Oleh :
PAJRIAH PUTRI ISLAMY
NIM : 3003223003
Program Studi :
PENDIDIKAN ISLAM
i
yang telah memberikan bantuan moril dan materil dalam mengikuti
perkuliahan Program Studi Pendidikan Islam dan penyelesaian tesis ini.
4. Teristimewa untuk kedua orang tua saya tercinta Ayahanda Baharuddin dan
Ibunda Barina atas setiap pengorbanan, kasih sayang serta doa yang tulus
selalu teriring dalam setiap langkah penulis atas semua kasih sayang dan
nasihat serta doa yang selalu menyertai penulis, serta seluruh keluarga yang
telah banyak memotivasi dan memberi bantuan selama peneliti menjalani
perkuliahan sehingga dapat menyelesaikan gelar Magister Pendidikan
(M.Pd).
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuan
selama mengikuti perkuliahan di Pascasarjana UIN Sumatera Utara pada
Program Studi Pendidikan Islam. Semoga amal jariyah dan semoga Allah
memberikan kesehatan serta keberkahan hidup.
6. Kepala Perpustakaan UIN Sumatatera Utara dan Staff yang bersedia
membantu melayani selama studi perkuliahan berlangsung hingga pada
penyelesaian tesis dalam mencari buku-buku refrensi yang sesuai dengan
kebutuhan penulisan tesis.
7. Seluruh rekan-rekan seperjuangan sahabat PEDI A Stambuk 2022 yang telah
memberikan semangat, dukungan, dan doa dalam menyelesaikan tesis ini.
8. Semua pihak yang telah memberikan motivasi, membantu pelaksanaan
penelitian serta penyempurnaan tesis baik secara langsung maupun secara
tidak langsung, yang tak bias disebutkan satu persatu. Semoga Allah
memberikan balasan terbaik di dunia dan akhirat. Jazakumullahu khair.
Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini memberikan sumbangan bagi
pengembangan dunia pendidikan khususnya Pendidikan Islam. Aamiin Yaa
Rabbal Aalamiin…Wassalamu ‘alaikum Wr.Wb
Medan, September 2023
Penulis
ii
i
PEDOMAN TRANSLITERASI
ب Ba B Be
ث Ta T Te
ج Jim J Je
د Dal D De
ز Ra R Er
iii
ش Zai Z Zet
ض Sin S Es
غ Ghain Gh Ge
ف Fa F Ef
ق Qaf Q Qi
ك Kaf K Ka
ه Lam L El
ً Mim M Em
ُ Nun N En
ٗ Waw W We
ٓ Ha H Ha
ٛ Ya Y Ye
iv
B. Vokal
Vokal bahasa Arab adalah seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiridari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
1. Vokal Tunggal
Vokal Tunggal dalam bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau
harkat, transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
2. Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara
harkat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:
Tanda danHuruf Nama Gabungan Nama
Huruf
Contoh:
Kataba : كتب
Fa„ala : فعم
Żukira : ذكز
Yażhabu : يذهب
Su‟ila : سئم
Kaifa : كيف
Haula : هىل
v
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harkat danHuruf Nama Huruf danTanda Nama
ٛ\أَ َــ َـ fatah dan Alif atau Ā A dan garis di atas
Ya
Contoh:
Qāla : قبل
Ramā : رمب
Qīla : قيم
Yaqūlu : يقىل
4. Ta Marbutah
Transliterasi untuk Ta Marbutah ada dua:
a. Ta Marbutah hidup. Ta Marbutah hidup atau mendapat harkat fatah,
kasrah dan damah, transliterasinya adalah /t/.
b. Ta Marbutah mati. TaMarbutah yang mati atau mendapat harkat fatah
sukun, transliterasinya adalah /h/.
Kalau pada kata yang terakhir dengan Ta Marbutah di ikuti oleh kata
yangmenggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka
Ta Marbutah itu di transliterasikan dengan ha (ha)
Contoh:
Ṭalḥah : طيحت
vi
5. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda, tanda syaddah atau tanda tasydid, dalam transliterasi ini tanda
syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan
huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Contoh:
Rabbanā: ربىب
Nazzala: وشل
Al-Birr: انبز
Al-Hajj: انحج
Nu„ima: وعم
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab di lambangkan dengan huruf,
yaitu: اه, namun dalam transliterasi ini kata sandang itu di bedakan atas kata
sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah dan kata sandang yang diikuti huruf
qamariah.
a. Kata sandang diikuti oleh huruf syamsiah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah ditransliterasikan
sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /l/ diganti dengan huruf yang sama
dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu.
b. Kata sandang diikuti oleh huruf qamaraiah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariah ditransliterasikan
sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai pula dengan
bunyinya. Baik diikuti huruf syamsiah maupun qamariah, kata sandang
ditulis terpisah dari kata yang menggikuti dan dihubungkan dengan tanda
sempang.
Contoh:
Ar-rajulaَ:اىسجو
َas-sayyidah :دةٞاىع
vii
al-qalam :ٌاىقي
7. Hamzah
Dinyatakan di depan bahwa hamzah ditransliterasikan dengan
apostrof. Namun, itu hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan
di akhir kata. Bila hamzah itu terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan,
karena dalam tulisan Arab berupa alif.
Contoh:
Ta‟khuzūna: تأخذون
An-Nau‟:َ َ َ َ انىىء
Syai‟un: شيئ
Inna: ان
Umirtu: امزت
8. Penulisan Kata
Pada dasarnya setiap kata, baik fi‟il (kata kerja), isim (kata benda)
maupun harf, ditulis terpisah. Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya
dengan huruf Arab sudah lazim di rangkaikan dengan kata lain karena ada
huruf atau harkat yang dihilangkan, maka dalam transliterasi ini penulisan
kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya.
Contoh:
viii
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf kata
sandangnya.
Contoh:
Wa mā Muḥammadun illā rasūl
Inna awwala baitin wudi‟a linnāsi lallażi bi Bakkata mubārakanSyahru
Ramadān al-lazī unzila fīhi al-Qur‟ānu
Syahru Ramadānal-lazī unzila fīhil Qur‟ānu
Penggunaan huruf awal kapital untuk Allah hanya berlaku bila
tulisan Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu
disatukan dengan kata lain sehingga ada huruf atau harkat yang dihilangkan,
huruf kapital tidak dipergunakan.
