Skripsi
Oleh :
FIQIH KURNIAWAN
NIM: 1112034000072
1437 H/2017 M
ABSTRAK
Fiqih Kurniawan
Tafsir al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208: Studi Komparatif Penafsiran
Mufassir Klasik Dan Modern
iv
KATA PENGANTAR
SWT. Yang telah memberikan kekuatan jasmani, rohani, taufik, rahmat dan
kesulitan atau pun cobaan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Rasulullah SAW. Rasul penutup para
Nabi, serta tidak lupa untuk para keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga
akhir zaman.
rangka mendapatkan gelar Sarjana Agama Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Judul skripsi ini adalah ―Tafsir al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208:
memerlukan perbaikan. Oleh karena itu, penulis membuka lebar-lebar kritikan dan
Penulis menyadari sepenuhnya, karya ini bisa terwujud bukan karena hasil
seorang diri, namun tidak lain berkat dukungan moril dan materil yang telah rela
v
1. Bapak Prof. Dede Rosyada, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Dr. Lilik Umi Kultsum, MA. dan Ibu Dra. Banun Binaningrum
M.Pd. selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur‘an dan Tafsir.
4. Dr. Ahzami Samiun Jazuli, MA. selaku dosen pembimbing yang telah
kebaikan beliau.
7. Mang Mukti Ali selaku paman penulis yang telah memberikan banyak
ilmu yang tidak didapat penulis selama duduk di bangku kuliah. Yang
vi
8. Kedua orang tua tercinta dan tersayang, Bapak H. Sanaji dan Ibu Hj.
Nurasiya, yang telah mencurahkan cinta, kasih dan doa-doa yang tulus
9. Keluarga besar Bani Qusyairi dan Bani ‗Abdullah yang telah banyak
menyusun skripsi.
vii
14. Teman-teman Penerbit Buku, Mas Shalahuddin selaku penyunting
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada buku
oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif
A. Konsonan
ب B be
خ T te
ز Ts te dan es
ج J je
خ Kh Ka dan ha
د D de
ix
س R er
ص Z zet
ط S es
ش Sy es dan ye
ص Sh es dengan ha
ض Dh de dengan ha
hadap kanan
غ Gh ge dan ha
ف F ef
ق Q ki
ك K ka
x
ل L el
م M em
ى N en
و W we
ٍH ha
ء ‘ apostrof
ٍY ye
B. Tanda Vokal
1. Vokal Pendek
ﹷـــــ A fatẖah
ﹻـــــ I Kasrah
ﹹـــــ U dhammah
2. Vokal Panjang
xi
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Contoh:
لاق : qāla
ٍلىق :
yaqūlu لٍق
: qīla يشج :
jarā
3. Diftong
ٍﹷـــــ Ai a dan i
ﹷـــــ و Au a dan u
جسوشضلا : al-Dharûrah
xii
5. Tasydid ))ﹽــــ
حٍهالسلإا : al-Islāmiyyah
اٍتس : Rabbunā
6. Ta Marbutah
حقٍشط Tarīqah
7. Singkatan-singkatan
QS : al-Qur‘an Surat
RA : Radhiyallahu ‗Anhu
xiii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..............................................................................1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ........................................................14
C. Tujuan Penelitian .......................................................................................15
D. Manfaat Penelitian .....................................................................................15
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................16
F. Metodologi Penelitian ...............................................................................19
G. Sistematika Penulisan ................................................................................21
xiv
BAB IV ANALISIS-KOMPARATIF PENAFSIRAN KLASIK DAN
MODERN ATAS AYAT AL-SILM KĀFFAH QS. AL-BAQARAH [2]:208
DAN RELEVANSINYA DENGAN KONTEKS INDONESIA
A. Corak Penafsiran .......................................................................................76
B. Keserasian al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 ................................77
C. Segi Penafsiran ..........................................................................................78
D. Relevansi Penafsiran ayat al-Silm Kāffah dalam Konteks Indonesia ........84
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................93
B. Saran-saran ...............................................................................................94
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................95
xv
BAB I
PENDAHULUAN
maupun diteliti. Jika ditarik pada masa lalu, para ulama klasik telah menerapkan
rekonstruksi metode penafsiran tidak berhenti pada masa klasik saja, pada era
‗Abduh,2 Fazl al-Rahman,3 atau ‗Abd al-Hay al-Farmāwī. Merujuk pendapat al-
1
Misalnya mufassir klasik menafsirkan al-Qur‘an dengan cara: Pertama, bi al-Ma‟tsūr
seperti Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān; Ibnu ‗Atiyyah, al-Muharrar
al-Wajīz; Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm; al-Suyūtī, al-Dur al-Mantsūr. Kedua, bi al-Ra‟yi
seperti al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf; al-Rāzī, Mafātih al-Ghaib; al-Alūsī, Rūh al-Ma„ānī; Abī
Hayyān, al-Bahr al-Muhīt; Abī al-Sa‗ūd, Irsyād al-„Aql al-Salīm. Lihat ‗Abd al-Rahman ibn
Sulaimān al-Rūmī, Buhūtsu fī Ushūl al-Tafsīr waManāhijuhu, (Riyādh: Maktabah al-Taubah,
1994) cet. IV.
2
Yang ditekankan oleh ‗Abduh adalah bagaimana caranya mengembalikan al-Qur‘an
sebagai kitab hidayah untuk umat Islam.Namun, secara eksplisit ‗Abduh melakukan pembacaan
terhadap al-Qur‘an bukan saja lewat ilmu-ilmu yang berkembang dalam Islam, melainkan juga
yang berkembang di barat seperti ilmu-ilmu sosial, politik, dan hermeneutika. Aspek tersebut yang
secara tidak langsung mempengaruhi pembacaan ‗Abduh terhadap al-Qur‘an.
3
Fazl al-Rahman menawarkan pembacaan al-Qur‘an dengan metode yang dikenal yaitu
double movements (gerak ganda). Berbeda dengan ‗Abduh, Ia secara implisit menawarkan
pembacaan terhadap al-Qur‘an dengan metode yang berkembang di barat yaitu hermeneutika. Hal
tersebut yang mempengaruhi cendekiawan Muslim setelahnya untuk mengembangkan metode
pembacaan al-Qur‘an dengan ilmu bantu yang terdapat di barat, khususnya hermeneutika.
1
2
menurutnya amat penting untuk umat Islam kontemporer.7 Perdebatan inilah yang
akhir-akhir ini menarik untuk dikaji. Sebagaimana Ahmad Taufik catat bahwa
metode tafsir klasik dianggap bisa melahirkan penafsiran yang eksklusif. Ini
cenderung tekstual.8
menerima kondisi perubahan zaman. Hal tersebut yang disoroti oleh cendekiawan
4
Penulis punya pendapat berbeda apa yang sudah dirumuskan oleh al-Farmāwī di dalam
kitabnya. Menurut penulis apa yang dirumuskan al-Farmāwī ini hanya pada sistematika penulisan
saja bukan pada teknik penafsiran.
5
‗Abd al-Hay al-Farmāwī, al-Bidāyah fī Tafsīr al-Maudhū„ī: Dirasah Manhājiyyah
Maudhū„iyyah, (Cairo: Matba‗ah al-Hadharah al-‗Arabiyyah, 1997) h. 9.
6
MK Ridwan, Metodologi Penafsiran Kontekstual; Analisis Gagasan dan Prinsip Kunci
Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed, dalam Millati: Journal of Islamic Studies and
Humanities, Vol. 1, No. 1, Juni 2016, h. 4.
7
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015) h. 12.
8
Ahmad Taufik, Hubungan Antar Umat Beragama (Studi Kritis Metodologi Penafsiran
Tekstual) dalam Journal of Qur‟ȃn and Hadīts Studies, Vol. 3, No. 2, 2014, h. 142.
9
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, h. 43.
3
Muslim kontemporer untuk mengkaji tafsir yang terkait dengan gerakan Islam
fundamentalisme.10
Islam‖ (QS. Ali ‗Imran [3]: 19), ―Barangsiapa mencari agama selain agama Islam,
Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,‖ (QS. Ali
‗Imran [3]: 85), ―dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu‖ (QS. Al-
10
Izza Rahman dalam tulisannya mengatakan bahwa popularitas di antara para salafi
modern seringkali didasarkan pada tradisi tafsir sebagaimana halnya Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm
karya Ibnu Katsīr (yang mana secara prinsip dan metode mengikuti apa yang digariskan oleh
gurunya yaitu Ibnu Taimiyyah, salah satu figur salafi unggulan) dan Jāmi„ al-Bayān karya al-
Tabarī (sebagian besar direkomendasi dalam tafsir Ibnu Taimiyyah). Lihat Izza Rahman, Salafi
Tafsir: Textualist and Authoritarian? dalam Journal of Qur‟ȃn and Hadīts Studies, Vol. 3, No. 2,
2012, h. 200.
11
Istilah fundamentalisme sampai sekarang masih diperdebatkan. Fundamentalisme
sendiri merupakan sebuah istilah keagamaan yang lahir dari tradisi keagamaan Kristen. Lihat
Badarussyamsi, Fundamentalisme Islam: Kritik atas Barat, (Yogyakarta: LKiS, 2015) h. 2. Istilah
ini juga tidak bisa lepas dari respon sebagian pemikir Muslim seperti Hassan Hanafi, menurutnya
dalam Islam dikenal dengan istilah al-ushȗliyyah sebagai padanan dari kata asing yakni
fundamentalisme. Sehubungan dengan ini banyak di kalangan Muslim yang menolak anggapan
Barat yang menjadikan istilah fundamentalisme sebagai istilah yang menunjuk peristiwa mutakhir
setelah Khomeini memerintah di Iran dan para peneliti Barat memutar balik fakta yang ada. Lihat
Hassan Hanafi, Fundamentalisme dan Modernitas Gerakan Islam Kontemporer: Periode Sejarah
Ketiga, dalam Hassan Hanafi & Muhammad ‗Abid al-Jabiri, Dialog Timur & Barat: Menuju
Rekonstruksi Metodologis Pemikiran Politik Arab yang Progresif dan Egaliter, Penerjemah: Umar
Bukhory, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), h. 58. Istilah fundamentalisme sering disandingkan
dengan ekstrimisme dan radikalisme. Secara sederhana Tholkhatul Khoir telah menulis perbedaan
karakter antara ketiganya. Menurutnya, radikalisme adalah orang-orang yang ingin mengubah
masyarakat dari atau bersama akarnya. Sementara ekstrimisme adalah komitmen dan keinginan
untuk menggunakan sebuah perhitungan yang memberikan nilai yang luar biasa terhadap sasaran
dan hasil. Karenanya, ia adalah sebuah gerakan yang rasional, tentunya bagi orang yang bekerja di
dalamnya, di mana nilai-nilainya berbeda dengan gerakan lain. Sedang fundamentalisme merujuk
pada skripturalisme, pemahaman ketat terhadap perintah-perintah yang tertulis dalam teks-teks
agama, dan tendensi kuat untuk kembali kepada dasar-dasar (fundamental) agama. Lihat
4
yang berujung pada SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Karena
mereka meyakini bahwa apa yang mereka persepsikan tentang Islam adalah yang
sedangkan yang lain adalah salah. Sikap keberagamaan ini yang biasa disebut
dipandang dari berbagai sudut. Betapa tidak, al-Qur‘an yang diyakini sebagai
Tholkhatul Khoir, Tujuh Karakter Fundamentalisme Islam, dalam Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei
2014, h. 54-55.
12
Sektarianisme adalah semangat membela suatu sekte atau madzhab. Lihat Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008) h. 1287. Para penganut sektarianisme
berpandangan bahwa realitas duniawi sudah tercemari kejahatan. Kedamaian tak akan tercipta di
dalam dunia, melainkan di luarnya. Lihat Muhammad Abu Nimer, Nirkekerasan dan Bina-Damai
Dalam Islam: Teori dan Praktik, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010) h. 11. Jika merujuk dalam al-
Qur‘an, Islam bukanlah agama sektarianisme. Adapun ada beberapa tafsir yang tendesi
mengandung ajaran sekte-sektenya. Sekte Mu‗tazilah yaitu al-Zamakhsyarī, Al-Kasysyāf. Sekte
Syi‗ah yakni Muhammad Husaīn al-TabāTabā‘ī, Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān. Selain itu al-
Dzahabī mencatat Kitab Tafsīr liSayyīd al-„Alwī sebagai tafsir dari sekte Syi‗ah. Lihat Muhammad
Husaīn al-Dzahabī, al-Ittijāh al-Munharifah fī Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm: Dawāfi„uhā wa
Daf„uhā, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1986) Cet. III, h. 55.
13
Secara bervariasi, klaim kebenaran agama itu didasarkan atas ajaran otoritatif dari
pemimpin karismatik ―yang mendapatkan ilham‖ atau menyerupai orang suci, juga didasarkan
pada interpretasi atas teks suci, yang sering dikaitkan dengan para pemimpin berbakat semacam
itu. Klaim-klaim itu mewarnai tradisi agama secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.
Dalam setiap agama, klaim kebenaran merupakan fondasi yang mendasari keseluruhan struktur
agama. Namun, ketika interpretasi tertentu atas klaim tersebut menjadi proporsi-proporsi yang
menuntut pembenaran tunggal dan diperlakukan sebagai doktrin kaku, kecenderungan terhadap
penyelewengan dalam agama ini muncul dengan mudah. Kecenderungan tersebut merupakan
tanda-tanda awal kejahatan yang menyertainya. Lihat Charles Kimball, Kala Agama Jadi
Bencana. Penerjemah: Nurhadi dan Izzuddin Washil, (Bandung: Mizan Publika, 2013) h. 78.
14
Istilah alienasi sebagaimana dikutip oleh Abd. Muid—adalah istilah Tariq Ramadhan
yang diartikannya sebagai penampilan pemahaman kebenaran yang eksklusif; kebenaran yang buta
dan membutakan; kebenaran yang mengukung, bukan yang membebaskan; padahal menafikan
keragaman yang merupakan kehendak Tuhan sendiri. Lihat Abd. Muid N. Harmoni Islam dan
Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural, dalam Jurnal Bimas Islam, Vol. 6 no. 4, Tahun
2013) h. 649.
15
Dalam menanggapi persoalan kebenaran dari tradisi agama, ada beberapa pendekatan
yang prinsipil, yaitu, ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Pandangan eksklusivisme sangat
ekstrem, karena mengklaim bahwa kebenaran hanyalah miliknya. Sedangkan pluralisme adalah
bentuk moderat dari relativisme, yang mengatakan bahwa semua agama adalah benar. Sedangkan
inklusivisme yang mengatakan bahwa keselamatan bukanlah milih agama tertentu, tetapi agama-
agama lain pun memilikinya. Hanya saja, kebenaran yang ada di luar dirinya itu disebut sebagai
agama ―anonim‖. Lihat Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001) h. 12.
Bandingkan dengan buku Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun
Toleransi Bersasis Al-Qur‟an, (Depok: KataKita, 2009) h. 54-59.
5
kalam Allah yang transenden (di luar segala kesanggupan manusia), akhirnya
harus ―Terintervensi‖ oleh upaya-upaya manusia yang tidak bisa lepas dari
16
persoalan-persoalan teologi, politik, sosial dan budaya. Karenanya,
aspek sosio-historis ketika ayat al-Qur‘an tersebut diturunkan. 19 Kasus ini bisa
20
dilihat pada ayat-ayat tentang perintah membunuh orang kafir, larangan
16
M. Quraish Shihab dalam pengantar buku Taufik Adnan Kamal, Rekonstruksi Sejarah
al-Qu‟an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2013) h. ix.
17
Junaidi Abdillah, Dekontruksi Tafsir Ayat-ayat Kekerasan, (Lampung: Analisis,
Volume XI, Nomor 1, Juni 2011) h. 73.
18
Zuhairi Misrawi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007) h. 38.
19
Menurut Baharudin, tradisi muslim ‗radikal‘ sering menafsirkan beberapa ayat al-
Qur‘an secara sepotong-potong untuk menguatkan pendirian dan ideologinya. Lihat Mohammad
Baharudin, Islam Idealitas Islam Realitas, (Jakarta: Gema Insani, 2012) h. 41.
20
Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari
tempat mereka telah mengusir kamu (Makkah). (al-Baqarah [2]: 191).
21
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. (Ali Imran [3]: 28).
22
Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Al-Qur‟an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan
Kitab Suci dalam Konteks Masa Kini, (Bandung: Mizan, 2008) h. 113, dalam kasus ini
Muhammad al-Ghazali menukil firman Allah yang berbunyi, Dan perangilah kaum musyrik itu
semuanya, dan hanya berhenti sampai di situ, padahal menurut al-Ghazali ayat tersebut masih ada
lagi kelanjutannya, Sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya.
6
terhadap non-Muslim, atau bahkan terhadap kelompok lain yang tidak satu
ideologi, 24 apalagi jika dipahami hanya dari sisi terjemahan (makna teksnya),
multikultural dewasa ini. 25 Hal ini yang dicermati oleh Ziauddin Sardar,
menurutnya ada dua kelompok yang sama-sama keliru dalam memahami al-
Qur‘an. Sebagian muslim dijadikan dalil bagi kekerasan tak pandang bulu dan
oleh sebagian non-Muslim dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa Islam pada
tidak mendukung kepentingan mereka. Maka pesan agama pun direduksi sebatas
23
Dalam kamus istilah , radikal memiliki arti sama sekali; besar-besaran dan menyeluruh,
keras, kokoh, mau dan tajam (dalam berpikir). Lihat Pius A Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus
Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, t.th) h. 648.
24
Ideologi dipakai untuk menunjukkan kelompok ide-ide yang teratur menangani
bermacam-macam masalah politik, ekonomi dan sosial; atas haluan; pandangan hidup dunia. Lihat
Pius A Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmah Populer, h. 239. Andrew Heywood
mengatakan bahwa, asal usul istilah ideologi sendiri ternyata tidak sejelas yang diduga. Kata ini
dipadukan selama Relovusi Prancis oleh Antoine Destutt de Tracy (1754-1836), dan digunakan di
media publik pertama kali 1796. Di benak de Tracy ketika menggagasnya, istilah ideologie berarti
―ilmu tentang ide-ide‖—secara harfiah ―idea-logy‖, sebuah bidang studi yang baru diklaimnya.
