayat yā ayyuha

alladzīna āmanū merujuk firman-Nya: ‫شص ةٍشق هللا‬ ‫‖ لاا ىا‬ingatlah,

sesungguhnya pertolongan Allah itu deket.‖ QS. Al-Baqarah [2]: 214. Tujuh ayat

sempurna yang menjelaskan suatu cara saling menjaga persatuan agama di dalam

komunitas manusia. Cara tersebut yaitu dengan masuk ke dalam al-silm

(perdamaian). Secara ringkas Allah telah menjelaskan dari ucapan dan sesuatu

yang Allah pandang dari suatu perbuatan. Sesugguhnya Allah tidak menghendaki

perpecahan dalam satu agama, dan tidak mengendalikan kebahagian di dunia dan

di akhirat. Tidak ada solusi kerusakan bagi suatu kaum kecuali karena keluar dari

perdamaian dan menggunakan ayat-ayat Allah dengan merubahnya, dan

menempatkan ayat tidak sesuai dengan tempatnya. Hal seperti itu bisa disaksikan

dalam Bani Israil dan selain mereka dari umat-umat masa lampau dan yang

membuat pandangannya di dalam umat. Akan tetapi Allah telah menjanjikan

mereka dengan pertolongan: alā inna nashra Allah qarīb.

50
Al-Hā fiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-
„Aẕīm, h. 273.
46

Sementara firman-Nya ‫اٍ اهٍا يزال اىٍهآ فٍ نلسلا حفاك‬, al-silm yakni Islam

dan berserah diri maknanya adalah satu, sementara kāffah sebagai kalimat ta‟kid

(penguat) bermakna jamī„ān (seluruhnya). Ketika khitab tersebut ditujukan

kepada orang-orang mukmin, sungguh mereka telah diperintahkan untuk masuk

ke dalam Islam secara menyeluruh. Bentuk perintah tersebut berbentuk jamak,

setiap orang mendapatkan bagian-bagiannya. Perintah tersebut merupakan wajib

bagi setiap mukmin dan juga wajib bagi semuanya. Bahwasannya mereka tidak

terjadi perselisihan di dalam perintah tersebut, dan mereka berserah diri terhadap

perintah Allah dan Rasul-Nya SAW.51

Khitab ayat tersebut juga ditujukan kepada orang-orang mukmin secara

khusus, maka al-silm tersebut ditujukan kepada orang-orang yang diajak kepada

jalan Allah yaitu berserah kepada-Nya setelah iman kepada-Nya, maka wajib bagi

setiap orang-orang mukmin untuk memasrahkan kamu sekalian terhadap perintah

kepada-Nya. Dan janganlah kalian semua mentaati mereka dengan dalih

perdamaian yang menggunakan pendapat yang diktator (istibdād). Dan kalian

semua tidak meletakkan bagi diri kalian di samping mereka dengan cara

mengikutinya dari selain apa yang sudah Allah dan Rasulnya jelaskan. Maka

tidaklah rusak suatu kaum kecuali dengan mengikuti hawa nafsu dan ucapan yang

didasari tanpa ilmu. Dan suatu kaum tidak akan merusak karena kebenaran hidup

51
Muhammad Husaīn al-TabāTabā‘ī, Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān, (Teheran: Dār al-
Kutub al-Islamiyyah, 1973) Cet. II Juz II, h. 103.
47

dan kebahagiaan yang sesungguhnya dari kaum tersebut kecuali dari ikhtilāf

(perbedaan).52

Pada tataran bahasa, kata al-silm bisa dibaca dengan harakat fathah pada

sin (yakni al-salmu) dan bisa juga dengan harakat kasrah (yakni al-silmi). Al-

Kisā‘i mengatakan bahwa maknanya adalah sama. Demikian juga menurut ulama

Bashrah. Keduanya bisa dimaknai al-islām (pasrah) dan al-musȃlamȃh

(perdamaian). Kata kāffah menurut Imam al-Syaukani adalah hāl dari al-silm atau

dari dhamir kalimat ―orang-orang beriman‖.

Imam al-Syaukani menjelaskan lebih lanjut, berdasarkan makna yang

pertama adalah: Janganlah seorang pun dari kalian keluar. Sedangkan yang kedua:

janganlah keluar sedikit pun dari Islam, akan tetapi masukilah seluruhnya, yakni:

masuklah ke dalam semua karakter Islam. Kata kāffah merupakan derivasi dari

kata: kafaftu yang artinya mencegah, yakni: Janganlah seorang pun dari kalian

yang enggan memasuki Islam. Al-kaffu artinya al-man„u (mencegah).53

Selain itu, al-silm dengan kasrah dan fathah yakni al-istislām

(menyerahkan diri) dan ketaatan, oleh karena itu dimaknai dengan perdamaian

dan Islam. Kāffah yaitu isim dalam bentuk makna jumlah, karenanya mencegah

beberapa bagian dari perpecahan. 54 Lebih lanjut Wahbah al-Zuhailī dalam

tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud al-silm dalam QS. Al-Baqarah [2]:

208 yakni Islam, memuliakan orang yang beriman dengan menjadikan Islam
52
Muhammad Husaīn al-TabāTabā‘ī, Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān, h. 103.
53
Imam Al-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) Cet. I, Jilid I,
h. 813.
54
Wahbah al-Zuhailī, Al-Tafsīr al-Wasīt, (Damasykus: Dār al-Fikr, 2001) Cet. I, Juz I, h.
103.
48

sebagai agama berupa melakukan amal dengan seluruh cabangnya dan hukum-

hukumnya. Dan tidak beriman seseorang yang beramal dengan sebagian

hukumnya seperti shalat, puasa, dan meninggalkan sebagian hukum yang lain

seperti zakat, jihad dan berhukum dengan kitab Allah dan batasan-batasannya, dan

juga meninggalkan keharaman seluruhnya dan mencegah khamr (mabuk), riba,

zina, menyuap, dan kezaliman.55

Makna menyerahkan diri kalian semua kepada Allah dan mentaati-Nya

tersebut menurut al-Zuhailī dalam bentuk jumlah, baik yang zahir maupun batin.

Dan khitab yang ditujukan kepada orang-orang munafik, atau masuklah kalian

semua ke dalam Islam seluruhnya dan janganlah kalian semua mencampurkan

Islam dengan selainnya. Sedangkan khitab yang ditujukan untuk orang mukmin

Ahl al-Kitab, bahwasannya setelah masuk Islam mereka masih mengagungkan

hari sabtu dan mengharamkan unta dan susunya. Atau di dalam syariat Allah

seluruhnya dengan iman terhadap nabi-nabi dan kitab-kitabnya secara

menyeluruh.56

Berbeda dengan al-Zuhailī, Sayyid Qutb menjelaskan secara tegas dalam

tafsirnya, ia mengatakan, ―ketika menyeru orang-orang yang beriman agar masuk

ke dalam kedamaian (Islam) secara total, Allah SWT memperingatkan mereka

dari mengikuti langkah-langkah setan. Petunjuk atau kesesatan. Islam atau

jahiliyah. Jalan Allah SWT atau jalan setan. Petunjuk Allah SWT atau kesesatan

setan. Dengan ketegasan seperti ini seharusnya seorang muslim bisa mengetahui

55
Wahbah al-Zuhailī, Al-Tafsīr al-Wasīt, h. 103.
56
Muhammad al-Syairazī al-Baidhāwī, Tafsīr al-Baidhāwī al-Musammā Anwār al-Tanzīl
wa Asrār al-Ta‟wīl, (Cairo: Al-Maktabah al-Taufȋqiyyah, t.th) Juz I, h. 146.
49

sikapnya, sehingga tidak terombang-ambing, tidak ragu-ragu, dan tidak bingung

di antara berbagai jalan dan dua arah.57

Sesungguhnya di sana tidak ada beraneka ragam manhaj (metodologi)

yang harus dipilih salah satunya oleh seorang mukmin, atau dicampur aduk salah

satunya dengan yang lain. Tidak! Sesungguhnya orang yang tidak masuk ke

dalam kedamaian (Islam) secara total, orang yang tidak menyerahkan dirinya

secara murni kepada Allah SWT dan syariat-Nya, orang yang tidak melepaskan

semua tashawwur (konsepsi), manhaj dan syariat lain, sesungguhnya ia berada di

jalan setan dan berjalan di atas langkah-langkah setan.58

Di sana tidak ada solusi tengah, tidak ada manjah selain Islam, tidak ada

langkah setengah-setengah! Di sana hanya ada kebenaran dan kebatilan. Petunjuk

dan kesesatan. Islam dan jahiliyah. Manhaj Allah atau kesesatan setan. Allah SWT

menyeru orang-orang yang beriman pada bagian pertama untuk masuk ke dalam

kedamaian (Islam) secara total; dan memperingatkan pada bagian kedua dari

mengikuti langkah-langkah setan. Kemudian hati dan perasaan mereka tersadar

dan rasa khawatir mereka tersentak dengan peringatan tentang permusuhan setan

terhadap mereka tersebut. Permusuhan yang sangat jelas lagi gamblang, yang

tidak akan pernah dilupakan kecuali oleh orang yang lengah, sedangkan

kelengahan memang tidak pernah terjadi bersama keimanan. 59

Berbeda dengan mufassir lainnya, al-Rāzī mempunyai pandangan

tersendiri. Menurutnya yang pertama, ayat yā ayyuhā alladzīna āmanū,

57
Sayyid Qutb, Fī Zilāl al-Qur‟ān, (Bairūt: Dār al-Syūrūq, 1998) Juz I-IV, h. 211.
58
Sayyid Qutb Fī Zilāl al-Qur‟ān, h. 211.
59
Sayyid Qutb, Fī Zilāl al-Qur‟ān, h. 211.
50

mengisyaratkan pengetahuan dan kepercayaan di dalam hati, dan ayat udkhulū fī

al-silm kāffah, mengisyaratkan untuk meninggalkan segala dosa dan kemaksiatan.

Karena maksiat itu bertentangan dengan Allah dan Rasul-Nya. Sehingga

meninggalkannya disebut dengan al-silm (selamat). Atau bisa jadi yang dimaksud

ayat itu, jadilah kalian semua orang-orang yang meyakini Allah, dan

membuktikan dengan ketaatan dan meninggalkan sesuatu yang diharamkan.

Karena menurut madzhab kami, iman itu masih akan tetap ada meskipun iman

tersebut disibukkan dengan kemaksiatan. Inilah takwilan yang nyata.

Kedua, yang dimaksud dengan al-silm yaitu keadaan seorang hamba yang

ridha dan hatinya tidak ada ketertekanan. Sebagaimana dalam sebuah hadits

diriwayatkan, ―Ridha terhadap takdir itu adalah pintu Allah yang paling agung.”

Ketiga, yang dimaksud dengan al-silm yaitu meninggalkan sifat balas dendam,

sebagaimana yang dikatakan firman-Nya, ―Ketika kalian berjalan, berjalanlah

kalian dengan mulia, ambillah maaf, dan perintahkanlah sesuatu yang baik, dan

berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.‖ Menurut al-Rāzī, inilah yang

dikatakan dalam penafsiran ayat tersebut.60

Dalam menyikapi QS. Al-Baqarah [2]: 208, al-Sa‗di menafsirkan bahwa

ini merupakan perintah Allah SWT kepada orang-orang yang beriman untuk

masuk ―al-silm kāffah,‖ ke dalam Islam keseluruhan. Maksudnya, dalam seluruh

syariat-syariat agama, mereka tidak meninggalkan sesuatu pun darinya, dan agar

mereka tidak seperti orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.

Apabila hawa nafsunya itu sejalan dengan perkara yang disyariatkan, maka dia

60
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, h. 225.
51

kerjakan, namun bila bertentangan dengannya, maka dia tinggalkan. Yang wajib

adalah menundukkan hawa nafsunya kepada Agama, dan ia melakukan segala

perbuatan baik dengan segala kemampuannya, dan apa yang tidak mampu

dilakukan, maka dia berusaha dan berniat melakukannya dan menjangkaunya

dengan niatnya tersebut. Ketika masuk ke dalam Islam dengan keseluruhan, maka

tidak mungkin dan tidak dapat dibayangkan terjadi, kecuali bertentangan dengan

jalan-jalan setan.61

C. Cara Pandang Islam Kāffah

Di kalangan umat Islam, sampai sekarang sangat akrab dikenal doktrin

yang berbunyi al-Islām huwa al-Dīn wa al-Daulah (Islam adalah agama dan

negara).62 Islam di sini menurut Komaruddin Hidayat adalah agama dan sekaligus

kekuasaan. Sehingga hubungan antara agama dan negara, antara aspek ritual dan

politik, sangat erat kaitannya, bahkan tidak bisa dipisahkan.63 Islam bagi sebagian

pemeluknya merupakan agama yang kāffah (holistis dan universal), yang

memiliki sistem yang melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia, tak terkecuali

urusan negara.64 Sehubungan dengan ini menurut Munawir Sjadzali, di kalangan

61
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‗di Zulharman, Tafsir Al-Qur‟an, Penerjemah:
Muhammad Iqbal, Izzudin Karimi, Muhammad Ashim, Mustofa Aini, Zuhdi Amin, (Jakarta:
Darul Haq, 2015) Cet. VI, Jilid I, h. 356.
62
Zaprulkhan, Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, (Jurnal Walisongo,
2014) Vol. 22, h. 106. Selain doktrin tersebut tumbuh doktrin lain yang mengemuka di antaranya,
―Islam sebuah alternatif‖ (al-Islām huwa al-hāl), menegakkan Syariat Islam (Tatbīq al-Syarī„ah),
mendirikan negara Islam (al-Khilāfah al-Islāmiyyah), Zuhairi Misrawi dalam kata pengantar buku
Fundamentalisme Progressif: Era Baru Dunia Islam, h. 19. Islam adalah akidah dan syariat,
agama dan negara, metode dan budaya serta tata cara hidup. Muhammad Rasyād ‗Abd al-‗Azīz
Mahmūd, Atsar al-Fikr al-„Ulmānī fī al-Mujtama„ al-Islāmī, (Cairo: Dār al-Muhadditstsīn, 1988)
h. 14.
63
Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peradaban Islam
di Panggung Sejarah, (Jakara: Paramadina, 2003) h. 93.
64
Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam terhadap Isu-Isu
Aktual, (Jakarta: Serambi, 2014) h. 74. Misalnya dalam pandangan Gamal al-Banna, kata negara
52

umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam

dan ketatanegaraan.

Pertama, aliran yang berpendirian Islam bukanlah semata-mata agama

dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan

Tuhan. Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan

pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara.

Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem

yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan oleh empat al-Khulafah al-

Rasyidin.65

Kedua, aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam

pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan.

Menurut aliran ini, Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya

Rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada

kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur. Nabi tidak

pernah mendirikan dan mengepalai satu negara. Agama adalah sesuatu yang

(daulah) tidak ditemukan dalam al-Qur‘an, melainkan hanya terdapat dalam satu tempat saja dan
itu pun berkenaan dengan harta rampasan perang: ―agar tidak ada ‗penguasaan‘orang-orang kaya
dari kalian‖ dan satu lagi kata ―Nudawiluha‖ pecahan dari kata ―Daulah‖ dalam ayat: ―watilka al-
ayyamu nudawiluha baina al-nas‖. Sementara, dalam kamus manapun tidak ada yang memberikan
makna terhadap kata ―Daulah‖, kecuali dengan makna yang ada pada kandungan ayat al-Qur‘an
tersebut, yaitu dengan makna ―Ghalabah‖, yaitu ―penguasaan‖, atau mengalahkan. Lihat Gamal
al-Banna, Relasi Agama & Negara, h. 6.
65
Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI
Press, 1993) Cet. V, h. 1. Menurut Ali Masykur Musa, kelompok ini terdiri kelompok tradisionalis
dan fundamentalis. Faksi tradisionalis yakni mereka yang tetap mempertahankan tradisi praktik
dan tradsisi pemikiran politik Islam klasik dan pertengahan. Tokoh faksi ini seperti Rasyid Ridha.
Sementara faksi fundamentalis adalah mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial
dengan kembali kepada ajaran Islam secara total dan menolak sistem yang buat manusia. Tokoh-
tokohnya seperti Sayyid Quṯb, al-Maudūdī, dan Hasan al-Turabi. Lihat Ali Masykur Musa,
Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam terhadap Isu-Isu Aktual, h. 38.
53

terpisah sama sekali dengan negara. Agama adalah urusan pemeluknya masing-

masing yang tidak ada sangkut pautnya dengan negara. 66

Ketiga, aliran yang menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam

pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha

Penciptaannya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem

ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan

bernegara. 67 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa cara pandang yang

digunakan oleh Islam kāffah ialah aliran yang mengatakan bahwa Islam adalah

sebuah perangkat alat yang lengkap meliputi berbagai aspek termasuk kehidupan

negara.

