Anda di halaman 1dari 67

Konsep Kenabian dalam Agama-agama Samawi Perspektif Tafsir

al-Manar dan Tafsir al-Maraghi

Disusun oleh:

Anggi Suryadi

NIM 11140340000193

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2019 M
i
ii
iii
KATA PENGANTAR

Bismillāhirrahmānirrāhīm

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang tentunya tidak terlepas
dari dukungan semua pihak.

Maka, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh sivitas akademika Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, M.A, Kepada Dekan
Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, Dr. Yusuf Rahman, M.A., Kepada ketua program studi dan
sekretaris jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Dr. Lilik Umi Kaltsum, M.A. dan Dra. Banun
Binaningrum, M.Pd.

Untuk dosen pembimbing penulis, Dr. Kusmana, MA, Ph.D. terima kasih atas saran yang
membangun dan setiap masukan yang selalu mencerahkan. Untuk keluarga yang selalu
penulis cintai yang senantiasa mendukung dan bertanya kapan wisuda, penulis ucapkan
beribu terima kasih.

Untuk teman-teman seperjuangan, terima kasih telah meyakinkan penulis untuk bisa melalui
semua tahap ujian. Terima kasih sudah menjadi tempat berdiskusi dan berbagi ilmu sehingga
pengetahuan penulis dapat terus berkembang. Untuk teman-teman kosan, terima kasih selama
ini sudah bermurah hati mau menampung penulis dan membantu penilis dalam
keberlangsungan penulisan skripsi ini. Terima kasih untuk teman-teman satu kos dengan
penulis atas kecerian dan kebahagiaan penuh tawa selama itu. Semoga Allah SWT selalu
memberikan kebaikan kepada semua pihak yang mendukung penulis, Amin.

Jakarta, 07 Mei 2019

Anggi Suryadi

iv
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini bersumber dari


pedoman Arab-Latin yang diangkat dari Keputusan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 158 Tahun
1987 dan Nomor 0543 b/U/1987, selengkapnya adalah sebagai berikut:

1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab
Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan
‫ا‬

Be
‫ب‬ B

Te
‫ت‬ T

‫ث‬
Es dengan titik di atas

‫ج‬
Je
J

‫ح‬
Ha dengan titik di bawah

‫خ‬
Ka dan ha
Kh

v
‫د‬
De
D

‫ذ‬
Zet dengan titik di atas
Ż

‫ر‬
Er
R

‫ز‬
Zet
Z

‫س‬
Es
S

‫ش‬
Es dan ye
Sy

‫ص‬
Es dengan titik di bawah

‫ض‬
De dengan titik di bawah

‫ط‬
Te dengan titik di bawah

‫ظ‬
Zet dengan titik di bawah

‫ع‬
Koma terbalik di atas hadap kanan

vi
‫غ‬
Ge
G

‫ف‬
Ef
F

‫ق‬
Ki
Qi

‫ك‬
Ka
K

‫ل‬
El
L

‫م‬
Em
M

‫ن‬
En
N

‫و‬
We
W

‫ه‬
Ha
H

‫ء‬
Apostrof

‫ي‬
Ye
Y

vii
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau difting. Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah sebegai berikut.
Tanda Vokal Latin Keterangan
Tanda Vokal Arab

A Fatḥah

I Kasrah

U Ḍammah

Adapun vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Latin Keterangan


Tanda Vokal Arab

Ai A dan I
‫ﺑ َﯾﻧ َ ﻛ ُم‬

Iu A dan U
ُ‫ﻗَول‬

3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harkat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Latin Keterangan


Tanda Vokal Arab

Ā A dengan garis di atas


‫ﺟﺎھﻠﯾﺔ‬

viii
Ī I dengan garis di atas
‫ﻣﺟﯾد‬

Ū U dengan garis di atas


‫ﻓروض‬

4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun
huruf qomariyah. Contoh: al-rijāl, al-ṭīn.

5. Syaddah/Tasydid
Syaddah/Tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda () dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.

ix
ABSTRAK

Anggi Suryadi. Konsep Kenabian dalam Agama-agama Besar Dunia


Perspektif Tafsir al-Manar dan Tafsir al-Maraghi, 2019

Skripsi ini membahas konsep kenabian menurut agama-agama besar di dunia serta
mengupas pendapat Muhammad Abduh, Rasyid Ridho dalam kitab Tafsir al-
Manar dan Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi
dalam Tafsir al-Maraghi. Hal menarik yang ada di dalam pembahasan ini adalah
ketiga ulama tersebut membuka batasan-batasan atas pengertian kenabian dalam
pandangan umat Islam. Seperti dalam Tafsir al-Manar yang menyebutkan Hindu,
Budha, Zoroaster, Konfusius (Konghucu) dll, sebagai Ahlul Kitab yang artinya di
dalam agama-agama tersebut terdapat Nabi dan Rasul untuk menyampaikan
firman Tuhan kepada umat manusia.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research). Semua data


tentang Kenabian dan Kerasulan dikumpulkan, kemudian dianalisis dengan
metode pengolahan muqoranah (perbandingan) dengan beberapa kitab tafsir dan
membandingkan konsep kenabian antar agama.

Penelitian ini menemukan bahwasanya di setiap agama yang sudah penulis teliti,
yaitu: Yahudi, Kristen, Zoroaster, Hindu dan Budha memiliki Rasul dan Nabi
untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan berupa kitab suci yang membimbing
segenap manusia untuk meniti jalan kebaikan dalam ketaatan pada Tuhan.

Kenabian di antara Islam dan kelima agam tersebut memiliki kesamaan dalam
menyampaikan pesan-pesan kebajikan dan keesaan Tuhan. Artinya, setiap Nabi
dalam agama-agama di atas sudah jelas bahwa mereka telah menerima wahyu dari
Tuhan

x
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan ................................................................................................... i
Pengesahan Pembimbing ........................................................................................... ii
Lembar Pernyataan ................................................................................................... iii
Kata Pengantar .......................................................................................................... iv
Pedoman Transliterasi ............................................................................................... v
Abstrak ....................................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………… 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................................... 9
D. Tinjauan Pustaka......................................................................................... 10
E. Metode Penelitian ....................................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ................................................................................. 12
BAB II AGAMA SAMAWI DAN KONSEPN KERASULAN .................................. 9
A. Agama Samawi............................................................................................ 9
1. Definisi Agama Samawi......................................................................... 9
2. Ciri-ciri Agama Samawi......................................................................... 10
3. Macam-macam Agama Samawi ............................................................. 11
B. Kerasulan Dalam Agama Samawi ................................................................ 18
1. Definisi Rasul ........................................................................................ 18
2. Rasul Dalam Agama Yahudi .................................................................. 20
3. Rasul Dalam Agama Nasrani ................................................................. 23
4. Rasul Dalam Agama Islam..................................................................... 25
BAB III MENGENAL TAFSIR AL-MANAR DAN TAFSIR AL-MARAGHI........ 27
A. Tafsir al-Manar............................................................................................ 27
1. Muhammad Abduh ................................................................................ 27
2. Rasyid Ridho ......................................................................................... 27
B. Tafsir al-Maraghi ......................................................................................... 30
BAB IV KONSEP KERASULAN DALAM TAFSIR AL-MANAR DAN TAFSIR AL-
MARAGHI .................................................................................................................. 33
A. Penafsiran Kerasulan ................................................................................... 33
B. Jenis Kelamin dan Ciri-ciri Kerasulan.......................................................... 35
C. Proses Menjadi Rasul dan Tugas-tugasnya................................................... 39
D. Kerasulan Dalam Tradisi Agama Samawi .................................................... 43
BAB V KESIMPULAN............................................................................................... 48
A. Kesimpulan.................................................................................................. 48
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 50

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kitab yang memancar darinya aneka ilmu keislaman, karena kitab suci
itu mendorong untuk melakukan pengamatan dan penelitian. Kitab suci ini juga dipercaya
oleh umat Islam sebagai kitab petunjuk yang hendaknya dipahami.1

Dalam memahaminya, M. Quraish Shihab menilai bahwa al-Qur’an yang mulia ini dapat
mendorong manusia untuk melakukan pengamatan dan penelitian. Untuk merefleksikan
pendapat tersebut, penulis mencoba melakukan sebuah penelitian tentang tafsir yang
terkandung dalam surah Yunus ayat 47. Dalam surah Yunus ayat 47 tersebut, penulis tertarik
untuk menelisik tiga agama samawi, karena ayat tersebut memberikan informasi bahwa pada
setiap umat memiliki Rasul. Berikut ini ayatnya:

             

“Tiap-tiap umat mempunyai Rasul; Maka apabila telah datang Rasul mereka,
diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikitpun) tidak
dianiaya.” (QS. Yunus [10]: 47)

Selanjutnya ayat yang berhubungan dengan masalah kerasulan adalah sebagai


berikut:

“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di
antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada
(pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak dapat bagi seorang Rasul
membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah; Maka apabila telah
datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. dan ketika itu
rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.” (QS. Ghafir [40]: 78)

Ayat tersebut memberikan isyarat bahwasanya ada sebagian besar di antara mereka tidak
tercantum dalam al-Qur’an, Perjanjian Baru (Injil) atau di dalam Perjanjian Lama (Taurat).
Seakan-akan Allah Swt. membuka pintu yang seluas-luasnya kepada kita untuk melakukan

1
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 5

1
2

kajian dan peneliatian terkait masalah ini. Begitu pula mengenai firman Allah yang memberi
informasi tentang adanya Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw. Berikut adalah ayatnya:

                    

  

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan
Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak
bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan
izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu).” (QS. Ra’d [13]: 38)

Dari penggalan ayat 38 surah al-Ra’du di atas menerangkan, bahwa “Allah Swt.
menurunkan kitab pada setiap masa.” Allah tidak menurunkan kitab pada setiap individu,
melainkan Allah memilih Rasul sebagai pelantara untuk menyampaikan risalahNya agar
dapat tersampaikan kepada segenap umat manusia. Agama Islam menganggap Rasul sebagai
manusia biasa sebagaimana pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah mereka
menerima wahyu dari Tuhan,2 sementara kita tidak menerima wahyu.

                     

                

              

“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan
dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan
mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan
seizinNya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Mahatinggi lagi
Mahabijaksana. Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Quran)
dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-kitab
(al-Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan
al-Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki
di antara hamba-hamba Kami, dan Sesungguhnya kamu benar-benar memberi
petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Syūrâ [42]: 51-52)

Orientalis asal Jepang, Tokohiko Izutsu berpendapat bahwa wahyu adalah sebagai
berikut: 1) wahyu adalah fenomena dari sebuah perkembangan bahasa yang dinamis. Namun,

2
Sayyid Yahya Yatsribi, Agama dan Irfan, terj. Muhammad Syamsul Arif, (Jakarta: Sadra Press,
2012), h. 117
3

meski begitu, “bahasa” wahyu telah mengalami dinamikanya, tetapi tetap bagian dari bahas
yang dapat dipahami. 2) wahyu adalah fenomena supranatral. Uraian kesupranaturalannya
dimulai dari Allah Swt. melakukan hubngan (dialogis) dengan dzat yang netral (Nabi
Muhammad Swt. dan Rasul-rasul yang lain.)3

Pendapat Mana' Khalil al-Qoththan mengenai wahyu adalah merupakan suatu


pemberitahuan secara tersembnyi dan cepat. Bisa juga naluriah pada hewan. Di dalam al-
Qur’an, makna wahyu cukup beragam, seperti; insting yang diberikan kepada manusia (QS.
al-Qashash [28]: 7), insting yang diberikan kepada binatang atau hewan (QS. al-Nahl [16]:
68), isyarat yang disampaikan dengan cepat (QS. Maryam [19]: 11), pemberitahuan Allah
kepada malaikat (QS. al-Anfl [8]: 12), dan wahyu bisa juga bermakna bisikan setan (QS. al-
An’am [6]: 112) terakhir adalah wahyu sebagai kalam Allah kepada manusia yang dipilihNya
melalui pelantara atau di belakang tabir (QS. al-Syu’ara [42]: 51).4

Merujuk pada ayat ke 38 surah al-Ra’du di atas, yang memberikan informasi bahwa Allah
menurunkan kitab di setiap masa adalah benar adanya. Logika sederhananya, masa atau
zaman dari hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun itu pasti ada perubahan di
berbagai sisi, terutama dalam pola pikir manusi dan ilmu pengetahuan juga kultur budaya
mereka. Untuk itu, Allah Swt. yang maha Mengetahui memberikan modal berupa kitab
petunjuk sebagai tuntunan agar manusia tidak keliru dalam berbuat. Ketika Nabi
Mauhammad Saw. diutus oleh Allah Swt., secara otomatis, Allah Swt. menurunkan
wahyunya kepada diri Nabi Muhammad Saw. Wahyu itu adalah al-Qur’an yang mesti
disampaikan kepada umatnya. Di zaman Nabi Ibrahim, Allah menurunkan wahyu kepadanya,
dari wahyu-wahyu itu sering kita dengar dengan sebutan Shuhuf Ibrahim, Nabi Musa
diturukan wahyu berupa kitab Taurat atau Torah, dan Nabi Isa yang sudah kita ketahui bahwa
Allah menurunkan Wahyu berupa Injil kepadanya.

Demikianlah apa yang penulis sampaikan untuk mengungkapkan apa yang


melatarbelakangi penulis dalam melakukan penelitian ini.

B. Identifkasi, Batasan dan Perumusan Masalah

3
Abdullah Hadlir, “Konsep Izutsu Tentang Wahyu,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negeri, 2007), h. 105
4
Ibrahim Eldeeb, be a Living Qur’an, terj. Faruq Zini. (Ciputat: Lntera Hati, 2005), h. 28
4

Belakangan ini, isu tentang benturan antar umat manusia semakin mencuat. Perbedaan
menjadi penyebab utamanya. Perbedaan antar agama adalah yang paling sensitif. Ribuan
nyawa manusia melayang akibat perbedaan ini. Penulis hanya berusaha untuk mencari titik
temu antara umat beragam melalui konsep kerasulan sehingga dapat memahami bahwa
Tuhan telah mengutus pada setiap umat seorang Rasul. Penulis sendiri tidak berkesimpulan
bahwa semua agama itu sama. Konsep ketuhanan dan syari’at antar agama mestilah berbeda,
meskipun setiap agama mengakui keesaan Tuhan dan mengajarkan kebaikan.
Antara Islam, Kristen dan Yahudi, di dalam Kitab Suci masing-masing menyebutkan
bahwa Allahlah Tuhan semesta alam. Mereka mengakui bahwa Allah adalah sang pencipta,
namun konsepnya yang berbeda. Islam menyebutkan di dalam al-Qur’an bahwa: “Padahal
sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan (Allah Swt.) yang
Mahaesa” (QS. Al-Mâidah [5]:73), dan “Tidak ada yang sederajat sesuatu apapun
denganNya.” (QS. Al-Ikhlash [112]: 4). Di dalam Perjanjian Baru, orang Kristen mengakui
Allah sebagai Tuhan ditambah Isa/Yesus dan Roh Kudus sebagai satu kesatuan. Jadi, mereka
selain mengakui keesaan Tuhan, juga menganggap bahwa Yesus adalah Tuhan itu sendiri.
“Dialah firman yang pada mulanya bersama-sama dengan Allah dan Allah adanya.”
(Yohanes 1:1), dan “yang kemudian menjadi manusia, serta diam di antara kita.” (Yohanes
1:14).5 Di dalam kitab Yahudi, Perjanjian Lama pun menyebutkan asma Allah:
“Mereka memberitakan semuanya kepadanya. Perempuan itu menjawab mereka:
“Beginilah firman Tuhan, Allah Israel ‘Katakanlah kepada orang yang menyuruh
kamu kepadaku!’ beginilah firman Tuhan ‘Sesungguhnya Aku akan datangkan
malapetaka atas tempat ini dan atas penduduknya, yakni segala perkataan kitab
yang sudah dibaca dibaca oleh raja Yehuda” (II Raja-raja, 22: 14-17)

Atas dasar latar belakang yang sudah ditulis sebelumnya, maka saya sebagai penulis atau
peneliti ingin mengidentifikasi masalah yang akan ditulis dalam skripsi ini. Pertama,
menganalisa konsep kerasulan dalam agama samawi, Kedua, penulis ingin mengenalisa
pemahaman Rasyid Ridho, Muhammad Abduh dan al-Maraghi mengenai ayat-ayat Kerasulan
yang berhubungan dengan para Rasul dalam agama Samawi. Ketiga, mengenal para tokoh
atau para Rasul dalam agama Samawi. Keempat, mengomparasi hasil penelitian tentang
Kerasulan dalam agama-agama Samawi.