Menurut Heywood, konsep ideologi sampai sekarang masih terjadi ketidaksepakatan. Namun
Heywood menyimpulkan makna-makna terkait ideologi salah satunya; ide-ide politik yang
membentuk atau mengartikulasikan kepentingan-kepentingan kelas atau sosial. Lihat Andrew
Heywood, Ideologi Politik: Sebuah Pengantar, Penerjemah: Yudi Santoso, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2016) h. 8. Lihat juga L. Laeyendecker, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan: Suatu
Pengantar Sejarah Sosiologi, Penerjemah: Samekto, (Jakarta: Gramedia, 1983) h. 63.
25
Abdul Mustaqim, Deradikalisasi Penafsiran al-Qur‟an dalam Konteks Keindonesiaan
yang Multikultur, dalam Muhlis M. Hanafi (ed.), Al-Qur‟an di Era Global: Antara Teks dan
Realitas, h. 356.
26
Ziauddin Sardar, Ngaji Qur‟an di Zaman Edan: Sebuah Tafsir untuk Menjawab
Persoalan Mutakhir, (Jakarta: Serambi, 2014) h. 218.
7
saja sesuai dengan ideologi mereka. 27 Dalam konteks ini, perhatian penulis
terhadap masalah tersebut berfokus pada munculnya isu Islam kāffah. 28 Istilah
Islam kāffah merupakan salah satu kasus penafsiran yang sampai sekarang masih
debatable.
Berislam secara kāffah berarti mengamalkan syariat Islam dengan baik dan
benar sesuai dengan tuntunan yang diajarkan. 29 Tidak dibenarkan percaya dan
Islam yang lain.30 Pandangan ini berdasarkan QS. Al-Baqarah [2]: 208:
Istilah Islam kāffah diangkat dari kata ( ف اىلخداٍ نلسلا حفاكmasuklah kalian
27
Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional
di Indonesia, (Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, the Wahid Institute, Maarif Institue, 2009)
28
h. 103. Isu Islam kāffah sejajar dengan isu islamic state (negara Islam). Dalam era rezim
Soeharto, isu Islam kāffah maupun negara Islam tidak bisa didiskusikan secara terbuka, sehingga
hanya menjadi diskusi ―bawah tanah‖. Lihat Farha Ciciek, Melawan Kekerasan Yang Tidak Kasat
Mata “Pergulatan Kaum Perempuan di Pesantren al-Firdaus, Siraman, Jawa Tengah”. Dalam
MAARIF, Vol. 5, No. 2 – Desember 2010, h. 90. Selain itu, Ahmad Syafi‘i Mufid mencatat bahwa
faham al-Islām din wa daulah atau Islam kāffah ternyata mendapatkan perhatian dan diminati
kalangan kampus dan anak muda Islam pada tahun 1980-an. Lihat Ahmad Syafi‘i Mufid, Faham
Islam Transnasional dan Proses Demokratisasi di Indonesia, dalam HARMONI: Jurnal
Multikultural & Multireligius, Volume VIII, Nomor 30, April – Juni 2009, h. 15.
29
Cecep Supriadi, Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan Keindonesiaan,
(Jurnal Kalimah, Vol. 13, No. 1, Maret 2015) h. 204.
30
Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam, (Jurnal Karsa, Vol IX, 2006) h. 809.
8
ketundukan. Penafsiran terhadap al-silm dengan Islam ini yang kemudian pada
pengertian Islam sebagai agama, yang harus diikuti seluruh syariat-Nya, dengan
31
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 401. Misalnya Ibnu
‗Abbās juga menafsirkan ayat tersebut dengan, ―di dalam syariat agama Muhammad SAW.
seluruhnya. Lihat Muẖammad ‗Alī Baidhāwī, Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr ibn „Abbās, (Bairūt:
Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2000) h. 36.
32
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, (Bairūt: Mu‘assasah al-Risālah,
2006) Juz III, Cet. I, h. 329.
33
Al-Hā fiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-
„Aẕīm, (Cairo: Mu‘assasah Qurṯubah, 2000) Juz II, Cet. I, h. 273.
34
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2009) Cet. I, Vol. I, h. 543.
35
Seperti tafsir al-Syaikh Muẖammad al-Nawāwī al-Jāwī, Maraẖ Labīd Tafsīr al-
Nawawī, (Dār al-Fikr, t.th) Juz I, h. 54. Lihat juga Bisyrī Mushṯafa, Al-Ibrīz liMa„rifati Tafsīr al-
Qur‟ān al-„Azīz, (Kudus: Menara Kudus, t.th) Juz I, h. 74.
9
sekarang masih saja terus terjadi permusuhan dan pertikaian. 36 Seperti halnya
dalam tafsir al-Tabarī, rekonsiliasi yang dimaksud adalah masuklah kamu sekalian
maka ayat ini berarti memerintahkan kepada setiap orang yang beriman agar
seperti ini yang pada era dewasa sekarang akrab disebut dengan Islam kāffah yang
Islam tidak berhenti sebatas tingkah laku personal, lebih dari itu yang dikehendaki
dan struktur negara yang sesuai dengan syariat Islam. Masalah demikian bisa
36
Penafsiran demikian bisa dilihat dalam tafsir Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-
Qur‟ān al-Karīm, (Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1999) Juz II, Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī,
Tafsīr al-Marāghī, (Mesir: Syarkah Maktabah wa Maṯba‘ah Mushṯafa al-Bābi al-Halbi, 1946) Juz
II.
37
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 398.
38
Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam, h. 809. Terakit dengan ini, Gus Dur mengatakan bahwa bermula dari
ayat inilah muncul istilah yang sebenarnya masuk dalam kategori al-akhta‟ al-sya‟iah (kesalahan-
kesalahan yang populer) yaitu idiom ―Islam kāffah‖ yang hanya dikenal dalam komunitas muslim
Indonesia yang tidak begitu akrab dengan kaidah-kaidah gramatikal Arab. Istilah ―Islam kāffah ‖
tidak hanya merupakan tindakan subversif gramatikal tetapi juga pemaksaan istilah yang
kebablasan. Kalangan fundamentalis sering merujuk ―Islam kāffah‖ ini sebagai doktrin teologis.
Doktrin ini di tangan mereka mengalami pergeseran, yakni ke arah ideologisasi dengan
mendasarkan pada ayat ini. Lihat Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama
Masyarakat Negara Demokrasi. (Jakarta: The Wahid Institue, 2006) h. 3
10
dilihat pada
blok timur pemikiran
seperti tokoh-tokoh
al-Maudūdī, 39
Sayyidperintis
Quṯb,40Islam fundamentalis
dan Taqiyuddin kontemporer
al-Nabẖani. 41
pengaruh luas terhadap pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia, meskipun ada
Namun, ide taṯbīq al-syarī„ah (penerapan syariat) masih menjadi ―idaman‖ bagi
para penyeru negara Islam khususnya di Indonesia, 43 hal tersebut sesuai dalam
pandangan sebagian gerakan Islam yang menyatakan bahwa Islam adalah agama
dan negara.44 Karena menurutnya, Islam adalah agama dan sekaligus kekuasaan,
39
Misalnya al-Maudūdī dengan ẖakimiyatullah yang diartikan dengan hanya mengikuti
peraturan-peraturanNya saja. Abū al-‗Alā al-Maudūdī, al-Khilāfah wa al-Mulk, (Dār el-Qalam,
1978) Cet. I, h. 16.
40
Sama halnya dengan al-Maudūdī, bentuk pemerintahan yang ideal adalah suatu negara
yang berdasarkan atas kedaulatan hukum Ilahi (ẖakimiyatullah). Sayyid Quṯb, Petunjuk Sepanjang
Jalan, (tp, t.th) h. 38.
41
Taqiyuddin ialah pendiri Hizbut Tahrir. Bagi Hizbut Tahrir, Allah telah mewajibkan
umat Islam agar menerapkan Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan mereka,
menjalankan pemerintahan Islam, serta menjadikan hukum-hukum syariat yang bersumber dari
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sebagai konstitusi dan sistem perundang-undangan mereka.
Muhammad Muhsin Rodhi, Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan Negara
Khilafah Islamiyyah, Penerjemah: Muhammad Bajuri dan Romli Abu Wafa, (Bangil: Al-Izzah)
2008. h. 376. Lihat juga Taqiyuddin al-Nabẖani, Mafāhim Hizbut Tahrir, (Jakarta: Hizbut Tahrir
Indonesia, 2011) Cet. XI, h. 21.
42
Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di
Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2012) h. 92.
43
Khamami Zada telah mencatat gerakan Islam radikal di Indonesia banyak dipengaruhi
oleh pemikiran tokoh (pionir) beberapa negara Timur Tengah, seperti al-Maudūdī, Sayid Quṯb,
Hassan al-Banna, Hasan al-Turabi, dan Muẖammad Taqiyuddin al-Nabhani. Pada gilirannya,
Islam radikal di Indonesia pun sebagiannya dalam hal penamaan organisasi/kelompok
menggunakan nama yang sama dengan gerakan Islam di Timur Tengah, seperti Ikhwanul
Muslimin, Hizbut Tahrir, Front Islamic Salvation (FIS), dan Mujahidin. Lihat lebih detail, 43
Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, h. 92.
44
Farag Fouda, Kebenaran Yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan
dalam Sejarah Kaum Muslim, Penerjemah: Novriantoni, (Jakarta: Paramadina, 2008) Cet. II, h. 9.
Diskursus tentang hal demikian sebenaranya telah ada sejak dulu. Para pemikir dan tokoh Islam
modernis dan Masyumi di Indonesia selain Z.A. Ahmad, banyak mengupas gagasan negara Islam
dan terlibat dalam polemik soal dasar negara pada awal kemerdekaan hingga pada masa
perdebetan di Majelis Konstituante tahun 1957. Agus Salim, Muhammad Natsir, Soekiman, Kahar
Muzakkar, Hamka, Isa Anshari, Kasman Singodimedjo, banyak menggagas soal Islam sebagai
dasar negara dan tentang konsep negara Islam sejak era kebangkitan hingga awal dan pasa-
11
sehingga hubungan antara agama dan negara, antara aspek ritual dan politik,
upaya berislam kāffah dengan pemberian label jihad dan amar ma„ruf nahi
Abdul Mustaqim mengatakan bahwa dalam benak mereka, seolah ada anggapan
bahwa jika seorang muslim semakin militan dan agresif, serta intoleransi akan
Dengan demikian, ayat al-silm kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 ini telah
mengeluarkan satu poin pemikiran yang sangat mendasar dalam wacana Islam
sangat kontradiktif apabila mengacu pada aspek penafsiran yang sangat multi-
tafsir. Apalagi tidak ditemukan dalam ijma„ (konsensus) tafsiran kata al-silm
kemerdekaan tahun 1945. Sedangkan kartosoewirjo, Daud Beureuh, dan Kahar Muzakkar yang
terlibat dalam gerakan DI/TII dalam fase yang panjang sejak tahun-tahun awal pasca-kemerdekaan
hingga tahun 1964; negara Islam merupakan tujuan dari gerakannya, yakni membentuk Negara
Islam Indonesia. Lihat Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia, h. 172.
45
Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peradaban Islam
di Panggung Sejarah, (Jakara: Paramadina, 2003) h. 93.
46
Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam, h. 816.
47
Abdul Mustaqim, Deradikalisasi Penafsiran al-Qur‟an dalam Konteks Keindonesiaan
yang Multikultur, dalam Muhlis M. Hanafi (ed.), Al-Qur‟an di Era Global: Antara Teks dan
Realitas, h. 361. Lihat juga Irfan Idris, Membumikan Deradikalisasi, (Jakarta: Daulat Press, 2016)
h. 30.
12
adalah Islam. 48 Sehingga perlu untuk mengadopsi penafsiran lain yang lebih
yang berdasarkan pada produk penafsiran yang inklusif atau eksklusif. Karena
48
Misbahuddin Jamal, Konsep Al-Islam Dalam Al-Qur‟an. (Manado: Jurnal Al-Ulum,
Volume. 11, Nomor 2, Desember 2011) h. 291. Bahkan dalam tradisi tafsir dikenal dengan istilah
Ijma„ (kesepakatan). Berbeda dengan fiqh yang mempunyai bagian istimewa karena keperdulian
para ulama, maka ijma„ merupakan sesuatu yang dianggap sangat penting. Sebaliknya, para ulama
tidak terlalu memperdulikan ijma„ dalam dunia tafsir. jika fiqh menandakan kesepakatan atas suatu
hukum syara‗, maka ijma„ dalam tafsir adalah adanya kesepakatan dari para mufassir dari sesuatu
yang tetap tentang penyingkapan ucapan mereka di dalam tafsir—atas suatu makna dari beberapa
makna dalam menafsirkan ayat dari Kitab Allah. Lihat Musa‗īd ibn Sulaimān al-Ṯayyār, Fushūl fī
Ushūl al-Tafsīr, (Riyādh: Dār al-Nasyr al-Daulī, 1993) h. 70.
49
Yusuf Rahman dalam menela‘ah buku Adis Duderija ―Constructing a Religiously Ideal
“Believer” and “Woman” in Islam: Neo-traditional Salafi and Progressive Muslims‟ Method of
Interpretation, ia menggambarkan perbedaan metode pendekatan penafsiran antara muslim Salafi,
atau neo tradisional salafi (NTS), dengan muslim progresif (MP). Menurutnya, yang pertama
menggunakan pendekatan tekstual sementara yang kedua menggunakan kontekstual. Kedua
pendekatan inilah yang kemudian mempengaruhi bagaimana mereka menafsirkan tema-tema
penting dalam Islam, seperti konsep orang beriman (believer/mu‟min) dan perempuan (woman)
yang ideal dalam Islam. Lihat Yusuf Rahman, Penafsiran Tekstual dan Kontekstual terhadap al-
Qur‟an dan Hadits (Kajian terhadap Muslim Salafi dan Muslim Progresif), Journal of Qur‘ȃn and
Hadȋth Studies – Vol. 1, No. 2 (2012), h. 297.
50
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015) h.
38. Secara lebih gamblang Saeed menjelaskan lebih lanjut. Saeed membagi praktik tekstualisme
dalam suatu spektrum: dari tekstualisme lunak (soft tekstualisme) hingga tekstualisme keras (hard
tekstualisme). Tekstualisme lunak menganggap makna literal sebagai basis pengkajian makna teks,
13
di atas, bisa diasosiasikan dengan cara pandang sebagian gerakan Islam yang
dalam kasus kata al-silm kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 di atas. Dan hingga
sekarang, istilah Islam kāffah sangat familiar dijadikan sebuah alat legitimasi
syariat Islam secara kāffah dalam tataran personal maupun struktur negara.
tersebut.
mengangkat judul “Tafsir al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208: Studi
dilakukan untuk melihat perbedaan dan pergeseran makna terhadap kata al-silm
kāffah di kalangan para mufassir, baik klasik maupun modern. Penelitian ini juga
khususnya Indonesia.
kembali pemaknaan kata al-silm dan al-silm kāffah perspektif karya tafsir klasik
dan modern agar relevan dengan kondisi kekinian, khususnya di Indonesia. Oleh
karena itu, judul penelitian skripsi ini adalah Tafsir al-Silm Kāffah dalam QS. Al-
Baqarah [2]: 208: Studi Komparatif Penafsiran Mufassir Klasik dan Modern.
kajian menyangkut penafsiran. Pada poin ini, penulis meneliti penafsiran ayat
yang terkait terma al-silm kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 dalam tafsir klasik
tersebut menyediakan berbagai macam tafsiran yang diakses lewat jalur riwayat
dan qira‘at. Selain itu penulis menggunakan penafsiran Muẖammad ‗Abduh dan
al-Marāghī untuk melihat aspek penafsiran dari sudut aspek sosial (adab al-
ijtimȃ„).
adalah Bagaimana penafsiran mufassir klasik dan modern terhadap kata “al-silm
kāffah” QS. al-Baqarah [2]: 208 dan relevansinya dalam konteks kekinian,
khususnya di Indonesia?
15
C. Tujuan Penelitian
bangsa, ras dan agama dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik, dan
kini dengan cara mengumpulkan data-data yang terlibat yaitu dari sumber
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
2. Secara Praktis
16
b. Selain itu agar dapat menambah rasa kasih sayang di antara sesama
E. Tinjauan Pustaka
Sejauh penelaah penulis, belum ada penelitian ilmiah yang secara khusus
mufassir klasik dan modern. Meskipun sudah terdapat beberapa penelitian dalam
bentuk buku, namun dalam perspektif yang berbeda. Selain aspek penafsiran,
penelitian ini juga merambah pada aspek gerakan keagamaan yang menunggangi
ini.
Pertama, penelitian dalam bentuk buku yang dilakukan oleh Abd. Rahman
Rahman dalam buku tersebut menjelaskan bahwa Islam harus diamalkan secara
totalitas, tidak sepotong atau sepihak, serta kontekstual. Yang menarik adalah
buku tersebut membicarakan Islam kāffah tidak hanya dalam segi syariat, tauhid,
51
Abd. Rahman Assegaf, Studi Islam Kontekstual; Elaborasi Paradigma Baru Muslim
Kaffah. (Yogyakarta, Gama Media, 2005)
17
atau akhlak saja, melainkan juga memperhatikan isu-isu kontemporer yang sedang
Kedua, jurnal yang cukup menarik di tulis oleh Moh. Zahid dengan judul
atas Nama Islam).52 Dengan cara pandang hukum Islam, Zahid secara eksplisit
wujud kongkrit Islam kāffah diyakini akan berbeda-beda di muka bumi karena
dalam hukum Islam juga terdapat keragaman sehingga tidak mungkin untuk
menerapkannya.
Ketiga, buku yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin
akidah, tauhid dan keimanan, adab (etika), serta persoalan fiqh seperti taharah
memahami Islam kāffah sebagai sebuah perangkat yang tersaji secara lengkap
52
Moh. Zahid, ―Islam Kaffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam,‖ Jurnal KARSA, Vol. IX, 2006.
