Anda di halaman 1dari 160

TRANSFORMASI FATWA DSN-MUI TENTANG AKAD MUSYÂRAKAH

MUTANÂQISAH DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

TESIS

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Hukum (M.H.)

Disusun Oleh:

Najikha Akhyati
NIM: 21140433100012

Dosen Pembimbing:

Muhammad Maksum
NIP.197807152003121007

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
Pedoman Transliterasi
Yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan Arab ke tulisan
Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya
ingin menggunakan beberapa istilah Arab yang belum dapat dianggap sebagai kata
bahasa Indonesia atau masih terbatas penggunaannya.
a. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin :

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan


‫ا‬ tidak dilambangkan

‫ب‬ b Be
‫ت‬ t te

‫ث‬ ts te dan es

‫ج‬ j je

‫ح‬ h ha dengan garis bawah


‫خ‬ kh ka dan ha

‫د‬ D de

‫ذ‬ dz De dan zet


‫ر‬ R Er
‫ز‬ Z Zet
‫س‬ S Es
‫ش‬ Sy Es dan ye
‫ص‬ s es dengan garis bawah
‫ض‬ d de dengan garis bawah
‫ط‬ t te dengan garis bawah
‫ظ‬ z zet dengan garis bawah
‫ع‬ „ koma terbalik di atas hadap kanan
‫غ‬ gh Ge dan ha
‫ف‬ f Ef
‫ق‬ q Qi
‫ك‬ k Ka
‫ل‬ l El

iv
‫م‬ M Em
‫ن‬ n En
‫و‬ w Wa
‫هـ‬ h Ha
‫ء‬ ` Apostrop
‫ي‬ y Ye
b. Vokal
Dalam bahasa Arab vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia memiliki vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau
monoftong, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ـَـ‬ a Fathah
‫ـِـ‬ I Kasrah
‫ـُـ‬ u Dammah

Adapun untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ـَـ ي‬ ai A dan i
‫ـَـ و‬ au A dan u

c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan
dengan harakat dan huruf, yaitu :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ـُـا‬ â a dengan topi di atas


‫ـِـي‬ î i dengan topi di atas
‫ـُـو‬ û u dengan topi di atas

v
Kata Pengantar

Bismillâhirrahmânirrahîm,
Alhamdulillah penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt atas segala
limpahan nikmat karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
tesis in. untaian sholawat beriringkan salam penulis haturkan kepada baginda Nabi
saw yang atas kuasa Allah swt telah mengeluarkan kita dari zaman kegelapan menuju
zaman terang benderang yang penuh dengan ilmu pengetahuan, semoga syafaat
beliau senantiasa tercurahkan kepada seluruh kaum muslimin sampai hari akhir.
Berbagai macam kesulitan dan cobaan menghalangi penulis dalam
menyelesaikan tesis ini, namun rintangan itu berakhir pada suatu jalan kemudahan
yang hadir berkat bimbingan, bantuan, serta dukungan yang sangat berguna dari
berbagai pihak.
Dengan demikian, pada kesempatan ini penulis mengungkapkan rasa terima
kasih yang tulus disertai rasa hormat dan penghargaan yang sebesar-besarnyya
kepada:
1. Prof. Dr. dede Rosyada, MA., Rektor Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D., Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam
Negri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Dr. Nurhasanah, M.Ag., Ketua Program Studi Magister Hukum Ekonomi Syariah
dan Chairul Hadi, M.A., Sekretaris Program Studi Magister Hukum Eknomi
Syariah
4. Dr. Muhammad Maksum, SH., MAC., selaku pembimbing tesis penulis yang
telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan arahan kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. Semoga beliau
selalu dalam lindungan dan kasih sayang Allah swt
5. Narasumber dan seluruh staf Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indnesia
(DSN-MUI) yang telah memberikan izin serta membantu penulis dalam

vi
observasi dan wawancara terkait data yang enuliis perlukan dalam penelitian
tesis, terkhusus kepada Dr. H. Hasanuddin, M.Ag., selaku wakil ketua BPH
DSN_MUI yang telah bersedia menjadi narasumber dan memberikan informasi
kepada penulis.
6. Narasumber dan seluruh staf Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang telah
memberikan izin serta membantu penulis dalam observasi dan wawancara terkait
data yang penulis perlukan dalam penelitian tesis, terkhusus Ibu Sefrina selaku
Deputi Guberbur OJK yang telah bersedia menjadi narasumber dan memberikan
informasi kepada penulis.
7. Seluruh Dosen Program Studi Magister Hykum Ekonomi Syariah Fakyltas
Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan selama
penulis menuntut ilmu di Universitas Negri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Tercinta untuk ayah dan Ibu, terimakasih atas doa dan dukungannya.
9. Teramat sangat istimewa suamiku; mas Asep. Terimaksih atas dukungan dan
pengertiannya. Terimakasih sudah mendampingiku dalam suka dan duka.
Semoga rumah tangga kita sakinah dan barokah ya mas
10. Sahabat-sahabat saya magister Hukum Ekonomi Syariah semuanya, tak
terkecuali. Semoga ilmu kita bermanfaat dunia akhirat, dan semoga tali
silaturrahmi kita akan tetap terjaga seterusnya.
11. Semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Meskipun telah berupaya dengan semaksimal mungkin, penulis menyadari
bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dari berbagai segi dan jauh dari kata
sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah swt. Sehingga saran dan kritik
yang bersifat membangun penulis harapkan untuk kebaikan tesis ini. ahirnya penulis
berdoa semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan juga bagi para
pembaca tentunya.
Jakarta, 15 Oktober 2018

Penulis

vii
ABSTRAK
Penelitian ini berangkat dari asumsi yang berkembang di masyarakat yang
mengatakan bahwa ada perubahan antara ketentuan fatwa DSN-MUI dan POJK
tentang objek penyaluran pembiayaan musyârakah mutanâqisah, yaitu dari produktif
ke konsumtif. Hal ini dapat dilihat dari tekstual fatwa DSN-MUI dan SEBI/SEOJK
yang tidak sama. Oleh karena itu penelitian ini diarahkan untuk melihat bagaimana
model dari hasil transformasi fatwa DSN-MUI ke dalam peraturan perundang-
undangan secara keomprehensif.
Pertama, penelitian ini menemukan bahwa hukum Islam (fatwa DSN-MUI) tidak
harus secara literal ditransformasikan ke dalam Peraturan Perundang-undangan. Tesis
ini menemukan bahwa permasalahan transformasi disebabkan oleh pola positivisasi
fatwa yang kurang tepat terutama dengan adopsi sebagian (secara parsial), dan
penyempitan. Kontennya banyak menggunaan konsep yang sama dengan bisnis
konvensional, Adapun dari segi subtansi permasalahan disebabkan oleh kebiasaan
mengambil fatwa yang tidak utuh (parsial saja) dan adanya fatwa baru yang
mengelaborasi konsep lama.
Berkaitan dengan latar belakang penelitian, tesis ini mendukung pendapat Atho
Mudzhar dan Muhammad Maksum yang menyatakan bahwa adanya upaya
berkelanjutan untuk menyempurnakan aspek syariah pada produk ekonomi demi
mendorong pertumbuhan lembaga keuangan syariah. Dari segi positivisasi hukum
penelitian ini menguatkan pendapat Atho Mudhar dan Yeni salma Barlinti bahwa
fatwa DSN-MUI baru bisa mengikat secara umum setelah diundangkan.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif
deskriptif dan kajian pustaka yang didukung oleh data-data lapangan melalui
wawancara. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang dan
pendekatan sosial. Sumber hukum utama tesis ini ini adalah data hasil wawancara,
Fatwa DSN-MUI, Undang-undang Perbankan Syariah, Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan, Peraturan Bank Indonesian (PBI). Sumber hukum skunder berasal dari
semua yang sudah diolah dan dipulikasikan dalam bentuk dokumen-dokumen resmi,
buku-buku/ kitab-kitab, dan jurnal ilmiah tekait akad musyârakah mutanâqisah
sebagai objek penelitian.
Kata kunci: fatwa DSN-MUI, musyârakah mutanâqisah, SEBI/SEOJK,
Transformasi, Objektifikasi,

viii
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ....................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
ABSTRAK ................................................................................................. viii
DAFTAR ISI................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 12
D. Defenisi Operasional Variabel ............................................. 12
E. Metode Penelitian ................................................................. 13
F. Review Studi terdahulu ........................................................ 15
G. Sistematika Penulisan ........................................................... 19
BAB II MODEL TRANSFORMASI HUKUM ISLAM DALAM
PERATURAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN21
A. Sistem Hukum di Indonesia.................................................. 21
B. Teori Transformasi Hukum Islam ........................................ 29
1. Positivisasi ..................................................................... 29
2. Taqnîn al-Ahkâm ........................................................... 39
C. Objektifikasi ......................................................................... 49
BAB III PROFIL SINGKAT BANK INDONESIA, OTORITAS JASA
KEUANGAN, DAN DEWAN SYARIAH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA ............................................ 53
A. Profil Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia ... 53

ix
1. Sejarah Berdirinya Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) ......................................... 53
2. Peran dan Kewenangan Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) ......................................... 55
3. Mekanisme Kerja DSN, BPH dan DPS ........................... 56
4. Proses Penetapan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia .............................................................. 58
5. Fatwa DSN-MUI Tentang Akad Musyârakah
Mutanâqisah .................................................................... 59
B. Profil Bank Indonesia ........................................................... 61
1. Visi, Misi Dan Nilai Strategis ....................................... 63
2. Struktur Organisasi Bank Indonesia ............................. 62
C. Profil Otoritas Jasa keuangan ............................................... 65
1. Misi dan Visi OJK ......................................................... 65
2. Tujuan OJK ................................................................... 65
3. Fungsi dan Tugas OJK .................................................. 66
4. Pengalihan Fungsi Perbankan dari BI Ke OJK: Latar
Belakang Pengalihan Fungsi Pengaturan dan
Pengawasan Perbankan ................................................. 66
5. Peraturan OJK ............................................................... 67
6. Struktur Organisasi OJK ............................................... 68
BAB IV REGULASI AKAD MUSYÂRAKAH MUTANÂQISAH
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ......... 73
A. Regulasi Akad Musyârakah Mutanâqisah dalam SEBI ....... 84
B. Regulasi Akad Musyârakah Mutanâqisah dalam SEOJK.. 103
1. Ketentuan yang sama-sama Diatur baik dalam Fatwa
DSN dan SEBI/SEOJK ............................................... 112
a. Ketentuan tentang musyârakah ............................ 112
b. Penetapan nisbah keuntungan dan porsi kerugian 113

x
c. Objek Pembiayaan ................................................ 114
2. Ketentuan yang sama secara konten antara fatwa DSN-
MUI dan SEBI/SEOJK ................................................ 116
3. Ketentuan yang Berbeda (bertentangan) antara Fatwa
DSN dan SEBI/SEOJK ............................................... 117
4. Ketentuan yang Ada dalam SEBI/SEOJK, tapi tidak ada
dalam Fatwa DSN ....................................................... 122
5. Ketetuan yang Ada dalam Fatwa DSN, tapi tidak ada
dalam SEBI/SEOJK .................................................... 122
6. Faktor Perbedaan Ketentuan antara Fatwa DSN-MUI dan
SEBI/SEOJK ............................................................... 125
BAB V PENUTUP ................................................................................ 131
A. Kesimpulan ......................................................................... 131
B. Saran ................................................................................... 132

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 134

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................ 142

LAMIRAN-LAMPIRAN ......................................................................... 143

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Susunan Organisasi Bank Indonesia ........................................... 64

Tabel 1.2 Susunan Organisasi Otoritas Jasa Keuangan ............................... 70

Tabel 1.3 Ketentuan yang sama-sama Diatur baik dalam Fatwa DSN dan
SEBI/SEOJK: Ketentuan Tentang Musyârakah ....................... 112

Tabel 1.4 Ketentuan yang sama-sama Diatur baik dalam Fatwa DSN dan
SEBI/SEOJK: Ketentuan Tentang Penetapan Nisbah
Keuntungan dan Porsi Kerugian ................................................ 113

Tabel 1.5 Ketentuan yang sama-sama Diatur baik dalam Fatwa DSN dan
SEBI/SEOJK: Objek Pembiayaan ............................................. 114

xii
1

BAB I
PENDAHULLUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia menunjukkan kondisi


yang menggembirakan. Hal ini ditandai dengan peningkatan jumlah
perbankan syariah dari waktu waktu ke waktu.1 Namun perkembangan ini
tidak dicapai dengan tanpa permasalahan. Setidaknya, perbankan syariah di
dunia tak terkecuali di Indonesia memiliki 2 (dua) permasalahan yang harus
segera dicarikan pemecahannya, yaitu: 1) kurangnya inovasi 2 produk
perbankan syariah sehingga tawaran yang diberikan oleh perbankan syariah
menjadi terbatas3 dan 2) terdapatnya permasalahan kesesuaian syariah
(syariah compliance) yang masih harus diperketat.

1
Umum Syariah (BUS), 24 Bank Syariah dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS), dan 156
BPRS, dengan jaringan kantor meningkat dari 1.692 kantor di tahun sebelumnya menjadi 2.574 di
tahun 2012. Dengan demikian jumlah jaringan kantor layanan perbankan syariah meningkat sebesar
25,31%. Aset perbankan syariah saat ini sudah mencapai Rp.179 Triliun (4,4% dari aset perbankan
nasional), sementara DPK Rp. 137 Triliun. Total pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah
sebesar Rp 139 Triliun, melebihi jumlah DPK. Ini berarti FDR perbankan syariah di atas 100%. Data
ini menunjukkan bahwa fungsi intermediasi perbankan syariah untuk menggerakan perekenomian,
sangat besar.
2
Chux Ghervase Iwu, “Impact of Product Development and Innovation on Market Share.”
African Journal of Business Management Vol. 4 (13), 4 October, 2010, 2659-2667. Mnyana Ranku,
The Relationship Between Market Share and New Product Launch in FMCG (Pretoria: Gordon
Institute of Business Science University of Pretoria, 2009), i. Catherine M. Banbury, “The Effect of
Introducing Important Incremental Innovations on Market Share and Business Survival.” Strategic
Management Journal, Vol. 16, (1995), 161-182.
3
Sehubungan dengan masih rendahnya pangsa pasar perbankan syariah, Direktur Direktorat
Perbankan Syariah BI Mulya E. Siregar menilai inovasi dan promosi produk perbankan syariah masih
menjadi kendala utama dalam mengembangkan assets yang pada tahun 2011 sudah meraih pangsa
pasar perbankan sebesar 3,3% dari sisi asset di Indonesia. Menurutnya, inovasi produk di Indonesia
cendrung lambat. Perkembangan produk perbankan syariah dalam memperkenalkan produk-produk
baru masih lambat. Hanya terfokus produk-produk standar, tabungan, deposito saja. Pembiayaan
hingga saat ini belum ada yang canggih. Lihat, http://www.infobanknews.com/2011/01/bi-inovasi-
produk-menjadikunci-sukses-perbankan syariah/ diakses tanggal 5 Desember 2012.
2

Terkait keterbatasan produk4 yang digunakan menyebabkan perbankan


syariah kurang mampu berkompetisi dengan perbankan konvensional. Kurang
kompetetifnya perbankan syariah dikarenakan keterbatasan produk yang
diluncurkan sehingga tidak bisa menjangkau banyaknya permintaan nasabah
terhadap produk- produk yang bervariasi.5
Salah satu produk perbankan syariah yang memiliki peluang untuk
digunakan secara luas pada perbankan syariah di Indonesia adalah
musyârakah mutanâqisah. produk ini menjadi salah satu tanda pertumbuhan
lembaga keuangan syariah di Indonesia.6 Konsep musyârakah mutanâqisah

4
Produk perbankan syariah secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu
produk penyaluran dana (financing), produk penghimpunan dana (funding), dan produk jasa (services).
Adapun dari segi penghimpunan dana, bank syariah memiliki tiga produk, yaitu tabungan, deposito,
dan giro. Dari segi akad, tiga produk tersebut menggunakan dua akad, yaitu wadî‟ah, dan mudârabah,
dengan rincian; 1) tabungan dapat menggunakan wadî‟ah (Tabungan Wadî„ah) atau mudârabah
(Tabungan Mudarabah), 2) deposito hanya menggunakan akad mudârabah (deposito mudârabah), dan
3) giro dapat menggunakan wadi„ah (Giro Wadî„ah) atau mudârabah (Giro mudârabah). Dari segi
penyaluran dana (financing), bank syariah menggunakan tiga jenis akad, yaitu 1) jual beli (murâbahah,
salam, dan istisnâ„), 2) bagi hasil (musyârakah/syirkah, musyârakah mutanâqishah, dan mudârabah),
dan 3) jasa (ijârah dan ijârah muntahiyah bit tamlîk). Akad jasa lainnya yang digunakan bank antara
lain adalah wakâlah bil ujrah dan rahn emas (gadai emas)lihat Jaih Mubarok, Makalah Hukum
Ekonomi Syariah, h. 16; lihat Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan
Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank
Syariah, pasal 1, angka 3; dan lihat Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah (Jakarta:
Bank Indonesia. 1999), hlm. 32-45
5
Cecep Maskanul Hakim menyatakan bahwa dalam menciptakan dan mengembangkan
poduk perbankan syariah biasanya menggunakan 2 (dua) pendekatan yaitu pendekatan akomodatif dan
asimilatif. Pendekatan akomodatif dilakukan dengan mengadopsi produkproduk perbankan
konvensional yang kemudian dimasukkan nilai-nilai Islam sedangkan pendekatan asimilatif berupaya
menjadikan bank Islam sebagai sebuah entitas tersendiri dalam produk tersebut dengan menunjukkan
jati diri khasnya. Lihat, Cecep Maskanul Hakim, Belajar Mudah Ekonomi Islam: Catatan Kritis
Terhadap Dinamika Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia, (Tangerang, Shuhuf Media
INsani, 2011), 158-172; Adapun dari sisi akad, menurut Maksum, pengembangan akad dapat
dilakukan inovasi akad dan modifikasi akad. Inovasi akad berarti menciptakan akad baru yang
sebelumnya belum ada. Modifikasi akad berarti membuat bentuk akad baru dari dengan memodifikasi
akad akad yang sudah ada. Lihat Muhammad Maksum, Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia,
Malaysia, dan Timur Tengah, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat kementrian Agama RI, 2013) , h. 39
6
Juga di antara produk baru tersebut adalah mudârabah musytarakah, kartu kredit syariah,
letter of kredit syariah, kafâlah bi al-ujrah, surat berharga syariah negara (SBSN), sale and least back,
dan salâm mawâzî. Dilihat dari kelahirannya produk ini terbilang baru, karna baru diluncurkan oleh
bank syariah, namun tidak tergolong baru jika dibandingkan dengan produk bank konvensional.
Karena bank konvensional sudah menerapkannya lebih dulu. Dilihat dari akad yang digunakan,
3

diperkenalkan untuk menjawab kritikan terhadap konsep pembiayaan


menggunakan bai‟ bitsamanin âjil atau murâbahah.7 Akad musyârakah
mutanâqisah memiliki spirit perbankan Islam yang sebenarnya karena
mengedepankan kerja sama demi kesejahteraan bersama. Akad ini bertumpu
pada pembagian laba dan rugi dan bukan pada utang seperti pada bai‟
bitsamanin âjil atau murâbahah.8 Selain itu, menurut Rahmi,9 bagi nasabah,
akad musyârakah mutanâqisah memberikan jangka waktu pembiayaan yang
lebih lama dan angsuran yang relatif lebih murah, ini akan lebih meringankan
dan tidak menyulitkan ataupun membahayakan nasabah. Dengan demikian
musyârakah mutanâqisah juga bisa menjadi alternatif10 dari pembiayaan yang
mengacu pada tingkat bunga mengambang konvensional11 karena tarif sewa
dapat disesuaikan jika ada fluktuasi dalam perekonomian. Oleh karena itu,
lebih fleksibel, di mana bank syariah tidak akan dihadapkan dengan terlalu
banyak ketidakpastian dari sisi kondisi ekonomi.12

produk-produk tersebut menggunakan model akad baru atau akad yang sudah ada dengan
pengembangan. Muhammad Maksum, Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia, Malaysia, dan Timur
Tengah, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat kementrian Agama RI, 2013), h. 4
7
Fauziah Md. Taib and T. Ramayah, Faktors Influencing Intention to use Diminishing
Partnership Home Financing, International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and
Management Vol. 1 No. 3, 2008, h. 237
8
Ahmad, K., Islamic Finance and Banking: The Challenge and Prospects, Review of Islamic
Economics, Vol. 9 (2000), h. 57-82, lihat juga Rosly, S.A. and Bakar, M.A.A., Performance of Islamic
and mainstream banks in Malaysia, International Journal of Social Economics, Vol. 30 No. 12, (2003)
h. 1249-65. Siddiqui, S.H., Islamic Banking: True Modes of Financing, New Horizon, May-June,
(2001), h. 109.
9
Putrid Kamilatur Rahmi, Implementasi Akad Musyarakah Mutanaqishah pada Pembiayaan
Kepemilikan Rumah di Bank Muamalat Lumajang, Iqtishoduna Vol. 5 No. 1 April 2015, h 17
10
Basyir bin Omar. Perjanjian Jual Beli Rumah Mengikut Perspektif Undang-Undang
Muamalah Islam, Disertasi Sarjana Jabatan Syariah dan Undang-Undang. (Kuala Lumpur: Akademi
Pengajian Universiti Malaya, 2002).
11
Muhammad Maksum, The Sharia Compliance of Islamic Multi Contract in Islamic
Banking, International Conference on Law and Justice (ICLJ 2017), Atlantis Press; Advances in Social
Science, Education and Humanities Research, volume 162, h. 154
12
Ahamed Kameel Mydin Meera dan Dzuljastri Abdul Razak, Islamic Home Financing
through Musharakah Mutanaqisah and al-Bay‟ Bithaman Ajil Contracts: A Comparative Analysis,
4

Musyârakah mutanâqisah merupakan produk turunan dari akad


musyârakah. Menurut al-Zuhailî, musyârakah mutanâqishah ini dibenarkan
dalam syariah, karena sebagaimana ijârah muntahiyah bi al-tamlîk, yaitu
bersandarkan pada janji dari bank kepada mitra (nasabah)-nya bahwa bank
akan menjual kepada mitra porsi kepemilikannya dalam syirkah apabila mitra
telah membayar kepada bank sejumlah harga porsi yang dimiliki bank
tersebut. Di saat berlangsung, musyârakah mutanâqisah tersebut dipandang
sebagai syirkah „inân, karena kedua belah pihak menyerahkan kontribusi
modal (ra`su al-mâl), dan bank mendelegasikan kepada nasabah untuk
mengelola kegiatan usaha. Setelah selesai syirkah, bank kemudian menjual
seluruh atau sebagian porsinya kepada mitra, dengan ketentuan akad
penjualan ini dilakukan secara terpisah dan tidak terkait dengan akad
syirkah.13 Terkait dengan musyârakah mutanâqisah ini, maka Ibnu Qudâmah
menyebutkan bahwa apabila salah satu dari dua yang bermitra (syarîk)
membeli porsi (bagian, hissah) dari mitra lainnya, maka hukumnya boleh,
karena (sebenarnya) ia membeli milik pihak lain.14
Menurut al-Kawâmilah, konsep musyârakah mutanâqisah telah
dibincangkan pada penghujung tahun 1980-an. Orang pertama yang
mengungkapkan konsep tersebut ialah Sami Hasan Mahmud pada 30 Juni
1976, institusi pertama yang melaksanakannya adalah Bank Islam Jordan pada
tahun 1978.15 Menurut Syubair, musharakah mutanaqisah telah dilaksanakan
untuk pertama kalinya di Mesir antara sebuah perusahaan travel pariwisata

Department of Business Administration Kulliyyah of Economics and Management Sciences


International Islamic University Malaysia, h. 19-20
13
Lihat Wahbah Zuhaili, al-Mu‟âmalah al-Mâliyah al-Mu‟âsirah, (t.tp.: t.p., t.t), 436-437
14
Syihâb al-Dîn al-Ramlî, Nihâyah al-Muhtâj Ilâ Syarh al-Minhâj, (Beirut : Dâr al- Fikri,
1404/1983), jilid V, h. 3; Ibn Qudâmah, Al-Mughnî Li ibn Qudâmah, (Mesir : Maktabah Jumhuriyah
al- 'Arabiyah, t.th), juz V, h.3
15
Nûr al-Dîn „Abd al-Karîm al-Kawâmilah, al-Musyârakah al-Mutanâqisah wa Tatbîqatuhâ
al-Mu„âsirah fî al-Fiqh al-Islâmî („Amman: Dâr al-Nafâ`is lî al-Nasr wa al-Tawzî„, 2008), h. 28.
5

dan sebuah bank perdagangan syariah dalam pembelian sebuah kapal laut.16
Dalam Persidangan Majma„ al-Fiqh al-Islami (Akademi Fiqh Islam) ke-15 di
„Amman pada Maret 2004 M / Muharram 1425 H, mayoritas tokoh
berpandangan bahawa fatwa pertama yang telah dikeluarkan berkenaan
dengan musyârakah mutanâqisah ialah fatwa dari pada al-Mu‟tamar li al-
Masraf al-Islami (Persidangan Bank Islam) yang diadakan buat pertama
kalinya di Dubai pada tahun 1979.17
Dalam sistem ekonomi syariah kontenporer, khususnya di perbankan
syariah, musyârakah mutanâqisah telah digunakan secara meluas dan
berkembang ke dalam pembiayaan perumahan (KPR). Selain itu juga
digunakan untuk tujuan pembiayaan kenderaan, peralatan, aset tetap, kerja
sama perniagaan, perdagangan dan lain lain.18 Kontrak / akad tersebut telah
sukses dilaksanakan oleh beberapa institusi keuangan yang menawarkan
produk dan fasilitas pelayanan perbankan Islam di seluruh dunia termasuk di
Amerika Serikat, United Kingdom, Pakistan,19 Malaysia dan juga Indonesia.
Sebagaimana pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa
musyârakah mutanâqisah merupakan produk turunan dari akad musyârakah.
Sehingga dalam implementasinya juga harus disesuaikan dengan dengan
fatwa DSN-MUI tentang musyârakah dan juga fatwa tentang musyârakah
mutanâqisah itu sendiri. Secara sederhana, bahwa musyârakah dapat
dipahami sebagai kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha

16
Syubair tidak menyebutkan tanggal dan nama institusi yang terlibat secara terperinci, lihat
Muhammad „Utsmân Syubair, al-Mu‟âmalah al-Mâliyah al-Mu‟âsirah, (Yordania: Dâr al-nafâ`is,
2008), Cet. ke-6, h. 334
17
Majma„ al-Fiqh al-Islami, Majallah, 1:388, h. 414-415 dan 461.
18
Muhammad Taqi Usmani, An Introduction to Islamic Finance (The Hague: Kluwer
International Law, 2002), h. 30-35; Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance (West Sussex:
Wiley Finance, 2007), h. 339.
19
Ahamed Kameel Mydin Meera dan Dzuljastri Abdul Razak, Islamic Home Financing
through Musharakah Mutanaqisah and al-Bay„ Bithaman Ajil Contracts: A Comparative Analysis,
Review of Islamic Economics, Vol. 9, No. 2 (2005), h. 16-19; Salahuddin Ahmed, Islamic Banking,
Finance and Insurance: A Global Overview (Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 2006), h. 407-431.
6

tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau


keahlian untuk melaksanakan suatu jenis usaha yang halal dan produktif,
dengan tujuan memperoleh dan berbagi keuntungan.20 Sehingga persoalannya,
musyârakah mutanâqisah harusnya ditujukan untuk pembiayaan yang
berkarakter produktif seperti modal kerja, bukannya konsumtif seperti
pembiayaan KPR!. Karena hal ini muncul lah beberapa persepsi di khlayak
yang mengatakan bahwa ada ketidak-sesuaian antara fatwa dan regulasi
perundang-undangan? Benarkah peraturan perundang-undangan yang
diterbitkan oleh otoritas sudah sesuai dengan fatwanya? Jika benar, apakah
factor yang menyebabkan demikian? Lantas bagaimana dengan tujuan atau
esensi dari akad itu sendiri? Dalam tataran ini terdapat hal yang sangat
penting untuk dikaji dan dipahami, yaitu mengenai bagaimana transformasi
fatwa tentang akad musyârakah mutanâqisah dalam peraturan perundang-
undangan.
Akad musyârakah sendiri di perbankan syariah hanya ditujukan untuk
pembiayaan modal kerja usaha. Pembiayaan modal kerja adalah pembiayaan
yang diberikan kepada perorangan, badan usaha maupun badan hukum untuk
21
kebutuhan modal kerja yang real produktif. Tidak ada pembiayaan KPR
menggunakan akad musyârakah, adapun jika ada nasabah yang ingin
mengajukan pembiayaan KPR menggunakan akad musyârakah, menurut
Amalia, pihak bank syariah akan mengkonversi pembiayaan tersebut dari

20
https://economy.okezone.com/read/2012/03/30/316/602652/pembiayaan-bagi-hasil-
musyarakah diakses pada 9 Juli 2018
21
Pembiayaan produktif yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun
investasi. Pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a) Pembiayaan modal kerja yaitu
pembiayaan yang dimaksud untuk mendapatkan modal dalam rangka pengembangan usaha b)
Pembiayaan investasi yaitu pembiayaan yang dimaksudkan untuk melakukan investasi atau pengadaan
barang konsumtif. Lihat Muhammad Safi‟I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001), h. 160; lihat juga Veithzal Rivai, et.al, Islamic Banking: Sebuah Teori,
Konsep, dan Aplikasi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), h. 686
7

musyârakah menjadi musyârakah mutanâqisah.22 Pembiayaan KPR


merupakan pembiayaan yang diberikan kepada perorangan untuk keperluan
pembelian rumah/tempat tinggal/apartmen/ruko yang dijual melalui developer
atau nondeveloper dan diperuntukkan bukan untuk usaha.23 Pembiayaan jenis
ini termasuk dalam jenis pembiayaan konsumtif atau digunakan sendiri,
seperti rumah, apartment, mobil, barang elektronik dll. Secara implicit, di sini
dapat dilihat perbedaan yang cukup kentara antara aplikasi akad musyârakah
mutanâqisah dari akad induknya.
Adapun kedudukan fatwa DSN sebagai pedoman penyelenggaraan
keuangan syariah diakui oleh Negara. Tidak ada isntrumen syariah yang bisa
diterapkan tanpa mendapat fatwa dari DSN-MUI dan izin praktik dari OJK
terlebih dulu. Paling tidak ada tiga undang-undang yang mengatur fatwa
sebagai standar syariah, yaitu undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas undang-undang No. 19 Tahun 2008 Tentang Surat
Berharga Syariah Nasional (SBSN), dan undang-undang No. 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan syariah yang merupakan ketentuan organic perbankan
syariah. Otoritas keuangan juga memberi respon positif terhadap fatwa DSN.
Pada Desember 2004, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan standar
kesyariahan bank syariah. Melalui keputusan Nmor 6/24/PBI/2004 yang
ditanda tangani pada 14 Okober 2004, ditetapkan kepatuhan aspek syariah
merujuk pada fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI dan dewan pengawas
syariah (DPS).

