Anda di halaman 1dari 77

RITUAL AMMACA KITTA DALAM TRADISI UPACARA KEMATIAN

MASYARAKAT DESA JOMBE KECAMATAN TURATEA

KABUPATEN JENEPONTO

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar
Sarjana Agama (S.Ag) Prodi Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin & Filsafat UIN
Alauddin Makassar

Oleh:
ALDI SAPUTRA
NIM: 30500116078

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT


UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2022
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN DAN SINGKATAN

A. Transliterasi Arab-Latin

Daftar huruf bahasa Arab dan transilterasinya ke dalam huruf Latin dapat dilihat pada

table dibawah:

1. Konsonan

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

‫ا‬ Alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan

‫ب‬ Ba B Be

‫ت‬ Ta T T

‫ث‬ Tsa ṡ es (dengan titik di atas)

‫ج‬ Jim J Je

‫ح‬ Ha H ha (dengan titik di bawah)

‫خ‬ Kha Kh ka dan ha

‫د‬ Dal D De

‫ذ‬ Zal Ż zet (dengan titik di atas)

‫ر‬ Ra R Er

‫ز‬ Za Z Zet
‫س‬ Sin S Es

‫ش‬ Syin Sy es dan ye

‫ص‬ Shad Ṣ es (dengan titik di bawah)

‫ض‬ Dhad Ḍ de (dengan titik di bawah)

‫ط‬ Tha Ṭ te (dengan titik di bawah)

‫ظ‬ Dza Ẓ zet (dengan titik di bawah)

‫ع‬ ‘ain ‘ apostrof terbaik

‫غ‬ Gain G Eg

‫ف‬ Fa F Ef

‫ق‬ Qaf Q Qi

‫ك‬ kaf K Ka

‫ل‬ Lam L Ei

‫م‬ Mim M Em

‫ن‬ nun N En

‫و‬ Wawu W We

‫ه‬ ha H Ha
‫أ‬ Hamzah ’ Apostrof

‫ي‬ ya’ Y Ye

Hamzah (‫ )ء‬yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa

diberi tanda apapun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis

dengan tanda (,,).

2. Vokal

Vokal bahasa Arab sama seperti vokal Indonesia yang terdiri dua

bagian, yakni vokal tunggal (monoftong) dan vokal rangkap (diftong).

Vokal tungggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau

harakat, transliterasinya sebagai berikut:

Tan Nama Huruf Latin Nama


da
َ Fathah A A

َ Kasrah I I

َ Dammah U U

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara

harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu :

Tand Nama Huruf Latin Nama


a
‫َي‬ fathah dan ya Ai a dan i

‫َو‬ fathah dan wau Au a dan u

i
3. Maddah

Maddah atau vocal panjang yang panjangnya berupa harakat dan

huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Harkat dan Huruf Nama Huruf dan Tanda Nama

/‫ي‬ fathah dan alif A a dan garis di


‫ ا‬,َ
atau ya atas

‫َي‬ kasrah dan ya I i dan garis di

atas

‫َو‬ dammah dan U u dan garis di

wau atas

4. Tā’ marbūṫah

Transliterasi untuk tā‟ marbūṫah ada dua bagian, yaitu tā‟ marbūṫah yang

hidup (berharakat fathah, kasrah atau dammah) dilambangkan dengan

huruf “t” dan tā‟ marbūṫah yang mati (tidak berharakat) yang

dilambangkan dengan huruf “h”.

5. Syaddah (Tasydid)

Tanda Syaddah atau tasydid dalam bahasa Arab, transliterasinya


dilambangkan menjadi huruf (konsonan ganda), yaitu huruf yang sama
dengan huruf yang diberi syaddah tersebut.
Jika huruf ‫ ي‬ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh
huruf kasrah ( ‫)ي‬, maka ia ditransliterasikan seperti huruf maddah (i).

ii
6. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

huruf ‫( ال‬alif lam ma’arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata

sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf

syamsiah maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi

huruf lansung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari

kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-).