Contoh:
Nasrun minallāhi wa fatḥun qarīb.Lillāhi al-amru jamī‟an.
Lillāhil-amru jamī‟an.
10. Tajwid
Bagi mereka yang menginginkan kefasihan dalam bacaan, pedoman
transliterasi ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan ilmu tajwid.
Karena itu, peresmian pedoman transliterasi ini perlu disertai dengan ilmu
tajwid.
11. Singkatan-singkatan
Singkatan Kepanjangan
Swt. ََٚأَّٗتَعَاى
َ ظ ْب َح
ُ
saw. ٌَّظي َ ِٔ ْٞ ع َي
َ َٗ َّ َّصي
َ َََُّللاٚ َ
ra. (untukَlaki-laki)
(untukَperempuan)
ix
Tt tanpa tahun
H Hijriyah
M Masehi
Cet. Cetakan
h. Halaman
No. Nomor
x
DAFTAR ISI
xi
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Pada Masa Rasulullah saw, misi utama kerasulan beliau adalah tauhid.
Namun ilmu tauhid yang kita katakan sebagai disiplin ilmu belumlah muncul.
Ketika itu pada masa Rasul, problema permasalahan teologis dikalangan umat
belum ada. Justru, disiplin ilmu tauhid itu muncul setelah ratusan tahun setelah
Nabi Muhammad saw, wafat. Jadi sebenarnya teologis dalam islam ini muncul
bukan karena masalah ketuhanan (teologis) melainkan karena masalah politik.
Terbukti dimulai pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661)
yang berkedudukan sebagai khalifah ke-empat (terakhir) dari khulafaur rasyidin,
muncul pula satu firqah dalam islam, yaitu firqah khawarij. Pada mulanya para
pengikut firqah khawarij ini adalah bagian dari nama pengikut dan pendukung
setia kepada Ali bin Abi Thalib, namun kemudian memisahkan diri dikarenakan
tidak sependapat atau tidak setuju dengan sikap Ali bin Abi Thalib yang
menerima tahkim (perdamaian) dalam penyelesaian konflik dengan Gubernur
Syam yaitu Muawiyah bin Abi Sofyan pada saat terjadinya perang Siffin.
Sewaktu terjadi perang shiffin antara pasukan khalifah Ali Bin Abi Thalib
dengan pasukan Mu‟awiyah Bin Abi Sofyan yang ingin melakukan
pemberontakan terhadap khalifah Ali Bin Abi Thalib, dan situasi telah
menunjukkan bahwa pasukan Ali Bin Abi Thalib mampu mendesak pasukan
Mu‟awiyah Bin Abi Sofyan. Tetapi menyadari bahwa sudah dalam posisi mau
kalah, maka ada salah seorang pendukung Mu‟awiyah Bin Abi Sofyan yang
3
bernama Amru Bin Ash, beliau mengangkat al-Qurʾān diujung tombaknya sebagai
isyarat mengajak untuk berdamai saja (Purba 2016).
Dengan ajakan damai tersebut, sebenarnya sebagian pasukan khalifah Ali
Bin Abi Thalib ada yang tidak mau damai, tetapi para penghafal al-Qurʾān
mendesak khalifah Ali Bin Abi Thalib untuk segera berdamai saja. Maka pada
akhirnya pun mereka berdamai. Dalam aksi damai itu maka dilaksanakan
perdamaian (Tahkim: Arbitrase) ditetapkan Abu Musa al-Asy‟ari sebagai wakil
dari pihak Ali Bin Abi Thalib dan wakil dari pihak Mu‟awiyah Bin Abi Sofyan
adalah Amru Bin Ash. Kedua utusan wakil itu mengadakan pertemuan untuk
membahas permasalahan pertentangan dari kedua belah pihak tersebut. Dari hasil
pertemuan itu maka khalifah Ali Bin Abi Thalib dan Mu‟awiyah Bin Abi Sofyan
pun dijatuhkan jabatannya, untuk selanjutnya dipilih kembali khalifah yang baru.
Kemudian Amru Bin Ash melakukan kelicikan. Sesuai dengan tradisi yang
berlaku orang yang tertua atau lebih dituakanlah yang terlebih dahulu harus
memulai kebijakan, baru boleh dilanjutkan oleh yang lebih muda. Karena itu Abu
Musa sebagai yang lebih tua usianya dibanding Amru bin Ash lebih dahulu
mengumumkan penjatuhan Ali bin Abi Tholib dari jabatannya sebagai khalifah.
Akan tetapi waktu giliran Amru bin Ash yang hendak mengumkan penjatuhan
Mu‟awiyah bin Abi Sofyan dari jabatannya, Kemudian Amri bin Ash malah
mengatakan: “sekarang sudah kita dengar pengumuman bahwa Ali bin Abi Thalib
telah dijatuhkan dari jabatannya sebagai khalifah, maka dengan sudah jatuhnya
Ali bin Abi Thalib satu-satunya pemimpin kita yang akan menjalankan roda
pemerintahan adalah Mu‟awiyah bin Abi Sofyan (Purba 2016).
Atas kejadian itu, peristiwa ini sangat merugikan pihak Ali bin Abi Thalib
dan menguntungkan pihak Mu‟awiyah bin Abi Sofyan. Dengan adanya arbitrase
ini, pihak Ali bin Abi Thalib pun menolak dan tidak mau meletakkan jabatannya
sampai Ali Bin Abi Thalib mati terbunuh pada tahun 661 M. Dengan
terlaksananya arbitrase ini sebagian pengikut Ali Bin Abi Thalib ada yang tidak
setuju dengan usul arbitrase dari pihak Mu‟awiyah Bin Abi Sofyan sebelumnya
dan sebagian pengikut Ali Bin Abi Thalib pun menyalahkan Ali bin Abi Thalib
karena menerima usul tersebut. Dan menurut mereka sebenarnya pertentangan
4
Ali bin Abi Thalib dengan Mu‟awiyah tidak boleh diselesaikan dengan cara
arbitrase tetapi harus diselesaikan dengan hukum Tuhan. Karena menurut mereka
Tahkim atau arbitrase ini merupakan adat orang jahiliyah. Orang-orang yang
melakukan arbitrase adalah orang yang tidak menentukan hukum sesuai dengan
hukum Allah Swt yaitu al-Qurʾān. Tindakan semacam dosa besar dan kafir
dijelaskan dalam surah Al-Maidah ayat 44:
ٰٰۤ ُ
ْ ٌُ ُٕ َٗى ِٕى َل
ََُْٗ َاى ٰن ِف ُس ْح ُن ٌَْ ِب ََآَا َ ّْصَ َه هَٝ ٌَْ ََّٗ ٍَ َِْى
ََّللاَُفَا
Artinya: “barang siapa yang tidak memutuskan atau menghukumkan dengan yang
diturunkan Allah Swt mereka adalah orang-orang kafir”.