53
Syaikh Muhammad bin Ibrahim at Tuwaijiri, Ensikopledia Islam Kaffah, (Surabaya:
Pustaka Yassir, 2013).
18
Siswa Di Sma Islam Terpadu Abu Bakar Yogyakarta.54 Tesis tersebut menyajikan
singkat, Muslih memahami Islam kāffah sebagai sebuah sistem yang berkaitan
Kelima, karya tulis lainnya tentang Islam kāffah tersaji dalam karya Hilmy
Bakar Almascaty, Islam Kaffah: Paradigma Idiologi dan Intelektual Untuk Aktivis
Gerakan Islam. 55 Secara garis besar, Hilmy Bakar mendukung penuh terhadap
gagasan Islam kāffah dalam pengertian menerapkan syariat Islam. Tidak sampai di
situ, ia mencoba untuk mengubah paradigma negatif terhadap Islam kāffah, bahwa
Islam kāffah merupakan jalan yang lurus atau benar dalam pandangan al-Qur‘an
dan sunnah bukan jalan yang sesat. Oleh karena itu, ia mendukung penuh gagasan
Beberapa literatur pustaka yang telah penulis sampaikan di atas, belum ada
yang meneliti penafsiran al-silm kāffah perspektif karya tafsir, khususnya karya
tafsir klasik (tafsir al-Tabarī dan al-Qurtubī) dan modern (tafsir al-Manār dan
tafsir al-Marāghī). Ranah kosong inilah yang penulis akan teliti tentang penafsiran
al-silm kāffah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208 dari perspektif karya tafsir klasik
dan modern. Meskipun penulis tidak menafikan ada yang memahami al-silm
54
Muslih Hidayat, Strategi Pendidikan Islam Kaffah Dalam Kegiatan Kerohanian Islam
Dan Halaqah Tarbawiyah Serta Implikasinya Terhadap Sikap Keberagamaan Siswa Di SMA
Islam Terpadu Abu Bakar Yogyakarta, (UIN Sunan Kalijaga: Program Studi Pendidikan Islam,
2015).
55
Hilmy Bakar AlMascaty, Islam Kaffah: Paradigma, Intelektual, Gerakan. Di unduh dari
https://www.scribd.com/doc/17233507/. Diakses pada tanggal 20/10/2016.
19
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Sumber primer adalah tempat atau gudang penyimpan orisinal dari data
sejarah.56 Adapun sumber data primer yang berkaitan dengan buku yaitu Abdullah
Sementara tafsir yang akan diteliti yaitu tafsir Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān
„an Ta‟wīlal-Jāmi
Qurṯubī, Ay al-Qur‟ān, Bairūt:
„ li Ahkam al-Qur ‟ān,al-Fikr,
Dār Bairūt:2005. Aẖmad bin
Mu‘assasah Abī Bakr
al-Risālah, al-
2006.
1999.
wa Ahmad Mushṯafa
Maṯba‗ah Mushtafa al-Bābi
al-Marāghī, Tafsīr
al-Halbi, al-Marāghī, Mesir: Syarkah Maktabah
1946.
56
Moh, Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) Cet. VII, h. 50.
57
Moh. Nazir, Metode Penelitian ,h. 50.
58
Sumardi Surya Brata, Metode Penelitian, (Jakarta: Grafindo Persada, 1998) h. 85.
20
artikel di majalah dan internet, maupun media informasi lainnya yang bisa
perhatian terhadap suatu konteks yang mengitari suatu teks ketika diturunkan,
b. Metode Analisis-Komparatif
lainnya.60
kāffah. Karena yang menjadi sasaran pembahasan adalah pendapat ulama tafsir,
maka metodenya adalah: 1) menyajikan ayat yang dijadikan objek studi beserta
59
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015).
60
Nashrudin Baidan, Wawasan Baru al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) h.
383.
21
para ulama tafsir mengenai pengertian ayat tersebut, 61 dalam hal ini penafsiran
G. Sistematika Penulisan
Sistematika pembahasan dalam kajian ini terdiri dari lima bab, yaitu:
menyajikan definisi antara Islam dan kāffah dan Islam. Setelah itu, menyajikan
pandangan ulama terhadap Islam kāffah. Kemudian mencari cara pandang Islam
Bab III membahas penafsiran terhadap ayat al-silm kāffah. Poin pertama
membahas sebab turunnya ayat tersebut, lalu kedua pada aspek penafsiran dibagi
61
Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2009) h. 145. Syukri Saleh
menambahkan dengan metode membandingkan pendapat mufassir sehingga diketahui identitas,
pola pikir, kecenderungan dan aliran yang mereka promosikan. Lihat Ahmad Syukri Saleh,
Metodologi Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jambi: Sulthan
Thaha Press, 2007) h. 53.
22
skripsi ini.
BAB II
. Definisi
bahwa istilah tersebut berangkat dari sebuah ayat yang berbunyi udkhulū fī al-silm
menyeluruh.2 Dari ayat tersebut kemudian menjadi sebuah istilah yang maklum
disebut dengan Islam kāffah. Sejalan dengan hal ini Esack mengatakan bahwa
pengkajian atas istilah din dan, terutama, islam, jelas menjadi sentral bagi
pemahaman ayat-ayat ini dan juga soal Islam, eksklusivisme, dan pluralisme
agama.3 Oleh sebab itu dalam bab ini, penulis akan menjelaskan keterkaitan ayat
al-silm kāffah dengan Islam kāffah dalam format yang eksklusif dan sebaliknya
1. Islam
Di dalam al-Qur‘an, kata yang terambil dari akar kata s-l-m disebut
A
sebanyak 73 kali, baik dalam bentuk fi„il (kata kerja), mashdar (kata dasar/asal),
maupun isim fa„il (kata sifat/pelaku perbuatan) dengan perincian sebagai berikut:
1
QS. Al-Baqarah [2]: 208.
2
Penulis menyajikan makna Islam/Perdamaian merujuk pada penafsiran Quraish Shihab
terhadap QS. Al-Baqarah [2]: 208. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur‟an, (Ciputat: Lentera Hati, 2009) Cet. I, Vol. I, h. 544.
3
Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur‟an, Liberalisme, Pluralisme,
Penerjemah: Watung A. Budiman, (Bandung: Mizan, 2000) h. 169.
23
24
1. Bentuk fi„il:
112. ‗Ali ‗Imrān [3]: 83, al-Nisā [4]: 125, al-An‘ām [6]: 14, al-Jin [72]:
14. 2) Aslamā: 1 kali pada QS. Al-Shāffat [37] : 103. 3) Aslamū: 3 kali
QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 20. Al-Māidah [5]: 44, al-Hujurat [49]: 17. 4)
Aslamtum: 1 kali pada QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 20. 5) Aslamtu: 3 kali pada
QS. Al-Baqarah [2]: 121, ‗Ali ‗Imrān [3]: 20, dan al-Naml [27]: 44.
b. Fi„il Mudhari„: (sebanyak 5 kali): 1) Yuslim pada QS. Luqmān [31]: 22.
2) Yuslimūn pada QS. Al-Fath [48]: 16. 3) Tuslimūn pada QS. Al-Nahl
[16]: 81. 4) Uslima pada QS. Ghāfir 40: 66. 5) Muslima pada QS. Al-
c. Fi„il Amar: (sebanyak 3 kali): 1) Aslim pada QS. Al-Baqarah [2]: 131. 2)
a. Kata dasar aslama sebanyak 8 kali: 1) Al-Islām 6 kali: QS. ‗Ali ‗Imrān
[3]: 18, 85; al-Māidah [5]: 3; al- An‗ām [6]: 125; al-Zumar [39]: 22; al-
a. Mufrad sebanyak 3 kali: 1) Musliman 2 kali, QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 67;
132, 133, 136; ‗Ali ‗Imrān [3]: 152, 64, 80, 84, 102, al-Māidah [5]: 111;
al-Naml [27]: 81; al-‗Ankabūt [29]: 46; al-Rūm [30]: 53; al-Jin [72]: 14.
Mustaslimȗn juga memiliki huruf dasar yang sama dengan ―Islam‖, yaitu
sin, lam, dan mim. Sehingga Mustaslimȗn atau menyerah diri merupakan makna
―Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri.” (QS. Al-Shāffat [37]: 26)
“Maka Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah,
di bumi, kepada-Nya-lah
Padahal baik dengan suka maupun terpaksa
menyerahkan dan hanya
diri segala kepada
apa yang Allahlah
di langit dan
mereka dikembalikan.‖ (QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 83)
26
4. Salmu (damai)
Al-silm yang diartikan dengan Islam, dalam bentuk fathah sin juga
“Janganlah kamu lemah dan minta damai Padahal kamulah yang di atas
dan Allah pun bersamamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi
pahala amal-amalmu. (QS. Muhammad [35]: 47)
5. Islam
27
Kata salm dalam ayat di atas memiliki arti damai atau perdamaian. Selain
itu, dalam al-Qur‘an banyak ayat yang secara eksplisit menyebutkan kata Islam
sebagaimana berikut:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama
bagimu.” (QS. Al-Māidah [5]: 3)
“Ya Tuhan Kami, Jadikanlah Kami berdua orang yang tunduk patuh
kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu Kami umat yang
tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada Kami cara-cara
dan tempat-tempat ibadat haji Kami, dan terimalah taubat kami.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 128)
29
yakni Ismail, Ishak, dan saudara-saudara mereka, demikian pula Ya‗qub, yang
merupakan anak Nabi Ishak putra Nabi Ibrahim as. Dia juga mewasiatkkannya
kepada anak-anaknya, yakni para leluhur dari Bani Israil yang hidup pada masa
Wasiat adalah pesan yang disampaikan kepada pihak lain secara tulus,
kematian, karena ketika itu, interes dan kepentingan duniawi sudah tidak menjadi
Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kamu.‖ Maksudnya, agama ini
adalah tuntunan Allah, bukan ciptaanku. Memang banyak agama yang dikenal
oleh manusia, tetapi yang ini, yakni yang intinya adalah penyerahan diri secara
mutlak kepada-Nya, adalah yang direstui dan dipilih oleh-Nya. Karena itu, maka
janganlah kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah diri kepada-Nya,
4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2009) Cet. I, Vol. I, h. 312.
5
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, h. 313.
30
mewasiatkan ucapan ini, yang dimaksud ucapan tersebut adalah firman Allah
Muhammad SAW, yakni ikhlas beribadah, mengesakan Allah, hati dan tubuh
dari agama Islam yang diwasiatkan oleh Ibrahim adalah Islam dalam definisi
Dari penjelasan ayat ini dapat diketahui bahwa para mufassir memiliki
yakni agama (millah). Namun menurut satu pendapat, yang dimaksud adalah
ucapan yang berbunyi, aslamtu lirabb al-„ālamīn, ―Aku tunduk patuh kepada
Tuhan semesta alam.‖ Menurut al-Qurtubī, pendapat ini lebih benar. Sebab
katakanlah oleh kalian,: ―Kami telah tunduk.‖7 Senada dengan al-Qurtubī, Sayyid
Qutb mengutip ayat sebelumnya bahwa aslamtu lirabb al-„ālamīn ―Aku tunduk
patuh kepada Tuhan semesta alam.‖ Menurut Qutb, itulah millah Ibrahim. Islam
6
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, (Cairo: Dār Hajr, 2001)
Cet. I, Juz II, h. 582.
7
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, (Bairūt: Mu‘assasah al-Risālah,
2006) Juz II, h. 408.
8
Sayyid Qutb, Fi Zilal Al-Qur‟an, Penerjemah: Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Syafril
Halim, (Jakarta: Robbani Press, 2001) Cet. I, Jilid I, h. 363.
31
“Berkata Musa: "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, Maka
bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang
berserah diri." (QS. Yunus [10]: 84)
Jika ditinjau secara lebih luas mengenai definisi Islam, di dalam kamus
Glasse sendiri mendefinisikan Islam dari kata salam yang berarti pasrah, damai,
selamat. 11 Menurut Toishihiko Izutsu, secara harfiah Islam berarti ―Ia telah
9
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab - Indonesia,
(Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak 1996) h. 24.
10
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997) Cet . XIV h. 655.
11
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (Ringkas), Penerjemah: Ghufron A. Mas‘udi,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999) Cet. II, h. 174.
12
Toishihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-
Qur‟an, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997) h. 221.
32
Rajudin Isma‘il menambahkan bahwa Islam itu adalah hubungan jiwa pribadi
dengan Allah.13
Kata ―Islam‖ berasal dari kata salima yang artinya selamat. Dari kata itu
terbentuk aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh (QS. Al-
Baqarah [2]: 112). Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam, pemeluknya
disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada
Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya.14 Menurut Cak Nur, pasrah kepada Allah
atau al-islam itu sebenarnya suatu sikap batin, jadi bersifat sangat perorangan
(personal). Maka, dari sudut kenyataan ini, hanyalah orang bersangkutan sendiri
13
Radjudin Isma‘il, Akar Islam Kontemporer, (Jakarta: Badan Wakaf Al-Qur‘an. 2005)
h. 196.
14
Misbahuddin Jamal, Konsep Al-Islam dalam Al-Qur‟an, (Manado: Jurnal Al-Ulum,
2011) h. 285. Baca juga Toishihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik
terhadap Al-Qur‟an, h. 221.
15
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta: Paramadina, 1992) h. 345.
16
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 2010) Jilid
I, h. 17. Baca juga Kenneth W. Morgan, Islam Jalan Lurus, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya,
1980) Cet. II, h. 98. Khalifah Abdul Hakim memiliki persepektif tersendiri, menurutnya Islam
bukan agama yang bersumber pada diri pribadi Muhammad. Nabi muhammad menyatakan bahwa
semenjak Adam dan seterusnya semua pembawa ajaran agama yang benar, yang diutus oleh Allah
untuk menyebarkan dan mengamalkan kebenaran, memeluk satu-satunya agama yang sama dalam
bahasa Arab disebut Islam. Lihat Khalifah Abdul Hakim, Hidup yang Islami: Menyeharikan
pemikiran Transedental (Akidah dan Ubudiah), Penerjemah: Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali
Press, 1986) h. 3.
33
Pertama, di bawah iman, yakni mengakui dengan lidah saja, dengan begitu
darahnya terpelihara. Tidak jadi soal apakah keyakinan masuk ke dalam hatinya
atau tidak.
Kedua, di atas iman, yakni bersamaan dengan pengakuan lisan, juga dalam
hati, dan diamalkan dalam perbuatan dan penyerahan diri kepada Tuhan dalam
segala hal yang telah Dia tentukan dan tetapkan. Sebagaimana, yang diingatkan
Ibrahim berkata, ―Aku pasrah kepada Pemelihara Seluruh Alam.‖ (surah al-
Menurut Cyril Glasse, selain digunakan sebagai nama agama, kata ―Islam‖
juga digunakan dalam pengertian teknis bersama dua istilah lainnya, yakni Islam,
iman, ihsan, ketiganya merupakan aspek fundamental dari agama ini. Dalam
istilah ini Islam mengandung pengertian yang sama dengan ibadah, yang
mencakup segala macam perbuatan kebajikan, lima rukun Islam, dan ketundukan
terhadap syariat.18
Bernard Lewis memosisikan kata Islam sebagai dua makna yang saling
Kristen). Pada satu sisi kata tersebut berarti sebuah agama, sebuah sistem
keyakinan dan ibadah; sementara pada sisi lain, kata tersebut bisa bermakna
17
Al-Rāghib al-Ishfahānī, Mufradāt al-Qur‟ān, (Bairūt: Dār al-Syamiyyah. 1996) h. 270.
18
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (ringkas), Penerjemah: Ghufron A. Mas‘adi, h. 174.
19
Agama yang berdasarkan pada keyakinan bahwa Kristus adalah anak Tuhan, dan
ajaran-ajarannya. Lihat Kamus Oxford, h. 72.
34
karena itu, menurut Lewis kata Islam mencerminkan sejarah lebih dari empatbelas
abad, sepertiga miliar umat, dan tradisi agama serta budaya yang beragam. 20
Dalam kerangka yang lebih luas, Haedar Nashir membagi Islam ke dalam
tiga tingkatan yang saling berhubungan, yaitu: (1) Islam sebagai keyakinan dan
kebudayaan dan cara hidup yang akan mengintegrasikan Muslim ke dalam suatu
negara-negara; dan (3) Islam sebagai suatu ideologi politik yang serangkaian
terpisah.21
Dari pengertian yang tersaji di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam al-
Qur‘an dengan berbagai derivasinya dari kata Islam, dapat ditarik kesimpulan
bahwa arti Islam dengan berbagai derivasinya lebih condong kepada arti sikap
berserah diri. Ini sesuai dengan berbagai definisi-definisi di atas, baik secara
bahasa maupun istilah yakni merupakan suatu sikap kepasrahan, tunduk, dan
patuh terhadap Tuhan. Namun, ditemukan pula kata yang sejenis dengan al-silm
20
Bernard Lewis, Krisis Islam: Antara Jihad dan Teror Yang Keji, Penerjemah Ahmad
Lukman (Jakarta: PT. Ina Publikatama, 2004) h. 3. Hal serupa terdapat dalam skripsi Rizky
Munggaran, ia membagi Islam ke dalam dua variabel, baik sebagai ajaran normatif maupun secara
empiris. Dalam artian normatif, al-Islam mengarah kepada suatu makna luhur dan tinggi, yakni
―berserah diri kepada Tuhan‖, sedangkan dalam realitas empiris al-Islam merupakan suatu refleksi
dari suatu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. yang dibedakan dengan agama-agama
lain, seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu dan lain sebagainya. Lihat Rizky
Munggaran, Penafsiran Inklusif Nurcholis Madjid Mengenai Makna Al-Islam: Telaah Surah Ali-
Imran ayat 19 dan 85, (Ciputat: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010) h. 33.
21
Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis Di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 2013) h. 120.
35
dalam al-Qur‘an, termaktub bahwa kata al-salmu memiliki arti damai atau
perdamaian.