7. Hamzah

Dinyatakan di depan pada Daftar Transliterasi Arab-Latin bahwa

hamzah ditransliterasikan dengan apostrop. Namun, itu apabila hamzah

terletak di tengah dan akhir kata. Apabila hamzah terletak di awal kata, ia

tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.

8. Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa

Indonesia

Pada dasarnya setiap kata, baik fi’il, isim maupun huruf, ditulis

terpisah. Bagi kata-kataa tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab

yang sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau

harakat yang dihilangkan, maka dalam transliterasinya penulisan kata

tersebutbisa dilakukan dengan dua cara, yaitu bisa berupa per kata dan bisa

pula dirangkaikan.

Contoh: Fil Zilal Al- Qur’an


Al- Sunnah qabl al-tadwin
9. Lafz Al-Jalalah

iii
Kata Allah yang didahului partikel, sepeti huruf jar dan huruf lainnya atau

berkedudukan sebagai mudaf ilahi (frasa nominal), ditransliterasi tanpa

huruf hamzah.

10. Huruf Kapital

Huruf kapital dalam sistem bahasa Arab tidak ada dan tak dikenal,

namun dalam transliterasi huruf kapital tersebut terpakai. Penggunaan

huruf kapital seperti yang berlaku dalam EYD. Di antaranya, huruf kapital

digunakan untuk menuliskan huruf awal dan nama diri. Apabila nama diri

didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapitall tetap

huruf awal dari nama diri tersebut, bukan huruf awal dari kata sandang.

Contoh : Syahru ramadan al-lazi unzila fih al-qur’an


Wa ma Muhammadun illa rasul
B. Daftar Singkatan

Beberapa singkatan yang dibakukan adalah:

swt. = subhānahū wa ta„ālā

saw. = sallallāhu ‘alaihi wa sallam

QS. = Qur’an surah

iv
DAFTAR ISI
JUDUL....................................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI.................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................... iii
KATA PENGANTAR............................................................................... iv
DAFTAR ISI.............................................................................................. vii
PEDOMAN TRANSLITERASI.............................................................. ix
ABSTRAK................................................................................................. xv
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah................................................................... 1
B. Fokus Penelitian............................................................................... 5
C. Rumusan Masalah............................................................................ 7
D. Tinjauan Pustaka.............................................................................. 8
E. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian..................................... 11
BAB II TINJAUAN TEORETIS.............................................................12-25
A. Sejarah Penyebaran Islam di Konfederasi Turatea Abad XVII....... 12
1. Transformasi Kebudayaan Era Islam pada Masyarakat............. 16
B..Ritual................................................................................................ 18
C. Tradisi............................................................................................... 20
D. Upacara Kematian............................................................................ 22
BAB III METODE PENELITIAN..........................................................26-32
A. Jenis dan Lokasi Penelitian.............................................................. 26
B. Pendekatan Penelitian...................................................................... 26
C. Sumber Data .................................................................................... 28
D. Metode Pengumpulan Data ............................................................. 29
E. Instrumen Penelitian......................................................................... 30
F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ............................................ 31
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN........................33-52
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian................................................ 33
B. Makna Ritual Ammaca Kitta’........................................................... 38
C. Prosesi Pelaksanaan Ritual Ammaca Kitta’..................................... 45
BAB V PENUTUP .................................................................................... 53-54
A. Kesimpulan....................................................................................... 53
B. Implikasi Penelitian.......................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 55

v
LAMPIRAN............................................................................................... 57
RIWAYAT HIDUP...................................................................................

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kematian di dalam kebudayaan apapun hampir pasti disertai acara ritual.

Ada berbagai alasan mengapa kematian harus disikapi dengan acara ritual.

