TESIS
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Hukum (M.H.)
Disusun Oleh:
Najikha Akhyati
NIM: 21140433100012
Dosen Pembimbing:
Muhammad Maksum
NIP.197807152003121007
ب b Be
ت t te
ث ts te dan es
ج j je
د D de
iv
م M Em
ن n En
و w Wa
هـ h Ha
ء ` Apostrop
ي y Ye
b. Vokal
Dalam bahasa Arab vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia memiliki vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau
monoftong, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ـَـ a Fathah
ـِـ I Kasrah
ـُـ u Dammah
Adapun untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ـَـ ي ai A dan i
ـَـ و au A dan u
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan
dengan harakat dan huruf, yaitu :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
v
Kata Pengantar
Bismillâhirrahmânirrahîm,
Alhamdulillah penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt atas segala
limpahan nikmat karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
tesis in. untaian sholawat beriringkan salam penulis haturkan kepada baginda Nabi
saw yang atas kuasa Allah swt telah mengeluarkan kita dari zaman kegelapan menuju
zaman terang benderang yang penuh dengan ilmu pengetahuan, semoga syafaat
beliau senantiasa tercurahkan kepada seluruh kaum muslimin sampai hari akhir.
Berbagai macam kesulitan dan cobaan menghalangi penulis dalam
menyelesaikan tesis ini, namun rintangan itu berakhir pada suatu jalan kemudahan
yang hadir berkat bimbingan, bantuan, serta dukungan yang sangat berguna dari
berbagai pihak.
Dengan demikian, pada kesempatan ini penulis mengungkapkan rasa terima
kasih yang tulus disertai rasa hormat dan penghargaan yang sebesar-besarnyya
kepada:
1. Prof. Dr. dede Rosyada, MA., Rektor Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D., Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam
Negri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Dr. Nurhasanah, M.Ag., Ketua Program Studi Magister Hukum Ekonomi Syariah
dan Chairul Hadi, M.A., Sekretaris Program Studi Magister Hukum Eknomi
Syariah
4. Dr. Muhammad Maksum, SH., MAC., selaku pembimbing tesis penulis yang
telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan arahan kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. Semoga beliau
selalu dalam lindungan dan kasih sayang Allah swt
5. Narasumber dan seluruh staf Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indnesia
(DSN-MUI) yang telah memberikan izin serta membantu penulis dalam
vi
observasi dan wawancara terkait data yang enuliis perlukan dalam penelitian
tesis, terkhusus kepada Dr. H. Hasanuddin, M.Ag., selaku wakil ketua BPH
DSN_MUI yang telah bersedia menjadi narasumber dan memberikan informasi
kepada penulis.
6. Narasumber dan seluruh staf Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang telah
memberikan izin serta membantu penulis dalam observasi dan wawancara terkait
data yang penulis perlukan dalam penelitian tesis, terkhusus Ibu Sefrina selaku
Deputi Guberbur OJK yang telah bersedia menjadi narasumber dan memberikan
informasi kepada penulis.
7. Seluruh Dosen Program Studi Magister Hykum Ekonomi Syariah Fakyltas
Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan selama
penulis menuntut ilmu di Universitas Negri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Tercinta untuk ayah dan Ibu, terimakasih atas doa dan dukungannya.
9. Teramat sangat istimewa suamiku; mas Asep. Terimaksih atas dukungan dan
pengertiannya. Terimakasih sudah mendampingiku dalam suka dan duka.
Semoga rumah tangga kita sakinah dan barokah ya mas
10. Sahabat-sahabat saya magister Hukum Ekonomi Syariah semuanya, tak
terkecuali. Semoga ilmu kita bermanfaat dunia akhirat, dan semoga tali
silaturrahmi kita akan tetap terjaga seterusnya.
11. Semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Meskipun telah berupaya dengan semaksimal mungkin, penulis menyadari
bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dari berbagai segi dan jauh dari kata
sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah swt. Sehingga saran dan kritik
yang bersifat membangun penulis harapkan untuk kebaikan tesis ini. ahirnya penulis
berdoa semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan juga bagi para
pembaca tentunya.
Jakarta, 15 Oktober 2018
Penulis
vii
ABSTRAK
Penelitian ini berangkat dari asumsi yang berkembang di masyarakat yang
mengatakan bahwa ada perubahan antara ketentuan fatwa DSN-MUI dan POJK
tentang objek penyaluran pembiayaan musyârakah mutanâqisah, yaitu dari produktif
ke konsumtif. Hal ini dapat dilihat dari tekstual fatwa DSN-MUI dan SEBI/SEOJK
yang tidak sama. Oleh karena itu penelitian ini diarahkan untuk melihat bagaimana
model dari hasil transformasi fatwa DSN-MUI ke dalam peraturan perundang-
undangan secara keomprehensif.
Pertama, penelitian ini menemukan bahwa hukum Islam (fatwa DSN-MUI) tidak
harus secara literal ditransformasikan ke dalam Peraturan Perundang-undangan. Tesis
ini menemukan bahwa permasalahan transformasi disebabkan oleh pola positivisasi
fatwa yang kurang tepat terutama dengan adopsi sebagian (secara parsial), dan
penyempitan. Kontennya banyak menggunaan konsep yang sama dengan bisnis
konvensional, Adapun dari segi subtansi permasalahan disebabkan oleh kebiasaan
mengambil fatwa yang tidak utuh (parsial saja) dan adanya fatwa baru yang
mengelaborasi konsep lama.
Berkaitan dengan latar belakang penelitian, tesis ini mendukung pendapat Atho
Mudzhar dan Muhammad Maksum yang menyatakan bahwa adanya upaya
berkelanjutan untuk menyempurnakan aspek syariah pada produk ekonomi demi
mendorong pertumbuhan lembaga keuangan syariah. Dari segi positivisasi hukum
penelitian ini menguatkan pendapat Atho Mudhar dan Yeni salma Barlinti bahwa
fatwa DSN-MUI baru bisa mengikat secara umum setelah diundangkan.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif
deskriptif dan kajian pustaka yang didukung oleh data-data lapangan melalui
wawancara. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang dan
pendekatan sosial. Sumber hukum utama tesis ini ini adalah data hasil wawancara,
Fatwa DSN-MUI, Undang-undang Perbankan Syariah, Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan, Peraturan Bank Indonesian (PBI). Sumber hukum skunder berasal dari
semua yang sudah diolah dan dipulikasikan dalam bentuk dokumen-dokumen resmi,
buku-buku/ kitab-kitab, dan jurnal ilmiah tekait akad musyârakah mutanâqisah
sebagai objek penelitian.
Kata kunci: fatwa DSN-MUI, musyârakah mutanâqisah, SEBI/SEOJK,
Transformasi, Objektifikasi,
viii
DAFTAR ISI
ix
1. Sejarah Berdirinya Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) ......................................... 53
2. Peran dan Kewenangan Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) ......................................... 55
3. Mekanisme Kerja DSN, BPH dan DPS ........................... 56
4. Proses Penetapan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia .............................................................. 58
5. Fatwa DSN-MUI Tentang Akad Musyârakah
Mutanâqisah .................................................................... 59
B. Profil Bank Indonesia ........................................................... 61
1. Visi, Misi Dan Nilai Strategis ....................................... 63
2. Struktur Organisasi Bank Indonesia ............................. 62
C. Profil Otoritas Jasa keuangan ............................................... 65
1. Misi dan Visi OJK ......................................................... 65
2. Tujuan OJK ................................................................... 65
3. Fungsi dan Tugas OJK .................................................. 66
4. Pengalihan Fungsi Perbankan dari BI Ke OJK: Latar
Belakang Pengalihan Fungsi Pengaturan dan
Pengawasan Perbankan ................................................. 66
5. Peraturan OJK ............................................................... 67
6. Struktur Organisasi OJK ............................................... 68
BAB IV REGULASI AKAD MUSYÂRAKAH MUTANÂQISAH
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ......... 73
A. Regulasi Akad Musyârakah Mutanâqisah dalam SEBI ....... 84
B. Regulasi Akad Musyârakah Mutanâqisah dalam SEOJK.. 103
1. Ketentuan yang sama-sama Diatur baik dalam Fatwa
DSN dan SEBI/SEOJK ............................................... 112
a. Ketentuan tentang musyârakah ............................ 112
b. Penetapan nisbah keuntungan dan porsi kerugian 113
x
c. Objek Pembiayaan ................................................ 114
2. Ketentuan yang sama secara konten antara fatwa DSN-
MUI dan SEBI/SEOJK ................................................ 116
3. Ketentuan yang Berbeda (bertentangan) antara Fatwa
DSN dan SEBI/SEOJK ............................................... 117
4. Ketentuan yang Ada dalam SEBI/SEOJK, tapi tidak ada
dalam Fatwa DSN ....................................................... 122
5. Ketetuan yang Ada dalam Fatwa DSN, tapi tidak ada
dalam SEBI/SEOJK .................................................... 122
6. Faktor Perbedaan Ketentuan antara Fatwa DSN-MUI dan
SEBI/SEOJK ............................................................... 125
BAB V PENUTUP ................................................................................ 131
A. Kesimpulan ......................................................................... 131
B. Saran ................................................................................... 132
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.3 Ketentuan yang sama-sama Diatur baik dalam Fatwa DSN dan
SEBI/SEOJK: Ketentuan Tentang Musyârakah ....................... 112
Tabel 1.4 Ketentuan yang sama-sama Diatur baik dalam Fatwa DSN dan
SEBI/SEOJK: Ketentuan Tentang Penetapan Nisbah
Keuntungan dan Porsi Kerugian ................................................ 113
Tabel 1.5 Ketentuan yang sama-sama Diatur baik dalam Fatwa DSN dan
SEBI/SEOJK: Objek Pembiayaan ............................................. 114
xii
1
BAB I
PENDAHULLUAN
1
Umum Syariah (BUS), 24 Bank Syariah dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS), dan 156
BPRS, dengan jaringan kantor meningkat dari 1.692 kantor di tahun sebelumnya menjadi 2.574 di
tahun 2012. Dengan demikian jumlah jaringan kantor layanan perbankan syariah meningkat sebesar
25,31%. Aset perbankan syariah saat ini sudah mencapai Rp.179 Triliun (4,4% dari aset perbankan
nasional), sementara DPK Rp. 137 Triliun. Total pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah
sebesar Rp 139 Triliun, melebihi jumlah DPK. Ini berarti FDR perbankan syariah di atas 100%. Data
ini menunjukkan bahwa fungsi intermediasi perbankan syariah untuk menggerakan perekenomian,
sangat besar.
2
Chux Ghervase Iwu, “Impact of Product Development and Innovation on Market Share.”
African Journal of Business Management Vol. 4 (13), 4 October, 2010, 2659-2667. Mnyana Ranku,
The Relationship Between Market Share and New Product Launch in FMCG (Pretoria: Gordon
Institute of Business Science University of Pretoria, 2009), i. Catherine M. Banbury, “The Effect of
Introducing Important Incremental Innovations on Market Share and Business Survival.” Strategic
Management Journal, Vol. 16, (1995), 161-182.
3
Sehubungan dengan masih rendahnya pangsa pasar perbankan syariah, Direktur Direktorat
Perbankan Syariah BI Mulya E. Siregar menilai inovasi dan promosi produk perbankan syariah masih
menjadi kendala utama dalam mengembangkan assets yang pada tahun 2011 sudah meraih pangsa
pasar perbankan sebesar 3,3% dari sisi asset di Indonesia. Menurutnya, inovasi produk di Indonesia
cendrung lambat. Perkembangan produk perbankan syariah dalam memperkenalkan produk-produk
baru masih lambat. Hanya terfokus produk-produk standar, tabungan, deposito saja. Pembiayaan
hingga saat ini belum ada yang canggih. Lihat, http://www.infobanknews.com/2011/01/bi-inovasi-
produk-menjadikunci-sukses-perbankan syariah/ diakses tanggal 5 Desember 2012.
2
4
Produk perbankan syariah secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu
produk penyaluran dana (financing), produk penghimpunan dana (funding), dan produk jasa (services).