Secara lebih luas kini Islam telah membentuk sebuah formatnya dalam
bungkusan yang formal. Sehingga Islam kini tidak lagi bersifat privasi yang
Haedar Nashir di atas dengan suatu ideologi politik (publik).22 Poin terakhir ini
yang akan penulis jelaskan mengenai perdebatan yang menyelimuti al-silm kāffah,
kalimat ―ia masuk ke dalam al-silm.‖ Islam diartikan sebagai nama suatu agama.
―keseluruhan‖.23
2. Kāffah
Setiap yang memanjang maka ujung tepinya disebut dengan kuffah, dan setiap
yang bundar disebut kiffah, contoh kiffah al-mīzān (piring timbangan). Dinamakan
kuffah al-tsaub (tepi baju) karenanya mencegah baju berantakan. Asal kaff yaitu
22
Menurut Komaruddin Hidayat, perkembangan Islam akan mudah diterima oleh
masyarakat yang semakin plural dan memberikan pencerahan moral, spiritual, dan intelektual,
ketika tampil tidak dengan jargon dan kendaraan politis-ideologis. Memang, ideologisasi agama
itu suatu kenyataan yang sulit dielakkan sepanjang sejarahnya, tetapi perlu ditegaskan, bahwa
Islam bukan produk ideologi. Islam adalahh ajaran wahyu, namun melahirkan ideologi sosial
keagamaan. Lihat Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa, (Jakarta: Noura Books,
2012) h. 179.
23
Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur‟an, Liberalisme, Pluralisme, h.
172.
36
al-man„u (mencegah). Dari sini dikatakan, karena bagian pinggir tangan adalah
kaffu (telapak), karenanya bagian dari anggota badan. Dan yang dimaksud
silm kāffah.‖ Menurut Abū Ishaq, makna ―kāffah‖ dalam ayat ini adalah ―jāmi„‖
(semuanya) dan ―ihātah‖ (serba meliputi). Maka, menurutnya, ayat ini boleh
demikian.26
Dalam literatur lain dikatakan, kāffah adalah bentuk muannats dari al-kaff
menyeluruh, artinya seluruh mereka. 27 Namun dalam konteks ayat ini, kata
mensifatinya. Dalam gambaran bentuknya, kāffah seperti bentuk isim fa„il dari
kata kaffa, akan tetapi secara kebetulan bentuknya seperti itu. Tidak ada makna
kaff dan tidak ada kebutuhan untuk memaksakan penjelasan keserasian di antara
24
Ibnu Manzūr, Lisān al-„Arab, (Bairūt: Dār al-Shādir, t.th) Jilid IX, h. 305.
25
Ibnu Manzūr, Lisān al-„Arab, h. 305.
26
Ibnu Manzūr, Lisān al-„Arab, h. 305.
27
Luīs Ma‗lūf, Al-Munjīd fī al-Lughah wa al-Adāb wa al-„Ulūm, (Bairūt: Al-Matba‗ah al-
Katsulikiyyah, t.th) Cet. XVIIII, h. 689.
37
Huruf ta yang ada dalam kata kāffah menurut Ibnu ‗Asyūr, yakni di dalam
Kebanyakan kāffah digunakan dalam sebuah kalimat sebagai hāl dari isim
sebelumnya sebagaimana QS. Al-Baqarah [2]: 208 tersebut, kāffah menjadi hāl
dari dhamir udkhulū, artinya menjadi hāl bagi keadaan kamu sekalian.28
kāffah, kata asalnya dari kaff yang bermakna mencegah. 29 Dengan penjelasan
yang berbeda menurut al-Zamakhsyarī, kāffah dari huruf kaff, seakan-akan bahwa
mereka mencegah salah satu dari sebagian mereka untuk keluar dari kelompok
mereka.30 Kāffah juga digunakan sebagai arti jumlah, dengan dihubungkan bahwa
kāffah ialah sesuatu yang dapat mencegah beberapa bagian dari perpecahan. Huruf
ta dalam kȃffah menurut al-Alūsī merupakan ta‟nits atau untuk memindahkan dari
kategori sifat (sifatiyyah) kepada kategori isim (ismiyyah) seperti kata حهاعك
isim fa„il yang bermakna jamī„ān (menyeluruh). Asal kata kāffah merupakan
derivasi (isytiqāq) dari kaff yaitu sesuatu yang dapat mencegah dari seseorang
28
Muhammad Tāhir ibn ‗Asyūr, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr, (Tunis: Dār Sahnūn li al-
Nasyr wa al-Tauzī‗, t.th) Juz II, h. 278.
29
Imām al-Alūsī al-Baghdādī, Rūẖ al-Ma„ānī īȋ Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm wa al-Sab„ al-
Matsānī, (Bairūt: Dār Iẖya al-Turats al-‗Arabī, 1985) Cet. IV, Juz I h. 97.
30
Abī al-Qāsim Mahmūd ibn ‗Umar al-Zamakhsyarī, Al-Kasysyāf, (Riyādh: Maktabah al-
‗Abȋkan, 1998) Cet. I Juz II, h. 418
38
yang mengambilnya, dan kaff dalam kalimat tersebut bermakna mencegah. 31 Ibnu
dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208 dengan kata kāffah sebagaimana berikut:
―‗Ikrimah berkata bahwa khitab ayat tersebut ditujukan kepada orang yang
percaya dengan nabi dari Bani Israil seperti ‗Abdullah ibn Salām dan
selainnya, bahwa mereka pergi untuk mengagungkan hari sabtu dan
membenci daging unta, dan mereka berkehendak menggunakan sesuatu
dari hukum taurat dan mencampur hukum taurat dengan hukum Islam,
maka turunlah ayat ini kepada mereka. Maka menurut Ibnu ‗Atiyyah,
kāffah dalam konteks ini yaitu untuk memisahkan bagian syariat belaka.‖
―Ibnu ‗Abbas berkata, ayat ini diturunkan kepada Ahl al-Kitab. Bermakna
―Hai orang-orang yang beriman kepada Musa dan Isa, masuklah kalian
ke dalam Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW. secara keseluruhan.‖
Menurut Ibnu ‗Atiyyah, kāffah dalam konteks ini berfungsi untuk
memisahkan bagian syariat, dan ditujukan kepada orang yang memandang
kata al-silm dengan Islam. Dan orang yang memandang kāffah dengan al-
musālamāh ia berkata: mereka diperintahkan untuk masuk ke dalam
ketaataan mereka yang masih bersifat terbagi-bagi, maka kāffah dalam
konteks tersebut maknanya adalah jamȋ„ān (seluruhnya). Kemudian
menurut Ibnu ‗Atiyyah, yang dimaksud kāffah dengan arti jamā„ah
(kelompok) yaitu saling mencegah terjadi pertentangan.‖32
Sementara itu dalam menafsirkan kata kāffah, al-Rāzī mengutip pendapat
Imam Qaffāl. Ia berkata, kāffah itu maknanya kembali kepada orang-orang yang
diperintah untuk masuk, yaitu masuklah kalian secara berjama‗ah di dalam Islam,
berkata: orang-orang Arab mengatakan, ―saya melihat satu kaum berkumpul yang
bisa juga dikembalikan pada Islam yaitu masuklah kalian semua ke dalam Islam
seluruhnya, yaitu seluruh syariatnya. Al-Wāhidī berkata, ini tepatnya jika tafsir
31
Abī Hayyān al-Andalūsī, Al-Bahr al-Muhīt, (Bairūt: Dūr al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1993)
Cet. I Juz II, H. 118.
32
Ibnu ‗Atiyyah al-Andalūsī, Al-Muharrar al-Wajīz īȋ Tafsīr al-Kitāb al-„Azīz, (Bairūt:
Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2001) Juz I h. 283.
39
artinya makna kāffah dalam lughah itu pencegahan, dikatakan: دففك اٍالف يع ءىسال
ٍ― رعٍه اsaya mencegah fulan dari kejelekkan artinya saya mencegahnya.‖33
(tanpa terkecuali).34 Dalam menafsirkan kata kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208, al-
Suyūtī mengatakan bahwa kata ini di-nashab-kan karena menjadi hāl dari kata al-
silm,35 atau dari dhamir orang-orang yang beriman. Kata ini menurut al-Qurtȗbȋ
Maksudnya, tidak ada seorang pun dari kalian yang tercegah atau terlarang untuk
masuk ke dalam Islam. Itu karena makna al-kaff adalah al-man„u (larangan).36
dalam al-Qur‘an. Dua kali disebut dalam QS. Al-Taubah [9]: 36), yaitu:
33
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, (Bairūt: Dār al-Fikr, 1981) Juz V, h. 226.
Lihat juga Ibnu Manzūr, Lisān al-„Arab, h. 303.
34
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997) cet ke-XIV, h. 1220. Lihat juga Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam
al-Qur‟ān, Juz II, h.394.
35
Jalāl al-Dīn Muẖammad ibn Ahmad Muẖammad al-Maẖallī dan Jalāl al-Dīn ‗Abd al-
Rahman ibn Abī Bakr al-Suyūṯī, Tafsīr al-Jalālaīn, (Damasykus: Dār Ibn Katsīr, t.th) Juz II, h. 33.
Sebagian mufassir mengatakan kāffah menjadi hāl dari udkhulū. Lihat Al-Hā fiz ‗Imaddudīn Abī
al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm, (Cairo: Mu‘assasah Qurṯubah,
2000) Juz II, Cet. I, h. 273.
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 394. Lihat juga Imām al-Alūsī al-
Baghdādī, Rūẖ al-Ma‟ānȋ fī Tafsīr al-Qur„ān al-„Aẕīm wa al-Sab„ al-Matsānȋ, h. 97.
40
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).‖
(QS. al-Taubah [9]: 122)
―Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia.‖ (QS.
al-Saba‘ [34]: 28)
3. Islam Kāffah
Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa Istilah Islam
kāffah diangkat dari kata ( اىلخدا نلسال ٍف حفاكmasuklah kalian ke dalam Islam secara
kāffah).37 Islam kāffah memiliki makna mengamalkan syariat Islam dengan baik
dan benar sesuai dengan tuntunan yang diajarkan.38 Tidak dibenarkan percaya dan
Islam yang lain.39 Pemahaman demikian tidak bisa lepas dari penafsiran terhadap
Islam secara menyeluruh, dengan seluruh aspeknya, seluruh sisinya, yang terkait
urusan iman, atau terkait dengan akhlak, atau terkait dengan ibadah, atau terkait
dengan mu‗amalah, atau terkait dengan urusan pribadi, rumah tangga, masyarakat,
37
Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam, (Jurnal Karsa, Vol IX, 2006) h. 809.
38
Cecep Supriadi, Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan Keindonesiaan,
(Jurnal Kalimah, Vol. 13, No. 1, Maret 2015) h. 204.
39
Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam, h. 809.
41
negara dan yang lainnya yang sudah diatur dalam Islam. 40 Semua masuk dalam
perintah ini: ―Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kepada Islam secara
kāffah (menyeluruh).41
Perspektif lain Islam kāffah dimaknai secara ritual. Dalam pandangan ini,
muslim yang kāffah tidak berhenti pada ritual-ritual keagamaan saja, tetapi sudah
menjajaki substansi dari ritual-ritual tersebut. Seperti seorang Muslim yang rajin
shalat berjamaah di masjid, rajin i„tikaf, rajin berpuasa sunnah, rajin ―memutar‖
tasbih, tetapi perilakunya kurang baik, misalnya, sering menggunjing dan lain-
lain. Itu terjadi karena ibadah ritual yang ia lakukan tidak sampai pada
substansinya.42
mengindikasikan hanya ada dua buah pilihan. Pertama, masuk ke dalam Islam
paripurna, atau apabila tidak mau melaksanakan ajaran Islam secara keseluruhan,
maka yang ada hanya pilihan kedua, yaitu mengikuti langkah-langkah setan
ajarannya.43
40
Tanpa penulis, Islam Kaffah. Di unduh dari http://www.assunnah.mobie.in/. Diakses
pada tanggal 1/November/2016.
41
Tanpa penulis, Memahami dan Mengamalkan Islam Secara Kaffah Solusi Satu-satunya
Bagi Umat Islam, di unduh dari http://kajiansalafyui.wordpress.com/2009/06/06/ Diakses pada
tanggal 1/November/2016.
42
Nanang Rosyidi, Apa itu Muslim Yang Kaffah, di unduh dari
http://m.kompasiana.com/nanagrosidi/. Diakses pada tanggal 1/November/2016.
43
Muhammad Nur Ichwan Muslim, Kaffah dalam Beragama, di unduh dari
http://muslim.or.id. Diakses pada tanggal 1/November/2016.
42
bahwa seorang Muslim wajib masuk Islam secara kāffah, yaitu masuk ke dalam
segala syariat dan hukum Islam secara keseluruhan, bukan berislam sebagian dan
mengambil selain syariat Islam untuk sebagian lainnya. Lebih tegas Shiddiq
mengatakan merupakan kesesatan yang nyata, apabila ada orang yang mengaku
(tertinggi) ketika Islam dipandang bukan hanya persoalan pribadi melainkan juga
berbaur dengan struktur negara—sesuai dengan apa yang Bassam Tibi katakan
Hosen, bagi mereka yang berpandangan bahwa Islam itu mewajibkan bentuk dan
44
Muhammad Shiddiq al-Jawi, Menjadi Muslim Kaffah Menerjunkan Diri Dalam Syariat
Islam Secara Total, di unduh dari http://jasawebenigma.wordpress.com/2012/12/13. Diakses pada
tanggal 28/November/2016.
45
Argumentasi yang ditulis Bassam Tibi sebagai respon terhadap slogan kalangan Islamis
yang mengatakan al-Islām huwa al-hāll (Islam adalah solusi). Dalam menyikapi hal demikian
Bassam Tibi mengatakan bahwa Islam bukanlah solusi, setidaknya bukan solusi politik bagi krisis
pembangunan yang ada dan bagi krisis pemerintahan politik rezim otoriter. Kalangan Islamis
sudah tepat merujuk pada krisis yang ada (dalam pembangunan, ekonomi, legitimasi kekuasaan,
dan alienasi budaya), tetapi solusi yang mereka hadirkan, ketika mengambil bentuk konkret
sebagai negara syariat, malah menunjuk kepada pemerintahan totaliter. Jika mereka merebut
kekuasaan, baik melalui jihad maupun melalui kotak suara, mereka tidak berada dalam posisi
untuk memecahkan masalah-masalah masyarakat Islam. Sebaliknya, Islamisme menciptakan suatu
kode perilaku eksklusif yang kaku dengan maksud memaksa orang menjadi patuh, bukan
menggunakan syariat sebagai ―hukum‖ tetapi menyatakan hukum dari gerakan tersebut agar
menjadi syariat. Pemaksaan ini yang menurut Tibi merupakan ciri-ciri totaliter yang tidak pernah
ada dalam Islam tradisional. Bassam Tibi, Islam dan Islamisme. Penerjemah: Alfathri Adlin,
(Bandung: Mizan, 2016) h. 225.
43
Sebaliknya bagi mereka yang berpandangan bahwa Islam itu tidak mewajibkan
secara syar„i akan bentuk dan sistem ketatanegaraan tertentu, maka mereka tidak
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah Islam kāffah
merujuk kepada dua perspektif. Pertama, Islam kāffah dipahami secara moderat
pribadi. Kedua, Islam kāffah yang dipahami sebagai suatu gagasan yang
kenegaraan. Namun, dalam penelitian ini, penulis hendak mengurai Islam kāffah
diterjemahkan dengan kedamaian atau Islam, makna dasarnya adalah damai atau
tidak mengganggu. 47 Kedamaian oleh ayat ini diibaratkan berada dalam suatu
wadah yang dipahami dari kata fī, yakni dalam; orang yang beriman diminta
46
Nadirsyah Husein, Islam Kaffah, di unduh dari
http://media.isnet.org/kmi/isnet/Nadirsyah/. Diakses pada tanggal 1/November/2016.
47
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, h. 543.
44
tanpa kecuali.48
Lebih lanjut Shihab menegaskan bahwa ayat ini menuntut setiap yang
beriman agar melaksanakan seluruh ajaran Islam, jangan hanya percaya dan
lain. Ia dapat juga bermakna masuklah kamu semua kāffah tanpa kecuali, jangan
kepada tali Islam dan semua syariatnya serta mengamalkan semua perintahnya
dan meninggalkan semua larangannya dengan segala kemampuan yang ada pada
mereka.49
mengatakan ‗ia bermakna ketaatan‘ (Diriwayatkan dari Ibnu ‗Abbās, Abū al-
‗Aliyah, dan Rabī‗ bin Anas). Mengenai firman-Nya ‗kāffah‟, Ibnu ‗Abbas,
Mujāhid, Abū al-‗Aliyah, ‗Ikrimah, Rabī‗ bin Anas, Al-Suddi, Muqātil bin
48
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, h.
544.
49
Al-Hā fiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-
„Aẕīm, h. 273.
45
amal shalih dan segala macam kebajikan.‖ Oleh karena itu, makna
mengerjakan semua cabang iman dan syariat Islam, yang jumlahnya sangat
sesungguhnya pertolongan Allah itu deket.‖ QS. Al-Baqarah [2]: 214. Tujuh ayat
sempurna yang menjelaskan suatu cara saling menjaga persatuan agama di dalam
(perdamaian). Secara ringkas Allah telah menjelaskan dari ucapan dan sesuatu
yang Allah pandang dari suatu perbuatan. Sesugguhnya Allah tidak menghendaki
perpecahan dalam satu agama, dan tidak mengendalikan kebahagian di dunia dan
di akhirat. Tidak ada solusi kerusakan bagi suatu kaum kecuali karena keluar dari
menempatkan ayat tidak sesuai dengan tempatnya. Hal seperti itu bisa disaksikan
dalam Bani Israil dan selain mereka dari umat-umat masa lampau dan yang
50
Al-Hā fiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-
„Aẕīm, h. 273.