Dengan berpedoman kan pada ayat ini, kelompok yang tidak setuju dengan
arbitrase tadi maka mengkafirkan Ali Bin Abi Thalib dan Mu‟awiyah bin Abi
Sofyan termasuk Abu Musa Al-Asy'ari dan Amru bin Ash bahkan mengkafirkan
orang-orang yang terlibat dalam terlaksananya arbitrase tersebut. Seiring dengan
itu, mereka akhirnya keluar dari barisan kelompok Ali bin Abi Thalib, mereka
itulah yang dikenal dengan aliran khawarij. Maka, sejak saat itu pula muncullah
persoalan Teologi dalam Islam.
Dalam situasi ramainya tuduhan kafir terhadap para pelaku arbitrase dan
orang-orang yang melakukan dosa besar maka muncullah tanggapan dan pendapat
dari berbagai golongan lain yang berbeda pendapat dengan paham
Khawarij. Yaitu golongan Murji'ah, menurut golongan Murji'ah muslim yang
melakukan dosa besar tidaklah kafir melainkan tetap menjadi mukmin. Masalah
dosa besar yang dilakukan itu harus diserahkan kepada Allah Swt apakah
diampuni atau tidak itu hanya urusan Allah Swt dan bukan wewenang manusia
untuk menentukannya berdosa atau tidaknya (Purba 2016).
Selain pendapat dari golongan Khawarij dan Murji'ah, muncul pula
golongan baru yang memiliki pendapat yang berbeda dari dua paham tersebut
mereka adalah golongan Mu'tazilah. Golongan Mu'tazilah menolak pendapat
golongan dari Khawarij dan Murji'ah karena menurut aliran Mu'tazilah pelaku
dosa besar bukanlah kafir dan bukan pula Mukmin tetapi mengambil posisi
diantara mukmin dan kafir yang dalam bahasa Arab pendapat mereka ini dikenal
dengan istilah Al manzilah Bain Al manzilataini atau posisi diantara dua posisi.
5
Corak dari pemikiran aliran Mu'tazilah yang bersifat rasional dan liberal
ini menarik perhatian kaum intelektual muslim dan pemerintah pada masa itu
sehingga Khalifah Al-Makmun (813-833) H menjadikan Teologi Mu'tazilah
sebagai mazhab Teologi yang resmi bagi negara yang dipimpinnya. Karena telah
ditetapkan sebagai mazhab Teologi yang resmi oleh Kepala Negara yaitu Al-
Makmun situasi itu dimanfaatkan oleh aliran Mu'tazilah untuk menyebarluaskan
paham ajaran mereka kepada golongan lain secara paksa, sampai pada akhirnya
mereka melakukan Ujian Tes Keimanan terhadap pejabat dan calon pejabat
pemerintahan yaitu apakah paham teologinya menganut ajaran Mu'tazilah atau
tidak. Jika ia maka dia boleh tetap bertahan pada jabatannya dan boleh diangkat
sebagai pejabat.
Apabila jika tidak maka harus dipecat dari jabatannya atau tidak boleh
diangkat sebagai pejabat. Kemudian Mu'tazilah melakukan tindakan tes serupa
kepada para ulama jika tidak menganut paham Mu'tazilah para ulama dipaksa
untuk menerimanya jika para ulama tidak mau maka dijatuhi hukuman berat
bahkan ada yang sampai dijatuhi hukuman mati. Tindakan golongan Mu'tazilah
ini dikenal dengan istilah mihnah.
Dengan problema-problema yang muncul yang telah penulis paparkan di
atas, setelah mundurnya posisi firqah Mu‟tazilah, maka lahirlah teologi baru
dalam dunia islam yang dibangun oleh Abu Hasan Al-Asy‟ari yaitu firqah
ahlussunnah waljamaah.
Jadi, apa hubungan firqah ahlussunnah waljamaah ini dengan eksistensi
pondok pesantren? Eksistensi adalah keberadaan, misalnya usaha apa yang
dilakukan oleh manusia untuk mengaktualisasikan dirinya agar tetap eksis pada
kebaikan, apa yang manusia itu lakukan. Menurut hemat penulis, bahwa pondok
pesantrenlah yang mengaktualisasikan dan menjadi sarana dalam penyebaran
islam ahlussunnah waljamaah, pesantren sebagai wadah pencetak generasi-
generasi sebagai pendakwah islam guna untuk mempertahankan dan mengajarkan
ajaran-ajaran agama islam.
Bahkan, Sejarah membuktikan dengan real bahwa pondok pesantren itu
menjadi lembaga pendidikan tertua islam di Nusantara. Terbukti bahwa
6
pesantrenlah yang secara historis lahir dan berkembang sejak awal masa
penyebaran Islam di Indonesia yaitu berdirinya pesantren pertama Syaikh
Maulana Malik Ibrahim sebagai pendiri pertama pesantren di tanah Jawa (M.
Hasan 2015).
Jadi, pendidikan pesantren sudah eksis jauh sebelum adanya pendidikan
madrasah. Pesantren memiliki perkembangan yang luar biasa untuk mengubah
dan memajukan perkembangan masyarakat terkait kehidupan beragama,
berbangsa dan bernegara. Hingga sampai saat ini, pesantren masih tetap menjadi
lembaga pendidikan yang favorite dimasyarakat sebagai tempat menuntut ilmu.
Pesantren merupakan suatu lembaga yang berfungsi menyebarkan agama Islam
dan mengadakan perubahan-perubahan masyarakat kearah yang lebih baik.