Adapun dari segi penghimpunan dana, bank syariah memiliki tiga produk, yaitu tabungan, deposito,
dan giro. Dari segi akad, tiga produk tersebut menggunakan dua akad, yaitu wadî‟ah, dan mudârabah,
dengan rincian; 1) tabungan dapat menggunakan wadî‟ah (Tabungan Wadî„ah) atau mudârabah
(Tabungan Mudarabah), 2) deposito hanya menggunakan akad mudârabah (deposito mudârabah), dan
3) giro dapat menggunakan wadi„ah (Giro Wadî„ah) atau mudârabah (Giro mudârabah). Dari segi
penyaluran dana (financing), bank syariah menggunakan tiga jenis akad, yaitu 1) jual beli (murâbahah,
salam, dan istisnâ„), 2) bagi hasil (musyârakah/syirkah, musyârakah mutanâqishah, dan mudârabah),
dan 3) jasa (ijârah dan ijârah muntahiyah bit tamlîk). Akad jasa lainnya yang digunakan bank antara
lain adalah wakâlah bil ujrah dan rahn emas (gadai emas)lihat Jaih Mubarok, Makalah Hukum
Ekonomi Syariah, h. 16; lihat Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan
Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank
Syariah, pasal 1, angka 3; dan lihat Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah (Jakarta:
Bank Indonesia. 1999), hlm. 32-45
5
Cecep Maskanul Hakim menyatakan bahwa dalam menciptakan dan mengembangkan
poduk perbankan syariah biasanya menggunakan 2 (dua) pendekatan yaitu pendekatan akomodatif dan
asimilatif. Pendekatan akomodatif dilakukan dengan mengadopsi produkproduk perbankan
konvensional yang kemudian dimasukkan nilai-nilai Islam sedangkan pendekatan asimilatif berupaya
menjadikan bank Islam sebagai sebuah entitas tersendiri dalam produk tersebut dengan menunjukkan
jati diri khasnya. Lihat, Cecep Maskanul Hakim, Belajar Mudah Ekonomi Islam: Catatan Kritis
Terhadap Dinamika Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia, (Tangerang, Shuhuf Media
INsani, 2011), 158-172; Adapun dari sisi akad, menurut Maksum, pengembangan akad dapat
dilakukan inovasi akad dan modifikasi akad. Inovasi akad berarti menciptakan akad baru yang
sebelumnya belum ada. Modifikasi akad berarti membuat bentuk akad baru dari dengan memodifikasi
akad akad yang sudah ada. Lihat Muhammad Maksum, Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia,
Malaysia, dan Timur Tengah, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat kementrian Agama RI, 2013) , h. 39
6
Juga di antara produk baru tersebut adalah mudârabah musytarakah, kartu kredit syariah,
letter of kredit syariah, kafâlah bi al-ujrah, surat berharga syariah negara (SBSN), sale and least back,
dan salâm mawâzî. Dilihat dari kelahirannya produk ini terbilang baru, karna baru diluncurkan oleh
bank syariah, namun tidak tergolong baru jika dibandingkan dengan produk bank konvensional.
Karena bank konvensional sudah menerapkannya lebih dulu. Dilihat dari akad yang digunakan,
3
produk-produk tersebut menggunakan model akad baru atau akad yang sudah ada dengan
pengembangan. Muhammad Maksum, Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia, Malaysia, dan Timur
Tengah, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat kementrian Agama RI, 2013), h. 4
7
Fauziah Md. Taib and T. Ramayah, Faktors Influencing Intention to use Diminishing
Partnership Home Financing, International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and
Management Vol. 1 No. 3, 2008, h. 237
8
Ahmad, K., Islamic Finance and Banking: The Challenge and Prospects, Review of Islamic
Economics, Vol. 9 (2000), h. 57-82, lihat juga Rosly, S.A. and Bakar, M.A.A., Performance of Islamic
and mainstream banks in Malaysia, International Journal of Social Economics, Vol. 30 No. 12, (2003)
h. 1249-65. Siddiqui, S.H., Islamic Banking: True Modes of Financing, New Horizon, May-June,
(2001), h. 109.
9
Putrid Kamilatur Rahmi, Implementasi Akad Musyarakah Mutanaqishah pada Pembiayaan
Kepemilikan Rumah di Bank Muamalat Lumajang, Iqtishoduna Vol. 5 No. 1 April 2015, h 17
10
Basyir bin Omar. Perjanjian Jual Beli Rumah Mengikut Perspektif Undang-Undang
Muamalah Islam, Disertasi Sarjana Jabatan Syariah dan Undang-Undang. (Kuala Lumpur: Akademi
Pengajian Universiti Malaya, 2002).
11
Muhammad Maksum, The Sharia Compliance of Islamic Multi Contract in Islamic
Banking, International Conference on Law and Justice (ICLJ 2017), Atlantis Press; Advances in Social
Science, Education and Humanities Research, volume 162, h. 154
12
Ahamed Kameel Mydin Meera dan Dzuljastri Abdul Razak, Islamic Home Financing
through Musharakah Mutanaqisah and al-Bay‟ Bithaman Ajil Contracts: A Comparative Analysis,
4
dan sebuah bank perdagangan syariah dalam pembelian sebuah kapal laut.16
Dalam Persidangan Majma„ al-Fiqh al-Islami (Akademi Fiqh Islam) ke-15 di
„Amman pada Maret 2004 M / Muharram 1425 H, mayoritas tokoh
berpandangan bahawa fatwa pertama yang telah dikeluarkan berkenaan
dengan musyârakah mutanâqisah ialah fatwa dari pada al-Mu‟tamar li al-
Masraf al-Islami (Persidangan Bank Islam) yang diadakan buat pertama
kalinya di Dubai pada tahun 1979.17
Dalam sistem ekonomi syariah kontenporer, khususnya di perbankan
syariah, musyârakah mutanâqisah telah digunakan secara meluas dan
berkembang ke dalam pembiayaan perumahan (KPR). Selain itu juga
digunakan untuk tujuan pembiayaan kenderaan, peralatan, aset tetap, kerja
sama perniagaan, perdagangan dan lain lain.18 Kontrak / akad tersebut telah
sukses dilaksanakan oleh beberapa institusi keuangan yang menawarkan
produk dan fasilitas pelayanan perbankan Islam di seluruh dunia termasuk di
Amerika Serikat, United Kingdom, Pakistan,19 Malaysia dan juga Indonesia.
Sebagaimana pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa
musyârakah mutanâqisah merupakan produk turunan dari akad musyârakah.
Sehingga dalam implementasinya juga harus disesuaikan dengan dengan
fatwa DSN-MUI tentang musyârakah dan juga fatwa tentang musyârakah
mutanâqisah itu sendiri. Secara sederhana, bahwa musyârakah dapat
dipahami sebagai kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
16
Syubair tidak menyebutkan tanggal dan nama institusi yang terlibat secara terperinci, lihat
Muhammad „Utsmân Syubair, al-Mu‟âmalah al-Mâliyah al-Mu‟âsirah, (Yordania: Dâr al-nafâ`is,
2008), Cet. ke-6, h. 334
17
Majma„ al-Fiqh al-Islami, Majallah, 1:388, h. 414-415 dan 461.
18
Muhammad Taqi Usmani, An Introduction to Islamic Finance (The Hague: Kluwer
International Law, 2002), h. 30-35; Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance (West Sussex:
Wiley Finance, 2007), h. 339.
19
Ahamed Kameel Mydin Meera dan Dzuljastri Abdul Razak, Islamic Home Financing
through Musharakah Mutanaqisah and al-Bay„ Bithaman Ajil Contracts: A Comparative Analysis,
Review of Islamic Economics, Vol. 9, No. 2 (2005), h. 16-19; Salahuddin Ahmed, Islamic Banking,
Finance and Insurance: A Global Overview (Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 2006), h. 407-431.
6
20
https://economy.okezone.com/read/2012/03/30/316/602652/pembiayaan-bagi-hasil-
musyarakah diakses pada 9 Juli 2018
21
Pembiayaan produktif yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun
investasi. Pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a) Pembiayaan modal kerja yaitu
pembiayaan yang dimaksud untuk mendapatkan modal dalam rangka pengembangan usaha b)
Pembiayaan investasi yaitu pembiayaan yang dimaksudkan untuk melakukan investasi atau pengadaan
barang konsumtif. Lihat Muhammad Safi‟I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001), h. 160; lihat juga Veithzal Rivai, et.al, Islamic Banking: Sebuah Teori,
Konsep, dan Aplikasi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), h. 686
7
22
Amalia Nur Addina, Pembiayaan Akad Musyarakah pada Pembiayaan Hunian Syariah
(Phs) di Bank Muamalat Indonesia Cabang Malang, Skripsi, Jurusan Managemen Fakultas Ekonomi
(UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
23
Ikatan Bankir Indonesia (IBI) dan Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan (LSPP),
Mengelola Bisnis Pembiayaan Bank syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2015). h. 50
8
24
Dan karena musyârakah mutanâqisah adalah bentuk akad kerja sama dan sewa, maka
dalam implementasinya juga harus patuh pada Fatwa DSN-MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang
pembiayaan musyârakah, dan Fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUIlIV/2000 tentang Ijârah, serta Fatwa
DSN-MUI No. 85/DSN-MUIIXll/2012 tentang Janji (Wa'd) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis
Syariah.
25
Dengan lahirnya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) ini maka Surat Edaran
Bank Indonesia (SEBI) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia pada 27 November 2012
No.14/33/DPbS kepada Semua Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah di Indonesia tentang
penerapan kebijakan produk pembiayaan kepemilikan rumah dan kendaraan bermotor bagi bank umum
syariah dan unit syariah otomatis sudah tidak berlaku lagi bagi BUS dan UUS. Lihat juga Divisi
Pengembangan Produk dan Edukasi, Departemen Perbankan Syariah dan Otoritas Jasa Keuangan,
Standar Produk Perbankan Syariah Musyarakah dan Musyarakah Mutanaqishah, (Jakarta: t.tp, 2016)
26
Muhammad Maksum, Kedudukan syariah sebagai sumber Hukum positif: Kajian Awal
atas Hukum Perkawinan, Ekonomi Islam, dan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia dan Maroko,
Istinbáth Jurnal of Islamic Law/Jurnal Hukum Islam ISSN 1829-6505 vol. 15, No. 2. p. 163-334, h.
293
9
hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional adalah adanya konflik
antara hukum Islam dan hukum nasional.27 Arifin menambahkan bahwa
kendalanya adalah persepsi yang tidak sepaham terhadap syariat. 28 Perbedaan
pemikiran mengenai politik hukum islam yang antara lain tercermin dalam
perbedaan teori mengenai keberlakuan hukum Islam di Indonesia, meliputi
teori resceptie.29
27
Lihat A. Syafi‟I Ma‟arif, et. al., Syariat Islam Yes Syariat Islam No: Dilema Piagam
Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Paramadina, 2001), Cet. 1, h. 180, 184-185
28
Departemen Agama RI, Komplilasi Hukum Islam di Indonesia, (2002), h. 132-133
29
Perkembangan teori mengenai hubungan antara hukum Islam dan hukum Eropa (hukum
belanda), dan hukum adat, ichtijanto berkesimpulan bahwa teori-teori ttersebut disederhanakan
menjadi enam, yaitu teori penataan hukum, teori penerimaan otoritas hukum, teori resepsi in complexu,
teori resepsi, teori resepsi exit, dan teori resepsi a contrario. Pertama, teori penataan hukum dijelaskan
mengenai indicator tingkat atau kualitas keagamaan. Menurut teori penataan hukum, orang Islam yang
tidak taat pada ketentuan Allah swt, Rasul-Nya, dan ulil amri berarti tingkat keberagamaannya rendah.
Sebaliknya, orang Islam yang taat kepada ketentuanAllah dan Rasul-Nya, dan ulil amri berarti tingkat
keberagamaannya tinggi. Dan seserang yang melanggar ketentuan Allah, Rasyl-Nya, dan ulil amri
harus disanksi. Kedua, teori teori penerimaan otoritas hukum yang antara lain dikemukakan
olehH.A.R.Gibb dalam bukunya The Modern Trends of Islam, menurut teori ini, orang yang telah
menerima Islam sebagai agamanya berarti telah menerima otoritas hukum Islam terhadap dirinya.
Secara sosiolgis, orang yang sudah beragama Islam menerima hukum Isla dengan tingkat ketaatan yag
berbeda-beda tergantung pada tingkat ketaqwaannya kepada Allah swt. Ketiga, teori resepsi in
cmplexu, yang digagas oleh Ldewidjk William Cristian Van Den Berg yang pada intinya menyatakan
bahwa, bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab dia telah memeluk agama Islam meskipun
dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Keempat, teori resepsi yang
dikemukakan oleh Cristian Snouc Hougronje yang juga dikembangkan oleh C. Van Vollenhoven dan
Ter Har Brn. Menurut teori resepsi, bag rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat. Hukum
Islam baru berlaku jika hukum Islam telah diterima masyarakat sebagai hukum adat. Kelima, teori
resepsi exit yang dikemukakan oleh Hazairin. Menurut teori ini, teori resepsi yang telah dikemukakan
oleh Hougronje tadi tidak berlaku lagi (exit) dengan deklarasi kemerdekaan dan konstitusi 1945.
Sesuai dengan konstitusi 1945, pasal 29 ayat (1), Negara wajib membentuk hukum nasional Indonesia
yang bahannya adalah hukum agama; hukum Islam bidang perdata dan pidana diserap menjadi hukum
nasional. Penyerapan tersebut merupakan nasional Indonesia berdasarkan pancasila. Keenam, teori
resepsi a contratio yang dikemukakan oleh sayuti Talib yang menyatakan bahwa: 1) bagi orang Islam
berlaku hukum Islam, 2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukm, cita-cita batin dan
moralnya, 3) hukum adat berlaku bagi umat Islam apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Lihat Ichtijanto Sumarjan (ed.), Pengembangan Toeri Berlakunya Hukum Islam di Indonesia,” dalam
Tjun Sumarjan (ed.), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1994) Cet. ke-2, h 102-114, 11 122, dan 130-132. Lihat juga Lihat Ichrijanto,
S.A., Pengemangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Tjun Suryaman (e.d.), Hukum
Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994) Cet.