Agar tidak meluas kemana-mana, pembahasan yang dibatasi hanya membahas masalah
sebagai berikut: penulis ingin menganalisis pendapat-pendapat para mufasir, seperti tafsir al-

5
Harun Hadiwijono Kebatinan dan Injil (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), cet. 11, h. 140
5

Maraghi yang ditulis oleh Ahmad Musthafa al-Maraghi6 dengan tafsir al-Manar yang ditulis
oleh Muhammad Abduh7 dan Rasyid Ridha.8 Agama-agama yang ingin ditelisik tentang
Rasul-rasulnya yaitu hanya pada agama Yahudi, Kristen/Nasrani dan Islam.

Maka dari itu penulis ingin mengungkapkan rumusan masalah dalam penelitan ini sebagai
berikut: Bagaimana penafsiran Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan Ahmad Musthafa al-
Maraghi tentang ayat kerasulan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Secara umum, tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. mengamati bagaimana konsep kerasulan dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam.
2. menganalisis pandangan para Mufassir (Ahmad Musthafa al-Maraghi, Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha) terhadap Rasul-rasul Allah Swt.
3. Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Setrata satu dalam bidang Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir.

Adapun manfaat dalam penulisan ini adalah:

1. ditinjau dari segi teoritis, penulisan ini melengkapi tulisan dari Abdul Haq Vidharti
dan Abdul Ahad Dawud dalam buku mereka yang sudah diterjemahkan judulnya
menjadi Ramalan tentang Muhammad Saw. Di dalam buku itu, mereka secara lengkap
mengupas tentang nubuwah yang terdapat di dalam kitab suci agama-agama dunia

6
Nama lengkap al-Maraghi adalah Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi.
Iyazi, Muhammad Ali, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Muassasah al- Thibâ’ah wa al-
Nasyri Wuzâratu al-Tsaqafah al-Irsyâdu al-Islâmi, 1373), cet.ke-1, h. 357. Beliau lahir pada tanggal 9 Maret
1883M/1300H di kota al-Maraghah, propinsi Suhaj, kira-kira 700 km. arah selatan kota Kairo. Departemen
Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: IAIN Jakarta, 1988), h. 128. Sebutan al-Maraghi pada diri
beliau bukanlah dikaitkan dengan nama suatu suku/marga atau keluarga, melainkan dinisbahkan kepada kota
kelahiran beliau yaitu kota al-Maraghah. Syekh Umar Ridha Kahhalah dalam kitab “Mu’jam al-Mu’allifîn”
mencantumkan 13 orang al-Maraghi di luar keluarga Syekh Abdul Mun’im al-Maraghi, yaitu para ulama yang
ahli dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang dihubungkan dengan kota asalnya al-Maraghah. Umar
Ridha Kahhalah, Mu’jam al-Muallifîn, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-‘Ulûm, 1376H), h. 319
7
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Abduh bin Hasan Khairullah. Dilahirkan di desa Mahallat
Nasr di kebupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M dan wafat pada tahun 1905 M. Ayahnya bernama
‘Abduh bin ‘Abdullah bin Hasan al-Khairullah, mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan
Ibunya mempunya silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam, Ummar bin Khathab. Lihat Harun Nasution,
Muhammad Abduh dalam Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: Universitas Indonesia, 1981), h. 19
8
Rasyid Ridha adalah murid Muhammad ‘Abduh yang terdekat. Dia lahir di desa al-Qolamun, dekat kota
Tripoli, Lebanon tahun 1865. Lihat Faizah Ali Syibrmalisi dan Zauhar Azizi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), cet. 1, h. 91
6

tentang kenabian Muhammad Saw. sementara dalam tulisan ini, penulis


menambahkan dan memberi simpulan, bahwa kemungkinan besar pendiri agama-
agama di dunia ini termask Nabi atau utusan dari Allah Swt. atas dasar firmanNya.
2. dari segi praktis, penulis berharap dengan adanya penelitian ini dapat menciptakan
pluralisme antar umat agama di Indonesia bahkan dunia dengan menumbuhkna pola
pikir bahwa tidak ada yang patut untuk saling menjelek-jelekkan anatara satu agama
dengan agama lainnya karena semuanya berasal dari Yang Mahaesa.

D. Tinjauan Kepustakaan
Kajian pustaka dalam penelitian ini adalah menelaah karya-karya tulis baik yang
berwujud buku, skripsi, tesis maupun disertasi. Untuk kemudian penulis cari perbedaannya
dengan karya tulis yang sedang penulis susun. Berdasarkan pencarian penulis yang sudah
dilakukan, ditemukan beberapa buku yang berkaitan denggan apa yang hendak penulis teliti
nantinya. Tulisan-tulisan tersebut adalah:
1. Ramalan tentang Muhammad Saw.; isyarat nama Nabi Muhammad pada Kitab Suci
agama-agama besar dunia karya Abdul Haq Vidyarthi dan Abdul Ahad Dawud
diterjemahkan oleh Arfan Achyar terbitan Noura Books tahun 2013, dalam buku ini
penulisnya mengulas tentang ramalan adanya nama Nabi yang termaktub dalam
kitab-kitab agama besar di dunia.
2. Satu Tuhan Banyak Agama: Pandangan sufistik Ibn Arabi, Rumi dan al-Jili karya
Media Zainul Bahri terbitan Mizan tahun 2011, buku ini menguraikan pengalaman-
pengalaman mistik para sufistik.
3. Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwal wa al-Nihal karya Abu Muhammad Ali bin
Ahmad bin Said bin Hazm al-Andalusi atau yang dikenal dengan kunyah Ibn Hazm
yang wafat di tahun 456 H, buku ini ditulis sebagai pelajaran bagi perkembangan
pemikiran dialog antar agama dari salah satu pribadi menonjol dalam sejarah Islam
di Andalusia.
4. Risalah Tauhid karya Muhammad Abduh buku tersebut lahir untuk menerangkan
agama Islam dengan metode baru yang berbeda dengan yang sebelumnya yang
mampu menarik pemahaman orang secara rasional. Buku itu berbicara tentang
ketauhidan melalui wahyu yang diturunkan oleh Tuhan.

E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
7

Penelitian ini dilakukan dengan menitikberatkan pada penelitian kepustakaan (library


research), dengan mengumpulkan data dan menganalisis bahan-bahan yang dibutuhkan
dari berbagai buku, jurnal, majalah-majalah dan bacaan-bacaan lain yang berkaitan
dengan tema yang akan dibahas.
2. Sumber Data
a. Data Primer, yaitu data yang menjadi sumber utama dalam penulisan karya
ilmiah ini. Data primer tersebut adalah ayat-ayat Kerasulan seperti yang ada di
dalam surah Yunus: 47, Ghafir: 78, Ra’d: 38, al-Syuura: 51-52 dan al-Maidah: 5.
Terkait kitab tafsir yang menafsirkan ayat Kerasulan tersebut adalah Tafsir al-
Manar, Tafsir al-Maraghi, buku Agama-agama Dunia, kitab suci agama Yahudi
(Perjanjian Lama), Kristen (Injil) dan Islam (al-Qur’an).
b. Data Sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku yang mengangkat tema
perbandingan agama seperti Risalah Tauhid, al-Wahyu al-Muhammadiyah, al-
Fashl fi al-Milal wa al-Ahwal wa al-Nihal dan sumber-sumber lain yang relevan
dengan kajian penelitian.
3. Teknik Pengolahan Data
Dalam mengolah data pada penelitian ini, penulis menggunakan konsep analisis data.
Dalam buku Lexy J. Moleong, menurutnya, analisis data kualitatif adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilihnya
menjadi suatu yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain.9

F. Sistimatika Penulisan

Adapun penulisan ini untuk memperoleh analisis yang komprehensif, berikut akan
diuraikan dengan membagi beberapa bab dan sub bab. Masing-masing bab dan sub bab
memiliki keterkaitan yang erat dan tidak terpisahkan. Penyusunan skripsi ini penulis
membagi lima bab, dengan sistimatika penulisan sebagai berikut:

Bab Pertama: merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
pembatasan dan rumusan maslah, tujun dan manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metode
penelitian serta sistematika penulisan.

9
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda, 2006), h. 248
8

Bab Kedua: merupakan penerangan konsep Kerasulan agama-agama Samawi.

Bab Ketiga: merupakan pengenalan terhadap tafsir al-Manar dan al-Maraghi.

Bab Keempat: menelaah konsep Kerasulan dalam sudut pandang tafsir al-Manar dan
tafsir al-Maraghi.

Bab Kelima: merupakan bab penutup, isinya terdiri dari kesimpulan sebagai jawaban
permasalahan penelitian ini. Kritik dan saran sebagai rekomendasi untuk penelitian
selanjutnya.
BAB II

AGAMA SAMAWI DAN KONSEP KERASULAN

A. Agama Samawi
1. Definisi Agama Samawi

Agama Samawi dalam bahasa Arab adalah al-Dīn al-Samā berasal dari kata al-Dīn
dan al-Samā, kata al-Dīn memiliki akar kata dāna-yadīnu memiliki banyak pengertian
seperti ketaatan dan kemaksiatan, kemuliaan dan kehinaan, paksaan, kesalehan,
perhitungan, pembalasan, putusan, kekuasaan, pengaturan, tingkah laku, adat, tauhid,
ibadah, kepercayaan.1 Sementara al-Samā memiliki arti langit. Jadi, al-Dīn al-Samā
adalah kepercayaan dari langit. Maksud dari kepercayaan langit atau agama langit adalah
agama yang bersumber dari wahyu langit2 dari Tuhan yang disampaikan melalui malaikat
atau wahyu yang langsung Tuhan sendiri yang berfirman namun di balik hijab.

Manna’ Khalil al-Qaththan menjelaskan bahwa Allah Swt. berfirman kepada malaikat
tanpa melalui perantara dengan firman yang dimengerti olehnya.3 Penyampaian wahyu
kepada para Rasul dengan tanpa melalui perantara, yaitu dengan cara bermimpi yang
benar dalam tidur, kemudian Tuhan berfirman dari belakang hijab. Selanjutnya para
Rasul juga mendapatkan wahyu melalui perantara, yaitu melalui wahyu yang
disampaikan malaikat Jibril.4

Sa’dullah Affandi menyebutkan ada tiga agama yang termasuk ke dalam agama
samawi. Ketiga agama tersebut adalah, Yahudi, Kristen/Nasrani dan Islam.5 Ketiga
agama tersebut memiliki titik kesamaan, yaitu sebagai agama kedamaian yang
berlandaskan pada kepasrahan kepada Tuhan.6 Lebih luas lagi, agama samawi adalah
agama yang ditetapkan oleh Tuhan untuk Nabi Nuh, Nabi Irahim, Nabi Musa dan Isa
seperti yang tercantum dalam al-Qur’an dalam surah al-Syûrā ayat 13.
1
Sa’dullah Affandi, Menyoal Status Agama-agama Pra-Islam (Jakarta: Mizan, 2015), cet. 1, h. 163
2
Lihat, Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Doktrin dan Pradaban Islam di
Panggung Sejarah (Jakarta: Paramadina, 2003), h.2
3
Manna’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulūm al-Qur’an, (Riyadh: Dār al-Rasyid, tt), h. 34
4
Manna’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulūm al-Qur’an, h. 38
5
Sa’dullah Affandi, Menyoal Status Agama-agama Pra-Islam, h. 207
6
Sa’dullah Affandi, Menyoal Status Agama-agama Pra-Islam, h. 48

9
10

2. Ciri-ciri Agama-agama Samawi

Agama samawi adalah agama yang dibawa oleh para Rasul untuk menyempaikan
wahyu dari Tuhan seperti yang telah diungkapkan bada sub bab definisi agama samawi
di atas. Menurut Komaruddin Hidayat agama samawi adalah agama yang bersumber dari
wahyu langit.7 Untuk menerima wahyu dari Tuhan pasti dipilih Rasul-rasul agar wahyu
dari Tuhan itu dapat tersebar pada setiap individu.

Ketiga agama samawi yang sudah dipaparkan di atas, memiliki Rasul yang Tuhan
pilih untuk menerima wahyuNya. Nabi Musa diutus untuk membebaskan bani Israel
untuk keluar dari Mesir yang pada masa itu Fir’aun memperbudak banga Israel. Hal itu
digambarkan dalam Alkitab:

Tetapi Musa berkata kepada Allah: “Siapakah aku ini, maka aku yang akan
menghadapi Fir’aun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir.(Keluaran
3:11)
Al-Qur’an menggambarkan dalam surah Thāhā. Allah berfirman:

“Pergilah enkau kepada Fir’aun, sesungguhnya dia sudah melampaui batas.”


(QS. Thāhā [20]: 43).
Sedang Nabi Isa As. juga adalah seorang utusan Tuhan (Allah Swt.). hal tersebut
bisa dibuktikan dalam Alkitab:

“Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diriku sendiri; aku menghakimi sesuai
dengan apa yang aku dengar, dan penghakimanku adil, sebab aku tidak
mengikuti kehendakku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus aku.”
(Yohanes 5:30)
“Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-
satunya Allah yang benar, dan menggenal Yesus Kristus yang telah Engkau
utus.” (Yohanes 17:3)
“Sebab segala firman yang Engkau sampaikan kepadaku, telah aku sampaikan
kepada mereka dan mereka telah menerimanya.maka tahu benar-benar, bahwa
aku datang dari padaMu, dan mereka percaya bahwa Engkaulah yang telah
mengutus aku.” (Yohanes 17:8)
Dan dalam al-Qur’an, Allah membenarkan apa yang disebutkan dalam Injil,
bahwasanya, Nabi Isa adalah utusan Allah. Hal tersebut tercantum dalam surah al-Shaf
ayat 1.

7
Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Doktrin dan Pradaban Islam di Panggung
Sejarah, h. 2
11

“Dan (ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata: “Hai Bani Israel,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan apa yang
sebelumnya dari Taurat, dan memberi kabar gembira dengan seorang utusan
yang datang setelahku namanya (adalah) Ahmad.” Maka ketika Rasul (Isa) itu
datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata:
“Ini adalah sihir yang nyata.” (QS. Al-Shaf [61]: 6)
Sedang Islam memiliki Rasul yang Allah utus untuk membawa kabar gembira dan
peringatan. Allah berfirman:

“Sesungguhnya kami telah engkau (Muhammad) dengan kebenaran sebagai


pembawa kabar gembira dan sebagagai pemberi peringatan.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 199).

Selain itu, Rasul dalam Islam juga membenarkan apa yang terdapat dalam kitab-
kitab terdahulu seperti kitab Taurat dan Injil. Allah berfirman:

3. Macam-macam Agama Samawi


a. Agama Yahudi
Agama Yahudi dalam literatur Barat disebut dengan Judaism dan di dalam literatur
Arab disebut Yahudiyyah. Sebutan Judaism itu bermula dipergunakan di dalam liretur
pihak Yahudi itu sendiri sekitar 100 tahun sebelum masehi, yakni di dalam II Makkabi,
2:21 dan 8:1, yang disusun dalam paduan bahasa Grik-Yahudi.8 Dalam buku Dirâsât al-
Adyân al-Yahūdiyyah wa al-Nashrâniyyah dikatakan bahwa kata Yahudi adalah kata
turunan dari kata al-Hūd dan itu bermakna taubat atau kembali. Allah berfiman dalam al-
Qur’an yang merupakan do’a Musa As. “Innâ hudnâ ilaika” “Sesungguhnya Kami
kembali (bertaubat) kepada Engkau” (QS. al-A’raf [7]: 156). Sedangkan pendapat lain
menyatakan bahwa kata Yahudi bukan berasal dari kata yang berbahasa Arab, namun
kata Yahudi itu adalah penisbatan kepada Yahudza, salah seorang dari keturunan Bani
Israel.9 Bani Israel itu sendiri adalah keturunan dari Nabi Ya’qub putra Nabi Ishaq, Nabi
Ishaq adalah putra dari Nabi Ibrahim.10
Hermawati, seorang dosen di UIN Syarif Hidayatullah menyebutkan bahwa di dalam
Perjanjian Lama tertulis “Setelah Ya’qub datang dari padang Aram, Allah menampakkan
diri kepadanya dan memberkati dia, firman Allah kepadanya namamu Ya’qub, dari
8
Josef Sou’yb, Agama-agama Besar di Dunia, terj. PT. Al-Husna Zikra (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra,
1996), cet. 3, h. 268
9
Abd. Aziz Khalaf, Dirâsât al-Adyân al-Yahūdiyyah wa al-Nashrâniyyah (Riyadh: Maktabah Adwâi
Salaf, 2004), cet. 4, h. 45
10
Abd. Aziz Khalaf, Dirâsât al-Adyân al-Yahūdiyyah wa al-Nashrâniyyah, h. 47
12

sekarang namamu bukan Ya’qub, melainkan Israel, itulah yang akan menjadi namamu,
maka Allah menamai dia Israel”.11 Sedangkan Israel itu sendiri memiliki arti “hamba
Allah yang sangat taat.”12
Mayoritas ahli sejarah mencatat bahwa sejarah agama dan bangsa Yahudi berawal
dari zaman Nabi Musa, akan tetapi orang Yahudi telah menggambarkan sejarah bangsa
mereka, berawal dari Nabi Ibrahim sebagai suatu sejarah umat manusia dan peradaban
dunia. Ibrahim dalam sejarah Israel dikenal dengan nama Abraham yang diyakini sebagai
salah seorang bapak bangsa dan bapak segala orang yang beriman yang melakukan
perjanjian dengan Tuhan.13 Di dalam literatur bangsa Yahudi, Nabi Ismail tidak disebut
sebagai salah-satu Nabi mereka meskipun Nabi Ismail merupakan anak keturunan
Ibrahim dari istrinya yang bernama Hajar. Bahkan dengan sengaja mereka mengganti
nama Isma’il dengan nama Ishaq pada ayat kedua, keenam dan ketujuh dari pasal kedua
puluh dua Kitab Kejadian dan membiarkan kalimat “anakmu yang tunggal itu” 14
Awal mula lahirnya agama Yahudi ini ketika Tuhan menurunkan Taurat kepada
Musa, sebagai kitab suci yang esensinya terletak pada sepuluh perintah Tuhan15. Sepuluh
perintah Tuhan itu adalah:
1. tidak ada Tuhan selain Allah;
2. jangan menyembah berhala;
3. jangan menyebut nama Allah dengan sia-sia;
4. memuliakan hari Sabt;
5. menghormati Ibu Bapak;
6. jangan membunuh;
7. jangan berzina;
8. jangan mencuri;
9. jangan bersaksi palsu/dusta;
10. jangan menginginkan isteri/milik orang lain.16

Allah berfirman dalam al-Qur’an:

11
Hermawati, Sejarah Agama dan Bangsa Yahudi (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), cet. 3, h.
22
12
M. Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia (Yogyakarta: Ircisod, 2015), cet. 1, h.
347
13
Hermawati, Sejarah Agama dan Bangsa Yahudi, h. 23-24
14
Abdul Haq Vidyarthi dan Abdul Ahad Dawud, Ramalan Tentang Muhammad, terj. Arfan Achyar
(Jakarta: Noura Book, 2013), cet. 1, h. 233
15
M. Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia, h. 352
16
Hermawati, Sejarah Agama dan Bangsa Yahudi, h. 43. Lihat juga kitab Keluaran 20: 1-17, ulangan
5: 1-21
13

                 

                

              

                

                  

    

               

   

“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh


Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat
baiklah terhadap kedua orang tua, dan janganlah kamu membunuh anak-anak
kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada
mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang
nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab)
yang benar, demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahaminya.