Pesantren memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan yang berarti
dari zaman ke zaman, generasi ke generasi melalui para santrinya untuk
memperjuangkan tegaknya nilai-nilai religius dan mentransformasikannya ke
dalam pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dengan tujuan agar kehidupan
masyarakat berada dalam keadaan yang seimbang antara aspek duniawinya dan
aspek ukhrawinya (Z 2012).
Kurikulum pesantren pada umumnya sama dengan pendidikan tradisional
di dunia Islam sekarang ini, khususnya yang bermazhab Syafii dan aqidah
Asy‟ariyah. Pada pesantren salaf, kurikulum disusun ke dalam tiga tingkatan;
Tingkatan Dasar (ula) terdiri dari aqidah, fikh, akhlak, metode membaca al-
Qur‟an. Tingkat Menengah (wustha) terdiri dari: aqidah, fikh, akhlak belajar,
nahw, dan tajwid. Pada tingkatan Menengah Atas („ulya) meliputi; aqidah, fikh,
akhlak, tasawwuf, ushul fikh, tafsir, ilmu hadits, nahw, mantiq, dan tarikh. Mata
pelajaran tersebut memakai nama kitab dan pengarangnya pada umumnya sama
(Pulungan 2020).
Di Sumatera Utara terdapat banyak pesantren, salah satunya pesantren
tertua yaitu Pondok Pesantren Musthafawiyah Purbabaru dan pondok Pesantren
Darul Ikhlas yang berada di Kabupaten Mandailing Natal. Kedua pondok
pesantren tersebut sangat menjaga keberadaan paham ahlussunnah waljamaah
hingga kini. Ditengah hiruk-pikuknya pondok pesantren yang mengajarkan aliran
7
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Eksistensi Pondok Pesantren Musthafawiyah Purbabaru
Dan Pondok Pesantren Darul Ikhlas Di Mandailing Natal Dalam Menjaga
Paham Ahlussunnah Wal Jamaah.
2. Untuk mengetahui Peran Guru Pondok Pesantren Musthafawiyah Purbabaru
Dan Pondok Pesantren Darul Ikhlas Di Mandailing Natal Dalam Menjaga
Paham Ahlussunnah Wal Jamaah.
3. Untuk mengetahui apa saja Tantangan Pondok Pesantren Musthafawiyah
Purbabaru Dan Pondok Pesantren Darul Ikhlas Di Mandailing Natal Dalam
Menjaga Paham Ahlussunnah Wal Jamaah.
F. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini dapat diharapkan mampu menghimpun dan memperluas
informasi tentang Eksistensi Pondok Pesantren Pondok Pesantren
Musthafawiyah Purbabaru Dan Pondok Pesantren Darul Ikhlas Di Mandailing
Natal Dalam Menjaga Paham Ahlussunnah Wal Jamaah, sehingga menjadi
salah satu acuan dan rujukan dalam penelitian dan pengembangan keilmuan
dibidang kepesantrenan dan keagamaan.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi kalangan pondok
pesantren agar tetap semangat dalam mencetak generasi umat islam yang
beriman dan taat kepada Allah swt dalam upaya berdakwah.
A. Kerangka Teori
1. Pengertian Eksistensi
Eksistensi adalah hal berada atau keberadaan (Pendidikan 2012).
Eksistensi berasal dari bahasa inggris yaitu excitence, dan dari bahasa latin
existere yang artinya muncul, ada, timbul, memilih keberadaan yang aktual.
Eksistensi diartikan sebagai keberadaan, keadaan, adanya (Anwar 2003).
Eksistensi adalah apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas (ada), dan
segala sesuatu (apa saja) yang ada didalam menekankan bahwa sesuatu itu
ada. Menurut Abidin Zaenal, Eksistensi adalah suatu proses yang dinamis,
suatu yang menjadi atau mengada.
Hal ini sama seperti kata exsistere, yang artinya keluar dari,
melampaui atau mengatasi (Abidin n.d.). Jadi eksistensi tidak besifat kaku
dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan atau
sebaliknya mengalami kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam
mengkatualisasikan potensi-potensi didalamnya.
Jadi menurut hemat penulis, bahwa eksistensi adalah cara manusia
dalam mengaktualisasikan dirinya atau potensi-potensi yang ada di dalamnya,
agar keberadaannya dapat membuatnya memiliki arti atau berarti. Maka disini
dapat dilihat bahwa dengan eksistensi ini manusia dapat berperan aktif dalam
segala hal untuk menentukan hakikat keberadaan dirinya di dunia sehingga
manusia dapat terdorong untuk selalu beraktifitas sesuai dengan pilihan
mereka dalam kehidupannya dan berani dalam menghadapi berbagai
tantangan dunia di luar dirinya. Eksistensi yang dimaksud penulis adalah
eksistensi dalam mempertahankan ajaran ahlussunnah waljamaah di Pondok
Pesantren Musthafawiyah Purbabaru Dan Pondok Pesantren Darul Ikhlas
yang ada di Kabupaten Mandailing Natal.
12
48
13
2. Pondok Pesantren
Nama Pesantren disebut dengan istilah “pondok” dalam bahasa
arabnya “Funduq” yang artinya asrama. Pesantren berasal dari kata santri
yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang artinya tempat. Jika
digabung menjadi pesantren yang artinya tempat para santri (Ma‟unah 2009).
Menurut Ensiklopedi Islam, istilah pesantren atau santri berasal dari bahasa
Tamil yang berarti "pengajar mengaji". Namun, ada sumber lain yang
menyebutkan bahwa asal-usul kata tersebut adalah dari bahasa India Shastri,
yang berasal dari akar kata shastra yang memiliki makna "buku-buku suci",
"buku-buku agama", atau "buku-buku tentang ilmu pengetahuan (Dewan
Redaksi 2002).
Pesantren, lembaga pendidikan terkuno di Indonesia, telah
berkembang sejak berabad-abad yang lalu. Setiap pesantren minimal
memiliki lima komponen utama, yaitu kyai, santri, pondok, masjid, dan
pengajaran ilmu-ilmu agama. Di institusi pendidikan ini, kegiatan belajar-
mengajar dilakukan sepanjang waktu, baik siang maupun malam, di bawah
bimbingan kyai (Daulay 2004).