2, h. 101-102
10
30
Tidak bisa dibenarkan jika suatu teks peraturan perundang-undangan bertentangan atau
tidak sesuai dengan hukum Islam yang asli. Mahmoud A. El-Gamal, Islamic Finance Law, Economic,
and Practice, h. 16
31
Penulisan tesis ini terinspirasi dari journal Muhammad Atho Mudzhar dan Muhammad
Maksum, Synergy or Conflict of Laws? (Comparison between the Compilation of Rules on Shari‟ah
Economy (KHES) and the National Shari‟ah Board‟s (DSN) Fatwas), 682| AL-„ADALAH Vol. XII,
No. 4, Desember 2015
11
D. Definisi Operasional
Definisi operasional dimaksudkan untuk menghindari kesalahan
pemahaman dan perbedaan penafsiran yang berkaitan dengan istilah-istilah
dalam judul tesis ini. definisi operasional berisi informasi ilmiah yang sangat
membantu peneliti lain yang ingin melakukan penelitian dengan
menggunakan variabel yang sama agar dapat menentukan apakah tetap
menggunakan prosedur pengukuran yang sama atau diperlukan pengukuran
yang baru.
Sesuai dengan judul penelitian yaitu “tansformasi fatwa DSN-MUI
tentang akad musyârakah mutanâqisah dalam peraturan perundang
undangan”, maka definisi operasional yang perlu dijelaskan, yaitu:
1. Transformasi
Transformasi adalah perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan
sebagainya).32 Yang dimaksud dengan transformasi dalam penelitian ini
adalah model transformasi yang dihasilkan dari sebuah perubahan secara
32
Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. III (Jakarta:
Balai Pustaka, 2005), h. 1209.
13
E. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Kajian penelitian tesis ini tergolong penelitan hukum normatif
(normative legal research) dengan disain kualitatif deskriptif (qualitative
descriptive) dan kajian pustaka (library research) yang didukung oleh data
data lapangan melalui wawancara.
2. Pendekatan
14
33
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Hukum
Nasional di Indonesia, (t.p.: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010)
34
Muhtar Ali, Prospek Fatwa sebagai Hukum Positif di Indonesia: Suatu Tinjauan Historis
dan Yuridis, (Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009)
35
Wahiduddin Adams, Pola Penyerapan Fatwa Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI), (Desertasi UIN Jakarta, 2008)
16
36
Tuti Hasanah, Transformasi Fatwa Dewan Syariah Nasional ke dalam Hukum Positif,
(Tesis Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin, 2014)
37
Akhmad Faozan, Pola dan Urgensi Positivisasi Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia tentang Perbankan Syariah di Indonesia, Jurnal Al-Manāhij, Vol. X No. 2,
Desember 2016
38
Soleh Hasan Wahid, pola Transformasi Fatwa Ekonomi Syariah Dsn-Mui Dalam
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Jurnal Hukum Islam al-Ahkam
DOI: 10.21274/ahkam.2016.4.2.171-198
17
39
Wahiduddin Adams, Pola Penyerapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
Peraturan Perundang-undangan 1975-1997, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullaj, 2002). Disertasi dtidak
dipublikasikan
40
Mohammad Atho Mudzhar, Fatwas of The Council of Indonesian Ulama: A Study of
Islamic Legal Thought in Indonesian 1975-1988, (Los Angeles: University of California, 1990)
41
Muhammad Maksum, Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia, Malaysia, dan Timur Tengah,
(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat kementrian Agama RI, 2013)
18
G. Sistematika Penelitian
BAB II
42
Sri Hartini Dwiyatmi, Pengatar Hukum Indonesia, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia,
2013), h. 1
43
Hukum positif adalah istilah lain dari hukum Negara (the State‟s law) lihat Jimly,
Assiddiqie, Menggagas Peradilan Etik di Indonesia, (Jakarta: Komisi Yudisial RI Pust Analisis dan
Layanan Informasi, 2015), h. 4
44
Secara historis, sebelum lahirnya hukum positif, terlebih dahulu terdapat pemikiran
mengenai legisme hukum. Legisme hukum adalah tidak ada hukum yang diakui kecuali hukum
peraturan perundang-undangan. Ini sebagaimana pemikiran hukum murni Hans Kelsen. Mengenai hal
itu, Faisal A. Rani berpendapat bahwa legisme harus dibedakan dengan positivism hukum. Para ahli
positivism hukum tidak membatasi diri sebagaimana ahli hukum terhadap hukum undang-undang.
Kebiasaan, adat yang baik, pendapat masyarakat bagi para ahli positivism hukum dapat berungsi
sebagai sumber hukum. Syafriman Husein dalam http>//ilmuhukumusk.blogspot/2013/05/legisme-
hukum-dan-positivisme-hukum.html diakses pada tanggal 12 Novenber 2018
22
Berdasarkan hal tersebut, kaidah kaidah yang ada dalam Islam tentu tidak
memiliki kekuatan memaksa dan mengikat tanpa ditransformasi ke dalam
peraturan perundang-undangan.
Positivisasi hukum Islam terjadi karena sistem norma hukum ada
waktunya akan memerlukan proses pelembagaan yang lebih konkrit melalui
proses penuangan secara tertulis disertai pelembagaan infrastruktur
penegaknya. Pada dasarnya negara memiliki kewenangan untuk tidak
menerima eksistensi dari struktur lain di luar struktur negara, kecuali struktur
tersebut digabungkan dalam struktur negara, itulah pentingnya positivisasi.45
Sejarah Islam memunculkan pengetian-pengertian mengenai qaânûn sebagai
pelengkap terhadap sistem norma hukum yang sebelumnya hanya tertuang
dalam hukum dalam bentuk literatur fikih yang bersifat ilmiah.46
Di Indonesia, model hukum positif perlahan menunjukkan
ketidakmampuan dalam mengatasi perkembangan kasus-kasus yang dipicu
oleh pesatnya perkembangan sosial, kemajuan teknologi, maupun budaya,
terutama budaya ekonomi. Ketidakmampuan itu menyebabkan tidak
fleksibelnya hukum positif mengakomodir keadilan dan kebutuhan hukum di
masyarakat. Argumen ini diperkuat dengan tradisi berhukum di peradilan
agama, yang mana sumber hukumnya tidak hanya bersumber dari peraturan
perundang-undangan saja, namun mencakup sumber hukum dari hukum Islam
yaitu al-Qur`an dan Hadis, fatwa DSN, dan lain-lain, yang kemudian
keputusan hukum dan unsur yurisprudensial dari hukum Islam tersebut telah
diserap menjadi bagian dari hukum positif yang berlaku.47
45
Lihat Jan Michiel Otto, Sharia Incorporated Law: Governence, and Development
Research, (Leiden: Leiden University Press, 2010), h. 26
46
Jimly, Assiddiqie, Menggagas Peradilan Etik di Indonesia, h. 28
47
Sumber-sumber hukum positif; a) Sumber materil, yaitu faktor yang membantu
pembentukan hukum atau tempat dimana material hukum itu diambil. pertama, berupa faktor ideal,
yaitu pedoman-pedoman tetap tentang keadilan (demi kesejahteraan umum) yang yang harus diikuti
oleh pembentuk undang-undang. Kedua, faktor kemasyarakatan, yaitu nilai-nilai yang hidup dalam
23
masyarakat itu sendiri, seperti keadilan dan kepantasan menurut masyarakat. Sehingga kepatuhan
masyarakat akan mudah diwijudkan. b) Sumber formil, yaitu tempat/sumber dari mana suatu peraturan
itu memperoleh kekuatan hukum (berkaitan dengan bentuk/cara yang menyebabkan hukum itu
berlaku). Jenis hukum formal meliputi Peraturan Perundang-undangan, kebiasaan dan adat,
yurisprudensi, traktat, dan doktrin/ajaran. Lihat Sri Hartini Dwiyatmi, Pengatar Hukum Indonesia, h.
17-18
24
48
Rene David dan J.E.C. Brierly, Major Legal System in The World Today, 1978.
25
49
Saldi isra, dkk., Hasil peneliian Perkembangan Pengujian Perundang-undangan di
Mahkamah Konstitusi (dari Berfikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif), (t.tp: mahkamah Konstitusi
dan Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2010).
50
Lihat Saldi isra, dkk., Hasil peneliian Perkembangan Pengujian Perundang-undangan di
Mahkamah Konstitusi (dari Berfikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif), (t.tp: mahkamah Konstitusi
dan Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2010), h. 29
26
lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi,
yaitu 1) Ada cita-cita hukum (rechtsidee) yang merupakan norma abstrak, 2)
Ada norma antara (tussen norm, generelle norm, law in books) yang dipakai
sebagai perantara untuk mencapai cita-cita., 3) Ada norma konkrit (concrete
norm), sebagai hasil penerapan norma antara atau penegakannya di
Pengadilan.
Saat ini telah dikeluarkan Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang
Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dijelaskan dalam
pasal 7 ayat 1 mengenai hierarki peraturan perundang-undangan. Urutannya
adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Ketetapan Pajelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
4. Peraturan pemerintah
5. Peratura Presiden
6. Peraturan Daerah: a) Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan
perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur, b) Peraturan
Daerah kabupaten/ kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota
Dengan demikian, fatwa DSN tidak temasuk ke dalam peraturan
perundang-undangan karena tidak dibentuk oleh legislator, regulator ataupun
lembaga negara lainnya.51 Berbeda dengan negara lain seperti Malaysia dan
Singapura, kedua Negara tersebut memiliki lembaga fatwa yang secara
konstitutional diakui sebagai lembaga publik. Akibatnya, fatwa yang
51
Akan tetapi eksistensi fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI diakui dalam peraturan
perundang-undangan, dan menciptakan pola tertetu dalam kebiasaan berhukum di Indonesia.
27
52
Yeni Slama Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Hukum
Nasional Indonesia
53
Hasil dari pembentukan hukum secara legislasi disebut produk legislatif, sedangkan dengan
cara regulasi disebut produk regulatif. Lihat Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
54
Berdasarkan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, nomenklatur keputusan hanya dapat disnisbatkan dengan penetapan yang bersifat
administratif, sehingga semua bentuk keputusan hanya dinisbatkan dengan penetapan yang bersifat
administratif, sehingga semua bentuk keputusan yang bersifat mengatur harus disebut dengan istilah
peraturan.
55
Jimli Assiddiqie, Hukum acara Pengujian Undang-undang, (Jakarta: Konstitusi Press,
2001), h. 27-28
28
Bentuk hukum antara legislasi dan regulasi saling berkaitan satu sama
lain. Hasil dari pembentukan hukum dengan cara legislasi disebut produk
legislatif, dan dengan cara regulasi disebut regulatif.
Pembentukan hukum dengan cara legislatif melibatkan lembaga
perwakilan rakyat sebagai legislator dan co-legislator. Di Indonesia, yang
dapat disebut lembaga legislator utama adalah dewan perwakilan rakyat
(DPR) Produk legislatif. Produk hukum yang ditetapkan oleh legislator utama
adalah undang-undang. Sedangkan pemerintah merupakan co-legislator,
karena setiap rancangan undang-undang yang akan ditetapkan menjadi
undang-undang memerlukan pembahasan dan persetujuan bersama antara
DPR dan Presiden.56
Adapun produk regulatif adalah produk hukum sebagai aturan lebih
lanjut dari undang-undang yang disahkan oleh lembaga legislatif. Produk
hukum ini dibentuk oleh lembaga negara yang diberi amanah oleh undang
undang sebelumnya. Contoh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (ecsecutive
acts)57 yang diterbitkan untuk menjelaskan lebih lanjut peraturan mengenai
Bank Syariah sebagai produk dari Undang-undang No.21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah. Otoritas jasa Keuangan diberi kewenagan oleh
Undang-undang No.21 tahun 2011 untuk membentuk Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
Produk regulatif ini memiliki ciri nomenklatur saperti Peraturan
Presiden, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan bank Indonesia,
Peraturan Mentri keuangan dan sebagainya.
56
Jimly Assiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, h. 30-31 lihat juga ketentuan
pasal 20 ayat (1) sampai dengan pasal 20 ayat (5) Unsdang-undang perubahan keempat.