22
Amalia Nur Addina, Pembiayaan Akad Musyarakah pada Pembiayaan Hunian Syariah
(Phs) di Bank Muamalat Indonesia Cabang Malang, Skripsi, Jurusan Managemen Fakultas Ekonomi
(UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
23
Ikatan Bankir Indonesia (IBI) dan Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan (LSPP),
Mengelola Bisnis Pembiayaan Bank syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2015). h. 50
8

Peraturan tentang musyârakah mutanâqisah diatur dalam Fatwa DSN-


MUI No. 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang musyârakah mutanâqisah.24 Disusul
dengan Surat Keputusan DSN-MUI NO.01/DSN-MUI/X/2013 Tentang
Pedoman Implementasi Musyârakah Mutanâqisah dalam Produk Pembiayaan.
Kedua fatwa ini lahir berturut turut karena fatwa DSN-MUI NO. 73/DSN-
MUIlXl/2008 tentang musyârakah mutanâqisah dipahami secara beragam
oleh masyarakat, termasuk praktisi keuangan syariah dan otoritas, sehingga
mengakibatkan ketidakseragaman implementasi dalam produk keuangan di
perbankan syariah. Adapun dalam peraturan perundang-undangan, akad
musyârakah mutanâqisah diatur dalam Surat Edaran otoritas Jasa Keuangan
(SEOJK) yang terbit pada 21 Desember 2015 No.36/SEOJK.03/2015 Tentang
Produk dan Aktivitas Bank Umum Syaria dan Unit Usaha Syariah.25
Menururt Ma‟arif, Dalam proses transformasi suatu fatwa (fatwa
DSN-MUI) ke dalam hukum positif pasti menghadapi dinamika26 dan
kepentingan-kepentingan, yaitu kepentingan LKS, politik hukum nasional,
politik hukum Islam, dan penegakan hukum, sebagaimana penerapan hukum
Islam di Indonesia pada umumnya. Sehubungan dengan hal itu, Azra
berpendapat bahwa beberapa kendala yang dihadapi dalam upaya menjadikan

24
Dan karena musyârakah mutanâqisah adalah bentuk akad kerja sama dan sewa, maka
dalam implementasinya juga harus patuh pada Fatwa DSN-MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang
pembiayaan musyârakah, dan Fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUIlIV/2000 tentang Ijârah, serta Fatwa
DSN-MUI No. 85/DSN-MUIIXll/2012 tentang Janji (Wa'd) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis
Syariah.
25
Dengan lahirnya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) ini maka Surat Edaran
Bank Indonesia (SEBI) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia pada 27 November 2012
No.14/33/DPbS kepada Semua Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah di Indonesia tentang
penerapan kebijakan produk pembiayaan kepemilikan rumah dan kendaraan bermotor bagi bank umum
syariah dan unit syariah otomatis sudah tidak berlaku lagi bagi BUS dan UUS. Lihat juga Divisi
Pengembangan Produk dan Edukasi, Departemen Perbankan Syariah dan Otoritas Jasa Keuangan,
Standar Produk Perbankan Syariah Musyarakah dan Musyarakah Mutanaqishah, (Jakarta: t.tp, 2016)
26
Muhammad Maksum, Kedudukan syariah sebagai sumber Hukum positif: Kajian Awal
atas Hukum Perkawinan, Ekonomi Islam, dan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia dan Maroko,
Istinbáth Jurnal of Islamic Law/Jurnal Hukum Islam ISSN 1829-6505 vol. 15, No. 2. p. 163-334, h.
293
9

hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional adalah adanya konflik
antara hukum Islam dan hukum nasional.27 Arifin menambahkan bahwa
kendalanya adalah persepsi yang tidak sepaham terhadap syariat. 28 Perbedaan
pemikiran mengenai politik hukum islam yang antara lain tercermin dalam
perbedaan teori mengenai keberlakuan hukum Islam di Indonesia, meliputi
teori resceptie.29

27
Lihat A. Syafi‟I Ma‟arif, et. al., Syariat Islam Yes Syariat Islam No: Dilema Piagam
Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Paramadina, 2001), Cet. 1, h. 180, 184-185
28
Departemen Agama RI, Komplilasi Hukum Islam di Indonesia, (2002), h. 132-133
29
Perkembangan teori mengenai hubungan antara hukum Islam dan hukum Eropa (hukum
belanda), dan hukum adat, ichtijanto berkesimpulan bahwa teori-teori ttersebut disederhanakan
menjadi enam, yaitu teori penataan hukum, teori penerimaan otoritas hukum, teori resepsi in complexu,
teori resepsi, teori resepsi exit, dan teori resepsi a contrario. Pertama, teori penataan hukum dijelaskan
mengenai indicator tingkat atau kualitas keagamaan. Menurut teori penataan hukum, orang Islam yang
tidak taat pada ketentuan Allah swt, Rasul-Nya, dan ulil amri berarti tingkat keberagamaannya rendah.
Sebaliknya, orang Islam yang taat kepada ketentuanAllah dan Rasul-Nya, dan ulil amri berarti tingkat
keberagamaannya tinggi. Dan seserang yang melanggar ketentuan Allah, Rasyl-Nya, dan ulil amri
harus disanksi. Kedua, teori teori penerimaan otoritas hukum yang antara lain dikemukakan
olehH.A.R.Gibb dalam bukunya The Modern Trends of Islam, menurut teori ini, orang yang telah
menerima Islam sebagai agamanya berarti telah menerima otoritas hukum Islam terhadap dirinya.
Secara sosiolgis, orang yang sudah beragama Islam menerima hukum Isla dengan tingkat ketaatan yag
berbeda-beda tergantung pada tingkat ketaqwaannya kepada Allah swt. Ketiga, teori resepsi in
cmplexu, yang digagas oleh Ldewidjk William Cristian Van Den Berg yang pada intinya menyatakan
bahwa, bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab dia telah memeluk agama Islam meskipun
dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Keempat, teori resepsi yang
dikemukakan oleh Cristian Snouc Hougronje yang juga dikembangkan oleh C. Van Vollenhoven dan
Ter Har Brn. Menurut teori resepsi, bag rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat. Hukum
Islam baru berlaku jika hukum Islam telah diterima masyarakat sebagai hukum adat. Kelima, teori
resepsi exit yang dikemukakan oleh Hazairin. Menurut teori ini, teori resepsi yang telah dikemukakan
oleh Hougronje tadi tidak berlaku lagi (exit) dengan deklarasi kemerdekaan dan konstitusi 1945.
Sesuai dengan konstitusi 1945, pasal 29 ayat (1), Negara wajib membentuk hukum nasional Indonesia
yang bahannya adalah hukum agama; hukum Islam bidang perdata dan pidana diserap menjadi hukum
nasional. Penyerapan tersebut merupakan nasional Indonesia berdasarkan pancasila. Keenam, teori
resepsi a contratio yang dikemukakan oleh sayuti Talib yang menyatakan bahwa: 1) bagi orang Islam
berlaku hukum Islam, 2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukm, cita-cita batin dan
moralnya, 3) hukum adat berlaku bagi umat Islam apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Lihat Ichtijanto Sumarjan (ed.), Pengembangan Toeri Berlakunya Hukum Islam di Indonesia,” dalam
Tjun Sumarjan (ed.), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1994) Cet. ke-2, h 102-114, 11 122, dan 130-132. Lihat juga Lihat Ichrijanto,
S.A., Pengemangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Tjun Suryaman (e.d.), Hukum
Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994) Cet.
2, h. 101-102
10

Maka penerapan akad musyârakah mutanâqisah menjadi salah satu


produk pembiayaan di lembaga keuangan syariah yang bermasalah secara
hukum ketika menurut peraturan perundangan pembiayaan dengan akad
Musyârakah Mutanâqisah disalurkan untuk pembiayaan produktif dan
konsumtif. Padahal secara fikih akad musyârakah mutanâqisah termasuk jenis
syirkah „inân yang mana seharusnya disalurkan untuk membiayai kegiatan
usaha komersil atau modal usaha kerja.30 Adapun dari aspek formal
perundang-undangan maka dikhawatirkan tejadi ketidak-singkronan antara
pedoman hukum (fatwa DSN-MUI) dan undang-undang yang dibuat
(SEOJK).
Berdasarkan sejumlah fakta dan asumsi yang mengindikasikan adanya
perbedaan mekanisme penyaluran pembiayaan antara yang tertulis dalam
aturan legal formal (fatwa / fikih dan POJK nya) dan regulasi pemerintah,
maka penulis memandang perlu untuk melakukan kajian secara mendalam
mengenai bentuk tansformasi fatwa DSN-MUI tentang akad musyârakah
mutanâqisah dalam peraturan perundang undangan: SEBI No. 15/40/DKMP
dan SEOJK No.36/SEOJK.03/2015).31

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, agar pembahasan ini


terarah, maka penulis membatasi ruang lingkup pembahasannya seputar
transformasi fatwa DSN-MUI tentang akad musyârakah mutanâqisah dalam
perundang-undangan sebagai berikut:

30
Tidak bisa dibenarkan jika suatu teks peraturan perundang-undangan bertentangan atau
tidak sesuai dengan hukum Islam yang asli. Mahmoud A. El-Gamal, Islamic Finance Law, Economic,
and Practice, h. 16
31
Penulisan tesis ini terinspirasi dari journal Muhammad Atho Mudzhar dan Muhammad
Maksum, Synergy or Conflict of Laws? (Comparison between the Compilation of Rules on Shari‟ah
Economy (KHES) and the National Shari‟ah Board‟s (DSN) Fatwas), 682| AL-„ADALAH Vol. XII,
No. 4, Desember 2015
11

1. Fatwa DSN-MUI tentang akad Musyârakah Mutanâqisah dibatasi pada


fatwa DSN-MUI No. 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang akad Musyârakah
Mutanâqisah dan Keputusan DSN-MUI NO.01/DSN-MUI/X/2013
Tentang Pedoman Implementasi Musyârakah Mutanâqisah dalam Produk
Pembiayaan.
2. Akad musyârakah mutanâqisah dibatasi pada akad musyârakah
mutanâqisah yang diadopsi dalam produk pembiayaan perbankan syariah
atas modal usaha atau kepemilikan asset melalui pola kerjasama atas
suatu usaha sewa, dimana penyertaan porsi dana Bank menurun karena
pengambilalihan oleh nasabah secara bertahap melalui pembelian.
3. Peraturan perundang-undangan dibatasi pada SEBI No.15/40/DKMP
tentang perihal penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang
Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit
atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, dan Kredit atau
Pembiayaan Kendaraan Bermotor dan SEOJK No.36/SEOJK.03/2015
tentang Produk Dan Aktivitas Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha
Syariah.
4. Data yang diteliti dalam tesis ini dibatasi pada data tahun 2000 sampai
dengan tahun 2017 karena melihat fatwa DSN-MUI tentang akad
musyârakah mutanâqisah masih memiliki hubungan dengan fatwa lain
yang lahir sebelumnya.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka perumusan masalah
yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana model transformasi fatwa DSN-MUI tentang akad
musyârakah mutanâqisah dalam peraturan perundang-undangan?
b. Bagaimana perbedaan antara konten fatwa DSN-MUI dan Peraturan
Perudang-undangan?
12

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Tesis ini bertujuan untuk menganalisis model transformasi positivisasi


fatwa DSN MUI tentang akad musyârakah mutanâqisah ke dalam peraturan
perundanng-undangan dan permasalahan perbedaan antara keduanya.
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah: 1) Penelitian ini diharapkan
mampu memberikan kontribusi penting terhadap khazanah keilmuan hukum
ekonomi syariah dan dapat dijadikan rujukan bagi penulisan penelitian
selanjutnya. 2) Penelitian ini dapat digunakan oleh para praktisi hukum islam
dan praktisi perbankan syariah dalam menyelesaikan permasalahan berkaitan
dengan penerapan akad musyârakah mutanâqisah.

D. Definisi Operasional
Definisi operasional dimaksudkan untuk menghindari kesalahan
pemahaman dan perbedaan penafsiran yang berkaitan dengan istilah-istilah
dalam judul tesis ini. definisi operasional berisi informasi ilmiah yang sangat
membantu peneliti lain yang ingin melakukan penelitian dengan
menggunakan variabel yang sama agar dapat menentukan apakah tetap
menggunakan prosedur pengukuran yang sama atau diperlukan pengukuran
yang baru.
Sesuai dengan judul penelitian yaitu “tansformasi fatwa DSN-MUI
tentang akad musyârakah mutanâqisah dalam peraturan perundang
undangan”, maka definisi operasional yang perlu dijelaskan, yaitu:
1. Transformasi
Transformasi adalah perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan
sebagainya).32 Yang dimaksud dengan transformasi dalam penelitian ini
adalah model transformasi yang dihasilkan dari sebuah perubahan secara

32
Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. III (Jakarta:
Balai Pustaka, 2005), h. 1209.
13

berangsur-angsur sehingga sampai pada tahap ultimate, dari bentuk yang


sudah dikenal sebelumnya melalui proses menggandakan secara
berulang-ulang atau melipatgandakan.
2. Fatwa DSN-MUI (Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia)
Fatwa DSN-MUI adalah fatwa tentang akad musyârakah mutanâqisah
yang dikeluarkan oleh DSN-MUI selaku lembaga diberikan wewenang
oleh pemerintah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentag
permasalahan baru mengenai ekonomi syariah, yang kemudian
jawaban/fatwa tersebut dijadikan landasan dalam pelaksanaan kegiatan
ekonomi syariah.
3. Akad Musyârakah Mutanâqisah
Akad musyârakah mutanâqisah merupakan produk dan jasa keuangan
syariah yang menggunakan prinsip syirkah „inân.
4. Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan adalah peraturan yang dikeluarkan oleh
regulator yang khusus membahas tentang akad musyârakah mutanâqisah
yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini adalah Surat
Edaran No.15/40/DKMP yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) dan
Surat Edaran No.36/SEOJK.03/2015 yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK).

E. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian
Kajian penelitian tesis ini tergolong penelitan hukum normatif
(normative legal research) dengan disain kualitatif deskriptif (qualitative
descriptive) dan kajian pustaka (library research) yang didukung oleh data
data lapangan melalui wawancara.
2. Pendekatan
14

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan


peraturan perundang-undangan (statuate approach) dan pendekatan sosial
ekonomi. Pertama pendekatan undang-undang digunakan untuk menggali
formula regulasi tentang mekanisme musyârakah mutanâqisah.
Pendekatan sosial ekonomi digunakan untuk mengetahui sebab terjadi
perubahan kontent hukum.
3. Kriteria dan Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber-sumber penelitian
sebagai berikut:
a. Sumber hukum primer
Bahan hukum primer yang dimaksud adalah data hasil
wawancara, Fatwa DSN-MUI, Undang-undang Perbankan Syariah,
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Bank Indonesian (PBI).
b. Sumber hukum skunder
Bahan hukum skunder yang dimaksud adalah semua yang sudah
diolah dan dipulikasikan dalam bentuk dokumen-dokumen resmi,
buku-buku/ kitab-kitab, dan jurnal ilmiah tekait akad musyârakah
mutanâqisah sebagai objek penelitian.
4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Data akan dikumpulkan dengan cara dokumentasi. Teknik ini
dilakukan untuk mendapatkan data mengenai proses perumusan, dan
sumbangan pemikiran dari berbagai pihak dalam perumusannya. Teknik
ini juga digunakan untuk mengumpulkan data kepustakaan berupa
perundang undangan, dan dokumen dokumen yang relevan dengan topik
penelitian. Data-data tersebut kemudian dianalisa menggunakan teknik
analisis isi (analysis content) untuk menjelaskan suatu masalah teoritis
secara normative.
Penggalian data juga dilengkapi dengan wawancara kepada ketua
DSN MUI, KH Ma'ruf Amin, dan legislator peraturan tentang akad
15

musyârakah mutanâqisah dari pihak BI dan atau OJK. Bahan-bahan


tersebut dikaji untuk untuk mengetahui motif dibalik perubahan /
perbedaan subtansi peraturan.
Hasil analisis di atas kemudian dianalisis lebih lanjut menggunakan
teori-teori hukum yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu dengan
mengkaji faktor perubahan ketentuan akad dari produktif menjadi
konsumtif yang sebelumnya telah dikaitkan dengan hasil wawancara.
5. Teknis Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan dalam tesis ini berdasarkan buku
“Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Pengkajian Islam
2016-2020 Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.”

F. Review Studi Terdahulu


Ada beberapa kajian pemikir atau pelajar hukum ekonomi syariah
yang relevan dengan penelitian ini, terutama yang berkaitan dengan akad
musyârakah mutanâqisah, eksistensi fatwa dan transformasinya dalam
perudang-udangan.
Dari aspek fatwa, fatwa diakui sebagai salah satu sumber pembuatan
peraturan perundang-undangan, khususnya undang-undang yang berkaitan
dengan perbankan syariah. Namun eksistensinya tidak mengikat sebelum
dilegislasi dalam bentuk perundang-undangan, kesimpulan ini diungkapkan
oleh Yeni Slama Barlinti,33 Muhtar Ali,34 Wahiduddin Adams.35

33
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Hukum
Nasional di Indonesia, (t.p.: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010)
34
Muhtar Ali, Prospek Fatwa sebagai Hukum Positif di Indonesia: Suatu Tinjauan Historis
dan Yuridis, (Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009)
35
Wahiduddin Adams, Pola Penyerapan Fatwa Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI), (Desertasi UIN Jakarta, 2008)
16

Dalam penelitian lain, Tuti Hasanah36 mengkaji tentang transformasi


fatwa. Hasanah menyimpulkan agar fatwa menjadi mengikat, maka fatwa
harus ditransformasi dalam PBI, di mana dalam proses transformasi tersebut
dipengaruhi oleh Komite Perbankan Syariah (KPS) sebagai pemberi
rekomendasi terhadap Bank Indonesia (BI). Kesimpulan itu dikuatkan oleh
penelitian Akhmad Faozan,37 Ia menambahkan betapa pentingnya positivisasi
fatwa demi perkembangan perbankan syariah agar segala aktivitasnya
memiliki landasan hukum yang kuat.
Dan yang terbaru adalah penelitian Soleh Hasan Wahid38 tentang pola
transformasi fatwa ekonomi syariah DSN-MUI dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia, ia menemukan bahwa bahwa ada tiga model
penyerapan fatwa DSN-MUI dalam undang-undang, model pertama copy dan
paste atau copy fatwa judul dalam pasal-pasal undang-undang. Kedua, pola
substantif yang hanya mengambil substansi dari fatwa tersebut kemudian
diterjemahkan ke dalam perundang-undangan bab dengan bahasa yang formal.
Ketiga, memperluas ketentuan fatwa dan / atau menterjemahkan ketentuan
fatwa secara umum dalam bentuk yang lebih operasional sehingga bisa
diaplikasikan dalam operasional lembaga keuangan.
Sebelumnya disertasi Wahiduddin Adams, „Pola Penyerapan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Peraturan Perundang-undangan 1975-

36
Tuti Hasanah, Transformasi Fatwa Dewan Syariah Nasional ke dalam Hukum Positif,
(Tesis Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin, 2014)
37
Akhmad Faozan, Pola dan Urgensi Positivisasi Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia tentang Perbankan Syariah di Indonesia, Jurnal Al-Manāhij, Vol. X No. 2,
Desember 2016
38
Soleh Hasan Wahid, pola Transformasi Fatwa Ekonomi Syariah Dsn-Mui Dalam
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Jurnal Hukum Islam al-Ahkam
DOI: 10.21274/ahkam.2016.4.2.171-198
17

1997.39 Adams menyimpulkan bahwa fatwa MUI cukup berpengaruh terhadap


rancangan dan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Adams
menunjukkan dua pola penyerapan fatwa MUI dalam berbagai eraturan
perundang-undangan. Pola pertama adalah fatwa MUI yang disampaikan
kepada regulator, dan pola kedua adalah penyerapan fatwa dalam peraturan
perundang-undangan oleh regulator. Mengenai sikap MUI vis a vis dengan
rancangan peraturan perundang-undangan atau aturan yang berlaku dibagi
menjadi tiga, yaitu 1) berupa dukungan sepenuhnya, 2) dukungan dengan usul
penyempurnaan, dan 3) penolakan terhadap seluruh atau sebagian.
Dalam “Fatwas of The Council of Indonesian Ulama…,” Mohammad
Atho Mudzhar menemukan bahwa formulasi fatwa MUI tidak dilakukan
dengan menggunakan metodologi yang konsisten, banyak fatwa yang
dipengaruhi oleh faktor sosio politik, khususnya kebijakan pemerintah, faktor
persaingan antara muslim dan Kristen, faktor penyesuaian terhadap
modernisasi, dan keinginan untuk melepas diri dari madzhab Syafi‟i.40
Dari aspek akad, Muhammad Maksum41 meneliti respon fatwa DSN
MUI terhadap produk ekonomi syariah, terutama produk produk ekonomi
kontemporer yang diperselsihkan di kalangan ulama. Dalam penlitian ini
Muhammad Maksum menyimpulkan bahwa ada upaya berkelanjutan untuk
menyempurnakan aspek syariah pada produk ekonomi. Maksum juga
menyimpulkan bahwa fatawa DSN-MUI cenderung bersifat longgar
disbanding fatwa di negara Malaysia dan Timur Tengah. Hal tersebut
dipengaruhi oleh empat hal: 1) tujuan dan dan tuntutan dunia usaha, ini

39
Wahiduddin Adams, Pola Penyerapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
Peraturan Perundang-undangan 1975-1997, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullaj, 2002). Disertasi dtidak
dipublikasikan
40
Mohammad Atho Mudzhar, Fatwas of The Council of Indonesian Ulama: A Study of
Islamic Legal Thought in Indonesian 1975-1988, (Los Angeles: University of California, 1990)
41
Muhammad Maksum, Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia, Malaysia, dan Timur Tengah,
(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat kementrian Agama RI, 2013)
18

melputi misi utama DSN-MUI untuk memasyarakatkan ekonomi syariah dan


mensyariatkan ekonomi. DSN mengeluarkan fatwa yang mendukung
pertumbuhan LKS untuk mendorong agar LKS dapat berkompetisi dengan
LKK. 2) Sikap DSN tidak bersikap menolak terhadap instrument
konvensional karena produk asli ekonomi syariah belum tentu ada dan bisa
diterapkan. 3) Instrument konvensional direstruktraisasi (takyîf) sesuai dengan
prinsip dan kaidah syariah. LKS menghadapi kendala dalam menerapkan
prinsip syariah karena regulasi tidak mendukung. DSN memberikan ruang dan
jalan keluar fikih untuk kendala regulasi tersebut. 4) pandangan fikih DSN
sangat menentukan arah fatwa yang dikeluarkan. Kaidah kebutuhan (hâjah)
darurat, dan kebijakan (maslahah) menjadi pertimbangan fatwa terutama
dalam mennghadapi produk yang diperselisihkan ulama. Pengembangan
pandangan (teori) fikih, seperti I‟âdat al-nadar, tafrîq al-halâl min harâm, dan
tajwîz al-„aqd lil hâjah bi al-syurût turut mempengaruhi penetapan fatwa.
Muslihat hukum (hîlah) merupakan alternatif menjawab produk ekonomi
modern. Muslihat hukum yang dipakai adalah hîlah yang tidak
mengakibatkan riba (hîlah syar‟iyyah), muslihat tersebut sebagai jalan keluar
(makhraj) yang dibenarkan agama.
Dari aspek praktis, penelitian M Maksum yang berjudul The Sharia
Compliance of Islamic Multi Contract in Islaic Banking. Dalam penelitian ini,
beliau membandingkan antara fatwa DSN-MUI tentang multi akad dan
praktiknya di lembaga keuangan syariah. Beliau menemukan bahwa masih
ada elemen-elemen terlarang yang dipraktikkan, khususnya terkait riba.
Penelitian ini menumbukan pertanyaan apakah sumber perbedaan tersebut
disebabkan human error atau memang karena peraturan di atasnya yang
berbeda (POJK/PBI) dengan fatwa DSN-MUI.
Penelitian tesis ini berbeda dengan beberapa penelitian di atas karena
penelitian-penelitian di atas menilik dari aspek formal fatwa, penelitian-
penelitian tersebut hanya mengangkat isu tentang problematika kedudukan
19

fatwa, pola positivisasi atau pola transformasi fatwa dalam perundang-


undangan di Indonesia secara umum. Sedangkan penulis secara spesifik akan
meneliti tentang model transformasi akad musyârakah mutanâqsiah dalam
perundang-undangan.

G. Sistematika Penelitian

Sistematika penulisan tesis ini dibagi menjadi lima bab. Bab I


merupakan pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, pembatasan
masalah, perumusan masalah, tujuan, penelitian terdahulu yang relevan,
metodologi penelitian serta ditutup dengan sistematika pembahasan.
Bab II, pada bab ini membahas tentang model transformasi hukum Islam
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ada tiga teori yang akan
digunakan dalam peneltian ini yaitu teori positivisme, teori objektivisme, dan
taqnin. Teori-teori tersebut akan digunakan untuk menganalisis data-data yang
akan diteliti pada bab IV.
Bab III. Bab ini membahas tentang perkembangan bentuk-bentuk akad
musyârakah dan hubungannya dengan akad musyârakah mutanâqisah,
meliputi akad syirkah al-„inân, syirkah al-abdân, syirkah al-wujûh, syirkah a-
lmufâwadah, syirkah al-mudârabah, syirkah al-mufawadah, dilanjurtkan
dengan pembahasan akad al-mudârabah musytarakah, dan musyârakah
mutanâqisah.
Bab IV membahas legislasi fatwa tentang akad musyârakah
mutanâqisah menjadi PBI/SEBI dan POJK/SEOJK kemudian dilihat
kesesuaiannya dengan fatwa DSN-MUI dan fikih (syariah compliance),
kemudian hasil pembahasan tersebut dianalisis menggunakan teori yang
digunakan dalam penelitian ini. Adapun data berupa hasil wawancara atau
pendapat para ahli selanjutnya dianalisis untuk mengetahui faktor perubahan
yang terjadi dalam proses transformasi. Pada bab ini juga dibahas mengenai
20

dampak transfaormasi tersebut terhadap aplikasi akad dalam produk


pembiayaan di lembaga keuangan syariah.
Bab V, bab ini adalah penutup yang isinya kesimpulan tentang
perbedaan isi fatwa tentang akad musyârakah mutanâqisah dan perubahannya
dalam peraturan perundang-undangan, faktor, dan pengaruhnya terhadap
praktik perekonomian syariah baik secara hukum dan ekonomi, dan diakhiri
dengan saran terkait teori dan pembahasan.
21

BAB II

Model Transformasi Hukum Islam

dalam Peraturan Perundang-undangan

A. Sistem Hukum di Indonesia


Di dunia ini ada dua sistem hukum besar, yaitu sistem hukum
Common Law atau Anglo Saxon (antara lain dianut Inggris serta negara-
negara bekas jajahannya dan juga Amerika Serikat) dan sistem hukum Civil
Law, atau Continental (antara lain dianut oleh Prancis, Belanda (Eropa
Daratan) dan Indonesia). Hingga abad ke-19 perbedaan kedua sistem hukum
ini masih cukup relevan. Namun dengan berjalannya waktu, nampaklah
bahwa sistem hukum Common Law lebih agresif merabah dan memasuki
wilayah negara-negara yang semula menganut sistem hukum Continental.
Khususnya di Indonesia.42
Sebagai negara yang menganut paradigma hukum positif,43 norma-
norma yang terkandung dalam agama Islam tentunya tidak dapat mengikat
begitu saja dalam kehidupan bernegara, perlu ada kodifikasi hukum Islam
menjadi peraturan perundang-undangan.44 Hukum merupakan hukum yang
dibentuk berdasarkan konstitusi, oleh otoritas untuk yang diberi wewenang.

42
Sri Hartini Dwiyatmi, Pengatar Hukum Indonesia, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia,
2013), h. 1
43
Hukum positif adalah istilah lain dari hukum Negara (the State‟s law) lihat Jimly,
Assiddiqie, Menggagas Peradilan Etik di Indonesia, (Jakarta: Komisi Yudisial RI Pust Analisis dan
Layanan Informasi, 2015), h. 4
44
Secara historis, sebelum lahirnya hukum positif, terlebih dahulu terdapat pemikiran
mengenai legisme hukum. Legisme hukum adalah tidak ada hukum yang diakui kecuali hukum
peraturan perundang-undangan. Ini sebagaimana pemikiran hukum murni Hans Kelsen. Mengenai hal
itu, Faisal A. Rani berpendapat bahwa legisme harus dibedakan dengan positivism hukum. Para ahli
positivism hukum tidak membatasi diri sebagaimana ahli hukum terhadap hukum undang-undang.
Kebiasaan, adat yang baik, pendapat masyarakat bagi para ahli positivism hukum dapat berungsi
sebagai sumber hukum. Syafriman Husein dalam http>//ilmuhukumusk.blogspot/2013/05/legisme-
hukum-dan-positivisme-hukum.html diakses pada tanggal 12 Novenber 2018
22

Berdasarkan hal tersebut, kaidah kaidah yang ada dalam Islam tentu tidak
memiliki kekuatan memaksa dan mengikat tanpa ditransformasi ke dalam
peraturan perundang-undangan.
Positivisasi hukum Islam terjadi karena sistem norma hukum ada
waktunya akan memerlukan proses pelembagaan yang lebih konkrit melalui
proses penuangan secara tertulis disertai pelembagaan infrastruktur
penegaknya. Pada dasarnya negara memiliki kewenangan untuk tidak
menerima eksistensi dari struktur lain di luar struktur negara, kecuali struktur
tersebut digabungkan dalam struktur negara, itulah pentingnya positivisasi.45
Sejarah Islam memunculkan pengetian-pengertian mengenai qaânûn sebagai
pelengkap terhadap sistem norma hukum yang sebelumnya hanya tertuang
dalam hukum dalam bentuk literatur fikih yang bersifat ilmiah.46
Di Indonesia, model hukum positif perlahan menunjukkan
ketidakmampuan dalam mengatasi perkembangan kasus-kasus yang dipicu
oleh pesatnya perkembangan sosial, kemajuan teknologi, maupun budaya,
terutama budaya ekonomi. Ketidakmampuan itu menyebabkan tidak
fleksibelnya hukum positif mengakomodir keadilan dan kebutuhan hukum di
masyarakat. Argumen ini diperkuat dengan tradisi berhukum di peradilan
agama, yang mana sumber hukumnya tidak hanya bersumber dari peraturan
perundang-undangan saja, namun mencakup sumber hukum dari hukum Islam
yaitu al-Qur`an dan Hadis, fatwa DSN, dan lain-lain, yang kemudian
keputusan hukum dan unsur yurisprudensial dari hukum Islam tersebut telah
diserap menjadi bagian dari hukum positif yang berlaku.47

45
Lihat Jan Michiel Otto, Sharia Incorporated Law: Governence, and Development
Research, (Leiden: Leiden University Press, 2010), h. 26
46
Jimly, Assiddiqie, Menggagas Peradilan Etik di Indonesia, h. 28
47
Sumber-sumber hukum positif; a) Sumber materil, yaitu faktor yang membantu
pembentukan hukum atau tempat dimana material hukum itu diambil. pertama, berupa faktor ideal,
yaitu pedoman-pedoman tetap tentang keadilan (demi kesejahteraan umum) yang yang harus diikuti
oleh pembentuk undang-undang. Kedua, faktor kemasyarakatan, yaitu nilai-nilai yang hidup dalam
23

Perkembangan masyarakat demikian pesat dan tak dapat diprediksi


dan diantisipasi oleh pembuat undang-undang, yang menyebabkan undang-
undang jadi tidak lengkap. Oleh karena itu, hakim melalui putusannya
bertanggung jawab untuk megisi bagian yang kosong itu.
Jika mengacu kepada tradisi berhukum para hakim di Peradilan
Agama, maka terlihat jelas bahwa hakim pada dasarnya dapat menggali atau
memutus suatu perkara dengan melihat atau merujuk pada nila-nilaii yang
hidup di masyarakat. Hal ini tertuang pada pasal 10 ayat (1) Undang-undang
No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa
“pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Ketentuan pasal 10 tersebut selaras dengan ketentuan pasal 5 ayat (1)
Undang-undang No. 48 tahun 2009 yang mengatur bahwa jika hakim
dihadapkan pada suatu perkara yang hukumnya tidak ada atau hukumnya
tidak jelass, maka hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup di mayarakat. Hakim hanya boleh
menolak perkara jika ditentukan lain oleh undang undang, misal karena alasan
kompetisi, hubungan darah, dan sebagainya.
Selanjutnya pada Bab IX Putusan Pengadilan Pasal 50 ayat (1)
menyatakan bahwa “putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar
putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.”

masyarakat itu sendiri, seperti keadilan dan kepantasan menurut masyarakat. Sehingga kepatuhan
masyarakat akan mudah diwijudkan. b) Sumber formil, yaitu tempat/sumber dari mana suatu peraturan
itu memperoleh kekuatan hukum (berkaitan dengan bentuk/cara yang menyebabkan hukum itu
berlaku). Jenis hukum formal meliputi Peraturan Perundang-undangan, kebiasaan dan adat,
yurisprudensi, traktat, dan doktrin/ajaran. Lihat Sri Hartini Dwiyatmi, Pengatar Hukum Indonesia, h.
17-18
24

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal ini, terlihat jelas bahwa apabila


undang-undang atau kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat dipakai
untuk menyelesaikan perkara, seorang hakim mempunyai hak untuk membuat
peraturan sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa yurispudensi adalah putusan hakim yang memuat
peraturan tersendiri dan telah berkekuatan hukum yang kemudian diikuti oleh
hakim yang lain dalam peristiwa yang sama.
Hakim bisa menciptakan hukum sendiri, sehingga hakim mempunyai
kedudukan tersendiri sebagai pembentuk undang-undang selain Lembaga
Pembuat Undang-undang. Keputusan hakim yang terdahulu dijadikan dasar
pada keputusan hakim lain sehingga kemudian keputusan ini menjelma
menjadi keputusan hakim yang tetap terhadap persoalan/peristiwa hukum
tertentu.
Oleh karena itu, menurut David dkk. Sulit dilakukan dikotomi antara
sistem common law dan sistem civil law dalam perkembangan peradaban di
dunia modern ini. dalam tataran praktik, justru keduanya malah bercampur
sebagai mixed system.48 Hukum di Indonesia memang dipengaruhi oleh eropa
continental sebagai akibat dari kolonialisme dulu. Namun di sisi lain hukum
adat dan hukum Islam berdiri kokoh dalam kontestasi hukum skala nasional,
sehingga percampuran tradisi hukum di Indonesia tidak bisa dipungkiri
adanya. Hal tersebut dibuktikan dari berbagai penerapan aturan di bidang
hukum bisnis, seperti model gugatan class action, citizen law suit, model
penalaran hukum yang menghasilkan judge made law, hingga munculnya
lembaga-lembaga penyelesaian sengketa yang formatnya mirip dengan

48
Rene David dan J.E.C. Brierly, Major Legal System in The World Today, 1978.
25

tribunal. 49 Hal ini memperlihatkan bahwa cara berhukum terus berkembang


merespon perkembangan masyarakat itu sendiri.
Keberlanjutan positivisasi hukum Islam turut didukung dengan adanya
dinamika perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakat, terutama
pada kalangan muslim moderat, sehingga menimbulkan reaksi terhadap
kebutuhan akan kepastian hukum. Keinginan masyarakat untuk menjalankan
ekonomi sesuai tuntunan agama menciptakan pola hukum baru yang diinisiasi
para ulama, salah satu produknya adalah fatwa DSN-MUI. Fatwa DSN diakui
eksistensinya oleh lembaga-lembaga dan otoritas keuangan di Indonesia.
Meskipun demikian, fatwa DSN-MUI bukan hukum dalam rumpun peraturan
perundang-undangan. Untuk menjadi hukum formal, kaidah-kaidah hukum
yang ada dalam fatwa tersebut harus ditransformasikan menjadi peraturan
Bank Indonesia (PBI), peraturan Menteri Keuangan (PMK), dan setelah
lahirnya Undang-undanng N0. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan, maka secara spesifik fatwa DSN harus ditransformasikan ke dalam
peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) dan atau Suran Edaran, kemudian
dikodifikasi dalam Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah.
Aturan semacam itu menurut Hans Kelsen merupakan ajaran hukum
positif yang tidak lain adalah aturan dan pola standar yang harus diikuti.
Dalam artian, hukum dibentuk berdasarkan norma dasar dan peaturan
perundang-undangan. Hal tersebut sesuai dengan teori mengenai jenjang
norma hukum (stufenbeu des recht).50 Norma hukum itu berjenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan, di mana suatu norma yang

49
Saldi isra, dkk., Hasil peneliian Perkembangan Pengujian Perundang-undangan di
Mahkamah Konstitusi (dari Berfikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif), (t.tp: mahkamah Konstitusi
dan Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2010).
50
Lihat Saldi isra, dkk., Hasil peneliian Perkembangan Pengujian Perundang-undangan di
Mahkamah Konstitusi (dari Berfikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif), (t.tp: mahkamah Konstitusi
dan Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2010), h. 29
26

lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi,
yaitu 1) Ada cita-cita hukum (rechtsidee) yang merupakan norma abstrak, 2)
Ada norma antara (tussen norm, generelle norm, law in books) yang dipakai
sebagai perantara untuk mencapai cita-cita., 3) Ada norma konkrit (concrete
norm), sebagai hasil penerapan norma antara atau penegakannya di
Pengadilan.
Saat ini telah dikeluarkan Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang
Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dijelaskan dalam
pasal 7 ayat 1 mengenai hierarki peraturan perundang-undangan. Urutannya
adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Ketetapan Pajelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
4. Peraturan pemerintah
5. Peratura Presiden
6. Peraturan Daerah: a) Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan
perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur, b) Peraturan
Daerah kabupaten/ kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota
Dengan demikian, fatwa DSN tidak temasuk ke dalam peraturan
perundang-undangan karena tidak dibentuk oleh legislator, regulator ataupun
lembaga negara lainnya.51 Berbeda dengan negara lain seperti Malaysia dan
Singapura, kedua Negara tersebut memiliki lembaga fatwa yang secara
konstitutional diakui sebagai lembaga publik. Akibatnya, fatwa yang

51
Akan tetapi eksistensi fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI diakui dalam peraturan
perundang-undangan, dan menciptakan pola tertetu dalam kebiasaan berhukum di Indonesia.
27

dihasilkan tidak dapat diacuhkan. Setiap yang berkepentingan harus


memperhatikan isi ketententuan dalam fatwa tersebut.52
Upaya positivisasi hukum Islam dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu
legislasi dan regulasi.53 Legislasi adalah kegiatan legislasi yang dilakukan
oleh lembaga perwakilan rakyat dan setidak-tidaknya melibatkan peran
lembaga perwakilan rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum. Sedangkan
regulasi merupakan pengaturan oleh lembaga eksekutif yang menjalankan
produk legislasi dan mendapatkan mandat kewenangan untuk mengatur/
membuat regulasi terkait produk legislasi yang besangkutan. Misal, undang-
undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah merupakan produk
legislasi. Sedangkan OJK dibentuk berdasakan Undang-undang No. 21 Tahun
2011 tentang Otoritas jasa Keuangan yang merupakan amanah dari Undang
Undang No. 21 Tahun 2008. OJK mempunyai kewenangan mengatur dan
mengawasi lembaga keuangan syariah, sehingga dapat menetapkan peraturan
yang bersifat mengatur.54 Peraturan tersebut disebut sebagai regulasi.55
Dikaitkan dengan fatwa DSN yang ditransformasi dalam peraturan OJK,
maka dapat dilihat bahwa transformasi fatwa DSN ke dalam peraturan
perundang-undangan dilakukan dengan cara regulasi.