Seperti yang dipahami, ajaran di pondok pesantren berlandaskan pada
ajaran Islam, yang dijelaskan melalui keyakinan dan moral ahlussunnah wal
jamaah serta diterapkan melalui peraturan fiqih. Ajaran pondok pesantren,
yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia (khususnya
kaum muslim), terutama mencakup ajaran fiqih yang memiliki pengaruh
signifikan dalam kehidupan sosial mereka melalui norma-norma normatif
yang ada. (Yafie 1994).
Oleh karena itu, pesantren memiliki potensi yang signifikan dalam
memfasilitasi penyebaran dan perluasan pemahaman Islam yang benar,
memajukan dakwah, serta mempromosikan proses enkulturasi (pembentukan
budaya). Hal ini memungkinkan umat atau masyarakat untuk terus menerima
bimbingan dan pengetahuan dari guru-guru di pesantren tersebut.
Pondok pesantren memiliki beberapa elemen pokok, yang meliputi:
a. Kyai/Guru
13
14
Kyai adalah figur sentral dalam pondok pesantren, berperan sebagai guru
dan pendidik utama. Gelar ini diberikan karena kyai memiliki tugas
penting dalam memberikan bimbingan, arahan, serta pendidikan kepada
santri-santri. Kyai juga menjadi teladan bagi santri dalam proses
pengembangan diri, walaupun umumnya mereka memiliki beberapa
asisten seperti ustadz atau santri senior. Kyai umumnya merupakan
pendiri dan pemimpin pesantren, dikenal sebagai individu muslim yang
berpengetahuan luas, mempersembahkan hidupnya sepenuhnya untuk
jalan Allah dengan mendalami dan menyebarkan ajaran Islam melalui
kegiatan pendidikan. (Zamaksari Dhofier 2020).
Berdasarkan pemahaman tersebut, menurut pandangan penulis,
kyai adalah individu yang bertanggung jawab dalam membimbing,
mengelola, dan memandu operasional lembaga pendidikan pondok
pesantren. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa lembaga
pendidikan tersebut sesuai dengan kebutuhan santri, guru, dan
masyarakat di sekitarnya, dengan mengikuti perkembangan zaman.
Selain itu, kyai juga memiliki peran sebagai pendorong motivasi
untuk mengembangkan kepercayaan diri, keberanian, dan ketenangan
batin melalui pendekatan spiritual kepada Allah. Kyai juga berfungsi
sebagai pembimbing dalam membentuk perilaku sesuai dengan nilai-nilai
spiritual yang diamanahkan dalam ajaran agama Islam (S. A. Lubis
2007).
b. Santri
Istilah santri dalam konteks pesantren mencerminkan dorongan
untuk memperoleh pengetahuan yang dimiliki oleh individu yang
memimpin pesantren (M. Bahri Ghazal 2021). Pesantren yang memiliki
jumlah santri dari berbagai wilayah mencerminkan pengaruh dan
relevansi nasional, sementara pesantren yang jumlah santrinya lebih lokal
menunjukkan pengaruh yang terbatas pada tingkat regional karena
mayoritas santri berasal dari lingkungan terdekat.
15
d. Siswa
Kela Tingkat Rombel Santri Ket
s LK PR LK PR JLH
JLH
I Tsanawiyah 33 18 51 1.574 754 2.328
II Tsanawiyah 31 16 47 1.410 730 2.140
III Tsanawiyah 27 17 44 1.223 824 2.047
IV Tsanawiyah 25 13 40 1.076 857 1.933
V Aliyah 12 9 21 679 519 1.198
VI Aliyah 9 8 17 615 470 1.085
VII Aliyah 7 6 13 468 302 770
JLH 144 91 235 7.045 4.456 11.501
dengan jumlah local yang tersedia, maka waktubelajar terpaksa dibagi dua
kali masuk yaitu masuk pagi dan masuk sore.
Laboratorium
1 Lab. Computer 4 rg 2 rg 2 rg Sangat
kurang
2 Lab. Ipa 4rg - 4 rg Sangat
kurang
3 Lab.bahasa arab 4rg 1 rg 3 rg Sangat
kurang
4 Lab. Bahasa inggris 1 rg 3 rg Sangat
kurang
5 Lab. Internet 1 rg 3 rg Sangat
kurang
Sarana dan
olahraga
1 Volley ball 20 unit - 20 unit Sangat
kurang
2 Bulu tangkis 20 unit - 20 unit Sangat
kurang
3 Tenis meja 30 unit - 30 unit Sangat
kurang
Sarana kesenian
1 Nasyid 4 set - 4 set Sangat
25
kurang
Sarana
keterampilan
1 Bengkel las 1 unit - 1 unit
2 Bengkel elektronik 1 unit - 1 unit
3 Bengkel automotif 1 unit - 1 unit
ini terdiri santri buat tingakat tsanawiyah serta aliyah. Santri berawal dari
warga mandailing natal( Tapanuli Selatan serta Padang Sidempuan) serta
sekelilingnya dan pula terdapat yang berawal dari bermacam wilayah di
luar Mandailing Natal dan sekelilingnya. Ikatan orang tua santri dengan
pihak pengelola pesantren sedang bertabiat konvensional. Ikatan langsung
pada orang tua santri dicoba dengan cara kasuistik serta insidentil buat
merespon permasalahan khusus santri.
Sepanjang ini belum sempat dicoba terdapatnya pertemuan dengan
cara terencana antara orang tua santri dengan pengelola pondok dlam
hubungan buat menarangkan mengenai situasi santri ataupun kemajuan
pondok. Tetapi begitu, diakui kalau pihak orang tua santri diserahkan
akses buat bias berjumpa dengan kanak- kanak mereka buat mengenali
situasi serta kondisi mereka.
Alumni pondok pesantren Darul Ikhlas sudah menabur ke
bermacam wilayah sampai ke luar provinsi Sumatera Utara. Telah banyak
kiprah pekerjaan yang dijalani oleh alumni semacam dosen serta yang lain.
Tetapi dari beberapa pekerjaan itu, wirausaha kayaknya jadi pekerjaan
yang berkuasa dipelajari oleh para alumn. Tidak nyata apa yang jadi alibi
kokoh para alumni mengutip pekerjaan ini. Dapat jadi perihal ini
dipengaruhi oleh jiwa independensi yang kokoh yang mereka dapat
sewaktu sedang terletak di pesantren dahulu. Dikala ini badan alumni telah
tercipta dengan“ HAMDI” yang ialah abreviasi dari Gabungan Alumni
Darul Ikhlas yang diketuai oleh Muhammad Zuhdi yang dikala ini
berodomisili di Ajang. Terdapat yang menarik dari badan alumni ini di
mana badan ini dipegang oleh alumni yang kebanyakan sedang
berkedudukan mahasiswa.