57
Menurut Jimly Assiddiqie, executive acts dalam arti sempit adalah peraturan-peraturan
yang ditetapkan oleh lembaga eksekutif dalam rangka melaksankan undang-undang. Adapun dalam
arti luas, semua lembaga Negara ang menetapkan suatu dalam rangka menjalankan undang-undang
(bukan lembaga eksekutif pemerintahan) apabila lembaga itu menetapkan peraturan sebagai pelaksana
undang-undang bersangkutan, maka peraturannya dapat disebut sebagai eksekutif act. Lihat Jimly
assiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, h. 44
29
58
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 176-177
59
Hurgronje adalah penasehat pemerintah Hindia Belanda (1898) berkenaan dengan Islam
dan masyarakat. Lihat A Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam
Prespektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), h. 77; Ia lahir di Tholen,
Oosterhout, 8 Februari 1857, meninggal di Leiden, 26 Juni 1936 pada umur 79 tahun. Ia adalah
seorang sarjana Belanda budaya Oriental dan bahasa serta Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah
kolonial Hindia Belanda (sekarang Indonesia).
https://id.wikipedia.org/wiki/Christiaan_Snouck_Hurgronje diakses pada 26 Novenber 2018
60
Dalam sejarah masa penjajahan Belanda di Indonesia, keberlakuan hukum Islam secara
formal dipengaruhi oleh adanya receptie theory dari Hurgronje yang termuat dalam pasal 134 ayat 2
Indische Staatsregeling (IS) tahun 1992: “akan tetapi tidak diatur secara lain dengan ordonansi,
maka perkara perdata antara orang Islam dan orang Islam, harus diperiksa oleh hakim agama, kalau
dikehendaki oleh hukum adat.” Aturan ini memberi akibat kepada pencabutan sebagian kewenangan
absolut pengadilan agama, yaitu bidang kewarisan dan wakaf, untuk kemudian diberikan kepada
Landread (pengadilan negri) berdasarkan Stbl. 1937 No. 116. Teori ini dibuat agar orang-orang
pribumi, sebagai rakyat jajahan, jangan sampai kuat memegang agama Islam. Hurgronje berfikir
bahwa hukum Islam dan masyarakatnya tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban barat. Lihat A.
Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional: Komptisi antara hukum Islam dan Hukum Umum, h 155-
157 lihat juga Mohd. Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, ed. 6, cet. 11, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 249, 258, 262-265 ihat juga A
Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Prespektif Tata Hukum Indonesia,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), h. 78
30
61
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 123
62
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 127
31
yang lahir pada masa itu, yaitu UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU
No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, PP No. 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam, UU No.17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji, dan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengolahan Zakat. 63 Pada
masa orde baru, telah lahir UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang di
dalamnya mengatur dua sistem perbankan, yaitu konvensional dan syariah
(Dalam UU disebut dengan bank berdasarkan sistem bagi hasil). Dan PP No.
72 Tahun 1992 yang mengatur khusus mengenai bank yang berdasarkan
prinsip bagi hasil. Pada tahun 1998, terdapat perubahan terhadap undang-
undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan.64
Azizy menyebutkan peraturan-peraturan di atas sebagai “hukum positif
yang berisikan hukum islam. Menurutnya, ini merupakan formulasi hukum
Islam yang lebih berisi materi ibadah (nikah, haji, dan zakat).65
Dalam tulisannya, Azizy tidak mengemukakan adanya peraturan
perundang-undangan di bidang ekonomi syariah yang telah lahir sejak tahun
1992 melalui UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Karena meskipun
dalam undang-undang tersebut tidak disebutkan secara eksplisit bahwa
kegiatan perbankan berdasarkan hukum Islam diperbolehkan, namun pada
praktiknya kegiatan tersebut terus berjalan dan berkembang ke bidang
ekonomi syariah lainnya. Dan akhirnya, pada tahun 1998, istilah syariah
dinyatakan secara tegas melalui UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan
atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
63
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 125-126
64
Azizy tidak menyebutkan peraturan-peraturan ini dalam tulisannya. Sebagai wawasan lihat
juga bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam I Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan
Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), H. 70-75
65
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum nasional: Komptisi antara hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 130-131
32
66
Setelah berakhirnya masa orde baru dan memasuki periode reformasi. Secara teoritis
kondisi Indonesia memasuki era demokratisasi, meskipun masih mengalami masa transisi untuk
beberapa waktu dan masih dalam batas retorika politik. Ini meliputi keterlibatan masyarakat dalam
pengambilan keputusan untuk urusan publik, kebebasan masyarakat dalam mengadopsi nilai-nilai
untuk masa yang akan datang, dan factor-faktor lain, termasuk dalam hal ini adalah percaturan nilai-
nilai yang nantinya menjadi tatanan hidup masyarakat atau bahkan sumber hukum. Pada masa
sebelumnya kekuasaan eksekutif sangat kuat hingga mampu memberangus nilai nilai dan apa saja yang
tidak sesuai dengan kepentingan penguasa, maka pada era reformasi tidak lagi demikian. Pada era
reformasi, nilai-nilai masyarakat, termasuk nilai global lebih leluasa memasuki sistem social, baik itu
nilai-nilai budaya positif dan negative sekalipun. Dalam waktu bersamaan nilai-nilai agama – termasuk
hukum agama- juga mempunyai kesempatan lebih luas dibandingkan pada masa sebelumnya. Hanya
saja tetap harus disadari bahwa pola dan model pemaksaan tampaknya sudah tidak mungkin
dilaksanakan. Hal ini mencakup perkembangan dan pembinaan hukum kita, yang biasanya disebut
dengan pembangunan atau pembinaan hukum nasional. Sebagai konsekuensinya perkembangan
hukum nasional akan mencakup tiga elemen sumber hukum yang mempunyai kedudukan yang sama
dan seimbang, yaitu hukum adat (lebih tepatnyya “hukum kebiasaan”), hukum dari barat (hukum
belanda), dan hukum Islam. Dan dalam realisasinya dituntut agar tetap demokratis yang mencerminkan
kompetisi bebas dan kemungkinan terjadi eklektisisme, bukan pemaksaan dari eksekutif untuk
menerapkan salah satu sumber saja.
67
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 173
33
68
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Hukum
Nasional di Indonesia, h. 34
69
Dalam arah kebijakan GBHN tahu 1999 bab IV A.2. disebutkan: “Menata hukum nasional
yang menyeluruh dan terpadudengan mengakui dan menghorati hukum adat serta memperbaharui
perundanga-undangan warisan colonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidak
adilan jender dan ketidak sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.” lihat
juga A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum,
h. 174
70
Dan ketika berbicara mengenai positivisasi haukum Islam, maka sasaran utamanya adalah
menjadikan hukum Islam sebagai sumber pembuatan undang-undang. Tentu juga meliputi pengertian
lain yang lebih luas, termasuk putusan hakim kebiasaan, dan doktrin. lihat A. Qodri Azizy,
Elektisisme Hukum nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, h. 176-177
71
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 173
72
Sumber hukum sering digunakan dalam beberapa arti: a) sebagai asas hukum sebagai
sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misalnya kehendak tuhan akal manusia, jiwa, bangsa dsb.
b) menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan kepada hukum yang sekarang berlaku
Perancis, hukum Romawi, hukum adat, hukum Islam, dan hukum belanda untuk Iindonesia. c) sebagai
sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum
(penguasa, masyarakat) d) sebagai sumber dari mana kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen,
undang-undang, batu tertulis dsb. e) sebagai sumber terjadinya hukum: sumber yang menimbulkan
hukum. lihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty
34
lahirnya GBHN 1999. Adanya UU No. 7 Tahun 1992 adalah salah satu
contohnya. Penegasan penggunaan hukum Islam ini lebih tegas disebutkan
dalam PP No. 72 Tahun 1992 sebagai peraturan lanjutan dari UU No. 7 Tahun
1992. Proses positivisasi ini dilakukan melalui proses keilmuan dalam disiplin
ilmu hukum dan demokratisasi dengan pendekatan normative.73
Positivisasi yang kita maksudkan di sini adalah tetap melalui proses
keilmuan dalam disiplin ilmu hukum (jurisprudence). Jika ditinjau dari aspek
akademik; dan tetap dalam koridor demokratisasi, jika kita tinjau dari segi
sistem politik yang demokratis yang sedang diusahakan kini. Dua hal,
keilmuan dan demokratisasi, ini harus dilakukan dalam era reformasi dan pada
masa yang akan datang. Sekaligus usaha intelektual atau penelitian yang
memang bukan saja diperbolehkan hidup dalam alam demokrasi, namun juga
suatu aktivitas yang harus dijalankan dalam dunia modern yang mejunjung
tinggi kebebasan akademik dan proses demokratisasi. …tentu ada staregi dan
pendekatan yang lain… yaitu, dengan menggunakan logika dan dasar bahwa
setiap orang Islam harus menjalankan syariat Islam: suatu pendekatan yang
saya sebut dengan istilah normatif.74
Positivisasi hukum Islam dalam pembanguan nasional dapat terwujud
baik melalui pendekatan normative maupun dengan pendekatan cultural.
Setelah mendapatkan justifikasi argumentasi keilmuan atau akademik dalam
kajian hukum di Indonesia secara terbuka, meliputi hukum Islam. Sudah
barang tentu kesemuanya itu dalam koridor demokratisasi dan pemeliharaan
hak asasi manusia yang sangat mementingkan pada hak-hak individu, tanpa
mengorbankan hak publik. Kesemuanya itu dalam rangka realisasi GBHN
1999, yang lebih tegas menjelaskan adanya sumber hukum nasional, di mana
salah satunya adalah hukum agama, termasuk hukum Islam.75
Yogyakarta, 2003), h. 82; Lihat juga Willem Zevenbergen, Formele Encyclopedia der
Rechtswetenschap, (Gebr. Belifante: s‟Gravenhage, 1925)
73
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 173 dan 194
74
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 173
75
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum,h. 198-199
35
istiadat meliputi norma dan hukum. Dari penelitian sosiolog hukum dan
antropolog budaya menyimpulkan bahwa di mana ada masyarakat di sana ada
hukum.76
Maka bagi masyarakat yang beragama Islam, yang di dalamnya
terdapat nilai-nilai islam pasti di dalamnya terkandung norma dan hukum.77
Nilai-nilai ibadah mahdah akan selalu dipertahankan, berbeda dengan nilai-
nilai muamalah yang bisa mengalami modifikasi namun tetap menjaga nilai
esensinya.78
Proses positivisasi melalui demokratisasi dalam suatu negara tidak
terlepas dari bentuk sistem hukumnya. Dan bentuk sistem hukum nasional
76
Soekanto menjelaskan, dalam dimensi praktik, telah dikenalkan teori hukum hidup
(livinglaw, atau living ordonantie). Menurut teori ini, hukum akan dikelompokkan sebagai hukum
yang hidup apaila terpenuhi tiga syarat; filosofis, yuridis, dan sosiologis. Secara filosofis, hukum
dianggap hidup apabila merupakan bagian dari cita-cita hidup masyarakat. Indonesia adalah Negara
yang berdasarkan atas pancasila dan undang-undang dasar 1945 yang didalamnya dideklarasikan
bahwa Indoonesia adalah Negara yang berdasarkan pada ketuhanan yang maha ESA, dan fakta bahwa
mayoritas penduduk Indnesia beragama Islam, maka wajar bila praktik ekonomi yang dipandu oleh
nilai-nilai syariah menjadi cita cita mayoritas enduduk Indonesia. Salah satunya adalah praktik bisnis
dengan akad musyârakah mutanâqisah. secara yuridis, hukum dianggap hidup apabila telah diakui dan
dijadikan peraturan perundang-undangan. Dengan diberlakukannya undang-undang nomor10 Tahun
1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 8 tahun 1992 tentang perbankan, undang-undang
nomor 19 tahun 2008 tentang surat berharga syariah nasional (SBSN), dan undang-undang nomor 21
tahun 2008 tantang perbankan syariah menunjukkan bahwa bisnis dengan siste syariah telah diakui
secara legal di Indonesia. Salah satunya sistem yang diaturnya adalah musyârakah mutanâqisah.
Secara sosiologis, hukum diangggap hidup apabila telah dakui dan diteirma oleh masyarakat. Tumbuh
dan berkembangnya lembaga-lembaga bisnis syariah seperti Baitul Mal wa Tamwil, perbankan
syariah, asuransi syariah, perusahaan financing syariah, pasar modal dan pengadaian syariah,
merupakan bukti bahwa masyarakat Indonesia telah mengakui dan menerima bisnis sistem syariah.
Salah satu sistem bisnis yang diakui dan digunakan dalam lembaga keuangan syariah dan asuransi
dalah syirkah mustanâqisah. Dengan demikian , bisnis sistem syariah dapat dikelompokkan pada living
ordonantie. Atas dasar itu, diyakini bahwa akad musyârakah mutanâqisah hidup dan berkembang
sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Lihat Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah,
Sosiologi Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: PT. Rajawali, 1982), h 13.
77
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h. 44
78
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 182-183
36
akan selalu dipengaruhi oleh hukum-hukum lain, seperti hukum adat, hukum
Islam, dan atau hukum negara lain (negara penjajah).79
Keberlakuan hukum adat yang ada saat ini adalah merupakan
perwujudan dari eklektisisime80 dan pengaruh globalisasi. Selain itu eksistensi
masyarakat dan sistem hukum yang statis menjadikan suatu upaya perubahan
yang sistematis dan mengupayakan perubahan yang sistematis dengan
mengedepankan rasa keadilan dalam masyarakat.81 Sehingga memerlukan
keseriusan dari para legislator untuk memperjuangkannya agar dapat
memenuhi tuntutan dan rasa keadilan khususnya masyarakat muslim.