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang
melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, maka hendaklah
kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah.
yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.

Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka
ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-
jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu
diperintahkan Allah agar kamu bertakwa” (QS. al-An’am [6]: 151-153)

Pertama kali Musa As. menerima wahyu untuk menyelamatkan bangsa Israel dari
perbudakan orang-orang Mesir yaitu di “gunung Allah”, yakni gunung Horaeb ketika
sedang mengembala kambing-kambing milik mertuanya. Murtuanya itu bernama Rahuel
14

atau Yitroh (lireratur Islam menyebutnya dengan Syu’aib). Musa menikah dengan puteri
Rahuel yang bernama Zipora, ada yang menyebutkan Shafrawa, Safora, Zepoporah, atau
Shafura.17

Setelah mendapatkan wahyu tersebut, Musa As. yang ditemani Harun As.,
saudaranya, menghadap Fir’aun untuk meminta agar bangsa Israel dibebaskan.
Permintaan Musa akhirnya ditolak oleh Fir’aun. Ajakan agar Fir’aun kembali ke jalan
yang benar pun ditolakanya. Bahkan saat menunjukkan beberapa mukjizat bahwa dia
adalah seorang utusan Tuhan, Fir’aun tetap bergeming. Karena usahanya sia-sia, Musa
mengajak pengikutnya dan keturunan Bani Israel untuk meninggalkan Mesir menuju
tanah yang dijanjikan (Kan’an).18

b. Agama Kristen/Nasrani

Dalam banyak lieratur disebutkan bahwa agama Kristenlah yang paling banyak
penyebarannya di muka bumi ini. Huston Smith mengemukakan bahwa satu dari tiga
orang penduduk dunia dewasa ini adalah penganut Kristen. Hal ini berarti bahwa jumlah
seluruh umat Kristen adalah sekitar 800 juta manusia.19

Kristen berpusat pada kehidupan Yesus di Nezareth. Beliau lahir di Palestina,


mungkin 4 SM dan tumbuh besar di Nezareth.20 Injil menjuluki Yesus seorang Nasrani.
Matius menjelaskan julukan itu dengan kaitannya pada kota Nezaret, dimana menurutnya
Yesus dibesarkan, meskipun injil-injil kanonikal dan apokrifal terbelah tentang kelahiran
dan masa muda Yesus antara Nezaret dan Betlehem. Al-Qur’an menceritakan kembali
sebuah kisah yang menyiratkan bahwa istilah Nasrani adalah julukan bagi para pengikut
Yesus, bukan Yesus itu sendiri.21

Yesus dibaptis oleh seorang Nabi Yohanes (dalam Islam disebut Nabi Yahya). 22
Namun menurut Louay Fatoohi, injil menampilkan Yahya sebagai pendahulu Mesias

17
M. Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia, h. 355
18
M. Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia, h. 355-356
19
Huston Smith, Agama-agama Manusia, ter. Saafroedin Bahar (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1985), cet. 1, h. 355.
20
Huston Smith, Agama-agama Manusia, ter. FX Dono Sunardi dan Satrio Wahono (Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, 2015), cet. 1, h. 355
21
Louay Fatoohi, Historical Jesus, ter. Yuliani Liputo (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2012), cet. 1, h.
121
22
Huston Smith, Agama-agama Manusia, ter. FX Dono Sunardi dan Satrio Wahono , h. 355
15

tetapi sumber-sumber itu memberikan gambaran yang agak tidak konsisten tentang
hubungannya dengan Yesus dan apakah dia mengakui Yesus sebagai Mesias? Hanya dua
injil yang secara eksplisit bahwa Yahya membaptis Yesus.23

Sementara Yesus sendiri menurut keyakinan orang Kristen, Alkitab adalah firman
Tuhan Allah, namun bukan dalam arti firman yang diturunkan dari sorga dengan cara
didiktekan kata demi kata. Sebab firman Allah yang sejati yang turun dari sorga, menurut
Alkitab mereka, adalah Yesus Kristus. “dialah firman yang pada mulanya bersama-sama
dengan Allah dan Allah adanya.” (Yohanes 1:1) “yang kemudian menjadi manusia, serta
diam di antara kita.” (Yohanes 1:14).24 Alasan mereka menuhankan Yesus itu karena
menganggap bahwa apa yang diucapkan Yesus merupakan firman Allah Swt. Jadi, Yesus
adalah firman Allah itu sendiri yang sebenarnya menurut umat Islam disebut sebagai
wahyu yang Allah turunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Isa atau yang mereka
sebut Yesus.

Selain mereka menganggap bahwa Yesus itu adalah firman Allah yang tidak bisa
dipisahkan antara Yesus dengan Allah, mereka pun memperanakkan Tuhan. Mereka
menganggap bahwa Yesus itu putera Tuhan. Dalam Alkitab mereka disebutkan sebagai
berikut; a) “Yesus dikatakan sebagai satu-satunya Putera Tuhan” (Yohanes 3:18). b)
Tentang David, Bibel menyatakan “Tuhan telah berfirman kepadaku bahwa Engkau
adalah PuteraKu, hari ini aku telah memperanakkan Engkau (Psalm [Mazmur] 2:7).
Telah diklaim bahwa Yesus adalah salah satu unsur dalam Trinitas, karena dia adalah
satu-satunya Putera Tuhan, tetapi terdapat terdapat Putera-putera Tuhan yang lain yang
telah disebutkan dalam Bibel sebagai berikut;

a) Demikianlah, difirmankan oleh Tuhanmu bahwa Israel adalah Puteraku


bahkan Putera SulungKu (Keluaran 4:22).
b) Terberkatilah para pencipta perdamaian karena mereka akan disebut sebagai
putera-putera Tuhan (Yohanes 5:9).
c) Tetapi semua orang yang menerimaNya diberiNya kuasa supaya menjadi
anak-anak Allah (Yohanes 1:2)
d) Seth yang merupakan putera Adam yang adalah Putera Tuhan (Lukas 4:41)25

Dalam Alkitab disebutkan bahwa “Dari banyak orang, keluar juga setan-setan sambil
berteriak: “Engkau anak Allah.” Lalu dia dengan keras melarang mereka dan tidak
23
Louay Fatoohi, Historical Jesus, ter. Yuliani Liputo, h. 333
24
Harun Hadiwijono Kebatinan dan Injil (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), cet. 11, h. 140
25
Tejemahan Injil Barnabas The Gospel Of Barnaba, terj. Achmad Kahfi, h. xli
16

memperbolehkan mereka berbicara, karena mereka tahu bahwa dia adalah Mesias.
(Lukas 4:41). Semua relasi-relasi kemanusiaan dari Tuhan yang telah disebutkan dalam
Injil, jika dilihat sebagai metafora, maka tidak akan ada kebingungan. Di sisi lain, jika
pernyataan-pernyataan di atas dianggap eksis pada tataran fisik, maka ia tidak akan
mengarah pada doktrin trinitas tetapi mengarah pada politeisme.26

c. Agama Islam

Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Tahun lahir
beliau adalah 570 Masehi.27 Lahir dari Bani Hasyim, kabilah yang kurang berkuasa dalam
suku Quraisy. Kabilah tersebut memegang jabatan Siqayah. Nabi Muhammad lahir dari
keluarga terhormat. Sang Nabi lahir dari rahim Aminah binti Wahab, nama Ayah sang
Nabi adalah Abdullah bin Abdul Muthalib.28 Beliau diutus di Qurasy yang memiliki
tradisi menyembah berhala-berhala yang mereka buat sendiri, padahal mereka tahu bahwa
Allah lah Tuhan mereka. Namun begitu lah sifat mereka yang berlebihan dapat menutup
mata hati mereka dari kebenaran.

Mereka menyembah Hubal dan berhala Moabit yang telah berdiri sejak dari beberapa
generasi di rumah Allah Swt. (Ka’bah), akan tetapi, seorang yang dikenal sebagai penjaga
rumah Allah tidak pernah menyembah berhala-berhala yang berdiri di sana. Dia tetap
memegang erat ajaran nenek moyangnya yang hanif yaitu Nabi Ibrahim As. Dia (penjaga
ka’bah) itu bernama ‘Abdul Muththalib, kakek dari Nabi Muhammad Saw.29

Selain di Ka‘bah, di sekitaran tanah Arab, terdapat temapt penyembahan yang juga
dianggap suci oleh masyarakat, temapt itu adalah kuil tiga “Puteri Tuhan”, para
penyembahnya menyebutnya al-Lât, al-‘Uzzah dan al-Manât.30

Setidaknya ada 360 berhala di sekeliling Ka’bah, yang tidak seberapa jauh darinya,
ditambah lagi dengan berhala-berhala kecil dan besar yang disimpan di setiap rumah di
Mekah sebagai penjaga rumah mereka.31

26
Tejemahan Injil Barnabas The Gospel Of Barnaba, terj. Achmad Kahfi, h. xlii
27
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Wali Pres, 2008), h. 9
28
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Wali Pres, 2008), h. 16
29
Martin Lings, Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, terj. Qamaruddin SF
(Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2014), cet. 14, h. 22
30
Martin Lings, Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, h. 22
31
Martin Lings, Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, h. 24
17

Kaum Quraisy sendiri terletak di sekitar kota Mekkah. Kota tersebut mulanya hanya
persinggahan kafilah-kafilah yang lewat. Nabi Ibrahim As. adalah orang pertama kali
yang menjadikaknnya sebagai tempat pemukiman istri beliau, Hajar, bersama puternya
bernama Isma’il As. Qushai (kakek Nabi Muhammad Saw. yang keempat) yang berjasa
menjadikan Mekkah sebagai tempat pemukiman masyarakat melalui upaya menghimpun
sukunya untuk bermukim di sana tanpa menghalangi suku-suku lain untuk bermukim.
Qushai menempatkan bahwa semakin tinggi kedudukan satu suku, maka semakin berhak
anggotanya untuk mendiami lokasi terdekat dengan Ka’bah. Karena itu suku Quraisy
menempati lokasi-lokasi tersebut. Di samping masyarakat Arab, di Mekkah ketika itu
bermukim juga aneka keluarga non Arab.32

Alasan kenapa Allah mengutus seorang Rasul di tanah Arab adalah karena bangsa
Arab berada dalam lingkaran kebodohan. Bodoh dalam artian kemerosotan moral, juga
kekeliruan dalam beragama. Mereka menyembah berhala-berhala dan bukan bodoh dalam
intelektualiatas. Itulah sebabnya Martin Lings mengungkapkan bahwa bangsa Arab lebih
membutuhkan seorang Nabi dari pada bangsa Yahudi,33 ketika bangsa Yahudi
memaksakan pendapat yang menyebutkan bahwa Nabi terakhir harus dari keturunan
mereka.

Bangsa Arab, terutama suku Quraisy adalah bangsa cerdas dan maju, hal tersebut
dibuktikan dengan mahirnya mereka dalam berdagang dan bersastra. Itu menandakan
meraka bukanlah bangsa yang bodoh. Salah satu contoh bangsa Arab adalah bangsa yang
maju dalam bidang sastra pada waktu itu adalah ketika Umar memeluk Islam yang
disebabkan karena mukjizat al-Qur’an yang sarat dengan tingkatan sastra yang tinggai.

Nabi Muhammad menurut al-Qur’an bukanlah hanya untuk bangsa Arab saja, namun
beliau diutus sebagai rahmat untuk seluruh alam. Allah Swt. berfirman:

“Tidak lah Kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk
seluruh alam.” (QS. al-An’am [6]: 151-153).

B. Kerasulan Dalam Agama-agama Samawi


1. Definisi Rasul

32
M Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW. : Dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-
hadits Shahih (Ciputat: Lentera Hati, 2014), cet. 4, h. 53
33
Martin Lings, Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, h. 24
18

Kata “Kerasulan” berawal dari kata Rasul. Jika mendapat imbuhan ke di awal kata
dan an di akhirnya maka menjadi kata sifat, yaitu sifat kerasulan yang menempel pada
diri seorang Rasul. Kerasulan dalam bahasa Arab disebut Risalah.34 Rasul berasal dari
bahasa Arab, yaitu Rasūlun, menurut A.W. Munawwir dalam kamus karyanya, artinya
adalah seorang utusan35 dan Rusulun adalah bentuk jamaknya. Allah Swt. berfirman:

ٞ ‫إِﻧﱠﺎٓ أَر ۡ ﺳ َﻠ ۡ ﻨَﺎ ﻧُﻮﺣ ًﺎ إِﻟَﻰ ٰ ﻗَﻮ ۡ ﻣ ِ ﮫِۦٓ أَن ۡ أَﻧﺬ ِر ۡ ﻗَﻮ ۡ ﻣ َﻚ َ ﻣ ِﻦ ﻗَﺒ ۡ ﻞ ِ أَن ﯾَﺄ ۡ ﺗِﯿَﮭُﻢ ۡ ﻋ َ ﺬ َاب ٌ أَﻟِﯿﻢ‬

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan perintah),


“Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih.”
(QS. Nuh: 01)

Sami bin Abdullah al-Maghluts memberi definisi bahwa Rasul adalah orang yang
diberi wahyu dengan syari‘at tertentu dan diperintahkan untuk menyampaikannya.
Menurut pendapat ini, setiap Rasul adalah Nabi dan tidak setiap Nabi adalah Rasul.
Kemudan Sami bin Abdullah al-Maghluts mengutip pendapat Syaikh Umar al-Asyqar
dalam kitab al-Rusul dan al-Risâlât bahwa Rasul adalah orang yang menerima wahyu
dengan syari‘at baru, sedangkan Nabi adalah orang yang diutus untuk memantapkan
syari‘at Rasul sebelumnya merumuskan Nabi sebagai orang yang diberi wahyu dengan
syari‘at tertentu dan tidak diperinthkan untuk menyebarkannya. Sedangkan Rasul itu
lebih luas cakupannya dari Nabi.36

Kerasulan dan wahyu seperti dua sayap yang dimiliki seekor burung, jika salah satu
sayapnya patah, maka burung itu tidak akan bisa terbang. Kerasulan dan wahyu tidak
akan terpisahkan, karena wahyu yang diterima oleh manusia merupakan salah satu ciri
kerasulan. Pendapat Mana' Khalil al-Qoththan mengenai wahyu, merupakan suatu
pemberitahuan secara tersembnyi dan cepat.37 Dalam Islam, diyakini bahwa sumber
makrifat hanyalah wahyu Ilahi. Wahyu dalam terminologi agama adalah proses transmisi
(perpindahan atau penyaluran) kehendak dan instruksi Ilahi kepada orang tertentu.38 Nabi
dan Rasul menerima wahyu di belakang tabir atau melalui malaikat, sebagaimana Allah
Swt. berfirman:

34
A.W .Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), cet. 14, h. 496
35
.W .Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, h. 496
36
Sami bin Abdullah al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, terj. Qasim Shaleh dan
Muhammad Abdul Ghoffar (Jakarta Timur: Penerbit Almahira, 2012), cet. 4, h. 42
37
Mana’ Khalil al-Qoththân, Mabâhits fî Ūlūm al-Qur’an, h. 32
38
Sayyid Yahya Yatsribi, Agama dan Irfan, terj. Muhammad Syamsul Arif (Jakarta: Sadra Press,
2012), cet. 1, h. 45
19

                   

   

“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan
dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan
mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan
seizinNya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Mahatinggi lagi
Mahabijaksana.” (QS. Al-Syūra: 51)

Allah Swt. juga telah memberikan fasilitas kepada setiap Rasul dan Nabi berupa
peristiwa yang seringkali akal kita tidak mampu menjangkaunya. Dalam bahasa arab,
peristiwa itu dikenal khâriq (dalam bentuk tunggalnya) dan khawâriq (dalam bentuk
jamaknya). Kemuliaan yang dianugerahkan Allah Swt. kepada para Nabi dan Rasul itu
bernama mukjizat. Mukjizat berasal dari kata i‘jâz, artinya lemah, ketidaksanggupan juga
berarti akhir dari sesuatu.39

Dalam hal ini Ibn Taymiyyah membagi khawâriq menjadi beberapa macam. Pertama,
mukjizat yang dianugerahkan kepada Nabi dan Rasul berupa hal-hal luar biasa yang
mengalahkan yang lain (musuh-musushnya). Kedua, khawâriq bisa juga terjadi pada
selain Nabi dan Rasul yaitu kepada para shiddiqîn dan shalihîn yang disebut karomah
(keramat) kesemuanya itu adalah kemuliaan yang Allah berikan pada hamba-hambanya
yang terpilih. Ketiga, khawâriq bisa dimiliki orang-orang yang tercela disebut istidraj dan
dapat pula terdapat pada orang-orang yang tidak terpuji dan tidak pula tercela.40

“Mukjizat, kembaran wahyu”, itulah yang diungkapkan Muhammad Baqir Said


Rousyan dalam salah satu sub bab karyanya yang sudah diterjemahkan menjadi Menguak
Tabir Mukjizat. Seorang Rasul dan Nabi pasti akan menerima wahyu, dan wahyu
merupakn mukjizat dari Allah. Mukjizat yang nyata itu adalah bayi kembar wahyu
kenabian sedemikian rupa sehingga keduanya tidak terpisahkan.41

39
Muhammad Baqiri Saidi Rousyan, Menguak Tabir Mukjizat, terj. Ammar Fauzi Heryadi (Jakarta:
Sadra Pres, 2012), cet. 1, h. 5
40
Ibn Taymiyyah, Mukjizat Nabi dan Keramat Wali, terj. al-Mu’jizat wa Karamat al-Auliya (Jakarta:
PT Lentera Basritama, 1999), cet. 1, h. 12
41
Muhammad Baqiri Saidi Rousyan, Menguak Tabir Mukjizat, h. 2
20

Dari semua mukjizat yang telah ada, hanya satu mukjizat yang seutuh dengan hakikat
wahyu, yang akan tetap abadi sepanjang sejarah dan berlaku sebagai bukti Ilahi dan fakta
kebenaran. Mukjizat yang abadi itu adalah al-Qur’an yang mulia.42

2. Rasul Dalam Agama Yahudi


Agama Yahudi dikenal sebagai agama yang memiliki banyak Nabi.43 Hal itu karena
Yahudi yang disebut juga anak keturunan Israel (Ya’qub) suka mengeluh dan
mengingkari Nabi-nabi mereka. Karakter mereka bisa dilihat ketika Nabi Musa As.
berhasil membawa mereka dari Mesir. Padahal ketika di Mesir, mereka menjadi pekerja-
pekerja kasar, di antaranya mereka disuruh untuk kerja paksa membuat piramida, menjadi
petani, peternak, dan buruh juga hamba sahaya yang berada di bawah tekanan Fir’aun. 44
Mereka malah mengeluh dan menyalahkan Musa juga Harun yang sudah membawa
mereka keluar dari Mesir itu. Allah sudah memberi mereka kemudahan dalam segala hal.
Mereka dianugerahi makanan dari sisiNya yang dikenal Manna dan Salwa,45 bahkan
setiap kali mereka melangkah, gumpalan awan di langit selalu menaungi mereka.
Ketika Nabi Musa hendak membawa mereka ke tanah yang sudah dijanjikan Tuhan
(Kan’an), dan telah sampai di Tursina, Musa pergi ke bukit Tursina selama 40 hari untuk
mendapatkan wahyu dari Allah berupa Taurat. Dari peristiwa inilah ajaran agama Yahudi
dimulai. Namun kepergian Musa untuk memperoleh wahyu dimanfaatkan oleh salah
seorang pengikutnya yang bernama Samiri, yang mengajak Bani Israel untuk menyembah
patung anak sapi.
Sekembalinya dari bukit Tursina, Musa mengajak seluruh Bani Israel untuk beriman
kepada Taurat, namun mereka ragu dan ingkar, bahkan mereka menolak ketika diajak
berjihad memasuki tanah yang dijanjikan itu.46
Hal lain yang menjadi sebab banyak diturunkannya Nabi-nabi di sekitar mereka
karena sering terjadi ketika Yahudi masih berada di tanah air mereka, para penguasa
mereka selalu membuat kecurangan dan pemimpin mereka sering menyeleweng dari

42
Muhammad Baqiri Saidi Rousyan, Menguak Tabir Mukjizat, h. 3-5
43
Rahmat Fajri, dkk., ed., Agama-agama Dunia (Yogyakarta: Jurusan Perbandingan Agama Fakultas
Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012), cet.1, h. 448
44
Hermawati, Sejarah Agama dan Bangsa Yahudi, h. 36
45
Hermawati, Sejarah Agama dan Bangsa Yahudi, h. 41-43
46
M. Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia, h. 348
21

ketentuan hukum yang diajarkan agama mereka.47 Demikianlah watak Bani Israel itu,
tidak heran jika Allah mengutus banyak para Nabi di sekitar mereka.
Periode klasik dalam perkembangan eskatologi Israel adalah Zaman Nabi-nabi.
Penghakiman dan keselamatan digambarkan dengan sejelas-jelasnya dalam pemberitaan
mereka seperti yang tampak pada hampir setiap halaman tulisan mereka. Nabi-nabi
sebelum pembuangan menyerang optimisme Israel yang pupuler dan memberikan
penghakiman Allah yang radikal; sedangkan Nabi-nabi pada masa pembuangan
memperkenalkan suatu optimisme yang baru sambil menunjuk kepada permulaan baru,
ciptaan baru dan keselamatan baru. Sedikit-dikitnya ada empat ciri utama yang dapat
dipindahkan dalam pengharapan para Nabi akan masa depan yakni yang menyangkut:
suatu waktu, umat, tempat dan tokoh.48
Nabi-nabi itu menjelaskan kepada mereka apa yang menjadi penyebab mereka
ditimpa malapetaka. Mereka juga menyerukan supaya orang-orang kembali ke jalan yang
benar, meninggalakan kejahatan dan bersedia hidup di jalan Tuhan dengan sebaik-
baiknya. Nabi-nabi tersebut hampir semuanya terdiri dari orang-orang miskin yang
datang dari bukit-bukit Yudea, turun ke kota dan kuil-kuil. Di mana saja mereka dapat
berkumpul dengan pendengar-pendengarnya, di situlah dia perdengarkan khatbah-
khatbahnya yang penuh dengan ajaran-ajaran moral dan keimanan. Tugas mereka itu
adalah menyampaikan pernyataan-pernyataan ketuhanan dan memegang kendali agama.49
Menurut al-Qur’an, semua Nabi Bani Israel itu adalah manusia pilihan yang berbudi
pekerti mulia, sama seperti Nabi-nabi lainnya.50
Di samping Nabi-nabi mereka adalah orang-orang pilihan dan yang berbudi pekerti
mulia, Ahmad Syabli mengatakan bahwa orang yang diakui oleh umat Yahudi sebagai
Nabi itu tidak pantas semuanya disebut Nabi. Sebagian mereka terdiri dari tukang-tukang
tenun yang berusaha membaca hati manusia untuk sekedar mendapatkan upah. Ada juga
di anatara mereka yang fanatik tidak sadar menyanyikan lagu yang membangkitkan emosi
orang banyak, atau minum-minuman keras atau menari sampai tidak sadarkan diri. Dalam
keadaan seperti itu keluarlah ucapan-ucapan yang dianggap oleh yang percaya sebagai
wahyu dari Tuhan.51

47
Rahmat Fajri, Agama-agama Dunia, h. 448
48
Dr. David L. Baker, Satu Alkitab Dua Perjanjian (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2010), cet. 6, h.
23
49
Rahmat Fajri, Agama-agama Dunia, h. 448
50
Rahmat Fajri, Agama-agama Dunia, h. 449
51
Rahmat Fajri, Agama-agama Dunia, h. 450
22

Mulder pun berpendapat bahwa bukan semua yang mengaku Nabi memang benar-
benar Nabi; ada Nabi-nabi palsu yang tidak berbuat sesuai firman Tuhan. Dalam Alkitab
ada garis pemisah antara Nabi palsu dan Nabi yang sesungguhnya. Nabi palsu adalah
tukang tenun dan ahli nujum, sedangkan Nabi yang asli seperti Musa sifatnya. Beberapa
Nabi yang dianggap sejati oleh Yahudi adalah Isaiyah atau Yasey, Yermia, Ezekil,
Daniel, Amos, Obaya, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Maleakhi, Hagai,
Zakaria, Elia, Natum dan Debora. Orang Yahudi menggolongkan Nabi-nabi mereka
menjadi dua bagian, yaitu Nabi-nabi yang dahulu dan Nabi-nabi yang kemudian atau
Nabi-nabi besar dan Nabi-nabi kecil. Mengenai Musa, Harun, Daud, Sulaiman oleh umat
Yahudi dianggap sebagai pemimpin atau raja-raja mereka yang mula-mula.52
Dalam teradisi agama Yahudi ada beberapa Nabi di antara mereka yang memiliki
jenis kelamin perempuan. Di dalam Alkitab disebut Nabiah. Seperti dalam kitab
Keluaran, II Raja-raja dan Nehemia yang menyebutkan;
Lalu Miryam, Nabiah itu, saudara perempuan Harun mengambil rebana di
tangannya, dan tampillah semua perempuan mengikutinya memukul rebana serta
menari-nari. (Keluaran, 15: 20);
Maka pergilah Imam Halkia, Ahikam, Safan dan Asaya kepada Nabiah Hulda,
isteri seorang yang mengurusi pakaian-pakaian, yaitu Salum bin Tikwa bin
Harhas; Nabiah itu tinggal di Yerusalem, di perkampungan baru. Mereka
memberitakan semuanya kepadanya. Perempuan itu menjawab mereka:
“Beginilah firman Tuhan, Allah Israel ‘Katakanlah kepada orang yang menyuruh
kamu kepadaku!’ beginilah firman Tuhan ‘Sesungguhnya Aku akan datangkan
malapetaka atas tempat ini dan atas penduduknya, yakni segala perkataan kitab
yang sudah dibaca dibaca oleh raja Yehuda. (II Raja-raja, 22: 14-17);
Ya Allahku, ingatlah bagaimana Tobia dan Sanbalat masing-masing telah
bertindak! Pun tindakan Nabiah Noaja dan Nabi-nabi yang lain yang mau
menakut-nakuti aku. (Nehemia, 6: 14).

Demikian yang penulis temukan dalam Alkitab (Perjanjian Lama) mengenai Nabi-
nabi perempuan di dalam tradisi agama Yahudi. Dalam kutiapan kitab tersebut terdapat
nama Nabiah Miryam, Hulda dan Noaja. Mungkin ada beberapa nama Nabiah lain lagi
yang tidak penulis cantumkan dalam penelitian ini. Penulis hanya ingin mengungkapkan
bahwa di dalam agama Yahudi ada beberapa Nabi yang berjenis kelamin perempuan.

3. Rasul Dalam Agama Kristen/Nasrani

52
Rahmat Fajri, Agama-agama Dunia, h. 450
23

Yesus memiliki dua belas murid utama. Dalam Eskatologi dan Teologi Kristen dua
belas murid Yesus disebut Apstole53 juga sebagai Rasul-rasul Yesus.54 Dua belas murid
itu adalah: Simon Petrus, Andreas, Yakobus (anak Zabedus), Yohanes, Filipus,
Bartholomeus, Matius (Tomas), Yakobus (anak Alfeus), Tadeus, Simon, Yudas
Iskaryot.55

Ketika hari siang, ia memanggil murid-muridnya kepadanya, lalu memilih dari


antara mereka dua belas orang, yang disebutnya rasul.

Simon yang diberinya nama Petrus, dan Andreas saudara Simon, Yakobus dan
Yohanes, Filipus dan Bartolomeus,

Matius dan Tomas, Yakobus anak Alfeus, dan Simon yang disebut Zelot,

Yudas anak Yakobus, Yudas Iskaryot yang kemudian menjadi pengkhianat.


(Lukas, 22:14)56

Tugas Apostle adalah memberitakan Inji ke dalam jamaat dan kepada segala bangsa.57
Abineno menyebutnya sebagai sebagai saksi mata dan saksi telinga.58 Adapun ciri-ciri
Apostle adalah persekutuan dengan Yesus dan pengutusan oleh Yesus.59 Apostle
persekutuan dan pengutusan adalah kata yang sejajar dan bersifat sebab akibat.
Kesejajaran kata tersebut ditujukan pada kata saksi Allah kepada dunia.60

Dua belas murid itu disebut dalam al-Qur’an sebagai Hawariyyūn yang siap
menolong agama Allah. Allah Swt. berfirman:

                

             



53
Cross, F.L., The Oxford Dictionary of the Christian Cruch (New York: Oxford University Press,
2005), h. 35
54
Perjanjian Baru, Lukas, 22:14
55
Matius, 10:2
56
Lukas, 6: 13-16
57
Henk ten Nepal, Kamus Teologi Inggris Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), h. 37
58
Johannes Ludwig Chrisostomus, Abineno Sekitar Teologi Praktika 2 (Jakarta: Gunung Mulia, 1969),
h. 32
59
Johannes Ludwig Chrisostomus, Sekitar Teologi Praktika 2, h. 21
60
Johannes Ludwig Chrisostomus, Sekitar Teologi Praktika 2, h. 21
24

“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia:
"Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama)
Allah?" Para Hawariyyūn (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kamilah
penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah
bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. Ya Tuhan
kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah
kami ikuti Rasul, karena itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang
yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)." (QS. Ali ‘Imran [3]: 52-53)

Kata Hawariyyūn di dalam al-Qur’an adalah sebutan untuk murid-murid Isa As. yang
berjumlah dua belas orang. Kata Hawariyyūn bukan berarti dua belas. Hawariyyūn adalah
bahasa Arab yang berasal dari kata Hūri, artinya adalah “sangat pahit”61

Salah satu dari Hawariyyūn terdapat nama Yakobus (anak Zebedus) yang memiliki
nama lain sebagai Barnabas.62 Barnabas adalah seorang Yahudi yang lahir di Siprus.
Nama aslinya adalah Joses, dan dalam pengabdiannya kepada Yesus, para rasul lain
memberi nama Barnabas yang sering diterjemahkan sebagai “Anak pelipur lara” atau
“Anak nasihat bijak”. Keistimewaannya sebagai seorang yang pernah begitu dekat
dengan Yesus, telah membuatnya menjadi anggota terkemuka dari kelompok kecil murid-
murid di Yerusalem yang menjalin kebersamaan setelah Yesus lenyap. Mereka
mencermati hukum kenabian yang dibawa oleh Yesus, “bukan untuk menghancurkan,
tapi untuk memenuhi” (Matius 5:17).