Setelah melihat pemaparan terkait term Islam dan kāffah di atas, dapat

disimpulkan perdebatan tersebut bermuara pada dua kecenderungan yakni

bagaimana Islam ditafsirkan secara formalistik dan Islam ditafsirkan secara nilai

(etika). Pertama, individu atau kelompok Islam yang menghendaki syariat Islam

diterapkan secara kāffah dalam seluruh sendi kehidupan. Sementara yang kedua

adalah anti-tesis dari poin pertama yakni menolak pemahaman Islam kāffah dalam

ranah institusi. Kecenderungan yang ditempuh oleh kelompok kedua adalah Islam

66
Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, h. 1.
Kelompok sekuler atau liberal yang ingin memisahkan antara Islam dan negara. Pengusung
kelompok ini adalah Ṯaha Husein dan ‗Ali ‗Abd al-Rāziq. Lihat Ali Masykur Musa, Membumikan
Islam Nusantara: Respon Islam terhadap Isu-Isu Aktual, (Jakarta: Serambi, 2014) h. 38.
67
Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI
Press, 1993), cet ke-5, h. 2. Ali Masykur Musa mengelompokkannya ke dalam kelompok modernis
dan neomodernis, dalam pengertian bahwa Islam mengatur masalah keduniaan atau
kemasyarakatan secara garis besarnya saja. Sementara secara teknis terbukti untuk mengadopsi
sistem lain yang dalam hal ini adalah sistem Barat yang telah menunjukkan kelebihannya. Di
antara tokoh kelompok ini adalah Muhammad ‗Abduh, Husein Haikal, dan Muhammad Asad.
Lihat Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam terhadap Isu-Isu Aktual,
h. 38.
54

yang mengedapankan nilai seperti kepasrahan, ketundukan serta menghendaki

perdamaian secara kāffah (menyeluruh) dengan menyesuaikan terhadap prinsip-

prinsip demokrasi dan pancasila seperti menghargai perbedaan, menegakkan

keadilan, dan menjunjung tinggi toleransi beragama.


BAB III

PENAFSIRAN KLASIK DAN MODERN ATAS AYAT AL-SILM

KĀFFAH QS. AL-BAQARAH [2]: 208

Isu Islam kāffah menjadi salah satu isu terpanas dalam pemikiran Islam

kontemporer—khususnya di Indonesia. Jika dilihat dari sudut penafsiran itu

sendiri masih terjadi ikhtilāf—sebagian mengartikan dengan Islam, ketaatan,

sebagian yang lain mengartikan dengan perdamaian. Misalnya sebagian mufassir

klasik menilai bahwa ayat tersebut sebagai perintah untuk masuk ke dalam agama

Islam secara komprehensif. Senada dengan itu, sebagian mufassir modern juga

menilai QS. Al-Baqarah [2]: 208, sebagai bentuk perintah untuk masuk ke dalam

Islam secara total dan juga dimaknai dengan perdamaian.

Namun, antara mufassir klasik dan modern terdapat perbedaan pendekatan

yang digunakan. Bila sebagian mufassir klasik memfokuskan pada persoalan


1 2
tekstualis (bahasa, atsar dan qira‘at), sementara mufassir modern lebih

1
Penulis memakai istilah Abdullah Saeed dalam menganalisis pendekatan tafsir. Menurut
Saeed, pendekatan testual menekankan pemahaman teks berbasis riwayat, yang sering berbasis
pada pembacaan teks secara literal. Tekanan kepada tekstualisme dalam tafsir (yang saya rujuk
sebagai ―pendekatan tekstual‖) bertujuan untuk mempertahankan pemahaman berbasis riwayat
setepat mungkin dan mendukung pemahaman itu dengan mengutip serangkaian teks, misalnya teks
al-Qur‘an dan hadis, serta atsar (pendapat para teolog, ulama fikih dan mufassir generasi awal).
Lihat Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015) h. 38.
2
Atsar adalah apa yang diriwayatkan dari Rasul SAW. dan apa yang diriwayatkan dari
para sahabat atau dari tabi‗in secara mauqūf kepada mereka atau secara marfū‗ (kepada Nabi).
Lihat Musa‗id Muslim ‗Ali Ja‗far, Manāhij al-Mufassirīn, (Dār al-Ma‗rifah, 1980) h. 33. Para
ulama berbeda pendapat dalam merujuk pada tafsir tabi ‗in dan mengambil perkataan mereka

55
56

menekankan konteks, serta meminimalisir persoalan penafsiran secara tekstual

sebagaimana yang dilakukan mayoritas mufassir klasik. Berangkat dari hal

tersebut, maka pada bab ini penulis akan mengkaji penafsiran atas ayat al-Qur‘an

yang menjadi fokus perdebatan mengenai isu seputar Islam kāffah yang lantas
sangat akrab dalam gerakan keagamaan Islam era kontemporer. Al-Qur‘an

menyatakan:

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam al-silm


keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 208)

Fokus bab ini adalah bagian ayat al-silm kāffah dan tidak mendiskusikan

penggalan ayat setelahnya. Pembatasan lainnya adalah dalam ranah penafsiran.

Dalam mengkaji kata tersebut, penulis menggunakan penafsiran klasik dan

modern. Mufassir klasik direpresentasikan oleh al-Ṯabarī dan al-Qurṯubī,

sementara penafsiran modern direpresentasikan oleh Muẖammad ‗Abduh dan al-

Marāghī.

A. Asbāb al-Nuzūl QS. Al-Baqarah [2]: 208

Al-Qur‘an berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dalam menghadapi

berbagai situasi-kondisi dan persoalan hidup. Ayat-ayat tersebut diturunkan dalam

apabila tidak diriwayatkan dalam riwayat tersebut sesuatu dari Rasul SAW. atau dari para sahabat.
Mayoritas para mufassir membolehkan mengambil ucapan tab‘in dalam penafsiran, karena mereka
bertemu dan bahwa mereka mayoritas tafsirnya dari para sahabat. Lihat Muẖammad Husain al-
Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Kuwaīt: Dār al-Nawādir, 2010) Jilid I, h. 128.
57

keadaan dan waktu yang berbeda sesuai dengan situasi-kondisi yang dihadapi oleh

orang yang menerimanya yaitu Nabi Muhammad SAW. Kata asbāb (tunggal:

sabab) berarti alasan atau sebab.3 Jadi, asbāb al-nuzūl berarti pengetahuan tentang

sebab-sebab diturunkannya sebuah ayat. 4 Adapun sebab turunnya ayat ini,

terdapat beberapa riwayat sebagai berikut:

Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Ikrimah, dia berkata, ―Abdullah bin Salām,

Tsa‗labah, Ibnu Yamin, Asad bin Ka‗āb, Usaid bin Ka‗āb, Sa‗ad bin ‗Amr dan

Qais bin Zaid, semuanya adalah orang-orang Yahudi. Mereka berkata pada

Rasulullah SAW:

،‫ اٍعذف دثسٍلف ف! ىإو جاسىرلا بارك هللا‬،ٍٍ‫ مىٍ دثسلا مىٍ اٍك وظع‬،‫لىسس هللا‬
ٍ‫" ا اهٍأ يٍزال اىهآ اىلخدا فٍ نلسلا حفاك لاو اىعثرذ ا‬:‫اٍعذف نقٍلف للالت اهت ! دلضف‬
.‫خاىطخ ىاطٍشال‬
―Wahai Rasulullah, hari Sabtu adalah hari yang kami agungkan. Maka
biarkanlah kami melakukan ritual kami pada hari itu. Dan Taurat adalah
Kitab Allah, maka biarkanlah kami bangun malam dengannya. Maka
turunlah ayat yang berbunyi ‫اٍ اهٍأ يٍزال اىهآ اىلخدا فٍ نلسال حفاك‬. Hai
orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara
keseluruhannya.‖5

Riwayat lain dari Ibnu ‗Abbas sebagaimana yang dikutip al-Qurṯubī. Ibnu

‗Abbās berkata, ayat ini diturunkan kepada Ahli Kitab:

3
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997) Cet. XIV, h. 602.
4
Ahmad Izzan, Ulumul Qur‟an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Qur‟an,
(Bandung: Tafakur, 2011) cet-IV, h. 96. Lihat juga Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu
Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) h. 132.
5
‗Abdul Fataẖ ‗Abd al-Ghānī al-Qādhī, Asbāb al-Nuzūl „an al-Shaẖābah wa al-
Mufassirīn, (Cairo: Dār al-Salām, 2007) Cet. III, h. 36. Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an
Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, (Bairūt: Dār al-Fikr, 2005) Jilid II, h. 400. Lihat juga Jalāl al-Dīn al-Suyūṯī,
Al-Dur al-Mantsūr fȋ Tafsīr bi al-Ma‟tsūr, (Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1990) Juz I, Cet I,
h. 433. Hal serupa terdapat dalam tafsir Imām al-Alūsī al-Baghdādī, Rūẖ al-Ma„ānī fī Tafsīr al-
Qur‟ān al-„Aẕīm wa al-Sab„ al-Matsānī, (Bairūt: Dār Iẖya al-Turats al-‗Arabī, 1985) Cet. IV, Juz I
h. 97. Al-Hā fiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-
„Aẕīm, (Cairo: Mu‘assasah Qurṯubah, 2000) Juz II, Cet. I, h. 273. Al-Wahidi al-Nisaburi, Asbāb al-
Nuzūl: Sebab-sebab Turunnya Ayat-ayat Al-Qur‟an, Penerjemah: Moh. Syamsi, (Surabaya:
Amelia Surabaya, 2014) h. 96.
58

‫ ا اهأ يزال اىٍهآ سىوتٍ اىلخدا ٍسٍعو فٍ ذوحوت ملاسلإا لصٍ الل نلسو ٍٍلع‬،ٍٍ ‫عولاو‬
‫حفاك‬
―Pengertian (ayat ini adalah) : Hai orang-orang yang beriman kepada
Musa dan Isa, masuklah kalian ke dalam Islam yang dibawa oleh
Muhammad SAW. secara keseluruhan.‖6
Al-Rāzī mengatakan bahwa ayat ini sebetulnya diturunkan kepada

golongan orang-orang muslim dari kalangan Ahli Kitab. 7 Sebagaimana dalam

riwayat al-Ṯabarȋ di atas, ayat tersebut merujuk kepada kalangan Yahudi yang

masih mengagungkan syariatnya seperti Abdullah bin Salām, 8 Tsa‗labah, Ibnu

Yamīn, Asad bin Ka‗āb, Usaid bin Ka‗āb, Sa‗ad bin Amr dan Qais bin Zaid.

Seperti mengagungkan hari sabtu, membenci daging unta dan susunya. 9 Kalangan

Ahli Kitab tersebut meliputi yang beriman kepada Musa dan Isa. Kemudian Allah

benci terhadap mereka, dan memerintahkan mereka untuk masuk Islam secara

kāffah, artinya dalam syariat Islam secara keseluruhan.10

Berdasarkan beberapa riwayat sebab turunnya ayat di atas, secara seragam

dapat dikatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah berkaitan dengan

kalangan muslim dari Ahli Kitab yang masih mengagungkan syariat Nabi Musa,

sementara mereka sudah masuk Islam. Maka turunlah ayat tersebut untuk

memerintahkan mereka agar masuk ke dalam Islam secara menyeluruh.

6
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, (Bairūt: Mu‘assasah al-Risālah,
2006) Juz II, h. 329. Lihat juga Al-Imām al-Wāhidī, Asbāb al-Nuzūl, (Bairūt: Dār al-Kutub al-
‗Ilmiyyah, 2009) Cet. IV, h. 68.
7
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, (Bairūt: Dār al-Fikr, 1994) Juz V, h. 225.
8
Seperti tafsir al-Syaikh Muẖammad al-Nawāwī al-Jāwī, Maraẖ Labīd Tafsīr al-Nawawī,
(Dār al-Fikr, t.th) Juz I, h. 54.
9
Sayyid Maẖmūd al-Alūsī al-Baghdādī, Rūẖ al-Ma„ānī fī Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm wa
al-Sab„ al-Matsānī, h. 97.
10
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, h. 225.
59

B. Penafsiran Klasik atas al-Silm Kāffah

Al-Ṯabarī11 mengatakan bahwa para ahli takwil12 berbeda pendapat dalam

memaknai al-silm pada ayat ini. Sebagian berkata maknanya adalah Islam. 13 Ia

mengutip riwayat:

―Muhammad bin ‗Amr menceritakan kepadaku, ia berkata: Abū


‗Āshim menceritakan kepada kami, dari Isa, dari Ibnu Abī Nājih, dari
Mujāhid tentang firman Allah: ‫ اىلخدا فٍ نلسلا‬ia berkata: masuklah ke
dalam Islam.
Al-Hasan bin Yahya menceritakan kepada kami, ia berkata: ‗Abd
al-Razāq memberitahukan kepada kami, ia berkata: Ma‘mar
memberitahukan kepada kami, dari Qatādah dalam firman Allah: ٍ‫اىلخدا ف‬
‫ نلسلا‬ia berkata: masuklah ke dalam Islam.
Muhammad bin Sa‗d menceritakan kepadaku, ia berkata: Bapakku
menceritakan kepadaku, ia berkata: Pamanku menceritakan kepadaku, ia
berkata: Bapakku menceritakan kepadaku, dari bapaknya, dari ‗Ibnu
‗Abbās ‫" اىلخدا فٍ نلسلا‬: ia berkata: ‫ نلسلا‬: Islam.
Musa bin Harūn menceritakan kepadaku, ia berkata: ‗Amr
memberitahukan kepada kami, ia berkata: Asbat menceritakan kepada
kami, dari Al-Suddi ‫ اىلخدا فٍ نلسلا‬ia berkata: ke dalam Islam.
11
Nama lengkapnya adalah Mujāhid bin Jabr al-Makki Abȗ al-Hajjaj al-Makhzūmī al-
Muqri‘, maulā al-Sai‘ib bin Abū al-Sa‘īb. Ia banyak meriwayatkan dari ‗Ali, Sa‘d bin Abī
Waqqas, empat orang Abdullah, Rafi‗ bin Khudaij, ‗Āisyah, Ummu Salamah, Abū Hurairah,
Suraqah bin Malik, ‗Abdullah bin al-Sa‘ib al-Makhzȗmi dan lainnya. Sedang yang meriwayatkan
darinya adalah ‗Atā‗, ‗Ikrimah, ‗Amr bin Dinar, Qatādah, Sulaimān al-Ahwal, Sulaimān al-
A‗masy, Abduulah bin Katsīr ‗Umar, dan wafat pada 102 atau 103 H. Tetapi menurut Yahya al-
Qattan, ia wafat pada tahun 104 H. Lihat Manna‗ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an,
penerjemah: Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2012) h. 525.
12
Para ulama klasik dan modern berbeda pendapat perihal perbedaan antara tafsir dan
takwil. Sebagian menyamakan takwil dengan tafsir dan sebagian lagi menolaknya. Mayoritas para
ulama klasik menyamakan tafsir dengan takwil. Namun pada era sekarang, menurut Hamdi tafsir
berkaitan dengan aspek eksternal sebuah teks, seperti asbāb al-nuzūl, cerita, makkiyyah,
madaniyyah, nāsikh, mansūkh, ‗amm, khash, mutlaq, muqayyad, mujmal, mufassar, dan
sebagainya. Semua ilmu ini bersifat riwāyah. Dalam arti bahwa aspek-aspek tersebut hanya
disebut sebagai ―pengetahuan‖ tentang apa saja di seputar permasalahan tersebut. Dari sini terlihat
bahwa tafsir merupakan ilmu yang menjadi pengantar bagi aktivitas takwil, yaitu aktivitas
pengalihan ayat ke makna yang dimungkinkannya. Jadi, tafsir merupakan bagian dari proses
takwil. Pada proses takwil inilah signifikansi makna ayat bisa ditemukan sesuai dengan horison
kesejarahan seorang muawwil (penakwil). Lihat A. Zainul Hamdi, Hermeneutika Islam:
Intertekstualitas, Dekonstruksi, Rekonstruksi, dalam Gerbang: Jurnal Studi Agama dan Demokrasi,
No. 14, Vol. V, 2003. h. 69. Lihat juga Aksin Wijaya, Arah Baru Ulum Al-Qur‟an: Memburu
Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) h. 147. Lihat juga
‗Abd al-Rahman ibn Sulaimān al-Rūmī, Buhūtsu fī Ushūl al-Tafsīr wa Manāhijuhu, (Riyādh:
Maktabah al-Taubah, 1994) Cet. IV, h. 8.
13
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 397.
60

Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Wahhab


memberitahukan kepada kami, ia berkata: Ibnu Zaid berkata mengenai
firman Allah: ‫ اىلخدا فٍ نلسلا‬ia berkata: ‫ نلسلا‬yakni Islam.
Aku telah diberitahu dari Al-Husain bin Faraj, ia berkata: aku
mendengar Abu Muadz bin Fadl bin Khālid, ia berkata: Usaid bin
Sulaimān, ia berkata: aku mendengar al-Dhahāk berkata: ‫ اىلخدا فٍ نلسلا‬ke
dalam Islam.‖

Yang lain berpendapat: maknanya adalah masuklah ke dalam ketaatan.