52
Yeni Slama Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Hukum
Nasional Indonesia
53
Hasil dari pembentukan hukum secara legislasi disebut produk legislatif, sedangkan dengan
cara regulasi disebut produk regulatif. Lihat Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
54
Berdasarkan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, nomenklatur keputusan hanya dapat disnisbatkan dengan penetapan yang bersifat
administratif, sehingga semua bentuk keputusan hanya dinisbatkan dengan penetapan yang bersifat
administratif, sehingga semua bentuk keputusan yang bersifat mengatur harus disebut dengan istilah
peraturan.
55
Jimli Assiddiqie, Hukum acara Pengujian Undang-undang, (Jakarta: Konstitusi Press,
2001), h. 27-28
28

Bentuk hukum antara legislasi dan regulasi saling berkaitan satu sama
lain. Hasil dari pembentukan hukum dengan cara legislasi disebut produk
legislatif, dan dengan cara regulasi disebut regulatif.
Pembentukan hukum dengan cara legislatif melibatkan lembaga
perwakilan rakyat sebagai legislator dan co-legislator. Di Indonesia, yang
dapat disebut lembaga legislator utama adalah dewan perwakilan rakyat
(DPR) Produk legislatif. Produk hukum yang ditetapkan oleh legislator utama
adalah undang-undang. Sedangkan pemerintah merupakan co-legislator,
karena setiap rancangan undang-undang yang akan ditetapkan menjadi
undang-undang memerlukan pembahasan dan persetujuan bersama antara
DPR dan Presiden.56
Adapun produk regulatif adalah produk hukum sebagai aturan lebih
lanjut dari undang-undang yang disahkan oleh lembaga legislatif. Produk
hukum ini dibentuk oleh lembaga negara yang diberi amanah oleh undang
undang sebelumnya. Contoh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (ecsecutive
acts)57 yang diterbitkan untuk menjelaskan lebih lanjut peraturan mengenai
Bank Syariah sebagai produk dari Undang-undang No.21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah. Otoritas jasa Keuangan diberi kewenagan oleh
Undang-undang No.21 tahun 2011 untuk membentuk Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
Produk regulatif ini memiliki ciri nomenklatur saperti Peraturan
Presiden, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan bank Indonesia,
Peraturan Mentri keuangan dan sebagainya.

56
Jimly Assiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, h. 30-31 lihat juga ketentuan
pasal 20 ayat (1) sampai dengan pasal 20 ayat (5) Unsdang-undang perubahan keempat.
57
Menurut Jimly Assiddiqie, executive acts dalam arti sempit adalah peraturan-peraturan
yang ditetapkan oleh lembaga eksekutif dalam rangka melaksankan undang-undang. Adapun dalam
arti luas, semua lembaga Negara ang menetapkan suatu dalam rangka menjalankan undang-undang
(bukan lembaga eksekutif pemerintahan) apabila lembaga itu menetapkan peraturan sebagai pelaksana
undang-undang bersangkutan, maka peraturannya dapat disebut sebagai eksekutif act. Lihat Jimly
assiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, h. 44
29

B. Teori Transformasi Hukum Islam


1. Positivisasi Hukum Islam
Berpijak pada kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional bahwa
hukum Islam mampu menyumbangkan nilai-nilainya dalam rangka kemajuan,
keteraturan, ketentraman, dan kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara,58 Azizy mengajukan suatu teori positivisasi hukum Islam. Teori
yang dikemukakan oleh Azizy ini terkait dengan berakhirnya receptie theory
diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronje59 (1857-1936) mengenai
keberlakuan hukum Islam secara formal di Indonesia,60 khususnya yang
terjadi pada masa reformasi. Menurut Azizy, teori ini berakhir di Indonesia
secara de jure setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 dan
dengan adanya ketentuan yang jelas dan tegas dalam pembukaan dan pasal 29
UUD 1945 karena Indische Staatregeling (IS) sebagai konstitusi Hindia
Belanda yang menjadi landasan legal teori receptie tidak berlaku lagi dengan

58
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 176-177
59
Hurgronje adalah penasehat pemerintah Hindia Belanda (1898) berkenaan dengan Islam
dan masyarakat. Lihat A Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam
Prespektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), h. 77; Ia lahir di Tholen,
Oosterhout, 8 Februari 1857, meninggal di Leiden, 26 Juni 1936 pada umur 79 tahun. Ia adalah
seorang sarjana Belanda budaya Oriental dan bahasa serta Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah
kolonial Hindia Belanda (sekarang Indonesia).
https://id.wikipedia.org/wiki/Christiaan_Snouck_Hurgronje diakses pada 26 Novenber 2018
60
Dalam sejarah masa penjajahan Belanda di Indonesia, keberlakuan hukum Islam secara
formal dipengaruhi oleh adanya receptie theory dari Hurgronje yang termuat dalam pasal 134 ayat 2
Indische Staatsregeling (IS) tahun 1992: “akan tetapi tidak diatur secara lain dengan ordonansi,
maka perkara perdata antara orang Islam dan orang Islam, harus diperiksa oleh hakim agama, kalau
dikehendaki oleh hukum adat.” Aturan ini memberi akibat kepada pencabutan sebagian kewenangan
absolut pengadilan agama, yaitu bidang kewarisan dan wakaf, untuk kemudian diberikan kepada
Landread (pengadilan negri) berdasarkan Stbl. 1937 No. 116. Teori ini dibuat agar orang-orang
pribumi, sebagai rakyat jajahan, jangan sampai kuat memegang agama Islam. Hurgronje berfikir
bahwa hukum Islam dan masyarakatnya tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban barat. Lihat A.
Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional: Komptisi antara hukum Islam dan Hukum Umum, h 155-
157 lihat juga Mohd. Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, ed. 6, cet. 11, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 249, 258, 262-265 ihat juga A
Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Prespektif Tata Hukum Indonesia,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), h. 78
30

adanya UUD 1945. Namun perlu dipehatikan ketentuan pasal II aturan


peralihan pada UUD 1945, “segala badan Negara dan peraturan yang ada
masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang
dasar ini.” pasal ini menjadikan teori receptie tetap hidup. Adapun secara de
facto, teori receptie hilang dan atau harus lenyap di atas bumi Indonesia
setelah lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agaa tahun 1989.
Pada pasala 49 UU No. 7 tahun 1989 ditentukan kewenangan PA dalam
menyelesaikan perkara yang mengakibatkan penerapan hukum Islam tidak
lagi ditentukan atas dasar diterima oleh hukum adat.
Secara Yuridis Azizy mengemukakan keberlakuan hukum Islam di
Indonesia. Menurutnya, pada masa penjajahan Belanda, keberlakuan hukum
Islam dapat terlihat pada Indische Staatsregeling (IS) pasal 134 ayat (2). Pada
masa kemerdekaan Republik Indonesia, keberlakuan hukum Islam dapat
dilihat melalui Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai kebijakan
dan politik pembinaan hukum nasional. Azizy melihat adanya perbedaan
antara GBHN sebagai produk orde baru dan GBHN sebagai produk era
reformasi. Pada masa orba, antara GBHN 1973 (TAP MPR No.
IV/MPR/1973) dan GBHN 1993 (TAP MPR No. II/MPR/1998) terdapat
kesinambungan program dan kesamaan dalam hal-hal yang dianggap
fundamental.61 Begitu pula dengan GBHN 1998 (TAP MPR
No.II/MPR/1998) “tidak jauh berbeda secara fundamental dan tampak
menyesuaikan dengan perkembangan zaman.62
Kedudukan hukum Islam itu sendiri tidak ditemukan sebagai kebijakan
dan politik pembinaan hukum nasional yang tercantum dalam GBHN, tetapi
memiliki pengaruh terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan

61
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 123
62
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 127
31

yang lahir pada masa itu, yaitu UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU
No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, PP No. 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam, UU No.17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji, dan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengolahan Zakat. 63 Pada
masa orde baru, telah lahir UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang di
dalamnya mengatur dua sistem perbankan, yaitu konvensional dan syariah
(Dalam UU disebut dengan bank berdasarkan sistem bagi hasil). Dan PP No.
72 Tahun 1992 yang mengatur khusus mengenai bank yang berdasarkan
prinsip bagi hasil. Pada tahun 1998, terdapat perubahan terhadap undang-
undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan.64
Azizy menyebutkan peraturan-peraturan di atas sebagai “hukum positif
yang berisikan hukum islam. Menurutnya, ini merupakan formulasi hukum
Islam yang lebih berisi materi ibadah (nikah, haji, dan zakat).65
Dalam tulisannya, Azizy tidak mengemukakan adanya peraturan
perundang-undangan di bidang ekonomi syariah yang telah lahir sejak tahun
1992 melalui UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Karena meskipun
dalam undang-undang tersebut tidak disebutkan secara eksplisit bahwa
kegiatan perbankan berdasarkan hukum Islam diperbolehkan, namun pada
praktiknya kegiatan tersebut terus berjalan dan berkembang ke bidang
ekonomi syariah lainnya. Dan akhirnya, pada tahun 1998, istilah syariah
dinyatakan secara tegas melalui UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan
atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

63
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 125-126
64
Azizy tidak menyebutkan peraturan-peraturan ini dalam tulisannya. Sebagai wawasan lihat
juga bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam I Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan
Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), H. 70-75
65
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum nasional: Komptisi antara hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 130-131
32

Dalam mengkaji keberlakuan hukum Islam di Indonesia, Azizy melihat


dan membandingkan fenomena yang terjadi pada masa orde baru dan masa
reformasi.66 Dalam masa orde baru sangat mungkin bagi penguasa untuk
memaksakan hukum Islam menjadi hukum nasional dalam undang-undang,
peraturan pemerintah, putusan pengadilan dll – namun sejarah tidak berbicara
demikian – dan pada masa reformasi hal demikian tidak mungkin bisa terjadi.
Sebaliknya, penguasa saat itu bisa juga membatasi atau bahkan memberangus
nilai-nilai dari hukum Islam dalam sistem hukum nasional yang kini tidak
mungkin bisa terjadi.
Eklektisisme dapat dicapai melalui koridor demokratis, bukan
kekuasaan eksekutif. Dalam konteks ini demokrasi memiliki peluang lebih
besar dan menentukan. Oleh karena kepentingan umum harus menjadi acuan
utama dalam pengambilan keputusan publik dan hukum, maka secara konsep
kompetisi yang demokratis tidak bisa diabaikan.67 Sehingga menjadikan
hukum Islam sebagai sumber hukum nasional, diperlukan sistem kerja

66
Setelah berakhirnya masa orde baru dan memasuki periode reformasi. Secara teoritis
kondisi Indonesia memasuki era demokratisasi, meskipun masih mengalami masa transisi untuk
beberapa waktu dan masih dalam batas retorika politik. Ini meliputi keterlibatan masyarakat dalam
pengambilan keputusan untuk urusan publik, kebebasan masyarakat dalam mengadopsi nilai-nilai
untuk masa yang akan datang, dan factor-faktor lain, termasuk dalam hal ini adalah percaturan nilai-
nilai yang nantinya menjadi tatanan hidup masyarakat atau bahkan sumber hukum. Pada masa
sebelumnya kekuasaan eksekutif sangat kuat hingga mampu memberangus nilai nilai dan apa saja yang
tidak sesuai dengan kepentingan penguasa, maka pada era reformasi tidak lagi demikian. Pada era
reformasi, nilai-nilai masyarakat, termasuk nilai global lebih leluasa memasuki sistem social, baik itu
nilai-nilai budaya positif dan negative sekalipun. Dalam waktu bersamaan nilai-nilai agama – termasuk
hukum agama- juga mempunyai kesempatan lebih luas dibandingkan pada masa sebelumnya. Hanya
saja tetap harus disadari bahwa pola dan model pemaksaan tampaknya sudah tidak mungkin
dilaksanakan. Hal ini mencakup perkembangan dan pembinaan hukum kita, yang biasanya disebut
dengan pembangunan atau pembinaan hukum nasional. Sebagai konsekuensinya perkembangan
hukum nasional akan mencakup tiga elemen sumber hukum yang mempunyai kedudukan yang sama
dan seimbang, yaitu hukum adat (lebih tepatnyya “hukum kebiasaan”), hukum dari barat (hukum
belanda), dan hukum Islam. Dan dalam realisasinya dituntut agar tetap demokratis yang mencerminkan
kompetisi bebas dan kemungkinan terjadi eklektisisme, bukan pemaksaan dari eksekutif untuk
menerapkan salah satu sumber saja.
67
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 173
33

posistivisasi hukum Islam yang diterima secara keilmuan dalam proses


demokratisasi ini.68
Selain itu azizy juga melandaskan positivisasi hukum Islam kepada
GBHN 1999 (TAP MPR No. IV/MR/1999) sebagai produk yang dihasilkan
pada masa reformasi.69 Hukum islam sebagai salah satu hukum agama yang
hidup di Indonesia menjadi salah satu sumber hukum dalam pembentukan
undang-undang sebagaimana disebutkan dalam GBHN 1999. Hal ini juga
kemudian disebut Azizy sebagai positivisasi hukum Islam. 70 Bukan
indoktrinasi. Strategi positivisasi hukum Islam dewasa ini tentu berbeda
dengan konsep resepsi di masa lalu, karena resepsi tidak mengenal strategis
dan demokratis, karena resepsi sendiri merupakan perwujudan dari
indoktrinasi anti Islam.71
Penggunaan hukum Islam sebagai sumber hukum nasional72 dalam
pembuatan undang-undang ini sudah terjadi dan dilakukan sejak sebelum

68
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Hukum
Nasional di Indonesia, h. 34
69
Dalam arah kebijakan GBHN tahu 1999 bab IV A.2. disebutkan: “Menata hukum nasional
yang menyeluruh dan terpadudengan mengakui dan menghorati hukum adat serta memperbaharui
perundanga-undangan warisan colonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidak
adilan jender dan ketidak sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.” lihat
juga A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum,
h. 174
70
Dan ketika berbicara mengenai positivisasi haukum Islam, maka sasaran utamanya adalah
menjadikan hukum Islam sebagai sumber pembuatan undang-undang. Tentu juga meliputi pengertian
lain yang lebih luas, termasuk putusan hakim kebiasaan, dan doktrin. lihat A. Qodri Azizy,
Elektisisme Hukum nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, h. 176-177
71
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 173
72
Sumber hukum sering digunakan dalam beberapa arti: a) sebagai asas hukum sebagai
sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misalnya kehendak tuhan akal manusia, jiwa, bangsa dsb.
b) menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan kepada hukum yang sekarang berlaku
Perancis, hukum Romawi, hukum adat, hukum Islam, dan hukum belanda untuk Iindonesia. c) sebagai
sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum
(penguasa, masyarakat) d) sebagai sumber dari mana kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen,
undang-undang, batu tertulis dsb. e) sebagai sumber terjadinya hukum: sumber yang menimbulkan
hukum. lihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty
34

lahirnya GBHN 1999. Adanya UU No. 7 Tahun 1992 adalah salah satu
contohnya. Penegasan penggunaan hukum Islam ini lebih tegas disebutkan
dalam PP No. 72 Tahun 1992 sebagai peraturan lanjutan dari UU No. 7 Tahun
1992. Proses positivisasi ini dilakukan melalui proses keilmuan dalam disiplin
ilmu hukum dan demokratisasi dengan pendekatan normative.73
Positivisasi yang kita maksudkan di sini adalah tetap melalui proses
keilmuan dalam disiplin ilmu hukum (jurisprudence). Jika ditinjau dari aspek
akademik; dan tetap dalam koridor demokratisasi, jika kita tinjau dari segi
sistem politik yang demokratis yang sedang diusahakan kini. Dua hal,
keilmuan dan demokratisasi, ini harus dilakukan dalam era reformasi dan pada
masa yang akan datang. Sekaligus usaha intelektual atau penelitian yang
memang bukan saja diperbolehkan hidup dalam alam demokrasi, namun juga
suatu aktivitas yang harus dijalankan dalam dunia modern yang mejunjung
tinggi kebebasan akademik dan proses demokratisasi. …tentu ada staregi dan
pendekatan yang lain… yaitu, dengan menggunakan logika dan dasar bahwa
setiap orang Islam harus menjalankan syariat Islam: suatu pendekatan yang
saya sebut dengan istilah normatif.74
Positivisasi hukum Islam dalam pembanguan nasional dapat terwujud
baik melalui pendekatan normative maupun dengan pendekatan cultural.
Setelah mendapatkan justifikasi argumentasi keilmuan atau akademik dalam
kajian hukum di Indonesia secara terbuka, meliputi hukum Islam. Sudah
barang tentu kesemuanya itu dalam koridor demokratisasi dan pemeliharaan
hak asasi manusia yang sangat mementingkan pada hak-hak individu, tanpa
mengorbankan hak publik. Kesemuanya itu dalam rangka realisasi GBHN
1999, yang lebih tegas menjelaskan adanya sumber hukum nasional, di mana
salah satunya adalah hukum agama, termasuk hukum Islam.75

Dalam proses keilmuan dalam disiplin ilmu hukum, diawali dengan


suatu kajian ilmu social teoritisasi mengenai interdepedensi antara tradisi
masyarakat dengan nilai-nilai agama. Pada tradisi masyarakat ada nilai adat

Yogyakarta, 2003), h. 82; Lihat juga Willem Zevenbergen, Formele Encyclopedia der
Rechtswetenschap, (Gebr. Belifante: s‟Gravenhage, 1925)
73
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 173 dan 194
74
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 173
75
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum,h. 198-199
35

istiadat meliputi norma dan hukum. Dari penelitian sosiolog hukum dan
antropolog budaya menyimpulkan bahwa di mana ada masyarakat di sana ada
hukum.76
Maka bagi masyarakat yang beragama Islam, yang di dalamnya
terdapat nilai-nilai islam pasti di dalamnya terkandung norma dan hukum.77
Nilai-nilai ibadah mahdah akan selalu dipertahankan, berbeda dengan nilai-
nilai muamalah yang bisa mengalami modifikasi namun tetap menjaga nilai
esensinya.78
Proses positivisasi melalui demokratisasi dalam suatu negara tidak
terlepas dari bentuk sistem hukumnya. Dan bentuk sistem hukum nasional

76
Soekanto menjelaskan, dalam dimensi praktik, telah dikenalkan teori hukum hidup
(livinglaw, atau living ordonantie). Menurut teori ini, hukum akan dikelompokkan sebagai hukum
yang hidup apaila terpenuhi tiga syarat; filosofis, yuridis, dan sosiologis. Secara filosofis, hukum
dianggap hidup apabila merupakan bagian dari cita-cita hidup masyarakat. Indonesia adalah Negara
yang berdasarkan atas pancasila dan undang-undang dasar 1945 yang didalamnya dideklarasikan
bahwa Indoonesia adalah Negara yang berdasarkan pada ketuhanan yang maha ESA, dan fakta bahwa
mayoritas penduduk Indnesia beragama Islam, maka wajar bila praktik ekonomi yang dipandu oleh
nilai-nilai syariah menjadi cita cita mayoritas enduduk Indonesia. Salah satunya adalah praktik bisnis
dengan akad musyârakah mutanâqisah. secara yuridis, hukum dianggap hidup apabila telah diakui dan
dijadikan peraturan perundang-undangan. Dengan diberlakukannya undang-undang nomor10 Tahun
1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 8 tahun 1992 tentang perbankan, undang-undang
nomor 19 tahun 2008 tentang surat berharga syariah nasional (SBSN), dan undang-undang nomor 21
tahun 2008 tantang perbankan syariah menunjukkan bahwa bisnis dengan siste syariah telah diakui
secara legal di Indonesia. Salah satunya sistem yang diaturnya adalah musyârakah mutanâqisah.
Secara sosiologis, hukum diangggap hidup apabila telah dakui dan diteirma oleh masyarakat. Tumbuh
dan berkembangnya lembaga-lembaga bisnis syariah seperti Baitul Mal wa Tamwil, perbankan
syariah, asuransi syariah, perusahaan financing syariah, pasar modal dan pengadaian syariah,
merupakan bukti bahwa masyarakat Indonesia telah mengakui dan menerima bisnis sistem syariah.
Salah satu sistem bisnis yang diakui dan digunakan dalam lembaga keuangan syariah dan asuransi
dalah syirkah mustanâqisah. Dengan demikian , bisnis sistem syariah dapat dikelompokkan pada living
ordonantie. Atas dasar itu, diyakini bahwa akad musyârakah mutanâqisah hidup dan berkembang
sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Lihat Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah,
Sosiologi Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: PT. Rajawali, 1982), h 13.
77
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h. 44
78
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 182-183
36

akan selalu dipengaruhi oleh hukum-hukum lain, seperti hukum adat, hukum
Islam, dan atau hukum negara lain (negara penjajah).79
Keberlakuan hukum adat yang ada saat ini adalah merupakan
perwujudan dari eklektisisime80 dan pengaruh globalisasi. Selain itu eksistensi
masyarakat dan sistem hukum yang statis menjadikan suatu upaya perubahan
yang sistematis dan mengupayakan perubahan yang sistematis dengan
mengedepankan rasa keadilan dalam masyarakat.81 Sehingga memerlukan
keseriusan dari para legislator untuk memperjuangkannya agar dapat
memenuhi tuntutan dan rasa keadilan khususnya masyarakat muslim.
Menurut Azizy, ketika hukum Islam sudah dijadikan hukum nasional
maka itu adalah fikih yang sudah sesuai dengan tuntutan zaman. 82 Produk
produk fikih yang dihasilkan di masa lalu merupakan living knoowlidge yang
sangat berarti bagi pemikir / ulama kontemporer, dan sebagai proses historical
continuity dalam tadisi akademik.83 Penempatan fikih sebagai hukum nasional
dalam tataran hukum materil dapat dilakukan melalui beberapa jalur, yaitu
peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintah, yurisprudensi, menjadi
sumber penegakan hukum dalam penyelesaian pekara, sebagai sumber ilmu

79
Lihat Bab 5,7 dan 8 CG. Weeramantry, Islamic Jurisprudence: An Iternational Prespective,
(Kuala Lumpur: The Other Press, 2001)
80
Eklektisisme adalah paham atau aliran filsafat yang mengambil sistem yang terbaik dari
banyak sistem. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2005), h. 286. Bustanul Arifin mendefenisikan eklektisisme sebagai suatu sistem
(agama atau filsafat) yang dibentuk secara kritis dengan memilih dari berbagai sumber dan doktrin.
Sedangkan mneurut Azizy, eklektisisme adalah membentuk hukum nasional secara kritis memilih
unsur-unsur doktrin hukum yang memang berlaku di Indonesia. Lihat A. Qodri Azizy, Elektisisme
Hukum Nasional: Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, h. viii
81
Hal tersebut tak jarang membuat hakim harus beani melakukan interpretasi hukum agar
tidak tertinggal zaman dan memenuhi rasa keadilan, lihat A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum
nasional: Komptisi antara hukum Islam dan Hukum Umum, h. 177
82
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 274
83
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum nasional: Komptisi antara hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 248
37

hukum atau filsafat, dan sebagai sumber nilai budaya dan kebiasaan
masyarakat.84
Setelah GBHN 1999 tidak berlaku lagi, maka landasan positivisasi
hukum Islam sebagai sumber hukum nasional berpindah pada UU No. 17
Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun
2005-2025 sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional
pengganti GBHN,85 yang menyebutkan bahwa pembangunan jangka panjang
tahun tersebut di bidang pembangunan hukum adalah mewujudkan sistem
hukum nasional yang mantap bersumber pada pancasila, yaitu pancasila sila
pertama, Ketuhanan yang Maha Esa dan UUD 1945, yaitu pasal 29 ayat (1),
Negara berdasakan Ketuhanan yang Maha Esa.
Negara dan agama memiliki hubungan mutualisme. Hukum Islam
(fatwa) merupakan sebuah prinsip, dan suatu prinsip tidak dapat diterapkan
sebelum ia dirumuskan kembali. Positivisasi hukum Islam adalah sebuah
keharusan bagi Negara yang mengikuti eklektisisme dalam koridor
demokrasi.
Upaya positivisasi hukum Islam sering juga disebut dengan teori
eksistensi.86 Sepanjang sejarah perjalanan hukum di Indonesia, kehadiran
hukum Islam dalam hukum nasional juga merupakan perjuangan eksistensi.
Dalam bentangan sejarah itu pula, hukum Islam selalu memperkuat
eksistensinya, baik sebagai hukum positif atau tertulis, maupun tidak tertulis,
dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktik hukum.87

84
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum nasional: Komptisi antara hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 248-251
85
Indonesia, Undang-undang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005-2025, Undang-undang No. 17 Tahun 2007, LNRI No. 33 Tahun 2007, TLNRI No. 4700
86
lihat juga Marzuki Wahid, Fikih Madzhab Negara: Kritik atas politik Hukum di Indonesia,
(Yogyakarta: LKIS, 2001), h. 33
87
Lihat Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan
Zamanyang Terus berkembang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 70-71
38

Pada dasarnya hukum Islam telah diterima dalam beberapa kodifikasi


hukum positif di Indonesia. Melalui teori eksistensi keberadaan hukum Islam
dalam hukum nasional Indonesia dapat dilihat melalui beberapa bentuk.
Bentuk yang pertama, hukum Islam ada dalam hukum nasional sebagai
bagian yang integral darinya. Keberadaan tersebut dapat dilihat dalam
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam UU
tersebut hukum Islam hadir sebagai bagian yang utuh dalam sebuah
pengaturan bagi perkawinan yang berlaku di seluruh warga Negara Indonesia.
Dalam UU tersebut, diatur mengenai syarat sahnya perkawinan adalah
dilakukan berdasarkan hukum agama, dan bagi ummat Islam hukum agama
adalah hukum Islam. Berdasarkan UU ini, maka perkawinan penduduk hanya
sah bila dilakukan menurut keyakinan agamanya dan setelah itu dicatatkan
pada negara.
Bentuk yang kedua, keberadaan hukum Islam berdiri secara mandiri
dan diakui berkekuatan hukum nasional dan sebagai hukum nasional. Hal
tersebut dapat dilihat dari UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Melalui UU
tersebut pemerintah Daerah Istimewa Aceh berkewenangan menerapkan
hukum Islam sebagai hukum yang berlaku dalam daerah tersebut.
Keberlakuan hukum Islam tidak hanya dalam ranah perdata, hukum pidana
Islam tertentu juga berlaku bagi daerah tersebut. Keberlakuan hukum Islam di
Daerah Istimewa Aceh, menyebabkan beberapa delik yang terjadi di Aceh,
yang telah diatur melalui qânûn (peraturan daerah) akan diproses dan diadili
menggunakan hukum Islam, begitu juga dengan putusan pengadilan yang
dijatuhkan. Berlakunya syariat Islam tersebut, memiliki kekuatan sebagai
hukum nasional walaupun hanya berlaku bagi Daerah Istimewa Aceh.
Bentuk yang ketiga dilihat dari norma hukum Islam (agama) berfungsi
sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia. Hal tersebut dapat
dilihat juga dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam UU
39

tersebut hukum Islam berfungsi sebagai penyaring hukum perkawinan yang


berlaku. Keberadaannya juga memiliki kekuatan nasional.
Sedangkan bentuk yang keempat dari keberadaan hukum Islam dalam
hukum nasional dapat dilihat dari keberadaan hukum Islam sebagai bahan
utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia. Seperti Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dalam Undang-undang
tersebut hukum Islam hadir sebagai bahan dan unsur utama bagi hukum
nasional Indonesia yang mengatur mengenai perbankan syariah. Setiap warga
negara Indonesia dimungkinkan memilih undang-undang tersebut sebagai
peraturan yang akan digunakan dalam melakukan kegiatan perbankan
menggunakan prinsip syariah. Undang-undang tersebut dapat berlaku bagi
seluruh warga Negara Indonesia, tidak hanya dapat digunakan bagi umat
Islam saja.
Dari fenomena di atas bisa disimpulkan bahwa positivisasi memiliki
dua pengertian. Pertama, secara umum positivisasi dipahami bahwa hukum
Islam ke harus diserap dalam Peraturan Perundang-undangan agar memiliki
kekuatan mengikat secara umum. Kedua, secara khusus dapat dipahami
bahwa positivisasi adalah mengangkat hukum Islam dalam bentuknya yang
literal ke dalam produk hukum nasional (Undang-undang).

2. Taqnîn al-Ahkâm
Qânûn al-ahkam merupakan wilayah dalam permasalahan tentang
pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan
dari segi persesuaian dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi
kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya. Peran penguasa dalam
hal ini adalah para pembuat konstitusi negara yang mempunyai wewenang
untuk membuat qânûn tersebut. Dalam hukum Islam hal tersebut diatur dalam
ilmu siyâsah dustûriyah, yakni siyâsah yang mengatur hubungan warga
40

negara dengan lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang
lainnya dalam batas-batas administrasi negara.
Gagasan penerapan syari‟at Islam pertama diungkapkan oleh Ibnu
Muqaffa‟88 melalui ide taqnin-nya. Tujuan diadakannya taqnin atau penerapan
hukum Islam oleh penguasa negara adalah untuk mengatur hubungan sesama
manusia dalam suatu masyarakat, serta memberi konsekuensi logis control
Negara atas agama dan hukum-hukumnya. 89
Secara etimologis, kata taqnîn merupakan bentuk masdar dari
qannana, yang berarti membentuk undang-undang. Ibnu Mandlur menyatakan
bahwa kata taqnîn bukan berasal dari bahasa Arab, kata ini merupakan
serapan dari bahasa Romawi yaitu kata conan, namun ada juga yang
berpendapat berasal dari Bahasa Persia.90 Seakar dengan taqnîn adalah
kata qânûn yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau
cara (tarîqah). Qânûn berarti rule, statute, code (peraturan, statuta, undang-
undang).91 Qânûn al-ahkâm berarti mengumpulkan hukum dan kaidah
penetapan hukum (tasyrî`) yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial,
menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan kalimat-
kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat
yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai

88
Nama lengkap Ibnu al-Muqaffa‟ adalah Abu Muhammad ʿAbd Allâh Rûzbih ibn Dādūya
Ibn al-Muqaffa; beliau lahir pada tahun 102 H/720 M. di Persia. Oleh karena itu, Ia dikenal pula
sebagai "penulis Arab bertkebangsaan Persia." Beliau meninggal pada tahun 139 H/756 M. karena
hukuman mati atas keputusan Abu Ja„far al-Mansur (khalifah kedua Dinasti Bani Abbas yang
memerintah pada periode 137-159 H/754-775 M). Usia Ibn al-Muqaffa sangat singkat, yaitu hanya 37
tahun (102-139 H). lihat Josef W. Meri, Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia. (t.t.:
Psychology Press. 2005). h. 346.
89
Masykuri Abdullah, Formalisasi Syari‟at Islam di Indonesia, (Jakarta: Renaissance, 2005),
h. 87.
90
Ibnu Mandzur, Lisaan Al-Arab, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), jilid XIII hal. 351
91
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic,J.Wilton Cowan (ed), Cet.III, (Otto
Harrassowitz, Wiesbaden, 19971), h.791
41

undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga


wajib bagi para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat. 92
Menurut Sobhi Mahmasani kata Qânûn berasal dari bahasa Yunani,
masuk menjadi bahasa Arab melalui bahasa Suryani yang berarti alat
pengukur atau kaidah. Di Eropa, istilah qânûn atau canon dipakai untuk
menunjuk hukum gereja yang disebut pula canonik,93 seperti corpus iuris
cononici yang disahkan oleh Paus Gregorus XIII tahun 1580, kemudian codex
iuris coninci oleh Paus Benediktus XV tahun 1919. Hukum canonic ini terdiri
atas injil, fatwa-fatwa dari pemimpin gereja, keputusan dari sidang-sidang
gereja dan keputusan dan perintah dari Paus.94 Oleh intelektual muslim di
masa lalu, istilah qânûn digunakan untuk menyebut himpunan pengetahuan
yang bersifat sains seperti buku yang berjudul Qânûn fî al-Tibb yang ditulis
oleh Ibnu Sina dalam bidang kedokteran, Qânûn al-Mas‟ûdî yakni himpunan
pengetahuan tentang astronomi yang dihimpun untuk Sultan al-Mas‟ûd
(Sultan Ghaznawiyah) yang ditulis oleh al-Biruni. Menurut para Orientalis
Barat seperti Goldziher, Von Kremer, dan Scheldon Amos, bahwasannya
syari‟at yang dibawa Nabi Muhammad saw adalah seperti halnya hukum-
hukum (Canonic) Romawi yang diadopsi kepada hukum-hukum Arab. Ia
mengajukan argumen bahwa pada saat itu sebelum Muhammad saw menjadi
Rasul ia telah mengetahui tentang hukum-hukum Romawi yang terdapat di
negeri-negeri yang menjadi kekuasaan imperium Romawi.95 Akan tetapi para
Sarjana Muslim menolak secara tegas pendapat yang dikemukakan oleh para

92
Mushtafa aL-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-`âm, Juz II, (Beirut: Dar al-Qalam,
1418 H), hal. 313.
93
Sobhi Mahmasani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: al-Ma‟arif, 1976), hal. 27.
94
J. van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, (Pustaka Sarjana, t.t.),
hal. 143-144.
95
Abdul Karim Zaidan, Al-Madkhal li al-Darasah al-Syari‟ah al-Islamiyah, (Beirut: Resalah
Publisher, 1969), hal. 63.
42

Orientalis tersebut dengan mengajukan argumen bahwa Nabi Muhammad


dilahirkan di Mekah yang notabene bukan daerah kekuasaan Romawi dan
Nabi Muhammad tidak pernah keluar dari mekah sebelum menjadi Rasul
melainkan hanya dua kali saja yaitu ketika beliau masih berusia 12 tahun
bahkan ada yang berpendapat masih berusia 7 tahun ketika beliau ikut
bersama pamanya Abû Tâlib ke Syam. Adapun yang kedua adalah ketika
beliau berumur 25 tahun untuk berniaga menjalankan bisnis Khadijah
bersama pengawalnya yakni Maisarah dan telah diketahui bahwa sang Rasul
tidak mempunyai kemampuan membaca dan menulis. Selain berdasarkan
pada sejarah, para Sarjana muslim juga mengajukan argumen bahwa mustahil
bercampurnya syariat Islam dengan qânûn Romawi karena syari‟at Islam
berdasarkan kepada wahyu.96
Dalam konteks sekarang, menurut Mahmasani istilah qânun memiliki
tiga arti yaitu: pertama, pengertian yang sifatnya umum yaitu kumpulan
aturan hukum (codex) seperti qânun pidana Usmani. Kedua, berarti syariat
atau hukum, dan ketiga, dipakai secara khusus untuk kaidah-kaidah atau
aturan yang tergolong dalam hukum mu‟amalat umum yang mempunyai
kekuatan hukum, yakni undang-undang, seperti dewan legislatif membuat
qânûn larangan menimbun barang.97
Sebagai perbandingan, dalam ilmu hukum dikenal istilah hukum dan
undang-undang. Dalam ilmu hukum, hukum merupakan himpunan petunjuk-
petunjuk hidup (perintah maupun larangan) yang mengatur tata tertib dalam
suatu masyarakat, dan oleh karena itu seharusnya ditaati oleh anggota
masyarakat yang bersangkutan, dan pelanggaran atas peraturan tersebut dapat
menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.98 Adapun yang

96
Abdul Karim Zaidan, Al-Madkhal li al-Darasah al-Syari‟ah al-Islamiyah, h. 63
97
Sobhi Mahmasani, Filsafat Hukum Islam, h. 28
98
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1957), hal. 9.
43

disebut pengertian undang-undang secara umum diartikan peraturan yang


dibuat oleh negara. Undang-undang memiliki ciri yaitu keputusan tertulis,
dibuat oleh pejabat yang berwenang, berisi tentang aturan tingkah laku, dan
mengikat secara umum.99
Qânûn dalam konteks sekarang dipandang sebagai
formalisasi/positivisasi hukum Islam, yakni aturan syara‟ yang dikodifikasi
oleh pemerintah yang bersifat mengikat dan berlaku secara umum. Eksistensi
qânûn di era moderen ini sebagai konsekwensi dari sistem hukum yang
berkembang terutama oleh karena pengaruh sistem hukum Eropa. 100 Karena
pengaruh kolonialis terutama Belanda, Indonesia termasuk salah satu Negara
yang menganut paham taqnîn. Dalam istilah lain, negara hukum Indonesia
menganut aliran “positivisme yuridis”. Artinya, segala bentuk hukum yang
diberlakukan secara efektif di Republik ini terlebih dahulu diundangkan
secara resmi oleh penguasa. Sebaliknya, tanpa diundangkan terlebih dahulu,
maka sebaik dan selengkap apapun aturan hukum yang ada tetap tidak dapat
diterapkan di Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, ide taqnîn Ibnu Muqaffa‟ sebenarnya telah
diterima dan dipraktikkan dalam kehidupan bernegara. Buktinya, saat ini kita
telah memiliki Undang-undang Perkawinan (UU No. 1/1974), Undang-
undang Haji (UU No. 17/1999), Undang-undang Zakat (UU No.38/1999) dan

99
Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, (Bandung:
Mandar Maju, 1998), h. 10.
100
Sistem hukum yang berlaku di Indonesia mengikuti tradisi hukum yang diwariskan oleh
Belanda yang pernah menjajah Indonesia, yaitu tradisi civil law. Sebenarnya Belanda juga mengikuti
tradisi hukum Prancis yang telah menjajah Belanda. Civil law merupakan duplikasi dari Kode
Napoleon. Cirri utama civil law adalah peraturan perundang-undangannya ditulis dan dihimpun dalam
satu undang-undang (terkodifikasi), dan kepastian hukum ditentukan oleh peraturan perundang-
undangannya. Oleh karena itu, hukum yang berlaku di Indonesia harus terkodifikasi terlebih dulu.
Lihat Ujang Ruhyat Syamsoni, Taqnin Al-Ahkam (Legislasi Hukum Islam Ke Dalam Hukum
Nasional), Jurnal Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015, h. 172; lihat juga Rifyal Ka‟bah,
Penegakan Syariah Islam di Indonesia, (Jakarta: Khairu Bayan, 2004), h. ; lihat juga Yayan Sopyan,
Islam-Negara; Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Tangerang Selatan:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, t.t.), h. 67
44

lain-lain, yang semuanya dikategorikan sebagai hukum positif yang berisi


hukum Islam.101
Secara khusus, ide taqnin ini telah diterapkan di Aceh melalui
pemberlakukan qânûn (Perda syariah). Qânûn ini digali dan lahir dari
masyarakat NAD sebagai peraturan lokal yang bersifat khusus untuk
masyarakat NAD yang dipahami sebagian besar memiliki perbedaan dengan
ketentuan yang berlaku secara umum di Nusantra serta mendapat tempat
istimewa untuk diberlakukan bagi umat Islam di NAD. Untuk persoalan
masyarakat Aceh yang telah diatur oleh qânûn maka qânun lah yang akan
diberlakukan. Hal ini sejalan dengan Penjelasan Umum Undang-undang No.
18 Tahun 2001 tersebut, dalam salah satu alineanya dinyatakan; “Qanun
Propinsi NAD adalah Peraturan Daerah Propinsi NAD yang dapat
mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan
mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis, dan Mahkamah Agung
berwenang melakukan uji materil terhadap Qonun.”102 Dengan penjelasan ini,
maka dipahami bahwa qânun sebagai suatu tatanan Peraturan Daerah akan
dapat mengenyampingkan KUHP yang bersifat umum.
Dimensi Qanun sebagai wilayah penelitian hukum Islam membahas
tentang asas dan kaidah hukum Islam yang dialihkan (ditransformasikan) ke
dalam produk badan penyelenggara negara, terutama legislatif dan eksekutif,
yang terdokumentasi dalam peraturan perundang-undangan.103
Hukum di suatu negara merupakan kehendak negara. Ini artinya, negara
membuat peraturan-peraturan dan menciptakan kedamaian serta ketertiban
dalam masyarakat. Hukum dibuat untuk mengatur barbagai kepentingan
kelompok-kelompok yang ada dalam mayarakat agar tidak bertabrakan.