Mereka meneruskan hidup sebagai orang Yahudi dan mempraktikkan apa yang
diajarkan oleh Yesus kepada mereka. Bahwa Kristen yang dapat dianggap sebagai sebuah
agama baru, tidak terjadi di kalangan mereka. Mereka adalah orang-orang saleh yang
menjalankan tradisi Yahudi dan mereka dibedakan dari pada tetangga mereka hanya
karna faktor keimanan mereka pada ajaran-ajaran Yesus.63

4. Rasul Dalam Agama Islam

61
Muhammad Musadiq Marhaban, Yudas Bukan Pengkhianat (Jakarta: Istifad Publishing, 2003), h. 9
62
Muhammad Musadiq Marhaban, Yudas Bukan Pengkhianat, h. 9
63
Tejemahan Injil Barnabas The Gospel Of Barnaba, terj. Achmad Kahfi (Surabaya: PT Bina Ilmu
Surabaya, 2008, h. xiii-xiv
25

Rasul dalam agama Islam adalah mereka yang Allah beri keistimewaan wahyu dan
tersingkapnya ilmu-ilmu, dia tidak berdusta dan tidak cela baginya.64 Seorang laki-laki
yang mendapatkan wahyu dari Allah menjadi tolok ukur kerasulan dan kenabian.
Sebagai mana Allah berfirman:

ۗۡ ‫ُوِاْ ﻓَﯿَﻛ َﯿ ۡ ﻒ َ ﻛ َﺎن َ ﻋ َ ٰ ﻘِﺒَﺔُ ٱﻟﱠﺬ ِﯾﻦ َ ﻣ ِﻦ ﻗَﺒ ۡ ﻠِﮭِﻢ‬


‫و َ ﻣ َ ﺎٓ أَر ۡ ﺳ َﻠ ۡ ﻨَﺎ ﻣ ِﻦ ﻗَﺒ ۡ ﻠِﻚ َ إِﻻ ﱠ رِﺟ َ ﺎﻻ ٗ ﻧﱡﻮﺣ ِ ﻲ ٓ إِﻟَﯿ ۡ ﮭِﻢ ﻣ ﱢﻦ ۡ أَھ ۡ ﻞ ِ ٱﻟ ۡ ﻘُﺮ َ ى ٰ ٓ ۗ أَﻓَﻠَﻢ ۡ ﯾَﺴ ِ ﯿﺮ ُ واْ ﻓِﻲ ٱﻷ ۡ ﻨَر ۡﻈُﺮض‬
١٠٩ َ ‫ ﻟﱢﻠﱠﺬ ِﯾﻦ َ ٱﺗﱠﻘَﻮ ۡ اْ ۚ أَﻓَﻼ َ ﺗَﻌ ۡ ﻘِﻠُﻮن‬ٞ ‫و َ ﻟَﺪ َار ُ ٱﻷ ۡ ٓﺧ ِ ﺮ َ ةِ ﺧ َ ﯿ ۡ ﺮ‬

“Tidaklah Kami mengutus sebelum kamu (Muhammad), kecuali dari kalangan


laki-laki yang Kami wahyukan kepada mereka, di kalangan penduduk negeri.
(QS. Yusuf [12]: 109).

Hadirnya Nabi Muhammad sebabgai Rasul Allah swt. yang membawa agama Islam
sesunngguhnya hendak menyempurnakan segala kekurangan yang ada pada agama-
agama samawi sebelumnya. Secara teologis, Islam memperkuat monoteisme dengan
menempatkan Tuhan bebas dari segala unsur antropomorfisme serta mengukuhkan
Tuhan sebagai zat yang trasenden (tanzih). Ringkasnya, menurut Ibn Katsir dalam
tafsirnya berpendapat tentang kedatangan Nabi Muhammad Saw. adalah untuk
mendukung, mengukuhkan, meluruskan kembali, dan menyempurnakan agama-agama
terdahulu.65

Islam juga memperkuat aspek moralitas dengan meluruskan berbagai penyimpangan


moral dan meletakkan moral sebagai landasan utama dalam penegakan diri individu
maupun masyarakat. Untuk itu, Rasul dalam Islam adalah seperti yang telah
dideklarasikan oleh Nabi Muhammad sendiri. Beluiau bersabda: “Sesungguhnya tidak
lah aku diutus, kecuali untuk menyempurnakan akhlak.” (Musnad al-Imam Ahmad Ibn
Hanbal, no. 8595)66

Dalam Islam, tidak ada penolakan dalam mengakui Ibrahim, Ishaq, Ismail, Musa dan
Isa sebagai utusan Tuhan. Allah memerintahkan umat Islam agar mengimani para Rasul
dan kitab-kitab terdahulu (QS. Al-Baqarah [2]: 285).67

64
Muhammad Abduh, Rislah Tauhid, terj. H. Firdaus A. N (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1965), cet. 2,
h. 103
65
Sa’dullah Affandi, Menyoal Status Agama-agama Pra-Islam, h. 54
66
Sa’dullah Affandi, Menyoal Status Agama-agama Pra-Islam, h. 54
67
“Rasul telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya kepadanya dari Tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman. Semuuanya beriman kepada Allah , malaikat-malaikatNya, kitab-
kitabNya dan Rasul-rasulNya. (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun
26

Selain Nabi dan Rasul yang disebutkan di atas, dan 25 Nabi dan Rasul lainnya dalam
al-Qur’an, ada Nabi-nabi dan Rasul-rasul lain yang tidak dikisahkan dalam al-Qur’an. (
QS. Ghafir [40]: 78)68 Dan kesemuanya itu wajib diimani tanpa ada penolakan.

Ibn Jarir al-Thabari menafsirkan ayat tersebut: Allah berfirman: “Dan sesungguhnya
Kami telah mengutus,” wahai Muhammad, “Beberapa orang Rasul sebelum kamu.”
Para Rasul itu diutus kepada umat-umat mereka. “Di antara mereka ada yang Kami
ceritkan kepadamu,” berita tentang mereka. “Dan di antara berapa ada pula yang tidak
Kami ceritakan kepadamu,” berita tentang mereka. Diriwayatkan dari Anas bahwa
jumlah mereka delapan ribu.69

(dengan yang lain) dari Rasul-rasulNya,” dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (mereka
berdoa): “Ampunilah kami wahai Tuhan kami dan kepada Engkau lah tempat kembali.” (QS 2:285)
68
“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka
ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan
kepadamu. tidak dapat bagi seorang Rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah;
Maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil, dan ketika itu
rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.” (QS. 40:78)

69
Ibnu Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, terj. Akhmad Affandi, jilid. 22 (Jakarta: Pustaka Azzam,
2008), cet. 1, h. 640
BAB III
MENGENAL TAFSIR AL-MANAR DAN TAFSIR AL-MARAGHI

A. Tafsir al-Manar
1. Biografi Muhammad Abduh

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Abduh bin Hasan Khairullah.


Dilahirkan di desa Mahallat Nasr di kebupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M
dan wafat pada tahun 1905 M. Ayahnya bernama ‘Abduh bin ‘Abdullah bin Hasan al-
Khairullah, mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan Ibunya
mempunya silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam, Ummar bin Khathab.1

2. Biografi Rasyid Ridha


Rasyid Ridha adalah murid Muhammad ‘Abduh yang terdekat. Dia lahir di desa
al-Qolamun, dekat kota Tripoli, Lebanon tahun 1865. Semasa kecil, belajar di madrasah
tradisional untuk belajar membaca al-Qur’an, menulis dan berhitung. Tahun 1882, ia
melanjutkan pelajaran di Madrasah al-Wathaniyyah al-Islamiyyah di Tripoli. Sekolah
yang didirikan oleh Syeikh Husain al-Jisri ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran-
pemikiran modern. Besar kemungkinan, pemikiran Rasyid Ridha terpengaruh dengan
pemikiran Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di madrasah ini. Tahun 1315
H, Rasyid Ridha menemui Muhammad Abduh yang menjadi gurunya di Mesir. Dengan
pemikiran, aqidah, pendapat dan akhlak yang sema dengan gurunya, akhirnya Rasyid
Ridha mampu menyelesaikan karya gurunya yang berjudul Tafsir al-Manar.2

3. Latar Belakang Penafsiran al-Manar


Kumpulan Tafsir al-Manar dalam penulisannya dipengaruhi oleh situasi dan
kondisi sosial, politik dan budaya yang sangat memprihatikan. Pesatnya ilmu
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat mendorong untuk menjajah
negara-negara Arab, sehingga pada akhir abad ke-19 sampai awal abad 20 atau pasca
1
Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dalam Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1981), h. 19
2
Lihat Faizah Ali Syibrmalisi dan Zauhar Azizi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), cet. 1, h. 91

27
28

perang Dunia II, Musthafa Kemal al-Tatruk menghapus kekhallifahan Utsmani dan
negara-negara Arab berstatus negara jajahan. Di lain sisi, bermunculan berbagai aliran
seperti Marxisme, Kapitaliseme, Nasionalisme dan lainnya, maka para cendikiawan
termasuk Muhammad Abduh menghimbau umat Islam untuk kembali kepada ajaran
agama dan mengamalkan sebagai sumber insfirasi dalam menghadapi penjajahan dan
penindasan.3
Tafsir al-Manar ini pada mulanya adalah hasil dari kajian tafsir yang dibawakan
oleh Muhammad Abduh di Masjid al-Azhar dan dicatat oleh Rasyid Ridho. Materi tafsir
ini kemudian dipublikasikan secara berkala di majalah al-Manar yang diterbitkan di
Kairo.4 Setelah ditulis oleh Rasyid Ridho, tulisan itu kemudian dikoreksi oleh
Muhammad Abduh.5
Secara kuantitatif, dalam Tafsir al-Manar Muhammad Abduh menafsirkan
sebanyak 143 ayat dari surah al-Fatihah sampai surah al-Nisa ayat 125, (lima jilid
pertama) karena beliau wafat tahun 1323 H. Penafsiran kemudian dilanjutkan oleh
muridnya, yang bernama Rasyid Ridho.6
Tujuan ditulisnya tafsir tersebut dalam pandangan Muhammad Abduh adalah
menekankan fungi-fungsi kehidayahan al-Qur’an untuk manusia agar mereka benar-
benar dapat menjalankan kehidupan dalam bimbingan al-Qur’an.7

4. Sumber Penafsiran

Sumber penafsiran dalam tafsir al-Manar menurut Jauhar Azizi menggunakan


sumber bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi, yang memadukan sumber penafsir berdasarkan
riwayat dan logika. Hal itu tampak jelas ketika dalam tafsir tersebut mengutip ayat al-
Qur’an Hadits dan ulama terdahulu seperti al-Thabari sebagai sumber penafsirannya.
Penafsiran tersebut juga menggunakan logika untuk menjawab tantangan zaman pada
masa itu.8

3
Faizah Ali Syibrmalisi dan Zauhar Azizi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 89
4
Faizah Ali Syibrmalisi dan Zauhar Azizi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 93
5
Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, jilid. 1 (Mesir: al-Maktabah al-Taufiqiyah), h. 275
6
Faizah Ali Syibrmalisi dan Zauhar Azizi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 93
7
Faizah Ali Syibrmalisi dan Zauhar Azizi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 94
8
Faizah Ali Syibrmalisi dan Zauhar Azizi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 95
29

5. Metode Penafsiran

Dalam menafsirkan al-Qur’an ada beberapa ragam metode yang digunakan.


Metode-metode tersebiut adalah: metode analisis (tahlili), metode menafsirkan secara
global (ijmali), menafsirkan dengan cara komparatif (muqoron) dan dengan
menggolongkan pertema atau tematik (madhu’i)9

Penafsiran yang penulis amati dalam tafsir al-Manar yaitu menggunakan metode
Tahlili atau secara terperinci, karena dimulai dari surah al-Fatihah sampai surah al-Nas
dari rasm Utsmani dan diuraikan ayat per ayat.

6. Corak Penafsiran

Corak yang dihasilkan tafsir ini tidak hanya cukup satu saja. Zauhar Azizi
mengungkap corak tafsir yang dihasilkan dalam Tafsir al-Manar setidaknya ada tiga,
yaitu: corak Adabi Ijtima’i, al-Hida’i dan corak Ilmi.

Adabi Ijtima’i adalah salah satu corak tafsir yang ditandai dengan adanya sastra
budaya dan kemasyrakatan dalam sebuah karya tafsir, dan pelopor corak ini adalah
Muhammad Abduh sendiri.10

al-Hida’i adalah memotivasi untuk kembali kepada petunjuk al-Qur’an. Dalam


poin latar belakang diungkapkan bahwa pada masa itu Muhammad Abduh dan tokoh
cendikiawan lainnya berusaha mengembalikan masyarakat pada petunjuk al-Qur’an
karena pada masa itu berbagai aliran muncul, seperti marxisme, kapitalisme, sosialisme
dan lain sebagainya.

Ilmi adalah salah satu corak tafsir yang di dalam tafsir al-Manar Muhammad
Abduh mencoba menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan dan
hukum alam yang berlaku dalam masyarakat. Upaya tersebut dimaksudkan agar
masyarakat lebih bisa memahami dan mencerna pesan-pesan Tuhan dalam al-Qur’an.11

9
Faizah Ali Syibrmalisi dan Zauhar Azizi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 96
10
Faizah Ali Syibrmalisi dan Zauhar Azizi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 97
11
Faizah Ali Syibrmalisi dan Zauhar Azizi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 97
30

B. Tafsir al-Maraghi

1. Biografi Ahmad Musthafa al-Maraghi


Nama lengkap al-Maraghi adalah Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul
Mun’im al-Maraghi.12 Beliau lahir pada tanggal 9 Maret 1883M/1300H di kota al-
Maraghah, propinsi Suhaj, kira-kira 700 km. arah selatan kota Kairo.13 Sebutan al-
Maraghi pada diri beliau bukanlah dikaitkan dengan nama suatu suku/marga atau
keluarga, melainkan dinisbahkan kepada kota kelahiran beliau yaitu kota al-Maraghah.
Syekh Umar Ridha Kahhalah dalam kitab “Mu’jam al-Mu’allifîn” mencantumkan 13
orang al-Maraghi di luar keluarga Syekh Abdul Mun’im al-Maraghi, yaitu para ulama
yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang dihubungkan dengan kota
asalnya al-Maraghah.14

2. Latar Belakang Penafsiran


a. Faktor eksternal
Beliau banyak menerima pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat yang berkisar
pada masalah tafsir apakah yang paling mudah difahami dan paling bermanfaat bagi para
pembacanya serta dapat dipelajari dalam masa yang singkat. Mendengar pertanyaan-
pertanyaan tersebut, beliau merasa agak kesulitan dalam memberikan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Masalahnya, sekalipun kitab-kitab tafsir itu bermanfaat,
karena telah mengungkapkan persoalan-persoalan agama dan macam-macam kesulitan
yang tidak mudah untuk difahami, namun kebanyakkan kitab tafsir itu telah banyak
dibumbui dengan menggunakan istilah-istilah ilmu lain, seperti ilmu balaghah, nahwu,
sorof fiqh, tauhid dan ilmu-ilmu lainnya, yang semuanya itu merupakan hambatan bagi
pemahaman al- Qur’an secara benar bagi pembacanya.15
Di samping itu ada pula kitab tafsir pada saat itu sudah dilengkapi pula dengan
penafsiran-penafsiran atau sudah menggunakan analisa-analisa ilmiah tersebut belum
dibutuhkan pada saat itu dan juga menurutnya al-Qur’an tidak perlu ditafsirkan dengan
menggunakan analisa-analisa ilmiah yang mana ilmu ini, (analisa ilmiah) hanya berlaku
untuk seketika (reatif), karena dengan berlalunya atau waktu, sudah tentu situasi tersebut

12
Iyazi, Muhammad Ali, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Muassasah al-
Thibâ’ah wa al-Nasyri Wuzâratu al-Tsaqafah al-Irsyâdu al-Islâmi, 1373), cet.ke-1, h. 357.
13
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: IAIN Jakarta, 1988), h. 128.
14
Umar Ridha Kahhalah, Mu’jam al-Muallifîn, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-‘Ulûm, 1376H), h. 319
15
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Terj: Bahrun Abu Bakar, (Semarang: PT.CV.Toha
Putra, 1992), Juz.1, Hal. 1
31

akan berubah pula, sedangkan al-Qur’an tidak berlaku hanya untuk zaman-zaman
tertentu, tetapi Al-Qur’an berlaku untuk sepanjang zaman.
b. Faktor Internal
Faktor ini berasal dari diri al-Maraghi sendiri yaitu bahwa beliau telah mempunyai
cita-cita untuk menjadi obor pengetahuan Islam terutama di bidang ilmu tafsir, untuk itu
beliau merasa berkewajiban untuk mengembangkan ilmu yang sudah dimilikinya.
Barangkat dari kenyataan tersebut, maka al-Maraghi yang sudah berkecimpung
dalam bidang bahasa arab selama setegah abad lebih, baik belajar, maupun mengajar,
merasa terpanggil untuk menyusun suatu kitab tafsir dengan metode penulisan yang
sistematis, bahasa yang simple dan elektif, serta mudah untuk difahami, kitab tersebut
diberi nama dengan Tafsir Al-Maraghi.16