Sebagaimana riwayat berikut:

―Aku telah diberitahu dari Amar, ia berkata: Ibnu Abī Ja‗far


menceritakan kepada kami, dari bapaknya, dari al-Rabi‘: ‫ اىلخدا فٍ نلسلا‬ia
berkata: masuklah ke dalam ketaatan.‖

Al-Ṯabarī menyimpulkan riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan

bahwa tafsiran yang lebih utama tentang firman: ‫ اىلخدا فٍ نلسلا‬adalah pendapat

yang mengatakan: Bahwa maknanya adalah masuklah ke dalam Islam dengan

sepenuhnya.14 Ia memilih tafsir pada ayat " ‫ " اىلخدا فٍ نلسلا‬maknanya dengan

Islam, dengan dalih bahwa karena sesungguhnya ayat tersebut ditujukan kepada

orang-orang mukmin, dan jika khiṯab tersebut ditujukan kepada orang mukmin

maka tidak akan keluar dari dua masalah ini:

Pertama, Khiṯab ini ditujukan kepada orang yang percaya dengan Nabi

Muhammad SAW. dan membenarkannya serta membenarkan apa yang datang

padanya. Maka ayat tersebut tidak bisa dikatakan kepada mereka sementara

mereka ahli iman: ―masuklah ke dalam perdamaian dengan orang mukmin dan

penyerahan‖ karena perdamaian dan penyerahan itu ditujukan kepada golongan

yang sedang berperang agar mereka memberhentikan perang, sedangkan kepada

14
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 399.
61

sekutu tidak boleh dikatakan ―berdamailah dengan fulan‖, sedangkan tidak ada

perang dan tidak ada permusuhan di antara mereka.

Kedua, khiṯab ini ditujukan kepada orang yang beriman dan membenarkan

terhadap para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. dan apa yang datang bersama

mereka, akan tetapi mereka mengingkari kenabian Muhammad SAW, maka

dikatakan kepada mereka: "‫"ف اىلخداٍ نلسلا‬, yakni Islam dan bukan perdamaian,

karena Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk percaya dengan-Nya,

dengan Nabi-Nya Muhammad dan apa yang datang bersamanya, dan terhadap apa

yang diserukan oleh mereka, bukan memerintahkan untuk menyerah dan

melakukan perdamaian, bahkan dalam keadaan tertentu melarang nabi-Nya untuk

melakukan perdamaian dengan orang kafir. 15 Allah berfirman: ―Jangan kamu

lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah bersamamu”

(QS. Muhammad [47]: 35).

Dibolehkan dalam keadaan tertentu jika diajak untuk melakukan

perdamaian, Allah berfirman :“Jika mereka condong kepada perdamian maka

condonglah kepadanya”. (QS. Al-Anfāl [8]: 61). Sedangkan untuk memulai

mengajak perdamaian tidak ada di dalam al-Qur‘an. Maka menurut al-Ṯabarī

boleh ayat " ‫ " اىلخدا فٍ نلسال‬ditafsirkan demikian.

Selain penjelasan khiṯab di atas, dalam menafsirkan ayat ini al-Ṯabarī

mengutip beberapa perbedaan qira‗at. 16 Menurutnya, Ahl al-Hijaz membaca "

15
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 399.
16
Menurut al-Dzahabī, yang menyebabkan Ibnu Jarir memberi perhatian terhadap sisi
qira‘at karena ia tergolong ulama qira‘at, sehingga para ulama berkomentar, ―Ibnu Jarīr telah
mengarang kitab khusus tentang qira‘at dalam 18 volume yang di dalamnya menjelaskan semua
qira‘at yang masyhur dan yang syadz (ganjil) bahkan ia menguraikannya. Lalu ia memilih qira‘at
62

"‫اىلخدا فٍ نلسلا‬ dengan mem-fatẖah-kan sin, sedangkan orang-orang Kuffah 17


membaca " ‫اىلخدا فٍ نلسلا‬ " dengan meng-kasrah-kan sin. Sedangkan yang

membaca fatẖah pada huruf sin dari ayat ‫اىلخدا فٍ نلسلا‬, mereka menakwilkan

ayat tersebut dengan makna ‫ حوالسولا‬yaitu rekonsiliasi, dengan arti: masuklah

kamu sekalian dalam perdamaian dan egalitarian atau perbaikan, meninggalkan

perang dan membayar jizyah atau upeti.18

Sedangkan orang-orang yang membaca ayat tersebut dengan meng-

kasrah-kan sin, maka bahwasannya mereka telah berbeda pendapat dalam

menafsirkannya. Sebagian dari mereka ada yang mengartikannya dengan Islam,

dengan arti masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan. 19 Dan sebagian dari

mereka mengartikannya dengan perdamaian, dengan arti: masuklah kalian semua

ke dalam kedamaian. Dan mereka mengambil dalil bahwa sin yang di-kasrah-kan

itu bermakna perdamaian sesuai perkataan Zuhair bin Abī Salma.

Dalam masalah qira‘at, al-Ṯabarī menyimpulkan:

―Bahwa qira‘at yang lebih utama bacaan ayat itu adalah qira‘at yang
membaca sin dengan kasrah, karena hal itu jika dibaca demikian juga
mengandung makna perdamaian.‖

yang tidak keluar dari yang masyhur. Sayangnya karya besarnya itu lenyap di telan masa, sehingga
tidak sampai kepada kita sebagaimana karya-karyanya yang lain. Lihat Muhammad Husein al-
Dzahabi, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1. Penerjemah: H. Nabhani Idris, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010)
h. 204.
17
Menurut Shālih al-‗Utsaimīn, Ahli Kuffah mereka adalah para pengikut Ibnu Mas‘ūd
seperti Qatādah, ‗Alqamah, dan Sya‗bi. Lihat Muẖammad Shālih al-‗Utsaimīn, Ushūl fī al-Tafsīr,
(al-Maktabah al-Islāmiyyah, 2001) h. 38.
18
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 398.
19
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 398.
63

Sesungguhnya makna Islam adalah kelanggengan perbuatan yang baik

bagi orang Arab lebih diutamakan daripada perdamaian dan penyerahan,

kemudian mereka menyebut syair Akhi Kindah:

‫ نهرٍأس اىلىذ اٍٍٍشتذه‬...‫ذشٍشعٍ نلسلل اول‬


‫خىعد‬
―Aku menyeru keluargaku untuk menganut agama Islam ketika aku
melihat mereka berpaling ke belakang.‖
Setelah melihat perbedaan ahli takwil, kemudian al-Ṯabarī men-tarjih:

―Pendapat yang benar menurutku adalah bahwasannya Allah


memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengamalkan
semua syariat Islam, masuk di dalamnya orang-orang yang beriman dan
membenarkan dengan Muhammad SAW. serta apa yang datang
bersamanya dan orang-orang yang beriman dengan para nabi sebelum
Muhammad SAW. dan apa yang dibawa oleh mereka, Allah telah menyeru
kedua golongan tersebut untuk mengamalkan syariat Islam dan ketentuan-
ketentuannya, menjaga kewajiban yang telah Allah bebankan kepada
mereka, dan melarang untuk meninggalkan satu pun dari ajaran tersebut,
ayat ini umum masuk di dalamnya semua yang beriman, tidak ada
kekhususan antara yang satu dengan yang lain.‖20
Setelah melihat penafsiran al-Ṯabarī dalam ayat ini, dapat disimpulkan

bahwa ia secara eksplisit lebih memilih penafsiran al-silm dengan Islam tenimbang

(daripada) dengan perdamaian. Hal ini yang kemudian mempengaruhi mufassir

klasik setelahnya seperti al-Qurṯubī. 21 Penafsiran al-Qurṯubī tidak jauh berbeda

dengan al-Ṯabarī. Al-Qurṯubī menegaskan pilihan tafsirannya terhadap kata al-silm

pada awal penafsirannya dengan mengkaitkan ayat sebelumnya bahwa Allah

menjelaskan manusia terbagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu orang yang

20
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 401.
21
Beliau adalah Abū ‗Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn al-Farīd al-Anshārī al-Hazraj
al-Andalūsī. Beliau adalah seorang yang zuhud, wara‘ dan bertakwa kepada Allah SWT. Beliau
senantiasa menyibukkan diri dalam menulis dan beribadah. Al-Dzahabī mencatat tentang tahun
wafat beliau yakni tertulis bahwa beliau wafat tepatnya pada bulan syawwal tahun 671 H. Lihat
Muhammad Husaīn al-Dzahabī, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Cairo: Maktabah al-Wahbah, 2003)
Cet. II, Jilid II, h. 336.
64

beriman, orang kafir, dan orang munafik, 22 maka Allah berfirman, ―Anutlah oleh

kalian semua agama yang satu dan peluklah agama Islam, serta konsistenlah kalian

terhadapnya.‖ Jika demikian, maka makna kata al-silm yang tertera dalam ayat ini

menurut al-Qurṯubī adalah Islam.23

Al-Qurṯubī mengutip syair al-Kindi sebagai riwayat yang mendukung

penafsiran al-silm dengan Islam sebagai berikut:

‫ نهرٍأس اىلىذ اٍٍٍشتذه‬...‫ذشٍشعٍ نلسلل اول‬


‫خ ى عد‬
―Aku menyeru keluargaku untuk menganut agama Islam ketika aku

melihat mereka berpaling ke belakang.‖

Yakni (menyeruh) untuk memeluk agama Islam ketika orang-orang Kindi

murtad sepeninggal Nabi SAW. bersama Asy‘ats bin Qais al-Kindi. 24 Serupa

dengan al-Ṯabarī, al-Qurṯubī pun mengutip beberapa riwayat:

―Menurut satu pendapat, (dalam ayat ini) Allah memerintahkan


orang-orang beriman dengan mulutnya saja agar masuk Islam dengan
sepenuh hati mereka.
Ṯāwus dan Mujāhid berkata, Masuklah kalian ke dalam urusan
agama.25
Sufyān al-Tsauri berkata, (masuklah kalian) ke dalam semua
26
bentuk kebajikan.‖
Hal serupa lain penafsiran al-Qurṯubī dengan al-Ṯabarī dalam aspek
kebahasaan. Menurut al-Qurṯubī, kata al-silm dibaca kasrah pada huruf sin. Al-
22
Dilontarkannya kata ‗iman‘ untuk ketiga kelompok ini, karena Ahli Kitab adalah
orang-orang yang beriman kepada nabi dan kitab mereka, dan orang munafik juga menyatakan
keimanan dengan lisan walaupun hatinya tidak beriman. Lihat Imam Al-Syaukani, Tafsir Fathul
Qadir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) Cet. I, Jilid I, h. 813 .
23
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 392.
24
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393.
25
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393.
26
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393.
65

Kisā‗i berkata, ―Makna al-silm dan al-salm itu sama.‖ Demikian pula menurut

pendapat mayoritas ulama Bashrah. Kedua kata itu bisa berarti Islam dan

rekonsiliasi. Namun Abū ‗Amr al-‗Ala membedakan makna keduanya, dia

membaca, udkhulū fī al-silm ―masuklah kamu ke dalam Islam.” Dia berkata, ―Al-

silm adalah Islam.‖Sementara dalam surat al-Anfāl dan Muẖammad dia membaca

dengan ―al-salm.‖ Dia berkata, ―dengan fatẖah huruf sin, yakni rekonsiliasi.‖

Namun pemilahan ini diingkari oleh al-Mubarrad. ‗Āshim al-Jahdari

berkata, ―al-silm adalah Islam, al-salm adalah perdamaian (al-shulh), dan al-

salām adalah tunduk (al-istislām).‖27

Muhammad bin Yazid juga mengingkari pemilahan ini. Dia berkata,

―Bahasa Arab dipahami melalui jalur pendengaran, bukan melalui jalur aturan

atau tata bahasa. Orang yang membuat perbedaan tersebut memerlukan

pembuktian. Sementara itu orang-orang Bashrah meriwayatkan bahwa banu fulȃn

(anak cucu) adalah silm, salm dan salam, yang maknanya adalah sama.‖

Al-Jauhari berkata, ―Al-silm yang mengandung makna perdamaian boleh

di-fatẖah-kan atau di-kasrah-kan (huruf sin-nya). Boleh juga diucapkan dalam

bentuk mudzakar dan mu‟annats. Makna asalnya adalah al-istislām (tunduk) dan

al-inqiyād (patuh). Oleh karena itu, al-shulẖ (perdamaian) disebut juga dengan

salm atau silm.‖28

27
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān,h. 393.
28
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393.
66

Sedangkan penafsiran terhadap firman Allah: ‫ حفاك‬sendiri, al-Ṯabarī


menafsirkannya menyeluruh dan kesemuanya (‫)اعٍوج‬. 29 Hal senada al-Qurṯubī
menafsirkan kata ‫ حفاك‬adalah jamī„ān (seluruhnya). Namun al-Qurṯubī memberi
penjelasan lebih lanjut mengenai hal tersebut. Menurutnya kata ini di-nashab-kan

karena menjadi ẖāl dari kata al-silm, atau dari dhamir orang-orang yang

beriman. 30 Maka bisa dikatakan, “Masuklah kalian semua orang-orang yang

beriman secara kāffah di dalam Islam atau perdamaian”.

Lebih lanjut al-Qurṯubī menjelaskan bahwa kata (‫ )حفاك‬ini diambil dari

ucapan mereka ―kafaftu,‖ yakni mana„tu (aku mencegah). Maksudnya, tidak ada

seorang pun dari kalian yang tercegah atau terlarang untuk masuk ke dalam Islam.