Menurut Azizy, ketika hukum Islam sudah dijadikan hukum nasional
maka itu adalah fikih yang sudah sesuai dengan tuntutan zaman. 82 Produk
produk fikih yang dihasilkan di masa lalu merupakan living knoowlidge yang
sangat berarti bagi pemikir / ulama kontemporer, dan sebagai proses historical
continuity dalam tadisi akademik.83 Penempatan fikih sebagai hukum nasional
dalam tataran hukum materil dapat dilakukan melalui beberapa jalur, yaitu
peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintah, yurisprudensi, menjadi
sumber penegakan hukum dalam penyelesaian pekara, sebagai sumber ilmu
79
Lihat Bab 5,7 dan 8 CG. Weeramantry, Islamic Jurisprudence: An Iternational Prespective,
(Kuala Lumpur: The Other Press, 2001)
80
Eklektisisme adalah paham atau aliran filsafat yang mengambil sistem yang terbaik dari
banyak sistem. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2005), h. 286. Bustanul Arifin mendefenisikan eklektisisme sebagai suatu sistem
(agama atau filsafat) yang dibentuk secara kritis dengan memilih dari berbagai sumber dan doktrin.
Sedangkan mneurut Azizy, eklektisisme adalah membentuk hukum nasional secara kritis memilih
unsur-unsur doktrin hukum yang memang berlaku di Indonesia. Lihat A. Qodri Azizy, Elektisisme
Hukum Nasional: Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, h. viii
81
Hal tersebut tak jarang membuat hakim harus beani melakukan interpretasi hukum agar
tidak tertinggal zaman dan memenuhi rasa keadilan, lihat A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum
nasional: Komptisi antara hukum Islam dan Hukum Umum, h. 177
82
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 274
83
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum nasional: Komptisi antara hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 248
37
hukum atau filsafat, dan sebagai sumber nilai budaya dan kebiasaan
masyarakat.84
Setelah GBHN 1999 tidak berlaku lagi, maka landasan positivisasi
hukum Islam sebagai sumber hukum nasional berpindah pada UU No. 17
Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun
2005-2025 sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional
pengganti GBHN,85 yang menyebutkan bahwa pembangunan jangka panjang
tahun tersebut di bidang pembangunan hukum adalah mewujudkan sistem
hukum nasional yang mantap bersumber pada pancasila, yaitu pancasila sila
pertama, Ketuhanan yang Maha Esa dan UUD 1945, yaitu pasal 29 ayat (1),
Negara berdasakan Ketuhanan yang Maha Esa.
Negara dan agama memiliki hubungan mutualisme. Hukum Islam
(fatwa) merupakan sebuah prinsip, dan suatu prinsip tidak dapat diterapkan
sebelum ia dirumuskan kembali. Positivisasi hukum Islam adalah sebuah
keharusan bagi Negara yang mengikuti eklektisisme dalam koridor
demokrasi.
Upaya positivisasi hukum Islam sering juga disebut dengan teori
eksistensi.86 Sepanjang sejarah perjalanan hukum di Indonesia, kehadiran
hukum Islam dalam hukum nasional juga merupakan perjuangan eksistensi.
Dalam bentangan sejarah itu pula, hukum Islam selalu memperkuat
eksistensinya, baik sebagai hukum positif atau tertulis, maupun tidak tertulis,
dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktik hukum.87
84
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum nasional: Komptisi antara hukum Islam dan Hukum
Umum, h. 248-251
85
Indonesia, Undang-undang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005-2025, Undang-undang No. 17 Tahun 2007, LNRI No. 33 Tahun 2007, TLNRI No. 4700
86
lihat juga Marzuki Wahid, Fikih Madzhab Negara: Kritik atas politik Hukum di Indonesia,
(Yogyakarta: LKIS, 2001), h. 33
87
Lihat Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan
Zamanyang Terus berkembang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 70-71
38
2. Taqnîn al-Ahkâm
Qânûn al-ahkam merupakan wilayah dalam permasalahan tentang
pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan
dari segi persesuaian dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi
kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya. Peran penguasa dalam
hal ini adalah para pembuat konstitusi negara yang mempunyai wewenang
untuk membuat qânûn tersebut. Dalam hukum Islam hal tersebut diatur dalam
ilmu siyâsah dustûriyah, yakni siyâsah yang mengatur hubungan warga
40
negara dengan lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang
lainnya dalam batas-batas administrasi negara.
Gagasan penerapan syari‟at Islam pertama diungkapkan oleh Ibnu
Muqaffa‟88 melalui ide taqnin-nya. Tujuan diadakannya taqnin atau penerapan
hukum Islam oleh penguasa negara adalah untuk mengatur hubungan sesama
manusia dalam suatu masyarakat, serta memberi konsekuensi logis control
Negara atas agama dan hukum-hukumnya. 89
Secara etimologis, kata taqnîn merupakan bentuk masdar dari
qannana, yang berarti membentuk undang-undang. Ibnu Mandlur menyatakan
bahwa kata taqnîn bukan berasal dari bahasa Arab, kata ini merupakan
serapan dari bahasa Romawi yaitu kata conan, namun ada juga yang
berpendapat berasal dari Bahasa Persia.90 Seakar dengan taqnîn adalah
kata qânûn yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau
cara (tarîqah). Qânûn berarti rule, statute, code (peraturan, statuta, undang-
undang).91 Qânûn al-ahkâm berarti mengumpulkan hukum dan kaidah
penetapan hukum (tasyrî`) yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial,
menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan kalimat-
kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat
yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai
88
Nama lengkap Ibnu al-Muqaffa‟ adalah Abu Muhammad ʿAbd Allâh Rûzbih ibn Dādūya
Ibn al-Muqaffa; beliau lahir pada tahun 102 H/720 M. di Persia. Oleh karena itu, Ia dikenal pula
sebagai "penulis Arab bertkebangsaan Persia." Beliau meninggal pada tahun 139 H/756 M. karena
hukuman mati atas keputusan Abu Ja„far al-Mansur (khalifah kedua Dinasti Bani Abbas yang
memerintah pada periode 137-159 H/754-775 M). Usia Ibn al-Muqaffa sangat singkat, yaitu hanya 37
tahun (102-139 H). lihat Josef W. Meri, Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia. (t.t.:
Psychology Press. 2005). h. 346.
89
Masykuri Abdullah, Formalisasi Syari‟at Islam di Indonesia, (Jakarta: Renaissance, 2005),
h. 87.
90
Ibnu Mandzur, Lisaan Al-Arab, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), jilid XIII hal. 351
91
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic,J.Wilton Cowan (ed), Cet.III, (Otto
Harrassowitz, Wiesbaden, 19971), h.791
41
92
Mushtafa aL-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-`âm, Juz II, (Beirut: Dar al-Qalam,
1418 H), hal. 313.
93
Sobhi Mahmasani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: al-Ma‟arif, 1976), hal. 27.
94
J. van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, (Pustaka Sarjana, t.t.),
hal. 143-144.
95
Abdul Karim Zaidan, Al-Madkhal li al-Darasah al-Syari‟ah al-Islamiyah, (Beirut: Resalah
Publisher, 1969), hal. 63.
42
96
Abdul Karim Zaidan, Al-Madkhal li al-Darasah al-Syari‟ah al-Islamiyah, h. 63
97
Sobhi Mahmasani, Filsafat Hukum Islam, h. 28
98
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1957), hal. 9.
43
99
Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, (Bandung:
Mandar Maju, 1998), h. 10.
100
Sistem hukum yang berlaku di Indonesia mengikuti tradisi hukum yang diwariskan oleh
Belanda yang pernah menjajah Indonesia, yaitu tradisi civil law. Sebenarnya Belanda juga mengikuti
tradisi hukum Prancis yang telah menjajah Belanda. Civil law merupakan duplikasi dari Kode
Napoleon. Cirri utama civil law adalah peraturan perundang-undangannya ditulis dan dihimpun dalam
satu undang-undang (terkodifikasi), dan kepastian hukum ditentukan oleh peraturan perundang-
undangannya. Oleh karena itu, hukum yang berlaku di Indonesia harus terkodifikasi terlebih dulu.
Lihat Ujang Ruhyat Syamsoni, Taqnin Al-Ahkam (Legislasi Hukum Islam Ke Dalam Hukum
Nasional), Jurnal Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015, h. 172; lihat juga Rifyal Ka‟bah,
Penegakan Syariah Islam di Indonesia, (Jakarta: Khairu Bayan, 2004), h. ; lihat juga Yayan Sopyan,
Islam-Negara; Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Tangerang Selatan:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, t.t.), h. 67
44
101
Masykuri Abdullah, Formalisasi Syari‟at Islam, h. 93.
102
Masykuri Abdullah, Formalisasi Syari‟at Islam, h. 93.
103
Cik Hasan Basri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 101-102.
45
Hukum ini atas menjadi pedoman bagi masyarakat dalam bertindak, mengikat
semua warga negara tak terkecuali termasuk pemegang kekuasaan
pemerintahan.
Untuk melaksanakan fungsinya, hukum itu tentu memiliki kekuasaan
yang lebih besar dari pada hukum yang ada pada berbagai kelompok
kepentingan dalam masyarakat. “hukum” kelompok-kelompok kepentingan
dalam masyarakat mengatur dan menata ketertiban hanya dalam kelompok
masing masing. Sementara itu, hukum yang ada di tangan penguasa/
pemerintah berfungsi menata dan mengatur kepentingan antar kelompok agar
tidak berbenturan antara satu dengan yang lain. Ini berarti bahwa hukum itu
mengatur dan menjaga kedamaian dan ketertiban selururuh masyarakat.
Kekuasaan hukum negara didukung oleh kelompok-kelompok kepentingan
masyarakat sehingga statusnya lebih kuat dari keseluruhan hukum yang ada di
masyarakat.
Sejarah transformasi hukum Islam ke dalam hukum nasional bukanlah
hal yang baru, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, gagasan ini telah ada
dan diperjuangkan oleh para pendahulu dalam perumusan konsep negara.
Lahirnya piagam Jakarta merupakan bagian dari keberhasilan usaha tokoh-
tokoh kebangsaan yang selalu memperjuangkan keberlakuan hukum Islam
untuk masyarakat muslim.104 Sebelum piagam Jakarta lahir, terjadi perdebatan
pemikiran tentang negara Islam, dan negara muslim. Muhammad Yamin
Mengatakan, ungkapan “Negara berdasar atas cita-cita luhur dari agama
Islam” sebagaimana yang diucapkannya dalam pidatonya pada tanggal 31 Mei
1945.
Suparman Usman memahami pernyataan Supomo bahwa dalam negara
yang tersusun sebagai negara Islam, negara tidak dapat dipisahkan dari
104
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h.
46
agama, negara dan agama adalah satu. Selanjutnya mengenai negara Indonesia
yang yang diusulkan Supomo adalah negara integral yang bukan merupakan
negara agama dan bukan juga negara sekuler, akan tetapi sebuah negara yang
bersatu, berbudi pekerti luhur, menjunjung tinggi harkat dan martabat, sebuah
Negara yang bermoral, di mana konsep-konsep seperti itu juga menjadi ajaran
dalam agama Islam.
Dalam UUD 1945 sendiri terdapat landasan filosofis dan landasan
yuridis tentang pemberlakuan hukum Islam bagi pemeluknya. Landasan
filosofis adalah pancasila sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa.
Ketuhanan yang Maha Esa mengandung tauhid seperti yang dituturkan oleh
Ki Bagus Hadikusumo sebagai penggagas penyempurnaan sila pertama itu.105
Sedangkan landasan yuridis terdapat dalam pasal 29 UUD 1945. Dalam
pemaknaan pasal 29 UUD 1945, Hazairin berkomentar:
Karena bangsa Indonesia yang beragama resmi memuja Allah, yaitu
menundukkan diri kepada kekuasaan Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu, dan
menjadikan pula kekuasaan-Nya itu dengan istilah Ketuhanan Yang aha Esa,
sebagai dasar pokok bagi Negara republic Indonesia, yaitu “ Negara
berdasarkan ketuhanan yang maha Esa [pasal 29 ayat (1) UUD 1945], maka
tafsiran ayat tersebut hanya mungkin sebagai berikut: (1) Dalam negara RI
tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentanngan dengan kaidah-
kaidah Islam bagi umat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah
nasrani bagi umat nasrani, atau bertentangan dengan kaidah-kaidah agama
Hindu Bali bagi agama Hindu Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan
Budha bagi umat Budha. (2) Negara RI wajib menjalankan syariat Islam
bago orang Islam, syariat nasrani bagi orang Nasrani, dan syariat Hndu Bali
bagi orang Bali, sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan
perantaraan kekuasaan Negara. (3) Syariat yang tidak memerlukan bantuan
kekuasaan Negara untuk menjalankan dan karena itu dapat sendiri dijalankan
oleh pemeluk agama yang bersangkutan menjadi kewjiban pribadi terjhadap
Allah bagi setiap orang itu yang dijalankannya sendiri menurut agamanya
masing-masing.