3. Metode Dan Sistematika Penulisan Kitab Tafsir al-Maraghi


Adapun metode penulisan dan sistematika tafsir al-Maraghi sebagaimana yang
dikemukakan dalam muqaddimah tafsirnya adalah sebagai berikut:
Pertama, mengemukakan ayat-ayat di awal pembahasan Al-Maraghi memulai setiap
pembahasan dengan mengemukakan satu, dua atau lebih ayat-ayat al-Qur’an yang
mengacu kepada suatu tujuan yang menyatu.17
Kedua, menjelaskan Kosa Kata (syarh al-Mufradat) Kemudian al-Maraghi
menjelaskan pengertian kata-kata secara bahasa, bila ternyata ada kata-kata yang sulit
difahami oleh para pembaca. Menjelaskan pengertian ayat secara global.
Ketiga, al-Maraghi menyebut makna ayat-ayat secara global, sehingga sebelum
memasuki penafsiran yang menjadi topik utama, para pembaca terlebih dahulu
mengetahui makna ayat-ayat tersebut secara umum.18
Keempat, menjelaskan sebab-sebab turun ayat, jika ayat-ayat tersebut mempunyai
asbab al-Nuzul berdasarkan riwayat shahih yang menjadi pegangan para mufassir, maka
al-Maraghi menjelaskan terlebih dahulu.
Meninggalkan istilah-istilah yang berhubungan dengan ilmu pengetahwan Al-Maraghi
sengaja meninggalkan istilah-istilah yang berhubungan dengan ilmu-ilmu yang lain yang

16
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Terj: Bahrun Abu Bakar, h. 2
17
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Terj: Bahrun Abu Bakar, h. 16
18
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Terj: Bahrun Abu Bakar, h. 17
32

diperkirakan bisa menghambat para pembaca dalam memahami isi al-Qur’an. Misal ilmu
nahwu, saraf, ilmu balaghah dan sebagainya.19

19
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Terj: Bahrun Abu Bakar, h. 18
BAB IV

KONSEP KERASULAN DALAM TAFSIR AL-MANAR DAN TAFSIR AL-


MARAGHI

A. Penafsiran Kerasulan

Kenabian dan Rasul bagi agama-agama samawi sangatlah penting. Seperti Islam,
Yahudi, Kristen, sangat memposisikan Rasul dan Nabi sebagai wahyu Tuhan. Dalam
Islam, jika Rasul bersabda, berbuat atau bahkan diamnya bisa menjadi sebuah syari’at.
Nabi dan Rasul menurut Muhammad Abduh adalah mereka yang mendapatkan
keistimewaan wahyu yang diterimanya, dan terbukanya rahasia-rahasia ilmu bagi mereka.
Mereka bersih dari cacat dan segala cela yang dapat menjadikan penolakan bagi yang
ingkar untuk mengingkari pengakuan mereka sebagai Rasul. Mereka tidak berdusta, dan
juga tidak lalai dalam menyampaikan akidah-akidah yang diwajibkan bagi mereka untuk
menyampaikannya.1 Sami bin Abdullah al-Maghluts pun berpendapat bahwa Nabi adalah
orang yang diberi wahyu dengan syari‘at tertentu dan tidak diperintahkan untuk
menyebarkannya. Sedangkan Rasul itu lebih luas cakupannya dari Nabi. Rasul adalah
orang yang diberi wahyu dengan syari‘at tertentu dan diperintahkan untuk
menyampaikannya.2 Setiap Rasul itu adalah Nabi, dan tidak semua Nabi itu Rasul.3

Menurut al-Maraghi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa sesungguhnya Allah


mengutus Rasul sebagai saksi terhadap orang-orang yang diutus kepada mereka,
memerhatikan prilaku mereka, amal mereka, dan memerhatikan kesaksian hati mereka
yang di antara mereka ada yang membenarkan dan ada yang mendustakan, serta seluruh
apa yang mereka perbuat dari cahaya petunjuk dan gelapnya kesesatan. Itu semua akan
terbalas pada hari kiamat. Allah mengutus Rasul kepada mereka sebagai pemabawa kabar
gembira dengan janji surga jika mereka mempercayai Rasul, dan jika mereka
mengamalkan apa yang telah sampai kepada mereka dari sisi Allah.

1
Muhammad Abduh, Rislah Tauhid, terj. H. Firdaus A. N (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1965), cet. 2, h.
103
2
Sami bin Abdullah al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, h. 42
3
Muhammad Rasyid Ridha, al-Wahyu al-Muhammadi (Beirut: al-Maktab al- Islami, tt), cet. 8, h. 47

33
34

Rasul pun diutus sebagai pemberi peringatan kepada mereka berupa neraka, yang
mereka memasukinya dengan siksaan jika mereka mendustakan dan menentang apa yang
diperintahkan serta apa yang dilarang oleh Allah dan Nabinya untuk mereka.4

Tidak bisa dipungkiri memang, manusia sangat membutuhkan Nabi dan Rasul untuk
menjadi panutan dan tuntunan dalam kehidupan di dunia ini, bahkan Ali Muhammad al-
Shallabi meringkas menjadi beberapa poin, berikut ringkasannya:

1. manusia memerlukan pengetahuan yang benar lagi sempurna mengenai tabi’at


kemanusiaan dari manusia itu sendiri;
2. memerlukan pengetahuan yang baik lagi sempurna dari segala aspeknya mengenai
masa lalu umat manusia, masa sekarang, dan masa depan;
3. kemudian manusia juga membutuhkan aturan hidup yang jelas, tidak berpihak,
tidak memandang kepentingan dirinya sendiri dalam perkara apapun, serta tidak
memandang hawa nafsu dan syahwat;
4. aturan hidup yang jelas memerlukan pengetahuan yang sempurna mengenai siapa
yang akan menaatinya pada saat tersembunyi maupun terang-terangan.5

                 

         

“Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai


pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. dan tidak ada suatu
umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan. dan jika
mereka mendustakan kamu, Maka Sesungguhnya orang-orang yang sebelum
mereka telah mendustakan (rasul-rasulnya); kepada mereka telah datang rasul-
rasulnya dengan membawa mukjizat yang nyata, zubur, dan kitab yang memberi
penjelasan yang sempurna.” (QS. Fathir [35]: 24-25)

Setiap orang beriman wajib meyakini bahwa Allah telah mengutus beberapa orang
Rasul dari golongan manusia untuk menyampaikan pelajaran kepada umat dan apa saja
yang diperintahkan kepada mereka (Rasul) untuk menyampaikannya, serta menjelaskan
hukum-hukum yang berkenaan dengan perbuatan-perbuatan yang mulia dan sifat-sifat
yang dituntut untuk mengerjakannya. Begitu juga sebaliknya, dengan larangan

4
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid. 8 (Bairut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt), h.
16
5
Ali Muhammad al-Shallabi, Iman kepada Rasul, terj. M. Fakih (Jakarta: Umul Qura, 2015), cet. 1, h.
64-65
35

melakukannya. Kita juga wajib membenarkan para Rasul itu, bahwa misi mereka
berdasarkan perintah Allah.6

B. Jenis Kelamin dan Ciri-ciri Kerasulan


Nabi dan Rasul menurut pendapat yang mashur dan yang sudah kita ketahui, adalah
orang yang menerima wahyu (kalam Allah) entah itu melalui pelantara ataupun tidak.
Melalui perantara, artinya Allah Swt. menyampaikan wahyu melalui malaikat yang telah
diutusNya. Tidak melalui pelantara, artinya Allah Swt. berfirman langsung kepada
7
Nabinya di balik hijab.
Pendapat di atas bersifat umum tanpa pengkhususan hanya untuk Nabi laki-laki saja,
maka kesemipulannya adalah terdapat kemungkinan para Nabi juga ada yang diutus dari
kalangan perempuan. Di dalam al-Qur’an, Allah Swt. mengisahkan bahwasanya Dia yang
Mahakuasa telah mewahyukan kepada Ibunya Musa untuk menyusui Musa dan
mengalirkan tubuh Musa di sungai Nil.

                   

    

“Dan Kami wahyukan kepada Ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu
khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil)! dan janganlah
kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami
akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari
para Rasul.” (QS. Al-Qoshash [28]: 7)

Begitu juga Allah telah mengirimkan kepada Maryam puteri Imran melalui perantara
malaikat Jibril yang menyerupai seorang laki-laki yang sempurna untuk menyampaikan
wahyu. Allah Swt. berfirmna:

              

               

“Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka, lalu Kami


mengutus roh Kami (Jibril) kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam

6
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, h. 100
7
Lihat Manna’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulūm al-Qur’an, h. 37-78
36

bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata: "Sesungguhnya aku


berlindung dari padamu kepada Tuhan yang Mahapemurah, jika kamu seorang
yang bertakwa." Ia (Jibril) berkata: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang
utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.". (QS.
Maryam [19]: 17-19)”

Dari dua ayat tersebut, sudah mengindikasikan bahwa ada Nabi atau Rasul dari
kalangan perempuan, jika kita berpegangan kepada pendapat Manna al-Qoththan di atas.
Namun jika kita telisik pada pendapat Ulama lain seperti Sami bin Abdullah al-Maghluts
misalnya, yang berpendapat bahwa Nabi adalah orang yang diberi wahyu dengan syari‘at
tertentu dan tidak diperinthkan untuk menyebarkannya, sedangkan Rasul itu lebih luas
cakupannya dari Nabi. Rasul adalah orang yang diberi wahyu dengan syari‘at tertentu dan
diperintahkan untuk menyampaikannya.8

Al-Maraghi pun menyebutkan bahwa sesungguhnya Allah mengutus Rasul sebagai


saksi bagi umatnya, memerhatikan prilaku mereka, amal mereka, dan memerhatikan
kesaksian hati mereka yang di antara mereka ada yang membenarkan dan ada yang
mendustakan, serta seluruh apa yang mereka perbuat dari cahaya petunjuk dan gelapnya
kesesatan. Itu semua akan terbalas pada hari kiamat. Allah mengutus Rasul kepada
mereka sebagai pemabawa kabar gembira dengan janji surga jika mereka mempercayai
Rasul, dan jika mereka mengamalkan apa yang telah sampai kepada mereka dari sisi
Allah. Rasul pun diutus sebagai pemberi ancaman kepada mereka berupa neraka, yang
mereka memasukinya dengan siksaan jika mereka mendustakan dan menentang apa yang
diperintahkan serta apa yang dilarang oleh Allah dan Nabinya untuk mereka.9

Jadi, fungsi Rasul itu adalah menghidupkan syari’at, memberi tuntunan kepada
manusia tentang perkara yang diperbolehkan dan dilarang oleh Tuhan, memberi kabar
gembira kepada orang yang taat dan memberi ancaman kepada orang yang maksiat. Jika
kita sudah mendapatkan garis besar fungsi atau tugas Nabi dan Rasul, maka masih
bisakah kita menyebutkan bahwa setiap makhluk yang hanya menerima wahyu tanpa
dibebani tugas untuk menyampaikan risalah sebagai Nabi atau Rasul?

Seperti Allah Swt. telah mewhyukan kepada lebah-lebah untuk membangun rumah
mereka di atas bukit. Allah Swt. berfirman:

8
Lihat Sami bin Abdullah al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, h. 42
9
Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid. 8, h. 16
37

“Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah; Buatlah sarang di bukit-bukit,


di pohon-pohon kayu, dan di rumah-rumah yang didirikan manusia!” (QS. al-
Nahl [16]:68).

Tentu saja lebah bukan Nabi atau pun Rasul yang Allah utus untuk manusia atau jin,
karena lebah tidak memberi kabar gembira untuk orang yang taat maupun peringatan
untuk orang yang bermaksiat.

Mengenai permasalahan ini, Allah Swt. menjelaskan bahwa Dia mengutus para Rasul
itu dari kalangan laki-laki. Allah berfirman:

“Tidaklah Kami mengutus sebelum kamu (Muhammad), kecuali dari kalangan


laki-laki yang Kami wahyukan kepada mereka, di kalangan penduduk negeri.
(QS. Yusuf [12]: 109).

Tepapi menurut Ibn Hazm al-Andalusi membagi permasalahan tersebut menjadi tiga
pendapat. Di zamannya ada satu golongan berpendapat menolak atau membatalkan
dugaan adanya sejumlah Nabi dari jenis perempuan dan bahkan dihukumi bid’ah.
Gologan lain berpendapat memang sungguh telah ada Nabi perempuan. Satu golongan
lagi memilih tawaquf atau berdiam tanpa memberi pendapat. Kata Ibn Hazm sendiri
dalam bukunya menyatakan bahwa beliau tidak mengetahui dasar hujjah yang digunakan
orang-orang yang menolak adanya Nabi dari golongan perempuan kecuali sebagian
mereka mendebat hal itu dengan firman Allah Swt. dalam surah Yusuf ayat seratus
sembilan tersebut.10

Dalam ungkapan Ibn Hazm sendiri pada masa lampau telah terjadi perbedaan
pendapat dalam masalah tersebut. Jadi tidak aneh jika zaman sekarang orang
membid’ahkan bahkan menganggap sesat jika tidak sesuai dengan apa yang mereka
pahami, seperti adanya Nabi dari golongan perempuan. Ibn Hazm berhadapan dengan tiga
pendapat tersebut. Namun begitu, ulama yang sangat ‘alim (Ibn Hazm) ini tetap berdiri di
atas kakinya yang menerima adanya dugaan Nabi dari kalangan permepuan, bahkan
beliau menuliskan ‘Kenabian Perempuan’ di salah satu sub bab dalam bukunya yang
berjudul al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ wa al-Nihal.

Ibn Hazm kembali menuturkan bahwa masalah ini tidak ada perselisihan dan tidak
ada seorang pun yang menyerukan bahwa sesungguhnya Allah telah mengutus seorang

10
Ibn Hazm al-Zhahiri al-Andalusy, al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ wa al-Nihal, jilid. 5 (Kairo:
Penerbit Muhammad Ali Shabil wa auladuh, 1964), h. 87
38

perempuan dan sesungguhnya jika hanya kalam saja dalam kenabian tanpa risalah itu
maka wajib dicari kebenarannya.11

Artinya jika kalam itu datang kepada manusia tanpa menyampaikan risalah,
sedangkan orang yang diduga telah didatangkan wahyu kepadanya tapi tidak
menyampaikan sebuah risalah yang baru atau sebuah risalah yang dibawa oleh Rasul
terdahulu, maka wajib mencari kebenaran atas kenabian orang tersebut.

Dengan berpandangan pada makna lafazh kenabian, dalam bahasa yang dengan
kenabian itu Allah telah mengajak bicara kepada kaita, maka kita menemukan lafazh ini
dijadikan sebagai penjlasan-penjelasan dan juga sebagai informasi, yang lebih
mengetahuinya adalah Allah ‘Azza wa Jalla termasuk sebelum-sebelumnya yang
diwahyukan kepada seseorang sebuah kabar untuknya dengan suatu urusan maka dia
adalah seorang Nabi, tanpa ragu dan bukan sebagian dari pada ilham, karena ilham adalah
tabiat seperti firman Allah kepada lebah dalam surah al-Nahl [16]:68.12

Ibnu Hazm kembali menguatkan pendapatnya dengan mengatakan bahwa telah ada
dalam al-Qur’an sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah mengutus malaikat kepada
perempuan-perempuan, maka malaikat itu memberikan kabar gembira kepada umat
dengan wahyu yang benar dari Allah ‘Azza wa Jalla seperti kabar gembira kepada Ibu
Nabi Ishaq dengan akan hadirnya Nabi Ishaq. Allah Swt. berfirman:

Dan isterinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan
kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari Ishaq (akan lahir
puteranya) Ya'qub. Isterinya berkata: "Sungguh mengherankan, apakah aku akan
melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun
dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang
sangat aneh.". Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang
ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas
kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Mahaterpuji lagi Mahapemurah." (QS.
Hud [11]: 71-73).

Ayat ini mengisahkan bahwa malaikat telah mengabarkan kepada Ibu Nabi Ishaq dari
Allah dengan kabar gembira akan kehadirannya Nabi Ishaq kemudian Nabi Ya’qub. Ibnu
Hazm selanjutnya mengutip firman Allah yang berbunyi:

11
Ibn Hazm al-Zhahiri al-Andalusy, al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ wa al-Nihal, jilid. 5, h. 87
12
Ibn Hazm al-Zhahiri al-Andalusy, al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ wa al-Nihal, jilid. 5, h. 87
39

Ia (Jibril) berkata: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu,


untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci" (QS. Maryam [19]: 19).