101
Masykuri Abdullah, Formalisasi Syari‟at Islam, h. 93.
102
Masykuri Abdullah, Formalisasi Syari‟at Islam, h. 93.
103
Cik Hasan Basri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 101-102.
45

Hukum ini atas menjadi pedoman bagi masyarakat dalam bertindak, mengikat
semua warga negara tak terkecuali termasuk pemegang kekuasaan
pemerintahan.
Untuk melaksanakan fungsinya, hukum itu tentu memiliki kekuasaan
yang lebih besar dari pada hukum yang ada pada berbagai kelompok
kepentingan dalam masyarakat. “hukum” kelompok-kelompok kepentingan
dalam masyarakat mengatur dan menata ketertiban hanya dalam kelompok
masing masing. Sementara itu, hukum yang ada di tangan penguasa/
pemerintah berfungsi menata dan mengatur kepentingan antar kelompok agar
tidak berbenturan antara satu dengan yang lain. Ini berarti bahwa hukum itu
mengatur dan menjaga kedamaian dan ketertiban selururuh masyarakat.
Kekuasaan hukum negara didukung oleh kelompok-kelompok kepentingan
masyarakat sehingga statusnya lebih kuat dari keseluruhan hukum yang ada di
masyarakat.
Sejarah transformasi hukum Islam ke dalam hukum nasional bukanlah
hal yang baru, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, gagasan ini telah ada
dan diperjuangkan oleh para pendahulu dalam perumusan konsep negara.
Lahirnya piagam Jakarta merupakan bagian dari keberhasilan usaha tokoh-
tokoh kebangsaan yang selalu memperjuangkan keberlakuan hukum Islam
untuk masyarakat muslim.104 Sebelum piagam Jakarta lahir, terjadi perdebatan
pemikiran tentang negara Islam, dan negara muslim. Muhammad Yamin
Mengatakan, ungkapan “Negara berdasar atas cita-cita luhur dari agama
Islam” sebagaimana yang diucapkannya dalam pidatonya pada tanggal 31 Mei
1945.
Suparman Usman memahami pernyataan Supomo bahwa dalam negara
yang tersusun sebagai negara Islam, negara tidak dapat dipisahkan dari

104
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h.
46

agama, negara dan agama adalah satu. Selanjutnya mengenai negara Indonesia
yang yang diusulkan Supomo adalah negara integral yang bukan merupakan
negara agama dan bukan juga negara sekuler, akan tetapi sebuah negara yang
bersatu, berbudi pekerti luhur, menjunjung tinggi harkat dan martabat, sebuah
Negara yang bermoral, di mana konsep-konsep seperti itu juga menjadi ajaran
dalam agama Islam.
Dalam UUD 1945 sendiri terdapat landasan filosofis dan landasan
yuridis tentang pemberlakuan hukum Islam bagi pemeluknya. Landasan
filosofis adalah pancasila sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa.
Ketuhanan yang Maha Esa mengandung tauhid seperti yang dituturkan oleh
Ki Bagus Hadikusumo sebagai penggagas penyempurnaan sila pertama itu.105
Sedangkan landasan yuridis terdapat dalam pasal 29 UUD 1945. Dalam
pemaknaan pasal 29 UUD 1945, Hazairin berkomentar:
Karena bangsa Indonesia yang beragama resmi memuja Allah, yaitu
menundukkan diri kepada kekuasaan Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu, dan
menjadikan pula kekuasaan-Nya itu dengan istilah Ketuhanan Yang aha Esa,
sebagai dasar pokok bagi Negara republic Indonesia, yaitu “ Negara
berdasarkan ketuhanan yang maha Esa [pasal 29 ayat (1) UUD 1945], maka
tafsiran ayat tersebut hanya mungkin sebagai berikut: (1) Dalam negara RI
tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentanngan dengan kaidah-
kaidah Islam bagi umat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah
nasrani bagi umat nasrani, atau bertentangan dengan kaidah-kaidah agama
Hindu Bali bagi agama Hindu Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan
Budha bagi umat Budha. (2) Negara RI wajib menjalankan syariat Islam
bago orang Islam, syariat nasrani bagi orang Nasrani, dan syariat Hndu Bali
bagi orang Bali, sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan
perantaraan kekuasaan Negara. (3) Syariat yang tidak memerlukan bantuan
kekuasaan Negara untuk menjalankan dan karena itu dapat sendiri dijalankan
oleh pemeluk agama yang bersangkutan menjadi kewjiban pribadi terjhadap
Allah bagi setiap orang itu yang dijalankannya sendiri menurut agamanya
masing-masing.

105
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juli 1945: Sebuah Konsensus Nasional
tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. x
47

Dari pernyataan Hazairin di atas, dapat ditarik suatu benang merah


bahwa masuknya hukum Islam ke dalam hukum nasional merupakan
keniscayaan. Sebaliknya, ketika ada hukum nasional yang bertentangan
dengan hukum agama dan kepercayaan bangsa Indonesia harus ditolak karena
bertentangan dengan keyakinan dan nilai luhur yang dianut oleh bangsa
Indonesia. Hazairin memandang bahwa hukum agama ada yang tidak
memerlukan intervensi kekuasaan negara dalam penerapannya, karena hukum
agama tersebut secara otomatis dilaksanakan dan sudah menjadi kewajiban
setiap orang.
Dari uraian Hazairin di atas, dapat dikatakan bahwa keberadaan hukum
Islam dalam tata hukum nasional merupakan realitas yang tidak dapat
dibantah lagi eksistensinya. Bahkan kata Suparman Usman,106 hukum Islam
merupakan sumber dan bahan utama pembuatan hukum di Indonesia. Karena
hukum Islam sudah menjadi bagian integral dari hukum nasional Indonesia,
maka perlu diarahkan kepada bentuk perundang-undangan (‫ )دار التقنين‬untuk
memenuhi sekelompok penuntut kepentingan / keadilan dalam negara ini,
yaitu umat Islam sebagai sebagai warga negara Indonesia. Upaya demikian
merupakan sumbangan positif bagi pembangunan hukum nasional khususnya
dalam pembenahan hukum sekarang ini dengan menatap masa depan yang
lebih tertata.
Dari ketiga hukum yang ada, hukum adat, hukum barat, dan hukum
Islam, sebagaimana yang diungkakan oleh Rifyal Ka‟bah bahwa hukum Islam
memiliki peluang lebih besar untuk mengisi hukum nasional.107 Hukum Islam

106
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 3
107
Ini dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut: kita sepakat dengan bahawa adat
mempunyai implikasi hukum, maka hukum adat di samping klain yang sering mengatakannya sebagai
hukum yang berciri Indonesia, ia lebih bercorak etnik (kesukaan), kecuali adat besar yang merupakan
sumber komplementer hukum Islam. Oleh karena itu, hukum adat yang tidak mencerminkan keadilan,
kemanusiaan, dan kebersamaan berpotensi untuk sekterianisme dan disintegrasi bangsa dan lambat
laun cenderung ditinggalkan oleh masyarakat seiring dengan maraknya migrasi, akulturasi, dan
48

diharapkan menjadi solusi dalam sistem hukum di Indonesia. Salah satunya


adalah sanksi hukum yang bersifat mendidik dan menjerakan. Ini terutama
dapat dilihat dari sanksi-sanksi kejahatan terhadap jiwa, akal, kehormatan,
keturunan, agama, dan harta benda.108
Sebagaimana doktrin politik bahwa keberadaan mayoritas biasanya
mendominasi kebijakan politik dalam suatu negri. Umat Islam merupakan
penduduk mayoritas, merupakan keniscayaan jika hukum Islam yang dianut
dan dilaksanakan oleh sebagian besar warga negara, agar menjadi bagian dari
hukum nasional.
Dari uraian di atas, penulis memandang bahwa teori positivisasi dan
taqnîn adalah dua teori yang memiliki semangat pemikiran yang sama. Secara
teoritis, baik positivisasi hukum dan taqnîn al-ahkâm, keduanya merupakan
instrumen visi pembangunan hukum nasional yang dibangun dengan
mempertimbangkan situasi dan kondisi aktual masyarakat setempat. Usaha
positivisasi / taqnîn hukum Islam merupakan suatu keharusan baik dalam
kajian akademik yang selalu mengikuti elektisisme maupun proses
demokratisasi yang berdasarkan mayoritas penduduk.

modernisasi di seluruh wilayah Indonesia. Hukum barat sebagai hukum asing menggambarkan sejarah
dan norma-norma bangsa Eropa yang belum tentu sejalan dengan pandangan hidup bangsa Insonesia.
Selain itu, hukum barat zaman penjajahan dirancang sebagai bagian dari politik untuk
mempertahankan kekuasaan penjajah di Indonesia. Dengan meningkatnya rasa kebangsaan, maka
hukum barat ini nantinya akan diterima secara selektif, hanya bila hukum itu sesuai dengan rasa
keadilan dan norrma-norma bangsa Indonesia. Hukum Islam mencerminkan norma-norma bangsa
Indonesiayang mayoritas beragama Islam. Hukum Islam juga dimantapkan oleh sifat diyâni dan
qadhâ`î yang dikandungnya, karna berasal dari hukum agama yang tidak hanya mengikat seseorang
sebagai makhluk sosial tapi juga mengikatnya sebagai hamba Allah swt. Dalam akidah Islam, siapa
saja yang megerjakan kebaikan, maka akan menuai kebaikan, sebaliknya, siapa saja yang mengerjakan
keburukan makan akan menuai keburukan yang hasilnya bisa dirasakan di dunia dan atau di akhirat.
Lihat Rifyal Ka‟bah, Penegakan Syariah Islam di Indonesia, (Jakarta: Khairu Bayan, 2004), h.
108
Dalam sanksi hukum Islam misalnya dikenal dengan sanksi yang berbentuk pembalasan
yang setimpal atas kejahatan yang telah dilakukan pelaku yang disebut qisâs. Lihat [(QS.. al-Mâ`idah:
45), dan (QS. Al-Baqarah: 194, 197, & 179)]
49

C. Objektifikasi
Menurut Kuntowijoyo, dalam proses transformasi konsep hukum Islam
ke dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, dapat digunakan teori
Objektifikasi. Objektifikasi tidak sekedar eksternalisasi dari keyakinan
internal keagamaan, tetapi juga konkretisasi.109
Dalam proses objektifikasi, nilai Islam harus diterjemahkan dalam
kategori objektif sehingga dapat diterima oleh semua pihak, baik oleh
kalangan muslim maupun non-muslim. Kriteria objektif yang
dimaksudkannya adalah jika perbuatan yang dimaksudkan dilaksanakan
sebagai sesuatu yang natural bukan sebagai perbuatan keagamaan. Dalam
upaya transformasi konsep hukum Islam, maka diperlukan sebuah teori. Maka
teori Objektifikasi dapat dijadikan sebagai landasan berpikir untuk melakukan
transformasi konsep tersebut. Karena dalam objektifikasi konsep yang
terkandung dalam hukum Islam diterjemahkan sebagai sesuatu yang netral
sehingga bersifat objektif.110 Adanya realitas masyarakat yang plural dan
selalu berubah pada tiap tempat dan waktu, maka perlu diadakan objektifikasi
hukum Islam sesuai dengan situasi dan kondisi pada masing-masing wilayah.
Secara metodologis, hukum Islam dapat ditafsirkan secara berbeda-beda
tergantung pada realitas masyarakat. Karena itu, objektifikasi hukum Islam ke
dalam hukum nasional dapat disahkan menjadi hukum yang diterima oleh
seluruh masyarakat Indonesia.111 Dengan demkian, masyarakat tidak lagi
resisten atau khawatir dengan implementasi ajaran Islam di ruang publik,
malah sebaliknya akan mengapresiasi dan mendukungnya. Dari itu akan
muncul kepercayaan terhadap penerapan ajaran Islam yang menjadi modal

109
Denny JA, HA Sumargono, Kuntowijoyo, et.al., Negara Sekuler: Sebuah Polemik,
(Jakarta: Putra Berdikari Bangsa, 2000), h. 56
110
Denny JA, HA Sumargono, Kuntowijoyo, et.al., Negara Sekuler: Sebuah Polemik,
(Jakarta: Putra Berdikari Bangsa, 2000), h. 56
111
Makhrus Munajat dkk., Objektivikasi Hukum Pidana Islam ke dalam Hukum Nnasional.
Jurnal Istiqra, Vol 03, no. 01 tahun 2004
50

penting bagi pemberlakuan syariat Islam. Secara perlahan syariat akan


diberlakukan di tengah publik hingga akhirnya syariah diterapkan secara
paripurna oleh masyarakat.
Meskipun tidak merujuk secara langsung pada pemikiran Kuntowijoyo,
sepertinya gagasan objektifikasi Islam dalam praktiknya sudah berjalan.
Implementasi gagasan ini terlihat dari berdirinya partai-partai bukan Islam
akan tetapi berbasis massa Islam, seperti PAN (Partai Amanat Nasional), PKB
(Partai Kebangkitan Bangsa), PKS (Partai Keadilan Sejahtera), dll.
Adapun dalam bidang ekonomi, beberapa tahun terakhir, kata syariah
seolah menjadi milik dunia pada umumnya. Dunia tentu tahu bahwa syariah
adalah produk muslim, namun respon public cukup hangat terhadapnya.
Syariah akan selalu dikaitkan dengan sistem ekonomi Islam. Padahal yang
sebenarnya, syariah itu mencakup semua aspek (aspek hukum, ibadah, dll). Ini
salah satu contoh penerapan objektifikasi yang cukup berhasil. Bank-bank
syariah dengan segala macam kelebihan dan kekurangannya pun
bermunculan. Bagaimana sistem perbankan yang selama ini menggunakan
proses riba yang tidak sesuai dengan hukum Islam pada hari ini mulai
ditinggalkan. Bahkan negara Inggris yang merupakan negara non muslim
mendeklarasikan nilai syariah itu dalam bentuk penerapan bunga 0%. Kita
sebagai umat muslim dapat menikmati “hukum islam” itu dalam bentuk
ekonomi syariah, dan non muslim juga mengikutinya tanpa merasa terpaksa
atau dipaksa. Kita melakukannya atas dasar iman dan orang lain (non muslim)
melakukannya atas dasar manfaat.
Selain melalui positivisasi dan objetifikasi, transformasi hukum Islam
ke dalam Peraturan Perundang-undangan juga dapat dilakukan dengan pola
adopsi dan adaptasi. Adopsi hukum Islam oleh negara adalah pengesahan
ketentuan hukum Islam oleh negara dalam bentuknya yang masih nampak
pengaruh besar hukum Islam. Contoh, adopsi hukum Islam bidang keuangan
dan bisnis syariah yang banyak disahkan di negara negara-negara muslim
51

seperti Indonesia, Malaysia, dan lain-lain. Menurut Prof Atho Mudzhar,


adopsi fatwa DSN-MUI dalam berbagai peraturan dilakukan dengan penuh
dan sebagian.112
Adapun pola adaptasi adalah ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam
yang diakomodasi dan disesuaikan degan ketentuan lainnya sehingga hukum
Islam tidak berwujud dalam wujudnya yang leterlek melainkan
bertransformasi dalam ketentuan yang bergam, seperti hukuman mati bagi
pembunuh dalam hukum pidana Islam dikenal dengan qisâs, sedangkan dalam
pola adaptasi hukum nasional, hukum mati diterapkan bukan atas nama qisâs
dan dilakukan dengan cara yang berbeda.113
Selanjutnnya adalah pola transformasi fatwa dengan cara copy paste,
subtantif, dan memperluas ketentuan. Pertama, copy paste dilakukan dengan
menyalin fatwa ke dalam pasal-pasal suatu perundang-undangan, pola ini
terkadang muncul dengan bentuknya yang utuh, atu 99% sama dengan teks
asalnya. Kedua, pola subtantif dilakukan dengan cara mengambil
subtansi/intisari dari fatwa, kemudian diterjemahkan (non lieral) ke dalam
pasal-pasal peraturan perundang-undangan dengan bahsa lebih formal. Ketiga
pola memperluas ketentuan fatwa dan atau menterjemahkan ke dalam bentuk
yang lebih teknis operasional, bahkan regulator menambahkan tambahan

112
Istilah ini diakai oleh Prof. Atho Mudzhar dalam bukunya “Esai-esai Sejarah Sosial
hukum Islam” dengan Judul The Legal Reasoing and Socio-Legal impact of The Fatwas of The
Council of Indonesian Ulama on economic Issues, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2014), h. 158 dan
179; lihat juga Muhammad maksum, Kedudukan Syariah sebagai Sumber Hukum Positif: Kajian Awal
atas Hukum Perkawinan, Ekonomi Islam, dan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia dan Maroko,
Jurnal Istinbath, Vol. 15, No.2, h. 163-334
113
Lihat Baundouin Dupret, La Charia Des Sources A La Pratique Un Concept Pluriel,
(Paris: La Decouverte, 2014) h. 130; lihat juga Muhammad Maksum, Kedudukan Syariah sebgaai
Sumber Hukum Positif: Kajian Awal atas Hukum Perkawinan, Eknomi Islam, dan Hukum
Ketenagakerjaan di Indonesia dan Maroko, h. 284
52

ketentuan karena keperluan teknis operasional tersebut, agar dapat diterapkan


dalam kegiatan suatu lembaga keuangan.114
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa teori positivisasi dan
taqnîn merupakan instrumen untuk mengangkat hukum Islam dalam dalam
produk hukum nasional agar dapat mengikat secara nasional sebagaimana
hukum positif (baik secara literal ataupun non literal). Transformasi hukum
Islam ini dapat dilakukan dengan pola objektifikasi; adopsi, dan adaptasi;
copy paste, subtantif, dan perluasan ketentuan.

114
Lihat Soleh Hasan Wahid, Pola Tranformasi Fatwa Ekonomi Syariah DSN-MUI dalam
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Jurnal Ahkam Vol. 4, No.2, Novenber 2016:171-198, h.
196
53

BAB III
DESKRIPSI UMUM PROFIL DEWAN SYARIAH NASIONAL MAJELIS
ULAMA INDONESIA (DSN-MUI), BANK INDONESIA (BI), DAN
OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)

A. Profil Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)


1. Sejarah Berdirinya Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI)
Seiring dengan perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, Majelis
Ulama Indonesia mengadakan tim rapat Pembentukan Dewan Syariah
Nasional (DSN) pada tanggal 14 Oktober 1997. Lokakarya ulama tentang
Reksadana Syariah yang diselenggarakan MUI pusat pada tanggal 29-30 Juli
1997 di Jakarta merekomendasikan perlunya sebuah lembaga yang
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas Lembaga
Keuangan Syariah (LKS). Pada tahun 1999 MUI membentuk DSN dengan
menerbitkan SK MUI No. Kep-754/MUI/II/99 tentang pembentukan Dewan
Syariah Nasional. Salah satu tugas Dewan Syariah Nasional adalah
mengeluarkan fatwa tentang produk dan jasa keuangan syariah. 115 MUI
memiliki tiga perangkat, yaitu satu komisi dan dua lembaga yang terkait
dengan pembuatan dan penetapan fatwa, yakni komisi fatwa Lembaga
Pengkajian Pangan, Obat-obatan, Minuman dan Kosmetika (LP-POM), dan
Dewan Syariah Nasional (DSN).116
Pembentukan DSN-MUI merupakan langkah efisiensi dan
koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan

115
Keputusan DSN-MUI No. 01 Th 2000
116
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif Hukum Dan Perundang-
Undangan, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI), h. 257
54

masalah ekonomi/keuangan. Berbagai masalah/ kasus yang memerlukan


fatwa akan ditampung dan dibahas bersama agar diperoleh kesamaan
pandangan dalam penangannya oleh masing-masing Dewan Pengawas
Syariah (DPS) yang ada di lembaga keuangan syariah. Selain itu DSN-MUI
juga untuk mendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi
dan keuangan, DSN-MUI akan senantiasa dan berperan secara proaktif
dalam menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis
dalam bidang ekonomi dan keuangan.
Pihak-pihak yang meminta fatwa adalah (mustafti) adalah LKS dan
pemerintah. Lembaga Keuangan Syariah mengajukan fatwa kepada DSN
untuk pelaksanaan kegiatan usahanya yang akan dilakukan, sedangkan
pemerintahan mengajukan fatwa dalam rangka pembuatan peraturan
perundang-undangan yang akan diberlakukan. Pada prinsipnya, penerbitan
fatwa DSN didasarkan permi ntaan atau pertanyaan mustasfi meskipun tidak
semua identitas mustasfi dicantumkan dalam fatwa DSN. Adapula fatwa
DSN yang tidak diminta oleh mustasfi.117
Proses internalisasi normatif-religius mendesak pembentukan hukum
(fatwa) di bidang ekonom syariah untuk melaksanakan kegiatan ekonomi
syariah yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Pembentukan hukum di
bidang ekonomi syariah menimbulkan proses pengalihan dari nilai kegiatan
ekonomi konvensional ke nilai kegiatan ekonomi syariah. Selain itu, fatwa
yang diminta oleh mustafti adalah fatwa atas suatu peristiwa yang belum
terjadi. Fatwa ini berfungsi untuk kegiatan ekonomi syariah yang akan
dilaksanakan. Tanpa adanya fatwa, kegiatan ekonomi syariah tidak dapat
dilaksanakan.118

117
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif Hukum Dan Perundang-
undangan, h. 262
118
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif Hukum Dan Perundang-
undangan, h. 264
55

2. Peran dan Kewenangan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama


Indonesia (DSN-MUI)
Pada tahun 2000, lampiran II dari SK MUI No. Kep-754/MUI/II/99
tentang Pembentukan Dewan Syariah Nasional dijadikan pedoman dasar
Dewan Syariah Nasional melalui Keputusan DSN-MUI No. 01 Tahun 2000,
bahwa tugas dari DSN adalah sebagai berikut:119
a. Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan
perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya;
b. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan syariah
c. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syari‟ah;
d. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
Keberadaan DPS telah hadir terlebih dahulu dari DSN, tidak
ditinggalkan dalam mekanisme pelaksanaan tugas-tugas DSN. Dewan
Syariah Nasional tetap memerlukan DPS dalam melakukan pengawasan
pelaksanaan syari‟ah pada masing-masing LKS. Untuk itu, DSN memiliki
kewenangan berikut ini dalam rangka menjalankan tugas yang telah
diberikan kepadanya sebagaimana diatur dalam Keputusan DSN-MUI No.01
Tahun 2000, yaitu:120
a. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di
masing-masing Lembaga Keuangan Syariah dan menjadi dasar tindakan
hukum pihak terkait.
b. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan
yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen
Keuangan dan Bank Indonesia.

119
Jaih Mubarok, “Struktur DSN-MUI”, http://majelispenulis.blogspot.com/2016/05/peran-
dewan-syariah-nasional.html diakses pada 15 Novenber 2018
120
Jaih Mubarok, “Struktur DSN-MUI”, http://majelispenulis.blogspot.com/2016/05/peran-
dewan-syariah-nasional.html diakses pada 15 Novenber 2018
56

c. Memberikan rekomendasi dan/ atau mencabut rekomendasi nama-nama


yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga
keuangan syariah.
d. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang
diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas
moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri.
e. Memberikan peringatan kepada Lembaga Keuangan Syariah untuk
menhentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh
Dewan Syariah Nasional
f. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil
tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.

3. Mekanisme Kerja DSN, BPH dan DPS


Berdasarkan keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia Nomor 01 Tahun 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia, mekanisme kerja DSN, BPH dan DPS
adalah sebagai berikut:
a. Dewan Syariah Nasional (DSN)
1) Dewan Syariah Nasional mengesahkan rancangan fatwa yang
diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian DSN
2) Dewan Syariah Nasiona melakukan rapat pleno paling tidak satu
kali dalam tiga bulan atau bilamana diperlukan
3) Setiap tahunnya membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam
laporan tahunan (annual report) bahwa lembaga keuangan syariah
yang bersangkutan telah/ tidak memenuhi segenap ketentuan
syariah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah
Nasional
57

b. Badan Pelaksana Harian (BPH)


1) Badan Pelaksana Harian menerima usulan atau pertanyaan hukum
mengenai suatu produk lembaga keuangan syariah. Usulan ataupun
pertanyaan ditujukan kepada secretariat Badan Pelaksana Harian
2) Sekretariat yang dipimpin oleh sekretaris paling lambat 1 (satu) hari
kerja setelah menerima usulan/ pertanyaan harus menyampaikan
permasalahan kepada ketua BPH.
3) Ketua Badan Pelaksana Harian bersama anggota dan staf ahli
selambat lambatnya 20 hari kerja harus membuat memorandum
khusus yang terisi telaah dan pembahasan terhadap suatu
pertanyaan/ usulan.
4) Ketua Badan Pelaksana Harian selanjutnya membawa hasil
pembahasan ke dalam Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional untuk
mendapat pengesahan.
5) Fatwa dan memorandum Dewan Syariah Nasional ditandatangani
oleh Ketua dan Sekretaris Dewan Syariah Nasional.
c. Dewan Pengawas Syariah (DPS)
1) Dewan Pengawas Syariah melakukan pengawasan secara periodik
pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah
pengawasannya.
2) Dewan Pengawas Syariah berkewajiban mengajukan usul-usul
pengembangan Lembaga Keuangan Syariah kepada pimpinan
lembaga yang bersangkutan dan kepada Dewan Syariah Nasional.
3) Dewan Pengawas Syariah melaporkan perkembangan produk dan
operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada
Dewan Syariah Nasional sekurang-kurangnya dua kali dalam satu
tahun anggaran.
58

4) Dewan Pengawas Syariah merumuskan permasalahan-


permasalahan yang memerlukan pembahasan Dewan Syariah
Nasional.

4. Proses Penetapan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama


Indonesia
Pelaksanaan ajaran Islam oleh Penganutnya merupakan suatu
kewajiban karena diyakini kebenaran ajarannya. Dalam melaksanak an
ajaran tersebut, perlu ada pemahaman atas ajaran Islam itu sendiri, terutama
terhadap hal-hal yang zannî sifatnya baik dalam al-Qur‟an ataupun dalam
hadis. Apabila terdapat suatu permasalahan terhadap penerapan ketentuan
yang bersifat zhanni, perlu ada orang yang mampu menjawab permasalahan
ini sesuai dengan ajaran islam.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang disebut fatwa ini merupakan
pendapat dari orang yang memahami ajaran Islam. Hasyim Kamali
berpendapat bahwa:
Response from aqualified person to a question of concern to
religion and law. It is in the nature of an opinion and a contribution
given to help the person that is in need of guidance. it does not bind
anyone and it is meant to help the people and also to make a
contribution to finding relevant solutions to issues.121

Maksud hasyim kamali ialah bahwa fatwa tersebut merupakan respon


dari orang yang memenuhi syarat untuk menjawab pertanyaan dari penganut
ajaran agama. Hal tersebut merupakan kontribusi yang diberikan untuk m
embantu orang yang membutuhkan bimbingan.
Pendapat yang diberikan oleh mufti sebagai jawaban atas pertanyaan
diharapkan mampu memberikan solusi dengan tetap pada jalur ketentuan

121
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Dalam Sistem Hukum
Nasional Di Indonesia, http://lib.ui.ac.id/opac/ui/detail.jsp?id=20280504&lokasi=loka diakses pada 15
Novenber 2018
59

Islam. Pendapat tersebut di Indonesia disebut dengan Fatwa Dewan Syari‟ah


Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Meskipun demikian, banyak
dipahami bahwa fatwa yang diberikan adalah tidak mengikat secara hukum.
Ma‟ruf Amin menyebutkan bahwa metode penetapan fatwa
menggunakan metode bayani (analisa kebahasaan), metode ta‟lîlî dan
metode istislâhi. Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa salah satu
tugas DSN adalah mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan
syari‟ah serta produk dan jasa keuangan syariah. Dalam proses penetapan
fatwa ekonomi syari‟ah, DSN melakukannya melalui rapat pleno yang
dihadiri oleh semua anggota DSN, BI, OJK atau lembaga otoritas keuangan
lainnya, dan pelaku usaha baik perbankan, asuransi, pasar modal, syariah
card, syari‟ah charge card maupun lainnya. Alur penetapan fatwa ekonomi
syari‟ah tersebut adalah sebagai berikut:
a. Badan Pelaksana Harian DSN-MUI menerima usulan atau pertanyaan
hukum mengenai suatu produk lembaga keuangan syariah. Usulan atau
pertanyaan hukum ini bisa dilakukan oleh praktisi lembaga
perekonomian melalui Dewan Pengawas Syariah atau langsung
ditujukan kepada sektretariat Badan Pelaksana Harian DSN-MUI.
b. Secretariat dipimpin oleh sekretaris paling lambat satu hari kerja setelah
menerima usulan/ pertanyaan harus menyampaikan permasalahan
kepada ketua.
c. Ketua Badan Pelaksana Harian DSN-MUI bersama anggota BPH DSN-
MUI dan staff ahli selambat-lambatnya 20 hari kerja harus membuat
memorandum khusus yang berisi telaah dan pembahasan terhadap suatu
pertanyaan atau usulan hukum tersebut.
d. Ketua Badan Pelaksana Harian DSN-MUI selanjutnya membawa hasil
pembahasan ke dalam rapat pleno Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia untuk mendapat pengesahan.
60

e. Memorandum yang sudah dapat pengesahan dari rapat pleno DSN-MUI


ditetapkan menjadi fatwa DSN-MUI fatwa tersebut ditandatangani oleh
ketua DSN-MUI (ex-officio Ketua Umum MUI) dan sekretaris DSN-
MUI (ex-officio Sekretaris Umum MUI).

5. Fatwa DSN-MUI Tentang akad Musyârakah Mutanâqisah


Ketentuan mengenai Akad musyârakah Mutanâqisah diatur dalam
Fatwa DSN-MUI No.73 tahun 2008 Tentang akad musyârakah mutanâqisah
dan juga Keputusan DSN-MUI No.01 Tahun 2013 tentang Pedoman
Implementasi akad musyarakah mutanaqisah dalam pembiayaan syariah.
Struktur dan format fatwa tentang musyârakah mutanâqisah sudah
memadai dengan rumusan yang simpel. Jika dibandingkan dengan format fatwa
mufti Mesir, fatwa DSN-MUI lebih komplit muatannya. Namun, format fatwa
DSN MUI ini hanya terbatas memberikan penentuan status hukum masalah
yang difatwakan, belum bersifat ifadah „ilmiah yaitu memberikan kegunaan
pencerahan wawasan keilmuan - sebagaimana yang terangkum dalam naskah
akademik,-122 sehingga kurang memberikan bekal kepada kalangan di luar para
ulama ekonomi syariah. Karena itu disarankan agar setiap fatwa disertai
lampirannya, berupa uraian ilmiah singkat yang mengantarkan pada
kesimpulan-kesimpulan isi fatwa. 123 Secara umum fatwa ini sudah disebarkan
oleh MUI Pusat ke MUI Provinsi, Kabupaten/Kota dan juga sudah ada yang
sampai kepada warga masyarakat agar umat mengetahui hukum dan dapat
mempraktikkannya dalam lembaga keuangan ekonomi syariah. Akad ini akan
dibahas lebih dalam pada analisis BAB IV.