Itu karena makna al-kaff adalah al-man„u (larangan). Contohnya adalah kuffah al-

qamīsh (tepi baju), sebab bagian tepi ini mencegah baju berantakan. Contoh

lainnya adalah kiffah al-mīzān (piring timbangan), sebab piringan inilah yang

menampung sesuatu yang ditimbang dan mencegahnya berhamburan. Contoh lain

lagi adalah kaff al-insān (telapak tangan manusia), yang mencakup hal-hal

manfaat dan mudharat bagi dirinya. Setiap yang bundar adalah kiffah dan setiap

yang memanjang adalah kuffah. Adapun makna rajulun makfūf al-bashar adalah

orang yang tercegah untuk melihat. Dengan demikin, jamaah dinamakan kāffah

karena mereka tidak mungkin tercerai-berai.31

29
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 401.
30
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 394.
31
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 394.
67

C. Penafsiran Modern atas al-Silm Kāffah

Berbeda dengan penafsiran klasik yang hanya berfokus pada ranah

tekstualis (kebahasaan), penafsiran modern menafsirkan kata al-silm kāffah

dengan pendekatan lain, yakni lebih mengedepankan upaya kontekstualisasi

penafsiran dengan realitas. Sebagaimana tertera pada penafsiran Muẖammad 32

‗Abduh dan al-Marāghī.33 Dalam hal ini tidak bisa lepas—sebagaimana menurut

Hamim Ilyas sebagai pijakan bagi pembaruan agama dan sosial yang mereka cita-

citakan.34

Muẖammad ‗Abduh memulai penafsirannya terhadap QS. Al-Baqarah [2]:

208, dengan sebagaimana


sebelumnya munāsabah
menjelaskan yang (keserasian)
juga dilakukan ayat al-silm
al-Qurṯubī. ‗Abduh,
kāffah
Menurut denganayat
ayat

sebelumnya menjelaskan perbedaan manusia tentang kebaikan dan keburukan dan

tentang perbaikan dan perusakan, lalu Allah hendak memberi petunjuk kepada

kita tentang sesuatu yang dapat mengumpulkan manusia secara keseluruhan

dalam keadaan yang baik dan damai.35 Kesepakatan yang telah ditetapkan oleh

Islam yaitu sesuatu yang telah ditentukan berupa iman kepada Allah dan hari

32
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‗Abduh bin Hasan Khairullah. Dilahirkan di
desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M dan wafat pada tahun
1905 M. Ayahnya, ‗Abduh bin Hasan Khairullah, mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa
Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam, Umar ibn

Khattab. Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dalam Teologi Rasional Mu‟tazilah, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 1981) h. 19.
33
Nama lengkapnya adalah Ahmad Mushtafa ibn Mushtafa ibn Muhammad ‗Abd al-
Mun‗īm al-Qādhī al-Marāghī. Ia lahir pada tahun 1300H/1883M di kota al-Marāghah, Provinsi
Suhaj, kira-kira 700 km arah selatan kota Kairo. lihat Adil Nuwayhid, Mu„jam al-Mufassirīn
Shadr al-Islām hatta al-„Ashr al-Hādir, (Bairūt: Mu‘assasah al-Nuwayhid al-Tsaqāfiyyah, 1988)
Cet. II, Jilid I, h. 80.
34
Hamim Ilyas, Mengembalikan Fungsi al-Qur‟an: Paradigma dan Metode Tafsir al-
Manar, dalam Syafa‘atun Almirzanah, Sahiron Syamsuddin, Upaya Integrasi Hermeneutika
dalam Kajian Qur‟an dan Hadis (Teori dan Aplikasi), (Yogyakarta: Lembaga Penelitian
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 20120 Cet. II, h. 104.
35
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, (Bairūt: Dār al-Kutub al-
‗Ilmiyyah, 1999) Juz II, h. 207.
68

akhir. Dan petunjuk ini dijadikan redaksinya dengan menggunakan redaksi

perintah dan memuliakan ahli iman.

Berbeda dengan ‗Abduh, Menurut al-Marāghī ayat-ayat sebelumnya yang

telah lalu perihal pembagian manusia menjadi dua golongan yaitu ada yang baik

dan ada yang rusak; golongan pertama menurut al-Marāghī hanya mengharapkan

keridhaan dari Allah atas amal perbuatannya, sedangkan golongan kedua mereka

yang selalu menimbulkan kerusakan di muka bumi dengan merusak tanaman dan

membunuh hewan ternak. 36 Maka pada ayat ini menurut al-Marāghī, Allah

memberi nasehat kepada kita bahwa ciri khas orang mukmin adalah bersatu dan

bersepakat bukan pecah belah dan terbagi-bagi.37

Muẖammad ‗Abduh berpendapat bahwa makna kata al-silm adalah

rekonsiliasi (saling membangun perdamaian), tunduk, dan penyerahan. Makna al-

silm bisa ditunjukan dengan perdamaian dan keselamatan, dan juga bisa dimaknai

dengan agama Islam. 38 Menurut ‗Abduh, sebagian mufassir menafsirkan silmi

dengan perdamaian dan sebagian lain menafsirkan al-silm dengan Islam.

Sementara ‫ حفاك‬menjadi hāl dari kata al-silm, artinya semua syariat-Nya. Berbeda

dengan ‗Abduh, menurut al-Marāghī, ‫ حفاك‬artinya menuruti hukum Allah secara

keseluruhan, dilandasi dengan berserah diri, tunduk dan ikhlas kepada Allah. Al-

Marāghī memberikan gambaran maksud berserah diri kepada Allah yaitu:

.‫يهو لىصاٍ قافىال حالسولاو يت طاٍال كشذو بوشحلا يٍت يذرهولا حٍذهت‬

36
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (Mesir: Syarkah Maktabah wa
Maṯba‘ah Mushṯafa al-Bābi al-Halbi, 1946) Juz II, h. 114.
37
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
38
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 207.
69

Di antara pokok-pokok berserah diri kepada Allah ialah cinta damai dan
meninggalkan pertempuran di antara orang-orang yang sehidayah.39

‗Abduh mengatakan bahwa prinsip al-silm adalah mematuhi perintah

Allah dan ikhlas menjalankannya, serta adanya kesepakatan dan saling memberi

keselamatan di antara manusia, meninggalkan peperangan dan pembunuhan di

antara orang-orang yang sudah diberi petunjuk. Kata al-silm mencakup semua

makna, dan perintah untuk masuk tersebut adalah orang-orang yang sudah masuk

harus secara sempurna menjalankannya dengan secara tetap dan konsisten.40

Sebagaimana dalam satu pendapat, menurut ‗Abduh khiṯab ayat ini

diperuntukkan untuk Ahli Kitab atau semua orang yang beriman kepada Allah,

maka pada hakekatnya masuk di dalamnya. Allah berkata kepada mereka, jika

kalian tidak masuk ke dalam agama Islam yang sempurna dengan mengikuti

akhlak Islam secara sempurna dengan diutusnya nabi terakhir, maka iman kalian

tidak akan bermanfaat dan kalian akan tetap melakukan permusuhan dan

perpecahan, sementara agama Allah ingin mempersatukan dan tidak ingin

memecah belah.41 Dan ini saya tulis setelah mempelajari tafsir guru kami terhadap

ayat ini.

Selanjutnya ‗Abduh memberikan penjelasan secara lebih luas. Ia

mengatakan bahwa kalimat ini adalah kalimat yang agung. Dan kaidahnya, kalau

semua ulama membangun madzhabnya di atas pondasi kalimat ini maka tidak

dikhawatirkan terjadi perpecahan di dalam umat. Karena ayat ini menjelaskan

39
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
40
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 207.
41
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 207.
70

wajib mengambil Islam secara komprehensif.42 Kita melihat semua yang datang

dari al-Syāri„ (Allah dan Rasul) di semua masalah dari teks firman-Ku dan dari

Sunnah yang harus diikuti, kita memahami apa yang dikehendaki secara

keseluruhan dan kita mengamalkanya. Tidak dengan cara seporadis dengan

mengambil kalimat atau satu hadis saja dan dijadikan hujjah kepada madzhab

yang lain. Dan kamu meninggalkan sesuatu yang bertentangan dengan teks al-

Qur‘an dan hadis, juga harus memahami nasakh mansūkh, atau menghukumi

dengan ragu-ragu (ihtimal).

Kalau anda mengajak para ulama untuk mengamalkan ayat ini menurut

‗Abduh, artinya mereka mengetahui dan tidak mengingkari di antara keduanya

dan sebagian ulama men-tarjih tafsiran yang lain secara tetap, dan mereka

menolak karena merasa besar dan kalian berkata, ―kami menentang terhadap

orang-orang yang sombong‖. Karena itu kita harus meninggalkan madzhab dan

berusaha mengajak umat Islam konsisten pada satu madzhab.43

Pada sisi lain, menurut ‗Abduh ayat ini dalam suatu keadaan kita bisa

menemukan petunjuk dan pencerahan dalam perkataan ulama-ulama. Kalau umat

mengikutinya maka dia akan bisa konsisten berada dalam jalannya dan bisa

mencapai suatu kebenaran setelah keluar dari kesempitan perbedaan dan

pertentangan menuju persatuan dan kesepakatan. Sebab, eksisnya kuasa

perbedaan dan pertentangan itu terjadi karena kebodohan dan fanatisme orang-

42
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
43
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
71

orang yang cinta jabatan dari golongan ulama yang mempertahankan madzhab,

dan dengan jabatannya itu mereka hidup dan mereka dimuliakan.

Para Umara dan penguasa mendukung para ulama untuk menolong kepada

mereka agar para umat itu mematuhinya dan memutus jalan kebebasan akal

(berfikir) dan kemandirian umat. Karena itu, hal ini membantu mereka

menciptakan suatu kediktatoran (istibdād). Sehingga kita akan terus-terusan tidak

bisa lepas dari kerusakan dan kerusakan. Kesepakatan ucapan umat dan ulama

secara otomatis sudah diketahui kebenarannya, dan lalu ditetapkan oleh hakim

agar umat itu mengikutinya. Karena orang elit harus diikuti orang awam, dan ini

salah satu jalan untuk membatalkan otoritas hakim.44

Inilah tafsir yang mendukung dengan mencela orang-orang yang telah

menjadikan al-Qur‘an itu terbagi-bagi (idhdhīn). Mereka mengingkari orang-

orang yang mengimani sebagian dan mengkafirkan bagian yang lain. Artinya

mereka mengamalkan sebagian ayat al-Qur‘an sebagai agama dan meninggalkan

sebagian yang lain dengan cara ditakwil atau tidak. Seperti keyakinan seseorang

yang tidak mempercayai bahwa ayat itu dari Allah. Padahal wajib mengambil al-

Qur‘an dan agama secara komprehensif dan memahami hidayah secara

keseluruhan dari nabi. Ini sudah ketetapan, baik ayat itu ditafsirkan atau tidak.45

Sebagian mufassir berpendapat bahwa kāffah menjadi ẖāl yang kembali ke

orang-orang yang beriman dengan artian masuklah kalian semua ke dalam Islam

secara menyeluruh, jangan ada yang tersisa satu pun dari kalian. Orang yang

44
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
45
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
72

berpendapat demikian bahwa nidā (panggilan) orang-orang yang beriman

ditujukan kepada Ahli Kitab. Maka dari itu tidak bisa dikatakan bahwa iman di

sini diharuskan masuk ke dalam Islam, seandainya perintah orang-orang beriman

untuk masuk Islam memang harusnya demikian. Iman itu mempercayai secara

pasti serta memproklamirkan diri, barang siapa yang percaya sesuatu maka harus

masuk ke dalamnya tanpa terkecuali.46

Sedangkan pendapat mayoritas ulama bahwa ilmu yang tidak wajib

diamalkan sudah tentu salah. Ilmu yang dipercayai berkaitan dengan kemanfaatan

atau kemadharatan wajib diamalkan selama tidak bertentangan dalam

objektivitasnya dengan ilmu yang lebih kuat. Adapun ilmu teoritik yang

bertentangan ilmu dengan ilmu dharuri (yang pasti benarnya) atau bertentangan

dengan ilmu yang lebih kuat, maka kedua ilmu itu tidak wajib diamalkan.47

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Ghazalī, Ibn Taimiyyah dan

al-Syāṯībī pengarang kitab al-Muwaffaqāt bahwa ilmu yang benar adalah ilmu

yang harus diamalkan. Dan kebenaran yang akan terperinci, didukung oleh ayat-

ayat al-Qur‘an sebagai dalilnya. Dan Allah menunjukkan kepada orag yang

berkata bahwa ayat tersebut diturunkan kepada Ahli Kitab. Sebagaiamana yang

diriwayatkan Ibnu Jarīr dari ‗Ikrimah berkata:

‗Wahai Rasulullah, hari Sabtu adalah hari yang kami agungkan. Maka
biarkanlah kami melakukan ritual kami pada hari itu. Dan Taurat adalah
Kitab Allah, maka biarkanlah kami bangun malam dengannya. Maka
turunlah ayat yang berbunyi ‫اٍ اهٍأ يٍزال اىهآ اىلخدا فٍ نلسلا حفاك‬. Hai

46
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
47
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209.
73

orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara


keseluruhan.48

Menurut ‗Abduh, khiṯab tersebut tertuju untuk kalangan Yahudi secara

khusus, tidak untuk Ahli Kitab secara umum. Akan tetapi menurutnya riwayat

tersebut tidak shaẖih, dan riwayat tersebut menunjukan atas dirinya, maka riwayat

tersebut adalah yang objektif terhadap ayat tersebut.49

Aspek kedua, dalam arti al-silm yang diartikan dengan rekonsiliasi dan

kesepakatan. Karena hal tersebut merupakan sesuatu yang dapat menghilangkan

permusuhan dan pertentangan, dan dengan cara menjaga persatuan, serta

memperkokoh persaudaraan. Tidak bisa menghilangkan sesuatu kecuali dengan

menghilangkan sebab-sebabnya (permusuhan dan pertentangan). Dan tidak bisa

menjadi nyata kecuali dengan memantapkan mediasi-mediasinya (persatuan dan

memperkokoh persaudaraan).50 Ini sesuai dengan ayat, ―Berpegang tegulah pada

tali Allah secara berjamaah dan jangan berpecah belah, ayat yang lain, ―Dan

janganlah kalian saling bertentang, dan nabi bersabda: Setelah aku wafat

janganlah kalian kembali menjadi orang kafir yang sebagian kalian akan

menggorok leher sebagian yang lain.‖

Tapi menurut ‗Abduh, kita masih menentang ayat-ayat ini sehingga kita

masih tetap berpecah belah, bermusuhan, membunuh, memfitnah, dengan syubhat

agama. Karena kita masih berpegang teguh pada perbedaan madzhab. Setiap

golongan pasti akan fanatik buta terhadap mazhabnya dan menghina madzhab

48
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209.
49
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209.
50
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209.
74

yang lain dengan menyangka ia sedang menolong agama. Seperti pembunuhan

Sunni terhadap Syi‗ah, Syi‗ah melengserkan ‗Ibadiyya, Syafi‗iyyah menuduh

Hanafiyyah sebagai Tar-Tar, Hanafiyyah meng-qiyas-kan Syafi‗iyyah sebagai

kafir dzimmi. Inilah orang-orang yang ber-taklid yang mengakibatkan Islam

mundur, maka menurut ‗Abduh marilah kita mengikuti jalan salaf.

Sementara menurut al-Marāghī, makna ayat tersebut adalah ―wahai orang-

orang yang beriman dengan sepenuh hati dan tingkah laku, tetaplah kalian

menjalankan ajaran-ajaran Islam sejak hari ini dan seterusnya,‖ jangan sekali-kali

kalian melepaskan salah satu dari syariat-syariatnya. Bahkan ambillah Islam

secara keseluruhan dan pahamilah maksud Islam yang sebenarnya.51 Dalam setiap

tingkah laku dan menghadapi setiap masalah, pakailah nash-nash al-Qur‘an dan

sunnah-sunnah rasulullah, lalu amalkanlah setiap anjurannya. Jangan mengambil

satu dalil nash atau dalil sunnah saja tanpa memperdulikan dalil-dalil nash atau

sunnah lainnya, sebab mungkin berselisih paham dengan hujjah yang dipakainya.

Dan hal ini bisa menimbulkan perpecahan dan percekcokan yang semakin seru di

antara kalian dan akhirnya kehancuranlah bagi kalian semua.52

Al-Marāghī memberikan contoh akibat dari permusuhan dan perpecahan

sebagaimana penafsiran ‗Abduh. Ia mengatakan:

―Tetapi kaum muslimin telah menyimpang dari anjuran ini. Kini mereka
berpecah belah dan saling baku hantam, sebagian memusuhi sebagian
lainnya. Mereka mendirikan madzhab-madzhab yang saling berlainan.
Setiap madzhab memusuhi madzhab lainnya dengan anggapan bahwa
mereka sendirilah yang menegakkan agama. Padahal hakikatnya mereka
menghina agama, karena membuat perpecahan di kalangan kaum
51
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
52
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
75

muslimin. Yang bermadzhab Sunni menghantam saudaranya sendiri yang


bermadzhab Syi‗ah, yang bermadzhab Syafi‗i menghina bangsa Tar-Tar,
oleh karena mereka menganut madzhab Abu Hanifah, dan mereka yang
mengikuti ulama khalaf (mutaakhirīn) mengecam pengikut-pengikut
madzhab ulama salaf, demikian seterusnya.‖53

Dengan melihat penafsiran-penafsiran di atas, para mufassir klasik

menunjukkanSeperti
kebahasaan. tingkatal-Ṯabarī
kompleksitas penafsiran
dan al-Qurṯubī yang
yang tinggi
dalam khususnya mengutip
penafsirannya pada ranah

beberapa perbedaan para ahli takwil terkait riwayat dan qira‘at dalam menyikapi

kata al-silm kāffah. Dengan mediasi tersebut, kemudian keduanya memilih,

seperti al-Ṯabarī yang mentarjih penafsiran kata al-silm kāffah dengan Islam

secara menyeluruh.