Sepertinya badan alumni ini lebih bagaikan alat komunikasi untuk
para alumni yang berawal dari pondok pesantren Darul Ikhlas sepanjang
mereka menempuh perkuliahan di Ajang. Asumsi ini terus menjadi kokoh
sebab kala ditanya kedudukan serta partisipasi alumni kepada pondok
pesantren Darul Ikhlas nyatanya kedudukannya sedang terbatas pada
28
dorongan data serta pendampingan untuk adik- adik mereka yang baru
berakhir serta mau meneruskan perdidikan ke tahapan perguruan tinggi.
Hal yang sama berlaku untuk aset pesantren. Semua aset dikelola
sepenuhnya di bawah kontrol yayasan. Yayasan mengurus seluruh
pendapatan dan aset yang dimiliki, termasuk yang berasal dari wakaf.
Tidak ada entitas atau bagian yang khusus dibentuk untuk bertanggung
jawab dan mengelola harta atau aset pesantren yang berasal dari wakaf.
d. Tenaga Pendidik dan Santri
Keadaan Ustadz dan Tenaga Kependidikan Saat ini jumlah guru
(ustadz/ustadzah) yang ada di pondok pesantren Darul Ihklas berjumlah 78
(tujuh puluh delapan) orang dengan kriteria pendidikan Madrasah
Aliyah/Sekolah Menengah Atas berjumlah 23 (dua puluh tiga) orang,
Sarjana strata satu (S1) berjumlah 54 (lima puluh empat) orang dan strata
dua (S2) berjumlah 1 (satu) orang. Sedangkan jumlah tenaga
kependidikannya berjumlah 5 (lima) orang dengan kualifikasi pendidikan
MA/SMA. Secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Keadaan Santri Dari mulai berdirinya pada tahun 1987 hingga saat
ini jumlah santri pondok pesantren Darul Ihklas sudah mencapai 1374
orang. Jumlah ini terdiri santri untuk tingakat tsanawiyah dan aliyah.
Santri berasal dari masyarakat mandailing natal (Tapanuli Selatan dan
Padang Sidempuan) dan sekitarnya serta juga ada yang berasal dari
berbagai daerah di luar Mandailing Natal dn sekitarnya. Hubungan wali
santri dengan pihak pengelola pesantren masih bersifat konvensional.
Hubungan langsung kepada wali santri dilakukan secara kasuistik dan
insidentil untuk merespon masalah-masalah tertentu santri.
Sejauh ini belum pernah dilakukan adanya pertemuan secara
terjadwal antara wali santri dengan pengelola pondok dlam kaitan untuk
menjelaskan tentang kondisi santri maupun perkembangan pondok.
Namun demikian, diakui bahwa pihak wali santri diberikan akses untuk
bias bertemu dengan anak-anak mereka untuk mengetahui kondisi dan
keadaan mereka.
e. Sarana dan Prasarana
30
kemudian ada lagi yang menyebutnya kholaf yaitu generasi yang datang
kemudian (Hasan 2005). Dr. Jalal M.Musa mengatakan, bahwa istilah
ahlussunnah wal jamaah ini menjadi rebutan banyak kelompok, masing-
masing kelompok membuat klaim bahwa dialah ahlussunnah waljamaah.
(Hasan 2005). Selanjutnya mengenai definisi al-Sunnah, secara umum
dapat dikatakan bahwa al-Sunnah adalah sebuah istilah yang menunjuk
kepada jalan Nabi SAW dan para sahabatnya, baik ilmu, amal, akhlak,
serta segala yang meliputi berbagai segi kehidupan.
Maka, berdasarkan keterangan di atas, penulis menyimpulkan
bahwa ahl al-Sunnah dapat diartikan dengan orang-orang yang mengikuti
sunah dan berpegang teguh padanya dalam segala perkara yang Rasulullah
saw dan para sahabatnya berada di atasnya (Ma ana „alaihi wa ashabi),
dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari Qiamat. Seseorang
dikatakan mengikuti al-Sunah, jika ia beramal menurut apa yang
diamalkan oleh Nabi saw berdasarkan dalil syar‟i, baik hal itu terdapat
dalam al-Qur‟an, dari Nabi saw, ataupun merupakan ijtihad para sahabat
(Herman 2021).
Dalam perkembangan selanjutnya, jika Ahl al-Sunnah adalah
penganut sunah Nabi saw dan al-Jama‟ah adalah penganut paham sahabat-
sahabat Nabi saw, maka ajaran Nabi saw dan para sahabatnya yang sudah
termaktub dalam al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Saw secara terpencar-pencar
dan belum tersusun secara teratur, kemudian dikodifikasikan
(dikonsepsikan secara sistematis) oleh Abu Hasan al-Asy‟ari (lahir di
Bashrah tahun 324 H dan meninggal pada usia 64 tahun).
Pada periode Ashab al-Asy‟ari inilah, Ahl al-Sunnah wa al-
Jama‟ah mulai dikenal sebagai suatu aliran dalam Islam. Hal ini dipelopori
oleh al-Baqillani, al-Baghdadi, al-Juwaini, al-Ghazali, al-Syahrastani, dan
al-Razi. Meskipun demikian, mereka tidak secara tegas membawa bendera
Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah sebagai mazhab (Munawir 2013).
Dalam sumber lain diterangkan bahwa, Ahl al-Sunnah dikenal luas
dan populer sejak adanya kaum Mu‟tazilah yang menggagas rasionalisme
32
alasan Ilmu Kalam dalam bentuk yang lebih nyata. Pikiran-pikiran Al-
Asyari tersebut oleh pengikut-pengikutnya disebut dengan paham
“Ahlussunnah wal Jama‟ah” (Novan Ardy Wiyana 2013).
d. I‟tiqad Firqah Ahlussunnah Waljamaah
I‟tiqad Firqah Ahlussunnah Waljamaah yang telah disusun oleh
Imam Abu Hasan al-Asy‟ari, terbagi atas beberapa bagian, yaitu:
1) Tentang Ketuhanan
Kita semua mengetahui dan meyakini bahwa Allah swt itu ada.