122
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya tehadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan peraturan sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
http://peraturan.go.id/welcome/index/prolegnas_pengantar.html diakses pada 26 Desember 2018
123
Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 130-131.
61

B. Profil Bank Indonesia (BI)


Bank Indonesia (BI) adalah bank sentral Republik Indonesia. Bank ini
memiliki nama lain De Javasche Bank yang dipergunakan pada masa Hindia
Belanda. Sebagai bank sentral.
Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dimulai ketika sebuah
undang-undang baru, yaitu UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999 dan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2009. Undang-undang
ini memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara yang
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur
tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas
diatur dalam undang-undang ini.
BI mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu
kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap
mata uang negara lain. Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi,
sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap
mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk
memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas
tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank
Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah124
Untuk mencapai tujuan tersebut BI didukung oleh tiga pilar yang
merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia. Ketiganya

124
Fungsi Bank Indonesia: Status dan Kedudukan Bank Indonesia,
https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/fungsi-bi/status/Contents/Default.aspx diakses pada 15 Novenber
2018
62

perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
dapat dicapai secara efektif dan efisien. Setelah tugas mengatur dan mengawasi
perbankan dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, tugas BI dalam mengatur
dan mengawasi perbankan tetap berlaku, namun difokuskan pada aspek
makroprudensial sistem perbankan secara makro.125
Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan
melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam
undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan
tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak
atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga.
Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia
dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih
efektif dan efisien.
Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan
hukum perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik
Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang
merupakan pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat seluruh masyarakat
luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum perdata, Bank
Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di luar
pengadilan.

125
Tertera dalam "Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK)" Pasal 7. UU OJK dapat diakses di
http://www.bapepam.go.id/bapepamlk/others/UU-21-2011-OJK.pdf
63

1. Visi, Misi Dan Nilai Strategis126


a. Visi
Menjadi bank sentral yang berkontribusi secara nyata terhadap
perekonomian Indonesia dan terbaik diantara negara emerging markets.
b. Misi

1) Mencapai dan memelihara stabilitas nilai Rupiah melalui efektivitas


kebijakan moneter dan bauran kebijakan Bank Indonesia.
2) Turut menjaga stabilitas sistem keuangan melalui efektivitas
kebijakan makroprudensial Bank Indonesia dan sinergi dengan
kebijakan mikroprudensial Otoritas Jasa Keuangan.
3) Turut mengembangkan ekonomi dan keuangan digital melalui
penguatan kebijakan sistem pembayaran Bank Indonesia dan sinergi
dengan kebijakan Pemerintah serta mitra strategis lain.
4) Turut mendukung stabilitas makroekonomi dan pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan melalui sinergi bauran kebijakan Bank
Indonesia dengan kebijakan fiskal dan reformasi struktural
pemerintah serta kebijakan mitra strategis lain.
5) Memperkuat efektivitas kebijakan Bank Indonesia dan pembiayaan
ekonomi, termasuk infrastruktur, melalui akselerasi pendalaman
pasar keuangan.
6) Turut mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah di tingkat
nasional hingga di tingkat daerah.
7) Memperkuat peran internasional, organisasi, sumber daya manusia,
tata kelola dan sistem informasi Bank Indonesia.

126
Fungsi Bank Indonesia: Visi dan Misi, https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/fungsi-
bi/status/Contents/Default.aspx diakses pada 15 Novenber 2018
64

2. Struktur Organisasi Bank Indonesia


65

C. Profil Otoritas Jasa Keuangan (OJK)127


Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan lembaga independen dan bebas
dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan di sektor jasa keuangan.
1. Misi dan Visi OJK
a. Misi
1) Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
2) Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan
dan stabil; dan
3) Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
b. Visi
Menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang
terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, dan
mampu mewujudkan industri jasa keuangan menjadi pilar perekonomian
nasional yang berdaya saing keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2011 tentang OJK.

2. Tujuan OJK
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan :
a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel;
b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil, dan
c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat

127
lihat Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan Otoritas Jasa keuangan, Booklet
Perbankan Indonesia 2014, edisi 1 Maret 2014 ISSN : 1858 - 4233
66

3. Fungsi dan Tugas OJK


OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan
yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan. OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa
Keuangan lainnya.

4. Pengalihan Fungsi Perbankan dari BI ke OJK: Latar Belakang


Pengalihan Fungsi Pengaturan dan Pengawasan Perbankan
Untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh
secara berkelanjutan dan stabil diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel
serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat, sehingga diperlukan OJK yang memiliki fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor
jasa keuangan secara terpadu, independen dan akuntabel.
Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan - Kementerian Keuangan ke OJK.
Sejak 31 Desember 2013 fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan
pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari BI ke
OJK. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek
kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan
pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK.
Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential merupakan
67

tugas dan wewenang BI. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan


macroprudential, OJK berkoordinasi dengan BI untuk melakukan himbauan
moral (moral suasion) kepada Perbankan.

5. Peraturan OJK
OJK merupakan lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-
undang No.21 tahun 2011 tentang Otoritas Jassa Keuangan. OJK dalam
wewenangnya bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali undang undang
menentukan lain.128 Oleh karena itu OJK memiliki kekuasaan eksekutif,
legislattif, dan yudikatif.
Defenisi peraturan atau regulasi OJK secara umum tercantum dalam
pasal 1 angka 11 menyatakaan “peraturan OJK adalah peraturan tertulis yang
ditetapkan oleh dewan komisioner, mengikat secara umum, dan diundangkan
dalam lembara Negara Republik Indonesia.” Ketentuan tersebut tidak hanya
mencakup POJK, tapi juga SEOJK dan kodifikasi yang menjadi derivasi
POJK. Peraturan tersebut merupakan pelaksanaan amanat Pasal 4 BAB III
UU No.21 Tahun 2011
Secara khusus dalam pasal 8 disebutkan bahwa untuk melaksanakan
tugas pengaturan sebagaimana yang dimaksud pada pasal 6, OJK memiliki
wewenang: 1) menetapkan peraturan pelaksanan Unang-undang OJK, 2)
menetapkan peraturan perundang-undangan disektor jasa keuangan 3)
menetapkan peraturan dan keputusan OJK, 4) enetapkan peraturan mengenai
pengawaan sector jasa keuangan, 5) menetapkan kebijakan mengenai
pelaksanaan tugas OJK 6) menetapkan peraturan mengenai tata cara
penetapan perintahtertulis terhadap lembaga jasa keuangan dan pihak
tertentu, 7) menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola

128
Lihat juga pasal 2 angka 2 Undang-undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan
68

struktur pada lembaga jasa keuangan, 8) menetapkan struktur organsasi dan


infrastruktur, serta mengelola, memelihara dan menatausahakan kekayaan
dan kewajiban, 9) menetapkan peraturan mengenai tata cara penegnaan
sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di sector jasa
keuangan.
Dan meskipum OJK sebagai lembaga independen, dalam penetapkan
regulasi, OJK harus mematuhi rambu-rambu sebagaiman tertera dalam pasal
5 undang-undang No 12 tahun 2011 tentang pembentukan perundang-
undangan 1) kejelasan tujuan, b) kelembagaan atau pejabat pembentuk yang
tepat, 3) kesesuaian antara jenis hierarki dan materi muatan, 4) dapat
dilaksanakan, 5) kedayagunaan dan kehasilgunaan, 6) kejelasan rumusan, 7)
keterbukaan.
Secara umum, regulasi OJK memuat aspek kelembagaan, prudential,
pelaporan, dan perlindungan nasabah. Keempatnya merupakan kebutuhan
industry jasa keuangan syariah.

6. Struktur Organisasi Otoritas Jasa Keuangan


Struktur organisasi OJK terdiri atas Dewan Komisioner OJK dan Pelaksana
Kegiatan Operasional
a. Struktur dewan komisioner terdiri atas

1) Ketua merangkap anggota;


2) Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
3) Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
4) Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
5) Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap
anggota;
6) Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
69

7) Anggota yang membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen;


8) Anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota
Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
9) Anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan
pejabat setingkat Eselon I Kementerian Keuangan.

b. Pelaksanaan kegiatan operasional terdiri atas:

1) Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis


I;
2) Wakil Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen
Strategis II;
3) Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan memimpin bidang
Pengawasan Sektor Perbankan;
4) Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal memimpin bidang
Pengawasan Sektor Pasar Modal;
5) Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya memimpin
bidang Pengawasan Sektor IKNB;
6) Ketua Dewan Audit memimpin bidang Audit Internal dan
Manajemen Risiko; dan
7) Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan
Konsumen memimpin bidang Edukasi dan Perlindungan
Konsumen.
70

Tabel 1.2 Susunan Organisasi Otoritas Jasa Keuangan

Keterangan:

 ADK (Anggota Dewan Komisioner)


 SCPR (Strategic Committee dan Pusat Riset)
 DKPT (Deputi Komisioner Pengaturan dan Pengawasan Terintegrasi)
 DKST (Departemen SSK dan Statistik Sektor Jasa Keuangan)
 DP3T (Departemen Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan
Terintegrasi)
 GPTI (Grup Penelitian, Pengaturan, dan Pengembangan Pengawasan
Terintegrasi)
 GPUT (Grup Penanganan APU-PPT)
 DKPS (Deputi Komisioner Penyidikan, Organisasi, dan SDM)
 DOSM (Departemen Organisasi dan SDM)
71

 DPJK (Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan)


 DKML (Deputi Komisioner Manajemen Strategis dan Logistik)
 DMSP (Departemen Manajemen Strategis dan Perubahan)
 SKHI (Sekretariat Dewan Komisioner, Hubungan Masyarakat, dan
Internasional)
 DLOG (Departemen Logistik)
 DKIK (Deputi Komisioner Pengelolaan Sistem Informasi dan
Keuangan)
 DPSI (Departemen Pengelolaan Sistem Informasi)
 DKEU (Departemen Keuangan)
 DKHK (Deputi Komisioner Hukum)
 DHUK (Departemen Hukum)
 GPHK (Grup Penelitian dan Pengembangan Hukum Sektor Jasa
Keuangan)
 DKOI (Deputi Komisioner OJK Institute)
 DLAC (Departemen Learning dan Assesment Centre)
 GIKM (Grup Inovasi Keuangan Digital dan Pengembangan Keuangan
Mikro)
 DKAI (Deputi Komisioner Audit Internal dan Manajemen Risiko)
 DPAI (Departemen Audit Internal)
 DRPK (Departemen Manajemen Risiko dan Pengendalian Kualitas)
 GPAF (Grup Penanganan Anti Fraud)
 DKEP (Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen)
 DPLK (Departemen Perlindungan Konsumen)
 DLIK (Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan)
 DKB1 (Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I)
 DKB2 (Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II)
 DKB3 (Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III)
 DKB4 (Deputi Komisioner Pengawas Perbankan IV)
72

 DPNP (Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan)


 DPIP (Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan)
 DPBS (Departemen Perbankan Syariah)
 DPKP (Departemen Pengendalian Kualitas Pengawasan Perbankan)
 DPMK (Departemen Pengembangan Pengawasan dan Manajemen
Krisis)
 DKIP (Departemen Pemeriksaan Khusus dan Investigasi Perbankan)
 DPB1 (Departemen Pengawasan Bank 1)
 DPB2 (Departemen Pengawasan Bank 2)
 DPB3 (Departemen Pengawasan Bank 3)
 KR (Kantor Regional)
 DKM1 (Deputi Komisioner Pengawas PM I)
 DKM2 (Deputi Komisioner Pengawas PM II)
 DPM1 (Departemen Pengawasan PM 1A)
 DPM2 (Departemen Pengawasan PM 1B)
 DPM3 (Departemen Pengawasan PM 2A)
 DPM4 (Departemen Pengawasan PM 2B)
 DKI1 (Deputi Komisioner Pengawas IKNB I)
 DKI2 (Deputi Komisioner Pengawas IKNB II)
 DPI1 (Departemen Pengawasan IKNB 1A)
 DPI2 (Departemen Pengawasan IKNB 1B)
 DPI3 (Departemen Pengawasan IKNB 2A)
 DPI4 (Departemen Pengawasan IKNB 2B)
73

BAB IV
Regulasi Fatwa Tentang Akad Musyârakah Mutanâqisah
dalam Peraturan Perundang-undangan

Sebagaimana amanat undang-undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan


syariah, segala hal berkenaan kegiatan usaha ataupun produk dan jasa keuangan
syariah wajib dimintakan fatwa kepada DSN-MUI.129 Dan selain itu, MUI juga
berwenang membentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang di tempatkan di
masing-masing bank syariah dan unit usaha syariah (UUS) untuk memberikan
pengawasan terhadap praktik kepatuhan syariah (syariah compliance). Untuk
menindak lanjuti hal tersebut, implementasi fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI akan
diserap ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Indonesia,130 untuk itu di dalam
internal OJK dibentuk KPJKS (Komite Pengembangan Jasa Keuangan Syariah)131
yang diketuai oleh Ketua Dewan Komisioner OJK dengan anggota dari internal OJK
dan eksternal OJK meliputi Kementerian Agama, MUI dan unsur masyarakat lainnya.

129
Lihat undang-undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah pasal 26 ayat (2)
130
Sebelumnya, fatwa berkenaan dengan kegiatan usaha syariah diserap ke dalam peraturan
bank Indonesia (PBI) melalui KPS (Komite Perbankan Syariah). Adapun Ketentuan perbankan yang
dikeluarkan oleh otoritas perbankan sebelumnya (BI) tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan
belum diganti dengan ketentuan baru yang dikeluarkan oleh OJK. Wawancara dengan Sefrina widianti,
Deputi direktur devisi pengaturan departemen perbankan syariah OJK tanggal 24/05/2018
131
Dengan beralihnya otoritas perbankan dari BI kepada OJK per tanggal 31 Desember 2013,
termasuk terkait perbankan syariah menyebabkan organ yang selama ini ada di BI dalam membantu
pengaturan dan pengembangan perbankan syariah menjadi beralih juga kepada OJK. Organ dimaksud
adalah Komite Perbankan Syariah (KPS), yang dibentuk berdasarkan pasal 26 ayat (3) UU No. 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. OJK dengan kewenangan yang dimiliki, tidak hanya mengatur
dan mengawasi perbankan syariah namun meluas kepada Industri Keuangan Non Bank Syariah dan
Pasar Modal Syariah, sehingga Komite sejenis yang dibentuk di OJK perlu diperluas agar dapat
menjangkau sector jasa keuangan lainnya melalui pembentukan suatu Komite yang dinamakan dengan
Komite Pengembangan Jasa Keuangan Syariah (KPJKS). Tujuan pembentukan KPJKS adalah
membantu OJK dalam mengimplementasikan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) kedalam
peraturan OJK dan mengembangkan jasa keuangan syariah. Hasil Pelaksanaan tugas KPJKS
disampaikan kepada Dewan Komisioner OJK dalam bentuk rekomendasi KPJKS, dan dalam
pelaksanaan tugasnya KPJKS bertanggung jawab kepada Dewan Komisioner OJK. Lihat Undang-
undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan pasal 55 ayat (2); lihat juga Departemen
Perizinan dan Informasi Perbankan Otoritas Jasa keuangan, Booklet Perbankan Indonesia 2014, edisi 1
Maret 2014 ISSN : 1858 - 4233
74

Akad musyârakah mutanâqisah diatur oleh fatwa DSN-MUI No. 73/DSN-


MUI/XI/2008. Fatwa DSN-MUI mendefinisikan akad musyârakah mutanâqisah
sebagai musyarakah atau Syirkah yang kepemilikan asset (barang) atau modal salah
satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak
lainnya. Fatwa tentang akad musyârakah mutanâqisah terdiri dari ketentuan umum,
ketentuan akad, ketentuan hukum, ketentuan khusus, dan penutup. Bunyi fatwa
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ketentuan umum:
a. Musyârakah mutanâqisah adalah musyârakah atau Syirkah yang
kepemilikan asset (barang) atau modal salah satu pihak (syarîk) berkurang
disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya.
b. Syarîk adalah mitra, yakni pihak yang melakukan akad syirkah
(musyârakah).
c. Hissah adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah yang
bersifat musya‟.
d. Musyâ‟ adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah (milik
bersama) secara nilai dan tidak dapat ditentukan batas-batasnya secara fisik.
2. Ketentuan Hukum: Hukum musyârakah mutanâqisah adalah boleh.
3. Ketentuan Akad:
a. Akad musyârakah mutanâqisah terdiri dari akad Musyârakah / Syirkah dan
Bai‟ (jual-beli).
b. Dalam musyârakah mutanâqisah berlaku hukum sebagaimana yang diatur
dalam Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Musyârakah, yang para mitranya memiliki hak dan kewajiban, di antaranya:
1) Memberikan modal dan kerja berdasarkan kesepakatan pada saat akad.
2) Memperoleh keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati pada saat
akad.
3) Menanggung kerugian sesuai proporsi modal.
75

c. Dalam akad Musyarakah Mutanaqisah, pihak pertama (syarik) wajib berjanji


untuk menjual seluruh hishshah-nya secara bertahap dan pihak kedua
(syarik) wajib membelinya.
d. Jual beli sebagaimana dimaksud dalam angka 3 dilaksanakan sesuai
kesepakatan.
e. Setelah selesai pelunasan penjualan, seluruh hishshah LKS beralih kepada
syarik lainnya (nasabah).
4. Ketentuan Khusus
a. Aset musyârakah mutanâqisah dapat di-ijarah-kan kepada syarîk atau pihak
lain.
b. Apabila aset musyârakah menjadi obyek ijârah, maka syarîk (nasabah) dapat
menyewa aset tersebut dengan nilai ujrah yang disepakati.
c. Keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut dibagi sesuai dengan nisbah
yang telah disepakati dalam akad, sedangkan kerugian harus berdasarkan
proporsi kepemilikan. Nisbah keuntungan dapat mengikuti perubahan
proporsi kepemilikan sesuai kesepakatan para syarik.
d. Kadar/Ukuran bagian/porsi kepemilikan asset musyârakah syarîk (LKS)
yang berkurang akibat pembayaran oleh syarik (nasabah), harus jelas dan
disepakati dalam akad
e. Biaya perolehan aset musyârakah menjadi beban bersama sedangkan biaya
peralihan kepemilikan menjadi beban pembeli.
5. Penutup:
a. Jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
sesuai prinsip syariah.
b. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan
sebagaimana mestinya.
76

Enam tahun berikutnya DSN mengeluarkan Keputusan No.01 Tahun 2013


tentang Pedoman Implementasi Musyarakah Mutanaqishah dalam produk
pembiayaan.132 Keputusan DSN-MUI ini merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari Fatwa DSN No.73 Tahun 2008 tentang Musyarakah Mutanaqishah.
Isi fatwanya sebagai berikut:
1. Definisi Produk
Pembiayaan musyârakah mutanâqisah adalah produk pembiayaan
berdasarkan prinsip musyârakah, yaitu syirkah al-'inân, yang porsi (hissah)
modal salah satu syarik (Bank Syariah/LKS) berkurang disebabkan pengalihan
komersial secara bertahap (naql al-hissah bi al-'iwâd mutanâqisah) kepada
syarîk yang lain (nasabah).
2. Karakteristik Musyarakah Mutanaqishah
Semua rukun dan ketentuan yang ada dalam akad musyarakah,
sebagaimana fatwa DSN-MUl No. 8IDSN-MUIIIV/2000 tentang Pembiayaan
Musyarakah berlakujuga pada Musyarakah Mutanaqishah. Sedangkan ciri-ciri
khusus Musyarakah Mutanaqishah adalah sebagai berikut:
a. Modal usaha dari para pihak (Bank SyariahILembaga Keuangan Syariah
[LKS]) dan nasabah) harus dinyatakan dalam bentuk hishshah. Terhadap
modal usaha tersebut dilakukan tajzi'atul hishshah; yaitu modal usaha dicatat
sebagai hishshah (portion) yang terbagi menjadi unit-unit hishshah. Misalnya
modal usaha syirkah dari bank sebesar 80 juta rupiah dan dari nasabah sebesar
20 juta rupiah (modal usaha syirkah adalah 100 juta rupiah). Apabila setiap
unit hishshah disepakati bernilai 1 juta rupiah; maka modal usaha syirkah
adalah 100 unit hishshah.

132
Latar belakang dikeluarkan keputusan ini adalah karena variasi aplikasi akad di perbankan
syariah sebagai akibat dari beragamnya pemahaman dari masyarakat, praktisi perbankan, dan otoritas
terhadap fatwa No. 73/DSN-MUI/XI/2008 yang dikeluarkan sebelumnya. Keputusan ini diharapkan
bisa menjadi pedoman bagi perbankan syariah dalam imlementasi fatwa yang dikeluarkan
sebelumnya. Lihat Keputusan DSN-MUI No.01/DSN-MUI/X/2013 tentang Pedoman Implementasi
Musyarakah Mutanaqisah dalam produk pembiayaan.
77

b. Modal usaha yang telah dinyatakan dalam hishshah tersebut tidak boleh
berkurang selama akad berlaku secara efektif. Sesuai dengan contoh pada
huruf a, maka modal usaha syirkah dari awal sampai akhir adalah 100juta
rupiah (l00 unit hishshah).
c. Adanya wa 'd (janji).
Bank Syariah/LKS berjanji untuk mengalihkan seluruh hishshahnya secara
komersial kepada nasabah dengan bertahap
d. Adanya pengalihan unit hishshah
Setiap penyetoran uang oleh nasabah kepada Bank SyariahlLKS, maka nilai
yang jumIahnya sama dengan nilai unit hishshah, secara syariah dinyatakan
sebagai pengalihan unit hishshah Bank SyariahlLKS secara komersial (naqlul
hishshah bi 'iwadh), sedangkan nilai yang jumlahnya lebih _dari nilai unit
hishshah tersebut, dinyatakan sebagai bagi hasil yang menjadi hak Bank
Syariah/LKS.
3. Tujuan Produk
Menyediakan fasilitas pembiayaan kepada nasabah baik perorangan maupun
perusahaan dalam rangka memperoleh dan/atau menambah modal usaha dan/atau
aset (barang) berdasarkan sistem bagi hasil. Modal usaha yang dimaksud adalah
modal usaha secara umum yang sesuai syariah. Aset (barang) yang dimaksud
antara lain, namun tidak terbatas pada:
a. Properti (baru/bekas),
b. Kendaraan bermotor (baru/bekas),
c. Barang lainnya yang sesuai syariah (barulbekas).
4. Obyek Pembiayaan: Obyek pembiayaan adalah kegiatan usaha komersial yang
dijalankan dalam berbagai bentuk usaha yang sesuai dengan syariah, antara lain:
prinsip jual beli, bagi hasil, dan sewa menyewa.
5. Prinsip dan Ketentuan
Prinsip yang digunakan dalam produk ini adalah akad Musyarakah
Mutanaqishah. Syirkah dalam akad Musyarakah Mutanaqishah adalah syirkah
78

al- 'inân. Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan


Musyarakah Mutanaqishah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. Berlaku ketentuan hukum/prinsip syariah sebagaimana yang diatur dalam
fatwa DSN-MUI No.08/DSN-MUI/lV/2000 tentang Pembiayaan
Musyarakah;
b. Karakteristik sebagaimana angka 2 harus dituangkan secarajelas dalam akad;
c. Setelah seluruh proses pengalihan selesai, seluruh porsi modal (hishshah)
Bank Syariah/LKS beralih kepada nasabah;
d. Pendapatan Musyarakah Mutanaqishah berupa bagi hasil dapat berasal dari:
i. Margin apabila kegiatan usahanya berdasarkan prinsip jual beli;
ii. Bagi hasil apabila kegiatan usahanya berdasarkan musyarakah atau
mudharabah;
iii. Ujrah apabila kegiatan usahanya berdasarkan prinsip ijarah.
e. Nisbah keuntungan (bagi hasil) ditetapkan berdasarkan kesepakatan para
pihak dan dapat mengikuti perubahan proporsi kepemilikan modal;
f. Proyeksi keuntungan dalam pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah dapat
didasarkan pada pendapatan masa depan (future income) dari kegiatan
Musyarakah Mutanaqishah, pendapatan proyeksi (projected income) yang
didasarkan kepada pendapatan historis (historical income) dari kegiatan
Musyarakah Mutanaqishah atau dasar lainnya yang disepakati. Para pihak
dapat menyepakati nisbah keuntungan tanpa menggunakan proyeksi
keuntungan;
g. Dalam hal kegiatan usaha Musyarakah Mutanaqishah menggunakan prinsip
sewa menyewa (ijarah), maka obyek yang dibiayai dengan akad Musyarakah
Mutanaqishah dapat diambil manfaatnya oleh nasabah seJaku pengguna atau
pihak lain dengan membayar ujrah yang disepakati. Apabila nasabah
menggunakan obyek Musyarakah Mutanaqishah, maka nasabah adalah pihak
yang mengambil manfaat dari obyek tersebut (intifa' bil ma'jur) dan
karenanya harus membayar ujrah;
79

h. Dalam hal kegiatan usaha Musyarakah Mutanaqishah menggunakan prinsip


sewa menyewa (ijarah) dan obyek ijarah yang dibiayai dalam proses
pembuatan pada saat akad (indent), maka seluruh rincian kriteria, spesifikasi,
dan waktu ketersediaan obyek harus disepakati dan dinyatakan secara jelas,
baik kualitas maupun kuantitasnya ima'luman mawshufan mundhabithan
munafiyan lil jahalah) dalam akad sehingga tidak menimbulkan ketidak-
pastian (gharar) dan perselisihan (niza ');
i. Dalam hal kegiatan usaha Musyarakah Mutanaqishah menggunakan prinsip
sewa menyewa (ijarah), obyek pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah boleh
diatas namakan nasabah secara langsung atas persetujuan Bank SyariahILKS;
j. Nasabah boleh melakukan pengalihan hishshah bank syariahILKS sesuai
dengan jangka waktu yang disepakati atau dengan jangka waktu dipercepat
atas persetujuan Bank SyariahlLKS.
6. Ketentuan Khusus Indent
Khusus untuk kegiatan usaha Musyarakah Mutanaqishah yang menggunakan
prinsip sewa menyewa (ijarah) dimana obyek yang dibiayai masih dalam proses
pembuatan (indent) berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Obyek Musyarakah Mutanaqishah
Yang dimaksud dengan ketersediaan obyek harus disepakati dan dituangkan
secara jelas, baik kuantitas maupun kualitas ima'luman mawshufan
mundhabithan : munafiyan liljahalah) sebagaimana angka 5 hurufh adalah:
i. Jangka waktu penyerahan obyek pembiayaan Musyarakah
Mutanaqishah harus ditentukan secarajelas.
ii. Kuantitas dan kualitas ditetapkan dan disepakati secara jelas
iii. Ketersediaan obyek diketahui dengan jelas paling tidak:
 Sebagian besar obyek Musyarakah Mutanaqishah dalam bentuk
80

 bangunan/fisik sudah ada pada saat akad dilakukan, tetapi


penyerahan keseluruhan obyek Musyarakah Mutanaqishah
dilakukan pad a masa yang akan datang sesuai kesepakatan.
 Kepastian keberadaan obyek Musyarakah Mutanaqishah harus
sudah jelas dan telah menjadi milik developer/suplier serta bebas
sengketa.
b. Pengakuan Pendapatan Musyarakah Mutanaqishah Dalam hal sumber
pendapatan Musyarakah Mutanaqishah berasal dari ujrah sebagaimana
dimaksud pada angka 5 huruf d butir iii yang obyek Musyarakah
Mutanaqishah belum tersedia seluruhnya, maka Bank Syariah/LKS dapat
mengakui pendapatan apabila tanah dan infrastruktur telah tersedia, sebagian
besar bangunan sudah ada pada saat akad dan bebas sengketa.
7. Ketentuan Lain:
a. Denda dan Ganti Rugi
1) Bank Syariah ILKS diperkenankan untuk mengenakan sanksi kepada
nasabah mampu yang rnenunda-nunda pembayaran angsuran. Sanksi
dapat berupa:
 Denda keterlambatan (ta'zir), yang akan diakui sebagai dana kebaj
ikan.
 Ganti kerugian (ta'widhi, yang terdiri atas biaya penagihan dan
biaya eksekusi barang.
2) Biaya denda keterlambatan dan ganti kerugian yang berupa biaya
penagihan akan dikenakan sejumlah dana atau persentase yang dihitung
berdasarkan biaya historis nyata (real historical cost) dengan mengacu
kepada substansi fatwa DSN No. 43/DSN-MUINIII/2004 tentang Ganti
Rugi (ta'widh).
b. Pelunasan Dipercepat
81

1) Dalam hal terjadi percepatan pengalihan hishshah, maka yang menjadi


kewajiban nasabah adalah sisa total kewajiban Musyarakah
Mutanaqishah yang meliputi:
i. Sisa hishshah Bank SyariahlLKS (outstanding pokok) yang belum
diambil alih oleh nasabah.
ii. Sisa pendapatan yang belum diselesaikan oleh nasabah
sebagaimana diperjanjikan dalam akad.
2) Bank SyariahiLKS boleh melakukan discount (tanazulul haqq) dalam hal
terjadi kondisi sebagaimana dalam huruf c, butir ii.
c. Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah
1) Pembiayaan bermasalah dapat diselesaikan oleh para pihak melalui
musyawarah mufakat dengan cara penjadwalan kembali (rescheduling),
penambahan syarat baru (reconditioning), maupun penggunaan struktur
baru (restructuring).
2) Bank Syariah/LKS dapat melakukan penyelesaian (settlement)
Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah bagi nasabah yang tidak
menyelesaikan atau melunasi pernbiayaannya sesuai jumlah dan waktu
yang telah disepakati, dengan ketentuan:
i. Aset Musyarakah Mutanaqishah atau jaminan lainnya dijual oleh
nasabah rnelalui Bank Syariah/LKf dengan harga yang disepakati;
ii. Nasabah melunasi sisa kewajibannya kepada Bank SyariahlLKS
dari hasil penjualan;
iii. Apabila hasil _penjualan melebihi sisa utang, rnaka Bank
Syariah/LKS mengembalikan sisanya kepada nasabah;
iv. Apabila hasil penjualan lebih keeil dari sisa utang maka sisa utang
tetap menjadi utang nasabah;
v. Apabila nasabah tidak mampu membayar sisa utangnya, maka
Bank Syariah/LKS dapat membebaskannya berdasarkan kebijakan
Bank Syariah/LKS.
82

Pedoman implementasi fatwa DSN No.01 Tahun 2013 dibanding dengan


Keputusan DSN No.73 Tahun 2008 memiliki kekhususan sebagai berikut:
1. Dalam fatwa DSN No. 73 Tahun 2008 tidak terdapat karakter akad Musyârakah
Mutanâqisah yang bersifat detail, hal ini akan dijumpai pada keputusan DSN
No.01 Tahun 2013, yaitu:
a. Modal usaha dari para pihak harus dinyatakan dalam bentuk hissah.
b. Modal usaha yang dinyatakan dalam hissah tidak boleh berkurang selama
akad berlaku efektif
c. Adanya janji dari mitra untuk mengalihkan seluruh hissah secara komersil
kepada nasabah secara bertahab
d. Adanya pengalihan unit secara bertahap
e. Setiap penyetoran uang oleh nasabah kepada bank syariah terdiri dari dua
bagian, yaitu pembelian hissah dan pembayaran ujrah
2. Ketentuan mengenai hissah menunjukkan bahwa modal usaha harus berupa
barangm kemudian barang tersebut menjadi underlying hissah yang dapat
diperjual-belikan
3. Dalam pedoman implementasi terdapat janji dari nasabah untuk membeli hissah
milik bank; pembayaran harga hissah secara bertahap dan pembayaran bagi hasil
(ujrah) karena berasal dari akad ijârah.
4. Jumlah modal usaha musyârakah mutanâqisah harus stagnan dari awal hingga
akhir masa akad. Yang berubah adalah porsi modal usaha masing-masing mitra.
5. Dalam pedoman implementasi fatwa diperkenalkan akad baru, yaitu akad ijârah
mausûfah fî al-dzimmah yang membolehkan barang sewaan belum berwujud
pada saat akad ijârah dilakukan, dan pihak yang menyewakan sudah berhak
mendapatkan ujrah meskipun barang sewa belum wujud
Perlu dicatat juga di sini, bahwa ada 9 fatwa lain yang dikeluarkan oleh DSN-
MUI untuk melengkapi fatwa di atas, yaitu fatwa DSN No. 08 Tahun 2000 tentang
pembiayaan musyârakah, fatwa DSN No. 43 Tahun 2004 tentang kebolehan bagi
LKS untuk mengenakan denda pada nasabah yang menunda-nunda pembayaran
83

padahal mampu, fatwa DSN No.17 Tahun 2000 mengenai kebolehan bagi LKS
mengenakan sanksi atas nasabah yang mampu namun menunda-nunda pembayaran,
fatwa DSN No. 89 Tahun 2013 mengenai kebolehan LKS melakukan pembiayaan
baru (refinancing) bagi nasabah baru atau nasabah yang belum melunasi pembiayaan
sebelumnya, Fatwa tentang line facility DSN No. 45 Tahun 2005 mengenai suatu
bentuk fasilitas plafon pembiayaan bergulir dalam jangka waktu tertentu dengan
ketentuan yang disepakati dan mengikat secara moral, fatwa DSN No. 55 Tahun
2007 mengenai fasilitas pembiayaan rekening koran dengan ketentuan yang
disepakati yang dilakukan berdasarkan akad musyarakah dan boleh disertai dengan
wa‟d, Pernyataan Kesesuian Syariah DSN-MUI No.U-257 Tahun 2014 tentang
Penjelasan butir 6 huruf a dalam Keputusan DSN No. 01 Tahun 2013 tentang
Pedoman Implementasi Musyarakah Mutanaqishah dalam produk pembiayaan, fatwa
DSN-MUI No. 27 Tahun 2002 tentang kebbolehan membuat perjanjian sewa-
menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa,
kepada penyewa, setelah selesai masa sewa, fatwa DSN-MUI No. 85 Tahun 2012
mengenai kelaziman mebuat Janji (wa'd) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah
dan wajib dipenuhi oleh wâ'id. Lima fatwa DSN di atas menyatakan bahwa jika
terjadi perselisihan antara LKS dan nasabah, maka penyelesainnya dibawa ke Badan
Abitrase Nasional, sedangkan tiga lainnya menyatakan penyelesaian perselisihan di
pengadilan negri atau lembaga yang berdasarkan prinsip syariah. Lima fatwa DSN
pertama yang menyatakan demikian tersebut diketahui diterbitkan antara tahun 2000
hingga 2005 sebelum diterbitkannya peraturan No.3 Tahun 2006 tentang kewenangan
pengadilan agama menangani masalah ekonomi syariah.
Sebagai bahan perbandingan, selanjutnya akan disajikan isi ketentuan dari PBI
/ SEBI disusul isi ketentuan dari POJK / SEOJK.
84

A. Regulasi Akad Musyârakah Mutanâqisah dalam Surat Edaran Indonesia


(SEBI)
Akad musyârakah mutanâqisah merupakan salah satu produk jasa
perbankan syariah dalam hal pembiayaan untuk pemilikan rumah syariah dan
kendaraan bermotor. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 19 ayat (1)
huruf c Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, yang
berbunyi: “Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi: menyalurkan
pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudârabah, akad musyârakah, atau
akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah”. Dalam ayat tidak
disebutkan secara eksplisit mengenai akad musyârakah mutanâqisah, karena
memang Undang-undang Tentang Perbankan Syariah menghendakinya secara
umum, mencakup semua akad yang sesuai dengan syariah, sehingga walaupun
tidak disebutkan secara langsung, akad musyârakah mutanâqisah otomatis
terakomodir di dalamnya. Ditambah lagi Undang-undang Tentang Perbankan
Syariah tersebut terbit lebih dulu (pada tanggal 18 Juli 2008) hampir bersamaan
saat akad musyârakah mutanâqisah difatwakan oleh DSN-MUI pada 14
Novenber 2008.
Sehubungan dengan implementasi undang-undang No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, Bank Indonesia telah menerbitkan berbagai Peraturan
Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) yang berkaitan
dengan pembiayaan syariah di perbankan syariah. Namun peraturan mengenai
akad musyârakah mutanâqisah yang dibuat oleh BI hanya ada dalam dalam
bentuk surat edaran. Artinya, tidak ada satu pun PBI yang secara khusus
mengatur tentang akad musyârakah mutanâqisah.
Penggunaan akad musyârakah mutanâqisah dalam produk pembiayaan
syariah ini, yaitu pada produk penyaluran dana berupa pembiayaan KPR dan
kendaraan bermotor. Produk ini secara teknis tidak diatur dalam PBI tertentu,
tetapi secara tersirat telah diatur dalam PBI No.10/17/PBI/2008 Tentang Produk
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dan PBI No.13/23/PBI/2011 Tentang
85

Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah. Dalam pasal 1 ayat (5) PBI No.10/17/PBI/2008 menyatakan produk
bank sebagai produk yang dikeluarkan oleh bank baik di sisi penghimpunan dana
maupun penyaluran dana serta jasa yang sesuai dengan prinsip syariah, antara
lain akad produk KPR iB. Sedangkan mengenai komponen-komponen apa saja
yang harus dipenuhi dalam KPR iB berdasarkan akad musyârakah mutanâqisah
diatur dalam SEBI No.14/33/DPbs Jakarta, 27 Novenber 2012.
Dalam perkembangannya, peraturan tersebut dicabut, sehingga pengaturan
tentang akad musyârakah mutanâqisah mengacu kepada Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank
Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/25/PBI/2009, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tentang
Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Sebagaimana dalam PBI sebelumnya, Pengaturan tentang aplikasi akad
musyârakah mutanâqisah juga tidak dijumpai pada peraturan penggantinya, yaitu
PBI No.11/25/PBI/2009 dan No.13/23/PBI/2011. PBI hanya menjelaskan hal-hal
yang umum yang berkaitan dengan pelaksanaan prinsip syariah baik pada
karakteristik produk maupun operasional bank syariah, sedangkan teknis
pelaksanaannya diatur dalam bentuk surat edaran.133
Aturan pelaksananya tertuang dalam SEBI No.15/40/DKMP Jakarta, 24
September 2013. SEBI ini membicarakan tentang kebijakan yang harus
dilakukan oleh bank dalam rangka meningkatkan kehati-hatian dalam pemberian
kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit konsumsi beragun properti,
dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor, serta kebijakan untuk
memperkuat ketahanan sektor keuangan dilakukan melalui penetapan besaran

133
Menurut Sefina, hal ini dikarenakan pihak yang memiliki otoritas tidak memiliki cukup
waktu dan kesempatan untuk merubahnya, ia juga menambahakan bahwa selama belum dibuat
peraturan baru, bukan berarti kasus baru tidak bisa diterapkan, karena OJK (dulu kewenangan BI) akan
menerbitkan peraturan dalam bentuk surat edaran. Wawancara dengan Sefina widianti, Deputi
direktur devisi pengaturan departemen perbankan syariah OJK tanggal 24/05/2018
86

loan to value atau financing to value134 untuk kredit atau pembiayaan pemilikan
properti dan kredit atau pembiayaan konsumsi beragun properti, serta down
payment untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor. Berikut isi
pernyataan-pernyataan dalam Surat Edaran tersebut:
1. Ketentuan Umum
a. Sejalan dengan tingginya pertumbuhan kredit atau pembiayaan pemilikan
properti, kredit atau pembiayaan konsumsi beragun properti, dan kredit
atau pembiayaan kendaraan bermotor yang berpotensi menimbulkan
berbagai Risiko maka Bank perlu meningkatkan kehati-hatian dalam
penyaluran kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit atau
pembiayaan konsumsi beragun properti, dan kredit atau pembiayaan
kendaraan bermotor.
b. Pertumbuhan kredit atau pembiayaan pemilikan properti dan kredit atau
pembiayaan konsumsi beragun properti yang terlalu tinggi dapat
mendorong peningkatan harga aset properti yang tidak mencerminkan
harga yang sebenarnya sehingga meningkatkan Risiko Kredit bagi Bank
dengan eksposur kredit atau pembiayaan properti yang besar.
c. Dalam rangka menjaga perekonomian yang produktif dan mampu
menghadapi tantangan di sektor keuangan, perlu adanya kebijakan yang
dapat memperkuat sektor keuangan untuk meminimalisir sumber-sumber
kerawanan yang mungkin timbul, termasuk pertumbuhan kredit atau
pembiayaan pemilikan properti, kredit atau pembiayaan konsumsi beragun
properti, dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor yang berlebihan.
d. Kebijakan dalam rangka meningkatkan kehati-hatian Bank dalam
pemberian kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit konsumsi
beragun properti, dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor, serta

134
Selanjutnya disebut LTV atau FTV, adalah angka rasio antara nilai kredit atau pembiayaan
yang dapat diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan harga penilaian terakhir.
87

kebijakan untuk memperkuat ketahanan sektor keuangan dilakukan


melalui penetapan besaran loan to value atau financing to value untuk
kredit atau pembiayaan pemilikan properti dan kredit atau pembiayaan
konsumsi beragun properti, serta down payment untuk kredit atau
pembiayaan kendaraan bermotor.
2. Cakupan Pengaturan
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
a. Bank Umum, yang selanjutnya disebut Bank, adalah Bank Umum
Konvensional termasuk Unit Usaha Syariah, dan Bank Umum Syariah.
b. Properti terdiri dari rumah tapak, rumah susun, rumah toko, dan rumah
kantor.
c. Rumah Tapak adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal
yang merupakan kesatuan antara tanah dan bangunan dengan bukti
kepemilikan berupa surat keterangan, sertifikat,natau akta yang
dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang.
d. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam
suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan
secara fungsional baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan
merupakan satuan-satuan yang masingmasing dapat dimiliki dan
digunakan secara terpisah, antara lain griya tawang, kondominium,
apartemen, dan flat
e. Rumah Kantor atau Rumah Toko adalah tanah berikut bangunan yang
izin pendiriannya sebagai rumah tinggal sekaligus untuk tujuan komersial
antara lain perkantoran, pertokoan, atau gudang.
f. Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti yang selanjutnya disebut KPP
atau KPP iB adalah kredit atau pembiayaan yang diberikan bank untuk
pembelian Rumah Tapak, Rumah Susun, Rumah Toko dan/atau Rumah
Kantor.
88

g. Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Rumah, yang selanjutnya disebut KPR


atau KPR iB, adalah kredit atau pembiayaan yang ditujukan untuk
pembelian Rumah Tapak.
h. Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Rumah Susun, yang selanjutnya
disebut KPRS atau KPRS iB, adalah kredit atau pembiayaan yang
ditujukan untuk pembelian Rumah Susun.
i. Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Rumah Kantor, yang selanjutnya
disebut KPRukan atau KPRukan iB adalah kredit atau pembiayaan yang
ditujukan untuk pembelian Rumah Kantor
j. Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Rumah Toko, yang selanjutnya
disebut KPRuko atau KPRuko iB adalah kredit atau pembiayaan yang
ditujukan untuk pembelian Rumah Toko.
k. Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, yang selanjutnya
disebut KKBP atau KKBP iB adalah kredit atau pembiayaan konsumsi di
luar KPP atau KPP iB dengan agunan berupa Properti.
l. Rasio Loan to Value atau Financing to Value, yang selanjutnya disebut
LTV atau FTV, adalah angka rasio antara nilai kredit atau pembiayaan
yang dapat diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan berupa Properti
pada saat pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan harga penilaian
terakhir.
m. Musyarakah Mutanaqisah, yang selanjutnya disebut MMQ, adalah
musyarakah atau syirkah dalam rangka kepemilikan Properti antara Bank
dengan nasabah, dimana penyertaan kepemilikan Properti oleh Bank akan
berkurang yang disebabkan pembelian secara bertahap oleh nasabah.
n. Uang Jaminan, yang selanjutnya disebut Deposit, adalah uang yang harus
diserahkan oleh nasabah kepada Bank dalam rangka kepemilikan Properti
yang dilakukan dengan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT).
89

o. Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor, yang selanjutnya disebut


KKB atau KKB iB, adalah kredit atau pembiayaan yang diberikan Bank
untuk pembelian kendaraan bermotor.
p. Uang Muka Kredit atau Pembiayaan atau Down Payment, yang
selanjutnya disingkat DP, adalah pembayaran di muka secara tunai yang
sumber dananya berasal dari debitur atau nasabah (self financing) dalam
rangka pembelian kendaraan bermotor melalui fasilitas kredit atau
pembiayaan
3. Penerapan Manajemen Risiko dan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Pemberian
Kredit Atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit Atau Pembiayaan
Konsumsi Beragun Properti, Dan Kredit Atau Pembiayaan Kendaraan
Bermotor Bank yang menyalurkan KPP atau KPP iB, KKBP atau KKBP iB,
dan KKB atau KKB iB wajib:
a. menerapkan Manajemen Risiko sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen
Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 dan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, mengingat adanya berbagai
Risiko yang melekat pada aktivitas tersebut, terutama Risiko Kredit dan
Risiko Likuiditas;
b. menyusun kebijakan dan prosedur secara tertulis yang akan menjadi acuan
dalam pemberian KPP atau KPP iB, KKBP atau KKBP iB, dan KKB atau
KKB iB dengan berpedoman pada:
1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003
tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/25/PBI/2009;
90

2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tanggal 2 November


2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah;
3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tanggal 25
September 2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah;
4) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tanggal 7 Desember
2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah;
5) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR
tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan
Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank Umum;
6) Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/31/DPbS tanggal 7 Oktober
2008 perihal Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah
7) Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/38/DPNP tanggal 31
Desember 2010 perihal Pedoman Penyusunan Standard Operating
Procedure Administrasi Kredit Pemilikan Rumah dalam Rangka
Sekuritisasi;
8) Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/6/DPNP tanggal 18 Februari
2011 perihal Pedoman Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko
untuk Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar; dan
9) Surat Edaran Bank Indonesia ini.
4. Pengaturan ltv atau ftv pada kredit atau pembiayaan pemilikan properti dan
kredit atau pembiayaan konsumsi beragun property
a. Ruang lingkup pengaturan yang diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia ini mencakup KPP atau KPP iB dan KKBP atau KKBP iB.
b. Perhitungan nilai kredit atau pembiayaan dan nilai agunan dalam
perhitungan LTV atau FTV untuk :
1) Bank Umum Konvensional
91

a) Nilai kredit ditetapkan berdasarkan plafon kredit yang diterima


oleh debitur sebagaimana tercantum dalam perjanjian kredit.
b) Nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran Bank terhadap
Properti yang menjadi agunan. Bank dalam melakukan taksiran
dapat menggunakan penilai intern Bank atau penilai independen
dengan berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia mengenai
penilaian kualitas aset Bank umum.
2) Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
a) Nilai pembiayaan berdasarkan akad murabahah atau akad istishna‟
ditetapkan berdasarkan harga pokok pembiayaan yang diberikan
kepada nasabah sebagaimana tercantum dalam akad pembiayaan.
b) Nilai pembiayaan berdasarkan akad MMQ ditetapkan berdasarkan
penyertaan Bank dalam rangka kepemilikan Properti sebagaimana
tercantum dalam akad pembiayaan
c) Nilai pembiayaan berdasarkan akad IMBT ditetapkan berdasarkan
hasil pengurangan harga Properti dengan Deposit sebagaimana
tercantum dalam akad pembiayaan.
d) Nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran Bank terhadap
Properti yang menjadi agunan. Bank dalam melakukan taksiran
dapat menggunakan penilai intern Bank atau penilai independen
dengan berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia mengenai
penilaian kualitas aktiva bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah.
c. LTV atau FTV untuk Bank yang memberikan kredit atau pembiayaan
sebagaimana dalam huruf A ditetapkan paling tinggi sebagai berikut:
1) Fasilitas kredit atau pembiayaan pertama sebesar:
a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KPR dan KPRS, serta KPR iB dan
KPRS iB berdasarkan akad murabahah atau akad istishna‟, dengan
luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi).
92

b) 80% (delapan puluh persen) untuk:


i. KPRS dan KPRS iB berdasarkan akad murabahah atau
akad istishna‟ dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh
dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi); dan
ii. 2) KPR iB dan KPRS iB berdasarkan akad MMQ atau akad
IMBT dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh
meter persegi).
iii. 90% (sembilan puluh persen) untuk KPRS iB berdasarkan
akad MMQ atau akad IMBT dengan luas bangunan dari
22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi).
2) Fasilitas kredit atau pembiayaan kedua sebesar:
a) 60% (enam puluh persen) untuk KPR dan KPRS, serta KPR iB dan
KPRS iB berdasarkan akad murabahah atau akad istishna‟, dengan
luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi).
b) 70% (tujuh puluh persen) untuk :
i. KPR dan KPR iB berdasarkan akad murabahah atau akad
istishna‟, dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua
meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi);
ii. KPRS dan KPRS iB berdasarkan akad murabahah atau
akad istishna‟, dengan luas bangunan sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi);
iii. KPR iB dan KPRS iB berdasarkan akad MMQ atau akad
IMBT dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh pulu
meter persegi); dan
iv. KPRuko dan KPRukan, serta KPRuko iB dan KPRukan iB
berdasarkan akad murabahah atau akad istishna‟.
93

c) 80% (delapan puluh persen) untuk :


i. KPR iB berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT dengan
luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
ii. KPRS iB berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT dengan
luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi); dan
iii. KPRuko iB dan KPRukan iB berdasarkan akad MMQ atau
akad IMBT.
3) Fasilitas kredit atau pembiayaan ketiga dan seterusnya sebesar:
a) 50% (lima puluh persen) untuk KPR dan KPRS, serta KPR iB dan
KPRS iB berdasarkan akad murabahah atau akad istishna‟, dengan
luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi).
b) 60% (enam puluh persen) untuk :
i. KPR dan KPR iB berdasarkan akad murabahah atau akad
istishna‟, dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua
meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi);
ii. KPRS dan KPRS iB berdasarkan akad murabahah atau
akad istishna‟, dengan luas bangunan sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi);
iii. KPR iB dan KPRS iB berdasarkan akad MMQ atau akad
IMBT dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh
meter persegi); dan
iv. KPRuko dan KPRukan, serta KPRuko iB dan KPRukan iB
berdasarkan akad murabahah atau akad istishna‟.
c) 70% (tujuh puluh persen) untuk :
94

i. KPR iB berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT dengan


luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
ii. KPRS iB berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT dengan
luas bangunan sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi); dan
iii. KPRuko iB dan KPRukan iB berdasarkan akad MMQ atau
akad IMBT.
4) Penentuan urutan fasilitas kredit atau pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam angka 1, angka 2, dan angka 3 harus
memperhitungkan seluruh fasilitas KPP atau KPP iB dan KKBP atau
KKBP iB yang telah diterima debitur atau nasabah di Bank yang sama
maupun Bank lainnya.
5) Contoh perhitungan dan penetapan LTV atau FTV untuk :
i. KPP atau KPP iB sebagaimana tercantum pada Lampiran I;
dan
ii. KKBP atau KKBP iB sebagaimana tercantum pada Lampiran
II,

yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank


Indonesia ini.

d. Dalam hal perjanjian KPP atau KPP iB antara Bank dan debitur atau
nasabah mengikat lebih dari 1 (satu) unit Properti pada saat bersamaan
dan/atau beberapa perjanjian KPP atau KPP iB terhadap beberapa Properti
yang dilakukan pada tanggal yang sama, maka perhitungan LTV atau FTV
berlaku ketentuan sebagai berikut.
95

1) Bank wajib menetapkan urutan fasilitas kredit atau pembiayaan


berdasarkan urutan nilai agunan dimulai dari nilai agunan yang paling
rendah.
2) Penentuan urutan fasilitas kredit atau pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam butir C.1, butir C.2, dan butir C.3 harus
memperhitungkan seluruh fasilitas KPP atau KPP iB dan KKBP atau
KKBP iB yang telah diterima debitur atau nasabah di Bank yang sama
maupun Bank lainnya.
3) Perhitungan LTV atau FTV dilakukan dengan mengacu pada butir
C.1, butir C. 2, dan butir C.3.
4) Bank memberitahukan penentuan urutan fasilitas kredit atau
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 kepada calon
debitur atau nasabah atau debitur atau nasabah secara tertulis.
5) Contoh penentuan urutan fasilitas kredit atau pembiayaan
sebagaimana tercantum pada Lampiran III yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
e. Dalam rangka memenuhi ketentuan LTV atau FTV dalam Surat Edaran
ini, berlaku ketentuan sebagai berikut :
1) Bank meminta kepada calon debitur atau nasabah tambahan dokumen
berupa surat pernyataan yang paling kurang memuat keterangan
mengenai fasilitas KPP atau KPP iB dan/atau KKBP atau KKBP iB
yang sudah diterima maupun yang sedang dalam proses pengajuan
permohonan baik di Bank yang sama maupun di Bank lain.
2) Apabila calon debitur atau nasabah tidak bersedia menyerahkan surat
pernyataan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 maka Bank wajib
menolak permohonan fasilitas kredit atau pembiayaan yang diajukan.
3) Bank mencantumkan klausula dalam perjanjian kredit atau
pembiayaan sebagai berikut :
96

“Dalam hal debitur atau nasabah menyampaikan pernyataan yang


tidak benar maka debitur atau nasabah bersedia melaksanakan
langkah-langkah yang ditetapkan oleh Bank dalam rangka pemenuhan
ketentuan Bank Indonesia mengenai LTV atau FTV”
4) Bank memperlakukan debitur atau nasabah suami dan istri sebagai 1
(satu) debitur atau nasabah kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta
yang disahkan oleh notaris. Dalam hal Bank memberikan :
a) fasilitas kredit tambahan dari fasilitas kredit yang masih berjalan
(top up); atau
b) fasilitas pembiayaan baru berdasarkan Properti yang masih
menjadi agunan dari fasilitas KPP iB sebelumnya;

berlaku ketentuan sebagai berikut :

a) pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan tersebut diperlakukan


sebagai pemberian kredit atau pembiayaan baru;
b) perhitungan LTV atau FTV diperlakukan sebagai urutan fasilitas
kredit atau pembiayaan berikutnya; dan
c) jumlah fasilitas kredit tambahan atau pembiayaan baru yang
diberikan oleh Bank paling banyak sebesar selisih antara hasil
perhitungan LTV atau FTV berdasarkan nilai properti yang
menjadi agunan dengan baki debet dari fasilitas kredit atau
pembiayaan sebelumnya yang menggunakan agunan yang sama.
5) Contoh perhitungan dalam angka 4 dan angka 5 sebagaimana
tercantum pada Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
f. Dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian KPP
atau KPP iB dan KKBP atau KKBP iB, Bank melakukan halhal sebagai
berikut :
97

1) Bank dilarang memberikan fasilitas kredit atau pembiayaan untuk


pemenuhan uang muka pembelian Properti yang dibiayai dengan KPP
atau KPP iB dan/atau KKBP atau KKBP iB.
2) Bank hanya dapat memberikan fasilitas KPP atau KPP iB jika Properti
yang dijadikan agunan telah tersedia secara utuh, yaitu telah terlihat
wujud fisiknya sesuai yang diperjanjikan dan siap diserahterimakan.
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dikecualikan untuk
pemberian fasilitas KPP atau KPP iB yang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a) fasilitas KPP atau KPP iB merupakan fasilitas KPP atau KPP iB
pertama bagi debitur atau nasabah dari seluruh fasilitas yang
diterima baik di Bank yang sama maupun Bank lainnya;
b) adanya perjanjian kerjasama antara Bank dengan pengembang
yang paling kurang memuat kesanggupan pengembang untuk
menyelesaikan Properti sesuai dengan yang diperjanjikan dengan
debitur atau nasabah;
c) adanya jaminan (corporate guarantee) dari pengembang kepada
Bank bahwa pengembang akan menyelesaikan kewajiban kepada
debitur atau nasabah penerima fasilitas KPP atau KPP iB apabila
Properti tidak dapat diselesaikan dan/atau tidak diserahterimakan
sesuai perjanjian;
d) pencairan fasilitas KPP atau KPP iB hanya dapat dilakukan secara
bertahap sesuai perkembangan pembangunan Properti yang
menjadi agunan. Laporan perkembangan pembangunan Properti
tersebut berdasarkan laporan dari:
i. pengembang, apabila nilai kredit atau pembiayaan untuk 1
(satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara
keseluruhan pada proyek yang sama sampai dengan
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau
98

ii. penilai independen, apabila nilai kredit atau pembiayaan


untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara
keseluruhan pada proyek yang sama di atas
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), yang telah
diverifikasi kebenarannya oleh Bank; dan
e) apabila pengembang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan
dari Bank, dan pengembang tidak dapat menyelesaikan
pembangunan Properti dalam waktu yang telah diperjanjikan maka
Bank menurunkan kualitas kredit atau pembiayaan kepada
pengembang tersebut.
4) Ketentuan dalam angka 2 dan angka 3 berlaku untuk semua jenis dan
tipe Properti.
5) Contoh penerapan ketentuan dalam angka 2 dan angka 3 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
g. Pengaturan mengenai LTV atau FTV sebagaimana dimaksud dalam huruf
C, huruf D, huruf E, dan huruf F dikecualikan terhadap KPP atau KPP iB
dalam rangka pelaksanaan Program Perumahan Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku, sepanjang didukung dengan dokumen yang
menyatakan bahwa fasilitas kredit atau pembiayaan tersebut merupakan
Program Perumahan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.
5. Pengaturan Down Payment Pada Kredit Atau Pembiayaan Kendaraan
Bermotor
a. Ruang lingkup KKB atau KKB iB dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini
mencakup kredit atau pembiayaan yang diberikan Bank kepada debitur
atau nasabah untuk pembelian kendaraan bermotor.
b. DP ditetapkan sebesar persentase tertentu dari harga pembelian kendaraan
bermotor yang dibiayai oleh Bank. DP untuk Bank yang memberikan
99

KKB atau KKB iB sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank


Indonesia ini ditetapkan sebagai berikut:
1) DP paling rendah 25% (dua puluh lima persen), untuk pembelian
kendaraan bermotor roda dua.
2) DP paling rendah 30% (tiga puluh persen), untuk pembelian kendaraan
bermotor roda tiga atau lebih untuk keperluan non produktif.
3) DP paling rendah 20% (dua puluh persen), untuk pembelian kendaraan
bermotor roda tiga atau lebih untuk keperluan produktif, yaitu apabila
memenuhi salah satu syarat sebagai berikut:
i. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk angkutan
orang atau barang yang dikeluarkan oleh pihak berwenang; atau
ii. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yangmemiliki izin
usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan
digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha
yang dimilikinya.
c. Bank dilarang memberikan fasilitas kredit atau pembiayaan untuk
pemenuhan DP dari KKB atau KKB iB.
6. Tata Cara Pengenaan Sanksi
a. Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir
IV.E.1, butir IV.E.2, dan butir IV.E.3 dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/25/PBI/2009 atau Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah,
berupa teguran tertulis.
b. Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir
IV.C, butir IV.D, butir IV.E.4, butir IV.E.5, butir IV.F, butir V.B, dan
butir V.C dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
100

Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang


Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 atau
Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang
Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, berupa teguran tertulis dan
kewajiban menyampaikan :
1) komitmen tertulis untuk tidak melakukan pelanggaran kembali atas
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir butir IV.C, butir IV.D,
butir IV.E.4, butir IV.E.5, butir IV.F, butir V.B, dan butir V.C;
2) action plan yang antara lain terdiri dari :
i. rencana perbaikan atau evaluasi terhadap Standar Operating
Procedure (SOP) termasuk batasan waktu pelaksanaan
perbaikan atau evaluasi dimaksud; dan/atau
ii. upaya-upaya untuk memastikan bahwa SOP telah efektif
dijalankan, sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan Bank
Indonesia.
c. Dalam hal Bank :
1) tidak menyampaikan action plan atau tidak menyelesaikan action
plan sebagaimana dimaksud dalam huruf B; dan/atau
2) melakukan pelanggaran kembali atas ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam butir IV.C, butir IV.D, butir IV.E.4, butir IV.E.5,
butir IV.F, butir V.B, dan butir V.C setelah action plan disampaikan
sebagaimana dimaksud dalam butir B,

dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34


Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 atau Pasal 11 Peraturan
101

Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan


Unit Usaha Syariah.

d. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam huruf C dapat berupa:


1) Penurunan tingkat kesehatan Bank
Penurunan tingkat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Surat
Edaran Bank Indonesia ini mencakup penurunan factor penilaian
tingkat kesehatan Bank, antara lain faktor profil risiko dan/atau faktor
Good Corporate Governance (GCG);
2) Pembekuan kegiatan usaha tertentu
Pembekuan kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Surat Edaran Bank Indonesia ini antara lain mencakup larangan
pemberian KPR atau KPR iB, KPRS atau KPRS iB, KPRuko atau
KPRuko iB, KPRukan atau KPRukan iB, KKBP atau KKBP iB
dan/atau KKB atau KKB iB untuk jangka waktu tertentu di
Bank/cabang/unit tertentu; dan/atau
3) Pencantuman Pejabat Eksekutif, anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, dan/atau Pemegang Saham dalam daftar pihak-
pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan
dan kepatutan atau dalam catatan administrasi Bank Indonesia
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
e. Pelanggaran atas kewajiban penyampaian penyesuaian kebijakan dan
prosedur sebagaimana dimaksud dalam angka VIII dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko
bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009 dan Pasal 88
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tanggal 7 Desember
102

2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum


Syariah dan Unit Usaha Syariah.
7. Ketentuan Lain-lain
Pelaksanaan KPP iB, KKBP iB dan KKB iB oleh Bank Umum Syariah dan
Unit Usaha Syariah selain memenuhi ketentuan dalam Surat Edaran Bank
Indonesia ini, juga wajib memenuhi Prinsip Syariah
8. Ketentuan Peralihan
Bank wajib menyesuaikan kebijakan dan prosedur tertulis pemberian KPP
atau KPP iB, KKBP atau KKBP iB dan/atau KKB atau KKB iB serta
menyampaikannya kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan
setelah Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku yang dialamatkan kepada:
a. Departemen Pengawasan Bank terkait, Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta,
10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia; atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri setempat, bagi Bank
yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
9. Ketentuan Penutup
Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012
perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan
Pemberian Kredit/pembiayaan Pemilikan Rumah dan Kredit/pembiayaan
Kendaraan Bermotor; dan
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/33/DPbS tanggal 27 November
2012 perihal Penerapan Kebijakan Produk Pembiayaan Kepemilikan
Rumah dan Pembiayaan Kendaraan Bermotor bagi Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Dari pemaparan ketentuan SEBI No.15/40/DKMP di atas, dapat dilihat
bahwa dari angka romawi II-IV telah secara khusus mengatur tentang
103

besaran Plafon pembiayaan kredit atau pembiayaan pemilikan properti,


konsumsi beragun properti dan ketentuan besaran DP (down payment)
kendaraan bermotor, masing-masing menggunakan akad murâbahah dan
istisnâ berdasarkan harga pokok pembiayaan, akad musyârakah
mutanâqisah yang ditetapkan berdasarkan penyertaan, dan akad IMBT
berdasarkan hasil pengurangan hargaproperti dengan deposit.
Mengenai besaran plafond yang diberikan berdasarkan akad
musyârakah mutanâqisah, bank akan memberikan pembiayaan sebesar 60%
hingga 90% dengan ketentuan luas bangunan dari 22 m2 sampai 70 m2
meliputi pembiayaan pembiayaan rumah susun, pembiayaan pemilikan
rumah syariah, pemilikan rumah kantor dan pemilikan rumah toko.135
Adapun pada angka romawi V, SEBI khusus mengatur tentang besaran
DP pembiayaan kendaraan bermotor, yang besarannya ditentukan
berdasarkan prosentase tertentu dari harga kendaraan yang dibiayai, yaitu
25% untuk kendaraan roda dua, 30% untuk kendaraan roda tiga (untuk
keperluan non-prooduktif) dan 20% untuk kendaraan roda tiga atau lebih
(untuk keperluan produktif).

B. Regulasi Akad Musyârakah Mutanâqisah dalam Surat Edaran OJK


No.36/SEOJK.03/2015
Dalam SEOJK No.36/SEOJK.03/2015 tentang Produk dan aktivitas Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, akad musyârakah mutanâqisah
digolongkan pada jenis kegiatan usaha bank dalam hal penyaluran dana melalui
pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil. Surat edaran ini diterbitkan sebagai
aturan pelaksana dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
24/POJK.03/2015 Tentang Produk dan Aktivitas Bank Syariah dan Unit Usaha

135
Untuk lebih lengkapnya silahkan lihat data yang telah dipaparkan di atas.
104

Syariah dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012 Tentang Kegiatan


Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.
Secara umum surat edaran ini berisi:
2. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum Syariah (BUS) dan
Unit Usaha Syariah (UUS), dikelompokkan berdasarkan modal inti, atau
sering disebut Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU).
Pengelompokan Bank berdasarkan kegiatan usaha dimaksud terdiri dari 4
(empat) BUKU. Semakin tinggi modal inti Bank, maka semakin tinggi
BUKU Bank dan semakin luas cakupan kegiatan usaha yang dapat dilakukan
oleh Bank. Pengelompokan BUKU untuk UUS didasarkan pada modal inti
Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya. Klasifikasi BUKU
mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan
jaringan kantor berdasarkan modal inti bank.
3. Pelaksanaan kegiatan usaha Bank dilakukan antara lain dengan menerbitkan
Produk dan atau melaksanakan Aktivitas tertentu untuk memenuhi
kebutuhan Bank dan atau nasabah. Salah satunya adalah dengan cara
menerbitkan produk atau aktivitas baru dengan cara mengembangkan fitur
dan karakteristiknya, seperti yang dilakukan pada produk pembiayaan
dengan akad musyârakah mutanâqisah untuk objek yang sebelumnya ready
stock menjadi ready stock dan indent.
4. Dalam menerbitkan produk dan atau melaksanakan aktivitas, Bank perlu
menerapkan Prinsip Syariah, prinsip kehati-hatian, dan prinsip perlindungan
nasabah. Selain itu, bank perlu memiliki modal yang cukup untuk
mendukung penerbitan produk dan atau pelaksanaan aktivitas serta
menerapkan manajemen risiko yang memadai untuk memitigasi risiko yang
ditimbulkan oleh produk dan atau aktivitas tersebut.