Ini adalah Nubuwah yang benar dengan wahyu yang benar pula dan juga sebuah
risalah dari Allah untuk Maryam, Nabi Zakariya As. menemukan rizki di sisi Maryam itu
dari Allah Swt.13

C. Proses menjadi Rasul dan Tugas-tugasnya

Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah Swt. adalah mukjizat terbesar dan tanda
kenabian dan Krasulan Nabi Muhammad Saw. yang diturunkan melalui malaikat Jibril
As. Selain dari pada al-Qur’an, para Nabi menerima wahyu melalui perantara terkadang
juga tidak melalui perantara,14 sedangkan cara malaikat Jibril menerima wahyu dari
Allah menurut Manna’ Khalil al-Qaththan adalah Allah Swt. berfirman kepada malaikat
tanpa melalui perantara dengan firman yang dimengerti olehnya.15 Beliau menjelaskan
bagaimana caranya Allah Swt. berfirman kepada malaiktnya, termasuk malaikat Jibril As.
sebagai berikut: pertama, Jibril menangkap wahyu secara pendengaran dari Allah Swt.
dengan lafazh yang khusus, kedua, Jibril menghafalnya dari Lauh al-Mahfuzh, ketiga,
maknanya disampaikan kepada Jibril—lafazh-lafazhnya dari Jibril atau dari Nabi
Muhammad Saw.16

Kemudian proses penyampaian wahyu kepada para Nabi dengan tanpa melalui
perantara, yaitu dengan cara bermimpi yang benar dalam tidur, kemudian Tuhan
berfirman dari belakang hijab. Selanjutnya para Nabi juga mendapatkan wahyu melalui
perantara, yaitu melalui wahyu yang disampaikan malaikat Jibril.17

Muhammad Abduh berpendapat bahwa wahyu itu adalah kalam Allah yang
diturunkan kepada para Nabi. Sudah kita ketahui bahwa wahyu itu adalah pencerahan
yang didapat seseorang dari Allah disertai keyakinan bahwa itu dari Allah melalui
perantara atau pun tidak. Dengan suara seperti yang didengarnya (dengan perantara) atau
tidak dengan suara (tanpa perantara).

13
Ibn Hazm al-Zhahiri al-Andalusy, al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ wa al-Nihal, jilid. 5, h. 87-88
14
Manna’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulūm al-Qur’an (Riyadh: Dâr al-Rasyîd, tt), cet. 3, h. 37
15
Manna’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulūm al-Qur’an, h. 34
16
Manna’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulūm al-Qur’an, h. 35
17
Manna’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulūm al-Qur’an, h. 38
40

Pencerahan (wahyu) itu menyingkap apa yang telah luput dari kemaslahatan manusia
umumnya. Allah mengkhususkan orang yang dipilihnya dengan wahyu itu, memberi
kemudahan untuk memahaminya melalui akal sehat, tidak memberikan kesulitan untuk
mencapai pemahamannya kecuali kepada manusia yang tidak diingingkanNya untuk
memahami wahyu itu.18

Seperti yang sudah penulis paparkan di atas, kesimpulan yang didapat adalah Nabi
berbeda dengan Rasul dalam tugas dan tanggung jawabnya. Rasul diwajibkan
menyampaikan wahyu kepada umat, sedangkan Nabi tidak. Seorang Nabi cenderung
mengikuti risalah-risalah yang sudah ada sedangkan Rasul membawa risalah baru. Untuk
menjadi Rasul, sepanjang penulis amati, memerlukan waktu yang cukup lama, misalnya,
Nabi Muhammad diutus Allah di usianya yang ke empat puluh tahun, enam bulan delapan
hari (qomariyah) atau tiga puluh Sembilan tahun, tiga bulan delapan hari (kabisah).19
Beliau menerima wahyu kerasulannya pada malam ke tujuh belas Ramadhan, bertepatan
dengan enam Agustus enam ratus sepuluh Masehi, di waktu beliau bertahannus di gua
Hira.20 Nabi Nuh, menurut pendapat Muakharūn diutus di usia lima puluh tahun.21
Sedangkan Nabi Isa diangkat menjadi Nabi versi Injil di usia tiga puluh, sementara dalam
al-Qur’an tidak disebutkan. Akan tetapi menurut ulama Tauhid berpendapat bahwa
kenabian Isa dimulai pada umur empat puluh tahun lebih.22

Kedatangan para Nabi dan Rasul sangat diperlukan bagi keberlangsungan kehidupan.
Kedudukan mereka seperti akal dalam diri manusia. Tidak heran jika Tuhan
mengkhususkan sebagian makhluk dengan wahyu dan ilham, karena jiwa mereka telah
tinggi dan dapat menerima limpahan Tuhan dan rahasiaNya.23

Allah menurunkan Rasul kepada suatu umat, dikarenakan pada umat itu memang
sangat membutuhkan seorang Rasul sebagai pembimbing yang memberi petunjuk ke jalan
yang benar. Allah berfirman:

“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi


petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka

18
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhid (Bairut: Dâr al-Syurūq, 1994), cet. 1, h. 102
19
Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Kenabian dan Para Nabi (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), cet. 1,
h. 362
20
Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Kenabian dan Para Nabi, h. 361
21
Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Kenabian dan Para Nabi, h. 221
22
Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Kenabian dan Para Nabi, h. 326
23
Ibrahim Madzkour, Filsafat Islam: Metode dan Penerapan, h. 302
41

mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya


kepada kamilah mereka selalu menyembah” (QS. Al-Anbiya [21]: 73)

Seperti pada zaman Arab Jahiliyah, pada masa itu bangsa Arab sangat mengalami
kemerosotan moral, mereka suka meminum minuman keras, berzina, berjudi dan
menyembah berhala. Akibat kemerosotan moral itulah sebagai salah satu alasan
diutusnya seorang Rasul untuk meluruskan dan memberi penerangan ke jalan yang benar.
Ketika Allah telah mengutus seorang dari utusanNya, maka mereka (umat) wajib
mengimani Rasul itu, kalau mereka tidak ingin mendapat akibat yang buruk. Jika Rasul
baru telah diutus, maka risalah baru akan turun, segenap manusia wajib mengimani
risalah-risalah Rasul tersebut, Allah Swt. berfirman:

“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami,
menjelaskan (syari'at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) Rasul-rasul
agar kamu tidak mengatakan: "tidak ada datang kepada kami baik seorang
pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan". Sesungguhnya
telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Maidah [5]: 19).

Allah Swt. Tuhan yang Mahabijaksana, tidak akan mengazab suatu umat ketika tidak
ada seorang Nabi dan Rasul yang diutus atas mereka. Allah Swt. berfirman:

“Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-
Isra [17]: 15)

Adapun tugas-tugas para Nabi dan Rasul menurut Muhammad Abduh akan penulis
sajikan sebagai berikut:

Para Rasul membimbing akal untuk mengenali Allah dan mengenali sifat-sifat
ketuhanan yang wajib diketahui oleh manusia. Mereka juga memberikan batasan-batasan
tertentu dimana orang wajib berhenti dalam menggali pengetahuan tentang Tuhan pada
tempat yang menyulitkan posisi manusia guna menentramkan hati kepadaNya serta tidak
menyia-nyiakan kekuatan akal yang telah diberikan Allah kepada manusia.24

Mereka mengumpulkan kalimat yang hak atas Tuhan yang Esa, melapangkan jalan
manusia menuju Allah. Mereka meningkatkan jiwa-jiwa manusia kepada hubungan
semua perbuatan dan mu’amalah. Mereka juga mengingatkan manusia akan kebesaran
Tuhannya dengan menjalankan berbagai ibadah yang menguatkan keyakinan mereka.

24
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhid, h. 110
42

Mereka menjadi pengingat untuk manusia yang lupa, menjadi penyuci bagi orang yang
takut (takwa). Para Rasul itu menerangkan kepada manusia apa yang menjadi perselisihan
pikiran dan keinginan-keinginan manusia, pertentangan dalam hal kepentingan dan yang
menjadi kesenangan-kesenangan mereka. Maka dalam perselisihan itu para Rasul
memisahkannya dengan perintah (petunjuk) Allah yang hebat. Mereka (para rasul)
memperkuat ajaran-ajaran yang mereka sampaikan dengan apa yang berguna untuk
kepentingan umum serta tidak menhilangkan manfaat yang didapat oleh perseorangan.
Mereka mengembalikan manusia kepada keharmonisan dan mereka menyebarkan
kelembutan cinta untuk manusia.25

Mereka memberikan kepada manusia batas-batas larangan umum yang diperintahkan


oleh Allah sehingga memudahkan manusia itu mengembalikan perbuatan mereka ke
dalam batas-batas yang telah ditentukan Allah secara umum, seperti: menghormati darah
manusia artinya tidak membunuh kecuali dengan cara yang hak.26

Mereka membawa manusia untuk memalingkan hawa nafsu mereka dari mengecap
kelezatan dunia yang fana kepada cita-cita yang tinggi. Para Rasul juga menjelaskan
semuanya kepada manusia apa yang sesuai dengan ridha Allah untuk manusia, dan
perkara yang memalingkan manusia kepada murka Allah. Kemuadian para Rasul meliputi
penjelasan kepada manusia dengan kabar negeri akhirat yang telah Allah sediakan di
dalamnya berupa pahala dan indahnya tempat kesudahan bagi orang yang berpegang pada
aturan-aturan Allah, serta selalu setia dengan perintahNya, menjauhkan dari terjatuhnya
diri dalam kutukanNya. Para Rasul mengajarkan mereka tentang kabar ghaib apa-apa
yang telah Allah ijinkan untuk hambanya dalam mengetahuinya yang sekiranya hal itu
termasuk hal yang sulit bagi akal manusia untuk mengetahui hakikatnya, tetapi tidak suka
untuk mengakui adanya berita ghaib itu.27

Sedangkan tugas-ugas para Rasul menurut M. Ali Ash-Shabuniy adalah sebagai


berikut:

1. mengajak makhluk untuk beribadah kepada Allah SWT.


2. menyampaikan perintah Allah dan laranganNya.
3. menunjukkan manusia ke jalan yang lapang.

25
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhid, h. 110-111
26
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhid, h. 111
27
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhid, h. 111
43

4. sebagai teladan yang sempurna bagi umat.


5. menerangkan kebangkitan dari kubur, memperlihatkan manusia dengan hal-hal
setelah kematian.
6. mengubah keinginan manusia dari kehidupan yang fana kepada kehidupan yang
kekal.
7. agar tidak ada ketetapan berhujah atau membantah di sisi Allah SWT.28

D. Kerasulan dalam Tradisi Agama-agama Samawi


Surah al-Maidah ayat lima, menjelaskan tetang kehalalan sesuatu yang baik—
makanan Ahli Kitab, dan menikahi perempuan yang menjaga kehormatan di antara
perempuan-perempuan beriman dan perempuan yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi kitab. Mengenai ayat itu, ternyat terdapat munasabah dengan
surah al-Baqarah ayat 221 yang menjelaskan tentang keharaman menikahi perempuan-
perempuan musyrik sehingga mereka beriman. Lantas siapakah orang yang disebut Ahli
Kitab?
Rasyid Ridha dalam tafsirnya yang mengutip pendapat Ibn Jarir al-Thabari
bahwasanya di dalam surah al-Baqarah, Allah telah mengharamkan menikahi perempuan-
perempuan musyrik. Konteksnya dalam surah al-Baqarah adalah perempuan-perempuan
musyrik Arab. Menurutnya juga bahwa agama Majusi, agama Shabiîn, agama Hindu,
agama orang Cina (Khonghucu) dan semisal mereka adalah termasuk Ahlul Kitab (yang
diturunkan kitab suci) yang mengandung ajaran tauhid sampai sekarang, yang jelas
menurut sejarah dan dari penjelasan al-Qur’an bahwa semua umat telah diutus Rasul-
rasul. Kitab mereka adalah kitab samawi (yang turun dari langit) yang sudah terjadi
pemalsuan di dalamnya, seperti yang sudah terjadi di dalam kitab agama Yahudi dan
Nasrani (Kristen).29
Beliau juga menjelaskan bahwasanya al-Qur’an sudah menyebutkan dalam nash yang
sharih tentang hukum menikahi perempuan yang tidak musryik, yang telah menerima
kitab dari Ahlul Milal, yaitu orang-orang yang memiliki kitab dari langit, atau semisal
kitab itu seperti Majusi, Shabiîn, Budha, Brahman (Hindu) dan orang-orang yang
mengikuti Konfusius (agama Konghucu) di Cina. Beliau berkata:
“Sungguh aku telah tahu bahwasanya para ulama yang sebagian dari mereka
berkeinginan untuk mengkategorikan Alhul Kitab itu termasuk dalam bilangan

28
Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Kenabian dan Para Nabi, h. 39-`44
29
Muhammad Abduh, Tafsir al-Manâr, jilid. 6 (Mesir: al-Maktabah al-Taufiqiyah, tt), h. 166-167
44

orang-orang musyrik dan mereka tidak ragu untuk mengkategorikan itu semua
ke dalama kategori musyrik secara umum. Jika dalam al-Qur’an dan sunnah, itu
bukan rujukan yang sharih dalam pemisahan yang berubah.”30

Dari sudut pandang Ahmad Musthafa al-Maraghi yang menafsirkan surah al-Mai’dah
ayat 48 sebagai berikut:

            

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,


membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu. (QS. Al-Maidah:
48)

Kami menurunkan kepadamu wahai Rasul kitab (al-Qur’an) yang telah kemi
sempurnakan dengannya itu sebuah agama yang mencakup atas kebenaran yang
ditetapkan. “Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan, baik dari depan maupun
dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Mahabijaksana lagi Mahaterpuji.”
(QS. Fushilat [41]: 42) membenarkan kitab-kitab Tuhan yang terdahulu seperti Taurat
(kitab yang diturunkan pada Bani Israil yaitu bangsa Yahudi) dan seperti Injil (kitab suci
Nasrani), yang terjaga dan menjadi saksi atas apa yang telah dijelaskannya dari perkara
yang benar, dan tidak ada keadaan orang-orang yang dipanggil dengannya (kitab-kitab
Tuhan) rasa lupa sebagian besar dari kitabnya dan pemalsuan yang banyak dari apa yang
tersisa dan penjelasan, serta keberpalingan dari amal dengan kitabnya.31

Artinya dalam tafsir tersebut, kitab suci al-Qur’an membenarkan kitab-kitab


sebelumnya yang terjaga dan menjadi saksi atas kebenarannya. Tidak ada celah untuk
orang-orang melupakan dan memalsukan al-Qur’an atau berpaling darinya.

Lanjutnya lagi, beliau berpendapat mengenai penggalan ayat berikut:

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan terang.”
(Al-Maidah: 48)

Al-Maraghi menafsirkan:

Untuk masing-masing umat dari kalian, hai manusia telah Kami buatkan satu
syari’at tersendiri, yang Kami wajibkan menegakkan hukum-hukumnya dan

30
Muhammad Abduh, Tafsir al-Manâr, jilid. 6, h. 161
31
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid. 2, h. 446-447
45

Kami buatkan suatu sunnah dan jalan yang Kami wajibkan mereka
menempuhnya, untuk membersihkan jiwa dan memperbaiki hati mereka. Dari
arah, syari’at-syari’at amaliyah berbeda dengan macam-macam keadaan
masyarakat dan tabiat manusia juga kecenderungan syari’at amaliyah dengan
mereka. Sesungguhnya para Rasul itu sepakat semua akan dasar-dasar agama
yaitu adalah tauhid kepada Allah dengan ikhlas dalam keadaan rahasia atau
terang-terangan, dan Islamlah wajahnya.32

Dari penjelasannya itu mengindikasikan bahwa al-Maraghi mengedepankan konsep


pluralisme, dimana beliau ingin menyampaikan bahwa semua manusia di muka bumi ini
memiliki satu agama saja. Agama itu sendiri asalnya dari Allah Swt. Tuhan seluruh alam.
Bahkan beliau berpendapat yang bersumber dari Qatadah bahwa agama akan tertolak
selain mengesakan Allah dengan ikhlas, dan para Rasul telah datang membawa agama
tauhid. Diriwayatkan pula dari Qatadah bahwa agama itu satu, dan syari’atnya itu
berbeda-beda.33

Dari pendapat ketiga ulama moderen ini, yaitu; Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan
Musthafa al-Maraghi kita bisa kawinkan dengan data yang sudah didapat dan ditulis
dalam sub bab “Macam-macam Agama Samawi” yang lalu.

Di dalam agama Yahudi, bahkan banyak Nabi-nabi yang diutus untuk mereka.34 Di
antara mereka, ada yang disebut Nabi-nabi kecil dan Nabi-nabi besar. Nama-nama Nabi
mereka di antaranya adalah Isaiyah atau Yasey, Yermia, Ezekil, Daniel, Amos, Obaya,
Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Maleakhi, Hagai, Zakaria, Elia, Natum dan
Debora, sedangkan Musa, Harun, Daud, Sulaiman oleh umat Yahudi dianggap sebagai
pemimpin atau raja-raja mereka yang mula-mula.35 Kitab suci mereka adalah Taurat atau
Torah yang esensinya terletak pada sepuluh perintah Tuhan.36 Konsep Kerasulan atau
konsep Kenabian dalam agama Yahudi adalah Nabi-nabi itu menjelaskan kepada bangsa
Israel apa yang menjadi penyebab mereka ditimpa malapetaka. Mereka juga menyerukan
supaya orang-orang kembali ke jalan yang benar, meninggalakan kejahatan dan bersedia
hidup di jalan Tuhan dengan sebaik-baiknya. Nabi-nabi tersebut hampir semuanya terdiri
dari orang-orang miskin yang datang dari bukit-bukit Yudea, turun ke kota dan kuil-kuil.
Di mana saja mereka dapat berkumpul dengan pendengar-pendengarnya, di situlah dia

32
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid. 2, h. 447.
33
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid. 2, h. 447
34
Rahmat Fajri, Agama-agama Dunia, h. 448
35
Rahmat Fajri, Agama-agama Dunia, h. 450
36
M. Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia, h. 352
46

perdengarkan khatbah-khatbahnya yang penuh dengan ajaran-ajaran moral dan keimanan.