Sementara mufassir modern seperti Muẖammad ‗Abduh dan al-Marāghī,

kendati pun dalam beberapa penafsirannya mereka mengutip perbedaan qira‘at

dan riwayat atau kebahasaan, tetapi mereka lebih menekankan konteks sosial yang

mengitarinya. Konteks pertikaian antara madzhab, hilangnya perdamaian dan

adanya permusuhan di antara umat Islam yang mengantarkan mufassir modern

menafsirkan kata al-silm kāffah dengan islam (nilai) yang harus diterapkan secara

komprehensif. Dari perbedaan natijah (hasil) penafsiran yang sangat siginifikan

dari kedua mufassir tersebut yang selanjutnya akan penulis paparkan analisis-

komparatif di antara keduanya; mufassir klasik dan modern dalam menafsirkan

kata al-silm kāffah.

53
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
BAB IV

ANALISIS-KOMPARATIF PENAFSIRAN KLASIK DAN MODERN ATAS

AYAT AL-SILM KĀFFAH QS. AL-BAQARAH [2]:208 DAN

RELEVANSINYA DENGAN KONTEKS INDONESIA

A. Corak penafsiran

Setiap tafsir mempunyai corak yang berbeda-beda meskipun masih dalam

ruang lingkup yang sama sebagai model tafsir tahliīī. 1 Penafsiran dengan

menggunakan metode penulisan tahliīī tentu tidak bisa dilepaskan dari

subyektifitas penulisnya, yaitu kecenderungan atau orientasi pemikiran yang

dilatar belakangi oleh pendidikan, bacaan dan lingkungan hidup penulisnya. 2

Beberapa hal tersebut yang kemudian memunculkan corak penafsiran yang

berbeda-beda.

Di antara keempat mufassir, hanya penafsiran al-Ṯabarī yang tidak

memiliki corak khusus karena al-Ṯabarī menafsirkan ayat-ayat al-Qur‘an

berdasarkan riwayat. 3 Berbeda dengan al-Ṯabarī, al-Qurṯubī memiliki corak

1
Metode tahliīī adalah metode penafsiran ayat-ayat al-Qur‘an secara analitis dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya. Penafsiran dengan
metode ini dilakukan secara berurutan dan berkesinambungan terhadap ayat demi ayat dan surah
demi surah, sesuai dengan urutannya yang terdapat dalam mushhaf ‗Utsmani yang ada sekarang.
Mulai dari awal surah al-Fatihah sampai dengan akhir surat al-Nas. Acep Hermawan, „Ulumul
Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011) h. 117. Lihat juga
Musa‗īd ibn Sulaimān al-Ṯayyār, Fushūl fī Ushūl al-Tafsīr, (Riyādh: Dār al-Nasyr al-Daulī, 1993)
Cet. I, h. 19.
2
Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) h. 96.
3
Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 11.

76
77

fiqih. 4 Sedangkan Muẖammad ‗Abduh dan al-Marāghī memiliki corak adabi

ijtima„i.5

B. Keserasian Ayat al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208

Mengenai keserasian ayat ini, penafsiran klasik dan modern mempunyai

perbedaan pendapat. Al-Ṯabarī dalam hal ini tidak mencantumkan pembahasan

tentang keserasian ayat QS. Al-Baqarah [2]: 208, dengan ayat sebelumnya.

Mufassir klasik seperti al-Qurṯubī dalam pembahasan awal penafsirannya

menjelaskan bahwa pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan manusia terbagi ke

dalam beberapa kelompok, yaitu orang yang beriman, orang kafir, dan orang

munafik, maka Allah berfirman, ―Anutlah oleh kalian semua agama yang satu dan

peluklah agama Islam, serta konsistenlah kalian terhadapnya.‖ Jika demikian,

maka makna kata al-silm yang tertera dalam ayat ini menurut al-Qurṯubī adalah

Islam.6

Sementara dalam pandangan ‗Abduh, ayat sebelumnya menjelaskan

perbedaan manusia tentang kebaikan dan keburukan dan tentang perbaikan dan

perusakan, lalu Allah hendak memberi petunjuk kepada kita tentang sesuatu yang

dapat mengumpulkan manusia secara keseluruhan dalam keadaan yang baik dan

damai.7 Berbeda dengan al-Qurṯubī dan ‗Abduh, menurut al-Marāghī, ayat-ayat

sebelumnya yang telah lalu menjelaskan perihal pembagian manusia menjadi dua

4
Acep Hermawan, „Ulumul Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, h. 116.
5
Arie Machlina Amri, Metode Penafsiran Al-Qur‟an, (INSYIRAH, Jurnal Ilmu Bahasa
Arab dan Studi Islam, Vol. 2, No. 1, Juni 2014) h. 8. Tafsir al-adȃb al-ijtima„i, yaitu tafsir yang
menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Acep Hermawan,
„Ulumul Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, h. 116.
6
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, (Bairūt: Mu‘assasah al-Risālah,
2006) Juz II, h. 392.
7
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, (Bairūt: Dār al-Kutub al-
‗Ilmiyyah, 1999) Juz II, h. 207.
78

golongan yaitu ada yang baik dan ada yang rusak; golongan pertama menurut al-

Marāghī hanya mengharapkan keridhaan dari Allah atas amal perbuatannya,

sedangkan golongan kedua mereka yang selalu menimbulkan kerusakan di muka

bumi dengan merusak tanaman dan membunuh hewan ternak. 8 Maka pada ayat ini

menurut al-Marāghī, Allah memberi nasehat kepada kita bahwa ciri khas orang

mukmin adalah bersatu dan bersepakat bukan pecah belah dan terbagi-bagi.9

C. Segi Penafsiran

Al-Tabarī tetap sangat dekat dengan pemahaman literal atas kata-kata

dalam ayat ini, dan mengedepankan ragam riwayat yang secara esensial

merupakan parafrase (interpretasi) atas ayat tersebut. 10 Misalnya, dia mengutip

tujuh riwayat dalam mengupas kata al-silm. Al-Tabarī menyimpulkan riwayat-

riwayat yang berkait dengan kata al-silm dengan mengatakan bahwa ayat ini lebih

tepat ditafsirkan al-silm dengan Islam. Maka takwilannya adalah perintah untuk

masuk ke dalam Islam secara kāffah. Alasan yang ia berikan untuk hal ini adalah

karena sesungguhnya ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang mukmin.

Sementara kata kāffah secara sepakat dimaknai dengan menyeluruh.

Namun, al-Tabarī menggarisbawahi terkait khitab tersebut. Ia secara tegas

mengatakan bahwa khitab tersebut apabila ditujukan kepada orang-orang

mukmin, maka tidaklah mungkin kata al-silm diartikan dengan perdamaian

sementara orang-orang mukmin dalam kondisi tidak berperang atau damai. Dalam

8
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (Mesir: Syarkah Maktabah wa
Maṯba‘ah Mushṯafa al-Bābi al-Halbi, 1946) Juz II, h. 114.
9
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
10
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015) h.
186.
79

hal ini al-Tabarī secara eksplisit menekankan konteks perang dan damai dalam

memahami makna al-silm kāffah. Sedangkan dalam kesempatan lain bila khitab

tersebut ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada nabi-nabi terdahulu

sementara mereka mengingkari kenabian Nabi Muhammad SAW. maka khitab

tersebut memerintahkan kepada mereka untuk memasuki agama Islam dan

mengikuti syariat Nabi Muhammad SAW. secara kāffah.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Tabarī dengan

didukung beberapa riwayat yang ia masukkan dalam menakwilkan ayat ini

kemudian ia jelaskan secara lebih luas terhadap al-silm kāffah yaitu bahwasannya

Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengamalkan

semua syariat Islam, masuk di dalamnya orang-orang yang beriman dan

membenarkan dengan Muhammad SAW. serta apa yang datang bersamanya dan

orang-orang yang beriman dengan para nabi sebelum Muhammad SAW. dan apa

yang dibawa oleh mereka, Allah telah menyeru kedua golongan tersebut untuk

mengamalkan syariat Islam dan ketentuan-ketentuannya, menjaga kewajiban yang

telah Allah bebankan kepada mereka, dan melarang untuk meninggalkan satu pun

dari ajaran tersebut, ayat ini umum masuk di dalamnya semua yang beriman, tidak

ada kekhususan antara yang satu dengan yang lain.‖11

Para mufassir generasi modern seperti ‗Abduh dan al-Marāghī berbeda

dengan al-Tabarī dalam menyikapi ayat tersebut. Berbeda dengan mufassir klasik

yang menyandarkan penafsirannya pada pendekatan tekstual. Sebaliknya,

11
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, (Bairūt: Dār al-Fikr,
2005) Jilid II, h. 401.
80

mufassir modern secara kuat menyadari adanya tantangan bagaimana

menghubungkan al-Qur‘an dengan berbagai masalah dan kebutuhan masyarakat

modern. 12 Sebagaimana diketahui bahwa kata al-silm dalam literatur tafsir

menyebutkan sebagian maknanya adalah Islam. Namun, makna Islam kemudian

bergeser ketika sebagian kalangan dalam ranah sosial melegitimasi penafsiran al-

silm kāffah dengan suatu idiom Islam kāffah. Masalah demikian sesuai apa yang

disajikan ‗Abduh dan al-Marāghī dalam penafsirannya.

‗Abduh dan al-Marāghī memberikan ruang kosong pada mufassir klasik

ihwal konteks yang mengitarinya dalam menafsirkan al-silm kāffah QS. [2]: 208.

Perhatian mereka berdua terhadap konteks tersebut dapat diidentifikasi dalam

penafsirannya sebagai berikut:

―Menurut al-Marāghī, di antara pokok-pokok berserah diri kepada Allah


ialah cinta damai dan meninggalkan pertempuran di antara orang-orang
yang sehidayah. 13 Sementara menurut ‗Abduh: Prinsip al-silm adalah
mematuhi perintah Allah dan ikhlas menjalankannya, serta adanya
kesepakatan dan saling memberi keselamatan di antara manusia,
meninggalkan peperangan dan pembunuhan di antara orang-orang yang
sudah diberi petunjuk.‖14

Penafsiran ini secara garis besar mewakili makna lain dari al-silm yaitu

perdamaian. Meskipun demikian, secara panjang lebar ‗Abduh telah menjabarkan

kontekstualisasi dari ayat tersebut. ‗Abduh dalam penjelasan penafsirannya

membagi dua persoalan yang menjadi perhatian umat Islam. Pertama, fanatisme

madzhab, kedua, upaya rekonsiliasi.15Yang pertama ia angkat berdasarkan realitas

12
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, h. 40.
13
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
14
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
15
Menurut Saeed, para ulama modern termasuk ‗Abduh, konteks modern menuntut
peninjauan ulang terhadap warisan intelektual Muslim di mana umat Islam saat itu cenderung
81

yang terjadi pada masanya terkait fanatisme antar madzhab. Dalam penafsirannya,

‗Abduh mengatakan bahwa teks al-Qur‘an harus dipahami secara keseluruhan,

tidak dengan cara seporadis mengambil satu ayat atau hadis saja untuk dijadikan

pembenaran madzhabnya.16

Dalam hal aspek rekonsiliasi, ‗Abduh menjelaskan bahwa upaya

rekonsiliasi merupakan suatu yang dapat menghilangkan permusuhan dan

pertentangan, dengan cara menjaga persatuan, serta memperkokoh persaudaraan. 17

Ia berpendapat bahwa akibat persoalan madzhab manusia menjadi terpecah belah.

Maka ia menyimpulkan bahwa penafsiran al-silm kāffah yang tepat adalah

memasuki islam secara komprehensif dengan sarat adanya kesepakatan dan

perdamaian di antara sesama umat Islam serta meninggalkan fanatisme madzhab.

Upaya mengkontekstualisasikan ayat seperti yang dijelaskan ‗Abduh

tersebut merupakan sesuatu yang tidak terdapat pada mufassir klasik. Bahkan jika

melihat penafsiran al-Qurtubī, ini sesuai dengan perkataan Abdullah Saeed bahwa

sebuah usaha untuk kembali kepada pendekatan text-centric (berpusat pada teks)

al-Tabarī. 18 Ini sesuai dengan perkataannya yang mengutip al-Tabarī bahwa al-

Tabarī menafsirkan kata (al-silm dalam ayat ini) dengan Islam karena alasan yang

telah disebutkan.19 Ia sama dengan al-Tabarī yaitu memasukkan beberapa riwayat,

akan tetapi berbeda dengan al-Tabarī, al-Qurtubī memberikan penafsiran hukum

setelahnya.

mengikutinya secara buta (taqlīd). Lihat Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual,
h. 41.
16
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
17
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209.
18
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, h. 194.
19
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393.
82

Sejak awal al-Qurtubī menjelaskan bahwa ayat sebelumnya membicarakan

tentang orang-orang beriman, orang munafik dan orang kafir. Maka makna kata

al-silm yang tertera dalam ayat ini menurut al-Qurtubī adalah Islam.20 Penjabaran

tentang Islam yang dimaksud, al-Qurtubī tempatkan dalam corak penafsirannya

yaitu corak fiqh. Dalam hal ini ia menyebut bahwa Islam terdiri dari delapan

bagian, yaitu shalat, zakat, puasa, haji, umrah, jihad, memerintahkan kepada yang

ma„ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Merugi sekali orang tidak mempunyai

bagian dalam Islam. 21 Demikian menurut al-Qurtubī. Penemuan al-Qurtubī

terhadap makna al-silm dengan Islam juga ia perkuat dari salah satu syair:

‫ نهرٍأس اىلىذ اٍٍٍشتذه‬...‫ذشٍشعٍ نلسلل اول‬


‫خ ى عد‬
―Aku menyeru keluargaku untuk menganut agama Islam ketika aku

melihat mereka berpaling ke belakang.‖

Partikel al-silm dalam syair tersebut bermakna Islam karena konteks yang

mempengaruhi syair tersebut berkaitan dengan adanya sebagian kabilah Kindi

yang murtad setelah Rasulullah meninggal. Maka jelas al-silm dalam konteks

syair tersebut bermakna dengan Islam.

Jika melihat pendekatan al-Tabarī dan al-Qurtubī dalam menafsirkan ayat


ini, maka keduanya sama-sama memberi perhatian yang khusus terhadap—

meminjam istilah Abdullah Saeed yaitu tekstual.22 Untuk kasus ayat ini, al-Tabarī

20
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 392.
21
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393.
22
Salah satu yang menjadi perhatian Saeed dalam memahami tafsir tekstual adalah ada
pada aspek qira‘at dan riwayat yang menurutnya diberlakukan secara statis. Pendekatan ini
didasarkan pada pandangan bahwa makna yang sudah baku ini memungkinkan sang pembaca tetap
83

dan al-Qurtubī dalam tafsirnya lebih didominasi oleh sumber-sumber riwayat

(atsar) dan perdebatan qira‘at (kebahasaan). Sebagaimana telah disebutkan bahwa

sesuatu yang tidak terdapat dalam diri al-Qurtubī adalah terletak pada tidak

adanya pen-tarjih-an terhadap riwayat sebagaimana yang dilakukan oleh al-

Tabarī. Namun keduanya sama-sama menaruh perhatian pada aspek qira‘at yang

cukup serius.