105
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juli 1945: Sebuah Konsensus Nasional
tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. x
47
106
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 3
107
Ini dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut: kita sepakat dengan bahawa adat
mempunyai implikasi hukum, maka hukum adat di samping klain yang sering mengatakannya sebagai
hukum yang berciri Indonesia, ia lebih bercorak etnik (kesukaan), kecuali adat besar yang merupakan
sumber komplementer hukum Islam. Oleh karena itu, hukum adat yang tidak mencerminkan keadilan,
kemanusiaan, dan kebersamaan berpotensi untuk sekterianisme dan disintegrasi bangsa dan lambat
laun cenderung ditinggalkan oleh masyarakat seiring dengan maraknya migrasi, akulturasi, dan
48
modernisasi di seluruh wilayah Indonesia. Hukum barat sebagai hukum asing menggambarkan sejarah
dan norma-norma bangsa Eropa yang belum tentu sejalan dengan pandangan hidup bangsa Insonesia.
Selain itu, hukum barat zaman penjajahan dirancang sebagai bagian dari politik untuk
mempertahankan kekuasaan penjajah di Indonesia. Dengan meningkatnya rasa kebangsaan, maka
hukum barat ini nantinya akan diterima secara selektif, hanya bila hukum itu sesuai dengan rasa
keadilan dan norrma-norma bangsa Indonesia. Hukum Islam mencerminkan norma-norma bangsa
Indonesiayang mayoritas beragama Islam. Hukum Islam juga dimantapkan oleh sifat diyâni dan
qadhâ`î yang dikandungnya, karna berasal dari hukum agama yang tidak hanya mengikat seseorang
sebagai makhluk sosial tapi juga mengikatnya sebagai hamba Allah swt. Dalam akidah Islam, siapa
saja yang megerjakan kebaikan, maka akan menuai kebaikan, sebaliknya, siapa saja yang mengerjakan
keburukan makan akan menuai keburukan yang hasilnya bisa dirasakan di dunia dan atau di akhirat.
Lihat Rifyal Ka‟bah, Penegakan Syariah Islam di Indonesia, (Jakarta: Khairu Bayan, 2004), h.
108
Dalam sanksi hukum Islam misalnya dikenal dengan sanksi yang berbentuk pembalasan
yang setimpal atas kejahatan yang telah dilakukan pelaku yang disebut qisâs. Lihat [(QS.. al-Mâ`idah:
45), dan (QS. Al-Baqarah: 194, 197, & 179)]
49
C. Objektifikasi
Menurut Kuntowijoyo, dalam proses transformasi konsep hukum Islam
ke dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, dapat digunakan teori
Objektifikasi. Objektifikasi tidak sekedar eksternalisasi dari keyakinan
internal keagamaan, tetapi juga konkretisasi.109
Dalam proses objektifikasi, nilai Islam harus diterjemahkan dalam
kategori objektif sehingga dapat diterima oleh semua pihak, baik oleh
kalangan muslim maupun non-muslim. Kriteria objektif yang
dimaksudkannya adalah jika perbuatan yang dimaksudkan dilaksanakan
sebagai sesuatu yang natural bukan sebagai perbuatan keagamaan. Dalam
upaya transformasi konsep hukum Islam, maka diperlukan sebuah teori. Maka
teori Objektifikasi dapat dijadikan sebagai landasan berpikir untuk melakukan
transformasi konsep tersebut. Karena dalam objektifikasi konsep yang
terkandung dalam hukum Islam diterjemahkan sebagai sesuatu yang netral
sehingga bersifat objektif.110 Adanya realitas masyarakat yang plural dan
selalu berubah pada tiap tempat dan waktu, maka perlu diadakan objektifikasi
hukum Islam sesuai dengan situasi dan kondisi pada masing-masing wilayah.
Secara metodologis, hukum Islam dapat ditafsirkan secara berbeda-beda
tergantung pada realitas masyarakat. Karena itu, objektifikasi hukum Islam ke
dalam hukum nasional dapat disahkan menjadi hukum yang diterima oleh
seluruh masyarakat Indonesia.111 Dengan demkian, masyarakat tidak lagi
resisten atau khawatir dengan implementasi ajaran Islam di ruang publik,
malah sebaliknya akan mengapresiasi dan mendukungnya. Dari itu akan
muncul kepercayaan terhadap penerapan ajaran Islam yang menjadi modal
109
Denny JA, HA Sumargono, Kuntowijoyo, et.al., Negara Sekuler: Sebuah Polemik,
(Jakarta: Putra Berdikari Bangsa, 2000), h. 56
110
Denny JA, HA Sumargono, Kuntowijoyo, et.al., Negara Sekuler: Sebuah Polemik,
(Jakarta: Putra Berdikari Bangsa, 2000), h. 56
111
Makhrus Munajat dkk., Objektivikasi Hukum Pidana Islam ke dalam Hukum Nnasional.
Jurnal Istiqra, Vol 03, no. 01 tahun 2004
50
112
Istilah ini diakai oleh Prof. Atho Mudzhar dalam bukunya “Esai-esai Sejarah Sosial
hukum Islam” dengan Judul The Legal Reasoing and Socio-Legal impact of The Fatwas of The
Council of Indonesian Ulama on economic Issues, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2014), h. 158 dan
179; lihat juga Muhammad maksum, Kedudukan Syariah sebagai Sumber Hukum Positif: Kajian Awal
atas Hukum Perkawinan, Ekonomi Islam, dan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia dan Maroko,
Jurnal Istinbath, Vol. 15, No.2, h. 163-334
113
Lihat Baundouin Dupret, La Charia Des Sources A La Pratique Un Concept Pluriel,
(Paris: La Decouverte, 2014) h. 130; lihat juga Muhammad Maksum, Kedudukan Syariah sebgaai
Sumber Hukum Positif: Kajian Awal atas Hukum Perkawinan, Eknomi Islam, dan Hukum
Ketenagakerjaan di Indonesia dan Maroko, h. 284
52
114
Lihat Soleh Hasan Wahid, Pola Tranformasi Fatwa Ekonomi Syariah DSN-MUI dalam
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Jurnal Ahkam Vol. 4, No.2, Novenber 2016:171-198, h.
196
53
BAB III
DESKRIPSI UMUM PROFIL DEWAN SYARIAH NASIONAL MAJELIS
ULAMA INDONESIA (DSN-MUI), BANK INDONESIA (BI), DAN
OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)
115
Keputusan DSN-MUI No. 01 Th 2000
116
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif Hukum Dan Perundang-
Undangan, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI), h. 257
54
117
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif Hukum Dan Perundang-
undangan, h. 262
118
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif Hukum Dan Perundang-
undangan, h. 264
55
119
Jaih Mubarok, “Struktur DSN-MUI”, http://majelispenulis.blogspot.com/2016/05/peran-
dewan-syariah-nasional.html diakses pada 15 Novenber 2018
120
Jaih Mubarok, “Struktur DSN-MUI”, http://majelispenulis.blogspot.com/2016/05/peran-
dewan-syariah-nasional.html diakses pada 15 Novenber 2018
56
121
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Dalam Sistem Hukum
Nasional Di Indonesia, http://lib.ui.ac.id/opac/ui/detail.jsp?id=20280504&lokasi=loka diakses pada 15
Novenber 2018
59
122
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya tehadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan peraturan sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
http://peraturan.go.id/welcome/index/prolegnas_pengantar.html diakses pada 26 Desember 2018
123
Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 130-131.
61
124
Fungsi Bank Indonesia: Status dan Kedudukan Bank Indonesia,
https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/fungsi-bi/status/Contents/Default.aspx diakses pada 15 Novenber
2018
62
perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
dapat dicapai secara efektif dan efisien. Setelah tugas mengatur dan mengawasi
perbankan dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, tugas BI dalam mengatur
dan mengawasi perbankan tetap berlaku, namun difokuskan pada aspek
makroprudensial sistem perbankan secara makro.125
Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan
melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam
undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan
tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak
atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga.
Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia
dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih
efektif dan efisien.
Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan
hukum perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik
Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang
merupakan pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat seluruh masyarakat
luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum perdata, Bank
Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di luar
pengadilan.
125
Tertera dalam "Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK)" Pasal 7. UU OJK dapat diakses di
http://www.bapepam.go.id/bapepamlk/others/UU-21-2011-OJK.pdf
63
126
Fungsi Bank Indonesia: Visi dan Misi, https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/fungsi-
bi/status/Contents/Default.aspx diakses pada 15 Novenber 2018
64
2. Tujuan OJK
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan :
a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel;
b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil, dan
c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat
127
lihat Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan Otoritas Jasa keuangan, Booklet
Perbankan Indonesia 2014, edisi 1 Maret 2014 ISSN : 1858 - 4233
66
5. Peraturan OJK
OJK merupakan lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-
undang No.21 tahun 2011 tentang Otoritas Jassa Keuangan. OJK dalam
wewenangnya bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali undang undang
menentukan lain.128 Oleh karena itu OJK memiliki kekuasaan eksekutif,
legislattif, dan yudikatif.
Defenisi peraturan atau regulasi OJK secara umum tercantum dalam
pasal 1 angka 11 menyatakaan “peraturan OJK adalah peraturan tertulis yang
ditetapkan oleh dewan komisioner, mengikat secara umum, dan diundangkan
dalam lembara Negara Republik Indonesia.” Ketentuan tersebut tidak hanya
mencakup POJK, tapi juga SEOJK dan kodifikasi yang menjadi derivasi
POJK. Peraturan tersebut merupakan pelaksanaan amanat Pasal 4 BAB III
UU No.21 Tahun 2011
Secara khusus dalam pasal 8 disebutkan bahwa untuk melaksanakan
tugas pengaturan sebagaimana yang dimaksud pada pasal 6, OJK memiliki
wewenang: 1) menetapkan peraturan pelaksanan Unang-undang OJK, 2)
menetapkan peraturan perundang-undangan disektor jasa keuangan 3)
menetapkan peraturan dan keputusan OJK, 4) enetapkan peraturan mengenai
pengawaan sector jasa keuangan, 5) menetapkan kebijakan mengenai
pelaksanaan tugas OJK 6) menetapkan peraturan mengenai tata cara
penetapan perintahtertulis terhadap lembaga jasa keuangan dan pihak
tertentu, 7) menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola
128
Lihat juga pasal 2 angka 2 Undang-undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan
68
Keterangan:
BAB IV
Regulasi Fatwa Tentang Akad Musyârakah Mutanâqisah
dalam Peraturan Perundang-undangan
129
Lihat undang-undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah pasal 26 ayat (2)
130
Sebelumnya, fatwa berkenaan dengan kegiatan usaha syariah diserap ke dalam peraturan
bank Indonesia (PBI) melalui KPS (Komite Perbankan Syariah). Adapun Ketentuan perbankan yang
dikeluarkan oleh otoritas perbankan sebelumnya (BI) tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan
belum diganti dengan ketentuan baru yang dikeluarkan oleh OJK. Wawancara dengan Sefrina widianti,
Deputi direktur devisi pengaturan departemen perbankan syariah OJK tanggal 24/05/2018
131
Dengan beralihnya otoritas perbankan dari BI kepada OJK per tanggal 31 Desember 2013,
termasuk terkait perbankan syariah menyebabkan organ yang selama ini ada di BI dalam membantu
pengaturan dan pengembangan perbankan syariah menjadi beralih juga kepada OJK. Organ dimaksud
adalah Komite Perbankan Syariah (KPS), yang dibentuk berdasarkan pasal 26 ayat (3) UU No. 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. OJK dengan kewenangan yang dimiliki, tidak hanya mengatur
dan mengawasi perbankan syariah namun meluas kepada Industri Keuangan Non Bank Syariah dan
Pasar Modal Syariah, sehingga Komite sejenis yang dibentuk di OJK perlu diperluas agar dapat
menjangkau sector jasa keuangan lainnya melalui pembentukan suatu Komite yang dinamakan dengan
Komite Pengembangan Jasa Keuangan Syariah (KPJKS). Tujuan pembentukan KPJKS adalah
membantu OJK dalam mengimplementasikan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) kedalam
peraturan OJK dan mengembangkan jasa keuangan syariah. Hasil Pelaksanaan tugas KPJKS
disampaikan kepada Dewan Komisioner OJK dalam bentuk rekomendasi KPJKS, dan dalam
pelaksanaan tugasnya KPJKS bertanggung jawab kepada Dewan Komisioner OJK. Lihat Undang-
undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan pasal 55 ayat (2); lihat juga Departemen
Perizinan dan Informasi Perbankan Otoritas Jasa keuangan, Booklet Perbankan Indonesia 2014, edisi 1
Maret 2014 ISSN : 1858 - 4233
74
132
Latar belakang dikeluarkan keputusan ini adalah karena variasi aplikasi akad di perbankan
syariah sebagai akibat dari beragamnya pemahaman dari masyarakat, praktisi perbankan, dan otoritas
terhadap fatwa No. 73/DSN-MUI/XI/2008 yang dikeluarkan sebelumnya. Keputusan ini diharapkan
bisa menjadi pedoman bagi perbankan syariah dalam imlementasi fatwa yang dikeluarkan
sebelumnya. Lihat Keputusan DSN-MUI No.01/DSN-MUI/X/2013 tentang Pedoman Implementasi
Musyarakah Mutanaqisah dalam produk pembiayaan.