46
Sementara firman-Nya اٍ اهٍا يزال اىٍهآ فٍ نلسلا حفاك, al-silm yakni Islam
dan berserah diri maknanya adalah satu, sementara kāffah sebagai kalimat ta‟kid
bagi setiap mukmin dan juga wajib bagi semuanya. Bahwasannya mereka tidak
terjadi perselisihan di dalam perintah tersebut, dan mereka berserah diri terhadap
khusus, maka al-silm tersebut ditujukan kepada orang-orang yang diajak kepada
jalan Allah yaitu berserah kepada-Nya setelah iman kepada-Nya, maka wajib bagi
semua tidak meletakkan bagi diri kalian di samping mereka dengan cara
mengikutinya dari selain apa yang sudah Allah dan Rasulnya jelaskan. Maka
tidaklah rusak suatu kaum kecuali dengan mengikuti hawa nafsu dan ucapan yang
didasari tanpa ilmu. Dan suatu kaum tidak akan merusak karena kebenaran hidup
51
Muhammad Husaīn al-TabāTabā‘ī, Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān, (Teheran: Dār al-
Kutub al-Islamiyyah, 1973) Cet. II Juz II, h. 103.
47
dan kebahagiaan yang sesungguhnya dari kaum tersebut kecuali dari ikhtilāf
(perbedaan).52
Pada tataran bahasa, kata al-silm bisa dibaca dengan harakat fathah pada
sin (yakni al-salmu) dan bisa juga dengan harakat kasrah (yakni al-silmi). Al-
Kisā‘i mengatakan bahwa maknanya adalah sama. Demikian juga menurut ulama
(perdamaian). Kata kāffah menurut Imam al-Syaukani adalah hāl dari al-silm atau
pertama adalah: Janganlah seorang pun dari kalian keluar. Sedangkan yang kedua:
janganlah keluar sedikit pun dari Islam, akan tetapi masukilah seluruhnya, yakni:
masuklah ke dalam semua karakter Islam. Kata kāffah merupakan derivasi dari
kata: kafaftu yang artinya mencegah, yakni: Janganlah seorang pun dari kalian
(menyerahkan diri) dan ketaatan, oleh karena itu dimaknai dengan perdamaian
dan Islam. Kāffah yaitu isim dalam bentuk makna jumlah, karenanya mencegah
tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud al-silm dalam QS. Al-Baqarah [2]:
208 yakni Islam, memuliakan orang yang beriman dengan menjadikan Islam
52
Muhammad Husaīn al-TabāTabā‘ī, Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān, h. 103.
53
Imam Al-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) Cet. I, Jilid I,
h. 813.
54
Wahbah al-Zuhailī, Al-Tafsīr al-Wasīt, (Damasykus: Dār al-Fikr, 2001) Cet. I, Juz I, h.
103.
48
sebagai agama berupa melakukan amal dengan seluruh cabangnya dan hukum-
hukumnya seperti shalat, puasa, dan meninggalkan sebagian hukum yang lain
seperti zakat, jihad dan berhukum dengan kitab Allah dan batasan-batasannya, dan
tersebut menurut al-Zuhailī dalam bentuk jumlah, baik yang zahir maupun batin.
Dan khitab yang ditujukan kepada orang-orang munafik, atau masuklah kalian
Islam dengan selainnya. Sedangkan khitab yang ditujukan untuk orang mukmin
hari sabtu dan mengharamkan unta dan susunya. Atau di dalam syariat Allah
menyeluruh.56
jahiliyah. Jalan Allah SWT atau jalan setan. Petunjuk Allah SWT atau kesesatan
setan. Dengan ketegasan seperti ini seharusnya seorang muslim bisa mengetahui
55
Wahbah al-Zuhailī, Al-Tafsīr al-Wasīt, h. 103.
56
Muhammad al-Syairazī al-Baidhāwī, Tafsīr al-Baidhāwī al-Musammā Anwār al-Tanzīl
wa Asrār al-Ta‟wīl, (Cairo: Al-Maktabah al-Taufȋqiyyah, t.th) Juz I, h. 146.
49
yang harus dipilih salah satunya oleh seorang mukmin, atau dicampur aduk salah
satunya dengan yang lain. Tidak! Sesungguhnya orang yang tidak masuk ke
dalam kedamaian (Islam) secara total, orang yang tidak menyerahkan dirinya
secara murni kepada Allah SWT dan syariat-Nya, orang yang tidak melepaskan
Di sana tidak ada solusi tengah, tidak ada manjah selain Islam, tidak ada
dan kesesatan. Islam dan jahiliyah. Manhaj Allah atau kesesatan setan. Allah SWT
menyeru orang-orang yang beriman pada bagian pertama untuk masuk ke dalam
kedamaian (Islam) secara total; dan memperingatkan pada bagian kedua dari
dan rasa khawatir mereka tersentak dengan peringatan tentang permusuhan setan
terhadap mereka tersebut. Permusuhan yang sangat jelas lagi gamblang, yang
tidak akan pernah dilupakan kecuali oleh orang yang lengah, sedangkan
57
Sayyid Qutb, Fī Zilāl al-Qur‟ān, (Bairūt: Dār al-Syūrūq, 1998) Juz I-IV, h. 211.
58
Sayyid Qutb Fī Zilāl al-Qur‟ān, h. 211.
59
Sayyid Qutb, Fī Zilāl al-Qur‟ān, h. 211.
50
meninggalkannya disebut dengan al-silm (selamat). Atau bisa jadi yang dimaksud
ayat itu, jadilah kalian semua orang-orang yang meyakini Allah, dan
Karena menurut madzhab kami, iman itu masih akan tetap ada meskipun iman
Kedua, yang dimaksud dengan al-silm yaitu keadaan seorang hamba yang
ridha dan hatinya tidak ada ketertekanan. Sebagaimana dalam sebuah hadits
diriwayatkan, ―Ridha terhadap takdir itu adalah pintu Allah yang paling agung.”
Ketiga, yang dimaksud dengan al-silm yaitu meninggalkan sifat balas dendam,
kalian dengan mulia, ambillah maaf, dan perintahkanlah sesuatu yang baik, dan
ini merupakan perintah Allah SWT kepada orang-orang yang beriman untuk
syariat-syariat agama, mereka tidak meninggalkan sesuatu pun darinya, dan agar
mereka tidak seperti orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.
Apabila hawa nafsunya itu sejalan dengan perkara yang disyariatkan, maka dia
60
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, h. 225.
51
kerjakan, namun bila bertentangan dengannya, maka dia tinggalkan. Yang wajib
perbuatan baik dengan segala kemampuannya, dan apa yang tidak mampu
dengan niatnya tersebut. Ketika masuk ke dalam Islam dengan keseluruhan, maka
tidak mungkin dan tidak dapat dibayangkan terjadi, kecuali bertentangan dengan
jalan-jalan setan.61
yang berbunyi al-Islām huwa al-Dīn wa al-Daulah (Islam adalah agama dan
negara).62 Islam di sini menurut Komaruddin Hidayat adalah agama dan sekaligus
kekuasaan. Sehingga hubungan antara agama dan negara, antara aspek ritual dan
politik, sangat erat kaitannya, bahkan tidak bisa dipisahkan.63 Islam bagi sebagian
memiliki sistem yang melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia, tak terkecuali
61
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‗di Zulharman, Tafsir Al-Qur‟an, Penerjemah:
Muhammad Iqbal, Izzudin Karimi, Muhammad Ashim, Mustofa Aini, Zuhdi Amin, (Jakarta:
Darul Haq, 2015) Cet. VI, Jilid I, h. 356.
62
Zaprulkhan, Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, (Jurnal Walisongo,
2014) Vol. 22, h. 106. Selain doktrin tersebut tumbuh doktrin lain yang mengemuka di antaranya,
―Islam sebuah alternatif‖ (al-Islām huwa al-hāl), menegakkan Syariat Islam (Tatbīq al-Syarī„ah),
mendirikan negara Islam (al-Khilāfah al-Islāmiyyah), Zuhairi Misrawi dalam kata pengantar buku
Fundamentalisme Progressif: Era Baru Dunia Islam, h. 19. Islam adalah akidah dan syariat,
agama dan negara, metode dan budaya serta tata cara hidup. Muhammad Rasyād ‗Abd al-‗Azīz
Mahmūd, Atsar al-Fikr al-„Ulmānī fī al-Mujtama„ al-Islāmī, (Cairo: Dār al-Muhadditstsīn, 1988)
h. 14.
63
Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peradaban Islam
di Panggung Sejarah, (Jakara: Paramadina, 2003) h. 93.
64
Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam terhadap Isu-Isu
Aktual, (Jakarta: Serambi, 2014) h. 74. Misalnya dalam pandangan Gamal al-Banna, kata negara
52
umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam
dan ketatanegaraan.
dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan
Tuhan. Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan
Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem
yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan oleh empat al-Khulafah al-
Rasyidin.65
Menurut aliran ini, Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya
kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur. Nabi tidak
pernah mendirikan dan mengepalai satu negara. Agama adalah sesuatu yang
(daulah) tidak ditemukan dalam al-Qur‘an, melainkan hanya terdapat dalam satu tempat saja dan
itu pun berkenaan dengan harta rampasan perang: ―agar tidak ada ‗penguasaan‘orang-orang kaya
dari kalian‖ dan satu lagi kata ―Nudawiluha‖ pecahan dari kata ―Daulah‖ dalam ayat: ―watilka al-
ayyamu nudawiluha baina al-nas‖. Sementara, dalam kamus manapun tidak ada yang memberikan
makna terhadap kata ―Daulah‖, kecuali dengan makna yang ada pada kandungan ayat al-Qur‘an
tersebut, yaitu dengan makna ―Ghalabah‖, yaitu ―penguasaan‖, atau mengalahkan. Lihat Gamal
al-Banna, Relasi Agama & Negara, h. 6.
65
Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI
Press, 1993) Cet. V, h. 1. Menurut Ali Masykur Musa, kelompok ini terdiri kelompok tradisionalis
dan fundamentalis. Faksi tradisionalis yakni mereka yang tetap mempertahankan tradisi praktik
dan tradsisi pemikiran politik Islam klasik dan pertengahan. Tokoh faksi ini seperti Rasyid Ridha.
Sementara faksi fundamentalis adalah mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial
dengan kembali kepada ajaran Islam secara total dan menolak sistem yang buat manusia. Tokoh-
tokohnya seperti Sayyid Quṯb, al-Maudūdī, dan Hasan al-Turabi. Lihat Ali Masykur Musa,
Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam terhadap Isu-Isu Aktual, h. 38.
53
terpisah sama sekali dengan negara. Agama adalah urusan pemeluknya masing-
Ketiga, aliran yang menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam
pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha
Penciptaannya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem
digunakan oleh Islam kāffah ialah aliran yang mengatakan bahwa Islam adalah
sebuah perangkat alat yang lengkap meliputi berbagai aspek termasuk kehidupan
negara.
Setelah melihat pemaparan terkait term Islam dan kāffah di atas, dapat
bagaimana Islam ditafsirkan secara formalistik dan Islam ditafsirkan secara nilai
(etika). Pertama, individu atau kelompok Islam yang menghendaki syariat Islam
diterapkan secara kāffah dalam seluruh sendi kehidupan. Sementara yang kedua
adalah anti-tesis dari poin pertama yakni menolak pemahaman Islam kāffah dalam
ranah institusi. Kecenderungan yang ditempuh oleh kelompok kedua adalah Islam
66
Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, h. 1.
Kelompok sekuler atau liberal yang ingin memisahkan antara Islam dan negara. Pengusung
kelompok ini adalah Ṯaha Husein dan ‗Ali ‗Abd al-Rāziq. Lihat Ali Masykur Musa, Membumikan
Islam Nusantara: Respon Islam terhadap Isu-Isu Aktual, (Jakarta: Serambi, 2014) h. 38.
67
Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI
Press, 1993), cet ke-5, h. 2. Ali Masykur Musa mengelompokkannya ke dalam kelompok modernis
dan neomodernis, dalam pengertian bahwa Islam mengatur masalah keduniaan atau
kemasyarakatan secara garis besarnya saja. Sementara secara teknis terbukti untuk mengadopsi
sistem lain yang dalam hal ini adalah sistem Barat yang telah menunjukkan kelebihannya. Di
antara tokoh kelompok ini adalah Muhammad ‗Abduh, Husein Haikal, dan Muhammad Asad.
Lihat Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam terhadap Isu-Isu Aktual,
h. 38.
54
Isu Islam kāffah menjadi salah satu isu terpanas dalam pemikiran Islam
klasik menilai bahwa ayat tersebut sebagai perintah untuk masuk ke dalam agama
Islam secara komprehensif. Senada dengan itu, sebagian mufassir modern juga
menilai QS. Al-Baqarah [2]: 208, sebagai bentuk perintah untuk masuk ke dalam
1
Penulis memakai istilah Abdullah Saeed dalam menganalisis pendekatan tafsir. Menurut
Saeed, pendekatan testual menekankan pemahaman teks berbasis riwayat, yang sering berbasis
pada pembacaan teks secara literal. Tekanan kepada tekstualisme dalam tafsir (yang saya rujuk
sebagai ―pendekatan tekstual‖) bertujuan untuk mempertahankan pemahaman berbasis riwayat
setepat mungkin dan mendukung pemahaman itu dengan mengutip serangkaian teks, misalnya teks
al-Qur‘an dan hadis, serta atsar (pendapat para teolog, ulama fikih dan mufassir generasi awal).
Lihat Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015) h. 38.
2
Atsar adalah apa yang diriwayatkan dari Rasul SAW. dan apa yang diriwayatkan dari
para sahabat atau dari tabi‗in secara mauqūf kepada mereka atau secara marfū‗ (kepada Nabi).
Lihat Musa‗id Muslim ‗Ali Ja‗far, Manāhij al-Mufassirīn, (Dār al-Ma‗rifah, 1980) h. 33. Para
ulama berbeda pendapat dalam merujuk pada tafsir tabi ‗in dan mengambil perkataan mereka
55
56
tersebut, maka pada bab ini penulis akan mengkaji penafsiran atas ayat al-Qur‘an
yang menjadi fokus perdebatan mengenai isu seputar Islam kāffah yang lantas
sangat akrab dalam gerakan keagamaan Islam era kontemporer. Al-Qur‘an
menyatakan:
Fokus bab ini adalah bagian ayat al-silm kāffah dan tidak mendiskusikan
Marāghī.
apabila tidak diriwayatkan dalam riwayat tersebut sesuatu dari Rasul SAW. atau dari para sahabat.
Mayoritas para mufassir membolehkan mengambil ucapan tab‘in dalam penafsiran, karena mereka
bertemu dan bahwa mereka mayoritas tafsirnya dari para sahabat. Lihat Muẖammad Husain al-
Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Kuwaīt: Dār al-Nawādir, 2010) Jilid I, h. 128.
57
keadaan dan waktu yang berbeda sesuai dengan situasi-kondisi yang dihadapi oleh
orang yang menerimanya yaitu Nabi Muhammad SAW. Kata asbāb (tunggal:
sabab) berarti alasan atau sebab.3 Jadi, asbāb al-nuzūl berarti pengetahuan tentang
Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Ikrimah, dia berkata, ―Abdullah bin Salām,
Tsa‗labah, Ibnu Yamin, Asad bin Ka‗āb, Usaid bin Ka‗āb, Sa‗ad bin ‗Amr dan
Qais bin Zaid, semuanya adalah orang-orang Yahudi. Mereka berkata pada
Rasulullah SAW:
، اٍعذف دثسٍلف ف! ىإو جاسىرلا بارك هللا،ٍٍ مىٍ دثسلا مىٍ اٍك وظع،لىسس هللا
ٍ" ا اهٍأ يٍزال اىهآ اىلخدا فٍ نلسلا حفاك لاو اىعثرذ ا:اٍعذف نقٍلف للالت اهت ! دلضف
.خاىطخ ىاطٍشال
―Wahai Rasulullah, hari Sabtu adalah hari yang kami agungkan. Maka
biarkanlah kami melakukan ritual kami pada hari itu. Dan Taurat adalah
Kitab Allah, maka biarkanlah kami bangun malam dengannya. Maka
turunlah ayat yang berbunyi اٍ اهٍأ يٍزال اىهآ اىلخدا فٍ نلسال حفاك. Hai
orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara
keseluruhannya.‖5
Riwayat lain dari Ibnu ‗Abbas sebagaimana yang dikutip al-Qurṯubī. Ibnu
3
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997) Cet. XIV, h. 602.
4
Ahmad Izzan, Ulumul Qur‟an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Qur‟an,
(Bandung: Tafakur, 2011) cet-IV, h. 96. Lihat juga Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu
Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) h. 132.
5
‗Abdul Fataẖ ‗Abd al-Ghānī al-Qādhī, Asbāb al-Nuzūl „an al-Shaẖābah wa al-
Mufassirīn, (Cairo: Dār al-Salām, 2007) Cet. III, h. 36. Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an
Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, (Bairūt: Dār al-Fikr, 2005) Jilid II, h. 400. Lihat juga Jalāl al-Dīn al-Suyūṯī,
Al-Dur al-Mantsūr fȋ Tafsīr bi al-Ma‟tsūr, (Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1990) Juz I, Cet I,
h. 433. Hal serupa terdapat dalam tafsir Imām al-Alūsī al-Baghdādī, Rūẖ al-Ma„ānī fī Tafsīr al-
Qur‟ān al-„Aẕīm wa al-Sab„ al-Matsānī, (Bairūt: Dār Iẖya al-Turats al-‗Arabī, 1985) Cet. IV, Juz I
h. 97. Al-Hā fiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-
„Aẕīm, (Cairo: Mu‘assasah Qurṯubah, 2000) Juz II, Cet. I, h. 273. Al-Wahidi al-Nisaburi, Asbāb al-
Nuzūl: Sebab-sebab Turunnya Ayat-ayat Al-Qur‟an, Penerjemah: Moh. Syamsi, (Surabaya:
Amelia Surabaya, 2014) h. 96.