Perihal qira‘at menjadi elemen yang sangat penting dalam tafsir al-Tabarī

dan al-Qurtubī. Karena dengan cara menelusuri perdebatan qira‘at bisa ditemukan

suatu makna dasar terhadap suatu kata. Secara garis besar, mufassir klasik seperti

al-Tabarī dan al-Qurtubī mengutip perdebatan qira‘at dalam menafsirkan ayat al-

silm kāffah terdapat tiga kelompok. Pertama, kelompok yang membaca kata al-

silm dengan kasrah bermakna Islam. Kedua, kelompok yang membaca al-silm

dengan fathah bermakna perdamaian. Ketiga, kelompok yang mengakomodir

keduanya yaitu al-silm bisa dibaca dengan kasrah dan fathah yang bermakna

Islam dan perdamaian. Sementara kata kāffah tidak ada perdebatan secara kata

atau pun makna.

Sampai pada tahap ini dapat disimpulkan bahwa mufassir klasik seperti al-

Tabarī dan al-Qurtubī menafsirkan kata al-silm kāffah dengan agama Islam secara

menyeluruh, melalui perangkat riwayat-riwayat, qira‘at atau pun syair pada masa

awal Islam. Mesikpun al-Tabarī telah melakukan penafsiran yang secara tekstual

tersebut, sisi lain yang harus menjadi pertimbangan adalah bahwa al-Tabarī tetap

loyal dengan teks dan menjauhkan diri dari subjektivitas yang bisa masuk ke dalam penafsiran
teks. Lihat Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, h. 39.
84

mengakomodir berbagai takwilan yang ada. Sedangkan Muhammad ‗Abduh dan

al-Marāghī menafsirkan kata al-silm kāffah dengan mengkaitkan dengan konteks

sosial yang mengitarinya yaitu perihal fanatisme madzhab dan rekonsiliasi di

antara umat Islam.

D. Relevansi Penafsiran ayat al-Silm Kāffah dalam Konteks Indonesia

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Islam kāffah hingga kini masih

multi-tafsir dalam pandangan para mufassir. Ada sebagian yang memahami Islam

kāffah sebagai pelaksanaan syariat Islam secara total (kāffah) termasuk dengan

memberi label negara Islam dan sejenisnya. 23 Mereka beranggapan kelompok

yang tidak sehaluan, dituduh tidak Islami dan menolak syariat Islam. Salah satu

dalil yang kerap dijadikan landasar dasar teologinya adalah QS. Al-Baqarah [2]:

208. Di samping menafsirkan dengan Islam, sebagian mufassir memahami kata

al-silm tersebut dengan tunduk, patuh, dan perdamaian.

Kalau Islam kāffah itu kemudian dimaknai dengan keharusan untuk

mendirikan negara Islam, maka sebenarnya nabi sendiri secara eksplisit tidak

memerintahkan atau mewariskan konsep negara tertentu. 24 Ayat di atas juga

secara implisit tidak menegaskan bahwa berislam secara kāffah tidak harus

23
Misalnya para mufassir klasik seperti dalam Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an
Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 323. Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 329. Al-Hā fiz
‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm, (Cairo:
Mu‘assasah Qurṯubah, 2000) Juz II, Cet. I, h. 273.
24
Pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Nabi merupakan hasil dari banyak peristiwa
yang terjadi secara kebetulan, meskipun ia merupakan pemecahan yang paling sesuai dengan
praktik-praktik tradisional Arab. Jelas tidak ada motif agama dalam pemilihan itu. Sumber -sumber
sejarah menunjukkan bahwa mereka merasa kehilangan akal pada saat itu, karena tidak punya
aturan eksplisit untuk menghadapi keadaan itu, dan reflek-reflek politiklah yang dominan saat itu.
Lihat Abdelmajid Charfi, Sudah Tibakah Waktu Pembaruan Islam? dalam Abdou Filali-Ansary,
Pembaruan Islam: Dari Mana dan Hendak ke Mana? Penerjemah: Machasin, (Bandung: Mizan,
2009) h. 284.
85

dengan sebuah negara yang berlabelkan Islam. Apalagi usaha untuk

memformalkan ajaran Islam ke dalam bentuk negara dalam konteks Indonesia

jelas bertentangan dengan konteks ayat di atas. Sebab tidak hanya akan

bermasalah pada aspek penafsiran, tetapi juga akan menimbulkan konflik sosial

dan agama. Persatuan dan kesatuan yang sekian lama diikat oleh Pancasila 25

dalam bentuk NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) akan terancam.26

Namun, sampai sekarang kalangan fundamentalisme Islam selalu

menggembor-gemborkan apa yang Kuntowijoyo sebut dengan konsep kehidupan

teosentris, yaitu bahwa seluruh kehidupan berpusat kepada Tuhan. Sehubungan

dengan ini Kuntowijoyo menulis:

―Dalam banyak sekali ayat kita melihat bahwa iman, yaitu keyakinan
religius yang berakar pada pandangan teosentris, selalu dikaitkan dengan
amal, yaitu perbuatan atau tindakan manusia; keduanya merupakan suatu
kesatuan yang tak terpisahkan. Ini berarti bahwa iman harus selalu
diaktualisasikan menjadi amal; bahwa konsep tentang iman, tentang
tauhid, harus diaktualisasikan menjadi aksi kemanusiaan. Pusat dari
perintah zakat—misalnya—adalah iman, adalah keyakinan kepada Tuhan;
tapi ujungnya adalah untuk terwujudnya kesejahteraan sosial.‖27

25
Rumusan Pancasila secara imperatif harus dilaksanakan oleh rakyat Indonesia dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang integral,
yang saling mengandaikan dan saling mengunci. Ketuhanan dijunjung tinggi dalam kehidupan
bernegara, tetapi diletakkan dalam konteks negara kekeluargaan yang egaliter, yang mengatasi
paham perseorangan dan golongan; selaras dengan visi kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan kebangsaan, demokrasi permusyawaratan yang menekankan konsensus, serta keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemimpin MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode
2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal
MPR RI, 2012) Cet. II, h. 88.
26
Pada batas-batas tertentu, Indonesia menganut atau menerapkan nilai-nilai sekularistik,
dan secara bersamaan juga menganut nilai-nilai religius. Kenyataan ini harus dipertimbangkan
dalam hubungannya dengan penerapan syariat Islam di Indonesia. Jika dicermati, aspek
persinggungan antara syariat Islam (sebagai konsep penerapan hukum positif) dan kepentingan
warga negara di Indonesia juga akan mengalami banyak kendala. Sebagaimana menurut Gus Dur,
kehadiran sistem Islami tersebut secara otomatis akan membuat mereka yang tidak beragama
Islam secara otomatis menjadi warga negara kelas dua. Lihat Halid Alkaf, Quo Vadis: Liberalisme
Islam Indonesia, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2011) h.235. Lihat juga Abdurrahman
Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. h. 4
27
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008) Cet.
I, h. 383.
86

Tulisan Kuntowijoyo di atas relevan bila dikaitkan dengan QS. Al-Baqarah

[2]: 208, 28 berbicara tentang seruan untuk orang-orang yang beriman lalu

keimanannya direalisasikan dengan perintah untuk masuk ke dalam


Islam/perdamaian secara kāffah. Dikotomi dua makna antara Islam dan

perdamaian tersebut yang mengantarkan pada implikasi yang sangat vital dalam

konteks sekarang. Gus Dur telah mengatakan bahwa implikasi penafsiran al-silmi

menjadi Islam mengharuskan adanya sebuah entitas formal, sedangkan secara

perkembangannya, pengandaian Islam secara formalis tersebut selalu

mendapatkan tindakan repressif oleh kelompok Islam arus utama29 sebagaimana

beberapa contoh kasus di atas.

Kalangan Islam yang cara berfikirnya fundamental mensematkan al-silm

dengan Islam kāffah, mereka merujuk ke beberapa kitab tafsir klasik yang

representatif seperti tafsir al-Ṯabarī. 30 Seperti contoh tulisan Rokhmat S. Labib

yang berjudul Masuk Islam Secara Kāffah, ia menafikan makna lain dari al-silm

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam al-silm keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang
nyata bagimu.”
29
Penyebutan kelompok Islam arus utama untuk menggambarkan perlawan terhadap
gerakan Islam yang Kuntowijoyo sebut dengan kelompok sempalan. Kelompok sempalan tersebut
yang selalu mendapatkan resistensi oleh kelompok Islam arus utama. Kuntowijoyo membagi dua
jenis kelompok sempalan. Pertama, kelompok sempalan dalam arti keagamaan dan kedua,
kelompok sempalan dalam arti politik. Jika kelompok pertama berada di luar main-stream,
kelompok kedua—sekalipun cenderung mempunyai berbeda—masih tetap dalam main-stream
umat. Selengkapnya lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, h. 340.
30
Menurut al-Ṯabarī, tafsiran yang lebih utama tentang firman: ‫ اىلخدا نلسلا ٍف‬adalah
pendapat yang mengatakan: Bahwa maknanya adalah masuklah ke dalam Islam dengan
sepenuhnya. Lihat Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 399. Lihat juga
Al-Hā fiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm,
(Cairo: Mu‘assasah Qurṯubah, 2000) Juz II, Cet. I, h. 273. Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam
al-Qur‟ān, h. 329.
87

yakni al-musālamāh yang bermakna perdamaian, atau meninggalkan perang. 31

Menurutnya, bila menafsirkan al-silm dengan perdamaian, maka jelas

bertentangan dengan banyak ayat dan hadits yang mewajibkan perang melawan

kafir.32 Implikasi penafsiran demikian yang telah banyak diadopsi oleh kalangan

Islam fundamentalis untuk memperkokoh visi-misinya sebagai golongan yang

mempresentasikan muslim yang total (kāffah).33

Oleh karena itu, apabila menafsirkan al-silm kāffah dengan Islam kāffah

tersebut kontradiktif pada tataran sosiologis, maka alternatif lain yang harus

ditekankan di sini adalah mencari penafsiran yang relevan—berdimensi inklusif.

Karena penafsiran yang berdimensi eksklusif yang digencarkan oleh sebagian

kelompok Islam, terkadang cenderung menghasilkan produk tafsir yang radikal.34

Implikasi dari penafsiran yang harfiah (tekstual) tersebut, kemudian banyak yang
31
Beberapa kitab tafsir mengaitkan makna al-silm sebagai bagian untuk menegakkan
perdamaian dan meninggalkan peperangan. Misalnya Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-
Marāghī, Juz II, h. 114. Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 399.
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr (Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1990) Juz 5-6, h. 176.
32
Rokhmat S. Labib mengutip QS. Al-Baqarah [2]: 216 tentang ayat yang artinya,
diwajibkan atas kalian perang. Ia mempertegas bahwa kewajiban tersebut makin dikukuhkan
dengan adanya perintah kepada kaum Muslim untuk berangkat perang, baik dalam keadaan ringan
maupun berat (QS. Al-Taubah [9]: 41. Bagi yang tidak mau berangkat, diancam dengan azab yang
pedih (QS Al-Taubah [9]: 39). Bahkan, perang yang diwajibkan itu bukan hanya ketika kaum
Muslim diserang musuh (QS. Al-Baqarah [2]: 190). Bertolak dari fakta tersebut menurut Rakhmat,
kata al-silm tidak bisa dimaknai al-musālamah (perdamaian). Selebihnya bisa diakses di
http://mediaumat.com/telaah-wahyu/917.html. Diakses pada tanggal 5/November/2016.
33
Syu‘bah Asa memberikan komentarnya terkait penggunaan makna antara Islam dan
perdamaian dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208 tersebut. Ia mengajukan pertanyaan, mengapa arti
‗kedamaian‘ jarang sekali dipilih? Karena, dalam rangkaian ayat sebelumnya terdapat pernyataan
tentang para munafik yang, kalau diambil sebagai dasar pertimbangan (meski tidak harus,
mengingat kadar kaitan yang tidak mutlak), menjadikan arti ‗kedamaian‘ dalam ayat ini mungkin
terasa sedikit antagonistis. Kasus munafik pula yang menyebabkan mayoritas mufassir (tidak
semua) menghubungkan silm dengan keberislaman secara keseluruhan. Lihat Syu‘bah Asa, Dalam
Cahaya Al-Qur‟an Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000) h.
113.
34
Menurut Baharudin, tradisi muslim ‗radikal‘ sering menafsirkan beberapa ayat al-
Qur‘an secara sepotong-potong untuk menguatkan pendirian dan ideologinya. Lihat Mohammad
Baharudin, Islam Idealitas Islam Realitas, (Jakarta: Gema Insani, 2012) h. 41. Zuhairi Misrawi,
Al-Qur‟an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007)
h. 38. Lihat juga Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana. Penerjemah: Nurhadi dan Izzuddin
Washil, (Bandung: Mizan Publika, 2013) h. 104.
88

menstigmatisasi Islam sebagai agama yang keras. 35 Oleh karena itu, kebutuhan

mengadopsi penafsiran yang inklusif lebih bertujuan untuk membela al-Qur‘an

sebagai kitab toleransi, 36 dan mengembalikan citra Islam sebagai agama yang

damai.37

Dalam konteks inilah, menafsirkan al-silm kāffah dengan perdamaian

yang menyeluruh (kāffah) menemukan lokusnya. Al-Qur‘an tidak lagi ditafsirkan

secara eksklusif, melainkan al-Qur‘an dilegitimasi untuk sebuah pembenaran yang

positif untuk menebarkan benih Islam yang penuh dengan kasih sayang bukan

Islam yang garang, akan tetapi Islam rahmah li al-„ālamīn. 38 Al-Qur‘an

menggunakan istilah al-silm kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 bukan kemudian

ditafsirkan menjadi sebuah doktrin yaitu Islam kāffah, melainkan berupa seruan

35
Roni Ismail, Islam dan Damai (Kajian Atas Pluralisme Agama Dalam Islam), dalam
Kompetisi Damai dalam Keragaman, (Religi: Jurnal Studi Agama-agama, Vol. IX, No. 1, 2013) h.
53.
36
Contoh buku yang membahas tentang ini adalah karangan Zuhairi Misrawi, Al-Qur‟an
Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007).
37
Salah satu dari sembilan puluh sembilan Asma Allah adalah al-Salām (Maha Damai).
Setiap lafaz (kata) yang diucapkan umat Islam dalam setiap shalat yang lima kali sehari semalam
adalah kata-kata perdamaian. Ucapan pertama ketika selesai dari shalat adalah ―salam‖
(perdamaian). Ketika umat Islam saling berjumpa pun mengucapkan ―salam‖ (perdamaian).
Demikian juga, kata sifat dari muslim artinya perdamaian dan surga dalam Islam adalah suatu
tempat yang damai (Dār al-Salām). Semua ini memperlihatkan betapa mendasar dan kuatnya
pengertian perdamaian dalam Islam. Lihat Supriyanto, Perdamaian dan Kemanusiaan Dalam
Pandangan Islam, (Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 7, No. 2, Desember
2013) h. 311. Lihat juga Komaruddin Hidayat, Psikologi Beragama: Menjadikan Hidup Lebih
Ramah dan Santun, (Jakarta: Hikmah, 2010) Cet. II, h. 35.
38
Al-Qur‘an secara tegas dan gamblang menyatakan bahwa seruan Islam diturunkan
untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiyā‘ [21]: 107). Nabi Muhammad Saw. sendiri
telah mengidentifikasi dakwahnya ketika bersabda: Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak manusia.” Sabda ini menurut Mahmud Hamdi Zaqzuq, merupakan
penolakan kuat terhadap segala bentuk radikalisme, fanatisme, dan bentuk kekerasan lainnya.
Lihat Mahmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi. Penerjemah: Abdullah Hakam
Shah, (Yogyakarta: LKiS, 2004) h. 112. Lihat juga M. Ridwan Lubis, Agama dalam Diskursus
Intelektual dan Pergumulan Kehidupan Beragama di Indonesia, (Jakarta: Kementerian Agama
Republik Indonesia Pusat Kerukunan Umat Beragama, t.th) h. 385.
89

membangun perdamaian secara total, tidak setengah-setengah.39 Ketika seseorang

telah menjalankan perdamaian secara kāffah, ia akan menemukan kedamaian di

dunia yang ia dambakan. 40

Seruan perdamaian telah dibahas pada mufassir modern seperti ‗Abduh

dan al-Marāghī dalam penafsirannya terhadap QS. Al-Baqarah [2]: 208.