77
b. Modal usaha yang telah dinyatakan dalam hishshah tersebut tidak boleh
berkurang selama akad berlaku secara efektif. Sesuai dengan contoh pada
huruf a, maka modal usaha syirkah dari awal sampai akhir adalah 100juta
rupiah (l00 unit hishshah).
c. Adanya wa 'd (janji).
Bank Syariah/LKS berjanji untuk mengalihkan seluruh hishshahnya secara
komersial kepada nasabah dengan bertahap
d. Adanya pengalihan unit hishshah
Setiap penyetoran uang oleh nasabah kepada Bank SyariahlLKS, maka nilai
yang jumIahnya sama dengan nilai unit hishshah, secara syariah dinyatakan
sebagai pengalihan unit hishshah Bank SyariahlLKS secara komersial (naqlul
hishshah bi 'iwadh), sedangkan nilai yang jumlahnya lebih _dari nilai unit
hishshah tersebut, dinyatakan sebagai bagi hasil yang menjadi hak Bank
Syariah/LKS.
3. Tujuan Produk
Menyediakan fasilitas pembiayaan kepada nasabah baik perorangan maupun
perusahaan dalam rangka memperoleh dan/atau menambah modal usaha dan/atau
aset (barang) berdasarkan sistem bagi hasil. Modal usaha yang dimaksud adalah
modal usaha secara umum yang sesuai syariah. Aset (barang) yang dimaksud
antara lain, namun tidak terbatas pada:
a. Properti (baru/bekas),
b. Kendaraan bermotor (baru/bekas),
c. Barang lainnya yang sesuai syariah (barulbekas).
4. Obyek Pembiayaan: Obyek pembiayaan adalah kegiatan usaha komersial yang
dijalankan dalam berbagai bentuk usaha yang sesuai dengan syariah, antara lain:
prinsip jual beli, bagi hasil, dan sewa menyewa.
5. Prinsip dan Ketentuan
Prinsip yang digunakan dalam produk ini adalah akad Musyarakah
Mutanaqishah. Syirkah dalam akad Musyarakah Mutanaqishah adalah syirkah
78
padahal mampu, fatwa DSN No.17 Tahun 2000 mengenai kebolehan bagi LKS
mengenakan sanksi atas nasabah yang mampu namun menunda-nunda pembayaran,
fatwa DSN No. 89 Tahun 2013 mengenai kebolehan LKS melakukan pembiayaan
baru (refinancing) bagi nasabah baru atau nasabah yang belum melunasi pembiayaan
sebelumnya, Fatwa tentang line facility DSN No. 45 Tahun 2005 mengenai suatu
bentuk fasilitas plafon pembiayaan bergulir dalam jangka waktu tertentu dengan
ketentuan yang disepakati dan mengikat secara moral, fatwa DSN No. 55 Tahun
2007 mengenai fasilitas pembiayaan rekening koran dengan ketentuan yang
disepakati yang dilakukan berdasarkan akad musyarakah dan boleh disertai dengan
wa‟d, Pernyataan Kesesuian Syariah DSN-MUI No.U-257 Tahun 2014 tentang
Penjelasan butir 6 huruf a dalam Keputusan DSN No. 01 Tahun 2013 tentang
Pedoman Implementasi Musyarakah Mutanaqishah dalam produk pembiayaan, fatwa
DSN-MUI No. 27 Tahun 2002 tentang kebbolehan membuat perjanjian sewa-
menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa,
kepada penyewa, setelah selesai masa sewa, fatwa DSN-MUI No. 85 Tahun 2012
mengenai kelaziman mebuat Janji (wa'd) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah
dan wajib dipenuhi oleh wâ'id. Lima fatwa DSN di atas menyatakan bahwa jika
terjadi perselisihan antara LKS dan nasabah, maka penyelesainnya dibawa ke Badan
Abitrase Nasional, sedangkan tiga lainnya menyatakan penyelesaian perselisihan di
pengadilan negri atau lembaga yang berdasarkan prinsip syariah. Lima fatwa DSN
pertama yang menyatakan demikian tersebut diketahui diterbitkan antara tahun 2000
hingga 2005 sebelum diterbitkannya peraturan No.3 Tahun 2006 tentang kewenangan
pengadilan agama menangani masalah ekonomi syariah.
Sebagai bahan perbandingan, selanjutnya akan disajikan isi ketentuan dari PBI
/ SEBI disusul isi ketentuan dari POJK / SEOJK.
84
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah. Dalam pasal 1 ayat (5) PBI No.10/17/PBI/2008 menyatakan produk
bank sebagai produk yang dikeluarkan oleh bank baik di sisi penghimpunan dana
maupun penyaluran dana serta jasa yang sesuai dengan prinsip syariah, antara
lain akad produk KPR iB. Sedangkan mengenai komponen-komponen apa saja
yang harus dipenuhi dalam KPR iB berdasarkan akad musyârakah mutanâqisah
diatur dalam SEBI No.14/33/DPbs Jakarta, 27 Novenber 2012.
Dalam perkembangannya, peraturan tersebut dicabut, sehingga pengaturan
tentang akad musyârakah mutanâqisah mengacu kepada Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank
Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/25/PBI/2009, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tentang
Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Sebagaimana dalam PBI sebelumnya, Pengaturan tentang aplikasi akad
musyârakah mutanâqisah juga tidak dijumpai pada peraturan penggantinya, yaitu
PBI No.11/25/PBI/2009 dan No.13/23/PBI/2011. PBI hanya menjelaskan hal-hal
yang umum yang berkaitan dengan pelaksanaan prinsip syariah baik pada
karakteristik produk maupun operasional bank syariah, sedangkan teknis
pelaksanaannya diatur dalam bentuk surat edaran.133
Aturan pelaksananya tertuang dalam SEBI No.15/40/DKMP Jakarta, 24
September 2013. SEBI ini membicarakan tentang kebijakan yang harus
dilakukan oleh bank dalam rangka meningkatkan kehati-hatian dalam pemberian
kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit konsumsi beragun properti,
dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor, serta kebijakan untuk
memperkuat ketahanan sektor keuangan dilakukan melalui penetapan besaran
133
Menurut Sefina, hal ini dikarenakan pihak yang memiliki otoritas tidak memiliki cukup
waktu dan kesempatan untuk merubahnya, ia juga menambahakan bahwa selama belum dibuat
peraturan baru, bukan berarti kasus baru tidak bisa diterapkan, karena OJK (dulu kewenangan BI) akan
menerbitkan peraturan dalam bentuk surat edaran. Wawancara dengan Sefina widianti, Deputi
direktur devisi pengaturan departemen perbankan syariah OJK tanggal 24/05/2018
86
loan to value atau financing to value134 untuk kredit atau pembiayaan pemilikan
properti dan kredit atau pembiayaan konsumsi beragun properti, serta down
payment untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor. Berikut isi
pernyataan-pernyataan dalam Surat Edaran tersebut:
1. Ketentuan Umum
a. Sejalan dengan tingginya pertumbuhan kredit atau pembiayaan pemilikan
properti, kredit atau pembiayaan konsumsi beragun properti, dan kredit
atau pembiayaan kendaraan bermotor yang berpotensi menimbulkan
berbagai Risiko maka Bank perlu meningkatkan kehati-hatian dalam
penyaluran kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit atau
pembiayaan konsumsi beragun properti, dan kredit atau pembiayaan
kendaraan bermotor.
b. Pertumbuhan kredit atau pembiayaan pemilikan properti dan kredit atau
pembiayaan konsumsi beragun properti yang terlalu tinggi dapat
mendorong peningkatan harga aset properti yang tidak mencerminkan
harga yang sebenarnya sehingga meningkatkan Risiko Kredit bagi Bank
dengan eksposur kredit atau pembiayaan properti yang besar.
c. Dalam rangka menjaga perekonomian yang produktif dan mampu
menghadapi tantangan di sektor keuangan, perlu adanya kebijakan yang
dapat memperkuat sektor keuangan untuk meminimalisir sumber-sumber
kerawanan yang mungkin timbul, termasuk pertumbuhan kredit atau
pembiayaan pemilikan properti, kredit atau pembiayaan konsumsi beragun
properti, dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor yang berlebihan.
d. Kebijakan dalam rangka meningkatkan kehati-hatian Bank dalam
pemberian kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit konsumsi
beragun properti, dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor, serta
134
Selanjutnya disebut LTV atau FTV, adalah angka rasio antara nilai kredit atau pembiayaan
yang dapat diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan harga penilaian terakhir.
87
d. Dalam hal perjanjian KPP atau KPP iB antara Bank dan debitur atau
nasabah mengikat lebih dari 1 (satu) unit Properti pada saat bersamaan
dan/atau beberapa perjanjian KPP atau KPP iB terhadap beberapa Properti
yang dilakukan pada tanggal yang sama, maka perhitungan LTV atau FTV
berlaku ketentuan sebagai berikut.
95
135
Untuk lebih lengkapnya silahkan lihat data yang telah dipaparkan di atas.
104
ini tidak sesuai dengan syariah compliance. positivisasi dalam ketentuan ini
menggunakan pola adopsi sebagian ke dalam SEOJK.
artinya, ada kegiatan usaha di dalamnya, yaitu usaha sewa menyewa, sehingga
bisa disimpulkan bahwa dalam hal ini ketentuan OJK sudah sesuai dengan
fatwa DSN. Lagi lagi menurut penulis, DSN-MUI telah melakukan muslihat
hukum (hîlah), keluar dari riba yang diharamkan.136 Tesis ini menyimpulkan
sebagaimana pendapat M. Atho Muzhar dan disertasi M. Maksum yang
menyimpulkan adanya upaya berkelanjutan untuk menyempurnakan aspek
syariah pada produk ekonomi demi mendorong pertumbuhan LKS dalam
berkompetisi menyaingi LKK.
Ketiga ketentuan SEOJK di atas, secara konten memiliki perbedaan
dengan fatwa DSN yang menjadi sumber hukumnya. Sumber
permasalahan/perbedaannya adalah antara lain penggunaan kata yang sama
dengan konsep konvensional, adanya fatwa baru yang mengelaborasi akad
konsep lama, dan mengambil konsep akad yang tidak utuh. Dan juga
sebagaimana dipaparkan di atas bahwa ada pola penyepitan dan ada perluasan
ketentuan, di samping itu juga terdapat pemenggalan ketentuan fatwa (tidak
ditransformasi), sehingga bisa berkibat terjadi misinterpretasi atau bahkan
keluar dari prinsip syariah compliance.
136
Etika ekonomi (islamics ethics) sangat mendukung aspek pemenuhan ketentuan Syariah,
terutama menghindari munculnya riba. Ihat M. Maksum, Economics Ethics In The Fatwa of Islamic
Economics Jurnal Al-Ulum Volume 15 Number 1 June 2015 ISSN 1412-0534, E ISSN 2442-8213, h.
133
117
dengan hal itu, dan 6) tujuan pembiayaan. Keenam ketentuan tersebut secara konten
dan esensi telah sesuai dengan fatwa DSN meskipun dalam transformasinya tidak
secara literal sebagimana aslinya. Ketentuan tersebut masing-masing
ditransformasikan menggunakan pola adopsi penuh dengan cara copy-paste, adopsi
dengan penyempitan dan perluasan ketentuan dan dua terakhir menggunakan pola
adptasi.
137
Lain lagi adapun dalam fatwa DSN tentang akad musyârakah mutanâqisah mengatur
bahwa yang menjadi beban biaya bersama adalah biaya perolehan aset musyârakah mutanâqisah,
sedangkan biaya peralihan kepemilikan menjadi beban pembeli.
138
Biaya administrasi adalah biaya yang dikenakan oleh bank syariah ketika memberikan
bantuan kepada nasabah yang bergerak dibidang sosial (nirlaba) dalam bentuk pinjaman lunak, tanpa
pembagian hasil melainkan hanya mengembalikan pokok pinjaman. Akan tetapi untuk tidak
merugikan bank syariah dalam hal pengurusan, misalnya biaya materai, notaris, biaya peninjau proyek
dan lain-lain, maka kepada nasabah nirlaba tersebut dipungut biaya administrasi. Lihat Ktut Silvanita
Mangani, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 37. Perbedaan antara
biaya operasional dan biaya administrasi adalah bahwa biaya operasional mencakup biaya untuk
memproduksi produk dan layanan untuk klien dan biaya administrasi mencakup keseluruhan biaya
umum yang tidak harus terkait dengan produksi atau departemen tertentu di dalam perusahaan.
https://id.talkingofmoney.com/what-is-difference-between-an-operational-expense-and-an-
administrative-expense diakses pada 10 Agustus 2018, lihat juga M. Sulhan, Managemen Bank:
Konvensional dan Syariah, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 69. Menurut Werner Murhadi
(2013:37) mengemukakan biaya operasional sebagai berikut:“Biaya operasi(operating expense)
merupakan biaya yang terkait dengan operasional perusahaan yang meliput biaya penjualan dan
administrasi (selling and administrative expense), biaya iklan (advertising expense), biaya penyusutan
(depreciation and amortization expense),serta perbaikan dan pemeliharaan (repairs and maintenance
expense)”. menurut Margaretha (2011:24) mengemukakan biaya operasional adalah “Biaya
Operasional (operating expense) adalah keseluruhan biaya sehubungan dengan operasional diluar
118
kegiatan proses produksi termasuk didalamnya adalah biaya penjualan dan biaya administrasi dan
umum”. Dari banyak pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa biaya operasional termasuk
didalamnya biaya adminitrasi.