Mengenai akad musyârakah mutanâqisah lebih detil diatur dalam lampiran


IV surat edaran sebagai berikut:
105

1. Definisi: Pembiayaan musyarakah yang kepemilikan aset (barang) atau modal


salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara ber-tahap
oleh pihak lainnya.
2. Akad: musyarakah dan bai‟
3. Persyaratan:
a. Memenuhi pembiayaan musyarakah antara lain:
1) Bank dan nasabah memberikan kontri-busi modal berdasarkan
kesepakatan;
2) Keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati; dan
3) Kerugian ditanggung sesuai proporsi modal.
b. Modal usaha dari para pihak (Bank dan na-sabah) dinyatakan dalam
bentuk porsi kepemilikan (hishshah).
c. Modal usaha yang telah dinyatakan dalam bentuk porsi kepemilikan
(hishshah) tidak boleh berkurang selama akad berlaku secara efektif.
d. Bank berjanji untuk menjual seluruh porsi kepemilikan (hishshah)-nya
secara bertahap dan nasabah wajib membelinya.
e. Bank mengalihkan seluruh porsi kepemilikan (hishshah)-nya kepada
nasabah setelah terjadi pelunasan penjualan.
f. Keuntungan yang diperoleh dari sewa aset musyarakah mutanaqisah
(MMQ) dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati da-lam akad
sedangkan kerugian dibagi ber-dasarkan porsi kepemilikan (hishshah).
g. Dalam hal nasabah wanprestasi maka na-sabah mengembalikan aset
musyarakah mu-tanaqisah (MMQ) yang menjadi obyek syirkah dalam
rangka mengembalikan sisa porsi kepemilikan Bank.
h. Jangka waktu pembiayaan ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan
nasabah.
i. Bank melakukan analisis atas permohonan pembiayaan dari nasabah yang
antara lain meliputi aspek personal berupa analisa karakter (character)
106

dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha


(capacity), keuangan (capital), dan/atau prospek usaha (condition).
j. Bank dan nasabah menuangkan kesepakatan pembiayaan dalam perjanjian
tertulis atau bentuk lain yang dapat dipersamakan dengan itu.
k. Bank menerapkan transparansi informasi produk dan perlindungan
nasabah sesuai ketentuan yang berlaku.
l. Bank memiliki kebijakan dan prosedur un-tuk mitigasi risiko.
m. Bank memiliki sistem pencatatan dan pen-gadministrasian rekening yang
memadai.
4. Karakteristik
a. Bank dapat menetapkan segmen pem-biayaan yaitu Usaha Mikro Kecil
(UMK), non UMK, perorangan maupun badan usaha atau badan hukum.
b. Bank dapat memberikan pembiayaan dalam mata uang rupiah atau valuta
asing (khu-sus untuk pembiayaan dalam valuta asing hanya berlaku bagi
Bank yang telah mem-peroleh persetujuan untuk melakukan kegiatan
usaha dalam valuta asing).
c. Bank dapat memberikan pembiayaan yang digunakan untuk tujuan
investasi dan/atau konsumsi.
d. Bank dapat menetapkan plafon tertentu.
e. Bank dapat menetapkan jangka waktu ter-tentu.
f. Bank dapat meminta jaminan kepada nasa-bah pada saat penyaluran
pembiayaan.
g. Bank dapat mengenakan biaya administrasi sesuai dengan kesepakatan
yang besarnya sesuai dengan biaya riil yang terkait langsung dengan
pembiayaan.
h. Nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang
besarnya berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal akad.
i. Aset musyarakah mutanaqisah (MMQ) dapat disewakan kepada nasabah
atau pihak lain. Dalam hal aset musyarakah mutanaqisah (MMQ)
107

disewakan kepada nasabah syirkah, pembayaran sewa yang tercatat di


Bank dapat dijadikan bukti pendapatan usaha.
j. Bank dapat melakukan review ujrah dari sewa aset musyarakah
mutanaqisah (MMQ) apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1) terjadi perubahan periode akad;
2) terdapat indikasi sangat kuat bahwa apabila tidak dilakukan review
akan timbul kerugian bagi salah satu pihak;
3) disepakati oleh kedua belah pihak (Bank dan nasabah atau pihak lain
yang me-nyewa).
k. Metode bagi hasil mengacu pada Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah
Indonesia (PAPSI).
l. Aset musyarakah mutanaqisah (MMQ) dapat berupa:
1) aset berwujud atau sudah tersedia atau siap pakai (ready stock);
dan/atau
2) aset belum berwujud atau inden.
Dalam hal aset musyarakah mutanaqisah (MMQ) merupakan barang
belum berwujud atau inden, maka harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1) menggunakan akad musyarakah mu-tanaqisah (MMQ) dan ijarah
maushufah fi al-dzimmah.
2) dalam hal pembiayaan ditujukan untuk kepemilikan properti, maka
juga harus memenuhi hal-hal sebagai berikut:
a) memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan
mengenai rasio loan to value atau rasio financ-ing to value untuk
kredit atau pem-biayaan properti dan uang muka un-tuk kredit
atau pembiayaan ken-daraan bermotor antara lain:
i. pembiayaan merupakan pem-biayaan properti urutan
pertama;
108

ii. terdapat perjanjian kerjasama antara Bank dan


pengembang yang paling kurang memuat kesanggupan
pengembang untuk menyelesaikan properti sesuai dengan
yang diperjanjikan dengan nasabah;
iii. terdapat jaminan yang diberikan oleh pengembang
kepada Bank yang berasal dari pengembang sendiri atau
pihak lain yang dapat digunakan untuk me-nyelesaikan
kewajiban pengem-bang apabila properti tidak dapat
diselesaikan dan/atau tidak dapat diserahterimakan
sesuaiperjanjian; dan
iv. pencairan pembiayaan properti hanya dapat dilakukan
secara bertahap sesuai perkembangan pembangunan
properti yang dibiayai.
b) dalam perjanjian kerjasama antara Bank dan pengembang
memuat klausula tentang kejelasan obyek yang dibiayai terkait:
i. kuantitas dan kualitasnya;
ii. kriteria dan spesifikasinya; dan
iii. jangka waktu pembangunan dan waktu serah terima.
c) dalam perjanjian pembiayaan musyarakah mutanaqisah (MMQ)
memuat klausula yang mengatur mengenai penyelesaian
permasala-han dalam hal pengembang wanpres-tasi.
d) Bank wajib memiliki kebijakan dan kriteria pengembang yang
dapat melakukan kerjasama dengan Bank.
e) Bank wajib memastikan bahwa pengembang memiliki
kemampuan untuk mewujudkan aset musyarakah mutanaqisah
(MMQ) yang dapat diindikasikan dengan pa-rameter antara lain:
i. tanahnya telah tersedia, ber-sertifikat, dan bebas
sengketa; dan
109

ii. pengembang telah memiliki izin pendirian bangunan


sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
f) Pengakuan pendapatan selama aset musyarakah mutanaqisah
(MMQ) masih inden mengacu pada Pedoman Akuntansi
Perbankan Syariah Indo-nesia (PAPSI).
3) Nisbah keuntungan (bagi hasil) ditetap-kan berdasarkan kesepakatan
dan dapat mengikuti perubahan proporsi kepemilikan modal.
4) Pembayaran ujrah dari sewa aset musyarakah mutanaqisah (MMQ)
dapat dilakukan secara tunai, tangguh, atau bertahap sesuai
kesepakatan.
5. Tujuan/ Manfaat
a. Bagi Bank
1) Sebagai salah satu bentuk penyaluran dana.
2) Memperoleh pendapatan dalam bentuk bagi hasil sesuai pendapatan
sewa atas barang.
b. Bagi Nasabah Memenuhi kebutuhan modal usaha atau untuk memiliki
aset tertentu.
6. Identifikasi Risiko
a. Bank menghadapi potensi risiko kredit (credit risk) yang disebabkan oleh
nasabah wanprestasi atau default.
b. Bank menghadapi potensi risiko pasar yang disebabkan oleh pergerakan
nilai tukar apabila pembiayaan diberikan dalam valuta asing.
c. Bank menghadapi potensi risiko operasional yang diakibatkan oleh proses
internal yang kurang memadai, kegagalan proses internal, kesalahan
manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional Bank.
Sebagaimana peraturan yang lainnya, kodifikasi tentang akad musyârakah
mutanâqisah dalam kodifikasi Produk dan aktivitas Bank Umum Syariah dan
110

Unit Usaha Syaiah ditutup dengan menyebutkan beberapa aturan terkait,


beberapa di antaranya terdiri dari beberapa fatwa DSN-MUI (sebagaimana yang
telah penulis uraikan di awal pembahasan), PBI (sebagian PBI sudah penulis
uraikan di awal), dan POJK sebagai berikut: 1) PBI No.7/6/PBI/2005 tentang
Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah dan
SEBI No.7/25/DPNP beserta ketentuan perubahannya., 2) PBI No.9/19/PBI/2007
tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah sebagaimana telah diubah
dengan PBI No.10/16/PBI/2008 dan SEBI No.10/14/DPbS beserta ketentuan
perubahannya, 3) PBI No.13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko
bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah beserta ketentuan
perubahannya, 4) PBI No.14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti
Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum dan
SEBI No. 15/21/DPNP beserta ketentuan perubahannya, 5) PBI
No.14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan
Modal Inti Bank beserta ketentuan perubahannya, 6) POJK No.1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan beserta ketentuan
perubahannya, 7) POJK No.16/POJK.03/2014 tentang Penilaian Kualitas Aset
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dan SEOJK No.8/SEOJK.03/2015
beserta ketentuan perubahannya, 8) PBI No.16/16/PBI/2014 tentang Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Domestik
sebagaimana telah diubah dengan PBI No.17/6/PBI/2015 beserta ketentuan
perubahannya, 9) PBI No.16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Asing sebagaimana telah diubah
dengan PBI No.17/7/PBI/2015 beserta ketentuan perubahannya, 10) PBI No.
17/10/PBI/2015 tentang Rasio Loan To Value atau Rasio Financing to Value
untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau
Pembiayaan Kendaraan Bermotor dan SEBI No.17/25/DKMP beserta ketentuan
perubahannya, 11) SEOJK No.12/SEOJK.07/2014 tentang Penyampaian
111

Informasi dalam Rangka Pemasaran Produk dan/atau Layanan Jasa Keuangan


beserta ketentuan perubahannya, 12) SEOJK No.13/SEOJK.07/2014 tentang
Perjanjian Baku beserta ketentuan perubahannya, 14) SEOJK
No.14/SEOJK.07/2014 tentang Kerahasiaan dan Keamanan Data dan/atau
Informasi Pribadi Konsumen beserta ketentuan perubahannya, 15) PSAK No.106
tentang Akuntansi Musyarakah, 16) pedoman Akuntansi Perbankan Syariah
Indonesia (PAPSI).
Dari perbandingan beberapa ketentuan di atas, nampaklah bahwa
pengaturan tentang akad musyârakah mutanâqisah telah diatur baik dalam teks
peraturan perundang-undangan: SEBI No.15/40/DKMP, SEOJK
No.36/SEOJK.03/2015 (selanjutnya akan disebut SEBI dan SEOJK), dan fatwa
DSN-MUI meliputi: definisi, aturan umum, prosedur, jaminan/agunan,
penegakan hukum atas objek pembiayaan, pembayaran cicilan, sanksi, diskon
untuk sisa cicilan, reskejul pembiayaan, rekondisi pembiayaan, restruktur
pembiayaan, dan konversi akad.
Konsep akad musyârakah mutanâqisah merupakan akad yang digunakan
dalam produk pembiayaan syariah, yang mana kepemilikan aset atau modal
bank syariah berkurang disebabkan pengalihan komersial melalui pembelian
secara bertahap oleh nasabah. SEBI No.15/40/DKMP tahun 2013 mendefinisikan
musyârakah mutanâqisah sebagai musyârakah atau syirkah dalam rangka
kepemilikan properti antar bank dengan nasabah, di mana penyertaan
kepemilikan properti oleh bank akan berkurang yang disebabkan pembelian
secara bertahap oleh nasabah. SEOJK No.36 tahun 2015 dan fatwa DSN (sesuai
fatwa No.73 tahun 2008) mendefinisikan musyârakah mutanâqisah sebagai
pembiayaan musyârakah yang kepemilikan asset (barang) atau modal salah satu
pihak (syarîk) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh lainnya.
Sedangkan DSN (sesuai keputusan DSN No.1 tahun 2013) mendefinisikannya
sebagai produk pembiayaan berdasarkan prinsip musyârakah, yaitu syirkah al-
„inân, yang porsi (hissah) modal salah satu syarîk (Bank Syariah/LKS)
112

berkurang disebabkan pengalihan komersial secara bertahap (naql al-hissah bi


al-„iwâd mutanâqisah) kepada syarîk yang lain (nasabah). Definisi yang
diberikan oleh SEOJK mengacu pada fatwa DSN No.73 tahun 2008 tanpa
perubahan yang berarti, adapun definisi dari SEBI juga mengacu pada fatwa
tersebut, namun dengan sedikit modifikasi. SEBI menambahkan kata “dalam
rangka kepemilikan properti”, ini memberikan kesan seolah pembiayaan ini
ditujukan untuk kegiatan konsumtif saja. Padahal pembiayaan musyârakah
merupakan pembiayaan modal usaha, dalam dunia bisnis, ini banyak dikenal
dengan nama modal ventura. Transformasi ketentuan defenisi akad sebagaimana
disebutkan di atas menggunakan pola adopsi dengan penyempitan.
1. Ketentuan yang sama-sama Diatur baik dalam Fatwa DSN dan
SEBI/SEOJK
a. Ketentuan tentang musyârakah

Fatwa DSN SEBI/SEOJK


a. Memberikan modal dan kerja a. Bank dan nasabah memberikan
berdasarkan kesepakatan pada kontribusi modal berdasarkan
saat akad. kesepakatan;
b. Memperoleh keuntungan b. Keuntungan dibagi sesuai nisbah
berdasarkan nisbah yang yang disepakati; dan
disepakati pada saat akad. c. Kerugian ditanggung sesuai proporsi
c. Menanggung kerugian sesuai modal.
proporsi modal.
Tabel 1.3 Ketentuan Tentang Musyârakah

Pada huruf a., SEOJK menghilangkan kata “dan kerja”. Ini


memunculkan diskursus tersendiri. Ketika unsure kerja dihilangkan maka
secara otomatis esensi dari akad musyârakah mutanâqisah hilang. Yang mana
“kerja” atau “usaha komersil” merupakan objek yang harus ada dari akad
musyârakah mutanâqisah. ketika hanya memberikan modal tanpa kerja maka
prinsip dasar dari pelaksanaan musyârakah jadi hilang. Akibatnya ketentuan
113

ini tidak sesuai dengan syariah compliance. positivisasi dalam ketentuan ini
menggunakan pola adopsi sebagian ke dalam SEOJK.

b. Penetapan nisbah keuntungan dan porsi kerugian

Fatwa DSN SEBI/SEOJK


Nisbah keuntungan (bagi Keuntungan yang diperoleh dari sewa aset
hasil) ditetapkan musyarakah mutanaqisah (MMQ) dibagi
berdasarkan kesepakatan sesuai dengan nisbah yang disepakati dalam
para pihak dan dapat akad sedangkan kerugian dibagi berdasarkan
mengikuti perubahan porsi kepemilikan (hishshah).
proporsi kepemilikan Dalam hal nasabah wanprestasi maka nasabah
modal, sedangkan mengembalikan aset musyarakah mu-
kerugian harus tanaqisah (MMQ) yang menjadi obyek
berdasarkan proporsi syirkah dalam rangka mengembalikan sisa
modal. porsi kepemilikan Bank.
Tabel 1.4 Ketentuan Tentang Penetapan Nisbah Keuntungan dan Porsi
Kerugian
Positvisasi fatwa ini menggunakan pola adopsi sepenuhnya dengan
perluasan. OJK menambahkan ketentuan “dalam hal nasabah wanprestasi
maka nasabah mengembalikan aset musyarâkah mutanâqisah yang menjadi
obyek syirkah dalam rangka mengembalikan sisa porsi kepemilikan Bank.”
Ketentuan SEOJK ini seolah mengaanggap bahwa kerugian pasti disebabkan
oleh wanprestasi nasabah, padahal untuk kebenaran wanprestasi perlu
dibuktikan sebagaimana fatwa DSN NO.105 Tahun 2016 tentang Penjaminan
Pengembalian Modal Pembiayaan Mudârabah, Musyârakah, dan Wakâlah bi
al-Istitsmâr. Selain itu harus diketahui sebab wanprestasinya apa, karena beda
sebab beda pula penyelesaiannya. Hal itu bisa dilihat dalam keputusan DSN-
MUI No.01 tahun 2013. Menurut fatwa tersebut, ketika nasabah wanprestasi
maka Bank bisa mengambil langkah penyelesaian sebagai berikut;
1) Pembiayaan bermasalah dapat diselesaikan oleh para pihak melalui
musyawarah mufakat dengan cara penjadwalan kembali (rescheduling),
114

penambahan syarat baru (reconditioning), maupun penggunaan struktur


baru (restructuring).
2) Bank Syariah/LKS dapat melakukan penyelesaian (settlement)
Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah bagi nasabah yang tidak
menyelesaikan atau melunasi pernbiayaannya sesuai jumlah dan waktu
yang telah disepakati, dengan ketentuan:
a) Aset Musyarakah Mutanaqishan atau jaminan lainnya dijual oleh
nasabah rnelalui Bank Syariah/LKf dengan harga yang disepakati
b) 2) Nasabah melunasi sisa kewajibannya kepada Bank Syariah/LKS
dari hasil penjualan;
c) Apabila hasil penjualan melebihi sisa utang, maaka Bank
Syariah/LKS mengembalikan sisanya kepada nasabah;
d) Apabila hasil penjualan lebih keeil dari sisa utang maka sisa utang
tetap menjadi utang nasabah;
e) Apabila nasabah tidak mampu membayar sisa utangnya, maka Bank
Syariah/LKS dapat membebaskannya berdasarkan kebijakan Bank
Syariah/LKS.
Sesuai ketentuan fatwa di atas, Bank bisa memilih beberapa opsi
penyelesaian pembiayaan bermasalah dengan tahapan yaitu penjadwalan
kembali (rescaduling), penambahan syarat (recondition), dan penggunaan
struktur baru (restructuring); bukan langsung meminta kembali modal kepada
nasabah.
c. Objek Pembiayaan

Fatwa DSN SEBI/SEOJK


Obyek pembiayaan adalah kegiatan Bank dapat memberikan
usaha komersial yang dijalankan pembiayaan yang digunakan untuk
dalam berbagai bentuk usaha yang tujuan investasi, produksi, dan/atau
sesuai dengan syariah, antara lain: konsumsi.
prinsip jual beli, bagi hasil, dan sewa
menyewa.
115

Tabel 1.5 Objek Pembiayaan

Dalam hal ini positivisasi dilakukan dengan pola adaptasi dan


perluasan. OJK menambahkan objek pembiayaan selain untuk investasi
produktif juga untuk kegiatan konsumsi. Ketentuan ini merupakan latar
belakang permasalahan yang penulis teliti. Ketentuan ini menimbulkan
perdebatan di masyarakat.
Fatwa DSN menetukan bahwa pembiayaan ditujukan untuk
memperoleh dan atau menambah modal usaha dan atau aset berdasarkan bagi
hasil, sedangkan SEOJK menyebutkan bahwa pembiayaan dapat disalurkan
untuk tujuan modal kerja, investasi, dan konsumsi. perbedaan dalam
ketentuan tersebut terletak pada kebolehan penyaluran pembiayaan untuk
keperluan konsumsi yang secara eksplisit tidak sesuai dengan semangat
syirkah, yaitu syirkah al-‟inân. Syirkah al‟inân merupakan syirkah al-amwâl
(bukan syirkah al-milk). Ulama madzâhib al-arba‟ah sepakat bahwa syirkah
al-‟inân sebagai perserikatan dua pihak atau lebih di mana masing-masing
pihak membawa dana sebagai modal dan keahliannya. Secara sederhana dapat
dipahami bahwa syirkah al-„inân adalah syirkah dalam modal usaha.
Meskipun demikian, dalam aplikasiya, akad musyârakah mutanâqisah
disalurkan untuk pembiayaan KPR dengan mengkombinasikan akad
musyârakah, baî‟, dan ijârah sebagai kegiatan usaha yang dibiayai. Di sinilah
bagaimana sikap masyarakat harus bisa dan mau memahami konsep akad
musyârakah mutanâqisah dari sudut pandang akad musyârakah mutanâqisah
itu sendiri. Karena meskipun di dunia bisnis perbankan pembiayaan KPR dan
kendaraan bermotor merupakan jenis produk pembiayaan konsumtif, namun
dalam perolehannya nasabah dan bank melakukan kerjasama penyertaan
modal yang kemudian dibelikan rumah, kendaraan bermotor, dan barang
konsumtif lainnya, kemudian barang tersebut disewakan menggunakan akad
ijârah (ijârah menjadi kegitan usaha yang dibiayai musyârakah mutanâqisah).
116

artinya, ada kegiatan usaha di dalamnya, yaitu usaha sewa menyewa, sehingga
bisa disimpulkan bahwa dalam hal ini ketentuan OJK sudah sesuai dengan
fatwa DSN. Lagi lagi menurut penulis, DSN-MUI telah melakukan muslihat
hukum (hîlah), keluar dari riba yang diharamkan.136 Tesis ini menyimpulkan
sebagaimana pendapat M. Atho Muzhar dan disertasi M. Maksum yang
menyimpulkan adanya upaya berkelanjutan untuk menyempurnakan aspek
syariah pada produk ekonomi demi mendorong pertumbuhan LKS dalam
berkompetisi menyaingi LKK.
Ketiga ketentuan SEOJK di atas, secara konten memiliki perbedaan
dengan fatwa DSN yang menjadi sumber hukumnya. Sumber
permasalahan/perbedaannya adalah antara lain penggunaan kata yang sama
dengan konsep konvensional, adanya fatwa baru yang mengelaborasi akad
konsep lama, dan mengambil konsep akad yang tidak utuh. Dan juga
sebagaimana dipaparkan di atas bahwa ada pola penyepitan dan ada perluasan
ketentuan, di samping itu juga terdapat pemenggalan ketentuan fatwa (tidak
ditransformasi), sehingga bisa berkibat terjadi misinterpretasi atau bahkan
keluar dari prinsip syariah compliance.

2. Ketentuan yang sama secara konten antara fatwa DSN-MUI dan


SEBI/SEOJK
Selain ketentuan di atas ada juga ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1)
ketentuan tentang dua akad yang menyusun akad musyârakah mutanâqisah, 2)
keharusan pernyataan/pembagian modal dalam bentuk hissah, 3) perjanjian untuk
saling menjual dan membeli hissah, 4) Cara penentuan nisbah bagi hasil, 5)
penuangan akad/kesepakatan dalam surat perjanjian tertulis atau yang dipersamakan

136
Etika ekonomi (islamics ethics) sangat mendukung aspek pemenuhan ketentuan Syariah,
terutama menghindari munculnya riba. Ihat M. Maksum, Economics Ethics In The Fatwa of Islamic
Economics Jurnal Al-Ulum Volume 15 Number 1 June 2015 ISSN 1412-0534, E ISSN 2442-8213, h.
133
117

dengan hal itu, dan 6) tujuan pembiayaan. Keenam ketentuan tersebut secara konten
dan esensi telah sesuai dengan fatwa DSN meskipun dalam transformasinya tidak
secara literal sebagimana aslinya. Ketentuan tersebut masing-masing
ditransformasikan menggunakan pola adopsi penuh dengan cara copy-paste, adopsi
dengan penyempitan dan perluasan ketentuan dan dua terakhir menggunakan pola
adptasi.

3. Ketentuan yang Berbeda (bertentangan) antara Fatwa DSN dan


SEBI/SEOJK
Ada beberapa isi ketentuan yang berbeda, dalam arti bertentangan satu
sama lain antara fatwa DSN dan SEBI/SEOJK. terdapat dalam empat hal,
pertama adalah mengenai pembebanan biaya administrasi. Fatwa DSN
tentang akad musyârakah menyebutkan bahwa biaya operasional (dan
persengketaan) dalam akad musyârakah dibebankan pada modal bersama,137
sedangkan SEOJK menyebutkan bahwa biaya administrasi yang terkait
dengan pembiayaan musyârakah mutanâqisah dibebankan kepada nasabah.138

137
Lain lagi adapun dalam fatwa DSN tentang akad musyârakah mutanâqisah mengatur
bahwa yang menjadi beban biaya bersama adalah biaya perolehan aset musyârakah mutanâqisah,
sedangkan biaya peralihan kepemilikan menjadi beban pembeli.
138
Biaya administrasi adalah biaya yang dikenakan oleh bank syariah ketika memberikan
bantuan kepada nasabah yang bergerak dibidang sosial (nirlaba) dalam bentuk pinjaman lunak, tanpa
pembagian hasil melainkan hanya mengembalikan pokok pinjaman. Akan tetapi untuk tidak
merugikan bank syariah dalam hal pengurusan, misalnya biaya materai, notaris, biaya peninjau proyek
dan lain-lain, maka kepada nasabah nirlaba tersebut dipungut biaya administrasi. Lihat Ktut Silvanita
Mangani, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 37. Perbedaan antara
biaya operasional dan biaya administrasi adalah bahwa biaya operasional mencakup biaya untuk
memproduksi produk dan layanan untuk klien dan biaya administrasi mencakup keseluruhan biaya
umum yang tidak harus terkait dengan produksi atau departemen tertentu di dalam perusahaan.
https://id.talkingofmoney.com/what-is-difference-between-an-operational-expense-and-an-
administrative-expense diakses pada 10 Agustus 2018, lihat juga M. Sulhan, Managemen Bank:
Konvensional dan Syariah, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 69. Menurut Werner Murhadi
(2013:37) mengemukakan biaya operasional sebagai berikut:“Biaya operasi(operating expense)
merupakan biaya yang terkait dengan operasional perusahaan yang meliput biaya penjualan dan
administrasi (selling and administrative expense), biaya iklan (advertising expense), biaya penyusutan
(depreciation and amortization expense),serta perbaikan dan pemeliharaan (repairs and maintenance
expense)”. menurut Margaretha (2011:24) mengemukakan biaya operasional adalah “Biaya
Operasional (operating expense) adalah keseluruhan biaya sehubungan dengan operasional diluar
118

Dalam istilah ekonomi bisnis biaya operasional mencakup seluruh biaya


secara umum, termasuk didalamnya adalah biaya operasi, iklan, penyusutan,
pemeliharaan administrasi dll. jadi, dengan kata lain, seharusnya biaya
administrasi pembiayaan dibebankan kepada kedua belah pihak (bank dan
nasabah) sebagaimana ketentuan yang adala dalam Fatwa DSN.
Kedua, keharusan objek pembiayaan harus ready stock. Dalam Fatwa
DSN MUI No. 01 Tahun 2013 Pada angka 6 menetapkan bahwa “Khusus
untuk kegiatan usaha musyârakah mutanâqisah yang menggunakan prinsip
sewa menyewa di mana objek yang dibiayai masih dalam proses pembuatan
(indent) dst…”, sedangkan SEOJK menentukan bahwa “barang yang dibiayai
harus berwujud dan sudah siap pakai (ready stock).” Hal yang aneh di sini
adalah bahwa terdapat perbedaan antara lampiran SEOJK dengan SEOJK-nya
sendiri dan juga fatwa DSN pedoman implementasi akad musyârakah
mutanâqisah, di mana dalam lampiran menyebutkan keharusan barang yang
dibiayai harus berwujud dan sudah tersedia atau siap pakai (ready stock),
padahal SEOJK-nya dan fatwa menyatakan bahwa objek pembiayaan boleh
dalam bentuk ready stock dan indent. Dalam hal ini menurut penulis, ini
merupakan kesalahan dalam hal penulisan saja, dan bagaimanapun dalam
aplikasinya perbankan tetap berpedoman pada lampiran SEOJK dan fatwa
DSN.
Ketiga, mengenai pengenaan jaminan. Dalam Fatwa DSN No. 105/DSN-
MUI/X/2016 tentang Penjaminan Pengembalian Modal Pembiayaan
Mudârabah, Musyârakah, dan Wakâlah bi al-Istitsmâr dalam ketentuan
khusus menetapkan 1) Pengelola tidak wajib mengembalikan modal usaha
secara penuh pada saat terjadi kerugian, kecuali kerugian karena ta'addi,
tafrith atau mukhalafat al-syuruth. 2) Pemilik Modal tidak boleh meminta

kegiatan proses produksi termasuk didalamnya adalah biaya penjualan dan biaya administrasi dan
umum”. Dari banyak pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa biaya operasional termasuk
didalamnya biaya adminitrasi.
119

Pengelola untuk menjamin pengembalian modal. 3) Pengelola boleh


menjamin pengembalian modal atas kehendaknya sendiri tanpa permintaan
dari Pemilik Modal. Sedangkan SEOJK angka 3.4 menetapkan bahwa “bank
dapat meminta jaminan kepada nasabah pada saat penyaluran pembiayaan.
Jaminan yang diterima oleh bank hanya dapat dicairkan apabila nasabah
terbukti melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan.”
Menurut ulama klasik, dalam akad musyârakah, pihak pertama (entitas
bank dan nasabah) selaku sâhib al-mâl tidak boleh meminta jaminan
(angunan) kepada pihak kedua (nasabah) selaku mudârib, karena akad
musyârakah merupakan akad kerjasama di mana pada dasarnya kedua belah
pihak berkontribusi modal, saling membutuhkan dan saling percaya dalam
menjalankan suatu usaha. Oleh karena itu, tidak etis jika salah satu pihak
dibebani untuk menyediakan jaminan atas modal yang berikan oleh pihak
pertama. Namun, seiring dengan perkembangan ekonomi syariah yang dikuti
dengan berdirinya berbagai lembaga keuangan syariah seperti bank syariah,
muncul kebutuhan terhadap berbagai model akad /transaksi yang ada dalam
Islam selama ini terutama ketika akad tersebut diaplikasikan dalam perbankan
syariah.139 Dalam konteks jaminan, secara jelas dalam Peraturan Bank
Indonesia No. 7/46/PBI/2005 Pasal 6 huruf (o) yang menyatakan bahwa
“Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko
apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam
akad karena kelalaian dan/atau kecurangan.
Terkait dengan pembahasan di atas muncul pertanyaan kembali, apakah
pihak pertama, diperbolehkan meminta kepada pihak kedua untuk menjamin

139
Muhammad Maksum menawarnkan bentuk jaminan yang compatible untuk jaminan
berbasis modal, Jaminan (marhun) dengan model rahn dapat berupa benda bergerak, seperti kendaraan
dan emas atau tidak bergerak, seperti tanah. Jaminan (marhun) selain berupa kedua jenis barang
tersebut, juga dapat berupa bukti kepemilikan, seperti BPKB atau sertifikat tanah. Rahn jenis ini secara
hukum diakui dalam fatwa DSN sebagai rahn tasjili, rahn ta'mini, rahn rasmi, atau rahn hukmi. Lihat
M. Maksum, Penerapan Hukum Jaminan Fidusia Dalam Kontrak Pembiayaan Syariah, Jurnal Cita
Hukum, Jurnal Cita Hukum. Vol. 3 No. 1 Juni 2015. ISSN: 2356-1440,.h. 8
120

pengembalian modal yang diberikan, terutama ketika mengalami kerugian?


Menurut fatwa DSN-MUI No.105/DSN-MUI/X/2016 tentang Penjaminan
Pengembalian Modal Pembiayaan Mudârabah, Musyârakah, dan Wakâlah bi
al-Istitsmâr; pemilik modal tidak boleh meminta pengelola untuk menjamin
pengembalian modal, kecuali atas kehendaknya sendiri. Apabila mengalami
kerugian, pihak pengelola juga tidak wajib mengembalikan modal usaha
secara penuh pada saat kerugian, kecuali kerugian tersebut diakibatkan karena
ta‟addî (sengaja melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan), tafrît (tidak
melakukan sesuatu yang mestinya dilakukan), atau mukhâlafah al-syurût
(melanggar ketentuan-ketentuan yang disepakati dalam akad). Apabila terjadi
perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengelola atas kerugian yang
terjadi, maka pengelola wajib membuktikan bahwa kerugian yang dialami
tersebut bukan karena ta‟addi, tafrith atau mukhalafat al-syuruth.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pihak pertama
(sâhib al-mâ) tidak boleh meminta penjaminan pengembalian modal kepada
pihak ke-dua (mudârib), karena pada prinsipnya akad mudârabah adalah akad
kerjasama berdasarkan kepercayaan di mana masing-masing pihak saling
berkontribusi modal, dan saling membutuhkan satu sama lainnya. Jaminan
yang diminta oleh bank syariah kepada nasabah diperbolehkan untuk
mengantisipasi agar tidak terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh pihak
nasabah. Jaminan tersebut bisa diambil oleh bank syariah apabila nasabah
terbukti melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi
perjanjian.140

140
Perlu dicatat, bahwa fatwa DSN-MUI No.105/DSN-MUI/X/2016 tentang Penjaminan
Pengembalian Modal Pembiayaan Mudârabah, Musyârakah, dan Wakâlah bi al-Istitsmâr diterbitkan
pada tahun 2016 sedangkan SEOJK sudah terbit dan dikodifikasi pada 2015. Sehingga bagi pihak
otoritas bisa merubah ketentuannya tersebut agar kesyariahan praktik akad musyârakah mutanâqisah
bisa maksimalkan.
121

Keempat, ketentuan pengalihan hissah. Dalam keputusan Fatwa DSN


MUI nomor 01 Tahun 2013 tentang Pedoman Implementasi Musyarakah
Mutanaqishah dalam Produk Pembiayaan angka 2 huruf d menetapkan bahwa
“Setiap penyetoran uang oleh nasabah kepada Bank Syariahl/LKS, maka nilai
yang jumIahnya sama dengan nilai unit hishshah, secara syariah dinyatakan
sebagai pengalihan unit hishshah Bank Syariah/LKS secara komersial (naqlul
hishshah bil 'iwadh), sedangkan nilai yang jumlahnya lebih dari nilai unit
hishshah tersebut, dinyatakan sebagai bagi hasil yang menjadi hak Bank
Syariah/LKS.” Sedangkan dalam SEOJK angka 3.4 menetapkan “bank
mengalihkan unit hissah setelah terjadi pelunasan penjualan.”
Penggunaan kata “pelunasan penjualan” adalah tidak tepat. Karena
konsepnya, setiap pembayaran yang dilakukan oleh mitra otomatis
mengalihkan satu unit saham bank. Sebaliknya, menggunakan kata
“pelunasan penjualan” artinya tidak ada perpindahan kepemilikan unit hissah
meski mitra sudah membayar setiap bulannya. Akad musyârakah
mutanâqisah adalah jenis musyârakah yang tidak tetap/menurun, perpindahan
kepemilikan hissah otomatis terjadi setiap pembayaran dilakukan. Berbeda
dengan akad yang ber-asas jual beli, di mana kepemilikan akan berpindah
setelah terjadi seluruh pelunasan pembelian.
Dari uraian di atas, disimpulkan terdapat empat teks ketentuan yang
bertentangan antara ketentuan yang ada dalam fatwa DSN dan ketentuan
SEBI/SEOJK, yaitu mengenai pengenaan biaya administrasi, permintaan
jaminan, pengalihan hissah, dan kebolehan indent. Sebagaimana pembahasan
sebelumnya, fatwa DSN tidak membolehkan pengenaan biaya operasional
(termasuk di dalamnya biaya administrasi), sedangkan SEOJK
menetapkannya; fatwa DSN tidak memperbolehkan permintaan jaminan
pembiayaan, sedangkan SEOJK meminta jaminan demi memitigasi resiko
pembiayaan; fatwa DSN menentukan bahwa tiap penyetoran uang oleh
nasabah dinyatakan sebagai pengalihan hissah bank kepada nasabah,
122

sedangkan bank baru mengalihkan hissah setelah terjadi pelunasan pejualan.


Fatwa membolehkan membolehkan bentuk objek pembiayaan yang masih
indent, SEOJK

4. Ketentuan yang Ada dalam SEBI/SEOJK, tapi tidak ada dalam Fatwa
DSN
a. Analisis Bank atas permohonan pembiayaan dari nasabah
b. Penentuan jangka waktu pembiayaan berdasarkan kesepakatan Bank dan
nasabah.
c. Penetapan plafon tertentu oleh Bank.
d. Penetapan jangka waktu waktu pembiayaan oleh Bank.
e. Acuan metode bagi hasil; Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah
Indonesia (PAPSI 106).
f. Penerapan transparansi informasi produk dan perlindungan nasabah
sesuai ketentuan yang berlaku.
g. Kebijakan dan prosedur untuk mitigasi risiko.
h. Identifikasi Risiko oleh bank
i. Penetapan segmen pembiayaan yaitu Usaha Mikro Kecil (UMK), non
UMK, perorangan maupun badan usaha atau badan hukum.
j. Sanksi bagi Bank yang tak beroprasi sesuai prosedur.

Semua ketentuan di atas merupakan ketentuan yang bersmber dari


kebijakan internal OJK. Ketentuan tersebut berkaitan dengan teknis
operasional, prinsip kehati-hatian Bank sebagai lembaga intermediasi, dan
perlindungan konsumen demi menjaga kestabilan operasional bank.

5. Ketentuan yang Ada dalam Fatwa DSN, tapi tidak ada dalam
SEBI/SEOJK
Banyak ketentuan fatwa DSN yang tidak diatur/diformalisasi dalam
SEBI/SEOJK, sebagai berikut:
123

a. definisi tentang beberapa istilah berbahasa arab


b. pembebenan biaya perolehan aset musyârakah yang menjadi beban
bersama
c. biaya peralihan kepemilikan aset yang dibebankan kepada pembeli.
d. Sumber-sumber pendapatan usaha musyarakah mutanaqishah yang tak
hanya berasal dari ijârah, tapi juga jual beli dan kerja sama musyârakah
atau mudârabah.
e. Dasar proyeksi keuntungan sebagaiana kesepaktan, atau tanpa proyeksi
f. Kebolehan mengatas-namakan properti atas nama nasabah secara langsug
g. Kebolehan pengalihan hissah sesuai kesepakatan atau dengan jangka
waktu dipercepat
h. Kebolehan bagi bank mengenakan denda pada nasabah mampu yang
menunda-nunda pembayaran
i. Jenis-jenis denda ganti rugi
j. Ketentuan-ketentuan kewajiban yang harus dibayarkan nasabah yang
melakukan percepatan pelunasan
k. Ketentuan penyelesaian pembiayaan bermasalah

Beberapa ketentuan fatwa di atas tidak dicantumkan dalam regulasi


SEOJK. Menurut Azharuddin, fatwa yang tidak dipositivisasi akan tetap
memiliki kekuatan mengikat secara dzatnya,141 karena kedudukannya telah
dikokohkan oleh undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan
syariah. Fatwa DSN dapat dikatakan sebagai kebiasaan yang bersifat normatif,
atau sebagai doktrin ilmu hukum yang telah diakui sebagai ius comminis
opinio doctorum dikalangan ahli yang memiliki otoritas yang diakui publik.142
Pengakuan ini dalam konteks tidak ada hukum lain yang mengakomodir

141
Abdul Rohman Zulfikar alfarouq, Positivisasi Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) tentang Mudharabah dalam regulasi otoritas Jasa keuangan (OJK),
Tesis tidak dipublikasi, h.
142
Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 128
124

perkara keuangan syariah, selain fatwa yang mengisi kekosongan hukum


tersebut.

Fatwa DSN-MUI memiliki kekuatan mengikat di bawah regulasi OJK,


meskipun tidak dibentuk oleh negara. Fatwa bisa mengikat ketika tidak ada
peraturan lain yang mengatur, dan selama tidak bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi, yaitu peraturan OJK.
Dari pemaparan perbandingan ketentuan di atas meunjukkan bahwa
ketentuan dari Fatwa DSN dan SEBI/SEOJK mengenai akad musyârakah
mutanâqisah bisa dikelompokkan ke dalam tiga bentuk. Pertama, peraturan
mengenai akad musyârakah mutanâqisah dimuat dalam fatwa maupun
peraturan perundang-undangan; kedua peraturan mengenai akad musyârakah
mutanâqisah dimuat dalam peraturan perundangundangan tidak dalam fatwa;
ketiga, peraturan mengenai akad musyârakah mutanâqisah dalam fatwa DSN
berbeda dari peraturan dalam peraturan perundang-undangan. Ini
menunjukkan bahwa dalam beberapa ketentuan, di samping teks fatwa DSN
maupun SEOJK memiliki ketentuan yang sama, SEOJK juga memiliki
ketentuan sendiri namun tidak bertentangan dengan fatwa DSN. Selain itu
terdapat juga beberapa ketentuan yang bertentangan satu sama lain. Meskipun
demikian keduanya saling melengkapi.