Kecenderungan menafsirkan al-silm dengan perdamaian ini dipertegas kembali

oleh mufassir Indonesia seperti Hasbi Ash-Shiddieqy, 41 Mahmud Yunus, 42 dan

Quraish Shihab. Dalam penafsirannya mereka lebih cenderung memaknai al-silm

dengan perdamaian bukan dengan Islam. Penafsiran menarik dari Hasby dalam

tafsirannya, ia mengemukakan bahwa di antara dasar-dasar Islam adalah

39
Bagi Tariq Ramadhan sebagaimana dikutip Abd. Muid, umat Muslim seharusnya
melakukan rekonsiliasi antara keinginannya dengan pesan-pesan keadilan, kesetaraan, dan
pluralisme, daripada terobsesi terhadap aplikasi formalistik atas hukuman-hukuman dalam Islam
yang sebenarnya lebih merupakan bentuk frustasi atau perasaan ter-alienasi terhadap kenyataan
dominasi Barat. Abd. Muid N. Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi
Multikultural, dalam Jurnal Bimas Islam, Vol. 6 no. 4, Tahun 2013, h. 649.
40
Menarik mengutip pendapatnya Imam Taufiq, ia mengatakan bahwa istilah al-silm
kāffah ia sebut sebagai perdamaian fluktuatif, yaitu perwujudan sinergi antara karakter perdamaian
dan strategi perdamaian guna mewujudkan perdamaian. Sesuai sifatnya, perdamaian fluktuatif ini
bersifat dinamis karena pada dasarnya perdamaian dunia yang dijelaskan al-Qur‘an tidak lepas dari
fluktuasi perubahan kondisi psikis seseorang dan kondisi sosial. Lihat Imam Taufiq, Al-Qur‟an
Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis Al-Qur‟an, (Bandung: Bentang, 2016) h.
113.
41
Prof. DR. Hasbi al-Shiddieqy lahir di Lhokseumawe, 10 Maret 1904/22 Zulhijah 1321
H, wafat di Jakarta, 9 Desember 1975/5 Dulhijah 1395 H. Ia seorang ulama Indonesia, ahli ilmu
fiqh dan ushul fiqh, tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Ayahnya, Teungku Qadhi Chik Maharaja
Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su‘ud, seorang ulama terkenal di kampungnya dan
mempunyai sebuah pesantren (meunasah). Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku Chik
Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, putri seorang Qadhi Kesultanan Aceh ketika itu. Menurut
silsilah, Hasbi al-Shiddieqy adalah keturunan Abu Bakar al-Shiddieq (573-634 M/13 H), khalifah
pertama. Ia sebagai generasi ke 37 dari khalifah tersebut melekatkan gelar al-Shiddieqy di
belakang namanya. Lihat Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013)
Cet. II h. 159.
42
Mahmud Yunus dilahirkan pada tanggal 10 Februari 1899 Masehi. Bertepatan dengan
tanggal 29 Ramadhan 1316 H di desa Sungayang Baru Sangkar Sumatera Barat. Tahun
kelahirannya bersamaan dengan dicetuskannya politik etics, assosiate politik, atau lebih dikenal
oleh masyarakat dengan zaman politik balas jasa dari pemerintah kolonial Belanda.uapaya balas
budi terhadap masyarakat Indonesia dilakukan melalui jalur pendidikan. Meskipun secara yuridis
formal sudah ditetapkan pada tahun 1899, namun secara efektif baru terealisir awal abad kedua
puluh. Selebihnya lihat Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 58.
90

kerukunan dan perdamaian sesama manusia, dan tidak saling menyerang antar-

pemeluknya.43 Hampir senada dengan Hasby, Shihab menafsirkan al-silm dalam

ayat tersebut dengan kedamaian atau Islam, makna dasarnya adalah damai atau

tidak mengganggu.44 Perdamaian menurut Quraish Shihab merupakan salah satu

ciri utama agama Islam. Ia lahir dari pandangan ajarannya tentang Allah. Tuhan

Yang Mahakuasa, alam, dan manusia.45

Islam adalah agama perdamaian.46 Perdamaian merupakan dasar hubungan

dalam Islam. Sehingga menurut Imam Taufiq, Islam mengajarkan perdamaian

sebagai prinsip hubungan antarmanusia. Hal itu tercermin dari kata Islam yang

mengandung arti perdamaian, sehingga setiap insan yang mengikrarkan diri

sebagai muslim sepatutnya mengejewantahkan perdamaian sebagai prinsip

interaksi sosial.47

Jika mengkaitkan penafsiran mufassir modern dan diikuti oleh mufassir

Indonesia di atas, secara substansi memiliki nilai dasar yang sama dengan

pemikiran-pemikiran cendekiawan Muslim seperti Gus Dur maupun Cak Nur

terkait masalah demikian. Dalam bukunya Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Gus

Dur mempertegas bahwa nilai yang terkandung dari sebuah perdamaian,

menunjuk pada sebuah entitas universal, yang tidak perlu dijabarkan oleh sebuah
43
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000) h. 434.
44
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2009) Cet. I, Vol. I, h. 543.
45
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1999) Cet IX, h. 378.
46
Askar, Mengembangkan Budaya Damai di Sekolah Melalui Manajemen Kelas Yang
Demokratis Berbasis Nilai-nilai Keislaman, (Palu: Jurnal Hunafa, Vol. 6, No. 2, Agustus 2009) h.
143.
47
Imam Taufiq, Al-Qur‟an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis Al-
Qur‟an, h. 202.
91

sistem tertentu, termasuk sistem Islami.48 Sementara Cak Nur menekankan bahwa

inti ajaran Islam menurutnya, yaitu damai, kedamaian, perdamaian dan semua

pengertian perluasannya yang dalam bahasa Arab dinyatakan dalam kata-kata

yang di-tashrif-kan dari akar kata s-l-m seperti salām, salāmah atau salāmatun,

salam, salm, silm, adalah juga bersifat universal atau menjagad-raya.49 Dalam hal

ini bukan al-silm yang diartikan Islam lalu bergeser ke arah ideologisasi.

Sebab Islam itulah inti hidup keagamaan, yaitu sikap tunduk (dīn, dari kata

kerja dāna-yadinu) kepada Allah Swt. Yang menghasilkan salam (damai) dengan

Allah, diri sendiri, sesama manusia dan alam sekelilingnya. Maka Islam

menghasilkan salāmah (salamat, selamat), sejahtera dan sentosa. 50 Dengan

demikian Islam berarti damai, dan juga berarti tunduk dan patuh kepada kehendak

Allah. Dua pengertian ini mempunyai akar yang sama secara psikologis. Allah

berarti kehendak universal yang kreatif dan abadi dari setiap keberadaan; Allah

berpihak pada keharmonisan dan segala sesuatu yang memihak kepada konflik

atau ketidakharmonisan berarti anti Tuhan (Allah).51

Terkait kemungkinan makna kedua, harus disadari bahwa saat ini

kedamaian merupakan kebutuhan urgen umat Muslim; kedamaian internal dan

kedamaian eksternal menyangkut hubungan umat Islam dengan kelompok lain

(non-Muslim). Umat Muslim perlu menanamkan penolakan, di dalam jiwa

48
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara
Demokrasi. h. 3.
49
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah. (Jakarta: Paramadina, 2008) Cet. III, h. 220.
50
Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru
Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2010) Cet. IV, h. 78.
51
Khalifah Abdul Hakim, Hidup yang Islami: Menyeharikan Pemikiran Transedental
(Akidah dan Ubudiah), Penerjemah: Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali Press, 1986) h. 3.
92

mereka, terhadap segala bentuk pertikaian di antara mereka sendiri. Pertikaian

tersebut sebagaimana ‗Abduh dan al-Marāghī gambarkan dalam penafsirannya:

―Setiap madzhab memusuhi madzhab lainnya dengan anggapan bahwa


mereka sendirilah yang menegakkan agama. Padahal hakikatnya mereka
menghina agama, karena membuat perpecahan di kalangan kaum
muslimin. Yang bermazhab Sunni menghantam saudaranya sendiri yang
bermadzhab Syi‗ah, yang bermadzhab Syafi‗i menghina Bangsa Tar-Tar,
oleh karena mereka menganut madzhab Abu Hanifah, dan mereka yang
mengikuti ulama khalaf (mutaakhirin) mengecam pengikut-pengikut
madzhab ulama salaf, demikian seterusnya.‖52
Maka dengan demikian, berdasarkan pertimbangan di atas menurut hemat

penulis, menafsirkan al-silm kāffah dengan perdamaian secara menyeluruh lebih

relevan daripada menafsirkan al-silm kāffah dengan Islam secara menyeluruh atas

dasar segala pertimbangan atau implikasi-implikasi yang akan mengarah kepada

sikap eksklusif, seperti intoleransi, dan bahkan ekstrimisme apabila menafsirkan

al-silm kāffah dengan Islam secara menyeluruh bukan dengan perdamaian yang

kāffah (menyeluruh).

52
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114. Senada dengan ini, kasus lain
misalnya; yang berjilbab mencela yang tidak berjilbab; yang berjenggot memandang rendah yang
tidak berjenggot; Ahl al-Sunnah mengkafirkan Syi‟ah, dan begitu sebaliknya. Belum lagi
pertentangan-pertentangan dengan para penganut agama-agama lain, khususnya Kristen dan
Yahudi. Demikianlah kondisi umat Muslim; dari dulu hingga sekarang. Pengantar Penyunting,
Menembus Dinding Pembatas, dalam Mukti Ali, Islam Mazhab Cinta (Bandung: Mizan, 2015) h.
35.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan skripsi ini menunjukkan bahwa kata al-silm dimaknai dengan

―lembaga‖ oleh mufassir klasik dan ―nilai‖ oleh mufassir modern. Kata al-silm

dalam tafsir al-Tabarī dan al-Qurtubī diartikan dengan agama islam, sementara al-

silm dalam tafsir Muhammad ‗Abduh dan al-Marāghī diartikan dengan

kepasrahan, ketundukan dan perdamaian. Kedua pemaknaan ini berimplikasi

terhadap penafsiran al-silm kāffah yang ditafsirkan dengan penerapan syariat

Islam secara menyeluruh dalam kehidupan, sebagaimana penafsiran al-Tabarī dan

al-Qurtubī. Sedangkan mufassir modern, Muhammad ‗Abduh dan al-Marāghī,

menafsirkan al-silm kāffah dengan mematuhi perintah Allah secara komprehensif

dan ikhlas menjalankan-Nya, saling memberi keselamatan di antara manusia,

meninggalkan peperangan/permusuhan dan pembunuhan, serta memperkokoh

persaudaraan.

Dari kedua penafsiran mufassir klasik dan modern tersebut, penafsiran

‗Abduh dan al-Marāghī lebih relevan dengan konteks Indonesia saat ini karena

masyarakat Indonesia yang majemuk dan plural yang bertumpu pada ideologi

pancasila dan UUD 1945 mengharuskan saling menjaga persatuan dan kesatuan

untuk mencapai kemaslahatan dan keharmonisan bersama di dalam bernegara.

Sedangkan sebaliknya, penafsiran al-Tabarī dan al-Qurtubī tidak relevan karena

93
94

mengharuskan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh yang secara jelas

bertentangan dengan ideologi pancasila dan UUD 1945.

B. Saran-saran

Seperti termaktub dalam al-Qur‘an bahwa ―kebenaran itu dari Tuhanmu

(QS. Al-Baqarah [2]: 147).‖ Begitu pula dengan skripsi ini yang sangat jauh dari

kesempurnaan dan kebenaran, karenanya yang absolut hanya milik Allah semata.

Berkenaan dengan pembahasan ini bahwasannya masih banyak yang bisa lebih

dieksplorasi dalam skripsi ini, seperti halnya bagaimana masih ada upaya

beberapa sebagian kelompok Islam yang menafsirkan al-Qur‘an secara literaris

akhir-akhir ini di Indonesia.

Selain itu, teks ini berangkat dari ayat yang sifatnya qaṯ‟i. Namun ayat ini

sering dipolitisasi untuk dijadikan senjata dalam mendukung ideologi kaum

tertentu. Oleh karena itu, penting untuk penelitian selanjutnya perlu diteliti lebih

jauh tentang ―Tafsir al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208‖ dalam spektrum

pembahasan yang lebih luas dan komprehensif.


95

Daftar Pustaka

Abdillah, Junaidi, Dekontruksi Tafsir Ayat-ayat Kekerasan, Lampung: Analisis,


Volume XI, Nomor 1, Juni 2011.

‗Ali Ja‗far, Musa‗īd Muslim, Manāhij al-Mufassirīn, Dār al-Ma‗rifah, 1980.

Ali, Mukti, Islam Mazhab Cinta: Cara Sufi Memandang Dunia, Bandung: Mizan,
2015.

Amir, Mafri, Literatur Tafsir Indonesia, Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013.

Amri, Arie Machlina, Metode Penafsiran Al-Qur‟an, INSYIRAH: Jurnal Ilmu


Bahasa Arab dan Studi Islam, Vol. 2, No. 1, Juni 2014.

Andalūsī, Abī Hayyān al-, al-Bahr al-Muhīt, Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah,
Cet. I Juz II, 1993.

Andalūsī, Ibnu ‗Atiyyah al-, al-Muharrar al-Wajīz fī Tafsīr al-Kitāb al-„Azīz,


Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, Juz I, 2001.

Anwar, M. Syafi‘i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995.

Asa, Syu‘bah, Dalam Cahaya Al-Qur‟an Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik, Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur,


Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.

Askar, Mengembangkan Budaya Damai di Sekolah Melalui Manajemen Kelas


Yang Demokratis Berbasis Nilai-nilai Keislaman, Palu: Jurnal Hunafa,
Vol. 6, No. 2, Agustus 2009.

Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab - Indonesia,


Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak 1996.

Audah, Ali, Dari Khazanah Dunia Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.

Badarussyamsi, Fundamentalisme Islam: Kritik atas Barat, Yogyakarta: LKiS,


2015.

Badruzzaman, Abad, Menggagas Tafsir Ala Indonesia: Sebuah Upaya


Revitalisasi dan Pribumisasi Al-Qur‟an, dalam Muhlis M. Hanafi (ed.),
96

Al-Qur‟an di Era Global: Antara Teks dan Realitas, Jakarta: Lajnah


Pentashihan Mushaf al-Qur‘an, 2013.

Baghdādī, Imȃm al-Alūsī al-, Rūẖ al-Ma‟ānī fī Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm wa al-
Sab„ al-Matsānī, Bairūt: Dār Iẖyā‘ al-Turats al-‗Arabī, t.th. Juz II.

Baharudin, Mohammad, Islam Idealitas Islam Realitas, Jakarta: Gema Insani,


2012.

Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2005.

Baidhāwī, Muhammad al-Syairazī al-, Tafsīr al-Baidhāwī al-Musammā Anwār al-


Tanzīl wa Asrār al-Ta‟wīl. Cairo: Al-Maktabah al-Taufīqiyyah. Juz I, t.th.

Barry, M. Dahlan Al-, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, t.th.

Dzahabī, Muẖammad Husaīn al-, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Kuwait: Dār al-


Nawādir, Jilid I, 2010.

————, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1. Penerjemah: H. Nabhani Idris, Jakarta:


Kalam Mulia, 2010.

Dimasyqī, Al-Hāfiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗il Ibn Katsīr al-, Tafsīr al-
Qur‟ān al-„Azīm, Mu‘assasah Qurtubah, Juz II, Cet. I, 2000.

Esack, Farid, Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur‟an, Liberalisme, Pluralisme,


Penerjemah: Watung A. Budiman, Bandung: Mizan, 2000.

Filali-Ansary, Abdou, Pembaruan Islam: Dari Mana dan Hendak ke Mana.


Penerjemah: Machasin, Bandung: Mizan, 2009.

Fouda, Farag, Kebenaran Yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan
dalam Sejarah Kaum Muslim, Penerjemah: Novriantoni, Jakarta:
Paramadina, 2008 Cet. II, h. 9.

Ghazali, Abd. Moqsith, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi


Berbasis Al-Qur‟an, Jakarta: KataKita, 2009.

Ghazali, Abd. Moqsith, Ummu Kaltsum, Lilik, Tafsir Ahkam, Ciputat: UIN Press,
2015.