58
ا اهأ يزال اىٍهآ سىوتٍ اىلخدا ٍسٍعو فٍ ذوحوت ملاسلإا لصٍ الل نلسو ٍٍلع،ٍٍ عولاو
حفاك
―Pengertian (ayat ini adalah) : Hai orang-orang yang beriman kepada
Musa dan Isa, masuklah kalian ke dalam Islam yang dibawa oleh
Muhammad SAW. secara keseluruhan.‖6
Al-Rāzī mengatakan bahwa ayat ini sebetulnya diturunkan kepada
riwayat al-Ṯabarȋ di atas, ayat tersebut merujuk kepada kalangan Yahudi yang
Yamīn, Asad bin Ka‗āb, Usaid bin Ka‗āb, Sa‗ad bin Amr dan Qais bin Zaid.
Seperti mengagungkan hari sabtu, membenci daging unta dan susunya. 9 Kalangan
Ahli Kitab tersebut meliputi yang beriman kepada Musa dan Isa. Kemudian Allah
benci terhadap mereka, dan memerintahkan mereka untuk masuk Islam secara
dapat dikatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah berkaitan dengan
kalangan muslim dari Ahli Kitab yang masih mengagungkan syariat Nabi Musa,
sementara mereka sudah masuk Islam. Maka turunlah ayat tersebut untuk
6
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, (Bairūt: Mu‘assasah al-Risālah,
2006) Juz II, h. 329. Lihat juga Al-Imām al-Wāhidī, Asbāb al-Nuzūl, (Bairūt: Dār al-Kutub al-
‗Ilmiyyah, 2009) Cet. IV, h. 68.
7
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, (Bairūt: Dār al-Fikr, 1994) Juz V, h. 225.
8
Seperti tafsir al-Syaikh Muẖammad al-Nawāwī al-Jāwī, Maraẖ Labīd Tafsīr al-Nawawī,
(Dār al-Fikr, t.th) Juz I, h. 54.
9
Sayyid Maẖmūd al-Alūsī al-Baghdādī, Rūẖ al-Ma„ānī fī Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm wa
al-Sab„ al-Matsānī, h. 97.
10
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, h. 225.
59
memaknai al-silm pada ayat ini. Sebagian berkata maknanya adalah Islam. 13 Ia
mengutip riwayat:
bahwa tafsiran yang lebih utama tentang firman: اىلخدا فٍ نلسلاadalah pendapat
sepenuhnya.14 Ia memilih tafsir pada ayat " " اىلخدا فٍ نلسلاmaknanya dengan
Islam, dengan dalih bahwa karena sesungguhnya ayat tersebut ditujukan kepada
orang-orang mukmin, dan jika khiṯab tersebut ditujukan kepada orang mukmin
Pertama, Khiṯab ini ditujukan kepada orang yang percaya dengan Nabi
padanya. Maka ayat tersebut tidak bisa dikatakan kepada mereka sementara
mereka ahli iman: ―masuklah ke dalam perdamaian dengan orang mukmin dan
14
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 399.
61
sekutu tidak boleh dikatakan ―berdamailah dengan fulan‖, sedangkan tidak ada
Kedua, khiṯab ini ditujukan kepada orang yang beriman dan membenarkan
terhadap para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. dan apa yang datang bersama
dikatakan kepada mereka: ""ف اىلخداٍ نلسلا, yakni Islam dan bukan perdamaian,
dengan Nabi-Nya Muhammad dan apa yang datang bersamanya, dan terhadap apa
lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah bersamamu”
15
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 399.
16
Menurut al-Dzahabī, yang menyebabkan Ibnu Jarir memberi perhatian terhadap sisi
qira‘at karena ia tergolong ulama qira‘at, sehingga para ulama berkomentar, ―Ibnu Jarīr telah
mengarang kitab khusus tentang qira‘at dalam 18 volume yang di dalamnya menjelaskan semua
qira‘at yang masyhur dan yang syadz (ganjil) bahkan ia menguraikannya. Lalu ia memilih qira‘at
62
membaca fatẖah pada huruf sin dari ayat اىلخدا فٍ نلسلا, mereka menakwilkan
dengan arti masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan. 19 Dan sebagian dari
ke dalam kedamaian. Dan mereka mengambil dalil bahwa sin yang di-kasrah-kan
―Bahwa qira‘at yang lebih utama bacaan ayat itu adalah qira‘at yang
membaca sin dengan kasrah, karena hal itu jika dibaca demikian juga
mengandung makna perdamaian.‖
yang tidak keluar dari yang masyhur. Sayangnya karya besarnya itu lenyap di telan masa, sehingga
tidak sampai kepada kita sebagaimana karya-karyanya yang lain. Lihat Muhammad Husein al-
Dzahabi, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1. Penerjemah: H. Nabhani Idris, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010)
h. 204.
17
Menurut Shālih al-‗Utsaimīn, Ahli Kuffah mereka adalah para pengikut Ibnu Mas‘ūd
seperti Qatādah, ‗Alqamah, dan Sya‗bi. Lihat Muẖammad Shālih al-‗Utsaimīn, Ushūl fī al-Tafsīr,
(al-Maktabah al-Islāmiyyah, 2001) h. 38.
18
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 398.
19
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 398.
63
bahwa ia secara eksplisit lebih memilih penafsiran al-silm dengan Islam tenimbang
20
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 401.
21
Beliau adalah Abū ‗Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn al-Farīd al-Anshārī al-Hazraj
al-Andalūsī. Beliau adalah seorang yang zuhud, wara‘ dan bertakwa kepada Allah SWT. Beliau
senantiasa menyibukkan diri dalam menulis dan beribadah. Al-Dzahabī mencatat tentang tahun
wafat beliau yakni tertulis bahwa beliau wafat tepatnya pada bulan syawwal tahun 671 H. Lihat
Muhammad Husaīn al-Dzahabī, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Cairo: Maktabah al-Wahbah, 2003)
Cet. II, Jilid II, h. 336.
64
beriman, orang kafir, dan orang munafik, 22 maka Allah berfirman, ―Anutlah oleh
kalian semua agama yang satu dan peluklah agama Islam, serta konsistenlah kalian
terhadapnya.‖ Jika demikian, maka makna kata al-silm yang tertera dalam ayat ini
murtad sepeninggal Nabi SAW. bersama Asy‘ats bin Qais al-Kindi. 24 Serupa
Kisā‗i berkata, ―Makna al-silm dan al-salm itu sama.‖ Demikian pula menurut
pendapat mayoritas ulama Bashrah. Kedua kata itu bisa berarti Islam dan
membaca, udkhulū fī al-silm ―masuklah kamu ke dalam Islam.” Dia berkata, ―Al-
silm adalah Islam.‖Sementara dalam surat al-Anfāl dan Muẖammad dia membaca
dengan ―al-salm.‖ Dia berkata, ―dengan fatẖah huruf sin, yakni rekonsiliasi.‖
berkata, ―al-silm adalah Islam, al-salm adalah perdamaian (al-shulh), dan al-
―Bahasa Arab dipahami melalui jalur pendengaran, bukan melalui jalur aturan
(anak cucu) adalah silm, salm dan salam, yang maknanya adalah sama.‖
bentuk mudzakar dan mu‟annats. Makna asalnya adalah al-istislām (tunduk) dan
al-inqiyād (patuh). Oleh karena itu, al-shulẖ (perdamaian) disebut juga dengan
27
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān,h. 393.
28
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393.
66
karena menjadi ẖāl dari kata al-silm, atau dari dhamir orang-orang yang
ucapan mereka ―kafaftu,‖ yakni mana„tu (aku mencegah). Maksudnya, tidak ada
seorang pun dari kalian yang tercegah atau terlarang untuk masuk ke dalam Islam.
Itu karena makna al-kaff adalah al-man„u (larangan). Contohnya adalah kuffah al-
qamīsh (tepi baju), sebab bagian tepi ini mencegah baju berantakan. Contoh
lainnya adalah kiffah al-mīzān (piring timbangan), sebab piringan inilah yang
lagi adalah kaff al-insān (telapak tangan manusia), yang mencakup hal-hal
manfaat dan mudharat bagi dirinya. Setiap yang bundar adalah kiffah dan setiap
yang memanjang adalah kuffah. Adapun makna rajulun makfūf al-bashar adalah
orang yang tercegah untuk melihat. Dengan demikin, jamaah dinamakan kāffah
29
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 401.
30
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 394.
31
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 394.
67
‗Abduh dan al-Marāghī.33 Dalam hal ini tidak bisa lepas—sebagaimana menurut
Hamim Ilyas sebagai pijakan bagi pembaruan agama dan sosial yang mereka cita-
citakan.34
tentang perbaikan dan perusakan, lalu Allah hendak memberi petunjuk kepada
dalam keadaan yang baik dan damai.35 Kesepakatan yang telah ditetapkan oleh
Islam yaitu sesuatu yang telah ditentukan berupa iman kepada Allah dan hari
32
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‗Abduh bin Hasan Khairullah. Dilahirkan di
desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M dan wafat pada tahun
1905 M. Ayahnya, ‗Abduh bin Hasan Khairullah, mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa
Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam, Umar ibn
Khattab. Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dalam Teologi Rasional Mu‟tazilah, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 1981) h. 19.
33
Nama lengkapnya adalah Ahmad Mushtafa ibn Mushtafa ibn Muhammad ‗Abd al-
Mun‗īm al-Qādhī al-Marāghī. Ia lahir pada tahun 1300H/1883M di kota al-Marāghah, Provinsi
Suhaj, kira-kira 700 km arah selatan kota Kairo. lihat Adil Nuwayhid, Mu„jam al-Mufassirīn
Shadr al-Islām hatta al-„Ashr al-Hādir, (Bairūt: Mu‘assasah al-Nuwayhid al-Tsaqāfiyyah, 1988)
Cet. II, Jilid I, h. 80.
34
Hamim Ilyas, Mengembalikan Fungsi al-Qur‟an: Paradigma dan Metode Tafsir al-
Manar, dalam Syafa‘atun Almirzanah, Sahiron Syamsuddin, Upaya Integrasi Hermeneutika
dalam Kajian Qur‟an dan Hadis (Teori dan Aplikasi), (Yogyakarta: Lembaga Penelitian
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 20120 Cet. II, h. 104.
35
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, (Bairūt: Dār al-Kutub al-
‗Ilmiyyah, 1999) Juz II, h. 207.
68
telah lalu perihal pembagian manusia menjadi dua golongan yaitu ada yang baik
dan ada yang rusak; golongan pertama menurut al-Marāghī hanya mengharapkan
keridhaan dari Allah atas amal perbuatannya, sedangkan golongan kedua mereka
yang selalu menimbulkan kerusakan di muka bumi dengan merusak tanaman dan
membunuh hewan ternak. 36 Maka pada ayat ini menurut al-Marāghī, Allah
memberi nasehat kepada kita bahwa ciri khas orang mukmin adalah bersatu dan
silm bisa ditunjukan dengan perdamaian dan keselamatan, dan juga bisa dimaknai
Sementara حفاكmenjadi hāl dari kata al-silm, artinya semua syariat-Nya. Berbeda
keseluruhan, dilandasi dengan berserah diri, tunduk dan ikhlas kepada Allah. Al-
.يهو لىصاٍ قافىال حالسولاو يت طاٍال كشذو بوشحلا يٍت يذرهولا حٍذهت
36
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (Mesir: Syarkah Maktabah wa
Maṯba‘ah Mushṯafa al-Bābi al-Halbi, 1946) Juz II, h. 114.
37
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
38
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 207.
69
Di antara pokok-pokok berserah diri kepada Allah ialah cinta damai dan
meninggalkan pertempuran di antara orang-orang yang sehidayah.39
Allah dan ikhlas menjalankannya, serta adanya kesepakatan dan saling memberi
antara orang-orang yang sudah diberi petunjuk. Kata al-silm mencakup semua
makna, dan perintah untuk masuk tersebut adalah orang-orang yang sudah masuk
diperuntukkan untuk Ahli Kitab atau semua orang yang beriman kepada Allah,
maka pada hakekatnya masuk di dalamnya. Allah berkata kepada mereka, jika
kalian tidak masuk ke dalam agama Islam yang sempurna dengan mengikuti
akhlak Islam secara sempurna dengan diutusnya nabi terakhir, maka iman kalian
tidak akan bermanfaat dan kalian akan tetap melakukan permusuhan dan
memecah belah.41 Dan ini saya tulis setelah mempelajari tafsir guru kami terhadap
ayat ini.
mengatakan bahwa kalimat ini adalah kalimat yang agung. Dan kaidahnya, kalau
semua ulama membangun madzhabnya di atas pondasi kalimat ini maka tidak
39
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
40
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 207.
41
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 207.
70
wajib mengambil Islam secara komprehensif.42 Kita melihat semua yang datang
dari al-Syāri„ (Allah dan Rasul) di semua masalah dari teks firman-Ku dan dari
Sunnah yang harus diikuti, kita memahami apa yang dikehendaki secara
mengambil kalimat atau satu hadis saja dan dijadikan hujjah kepada madzhab
yang lain. Dan kamu meninggalkan sesuatu yang bertentangan dengan teks al-
Qur‘an dan hadis, juga harus memahami nasakh mansūkh, atau menghukumi
Kalau anda mengajak para ulama untuk mengamalkan ayat ini menurut
dan sebagian ulama men-tarjih tafsiran yang lain secara tetap, dan mereka
menolak karena merasa besar dan kalian berkata, ―kami menentang terhadap
orang-orang yang sombong‖. Karena itu kita harus meninggalkan madzhab dan
Pada sisi lain, menurut ‗Abduh ayat ini dalam suatu keadaan kita bisa
mengikutinya maka dia akan bisa konsisten berada dalam jalannya dan bisa
perbedaan dan pertentangan itu terjadi karena kebodohan dan fanatisme orang-
42
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
43
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
71
orang yang cinta jabatan dari golongan ulama yang mempertahankan madzhab,
Para Umara dan penguasa mendukung para ulama untuk menolong kepada
mereka agar para umat itu mematuhinya dan memutus jalan kebebasan akal
(berfikir) dan kemandirian umat. Karena itu, hal ini membantu mereka
bisa lepas dari kerusakan dan kerusakan. Kesepakatan ucapan umat dan ulama
secara otomatis sudah diketahui kebenarannya, dan lalu ditetapkan oleh hakim
agar umat itu mengikutinya. Karena orang elit harus diikuti orang awam, dan ini
orang yang mengimani sebagian dan mengkafirkan bagian yang lain. Artinya
sebagian yang lain dengan cara ditakwil atau tidak. Seperti keyakinan seseorang
yang tidak mempercayai bahwa ayat itu dari Allah. Padahal wajib mengambil al-
keseluruhan dari nabi. Ini sudah ketetapan, baik ayat itu ditafsirkan atau tidak.45
orang-orang yang beriman dengan artian masuklah kalian semua ke dalam Islam
secara menyeluruh, jangan ada yang tersisa satu pun dari kalian. Orang yang
44
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
45
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
72
ditujukan kepada Ahli Kitab. Maka dari itu tidak bisa dikatakan bahwa iman di
untuk masuk Islam memang harusnya demikian. Iman itu mempercayai secara
pasti serta memproklamirkan diri, barang siapa yang percaya sesuatu maka harus
diamalkan sudah tentu salah. Ilmu yang dipercayai berkaitan dengan kemanfaatan
objektivitasnya dengan ilmu yang lebih kuat. Adapun ilmu teoritik yang
bertentangan ilmu dengan ilmu dharuri (yang pasti benarnya) atau bertentangan
dengan ilmu yang lebih kuat, maka kedua ilmu itu tidak wajib diamalkan.47
al-Syāṯībī pengarang kitab al-Muwaffaqāt bahwa ilmu yang benar adalah ilmu
yang harus diamalkan. Dan kebenaran yang akan terperinci, didukung oleh ayat-
ayat al-Qur‘an sebagai dalilnya. Dan Allah menunjukkan kepada orag yang
berkata bahwa ayat tersebut diturunkan kepada Ahli Kitab. Sebagaiamana yang
‗Wahai Rasulullah, hari Sabtu adalah hari yang kami agungkan. Maka
biarkanlah kami melakukan ritual kami pada hari itu. Dan Taurat adalah
Kitab Allah, maka biarkanlah kami bangun malam dengannya. Maka
turunlah ayat yang berbunyi اٍ اهٍأ يٍزال اىهآ اىلخدا فٍ نلسلا حفاك. Hai
46
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
47
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209.
73
khusus, tidak untuk Ahli Kitab secara umum. Akan tetapi menurutnya riwayat
tersebut tidak shaẖih, dan riwayat tersebut menunjukan atas dirinya, maka riwayat
Aspek kedua, dalam arti al-silm yang diartikan dengan rekonsiliasi dan
tali Allah secara berjamaah dan jangan berpecah belah, ayat yang lain, ―Dan
janganlah kalian saling bertentang, dan nabi bersabda: Setelah aku wafat
janganlah kalian kembali menjadi orang kafir yang sebagian kalian akan
Tapi menurut ‗Abduh, kita masih menentang ayat-ayat ini sehingga kita
agama. Karena kita masih berpegang teguh pada perbedaan madzhab. Setiap
golongan pasti akan fanatik buta terhadap mazhabnya dan menghina madzhab
48
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209.
49
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209.
50
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209.
74
orang yang beriman dengan sepenuh hati dan tingkah laku, tetaplah kalian
menjalankan ajaran-ajaran Islam sejak hari ini dan seterusnya,‖ jangan sekali-kali
secara keseluruhan dan pahamilah maksud Islam yang sebenarnya.51 Dalam setiap
tingkah laku dan menghadapi setiap masalah, pakailah nash-nash al-Qur‘an dan
satu dalil nash atau dalil sunnah saja tanpa memperdulikan dalil-dalil nash atau
sunnah lainnya, sebab mungkin berselisih paham dengan hujjah yang dipakainya.
Dan hal ini bisa menimbulkan perpecahan dan percekcokan yang semakin seru di
―Tetapi kaum muslimin telah menyimpang dari anjuran ini. Kini mereka
berpecah belah dan saling baku hantam, sebagian memusuhi sebagian
lainnya. Mereka mendirikan madzhab-madzhab yang saling berlainan.