Allah memiliki sifat keindahan (Jamal), kebesaran (Jalal) dan
kesempurnaan (kamal). Namun yang wajib diketahui oleh manusia
yang sudah baligh dan berakal yaitu 20 sifat yang wajib (mesti ada)
pada Allah swt dan 20 sifat yang mustahil pula (tidak mungkin ada)
pada Allah dan 1 sifat yang boleh ada atau boleh tidak ada pada Allah.
Adapun sifat yang wajib itu adalah:
a) Wujud, yang berarti ada, mustahil tiada
Bukti dari adanya Allah swt adalah adanya alam yang kita tempati
ini. Begini Firman Allah dalam al-Qur‟an surah az-Zumar ayat 4.
Artinya: “amat suci ia, ia tuhan yang esa lagi gagah”.
b) Qidam, yang berarti tidak berpermulaan adaNya, mustahil ia
berpermulaan adaNya.
Karena jikalau Allah swt itu berpermulaan maka samalah ia
dengan makhluk dan kalau ia sama dengan makhluk maka ia
bukanlah Tuhan. Sesuai dengan firman Allah swt surah al-Hadid
ayat 3, begini:
Artinya: “ialah Tuhan yang tidak berpermulaan adaNya
dan pula tidak berkesudahan ada-Nya, ialah yang lahir
wujudNya. Ia-lah yang tersembunyi (Zat-Nya) dan ia tahu tiap-
tiap sesuatu”.
c) Baqa, yang berarti kekal
Allah swt akan kekal selama-lamanya mustahil akan lenyap. Jika
Allah swt bisa lenyap (habis) maka siapa yang menjadi Tuhan
36
selanjutnya? Hal ini juga sesuai dengan firman Allah swt dalam
surah al-Qashas ayat 88,begini:
Artinya: “Segala sesuatu akan lenyap, kecuali Zat-Nya”.
d) Mukhalafatu Lilhawadisi, yang berarti Tuhan berlainan dengan
sekalian mahkluk, mustahil ia serupa dengan makhluknya.
Jikalau tuhan serupa dengan makhluk, maka ia bukanlah tuhan.
Karena tuhan itu maha besar, maha tinggi, dengan segala
keagunganNya. Sesuai dengan Firman dalam al-Qur‟an surah as-
Syura ayat 11.
Artinya: “Tiada yang menyerupainya suatu juga ia
mendengar tapi melihat”.
e) Qiyamuhu binafsihi, yang berarti bahwa allah berdiri sendiri tidak
butuh pertolongan, mustahil ia membutuhkan pertolongan orang
lain. Dalil untuk sifat ini sesuai dengan firman Allah swt surah al-
Ankabut ayat 6.
Artinya: “Bahwasanya allah tidak membutuhkan makhluk”.
f) Wahdaniyah, yang berarti esa, mustahil ia terbilang banyak.
Jadi tuhan itu maha tunggal, sifat ini sesuai dengan firman Allah
surah al-Baqarah ayat 163.
Artinya: “Dan tuhanmu adalah tuhan yang esa, tiada tuhan
selain dia, pengasih dan penyayang”.
g) Qudrat, yang berarti kuasa, mustahil allah lemah.
Dalil sifat ini sesuai dengan firman allah surah al-ahzab ayat 72
Artinya: dan adalah allah atas tiap-tiap suatu kuasa.
h) Iradah, yang berarti menetapkan sesuatu menurut kehendaknya,
mustahil ia tidak menurut kehendaknya dan mustahil ia dipaksa
oleh kekuatan lain untuk melakukan sesuatu. Dalil sifat ini sesuai
dengan firman Allah surah al-Qashas ayat 68
Artinya: “Dan tuhanmu menjadikan apa yang ia mau dan yang ia
kehendaki”.
37
Tuhan, yang artinya boleh ada dan boleh tidak ada. Hal ini sesuai
dengan firman Allah swt surah al-Isra ayat 54
َ َ ظ ْي َْٰ َل
ٌَْ ِٖ ْٞ َعي َ ٌَْ ُعَ ِرّ ْب ُنَْٝ َشَأَُِٝ ْس َح َْ ُن ٌْ َأَ ْٗ َإَٝ َْ َشَأََُِّٝزب ُن ٌْ َأ َ ْعيَ ٌُ َ ِب ُن ٌََْۖإ
َ َۚٗ ٍَا َٓأ َ ْز
ً َٗ ِم
ََلٞ
Artinya: “kalau ia mengkehendaki ia boleh mengasihi kamu, dan
kalau ia tidak mengkehendaki maka ia boleh pula
menghukum kamu”.
Selanjutnya, Tuhan juga memiliki nama-nama yang baik.