Ghazali, Syaikh Muhammad Al-, Al-Qur‟an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan


Pesan Kitab Suci dalam Konteks Masa Kini, Bandung: Mizan, 2008.
97

Glasse, Cyril, Ensiklopedia Islam, Penerjemah: Ghufron A. Mas‘udi, Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada, 1999.

Hadi, Umar, Mu‘ti, Abdul, Rahman, Izza, Mundzir, Ilham, (ed.), Islam in
Indonesia: A to Z Basic Reference, (Jakarta: Directorate of Public
Diplomacy of the Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia,
2011) Cet. II.

Hakim, Khalifah Abdul, Hidup yang Islami: Menyeharikan pemikiran


Transedental (Akidah dan Ubudiah), Penerjemah: Machnun Husein,
Jakarta: Rajawali Press, 1986.

Hamdi, A. Zainul, Hermeneutika Islam: Intertekstualitas, Dekonstruksi,


Rekonstruksi, dalam Gerbang: Jurnal Studi Agama dan Demokrasi, No. 14,
Vol. V, 2003.

Hanafi, Muhlis M. (ed.), Al-Qur‟an di Era Global: Antara Teks dan Realitas,
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‘an, 2013.

Hanafi, Hassan & ‗Abid al-Jabiri, Muhammad, Dialog Timur & Barat: Menuju
Rekonstruksi Metodologis Pemikiran Politik Arab yang Progresif dan
Egaliter, Penerjemah: Umar Bukhory, Yogyakarta: IRCiSoD, 2015.

Hermawan, Acep, „Ulumul Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, Bandung:


Remaja Rosdakarya, 2011.

Heywood, Andrew, Ideologi Politik: Sebuah Pengantar, Penerjemah: Yudi


Santoso, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016.

Hidayat, Komaruddin, Psikologi Beragama, Jakarta: Hikmah, 2010.

————, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peradaban di


Panggung Sejarah, Jakarta: Paramadina, 2003.

————, Agama Punya Seribu Nyawa, Jakarta: Noura Books, 2012.

———— (ed.), Kontroversi Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila, Jakarta:


Mizan, 2014.

Idris, Irfan, Membumikan Deradikalisasi, Jakarta: Daulat Press, 2016.

Ishfahānī, Al-Rāghib al-, Mufradāt al-Qur‟ān, Bairȗt: Dār al-Syamiyyah. 1996.

Ismail, Roni, Islam dan Damai (Kajian Atas Pluralisme Agama Dalam Islam),
dalam Kompetisi Damai dalam Keragaman, Religi: Jurnal Studi Agama-
agama, Vol. IX, No. 1, 2013.
98

Izzan, Ahmad, Ulumul Qur‟an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-


Qur‟an, Bandung: Tafakur, 2011, cet-IV.

Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-
Qur‘an, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.

Jamal, Misbahuddin, Konsep Al-Islam Dalam Al-Qur‟an. Manado: Jurnal Al-


Ulum, Volume. 11, Nomor 2, Desember 2011.

Jāwī, Muẖammad al-Nawāwī al-, Maraẖ Labīd Tafsīr al-Nawawī, Dār al-Fikr,
t.th.

Kamal, Adnan Taufik, Rekonstruksi Sejarah al-Qu‟an, Jakarta: Pustaka Alvabet,


2013.

Kimball, Charles, Kala Agama Jadi Bencana. Penerjemah: Nurhadi dan Izzuddin
Washil, Bandung: Mizan Publika, 2013.

Khoir, Tholkhatul, Tujuh Karakter Fundamentalisme Islam, dalam Al-Tahrir,


Vol. 14, No. 1 Mei 2014.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 2008.

Laeyendecker, L. Tata, Perubahan, dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah


Sosiologi, Penerjemah: Samekto, Jakarta: Gramedia, 1983.

Lewis, Bernard, Krisis Islam: Antara Jihad dan Teror Yang Keji, Penerjemah
Ahmad Lukman, Jakarta: PT. Ina Publikatama, 2004.

Lubis, M. Ridwan, Agama dalam Diskursus Intelektual dan Pergumulan


Kehidupan Beragama di Indonesia, Jakarta: Kementerian Agama Republik
Indonesia Pusat Kerukunan Umat Beragama, t.th.

Misrawi, Zuhairi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan


Multikulturalisme, Jakarta: Fitroh, 2007.

Machmudi, Yon, Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and The
Prosperous Justice Party (PKS), Australia: ANU E Press, 2008.

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta:
Paramadina, 1992.

————, Cendekiawan & Religiusitas Masyarakat: Kolom-kolom di Tabloid


Tekad, Jakarta: Paramadina, 1999.
99

————, Nurcholis, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan


Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 2008.

————, Nurcholis, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi


Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2010.

Maẖallī Jalāl al-Dīn Muẖammad ibn Aẖmad Muẖammad al-, dan Suyūṯī, Jalāl al-
Dīn ‗Abd al-Rahman ibn Abī Bakr al, Tafsīr al-Jalālaīn, Damasykus: Dār
Ibn Katsīr, t.th. Juz II.
Maẖmūd, Muẖammad Rasyād ‗Abd al-‗Azīz, Atsar al-Fikr al-„Ulmānȋ fī al-
Mujtama„ al-Islāmī, Cairo: Dār al-Muẖadditstsīn, 1988.

Manzūr, Ibnu, Lisān al-„Arab, Bairūt: Dār al-Shādir, Jilid IX, t.th.

Martin van Bruinessen (ed.), Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman
Fundamentalisme, Bandung: Mizan, 2014.

Marāghī, Ahmad Mushṯafa al-, Tafsīr al-Marāghī, Mesir: Syarkah Maktabah wa


Maṯba‘ah Mushṯafa al-Bābi al-Halbi, Juz II, 1946.

Maudūdī, Abū al-‗Ala al-, al-Khilāfah wa al-Mulk, Dār el-Qalam, 1978.

Luīs Ma‗lūf, Al-Munjīd fī al-Lughah wa al-Adāb wa al-„Ulūm, Bairūt: Al-


Maṯba‗ah al-Katsulikiyyah, t.th.

Morgan, Kenneth W, Islam Jalan Lurus, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1980.

Muid N, Abd, Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi


Multikultural, dalam Jurnal Bimas Islam, Vol. 6 no. 4, Tahun 2013.

Mufid, Ahmad Syafi‘i, Faham Islam Transnasional dan Proses Demokratisasi di


Indonesia, dalam Harmoni: Jurnal Multikultural & Multireligius,Vol.
VIII, No. 30, April-Juni 2009.

Muhtadi, Burhanuddin, Dilema PKS: Suara dan Syariah, Jakarta: KPG


Kepustakaan Populer Gramedia, 2012.

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta:


Pustaka Progressif, 1997.

Munggaran, Rizky, Penafsiran Inklusif Nurcholis Madjid Mengenai Makna Al-


Islam: Telaah Surah Ali-Imran ayat 19 dan 85, Ciputat: Jurusan Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
100
100
100

Mursi, Muhammad Said, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah Jakarta:


Pustaka al-Kautsar, 2012.

Mustaqim, Abdul, Deradikalisasi Penafsiran al-Qur‟an dalam Konteks


Keindonesiaan yang Multikultur, dalam Muhlis M. Hanafi (ed.), Al-
Qur‟an di Era Global: Antara Teks dan Realitas, Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf al-Qur‘an, 2013.

Mushṯafa, Bisyrī, Al-Ibrīz liMa„rifati Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīz, Kudus: Menara


Kudus, t.th.

Nabẖani, Taqiyuddin al-, Mafāhim Hizbut Tahrir, Jakarta: Hizbut Tahrir


Indonesia, 2011.

Nashir, Haedar, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia,


Bandung: Mizan, 2013.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 2010.

Nazir, Moh, Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

Nimer, Muhammad Abu, Nirkekerasan dan Bina-Damai Dalam Islam: Teori dan
Praktik, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010.

Nisaburi, Al-Wahidi al-, Asbȃb al-Nuzȗl: Sebab-sebab Turunnya Ayat-ayat Al-


Qur‟an, Penerjemah: Moh. Syamsi, Surabaya: Amelia Surabaya, 2014.

Qādhī, ‗Abdul Fatah ‗Abd al-Ghānī al-, Asbāb al-Nuzūl „an al-Shaẖābah wa al-
Mufassirīn, Cairo: Dār al-Salam, 2007. Cet. III.

Qomar, Mujamil, Fajar Baru Islam Indonesia: Kajian Komprehensif atas Arah
Sejarah dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara, Bandung: Mizan,
2012.

Qutb, Sayyid, Fī Zilāl al-Qur‟ān, Bairūt: Dār al-Syūrūq. Juz I-IV, 1998.

————, Petunjuk Sepanjang Jalan. t.p, t.th.

Qurṯubī, Abī Bakr al-, al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, Bairūt: Mu‘assasah al-
Risālah, 2006.

Rahman, Yusuf, Penafsiran Tekstual dan Kontekstual terhadap al-Qur‟an dan


Hadits (Kajian terhadap Muslim Salafi dan Muslim Progresif), Journal of
Qur‘an and Hadith Studies – Vol. 1, No. 2, 2012.

Rāzī, Fakhr al-Dīn al-, al-Tafsīr al-Kabīr, Bairūt: Dār al-Fikr, Juz V, 1994.
101
101
101

Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsīr al-Manār. Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah,


Juz II,1999.

Rodhi, Muhammad Muhsin, Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam


Mendirikan Negara Khilafah Islamiyyah, Penerjemah: Muhammad Bajuri
dan Romli Abu Wafa, Bangil: Al-Izzah, 2008.

Rusli, Ris‘an, Pembaharuan Pemikiran modern dalam Islam, Jakarta: Rajawali


Pers, 2013.

Rūmī, ‗Abd al-Rahman ibn Sulaimān al-, Buhūtsu fī Ushūl al-Tafsīr wa


Manāhijuhu, Riyādh: Maktabah al-Taubah, 1994. Cet. IV.

Saeed, Abdullah, Al-Quran Abad 21: Tafsir Kontekstual, Bandung: Mizan, 2015.

Sadjali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
Jakarta: UI Press, 1993, Cet. V.

Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer dalam


Pandangan Fazlur Rahman, Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007.

Sardar, Ziauddin, Ngaji Qur‟an di Zaman Edan: Sebuah Tafsir untuk Menjawab
Persoalan Mutakhir, Jakarta: Serambi, 2014.

Sa‘di Zulharman, Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-, Tafsir Al-Qur‟an,


Penerjemah: Muhammad Iqbal, Izzudin Karimi, Muhammad Ashim,
Mustofa Aini, Zuhdi Amin, Jakarta: Darul Haq, Cet. VI, Jilid I, 2015.

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an,


Ciputat: Lentera Hati, Cet. I, Vol. I, 2009.

————, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat,


Bandung: Mizan, 1999. Cet IX.

Solahudin, NII Sampai JI: Salafy Jihadisme Indonesia, Jakarta: Komunitas


Bambu, 2011.

Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Kompas, 2001.

Sulaimān al-Ṯayyār, Muhammad Sa‘īd ibn, Fushūl fī Ushūl al-Tafsīr, Riyādh: Dār
al-Nasyr al-Daulī, 1993.

Supriadi, Cecep, Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan


Keindonesiaan, Jurnal Kalimah, Vol. 13, No. 1, Maret 2015.
102
102
102

Supriyanto, Perdamaian dan Kemanusiaan Dalam Pandangan Islam, Kalam:


Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 7, No. 2, Desember 2013.
Suyūṯī, Jalāl al-Dīn al-, Al-Dur al-Mantsūr fī Tafsīr bi al-Ma‟tsūr, Bairūt: Dār al-
Kutub al-‗Ilmiyyah, 1990, Juz I, Cet I.

Syaukani, Imam Al-, Tafsir Fathul Qadir, Jakarta: Pustaka Azzam. Cet. I, Jilid I,
2008.

Syibromalisi, Faizah Ali, Azizy, Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,


Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Ṯabarī, Ibnu Jarīr al-, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, Bairūt: Dār al-
Fikr, 2005.

TabāTabā‘ȋ, Muhammad Husaīn al-, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān, Teheran: Dār


al-Kutub al-Islamiyyah. Cet. II. Juz II, 1973.

Taher, Tarmidzi, Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam, dalam


Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM, 1998.

Tāhir ibn ‗Asyūr, Muhammad, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr, Tunis: Dār Sahnūn
li al-Nasyr wa al-Tauzī‗, Juz II, t.th.

Taufiq, Imam, Al-Qur‟an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis


Al-Qur‟an, Bandung: Bentang, 2016.

Tibi, Bassam, Islam dan Islamisme. Penerjemah: Alfathri Adlin, Bandung: Mizan,
2016.

Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014 dan, Pemimpin MPR, Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR
RI, 2012. Cet. II.

Turmudi, Endang dan Sihbudi, Riza (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia,
Jakarta: LIPI Press, 2005.
Utsaimīn, Muhammad bin Shāliẖ al-, Politik Islam. Penerjemah: Ajmal Arif,
Jakarta: Griya Ilmu, 2014.

————, Ushūl fī al-Tafsīr, al-Maktabah al-Islāmiyyah, 2001.

————, Syarh Ushūl fī al-Tafsīr, Riyādh: Mu‘assasah al-Syaikh Muhammad


Shāliẖ ibn al-‗Utsaimīn al-Khairiyyah, 2013.
103
103
103

Wahid, Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat


Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institue, 2006.

————, (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di


Indonesia, Jakarta: Desantara Utama Media, 2009.

Wahid, Marzuki, Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi
Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, (Bandung: Marja,
2014.

Wāẖidī, Al-Imām al-, Asbāb al-Nuzūl, Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2009.
Cet. IV.

Wijaya, Aksin, Arah Baru Ulum Al-Qur‟an: Memburu Pesan Tuhan di Balik
Fenomena Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Yusuf, Kadar M, Studi Al-Qur‟an, Jakarta: Amzah, 2009.

Zada, Khamami, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di


Indonesia, Jakarta: Teraju, 2012.

————, Wacana Syariat Islam: Menangkap Potret Gerakan Islam di


Indonesia, dalam Deformalisasi Syariat, Jakarta: Tashwirul Afkar: Jurnal
Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi No. 12 tahun 2002.

Zahid, Moh. Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam, Jurnal Karsa, Vol IX, 2006.

Zamakhsyarī, Abī al-Qāsim Mahmūd ibn ‗Umar al-, al-Kasysyāf, Riyādh:


Maktabah al-‗Abīkan, Cet. I Juz II, 1998.

Zamharir, Muhammad Hari, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran


Politik Nurcholis Madjid, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.

Zaprulkhan, Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jurnal Walisongo,
2014. Vol. 22.

Zaqzuq, Mahmud Hamdi, Reposisi Islam di Era Globalisasi. Penerjemah:


Abdullah Hakam Shah, Yogyakarta: LKiS, 2004.

Za‘rur, Azu, Seputar Gerakan Islam. Penerjemah: Yahya Abdurrahman, Bogor:


Al-Azhar Press, 2014. Cet XIV.

————, Ensiklopedia: Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, Dan


Gerakan Islam, Penerjemah: Muhtarom, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu,
2006.
104
104
104

————, Menuju Persatuan Umat: Pandangan Intelektual Muslim Indonesia,


Bandung: Mizan, 2012.

Zuhailī, Wahbah al-, al-Tafsīr al-Wasīt, Damasykus: Dār al-Fikr. Cet. I, Juz I,
2001.

Sumber internet:
http://www.assunnah.mobie.in/artikel/islam_kaffah.
http://kajiansalafyui.wordpress.com/2009/06/06/kajian-islam-ilmiah-memahami-
dan-mengamalkan-islam-secara-kaffah-solusi-satu-satunya-bagi-umat-
islam/.
http://m.kompasiana.com/nanagrosidi/apa-itu-muslim-yang-kaffah
http://muslim.or.id/2067-kaffah-dalam-beragama.html.
http://media.isnet.org/kmi/isnet/Nadirsyah/kaffah.html.
http://jasawebenigma.wordpress.com/2012/12/13/menjadi-muslim-kaffah-
menerjunkan-diri-dalam-syariat-islam-secara-total.
https://hizbut-tahrir.or.id.

Anda mungkin juga menyukai