Tugas mereka itu adalah menyampaikan pernyataan-pernyataan ketuhanan dan
memegang kendali agama.37 Menurut al-Qur’an, semua Nabi Bani Israel itu adalah
manusia pilihan yang berbudi pekerti mulia, sama seperti Nabi-nabi lainnya.38

Di dalam agama Kristen, para penganutnya beranggapan bahwa Yesus atau Nabi Isa
itu sebagai Tuhan, sedangkan menurut agama Islam, Nabi Isa adalah seorang Nabi dan
Rasul yang diutus oleh Allah. Kitab yang Allah turunkan kepadanya adalah kitab Injil.
Menurut keyakinan mereka (Kristen), Alkitab (Injil) adalah firman Tuhan Allah, namun
bukan dalam arti firman yang diturunkan dari sorga dengan cara didiktekan kata demi
kata. Sebab firman Allah yang sejati yang turun dari sorga, menurut Alkitab mereka,
adalah Yesus Kristus. “Dialah firman yang pada mulanya bersama-sama dengan Allah
dan Allah adanya.” (Yohanes 1:1) “yang kemudian menjadi manusia, serta diam di
antara kita.” (Yohanes 1:14).39

Sementara Rasul dalam Agama Kristen adalah Apostle. Tugas Apostle adalah
memberitakan Inji ke dalam jamaat dan kepada segala bangsa.40 Abineno menyebutnya
sebagai sebagai saksi mata dan saksi telinga.41 Adapun ciri-ciri Apostle adalah
persekutuan dengan Yesus dan pengutusan oleh Yesus.42 Apostle persekutuan dan
pengutusan adalah kata yang sejajar dan bersifat sebab akibat. Kesejajaran kata tersebut
ditujukan pada kata saksi Allah kepada dunia.43

Terakhir, adalah Rasul dalam tradisi Isilam. Secara teologis, Islam memperkuat
monoteisme dengan menempatkan Tuhan bebas dari segala unsur antropomorfisme serta
mengukuhkan Tuhan sebagai zat yang trasenden (tanzih). Ringkasnya, menurut Ibn Katsir
dalam tafsirnya berpendapat tentang kedatangan Nabi Muhammad Saw. adalah untuk
mendukung, mengukuhkan, meluruskan kembali, dan menyempurnakan agama-agama
terdahulu.44

37
Rahmat Fajri, Agama-agama Dunia, h. 448
38
Rahmat Fajri, Agama-agama Dunia, h. 449
39
Harun Hadiwijono Kebatinan dan Injil, h. 140
40
Henk ten Nepal, Kamus Teologi Inggris Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), h. 37
41
Johannes Ludwig Chrisostomus, Abineno Sekitar Teologi Praktika 2 (Jakarta: Gunung Mulia, 1969),
h. 32
42
Johannes Ludwig Chrisostomus, Sekitar Teologi Praktika 2, h. 21
43
Johannes Ludwig Chrisostomus, Sekitar Teologi Praktika 2, h. 21
44
Sa’dullah Affandi, Menyoal Status Agama-agama Pra-Islam, h. 54
47

Islam juga memperkuat aspek moralitas dengan meluruskan berbagai penyimpangan


moral dan meletakkan moral sebagai landasan utama dalam penegakan diri individu maupun
masyarakat. Untuk itu, Rasul dalam Islam adalah seperti yang telah dideklarasikan oleh Nabi
Muhammad sendiri. Beluiau bersabda: “Sesungguhnya tidak lah aku diutus, kecuali untuk
menyempurnakan akhlak.” (Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, no. 8595)45

Dalam Islam, tidak ada penolakan dalam mengakui Ibrahim, Ishaq, Ismail, Musa dan
Isa sebagai utusan Tuhan. Allah memerintahkan umat Islam agar mengimani para Rasul dan
kitab-kitab terdahulu (QS. Al-Baqarah [2]: 285).46

Selain Nabi dan Rasul yang disebutkan di atas, dan 25 Nabi dan Rasul lainnya dalam
al-Qur’an, ada Nabi-nabi dan Rasul-rasul lain yang tidak dikisahkan dalam al-Qur’an. (QS.
Ghafir [40]: 78)47 Dan kesemuanya itu wajib diimani tanpa ada penolakan.

45
Sa’dullah Affandi, Menyoal Status Agama-agama Pra-Islam, h. 54
46
“Rasul telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya kepadanya dari Tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman. Semuuanya beriman kepada Allah , malaikat-malaikatNya, kitab-
kitabNya dan Rasul-rasulNya. (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun
(dengan yang lain) dari Rasul-rasulNya,” dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (mereka
berdoa): “Ampunilah kami wahai Tuhan kami dan kepada Engkau lah tempat kembali.” (QS 2:285)
47
“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka
ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan
kepadamu. tidak dapat bagi seorang Rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah;
Maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil, dan ketika itu
rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.” (QS. 40:78)
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Agama-agama yang telah penulis analisa pada konsep kenabiannya


masing-masing, penulis berkesimpulan bahwa persamaan di antara
agama-agama tersebut dalam konesep Rasul dan Nabi. Nabi merupakan
orang pilihan Tuhan yang menyampaikan sebuah kalimat dari Tuhan
untuk segenap umat dan apa yang disampaikan mereka itu adalah
kebajikan-kebajikan. Meski ada perbedaan di dalam ajaran-ajarnnya yang
disebabkan beberapa faktor, yang di antara faktor tersebut bisa
disebabkan karena pemalsuan oleh orang-orang yang setelah Rasul Nabi-
nabi itu wafat, namun pada intinya yang sudah penulis teliti bahwa setiap
Rasul dan Nabi itu membawa dasar ketuhanan yang sama, yaitu
mengakui keesaan Tuhan.

Rasul dan Nabi menurut Muhammad Abduh adalah mereka


mendapatkan keistimewaan wahyu yang diterimanya, dan terbukanya
rahasia-rahasia ilmu bagi mereka. Mereka bersih dari cacat dan segala
cela yang dapat menjadikan penolakan bagi yang ingkar untuk
mengingkari pengakuan mereka sebagai Rasul. Mereka tidak berdusta,
dan juga tidak lalai dalam menyampaikan akidah-akidah yang
diwajibkan bagi mereka untuk menyampaikannya. Rasyid Ridha
mengungkapkan pernyataan bahwa Setiap Rasul itu adalah Nabi, dan
tidak semua Nabi itu Rasul.

Sedangkan menurut al-Maraghi menyebutkan bahwa sesungguhnya


Allah mengutus Nabi sebagai saksi terhadap orang-orang yang diutus
kepada mereka, memerhatikan prilaku mereka, amal mereka, dan
memerhatikan kesaksian hati mereka yang di antara mereka ada yang

48
49

membenarkan dan ada yang mendustakan, serta seluruh apa yang


mereka perbuat dari cahaya petunjuk dan gelapnya kesesatan. Itu semua
akan terbalas pada hari kiamat. Allah mengutus Nabi kepada mereka
sebagai pemabawa kabar gembira dengan janji surga jika mereka
mempercayai Nabi, dan jika mereka mengamalkan apa yang telah
sampai kepada mereka dari sisi Allah. Nabi pun diutus sebagai pemberi
ancaman kepada mereka berupa neraka, yang mereka memasukinya
dengan siksaan jika mereka mendustakan dan menentang apa yang
diperintahkan serta apa yang dilarang oleh Allah dan Nabinya untuk
mereka.

Ketiga ulama tersebut pada intinya mengungkapkan bahwa Rasul


dan Nabi itu adalah manusia pilihan Tuhan sebagai pembimbing umat
manusia ke jalan yang benar. Setiap agama besar yang sudah penulis
kaji masing-masing memiliki Nabi, bahkan satu agama dan bangsa, bisa
memiliki banyak Nabi, bangsa dan agama tersebut adalah Yahudi dan
Tokoh Nabi yang Tuhan turunkan kitab (Taurat/Torah) kepadanya untuk
bangsa Yahudi adalah Nabi Musa As. Agama Kristen memiliki satu
Nabi yaitu Nabi Isa As.
50

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. Rislah Tauhid, terj. H. Firdaus A. N. Jakarta:


PT. Bulan Bintang, 1965.
. Risâlah al-Tauhid. Bairut: Dâr al-Syurūq, 1994
al-Andalusy, Ibn Hazm al-Zhahiri. al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ
wa al-Nihal. Kairo: Penerbit Muhammad Ali Shabil wa
auladuh, 1964.
Ali, Iyazi Muhammad. al-Mufassirûn Hayâtuhum wa
Manhajuhum. Teheran: Muassasah al- Thibâ’ah wa al-
Nasyri Wuzâratu al-Tsaqafah al-Irsyâdu al-Islâmi, 1373
Anwar, Ali dan Tono TP. Rangkuman Ilmu Perbandingan Agama
dan Filsafat. Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Azmi, Siti Nadroh Saiful Agama-agama Minor. Ciputat: UIN
Jakarta Press, 2013.
Baker, David L. Satu Alkitab Dua Perjanjian. Jakarta: PT. BPK
Gunung Mulia, 2010.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 2009.
Conze, Edward. Sejarah Singkat Agama Budha, terj. Hustiati.
Jakarta: Karanya, 2010.
Departemen Agama RI. Ensiklopedi Islam di Indonesia. Jakarta:
IAIN Jakarta, 1988
al-Dimsyqy, Al-Hafizh ‘Imadu al-Din Abu al-Fida Isma’il Ibnu
Katsir. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim. Riyadh: Maktabah Dâr
al-Fiyyah, 1994
Eldeeb, Ibrahim. be a Living Qur’an. Ciputat: Lntera Hati, 2005
Fajri, Rahmat dkk. Agama-agama Dunia. Yogyakarta: Jurusan
Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin, Studi Agama
51

dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,


2012.
Fatoohi, Louay. Historical Jesus, ter. Yuliani Liputo. Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2012.
Hadlir, Abdullah. “Konsep Izutsu Tentang Wahyu”. Skripsi,
Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2007
Hadiwijono, Harun. Kebatinan dan Injil. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2009
Harahap, Iqbal. Ibrahim Bapak Semua Agama. Ciputat: Lentera
Hati, 2014
Harsananda, Savami. Deva-Devi Hindu, terj. I Wayan Maswinari.
Surabaya: Paramita, 2007
Hermawati. Sejarah Agama dan Bangsa Yahudi. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2005.
Ibn Taymiyyah. Mukjizat Nabi dan Keramat Wali. Jakarta: PT
Lentera Basritama, 1999
Imran, M. Ali. Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia.
Yogyakarta: Ircisod, 2015.
Jr, A.G Huning. Ilmu Agama. Jakarta: BPK Gunung Mlia, 1997
Kahhalah,Umar Ridha. Mu’jam al-Muallifîn. Beirut: Dâr
Ihyâ’ al-‘Ulûm, 1376 H
Kajeng, Nyoman. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita, 1997.
Khalaf, Abd. Aziz. Dirâsât al-Adyân al-Yahūdiyyah wa al-
Nashrâniyyah. Riyadh: Maktabah Adwâi Salaf, 2004.
Keluaran 20: 1-17
Lings, Martin. Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan
Sumber Klasik. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2014.
Lester, Robert C. Buddhism. New York: Harper & Row,
Publishers, 1987.
52

Lukas. Yogyakarta: Kanisius, 1993


Madzkour,Ibrahim. Filsafat Islam: Metode dan Penerapa. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1993
al-Maghluts, Sami bin Abdullah. Atlas Sejarah Para Nabi dan
Rasul. Jakarta Timur: Penerbit Almahira, 2012
al-Maghlouth, Sami bin Abdullah. Atlas Agama-agama, terj.Fuad
Saifuddin Nur, Ahmad Ginanjar Sya’ban. Jakarta:
Almahira, 2012.
al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir al-Maraghi. Bairut: Daar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.
Marhaban, Muhammad Musadiq. Yudas Bukan Pengkhianat.
Jakarta: Istifad Publishing, 2003.
Mittal, Mahendra. Intisari Veda: Pesan Tuhan untuk Kesejahteraan
Umat Manusia, terj. I Wayan Punia. Surabaya: Paramita,
2003.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Rosda, 2006
Munawwir, A.W. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
Menzies, Allan. Sejarah Agama-agama; Studi Sejarah,
Karakteristik dan Praktik Agama-agama Besar di Dunia,
terj. Dion Yulianto, EmIrfan. Yogyakarta: Penerbit Forum,
2004
Nasution, Harun. Muhammad Abduh dalam Teologi Rasional
Mu’tazilah. Jakarta: Universitas Indonesia, 1981.
Noor, Fauz. Berpikir Seperti Nabi: Perjalanan Menuju
Kepasrahan. Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang,
2009.
Pendit, Nyoman S. Aspek-aspek Agama Hindu: Seputar Weda dan
Kebajikan. Jakarta: Pustaka Manikgeni, 1993.
53

Permatasari, Indah. Nabi Muhammad SAW..: Hikayat Hidup Sang


Pembawa Cahaya dari Lahir Hingga Menutup Mata.
Tngerang: La Tahzan, 2014.
Perjanjian Baru. Jakarta: BPK-GM, 2009.
. Yogyakarta: Kansius, 1993.
Pudja, G. Bhagavat Gita (Pancama Veda). Surabaya: Penerbit
Paramita, 2004.
al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. terj.
Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2012.
al-Qoththân, Mana’ Khalil. Mabâhits fî Ūlūm al-Qur’an. Riyadh:
Dâr al-Rasyîd, tt
Quthb, Sayid. Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an, terj. Aunur Rafiq Shaleh
dan Khoirul Halim. Jakaarta: Robbani Press, 2002.
Ridha, Muhammad Rasyid. al-Wahyu al-Muhammadi. Beirut: al-
Maktab al- Islami, tanpa tahun.
Ridha, Rasyid. Tafsir al-Manâr. Mesir: al-Maktabah al-
Taufiqiyah, tanpa tahun.
Rousyan, Muhammad Baqiri Saidi. Menguak Tabir Mukjizat.
Jakarta: Sadra Pres, 2012.
al-Shallabi, Ali Muhammad. Iman kepada Rasul, terj. M. Fakih.
Jakarta: Umul Qura, 2015.
Ash-Shabuniy, Muhammad Ali. Kenabian dan Para Nabi.
Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993
Shihab, Quraish. Kaidah Tafsir. Ciputat: Lentera Hati, 2013
. Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW. : Dalam Sorotan al-
Qur’an dan Hadits-hadits Shahih Ciputat: Lentera Hati,
2014
. Tafsir al-Mishbah. Ciputat: Lentera Hati, 2002
54

Smith, Huston. Agama-agama Mansia. Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia, 2001.
. Agama-agama Manusia, ter. Saafroedin Bahar. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1985.
. Agama-agama Manusia, ter. FX Dono Sunardi dan Satrio
Wahono. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2015
Sou’yb, Josef. Agama-agama Besar di Dunia, terj. PT. Al-Husna
Zikra. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1996.
. Agama-agama Besar di Dunia. Jakarta: Pustaka Alhusna,
1983
Syakir, Ahmad. Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, terj. Suharlan, Lc
dan Suratman, Lc. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014
Syibrmalisi, Faizah Ali dan Zauhar Azizi. Membahas Kitab Tafsir
Klasik-Modern. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011
al-Thabari, Ibnu Jarir. Tafsir al-Thabari, terj. Akhmad Affandi.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2008
Tejemahan Injil Barnabas The Gospel Of Barnaba, terj. Achmad
Kahfi. Surabaya: PT Bina Ilmu Surabaya, 2008.
Tanggok, M Ikhsan. Agama Budha. Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Jakarta, 2009.
Tim Penerjemah Kitab Suci Tripitaka. Pengetahuan Budha Darma.
Jakarta: Lembaga Penerjemah Kitab Suci Tripitaka, 2011.
Vidyarthi, Abdul Haq dan Abdul Ahad Dawud. Ramalan Tentang
Muhammad, terj. Arfan Achyar. Jakarta: Noura Book, 2013.
Viresvarananda, Savami. Brahma Sutra, ter. I Wayan Maswinara.
Surabaya: Paramita, 2004.
Warsana. Riwayat Hidup Budha Gotama. Jakarta: CV. Yanwreko
Wahana Karya, 2009.
55

Widyadharma, Pandita. S. Riwayat Hidup Budha Gotama. Jakarta:


Nitra Buana, 1979.
Wijawaya-Mukti, Krishnanda. Wacana Budha Dharma, terj. Alvin
Sebastian dan S. Mulyono. Jakarta: Yayasan Dharma
Pembangunan, 2006.
Yatsribi, Sayyid Yahya. Agama dan Irfan. Jakarta: Sadra Press,
2012

Anda mungkin juga menyukai