Dalam ajaran ahlussunnah, nama-nama Tuhan tidak boleh dibuat-buat
atau diada-dakan oleh manusia, tetapi harus yang diterangkan oleh
Nabi. Berikut nama-nama Allah ada 99 yang kita tahu yaitu:
Dari Abi Hurairah beliau berkata: Bersabda Rasulullah saw:
"Bahwasanya Tuhan Allah mempunyai 99 nama; barangsiapa
menghafal semuanya akan dimasukkan ke dalam syurga. 1. Allah
(Tuban); 2. Ar Rahman (Pengasih); 3. Ar Rahiim (Penyayang); 4. Al
Malik (Pemilik semua yang ada); 5. Al Quddus (Bersih suci tak
bercacat); 6. As. Salam (Penyelamat); 7. Al Mu'min (Pemberi
keamanan bagi hambanya); 8. Al Muhaimin (Yang menyatakan diri-
Nya Esa;. 9. Al 'Aziz (Gagah tak terka- lahkan); 10. Al Jabbar (Kuat
dan Gagah); 11. Al Mutakabbir (Besar-gagah); 12. Al Khalik
(Pencipta makhluk); 13. Al Bari (Pembikin makhluk); 14. Al
Mushawwir (Pembentuk makhluk); 15. Al Gaffar (Pengampun dina
16. Al Qahhar (Gagah perkasa); 17. Al Wahhab (Pemberi); 18. Ar
Razaq (Pemberi rezki); 19. Al Fatah (Pembuka pintu rahmat); 20. Al
'Alim (Tabu segala-gala); 21. Al Qabidh (Penaban); 22. At Basith
(Pemberi rezk dengan mudah); 23. Al Khafidh (Yang menurunkan);
24. Ar Rafi'i (Yang mengangkat); 25. Al Mu'iz (Yang memberi
kemuliaan); 26. Al Mudzil (Yang memberi kehinaan); 27. Al Sami'i
(Yang mendengar); 28. Al Bashir (Yang melibat); 29. Al Hakam
(Bijaksana); 30. Al 'Adi (Adil); 31. Al Latbif (balus) 32. Al Khabir
39
C. Kerangka Berfikir
Berdasarkan kajian teori diatas, ada beberapa Eksistensi Pondok Pesantren
Musthafawiyah Purba Baru Dan Pondok Pesantren Darul Ikhlas Di Mandailing
Natal Dalam Menjaga Paham Ahlussunnah Waljamaah, eksistensi tersebut adalah:
45
1. Pendidikan islam
Prof. Dr. Omar Mohammad At-Toumi Asy-Syaibany mendefinisikan
pendidikan Islam sebagai proses mengubah tingkah laku individu pada
kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran
sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi
dalam masyarakat Pengertian tersebut memfokuskan perubahan tingkah laku
manusia yang konotasinya pada pendidikan etika. Selain itu, pengertian
tersebut menekankan pada aspek-aspek produktivitas dan kreatifitas manusia
dalam peran dan profesinya dalam kehidupan masyarakat dan alam semesta.
Dilain pihak Dr. Muhammad Fadhil Al-Jamali memberikan
pengertian pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong,
serta mengajak manusia untk lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang
tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih
sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan.
Maka dapat penulis kita simpulkan bahwa pendidikan Islam adalah usaha
yang dilakukan oleh pendidik untuk menumbuh kembangkan potensi manusia
agar dapat mencapai kesempurnaan penciptaannya sehingga manusia tersebut
dapat memainkan perannya sebagai makhluk tuhan yang beriman, berilmu
dan berakhlakul karimah (Hidayat 2004).
2. Guru/kyai
Kyai adalah orang yang memiliki ilmu agama (Islam) plus amal dan
akhlak yang sesuai dengan ilmunya. Menurut Saiful Akhyar Lubis,
menyatakan bahwa “Kyai adalah tokoh sentral dalam suatu pondok pesantren,
maju mundurnya pondok pesantren ditentukan oleh wibawa dan kharisma
sang kyai. Karena itu, tidak jarang terjadi, apabila sang kyai di salah satu
pondok pesantren wafat, maka pamor pondok pesantren tersebut merosot
karena kyai yang menggantikannya tidak sepopuler kyai yang telah wafat itu”
(Hamdan Rasyid 2007). Di pesantren, kyai adalah panggilan oleh santri untuk
gurunya, seorang gurulah yang membimbing santri,memberi arahan dan
memberikan pelajaran baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
46
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (natural setting).
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan secara alami untuk
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
atau perilaku yang diamati. (Sani 2022).
Penulis melakukan penelitian naturalistik dengan pendekatan deskriptif
kualitatif, yang berarti data dari orang atau pelaku yang dapat diamati digunakan
dalam penelitian. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan, mempersiapkan,
dan mencoba mewawancarai pihak-pihak yang terkait dengan judul yang ingin
penulis teliti untuk memberikan gambaran yang jelas tentang eksistensi pondok
pesantren Musthafawiyah purbabaru dan pondok pesantren darul ikhlas di
mandailing natal dalam menjaga paham ahlussunnah waljamaah.
B. Setting Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis berlokasi didua pondok pesantren yang
ada di Mandailing Natal, yaitu Pondok Pesantren Musthafawiyah Purbabaru dan
Pondok Pesantren Darul Ikhlas.
musthafawiyah purba baru dan pondok pesantren darul ikhlas di mandailing natal
dalam menjaga paham ahlussunnah waljamaah. Kedua, terjangkau dalam arti
dapat ditemui dan bersedia berbagi informasi dengan peneliti. Maka penulis
menjadikan informan penelitian yaitu: guru tauhid dan santri.
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Dkk. 2010. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka
Setia.
Abidin, Zaenal. Analisis Eksistensi. Jakarta: PT.Raja Grafindo.
Akbar. 2011. “Eksistensi Pondok Pesantren Tradisional Dalam Pembangunan
Masyarakat Di Era Globalisasi Di Kelurahan Jalanjang Kecamatan
Gantarang Kabupaten Bulukumba.”
Alhafidz, Ahsin W. 2013. Kamus Fiqih. Jakarta: Amzah.
Anwar, Dessy. 2003. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Amalia.
Batubara, Arda Bili. 2012. “Profil Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru.”
Daulay, Haidar Putra. 2004. Dinamika PendidikanIslam. Bandung: Cita Pustaka
Media.
Dewan Redaksi. 2002. Ensiklopedi Islam Jilid 4. Jakarta: Ikhtiar Baru.
Hamdan Rasyid. 2007. Bimbingan Ulama; Kepada Umara Dan Umat. Jakarta:
Pustaka Beta.
Hasan, Muhammad Tholhah. 2005. Ahlussunnah Waljamaah Dalam Persepsi Dan
Tradisi NU. Jakarta: Lantabora Press.
Herman, Riki. 2021. “Implementasi Nilai-Nilai Pendidikan Ahlussunnah
Waljamaah.” Pendidikan Agama Islam.
Hidayat, Rahmat. 2004. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Perdana Publishing.
Imam Muhammad Abu Zahrah. 1996. Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam,.
Jakarta: Logos.
Lubis, Saiful Akhyar. 2007. Konseling Islami Kyai Dan Pesantren. Yogyakarta:
eLSAq Press.
M. Bahri Ghazal. 2021. Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan
Pendoman Ilmu. Jakarta: IRP Press.
M. Hasan. 2015. “Perkembangan Pendidikan Pesantren Di Indonesia.” Pendidikan
Islam 1: 55.
Ma‟unah, Binti. 2009. Tradisi Intelektual Santri Tantangan Dan Hambatan
Pesantren Di Masa Depan. Yogyakarta: Teras.
50
51