119
139
Muhammad Maksum menawarnkan bentuk jaminan yang compatible untuk jaminan
berbasis modal, Jaminan (marhun) dengan model rahn dapat berupa benda bergerak, seperti kendaraan
dan emas atau tidak bergerak, seperti tanah. Jaminan (marhun) selain berupa kedua jenis barang
tersebut, juga dapat berupa bukti kepemilikan, seperti BPKB atau sertifikat tanah. Rahn jenis ini secara
hukum diakui dalam fatwa DSN sebagai rahn tasjili, rahn ta'mini, rahn rasmi, atau rahn hukmi. Lihat
M. Maksum, Penerapan Hukum Jaminan Fidusia Dalam Kontrak Pembiayaan Syariah, Jurnal Cita
Hukum, Jurnal Cita Hukum. Vol. 3 No. 1 Juni 2015. ISSN: 2356-1440,.h. 8
120
140
Perlu dicatat, bahwa fatwa DSN-MUI No.105/DSN-MUI/X/2016 tentang Penjaminan
Pengembalian Modal Pembiayaan Mudârabah, Musyârakah, dan Wakâlah bi al-Istitsmâr diterbitkan
pada tahun 2016 sedangkan SEOJK sudah terbit dan dikodifikasi pada 2015. Sehingga bagi pihak
otoritas bisa merubah ketentuannya tersebut agar kesyariahan praktik akad musyârakah mutanâqisah
bisa maksimalkan.
121
4. Ketentuan yang Ada dalam SEBI/SEOJK, tapi tidak ada dalam Fatwa
DSN
a. Analisis Bank atas permohonan pembiayaan dari nasabah
b. Penentuan jangka waktu pembiayaan berdasarkan kesepakatan Bank dan
nasabah.
c. Penetapan plafon tertentu oleh Bank.
d. Penetapan jangka waktu waktu pembiayaan oleh Bank.
e. Acuan metode bagi hasil; Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah
Indonesia (PAPSI 106).
f. Penerapan transparansi informasi produk dan perlindungan nasabah
sesuai ketentuan yang berlaku.
g. Kebijakan dan prosedur untuk mitigasi risiko.
h. Identifikasi Risiko oleh bank
i. Penetapan segmen pembiayaan yaitu Usaha Mikro Kecil (UMK), non
UMK, perorangan maupun badan usaha atau badan hukum.
j. Sanksi bagi Bank yang tak beroprasi sesuai prosedur.
5. Ketentuan yang Ada dalam Fatwa DSN, tapi tidak ada dalam
SEBI/SEOJK
Banyak ketentuan fatwa DSN yang tidak diatur/diformalisasi dalam
SEBI/SEOJK, sebagai berikut:
123
141
Abdul Rohman Zulfikar alfarouq, Positivisasi Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) tentang Mudharabah dalam regulasi otoritas Jasa keuangan (OJK),
Tesis tidak dipublikasi, h.
142
Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 128
124
permasalahan adalah antara lain penggunaan kata yang sama dengan konsep
konvensional, adanya fatwa baru yang mengelaborasi akad konsep lama, dan
mengambil konsep akad yang tidak utuh.
Dikaitkan dengan teori positivisasi/taqnîn, fatwa DSN-MUI adalah
sumber hukum primer peraturan tentang ekonomi syariah, maka seyogyanya
bisa diserap secara keseluruhan oleh Regulator ke dalam Peraturan
Perundang-undangan baik dengan objektivikasi, adopsi sepenuhnya, dan
adaptasi dan copy paste. Dengan cara tersebut maka fatwa DSN-MUI bisa
terserap dengan sempurna baik secara tekstual maupun subtantif non literal
sebagaimana teks fatwa DSN-MUI.
143
Dalam aplikasi sistem hukum syariah paling tidak terdiri dari dua unsur, yaitu akad (secara
syariah) dalam fatwa DSN dan aturan pemerintah. Antara dua unsure tersebut mempunyai pola
hubungan yang sangat erat, karena keberadaan keduanya merupakan bagian integral dari perikatan
syariah.
128
144
Pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pemikiran bahwa negara Indonesia
merupakan negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan harus berdasarkan sistem hukum nasional. Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah dasar hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan
baik di tingkat pusat maupun daerah.
130
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
1. Saran untuk OJK
a. fatwa DSN memang tidak mengikat dan tidak memiliki kekuatan
hukum sekuat peraturan dari OJK. Namun karena fatwa DSN
merupakan manifestasi hukum syariah (bersumber dari alquran hadis
dan fikih), hendaknya OJK mempebaiki terkait teks peraturan yang
belum sesuai dengan fatwa DSN Karena namanya bank syariah maka
kebijakannya harus syariah juga.
b. Harmonisasi/penyesuaian ketentuan fatwa DSN-MUI dengan
regulasi SEBI/SEOJK sangat penting dilakukan dalam rangka
penyempurnaan hukum materil di pengadilan.
2. Saran untuk penelitian selanjutnya
a. Harus penulis akui bahwa penelitian ini sangat terbatas. Penelitian ini
hanya menguji satu skim pembiayaan yaitu akad musyârakah
mutanqisâh dari banyaknya ragam kategori akad pembiayaan, seperti
133
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ahmed, Salahuddin, Islamic Banking, Finance and Insurance: A Global Overview,
Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 2006
Ali, Mohd. Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, ed. 6, cet. 11, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004
al-Kawâmilah, Nûr al-Dîn „Abd al-Karîm, al-Musyârakah al-Mutanâqisah wa
Tatbîqatuhâ al-Mu„âsirah fî al-Fiqh al-Islâmî „Amman: Dâr al-Nafâ`is lî al-
Nasr wa al-Tawzî„, 2008
al-Ramlî, Syihâb al-Dîn, Nihâyah al-Muhtâj Ilâ Syarh al-Minhâj, Beirut : Dâr al-
Fikri, 1404/1983jilid V
aL-Zarqa, Mushtafa, al-Madkhal al-Fiqh al-`âm, Juz II, Beirut: Dar al-Qalam, 1418
H.
Al-Zuhaili, Wahbah, al-Mu‟âmalah al-Mâliyah al-Mu‟âsirah, t.tp.: t.p., t.t
Anshari, Endang Saifuddin Piagam Jakarta 22 Juli 1945: Sebuah Konsensus
Nasional tentang dasar Negara republikndonesia (1945-1949), Jakarta: Gema
Insani Press, 1997
Arifin, bustanul, Pelembagaan Hukum Islam Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan
Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Assiddiqie, Jimly, Hukum acara Pengujian Undang-undang, Jakarta: Konstitusi
Press, 2001
__________ Menggagas Peradilan Etik di Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial RI
Pust Analisis dan Layanan Informasi, 2015
__________ Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara pasca reformasi
Ayub, Muhammad, Understanding Islamic Finance, West Sussex: Wiley Finance,
2007
Azizy, A. Qodri, Elektisisme Hukum Nasional: Komptisi antara Hukum Islam dan
Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002
Barkatullah, Abdul Halim dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan
Zamanyang Terus berkembang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Barlinti, Yeni, Salma Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem
Hukum Nasional di Indonesia, t.p.: Badan Litbang dan Diklat Kementrian
Agama RI, 2010
135
Basri, Cik Hasan, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial,
Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004
David, Rene dan J.E.C. Brierly, Major Legal System in The World Today, 1978.
Dupret, Baundouin La Charia Des Sources A La Pratique Un Concept Pluriel, Paris:
La Decouverte, 2014
El-Gamal, Mahmoud A. Islamic Finance Law, Economic, and Practice
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif Hukum Dan Perundang-
Undangan, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI
Hakim, Cecep Maskanul, Belajar Mudah Ekonomi Islam: Catatan Kritis Terhadap
Dinamika Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia, Tangerang,
Shuhuf Media INsani, 2011
Ikatan Bankir Indonesia (IBI) dan Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan (LSPP),
Mengelola Bisnis Pembiayaan Bank syariah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2015
isra, Saldi, dkk., Hasil peneliian Perkembangan Pengujian Perundang-undangan di
Mahkamah Konstitusi (dari Berfikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif),
t.tp: mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum
Universitas Andalas, 2010
K., Ahmad, Islamic Finance and Banking: The Challenge and Prospects, Review of
Islamic Economics, Vol. 9. 2000
Ka‟bah, Rifyal Penegakan Syariah Islam di Indonesia, Jakarta: Khairu Bayan, 2004
Kan, J. van dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Pustaka Sarjana, t.t.
Ma‟arif, A. Syafi‟I, et. al., Syariat Islam Yes Syariat Islam No: Dilema Piagam
Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, Jakarta: Paramadina, 2001, Cet. 1.
Mahmasani, Sobhi Filsafat Hukum Islam, Bandung: al-Ma‟arif, 1976
Majma„ al-Fiqh al-Islami, Majallah, 1:388
Makhrus Munajat dkk., Objektivikasi Hukum Pidana Islam ke dalam Hukum
Nnasional. Jurnal Istiqra, Vol 03, no. 01 tahun 2004
Mandzur, Ibnu, Lisaan Al-Arab, Beirut: Dar Al-Fikr, 1997
Marzuki Wahid, Fikih Madzhab Negara: Kritik atas politik Hukum di Indonesia,
Yogyakarta: LKIS, 2001
Masykuri Abdullah, Formalisasi Syari‟at Islam di Indonesia, Jakarta: Renaissance,
2005
136
Sunarto, Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata, Jakarta: Prenadamedia Grup,
2014
Syubair, Muhammad „Utsmân, al-Mu‟âmalah al-Mâliyah al-Mu‟âsirah, Yordania:
Dâr al-nafâ`is, 2008, Cet. ke-6
Usman, Suparman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam
dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Usmani, Muhammad Taqi, An Introduction to Islamic Finance The Hague: Kluwer
International Law, 2002
Utrecht, E., Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ichtiar, 1957
Weeramantry, CG., Islamic Jurisprudence: An Iternational Prespective, Kuala
Lumpur: The Other Press, 2001
Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic,J.Wilton Cowan (ed), Cet.III, Otto
Harrassowitz, Wiesbaden, 19971
Zaidan, Abdul Karim, Al-Madkhal li al-Darasah al-Syari‟ah al-Islamiyah, Beirut:
Resalah Publisher, 1969
Zevenbergen, Formele Encyclopedia der Rechtswetenschap, Gebr. Belifante:
s‟Gravenhage, 1925
Wahid, Soleh Hasan pola Transformasi Fatwa Ekonomi Syariah Dsn-Mui Dalam
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Jurnal Hukum Islam al-Ahkam
DOI: 10.21274/ahkam.2016.4.2.171-198
Wahiduddin Adams, Pola Penyerapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
Peraturan Perundang-undangan 1975-1997, Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullaj, 2002 Disertasi tidak dipublikasikan
Kamus, Booklet,
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. III Jakarta:
Balai Pustaka, 2005
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2005
Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan Otoritas Jasa keuangan, Booklet
Perbankan Indonesia 2014, edisi 1 Maret 2014 ISSN : 1858 - 4233
Indonesia, Undang-undang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025, Undang-undang No. 17 Tahun 2007, LNRI No.
33 Tahun 2007, TLNRI No. 4700
Divisi Pengembangan Produk dan Edukasi, Departemen Perbankan Syariah dan
Otoritas Jasa Keuangan, Standar Produk Perbankan Syariah Musyarakah dan
Musyarakah Mutanaqishah, Jakarta: t.tp, 2016
Internet:
Fungsi Bank Indonesia: Visi dan Misi, https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/fungsi-
bi/status/Contents/Default.aspx diakses pada 15 Novenber 2018
GBHN tahun 1999
http://www.infobanknews.com/2011/01/bi-inovasi-produk-menjadikunci-sukses-
perbankan syariah/ diakses tanggal 5 Desember 2012.
https://economy.okezone.com/read/2012/03/30/316/602652/pembiayaan-bagi-hasil-
musyarakah diakses pada 9 Juli 2018
Husein, Syafriman dalam http>//ilmuhukumusk.blogspot/2013/05/legisme-hukum-
dan-positivisme-hukum.html diakses pada tanggal 12 Novenber 2018
Meri, Josef W., Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia. t.t.: Psychology
Press. 2005 Fungsi Bank Indonesia: Status dan Kedudukan Bank Indonesia,
141
https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/fungsi-bi/status/Contents/Default.aspx
diakses pada 15 Novenber 2018
Mubarok, Jaih, “Struktur DSN-MUI”,
http://majelispenulis.blogspot.com/2016/05/peran-dewan-syariah-
nasional.html diakses pada 15 Novenber 2018
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang
Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK)" Pasal 7. UU OJK dapat diakses di
http://www.bapepam.go.id/bapepamlk/others/UU-21-2011-OJK.pdf
142
Hp. : 085777758845
Najikha Akhyati
NIM. 21140433100012
143