Dari pembahasan empat sub bab terakhir di atas, penulis menangkap


ada kelemahan dalam dalam model transformasi fatwa DSN ke dalam regulasi
SEOJK. Ada potensi ketidak harmonisan antar sumber hukum dan peraturan
perundang-undangan. Perbedaan konten antara ketentuan yang ada dalam
fatwa DSN sebagai sumber hukum dan ketentuan SEBI/SEOJK sebagai hasil
transformasi/positivisasi fatwa tersebut bisa berkibat terjadi misinterpretasi
atau bahkan keluar dari prinsip syariah compliance. Hal tersebut dikarenakan
pola transformasi/positivisasi yang kurang tepat, seperti adopsi sebagian
(pemenggalan ketentuan), penyempitan, perluasan. Selain itu sumber
125

permasalahan adalah antara lain penggunaan kata yang sama dengan konsep
konvensional, adanya fatwa baru yang mengelaborasi akad konsep lama, dan
mengambil konsep akad yang tidak utuh.
Dikaitkan dengan teori positivisasi/taqnîn, fatwa DSN-MUI adalah
sumber hukum primer peraturan tentang ekonomi syariah, maka seyogyanya
bisa diserap secara keseluruhan oleh Regulator ke dalam Peraturan
Perundang-undangan baik dengan objektivikasi, adopsi sepenuhnya, dan
adaptasi dan copy paste. Dengan cara tersebut maka fatwa DSN-MUI bisa
terserap dengan sempurna baik secara tekstual maupun subtantif non literal
sebagaimana teks fatwa DSN-MUI.

6. Faktor Perbedaan Ketentuan antara Fatwa DSN-MUI dan SEBI/SEOJK


Secara yuridis formal, kegiatan pembiayaan berdasarkan syariah tidak
bertentangan dengan undang-undang, tetapi apabila dianalisis lebih lanjut
menimbulkan persoalan dalam konteks syariah itu sendiri. Dalam konteks
syariah, pembiayaan syariah yang merupakan akad dan menjadi bagian dari
perikatan syariah harus dikaitkan dengan fatwa DSN. Dalam hal ini
khususnya tentang biaya administrasi, jaminan, pengalihan hissah, Dengan
demikian, pembiayaan berdasarkan syariah dalam perbankan syariah tetapi
tidak mengikuti fatwa DSN merupakan tindakan yang bertentangan dengan
prinsip syariah. Persoalan ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa hal
tersebut bisa terjadi?
Sebelum membahas lebih lanjut persoalan ini, ada baiknya mencermati
pokok-pokok pikiran yang mendasari munculnya UU Perbankan Syariah
sebagaimana terdapat dalam Penjelasan Umum konsiderans butir (c) UU
Perbankan Syariah sebagai berikut:
a. Agar tercapai tujuan pembangunan nasional dan dapat berperan aktif
dalam persaingan global yang sehat, diperlukan partisipasi dan kontribusi
semua elemen masyarakat untuk menggali berbagai potensi yang ada di
126

masyarakat guna mendukung proses akselerasi ekonomi dalam upaya


merealisasikan tujuan pembangunan nasional. Salah satu bentuk
penggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat dalam
perekonomian nasional tersebut adalah pengembangan sistem ekonomi
berdasarkan nilai Islam (Syariah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya
ke dalam Sistem Hukum Nasional. Prinsip Syariah berlandaskan pada
nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan
(rahmatan lil „alamin). Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan
perbankan yang didasarkan pada Prinsip Syariah yang disebut Perbankan
Syariah.
b. Perbankan Syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional
memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan
kontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional. Salah
satu sarana pendukung vital adalah adanya pengaturan yang memadai dan
sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan tersebut di antaranya
dituangkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah. Pembentukan
Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi kebutuhan dan keniscayaan
bagi berkembangnya lembaga tersebut.
c. Sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah, dalam
Undang-Undang ini diatur mengenai masalah kepatuhan syariah (syariah
compliance) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS)
yang harus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah dan UUS. Untuk
menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam
Peraturan Bank Indonesia, di dalam internal Otortas Jasa Keuangan
dibentuk Komite Pengembangan Jasa Keuangan Syariah, yang
keanggotaannya terdiri atas perwakilan dari OJK, Departemen Agama,
dan unsur masyarakat yang komposisinya berimbang. Sementara itu,
127

penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada perbankan syariah,


akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Agama.
Berdasarkan pada Penjelasan Umum Undang-undang Perbankan Syariah,
dapat dikatakan bahwa dasar pemikiran dibentuknya Undang-undang
Perbankan Syariah adalah mengimplementasikan prinsip-prinsip syariah ke
dalam sistem hukum nasional, khususnya perundang-undangan perbankan
syariah. Selain itu, pada tataran praktis, implementasi ini dilaksanakan dalam
kerangka kepatuhan syariah (syariah compliance). Penentuan prinsip-prinsip
syariah dalam hal ini muamalah, khususnya perikatan dengan akad
musyârakah mutanâqisah merupakan kewenangan DSN-MUI. Implementasi
penetapan prinsip-prinsip syariah pada masing-masing Bank Syariah dan UUS
dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada
masing-masing institusi perbankan syariah. Selain itu, untuk menindaklanjuti
fatwa tersebut ke dalam Peraturan Bank Indonesia dilakukan oleh KPJKS.143
Dari dasar pemikiran tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa seharusnya
OJK menyerap sepenuhnya konsep akad musyârakah mutanâqisah dalam
setiap peraturannya, bukan hanya menyerap sebagian isi fatwa DSN. Namun
tidak bisa dipungkiri, bahwa skim musyârakah memiliki resiko pembiayaan
yang tinggi yang bisa mengganggu ekonomi perbankan jika terjadi
wanprestasi dari nasabah. Dari sini penulis justru melihat bahwa bank sedang
berusaha mewujudkan pembangunan nasional (sebagaiama penjelasan UU
perbankan syariah di atas) dengan pengenaan jaminan untuk memitigasi
resiko yang dapat membahayakan dana nasabah yang lain. Namun di sisi lain
bank terlihat menampakkan dirinya sebagai lembaga komersil yang selain
tidak mau rugi juga menginginkan selalu untung, ini terlihat dari kebijakannya

143
Dalam aplikasi sistem hukum syariah paling tidak terdiri dari dua unsur, yaitu akad (secara
syariah) dalam fatwa DSN dan aturan pemerintah. Antara dua unsure tersebut mempunyai pola
hubungan yang sangat erat, karena keberadaan keduanya merupakan bagian integral dari perikatan
syariah.
128

mengenakan biaya administrasi pada nasabah pembiayaan musyârakah


mutanâqisah. Adapun pengalihan hissah dilakukan sekaligus ini merupakan
usaha untuk menghindari double tax perpindahan kepemilikan secara undang-
undang.
Menurut Sefrina, perbedaan dalam perumusan teks peraturan ataupun
surat edaran OJK tidak mungkin ada, karena dalam perumusan peraturan
tersebut OJK telah melibatkan DSN. Penerbitan peraturan (SEOJK) mengenai
akad musyârakah mutanâqisah sudah mendapatkan persetujuan dari DSN-
MUI, ini tertuang dalam Pernyataan Kesesuian Syariah DSN-MUI No.U-
257/DSN-MUI/VIII/2014. Sefrina tidak menjelaskan lebih jauh mengenai
sebab perbedaan teks ketentuan tersebut.
Sefrina juga menuturkan bahwa untuk menyusun suatu peraturan, OJK
memiliki prosedur tahapan (rules of making), secara garis besar sebagai
berikut:
a. direktorat melakukan kajian, dengan merumuskan kajian terlebih dahulu
suatu perkara yang akan diundangkan
b. Setelah rumusan kajian selesai dibuat, dan disetujui oleh pimpinan OJK
c. Selanjutnya akan disusun drafting ketentuan dan disampaikan kepada
anggoa dewan komisioner
d. Diajukan tanggapan tertulis kepada stakeholders. Stakeholders adalah
perrwakilan dari DSN-MUI, MES, perwakilan dari lembaga keuangan
syariah, dan lain sebagainya.
e. Rapat jejak pendapat dengan stakeholders.
f. Dilakukan kompliar, dalam tahapan ini, direktorat akan memiilah-milah
tanggapan dari stakeholders yang bisa dan tidak bisa diakomodir,
tegantung konteks di mana tanggapan tersebut sesuai atau tidak dengan
standard OJK
129

g. Setelah finalisasi tanggapan, kemudian dilakukan RDK (Rapat Dewan


Komisioner), dalam rapat ini akan memutuskan bahwa suatu peraturan
bisa diterbitkan atau tidak.

Jika dilihat dari prosedur tahapan pembuatan peraturan di atas,


khususnya pada huruf (f), maka sangat mungkin terjadi disharmonisasi
content antara fatwa DSN-MUI dan peraturan OJK. Karena OJK tidak akan
mengcover semua masukan dari stakeholders termasuk dari kalangan DSN-
MUI sebagai perumus fatwa jika dirasa tak sesuai dengan standard OJK.

Secara kostitusional, Indonesia adalah negara hukum berdasarkan


pancasila, yang diatur dalam pasal 1 ayat (3) dan pasa; 28 I ayat (5) UUN
Negara Republik Indonesia tahun 1945. Secara harfiah dari rujukan ketentuan
tersebut, memiliki arti bahwa tidak boleh ada aturan yang bertentangan
dengan Undang-undang Dasar atau Undang-undang yang di atasnya dalam hal
sebagai sumber hukum, namun realitanya ini masih sering terjadi termasuk
dalam kasus peneltian ini.

Upaya memformulasikan Hukum Islam (fatwa DSN-MUI) ke dalam


bentuk hukum tertulis menekankan pada ajaran positivisasi hukum
sebagaimana penelitian Yeni Salma Barlinti.144 Di mana hukum itu baru
diakui kepastian hukumnya setelah dijadikan undang undang, namun di sisi
lain, para ahli hukum dan yang berkepentingan terhadap hukum tidak
membatasi diri terhadap hukum tertulis (peraturan perundang-undangan).
Misalnya saja, hakim boleh menafsirkan lain dari yang tertulis dengan tidak
hanya mengedepankan penafsiran original intent (apa yang tertulis itu yang

144
Pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pemikiran bahwa negara Indonesia
merupakan negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan harus berdasarkan sistem hukum nasional. Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah dasar hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan
baik di tingkat pusat maupun daerah.
130

harus dilakukan) sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang dijamin dalam


konstitusi. Kebiasaan, adat yang baik, pendapat masyarakat, fatwa DSN-MUI,
bagi para ahli positivisasi hukum dapat berfungsi sebagai sumber hukum.
Hakim boleh menciptakan hukum sebagaimana disebutkan dalam pasal 10
Undang-undang No. 84 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
131

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis fatwa dan peraturan perundang-undangan yang


telah dilakukan, maka penulis menyimpulkan:

1. Model transformasi disini dapat digolongkan menjadi dua; secara literal


dan non literal. Secara literal menggunakan metode positivisasi dan copy
paste, dan non literal dilakukan dengan cara objektifikasi dengan pola
adopsi dan adaptasi (ini yang paling banyak dilakukan). Terdapat
beberapa pola positivisasi fatwa DSN-MUI mengenai akad musyârakah
mutanâqisah dalam peraturan perundang-undangan, dalam hal ini
ketentuan SEBI/SEOJK. Yaitu model objektivikasi dengan pola adopsi
sepenuhnya, adopsi sebagian, perluasan, penyempitan, dan adaptasi.
Selain itu SEBI/SEOJK juga menggunakan pola copy paste pada satu
ketentuan mengenai akad yang menyusun akad musyârakah mutanâqisah.
meskipun demikian, secara umum, isi fatwa DSN-MUI dan peraturan
SEOJK/SEBI tersebut secara subtansi sudah sesuai kecuali dalam empat
ketentuan.
2. Dari sisi konten, permasalahan perbedaan ketentuan fatwa DSN-MUI dan
regulasi SEBI/SEOJK disebabkan diantaranya karena penggunaan konsep
yang sama dengan bisnis konvensional, seperti penggunaan istilah
penyaluran objek pembiayaan konsumtif, produktif, dan investasi.
Adapun dari segi subtansi permasalahan disebabkan oleh kebiasaan
mengambil fatwa yang tidak utuh dan adanya fatwa baru yang
mengelaborasi konsep lama. Hal tersebut disebabkan karena pola adopsi
yang digunakan terutama pola adopsi sebagian.
132

Lebih jauh, model transformasi tersebut menyebabkan terjadinya


perbedaan dan pertentangan pada beberapa konten ketentuan yang ada
dalam fatwa DSN-MUI dan regulasi BI/OJK. Bahkan mempengaruhi
esensi dan kesyariahan aplikasi dari produk pembiayaan musyârakah
mutanâqisah.
Dalam penelitian ini penulis juga menyimpulkan bahwa fatwa DSN-
MUI menjadi sumber yang bersifat nasihat bagi OJK. Artinya, terkait
dengan teori positivisasi dan objektifikasi hukum islam, bahwa hukum
islam/fatwa DSN-MUI tidak harus secara literal ditransformasikan ke
dalam peraturan perundang-undangan. Fatwa DSN-MUI bisa diserap
dengan cara objektivikasi; adopsi sepenuhnya, dan adaptasi. Dengan cara
tersebut maka fatwa DSN-MUI bisa terserap dengan baik minimal secara
subtansi non literal sebagaimana teks fatwa DSN-MUI.

B. Saran
1. Saran untuk OJK
a. fatwa DSN memang tidak mengikat dan tidak memiliki kekuatan
hukum sekuat peraturan dari OJK. Namun karena fatwa DSN
merupakan manifestasi hukum syariah (bersumber dari alquran hadis
dan fikih), hendaknya OJK mempebaiki terkait teks peraturan yang
belum sesuai dengan fatwa DSN Karena namanya bank syariah maka
kebijakannya harus syariah juga.
b. Harmonisasi/penyesuaian ketentuan fatwa DSN-MUI dengan
regulasi SEBI/SEOJK sangat penting dilakukan dalam rangka
penyempurnaan hukum materil di pengadilan.
2. Saran untuk penelitian selanjutnya
a. Harus penulis akui bahwa penelitian ini sangat terbatas. Penelitian ini
hanya menguji satu skim pembiayaan yaitu akad musyârakah
mutanqisâh dari banyaknya ragam kategori akad pembiayaan, seperti
133

murabahah, mudârabah, ijârah, asuransi dan lain lain. ini mungkin


sekali untuk dilakukan penelitian lanjutan. Hal ini sangat penting
diketahui bagaimana sebenarnya sinkronisasi/harmonisasi antara
fatwa DSN dan peraturan perundang undangan.
b. Dalam penelitian ini, penulis hanya menggunakan metode kontent
analisis, masih terbuka penelitian yang sama dengan menggunakan
pendekatan analisis yang lain. Karena beda metode/pendekatan
memungkinkan hasil penelitian yang berbeda.
134

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Ahmed, Salahuddin, Islamic Banking, Finance and Insurance: A Global Overview,
Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 2006
Ali, Mohd. Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, ed. 6, cet. 11, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004
al-Kawâmilah, Nûr al-Dîn „Abd al-Karîm, al-Musyârakah al-Mutanâqisah wa
Tatbîqatuhâ al-Mu„âsirah fî al-Fiqh al-Islâmî „Amman: Dâr al-Nafâ`is lî al-
Nasr wa al-Tawzî„, 2008
al-Ramlî, Syihâb al-Dîn, Nihâyah al-Muhtâj Ilâ Syarh al-Minhâj, Beirut : Dâr al-
Fikri, 1404/1983jilid V
aL-Zarqa, Mushtafa, al-Madkhal al-Fiqh al-`âm, Juz II, Beirut: Dar al-Qalam, 1418
H.
Al-Zuhaili, Wahbah, al-Mu‟âmalah al-Mâliyah al-Mu‟âsirah, t.tp.: t.p., t.t
Anshari, Endang Saifuddin Piagam Jakarta 22 Juli 1945: Sebuah Konsensus
Nasional tentang dasar Negara republikndonesia (1945-1949), Jakarta: Gema
Insani Press, 1997
Arifin, bustanul, Pelembagaan Hukum Islam Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan
Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Assiddiqie, Jimly, Hukum acara Pengujian Undang-undang, Jakarta: Konstitusi
Press, 2001
__________ Menggagas Peradilan Etik di Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial RI
Pust Analisis dan Layanan Informasi, 2015
__________ Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara pasca reformasi
Ayub, Muhammad, Understanding Islamic Finance, West Sussex: Wiley Finance,
2007
Azizy, A. Qodri, Elektisisme Hukum Nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan
Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002
Barkatullah, Abdul Halim dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan
Zamanyang Terus berkembang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Barlinti, Yeni, Salma Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem
Hukum Nasional di Indonesia, t.p.: Badan Litbang dan Diklat Kementrian
Agama RI, 2010
135

Basri, Cik Hasan, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial,
Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004
David, Rene dan J.E.C. Brierly, Major Legal System in The World Today, 1978.
Dupret, Baundouin La Charia Des Sources A La Pratique Un Concept Pluriel, Paris:
La Decouverte, 2014
El-Gamal, Mahmoud A. Islamic Finance Law, Economic, and Practice
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif Hukum Dan Perundang-
Undangan, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI
Hakim, Cecep Maskanul, Belajar Mudah Ekonomi Islam: Catatan Kritis Terhadap
Dinamika Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia, Tangerang,
Shuhuf Media INsani, 2011
Ikatan Bankir Indonesia (IBI) dan Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan (LSPP),
Mengelola Bisnis Pembiayaan Bank syariah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2015
isra, Saldi, dkk., Hasil peneliian Perkembangan Pengujian Perundang-undangan di
Mahkamah Konstitusi (dari Berfikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif),
t.tp: mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum
Universitas Andalas, 2010
K., Ahmad, Islamic Finance and Banking: The Challenge and Prospects, Review of
Islamic Economics, Vol. 9. 2000
Ka‟bah, Rifyal Penegakan Syariah Islam di Indonesia, Jakarta: Khairu Bayan, 2004
Kan, J. van dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Pustaka Sarjana, t.t.
Ma‟arif, A. Syafi‟I, et. al., Syariat Islam Yes Syariat Islam No: Dilema Piagam
Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, Jakarta: Paramadina, 2001, Cet. 1.
Mahmasani, Sobhi Filsafat Hukum Islam, Bandung: al-Ma‟arif, 1976
Majma„ al-Fiqh al-Islami, Majallah, 1:388
Makhrus Munajat dkk., Objektivikasi Hukum Pidana Islam ke dalam Hukum
Nnasional. Jurnal Istiqra, Vol 03, no. 01 tahun 2004
Mandzur, Ibnu, Lisaan Al-Arab, Beirut: Dar Al-Fikr, 1997
Marzuki Wahid, Fikih Madzhab Negara: Kritik atas politik Hukum di Indonesia,
Yogyakarta: LKIS, 2001
Masykuri Abdullah, Formalisasi Syari‟at Islam di Indonesia, Jakarta: Renaissance,
2005
136

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty


Yogyakarta, 2003
Mnyana Ranku, The Relationship Between Market Share and New Product Launch in
FMCG, Pretoria: Gordon Institute of Business Science University of Pretoria,
2009
Mudzhar, Atho dalam bukunya “Esai-esai Sejarah Sosial hukum Islam” dengan Judul
The Legal Reasoing and Socio-Legal impact of The Fatwas of The Council of
Indonesian Ulama on economic Issues, Yogyakarta: pustaka pelajar, 2014
_______, Fatwas of The Council of Indonesian Ulama: A Study of Islamic Legal
Thought in Indonesian 1975-1988, Los Angeles: University of California,
1990
Otto, Jan Michiel, Sharia Incorporated Law: Governence, and Development
Research, Leiden: Leiden University Press, 2010
Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, Jakarta: Bank Indonesia.
1999
Qudâmah, Ibn, Al-Mughnî Li ibn Qudâmah, (Mesir : Maktabah Jumhuriyah al-
'Arabiyah, t.th), juz V,
Ranggawidjaja, Rosjidi, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Bandung:
Mandar Maju, 1998
Rivai, Veithzal, et.al, Islamic Banking: Sebuah Teori, Konsep, dan Aplikasi, Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2010
Rosyadi, A Rahmat dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Prespektif
Tata Hukum Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2006
S.H., Siddiqui, Islamic Banking: True Modes of Financing, New Horizon, May-June,
(2001), h. 109.
Soekanto, Soerjono dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dan Masyarakat,
Jakarta: PT. Rajawali, 1982
Soeroso, R., Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2001
Sopyan, Yayan, Islam-Negara; Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, t.t
Sumargono, Denny JA, HA, Kuntowijoyo, et.al., Negara Sekuler: Sebuah Polemik,
Jakarta: Putra Berdikari Bangsa, 2000
Sumarjan, Ichtijanto (ed.), Pengembangan Toeri Berlakunya Hukum Islam di
Indonesia,” dalam Tjun Sumarjan (ed.), Hukum Islam di Indonesia:
Perkembangan dan Pembentukan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994,
Cet. ke-2,
137

Sunarto, Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata, Jakarta: Prenadamedia Grup,
2014
Syubair, Muhammad „Utsmân, al-Mu‟âmalah al-Mâliyah al-Mu‟âsirah, Yordania:
Dâr al-nafâ`is, 2008, Cet. ke-6
Usman, Suparman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam
dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Usmani, Muhammad Taqi, An Introduction to Islamic Finance The Hague: Kluwer
International Law, 2002
Utrecht, E., Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ichtiar, 1957
Weeramantry, CG., Islamic Jurisprudence: An Iternational Prespective, Kuala
Lumpur: The Other Press, 2001
Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic,J.Wilton Cowan (ed), Cet.III, Otto
Harrassowitz, Wiesbaden, 19971
Zaidan, Abdul Karim, Al-Madkhal li al-Darasah al-Syari‟ah al-Islamiyah, Beirut:
Resalah Publisher, 1969
Zevenbergen, Formele Encyclopedia der Rechtswetenschap, Gebr. Belifante:
s‟Gravenhage, 1925

Jurnal, Tesis, dan Disertasi:


Adams, Wahiduddin, Pola Penyerapan Fatwa Dewan Syariah Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI), Desertasi UIN Jakarta, 2008
Addina, Amalia Nur, Pembiayaan Akad Musyarakah pada Pembiayaan Hunian
Syariah (Phs) di Bank Muamalat Indonesia Cabang Malang, Skripsi, Jurusan
Managemen Fakultas Ekonomi (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
Ali, Muhtar, Prospek Fatwa sebagai Hukum Positif di Indonesia: Suatu Tinjauan
Historis dan Yuridis, Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009
Banbury, Catherine M., “The Effect of Introducing Important Incremental
Innovations on Market Share and Business Survival.” Strategic Management
Journal, Vol. 16, 1995,
Chux Ghervase Iwu, “Impact of Product Development and Innovation on Market
Share.” African Journal of Business Management Vol. 4 (13), 4 October,
2010, 2659-2667
Faozan, Akhmad, Pola dan Urgensi Positivisasi Fatwa-fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia tentang Perbankan Syariah di Indonesia,
Jurnal Al-Manāhij, Vol. X No. 2, Desember 2016
138

Hasanah, Tuti, Transformasi Fatwa Dewan Syariah Nasional ke dalam Hukum


Positif, Tesis Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin, 2014
Maksum, Muhammad, Kedudukan syariah sebagai sumber Hukum positif: Kajian
Awal atas Hukum Perkawinan, Ekonomi Islam, dan Hukum Ketenagakerjaan
di Indonesia dan Maroko, Istinbáth Jurnal of Islamic Law/Jurnal Hukum
Islam ISSN 1829-6505 vol. 15, No. 2.
_______ Kedudukan Syariah sebagai Sumber Hukum Positif: Kajian Awal atas
Hukum Perkawinan, Ekonomi Islam, dan Hukum Ketenagakerjaan di
Indonesia dan Maroko, Jurnal Istinbath, Vol. 15, No.2,
________ The Sharia Compliance of Islamic Multi Contract in Islamic Banking,
International Conference on Law and Justice (ICLJ 2017), Atlantis Press;
Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 162
Meera, Ahamed Kameel Mydin dan Dzuljastri Abdul Razak, Islamic Home
Financing through Musharakah Mutanaqisah and al-Bay‟ Bithaman Ajil
Contracts: A Comparative Analysis, Department of Business Administration
Kulliyyah of Economics and Management Sciences International Islamic
University Malaysia
Meera, Ahamed Kameel Mydin dan Dzuljastri Abdul Razak, Islamic Home
Financing through Musharakah Mutanaqisah and al-Bay„ Bithaman Ajil
Contracts: A Comparative Analysis, Review of Islamic Economics, Vol. 9, No.
2 2005
Mudzhar, Muhammad Atho dan Muhammad Maksum, Synergy or Conflict of Laws?
(Comparison between the Compilation of Rules on Shari‟ah Economy (KHES)
and the National Shari‟ah Board‟s (DSN) Fatwas), 682| AL-„ADALAH Vol.
XII, No. 4, Desember 2015
Omar, Basyir bin, Perjanjian Jual Beli Rumah Mengikut Perspektif Undang-Undang
Muamalah Islam, Disertasi Sarjana Jabatan Syariah dan Undang-Undang.
Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Universiti Malaya, 2002=
Rahmi, Putrid Kamilatur, Implementasi Akad Musyarakah Mutanaqishah pada
Pembiayaan Kepemilikan Rumah di Bank Muamalat Lumajang, Iqtishoduna
Vol. 5 No. 1 April 2015
S.A., Rosly and Bakar, M.A.A., Performance of Islamic and mainstream banks in
Malaysia, International Journal of Social Economics, Vol. 30 No. 12, (2003)
Syamsoni, Ujang Ruhyat Taqnin Al-Ahkam (Legislasi Hukum Islam Ke Dalam
Hukum Nasional), Jurnal Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
Taib, Fauziah Md. and T. Ramayah, Faktors Influencing Intention to use Diminishing
Partnership Home Financing, International Journal of Islamic and Middle
Eastern Finance and Management Vol. 1 No. 3, 2008
139

Wahid, Soleh Hasan pola Transformasi Fatwa Ekonomi Syariah Dsn-Mui Dalam
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Jurnal Hukum Islam al-Ahkam
DOI: 10.21274/ahkam.2016.4.2.171-198
Wahiduddin Adams, Pola Penyerapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
Peraturan Perundang-undangan 1975-1997, Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullaj, 2002 Disertasi tidak dipublikasikan

Kamus, Booklet,
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. III Jakarta:
Balai Pustaka, 2005
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2005
Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan Otoritas Jasa keuangan, Booklet
Perbankan Indonesia 2014, edisi 1 Maret 2014 ISSN : 1858 - 4233
Indonesia, Undang-undang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025, Undang-undang No. 17 Tahun 2007, LNRI No.
33 Tahun 2007, TLNRI No. 4700
Divisi Pengembangan Produk dan Edukasi, Departemen Perbankan Syariah dan
Otoritas Jasa Keuangan, Standar Produk Perbankan Syariah Musyarakah dan
Musyarakah Mutanaqishah, Jakarta: t.tp, 2016

Undang-undang, Fatwa, dan Wawancara:


Al-Qur`an
Departemen Agama RI, Komplilasi Hukum Islam di Indonesia, 2002
Fatwa DSN-MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyârakah
Fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUIlIV/2000 tentang Ijârah
Fatwa DSN-MUI No. 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang musyârakah mutanâqisah
Fatwa DSN-MUI No. 85/DSN-MUIIXll/2012 tentang Janji (Wa'd) dalam Transaksi
Keuangan dan Bisnis Syariah
PBI No.10/17/PBI/2008 Tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah
Peraturan Bank Indonesia No.11/25/PBI/2009
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 Pelaksanaan Good Corporate
Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
140

Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen


Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
SEOJK No.36/SEOJK.03/2015 tentang Produk Dan Aktivitas Bank Umum Syariah
Dan Unit Usaha Syariah.
Surat Edaran Bank Indonesia No.14/33/DPbS perihal Produk Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah
Surat Edaran Bank Indonesia No.15/40/DKMP tentang perihal penerapan Manajemen
Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan
Pemilikan Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, dan
Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor
Surat Keputusan DSN-MUI NO.01/DSN-MUI/X/2013 Tentang Pedoman
Implementasi Musyârakah Mutanâqisah dalam Produk Pembiayaan.
Undang-undang Dasar 1945 Perubahan Keempat.
Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
Undang-undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
Wawancara dengan Sefrina widianti, Deputi direktur devisi pengaturan departemen
perbankan syariah OJK tanggal 24/05/2018
Dan lain lain.

Internet:
Fungsi Bank Indonesia: Visi dan Misi, https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/fungsi-
bi/status/Contents/Default.aspx diakses pada 15 Novenber 2018
GBHN tahun 1999
http://www.infobanknews.com/2011/01/bi-inovasi-produk-menjadikunci-sukses-
perbankan syariah/ diakses tanggal 5 Desember 2012.
https://economy.okezone.com/read/2012/03/30/316/602652/pembiayaan-bagi-hasil-
musyarakah diakses pada 9 Juli 2018
Husein, Syafriman dalam http>//ilmuhukumusk.blogspot/2013/05/legisme-hukum-
dan-positivisme-hukum.html diakses pada tanggal 12 Novenber 2018
Meri, Josef W., Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia. t.t.: Psychology
Press. 2005 Fungsi Bank Indonesia: Status dan Kedudukan Bank Indonesia,
141

https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/fungsi-bi/status/Contents/Default.aspx
diakses pada 15 Novenber 2018
Mubarok, Jaih, “Struktur DSN-MUI”,
http://majelispenulis.blogspot.com/2016/05/peran-dewan-syariah-
nasional.html diakses pada 15 Novenber 2018
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang
Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK)" Pasal 7. UU OJK dapat diakses di
http://www.bapepam.go.id/bapepamlk/others/UU-21-2011-OJK.pdf
142

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Najikha Akhyati

Tempat/Tanggal Lahir : Jombang/25 Januari 1988

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : jl. Purnawarmman Komplek Puspa Asri Residence


No. A5 RT. 003/012 Pisangan Ciputat Timur Cirendeu
Banten Tangerang Selatan

Hp. : 085777758845

Riwayat Pendidikan : 2000 MI Al-Urwatul Wutsqo Jombang

2004 MTS Al-Urwatul Wutsqo Jombang

2007 MA Perguruan Muallimat Jombang

2007 Madrasah Hifzil Quran Walisongo Jombang

2014 SI Institut Ilmu Al-Qur`an, fakultas Syariah,


Jurusan Muamalat

2014 SI International Institute for Hadis Sciences of


Darus Sunnah Jakarta

Nama Ayah/Pekerjaan : Abd Mughni/Guru

Nama Ibu/Pekerjaan : Siti Asiyah (alm)/ -

Demikian daftar riwayat hidup penulis.

Jakarta, 25 Novenber 2018


Penulis,

Najikha Akhyati
NIM. 21140433100012
143

HASIL WAWANCARA DENGAN PIHAK OTORITAS JASA KEUANGAN


TENTANG TRANSFORMASI FATWA DSN-MUI TENTANG AKAD
MUSYÂRAKAH MUTANÂQISAH
Narasumber : Sefrina widianti
Jabatan : Deputi Direktur Devisi Pengaturan Departemen Perbankan Syariah
Otoritas Jasa Keuangan
Hari/tanggal : 24 Mei 20018
Tempat : Gedung Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Lantai 20 Departemen
Perbankan Syariah

1. Bagaimana Hubungan antara OJK dan BI?


Hubungan BI dan OJk dari sudut pandangnya kalo BI memandang (regulasi)
ekonomi secara makroprudensial sedangkan OJK secara mikroprudensial.
Keduanya merupakan lembaga Negara yang dibetuk oleh Negara melalui undang
undang. OJK dibentuk pada tahun 2011. UU OJK pasal 55
2. Bagaimana sistem/prosedur penerbitan suatu regulasi/peraturan oleh OJK, apakah
melibatkan pihak lain?
Tidak semua POJK dibuatkan SEOJK, itu tergantung pada amanat POJK nya.
Dan OJK memiliki prosedur tahapan (rules of making), secara garis besar sebagai
berikut:
a. direktorat melakukan kajian, dengan merumuskan kajian terlebih dahulu
suatu perkara yang akan diundangkan
b. Setelah rumusan kajian selesai dibuat, dan disetujui oleh pimpinan OJK
c. Selanjutnya akan disusun drafting ketentuan dan disampaikan kepada
anggoa dewan komisioner
d. Diajukan tanggapan tertulis kepada stakeholders. Stakeholders adalah
perrwakilan dari DSN-MUI, MES, perwakilan dari lembaga keuangan
syariah, dan advokad dan lain sebagainya.
144

e. Rapat jejak pendapat dengan stakeholders.


f. Dilakukan kompliar, dalam tahapan ini, direktorat akan memiilah-milah
tanggapan dari stakeholders yang bisa dan tidak bisa diakomodir, tegantung
konteks di mana tanggapan tersebut sesuai atau tidak dengan standard OJK
g. Setelah finalisasi tanggapan, kemudian dilakukan RDK (Rapat Dewan
Komisioner), dalam rapat ini akan memutuskan bahwa suatu peraturan bisa
diterbitkan atau tidak.
Kami tidak melibatkan DPR. Karna OJK adalah lembaga independent.
3. Bagaimana peran Komite Perbankan Syariah (KPS) saat ini?
KPS sudah tidak ada. Sejak 2014, sebagian tugas BI beralih ke OJK, KPS dihapus,
diperluas fungsinya menjadi KPJKS (Komite Pengembangan Jasa Keuangan Syariah).
Jadi tugasnya tidak hanya terbatas mengkaji tentang Perbankan syariah, tapi semua
kegiatan jasa keuangan yang berbasis syariah dan non syariah, seperti pasar modal juga.
4. Apa saja yang menjadi dasar pertimbangan dibuat dan diterbitkannya suatu POJK dan
SEOJK (tentang perbankan syariah)?
PBI akan tetap berlaku selama belum ada POJK/SEOJK baru yang
menggantikannya. Dengan kata lain, OJK memiliki banyak tugas, banyak
POJK/SEOJK yang sudah dikeluarkan OJK, tapi banyak juga peraturan
perbankan syariah yang masih mengacu kepada PBI/SEBI.
5. Bagaimana proses regulasi tentang produk pembiayaan kepemilikan rumah dengan
menggunakan akad musyârakah mutanâqisah pada SEBI No.15/40/DKMP dan SEOJK
No.36/SEOJK.03/2015?
Prosesnya sama sebagaimana rules of making yang saya sebutkan tadi.
6. Ada perbedaan antara subtansi fatwa DSN dengan POJK/SEOJK/SEBI yang dikeluarkan
oleh OJK, mengapa? Menurut fatwa DSN-MUI, harusnya akad musyârakah mutanâqisah
ditujukan untuk pembiayaan produktif, bukan konsumtif seperti pembiayaan KPR yang
diaplikasikan di perbankan syariah!
Tidak tahu. Yang jelas, sebagaimana disebutkan tadi, OJK memiliki rules/prosedur
sendiri dalam membuat dan menerbitkan peraturan. Tidak mungkin ada yang berbeda.
Apalagi OJK mengajak duduk banyak stakeholders dalam perumusannya termasuk pihak
145

DSN-MUI. Jadi tidak mungkin berbeda. Hubungannya dengan jenis pembiayaan


Konsumtif atau produktif, OJK punya pakem sendiri yang harus dipatuhi perbankan
syariah. Yang penting, setiap produk baru yang diajukan harus ada dan sesuai dengan
produk induk yang ditentukan OJK.

Anda mungkin juga menyukai