Setiap madzhab memusuhi madzhab lainnya dengan anggapan bahwa
mereka sendirilah yang menegakkan agama. Padahal hakikatnya mereka
menghina agama, karena membuat perpecahan di kalangan kaum
51
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
52
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
75
menunjukkanSeperti
kebahasaan. tingkatal-Ṯabarī
kompleksitas penafsiran
dan al-Qurṯubī yang
yang tinggi
dalam khususnya mengutip
penafsirannya pada ranah
beberapa perbedaan para ahli takwil terkait riwayat dan qira‘at dalam menyikapi
seperti al-Ṯabarī yang mentarjih penafsiran kata al-silm kāffah dengan Islam
secara menyeluruh.
dan riwayat atau kebahasaan, tetapi mereka lebih menekankan konteks sosial yang
menafsirkan kata al-silm kāffah dengan islam (nilai) yang harus diterapkan secara
dari kedua mufassir tersebut yang selanjutnya akan penulis paparkan analisis-
53
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
BAB IV
A. Corak penafsiran
ruang lingkup yang sama sebagai model tafsir tahliīī. 1 Penafsiran dengan
berbeda-beda.
1
Metode tahliīī adalah metode penafsiran ayat-ayat al-Qur‘an secara analitis dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya. Penafsiran dengan
metode ini dilakukan secara berurutan dan berkesinambungan terhadap ayat demi ayat dan surah
demi surah, sesuai dengan urutannya yang terdapat dalam mushhaf ‗Utsmani yang ada sekarang.
Mulai dari awal surah al-Fatihah sampai dengan akhir surat al-Nas. Acep Hermawan, „Ulumul
Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011) h. 117. Lihat juga
Musa‗īd ibn Sulaimān al-Ṯayyār, Fushūl fī Ushūl al-Tafsīr, (Riyādh: Dār al-Nasyr al-Daulī, 1993)
Cet. I, h. 19.
2
Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) h. 96.
3
Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 11.
76
77
ijtima„i.5
tentang keserasian ayat QS. Al-Baqarah [2]: 208, dengan ayat sebelumnya.
dalam beberapa kelompok, yaitu orang yang beriman, orang kafir, dan orang
munafik, maka Allah berfirman, ―Anutlah oleh kalian semua agama yang satu dan
maka makna kata al-silm yang tertera dalam ayat ini menurut al-Qurṯubī adalah
Islam.6
perbedaan manusia tentang kebaikan dan keburukan dan tentang perbaikan dan
perusakan, lalu Allah hendak memberi petunjuk kepada kita tentang sesuatu yang
dapat mengumpulkan manusia secara keseluruhan dalam keadaan yang baik dan
sebelumnya yang telah lalu menjelaskan perihal pembagian manusia menjadi dua
4
Acep Hermawan, „Ulumul Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, h. 116.
5
Arie Machlina Amri, Metode Penafsiran Al-Qur‟an, (INSYIRAH, Jurnal Ilmu Bahasa
Arab dan Studi Islam, Vol. 2, No. 1, Juni 2014) h. 8. Tafsir al-adȃb al-ijtima„i, yaitu tafsir yang
menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Acep Hermawan,
„Ulumul Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, h. 116.
6
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, (Bairūt: Mu‘assasah al-Risālah,
2006) Juz II, h. 392.
7
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, (Bairūt: Dār al-Kutub al-
‗Ilmiyyah, 1999) Juz II, h. 207.
78
golongan yaitu ada yang baik dan ada yang rusak; golongan pertama menurut al-
bumi dengan merusak tanaman dan membunuh hewan ternak. 8 Maka pada ayat ini
menurut al-Marāghī, Allah memberi nasehat kepada kita bahwa ciri khas orang
mukmin adalah bersatu dan bersepakat bukan pecah belah dan terbagi-bagi.9
C. Segi Penafsiran
dalam ayat ini, dan mengedepankan ragam riwayat yang secara esensial
riwayat yang berkait dengan kata al-silm dengan mengatakan bahwa ayat ini lebih
tepat ditafsirkan al-silm dengan Islam. Maka takwilannya adalah perintah untuk
masuk ke dalam Islam secara kāffah. Alasan yang ia berikan untuk hal ini adalah
sementara orang-orang mukmin dalam kondisi tidak berperang atau damai. Dalam
8
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (Mesir: Syarkah Maktabah wa
Maṯba‘ah Mushṯafa al-Bābi al-Halbi, 1946) Juz II, h. 114.
9
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
10
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015) h.
186.
79
hal ini al-Tabarī secara eksplisit menekankan konteks perang dan damai dalam
memahami makna al-silm kāffah. Sedangkan dalam kesempatan lain bila khitab
kemudian ia jelaskan secara lebih luas terhadap al-silm kāffah yaitu bahwasannya
membenarkan dengan Muhammad SAW. serta apa yang datang bersamanya dan
orang-orang yang beriman dengan para nabi sebelum Muhammad SAW. dan apa
yang dibawa oleh mereka, Allah telah menyeru kedua golongan tersebut untuk
telah Allah bebankan kepada mereka, dan melarang untuk meninggalkan satu pun
dari ajaran tersebut, ayat ini umum masuk di dalamnya semua yang beriman, tidak
dengan al-Tabarī dalam menyikapi ayat tersebut. Berbeda dengan mufassir klasik
11
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, (Bairūt: Dār al-Fikr,
2005) Jilid II, h. 401.
80
bergeser ketika sebagian kalangan dalam ranah sosial melegitimasi penafsiran al-
silm kāffah dengan suatu idiom Islam kāffah. Masalah demikian sesuai apa yang
ihwal konteks yang mengitarinya dalam menafsirkan al-silm kāffah QS. [2]: 208.
Penafsiran ini secara garis besar mewakili makna lain dari al-silm yaitu
membagi dua persoalan yang menjadi perhatian umat Islam. Pertama, fanatisme
12
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, h. 40.
13
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
14
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
15
Menurut Saeed, para ulama modern termasuk ‗Abduh, konteks modern menuntut
peninjauan ulang terhadap warisan intelektual Muslim di mana umat Islam saat itu cenderung
81
yang terjadi pada masanya terkait fanatisme antar madzhab. Dalam penafsirannya,
tidak dengan cara seporadis mengambil satu ayat atau hadis saja untuk dijadikan
pembenaran madzhabnya.16
tersebut merupakan sesuatu yang tidak terdapat pada mufassir klasik. Bahkan jika
melihat penafsiran al-Qurtubī, ini sesuai dengan perkataan Abdullah Saeed bahwa
sebuah usaha untuk kembali kepada pendekatan text-centric (berpusat pada teks)
al-Tabarī. 18 Ini sesuai dengan perkataannya yang mengutip al-Tabarī bahwa al-
Tabarī menafsirkan kata (al-silm dalam ayat ini) dengan Islam karena alasan yang
setelahnya.
mengikutinya secara buta (taqlīd). Lihat Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual,
h. 41.
16
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
17
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209.
18
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, h. 194.
19
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393.
82
tentang orang-orang beriman, orang munafik dan orang kafir. Maka makna kata
al-silm yang tertera dalam ayat ini menurut al-Qurtubī adalah Islam.20 Penjabaran
yaitu corak fiqh. Dalam hal ini ia menyebut bahwa Islam terdiri dari delapan
bagian, yaitu shalat, zakat, puasa, haji, umrah, jihad, memerintahkan kepada yang
ma„ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Merugi sekali orang tidak mempunyai
terhadap makna al-silm dengan Islam juga ia perkuat dari salah satu syair:
Partikel al-silm dalam syair tersebut bermakna Islam karena konteks yang
yang murtad setelah Rasulullah meninggal. Maka jelas al-silm dalam konteks
meminjam istilah Abdullah Saeed yaitu tekstual.22 Untuk kasus ayat ini, al-Tabarī
20
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 392.
21
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393.
22
Salah satu yang menjadi perhatian Saeed dalam memahami tafsir tekstual adalah ada
pada aspek qira‘at dan riwayat yang menurutnya diberlakukan secara statis. Pendekatan ini
didasarkan pada pandangan bahwa makna yang sudah baku ini memungkinkan sang pembaca tetap
83
sesuatu yang tidak terdapat dalam diri al-Qurtubī adalah terletak pada tidak
Tabarī. Namun keduanya sama-sama menaruh perhatian pada aspek qira‘at yang
cukup serius.
Perihal qira‘at menjadi elemen yang sangat penting dalam tafsir al-Tabarī
dan al-Qurtubī. Karena dengan cara menelusuri perdebatan qira‘at bisa ditemukan
suatu makna dasar terhadap suatu kata. Secara garis besar, mufassir klasik seperti
al-Tabarī dan al-Qurtubī mengutip perdebatan qira‘at dalam menafsirkan ayat al-
silm kāffah terdapat tiga kelompok. Pertama, kelompok yang membaca kata al-
silm dengan kasrah bermakna Islam. Kedua, kelompok yang membaca al-silm
keduanya yaitu al-silm bisa dibaca dengan kasrah dan fathah yang bermakna
Islam dan perdamaian. Sementara kata kāffah tidak ada perdebatan secara kata
Sampai pada tahap ini dapat disimpulkan bahwa mufassir klasik seperti al-
Tabarī dan al-Qurtubī menafsirkan kata al-silm kāffah dengan agama Islam secara
menyeluruh, melalui perangkat riwayat-riwayat, qira‘at atau pun syair pada masa
awal Islam. Mesikpun al-Tabarī telah melakukan penafsiran yang secara tekstual
tersebut, sisi lain yang harus menjadi pertimbangan adalah bahwa al-Tabarī tetap
loyal dengan teks dan menjauhkan diri dari subjektivitas yang bisa masuk ke dalam penafsiran
teks. Lihat Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, h. 39.
84
multi-tafsir dalam pandangan para mufassir. Ada sebagian yang memahami Islam
kāffah sebagai pelaksanaan syariat Islam secara total (kāffah) termasuk dengan
yang tidak sehaluan, dituduh tidak Islami dan menolak syariat Islam. Salah satu
dalil yang kerap dijadikan landasar dasar teologinya adalah QS. Al-Baqarah [2]:
mendirikan negara Islam, maka sebenarnya nabi sendiri secara eksplisit tidak
secara implisit tidak menegaskan bahwa berislam secara kāffah tidak harus
23
Misalnya para mufassir klasik seperti dalam Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an
Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 323. Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 329. Al-Hā fiz
‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm, (Cairo:
Mu‘assasah Qurṯubah, 2000) Juz II, Cet. I, h. 273.
24
Pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Nabi merupakan hasil dari banyak peristiwa
yang terjadi secara kebetulan, meskipun ia merupakan pemecahan yang paling sesuai dengan
praktik-praktik tradisional Arab. Jelas tidak ada motif agama dalam pemilihan itu. Sumber -sumber
sejarah menunjukkan bahwa mereka merasa kehilangan akal pada saat itu, karena tidak punya
aturan eksplisit untuk menghadapi keadaan itu, dan reflek-reflek politiklah yang dominan saat itu.
Lihat Abdelmajid Charfi, Sudah Tibakah Waktu Pembaruan Islam? dalam Abdou Filali-Ansary,
Pembaruan Islam: Dari Mana dan Hendak ke Mana? Penerjemah: Machasin, (Bandung: Mizan,
2009) h. 284.
85
jelas bertentangan dengan konteks ayat di atas. Sebab tidak hanya akan
bermasalah pada aspek penafsiran, tetapi juga akan menimbulkan konflik sosial
dan agama. Persatuan dan kesatuan yang sekian lama diikat oleh Pancasila 25
―Dalam banyak sekali ayat kita melihat bahwa iman, yaitu keyakinan
religius yang berakar pada pandangan teosentris, selalu dikaitkan dengan
amal, yaitu perbuatan atau tindakan manusia; keduanya merupakan suatu
kesatuan yang tak terpisahkan. Ini berarti bahwa iman harus selalu
diaktualisasikan menjadi amal; bahwa konsep tentang iman, tentang
tauhid, harus diaktualisasikan menjadi aksi kemanusiaan. Pusat dari
perintah zakat—misalnya—adalah iman, adalah keyakinan kepada Tuhan;
tapi ujungnya adalah untuk terwujudnya kesejahteraan sosial.‖27
25
Rumusan Pancasila secara imperatif harus dilaksanakan oleh rakyat Indonesia dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang integral,
yang saling mengandaikan dan saling mengunci. Ketuhanan dijunjung tinggi dalam kehidupan
bernegara, tetapi diletakkan dalam konteks negara kekeluargaan yang egaliter, yang mengatasi
paham perseorangan dan golongan; selaras dengan visi kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan kebangsaan, demokrasi permusyawaratan yang menekankan konsensus, serta keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemimpin MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode
2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal
MPR RI, 2012) Cet. II, h. 88.
26
Pada batas-batas tertentu, Indonesia menganut atau menerapkan nilai-nilai sekularistik,
dan secara bersamaan juga menganut nilai-nilai religius. Kenyataan ini harus dipertimbangkan
dalam hubungannya dengan penerapan syariat Islam di Indonesia. Jika dicermati, aspek
persinggungan antara syariat Islam (sebagai konsep penerapan hukum positif) dan kepentingan
warga negara di Indonesia juga akan mengalami banyak kendala. Sebagaimana menurut Gus Dur,
kehadiran sistem Islami tersebut secara otomatis akan membuat mereka yang tidak beragama
Islam secara otomatis menjadi warga negara kelas dua. Lihat Halid Alkaf, Quo Vadis: Liberalisme
Islam Indonesia, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2011) h.235. Lihat juga Abdurrahman
Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. h. 4
27
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008) Cet.
I, h. 383.
86
[2]: 208, 28 berbicara tentang seruan untuk orang-orang yang beriman lalu
perdamaian tersebut yang mengantarkan pada implikasi yang sangat vital dalam
konteks sekarang. Gus Dur telah mengatakan bahwa implikasi penafsiran al-silmi
dengan Islam kāffah, mereka merujuk ke beberapa kitab tafsir klasik yang
yang berjudul Masuk Islam Secara Kāffah, ia menafikan makna lain dari al-silm
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam al-silm keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang
nyata bagimu.”
29
Penyebutan kelompok Islam arus utama untuk menggambarkan perlawan terhadap
gerakan Islam yang Kuntowijoyo sebut dengan kelompok sempalan. Kelompok sempalan tersebut
yang selalu mendapatkan resistensi oleh kelompok Islam arus utama. Kuntowijoyo membagi dua
jenis kelompok sempalan. Pertama, kelompok sempalan dalam arti keagamaan dan kedua,
kelompok sempalan dalam arti politik. Jika kelompok pertama berada di luar main-stream,
kelompok kedua—sekalipun cenderung mempunyai berbeda—masih tetap dalam main-stream
umat. Selengkapnya lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, h. 340.
30
Menurut al-Ṯabarī, tafsiran yang lebih utama tentang firman: اىلخدا نلسلا ٍفadalah
pendapat yang mengatakan: Bahwa maknanya adalah masuklah ke dalam Islam dengan
sepenuhnya. Lihat Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 399. Lihat juga
Al-Hā fiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm,
(Cairo: Mu‘assasah Qurṯubah, 2000) Juz II, Cet. I, h. 273. Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam
al-Qur‟ān, h. 329.
87
bertentangan dengan banyak ayat dan hadits yang mewajibkan perang melawan
kafir.32 Implikasi penafsiran demikian yang telah banyak diadopsi oleh kalangan
Oleh karena itu, apabila menafsirkan al-silm kāffah dengan Islam kāffah
tersebut kontradiktif pada tataran sosiologis, maka alternatif lain yang harus
Implikasi dari penafsiran yang harfiah (tekstual) tersebut, kemudian banyak yang
31
Beberapa kitab tafsir mengaitkan makna al-silm sebagai bagian untuk menegakkan
perdamaian dan meninggalkan peperangan. Misalnya Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-
Marāghī, Juz II, h. 114. Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 399.
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr (Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1990) Juz 5-6, h. 176.
32
Rokhmat S. Labib mengutip QS. Al-Baqarah [2]: 216 tentang ayat yang artinya,
diwajibkan atas kalian perang. Ia mempertegas bahwa kewajiban tersebut makin dikukuhkan
dengan adanya perintah kepada kaum Muslim untuk berangkat perang, baik dalam keadaan ringan
maupun berat (QS. Al-Taubah [9]: 41. Bagi yang tidak mau berangkat, diancam dengan azab yang
pedih (QS Al-Taubah [9]: 39). Bahkan, perang yang diwajibkan itu bukan hanya ketika kaum
Muslim diserang musuh (QS. Al-Baqarah [2]: 190). Bertolak dari fakta tersebut menurut Rakhmat,
kata al-silm tidak bisa dimaknai al-musālamah (perdamaian). Selebihnya bisa diakses di
http://mediaumat.com/telaah-wahyu/917.html. Diakses pada tanggal 5/November/2016.
33
Syu‘bah Asa memberikan komentarnya terkait penggunaan makna antara Islam dan
perdamaian dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208 tersebut. Ia mengajukan pertanyaan, mengapa arti
‗kedamaian‘ jarang sekali dipilih? Karena, dalam rangkaian ayat sebelumnya terdapat pernyataan
tentang para munafik yang, kalau diambil sebagai dasar pertimbangan (meski tidak harus,
mengingat kadar kaitan yang tidak mutlak), menjadikan arti ‗kedamaian‘ dalam ayat ini mungkin
terasa sedikit antagonistis. Kasus munafik pula yang menyebabkan mayoritas mufassir (tidak
semua) menghubungkan silm dengan keberislaman secara keseluruhan. Lihat Syu‘bah Asa, Dalam
Cahaya Al-Qur‟an Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000) h.
113.
34
Menurut Baharudin, tradisi muslim ‗radikal‘ sering menafsirkan beberapa ayat al-
Qur‘an secara sepotong-potong untuk menguatkan pendirian dan ideologinya. Lihat Mohammad
Baharudin, Islam Idealitas Islam Realitas, (Jakarta: Gema Insani, 2012) h. 41. Zuhairi Misrawi,
Al-Qur‟an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007)
h. 38. Lihat juga Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana. Penerjemah: Nurhadi dan Izzuddin
Washil, (Bandung: Mizan Publika, 2013) h. 104.
88
menstigmatisasi Islam sebagai agama yang keras. 35 Oleh karena itu, kebutuhan
sebagai kitab toleransi, 36 dan mengembalikan citra Islam sebagai agama yang
damai.37
positif untuk menebarkan benih Islam yang penuh dengan kasih sayang bukan
menggunakan istilah al-silm kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 bukan kemudian
ditafsirkan menjadi sebuah doktrin yaitu Islam kāffah, melainkan berupa seruan
35
Roni Ismail, Islam dan Damai (Kajian Atas Pluralisme Agama Dalam Islam), dalam
Kompetisi Damai dalam Keragaman, (Religi: Jurnal Studi Agama-agama, Vol. IX, No. 1, 2013) h.
53.
36
Contoh buku yang membahas tentang ini adalah karangan Zuhairi Misrawi, Al-Qur‟an
Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007).
37
Salah satu dari sembilan puluh sembilan Asma Allah adalah al-Salām (Maha Damai).
Setiap lafaz (kata) yang diucapkan umat Islam dalam setiap shalat yang lima kali sehari semalam
adalah kata-kata perdamaian. Ucapan pertama ketika selesai dari shalat adalah ―salam‖
(perdamaian). Ketika umat Islam saling berjumpa pun mengucapkan ―salam‖ (perdamaian).
Demikian juga, kata sifat dari muslim artinya perdamaian dan surga dalam Islam adalah suatu
tempat yang damai (Dār al-Salām). Semua ini memperlihatkan betapa mendasar dan kuatnya
pengertian perdamaian dalam Islam. Lihat Supriyanto, Perdamaian dan Kemanusiaan Dalam
Pandangan Islam, (Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 7, No. 2, Desember
2013) h. 311. Lihat juga Komaruddin Hidayat, Psikologi Beragama: Menjadikan Hidup Lebih
Ramah dan Santun, (Jakarta: Hikmah, 2010) Cet. II, h. 35.
38
Al-Qur‘an secara tegas dan gamblang menyatakan bahwa seruan Islam diturunkan
untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiyā‘ [21]: 107). Nabi Muhammad Saw. sendiri
telah mengidentifikasi dakwahnya ketika bersabda: Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak manusia.” Sabda ini menurut Mahmud Hamdi Zaqzuq, merupakan
penolakan kuat terhadap segala bentuk radikalisme, fanatisme, dan bentuk kekerasan lainnya.
Lihat Mahmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi. Penerjemah: Abdullah Hakam
Shah, (Yogyakarta: LKiS, 2004) h. 112. Lihat juga M. Ridwan Lubis, Agama dalam Diskursus
Intelektual dan Pergumulan Kehidupan Beragama di Indonesia, (Jakarta: Kementerian Agama
Republik Indonesia Pusat Kerukunan Umat Beragama, t.th) h. 385.
89
dengan perdamaian bukan dengan Islam. Penafsiran menarik dari Hasby dalam
39
Bagi Tariq Ramadhan sebagaimana dikutip Abd. Muid, umat Muslim seharusnya
melakukan rekonsiliasi antara keinginannya dengan pesan-pesan keadilan, kesetaraan, dan
pluralisme, daripada terobsesi terhadap aplikasi formalistik atas hukuman-hukuman dalam Islam
yang sebenarnya lebih merupakan bentuk frustasi atau perasaan ter-alienasi terhadap kenyataan
dominasi Barat. Abd. Muid N. Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi
Multikultural, dalam Jurnal Bimas Islam, Vol. 6 no. 4, Tahun 2013, h. 649.
40
Menarik mengutip pendapatnya Imam Taufiq, ia mengatakan bahwa istilah al-silm
kāffah ia sebut sebagai perdamaian fluktuatif, yaitu perwujudan sinergi antara karakter perdamaian
dan strategi perdamaian guna mewujudkan perdamaian. Sesuai sifatnya, perdamaian fluktuatif ini
bersifat dinamis karena pada dasarnya perdamaian dunia yang dijelaskan al-Qur‘an tidak lepas dari
fluktuasi perubahan kondisi psikis seseorang dan kondisi sosial. Lihat Imam Taufiq, Al-Qur‟an
Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis Al-Qur‟an, (Bandung: Bentang, 2016) h.
113.
41
Prof. DR. Hasbi al-Shiddieqy lahir di Lhokseumawe, 10 Maret 1904/22 Zulhijah 1321
H, wafat di Jakarta, 9 Desember 1975/5 Dulhijah 1395 H. Ia seorang ulama Indonesia, ahli ilmu
fiqh dan ushul fiqh, tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Ayahnya, Teungku Qadhi Chik Maharaja
Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su‘ud, seorang ulama terkenal di kampungnya dan
mempunyai sebuah pesantren (meunasah). Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku Chik
Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, putri seorang Qadhi Kesultanan Aceh ketika itu. Menurut
silsilah, Hasbi al-Shiddieqy adalah keturunan Abu Bakar al-Shiddieq (573-634 M/13 H), khalifah
pertama. Ia sebagai generasi ke 37 dari khalifah tersebut melekatkan gelar al-Shiddieqy di
belakang namanya. Lihat Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013)
Cet. II h. 159.
42
Mahmud Yunus dilahirkan pada tanggal 10 Februari 1899 Masehi. Bertepatan dengan
tanggal 29 Ramadhan 1316 H di desa Sungayang Baru Sangkar Sumatera Barat. Tahun
kelahirannya bersamaan dengan dicetuskannya politik etics, assosiate politik, atau lebih dikenal
oleh masyarakat dengan zaman politik balas jasa dari pemerintah kolonial Belanda.uapaya balas
budi terhadap masyarakat Indonesia dilakukan melalui jalur pendidikan. Meskipun secara yuridis
formal sudah ditetapkan pada tahun 1899, namun secara efektif baru terealisir awal abad kedua
puluh. Selebihnya lihat Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 58.
90
kerukunan dan perdamaian sesama manusia, dan tidak saling menyerang antar-
ayat tersebut dengan kedamaian atau Islam, makna dasarnya adalah damai atau
ciri utama agama Islam. Ia lahir dari pandangan ajarannya tentang Allah. Tuhan
sebagai prinsip hubungan antarmanusia. Hal itu tercermin dari kata Islam yang
interaksi sosial.47
Indonesia di atas, secara substansi memiliki nilai dasar yang sama dengan
terkait masalah demikian. Dalam bukunya Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Gus
menunjuk pada sebuah entitas universal, yang tidak perlu dijabarkan oleh sebuah
43
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000) h. 434.
44
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2009) Cet. I, Vol. I, h. 543.
45
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1999) Cet IX, h. 378.
46
Askar, Mengembangkan Budaya Damai di Sekolah Melalui Manajemen Kelas Yang
Demokratis Berbasis Nilai-nilai Keislaman, (Palu: Jurnal Hunafa, Vol. 6, No. 2, Agustus 2009) h.
143.
47
Imam Taufiq, Al-Qur‟an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis Al-
Qur‟an, h. 202.
91
sistem tertentu, termasuk sistem Islami.48 Sementara Cak Nur menekankan bahwa
inti ajaran Islam menurutnya, yaitu damai, kedamaian, perdamaian dan semua
yang di-tashrif-kan dari akar kata s-l-m seperti salām, salāmah atau salāmatun,
salam, salm, silm, adalah juga bersifat universal atau menjagad-raya.49 Dalam hal
ini bukan al-silm yang diartikan Islam lalu bergeser ke arah ideologisasi.
Sebab Islam itulah inti hidup keagamaan, yaitu sikap tunduk (dīn, dari kata
kerja dāna-yadinu) kepada Allah Swt. Yang menghasilkan salam (damai) dengan
Allah, diri sendiri, sesama manusia dan alam sekelilingnya. Maka Islam
demikian Islam berarti damai, dan juga berarti tunduk dan patuh kepada kehendak
Allah. Dua pengertian ini mempunyai akar yang sama secara psikologis. Allah
berarti kehendak universal yang kreatif dan abadi dari setiap keberadaan; Allah
berpihak pada keharmonisan dan segala sesuatu yang memihak kepada konflik
48
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara
Demokrasi. h. 3.
49
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah. (Jakarta: Paramadina, 2008) Cet. III, h. 220.
50
Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru
Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2010) Cet. IV, h. 78.
51
Khalifah Abdul Hakim, Hidup yang Islami: Menyeharikan Pemikiran Transedental
(Akidah dan Ubudiah), Penerjemah: Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali Press, 1986) h. 3.
92
relevan daripada menafsirkan al-silm kāffah dengan Islam secara menyeluruh atas
al-silm kāffah dengan Islam secara menyeluruh bukan dengan perdamaian yang
kāffah (menyeluruh).
52
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114. Senada dengan ini, kasus lain
misalnya; yang berjilbab mencela yang tidak berjilbab; yang berjenggot memandang rendah yang
tidak berjenggot; Ahl al-Sunnah mengkafirkan Syi‟ah, dan begitu sebaliknya. Belum lagi
pertentangan-pertentangan dengan para penganut agama-agama lain, khususnya Kristen dan
Yahudi. Demikianlah kondisi umat Muslim; dari dulu hingga sekarang. Pengantar Penyunting,
Menembus Dinding Pembatas, dalam Mukti Ali, Islam Mazhab Cinta (Bandung: Mizan, 2015) h.
35.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
―lembaga‖ oleh mufassir klasik dan ―nilai‖ oleh mufassir modern. Kata al-silm
dalam tafsir al-Tabarī dan al-Qurtubī diartikan dengan agama islam, sementara al-
persaudaraan.
‗Abduh dan al-Marāghī lebih relevan dengan konteks Indonesia saat ini karena
masyarakat Indonesia yang majemuk dan plural yang bertumpu pada ideologi
pancasila dan UUD 1945 mengharuskan saling menjaga persatuan dan kesatuan
93
94
B. Saran-saran
(QS. Al-Baqarah [2]: 147).‖ Begitu pula dengan skripsi ini yang sangat jauh dari
kesempurnaan dan kebenaran, karenanya yang absolut hanya milik Allah semata.
Berkenaan dengan pembahasan ini bahwasannya masih banyak yang bisa lebih
dieksplorasi dalam skripsi ini, seperti halnya bagaimana masih ada upaya
Selain itu, teks ini berangkat dari ayat yang sifatnya qaṯ‟i. Namun ayat ini
tertentu. Oleh karena itu, penting untuk penelitian selanjutnya perlu diteliti lebih
jauh tentang ―Tafsir al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208‖ dalam spektrum
Daftar Pustaka
Ali, Mukti, Islam Mazhab Cinta: Cara Sufi Memandang Dunia, Bandung: Mizan,
2015.
Andalūsī, Abī Hayyān al-, al-Bahr al-Muhīt, Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah,
Cet. I Juz II, 1993.
Anwar, M. Syafi‘i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995.
Audah, Ali, Dari Khazanah Dunia Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Baghdādī, Imȃm al-Alūsī al-, Rūẖ al-Ma‟ānī fī Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm wa al-
Sab„ al-Matsānī, Bairūt: Dār Iẖyā‘ al-Turats al-‗Arabī, t.th. Juz II.
Dimasyqī, Al-Hāfiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗il Ibn Katsīr al-, Tafsīr al-
Qur‟ān al-„Azīm, Mu‘assasah Qurtubah, Juz II, Cet. I, 2000.
Fouda, Farag, Kebenaran Yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan
dalam Sejarah Kaum Muslim, Penerjemah: Novriantoni, Jakarta:
Paramadina, 2008 Cet. II, h. 9.
Ghazali, Abd. Moqsith, Ummu Kaltsum, Lilik, Tafsir Ahkam, Ciputat: UIN Press,
2015.
Hadi, Umar, Mu‘ti, Abdul, Rahman, Izza, Mundzir, Ilham, (ed.), Islam in
Indonesia: A to Z Basic Reference, (Jakarta: Directorate of Public
Diplomacy of the Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia,
2011) Cet. II.
Hanafi, Muhlis M. (ed.), Al-Qur‟an di Era Global: Antara Teks dan Realitas,
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‘an, 2013.
Hanafi, Hassan & ‗Abid al-Jabiri, Muhammad, Dialog Timur & Barat: Menuju
Rekonstruksi Metodologis Pemikiran Politik Arab yang Progresif dan
Egaliter, Penerjemah: Umar Bukhory, Yogyakarta: IRCiSoD, 2015.
Ismail, Roni, Islam dan Damai (Kajian Atas Pluralisme Agama Dalam Islam),
dalam Kompetisi Damai dalam Keragaman, Religi: Jurnal Studi Agama-
agama, Vol. IX, No. 1, 2013.
98
Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-
Qur‘an, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.
Jāwī, Muẖammad al-Nawāwī al-, Maraẖ Labīd Tafsīr al-Nawawī, Dār al-Fikr,
t.th.
Kimball, Charles, Kala Agama Jadi Bencana. Penerjemah: Nurhadi dan Izzuddin
Washil, Bandung: Mizan Publika, 2013.
Lewis, Bernard, Krisis Islam: Antara Jihad dan Teror Yang Keji, Penerjemah
Ahmad Lukman, Jakarta: PT. Ina Publikatama, 2004.
Machmudi, Yon, Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and The
Prosperous Justice Party (PKS), Australia: ANU E Press, 2008.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta:
Paramadina, 1992.
Maẖallī Jalāl al-Dīn Muẖammad ibn Aẖmad Muẖammad al-, dan Suyūṯī, Jalāl al-
Dīn ‗Abd al-Rahman ibn Abī Bakr al, Tafsīr al-Jalālaīn, Damasykus: Dār
Ibn Katsīr, t.th. Juz II.
Maẖmūd, Muẖammad Rasyād ‗Abd al-‗Azīz, Atsar al-Fikr al-„Ulmānȋ fī al-
Mujtama„ al-Islāmī, Cairo: Dār al-Muẖadditstsīn, 1988.
Manzūr, Ibnu, Lisān al-„Arab, Bairūt: Dār al-Shādir, Jilid IX, t.th.
Martin van Bruinessen (ed.), Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman
Fundamentalisme, Bandung: Mizan, 2014.
Morgan, Kenneth W, Islam Jalan Lurus, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1980.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 2010.
Nimer, Muhammad Abu, Nirkekerasan dan Bina-Damai Dalam Islam: Teori dan
Praktik, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010.
Qādhī, ‗Abdul Fatah ‗Abd al-Ghānī al-, Asbāb al-Nuzūl „an al-Shaẖābah wa al-
Mufassirīn, Cairo: Dār al-Salam, 2007. Cet. III.
Qomar, Mujamil, Fajar Baru Islam Indonesia: Kajian Komprehensif atas Arah
Sejarah dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara, Bandung: Mizan,
2012.
Qutb, Sayyid, Fī Zilāl al-Qur‟ān, Bairūt: Dār al-Syūrūq. Juz I-IV, 1998.
Qurṯubī, Abī Bakr al-, al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, Bairūt: Mu‘assasah al-
Risālah, 2006.
Rāzī, Fakhr al-Dīn al-, al-Tafsīr al-Kabīr, Bairūt: Dār al-Fikr, Juz V, 1994.
101
101
101
Saeed, Abdullah, Al-Quran Abad 21: Tafsir Kontekstual, Bandung: Mizan, 2015.
Sadjali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
Jakarta: UI Press, 1993, Cet. V.
Sardar, Ziauddin, Ngaji Qur‟an di Zaman Edan: Sebuah Tafsir untuk Menjawab
Persoalan Mutakhir, Jakarta: Serambi, 2014.
Sulaimān al-Ṯayyār, Muhammad Sa‘īd ibn, Fushūl fī Ushūl al-Tafsīr, Riyādh: Dār
al-Nasyr al-Daulī, 1993.
Syaukani, Imam Al-, Tafsir Fathul Qadir, Jakarta: Pustaka Azzam. Cet. I, Jilid I,
2008.
Ṯabarī, Ibnu Jarīr al-, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, Bairūt: Dār al-
Fikr, 2005.
Tāhir ibn ‗Asyūr, Muhammad, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr, Tunis: Dār Sahnūn
li al-Nasyr wa al-Tauzī‗, Juz II, t.th.
Tibi, Bassam, Islam dan Islamisme. Penerjemah: Alfathri Adlin, Bandung: Mizan,
2016.
Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014 dan, Pemimpin MPR, Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR
RI, 2012. Cet. II.
Turmudi, Endang dan Sihbudi, Riza (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia,
Jakarta: LIPI Press, 2005.
Utsaimīn, Muhammad bin Shāliẖ al-, Politik Islam. Penerjemah: Ajmal Arif,
Jakarta: Griya Ilmu, 2014.
Wahid, Marzuki, Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi
Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, (Bandung: Marja,
2014.
Wāẖidī, Al-Imām al-, Asbāb al-Nuzūl, Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2009.
Cet. IV.
Wijaya, Aksin, Arah Baru Ulum Al-Qur‟an: Memburu Pesan Tuhan di Balik
Fenomena Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Zahid, Moh. Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam, Jurnal Karsa, Vol IX, 2006.
Zaprulkhan, Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jurnal Walisongo,
2014. Vol. 22.
Zuhailī, Wahbah al-, al-Tafsīr al-Wasīt, Damasykus: Dār al-Fikr. Cet. I, Juz I,
2001.
Sumber internet:
http://www.assunnah.mobie.in/artikel/islam_kaffah.
http://kajiansalafyui.wordpress.com/2009/06/06/kajian-islam-ilmiah-memahami-
dan-mengamalkan-islam-secara-kaffah-solusi-satu-satunya-bagi-umat-
islam/.
http://m.kompasiana.com/nanagrosidi/apa-itu-muslim-yang-kaffah
http://muslim.or.id/2067-kaffah-dalam-beragama.html.
http://media.isnet.org/kmi/isnet/Nadirsyah/kaffah.html.
http://jasawebenigma.wordpress.com/2012/12/13/menjadi-muslim-kaffah-
menerjunkan-diri-dalam-syariat-islam-secara-total.
https://hizbut-tahrir.or.id.