Masyarakat memandang kematian bukan sebagai peralihan status baru bagi orang

yang mati. Segala status yang disandang semasa hidup ditelanjangi digantikan

dengan citra kehidupan luhur. Kematian selalu dilakukan acara ritual oleh yang

ditinggal mati. Setelah orang meninggal biasanya dilakukan upacara doa, sesaji,

selamatan, pembagian waris, pelunasan hutang dan sebagainya.1

Kematian dipandang sebagai keterpisahan seseorang dari komunitas di

mana ia hidup dan adanya penghormatan yang mendalam pada orang yang telah

meninggal tersebut melalui beragam upacara (ritual) dan beragam bentuk karya

budaya yang merepresentasikan kesakralan kematian dan ritual pemakaman.2

Kematian selain dipandang dari segi antropologi-sosiologi, juga menarik manusia

untuk memandang kematian dari segi religiositas yang transenden dan melampaui

dirinya. Sejak dulu manusia berupaya untuk mencari jawaban atas apa yang

terjadi setelah seseorang meninggal. Kepercayaan-kepercayaan kuno mengatakan

adanya perjalanan yang ditempuh oleh orang yang telah meninggal setelah

peristiwa kematian. Di dalam agama-agama Abraham (Ibrahim)—Yahudi,

Kristen, dan Islam— kematian dipercaya sebagai awal mula kehidupan

selanjutnya setelah adanya kebangkitan tubuh jasmani.

1
Abdul Karim,“Makna ritual kematian dalam tradisi Islam jawa”, Jurnal
Pendidikan,Vol.12 No.2, (Desember 2017, h, 1 (Diakses tanggal 2 Oktober 2021).
2
Romi, ”Ritus Kematian Etnis Bugis di Karangantu Banten”, Skripsi (Banten:UIN
Banten,2019, h. 1.

1
Tradisi, dalam hal ini, terkait juga dengan interpretasi sebuah masyarakat

dalam melihat realitas untuk disikapi dengan keyakinan dan kepercayaan.Tradisi

terbentuk dari mitos, legenda, epos, sejarah nyata yang pernah terjadi, maupun

refleksi seorang tokoh atas kehidupan yang saat itu sedang menjadi persoalan.

Wujud tradisi itu sendiri sangat bermacam-macam. Mulai dari upacara

keagamaan, upacara pernikahan, upacara kematian, upacara kelahiran,perayaan

hari-hari tertentu, maupun tradisi dalam wujud kesenian. Biasanya, aneka macam

tradisi tersebut antara daerah yang satu dengan daerah lainnya memiliki pola yang

mirip, tetapi ada sedikit perbedaannya. Hal itu juga terkait dengan pengetahuan

yang ada di masyarakat tersebut dan memiliki dasar makna dan filosofi tersendiri.

Tradisi dalam suatu masyarakat untuk dilihat nilainya bisa ditinjau dari

peran dan fungsi dengan pendekatan antropologi. Beberapa nilai seperti nilai

religius, nilai moral, nilai edukatif, dan nilai spiritual yang ada di dalam tradisi

hanya bisa dilihat dan dikaji dalam bentuk manifestasi, yang kemudian

diinterpretasikan. Dalam pandangan se-macam ini, tradisi menjadi akses yang

terus ditempuh dari waktu ke waktu untuk menjaga keseimbangan dimensi

kosmos alam semesta.3

Ritual, jika diamati dan dianalisis, tidak hanya bersifat psikologis dan

mistis. Ritual melibatkan simbol-simbol tertentu baik dari sisi bahasa, gerak,

maupun perilaku ritual lainnya. Ritual memiliki makna yang hanya dapat

dipahami oleh orang yang mengerti akan maksud dan tujuan dari apa yang mereka

lakukan sekaligus juga memahami makna dan arti dari apa yang mereka lakukan.

Dalam hal ini, ritual merupaan ungkapan yang lebih bersifat logis daripada hanya

bersifat psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atau simbol-simbol yang

diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan, serta

3
Suwito,Agus Sriyanto,Arif Hidayat,”Tradisi dan Ritual Kematian Wong Islam Jawa”,
Jurnal Pendidikan, vol. 13, no 2, Juli-Desember 2015, h.3.

2
membentuk disposisi pribadi dari para pemuja mengikuti modelnya masing-

masing. Pengobjekkan ini penting untuk kelanjutan dan kebersamaan dalam

kelompok keagamaan.

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa perilaku atau tindakan ritual

merupakan sebuah elemen paling penting dalam kehidupan kultural masyarakat.

Bahkan, sebenarnya hampir tidak mungkin berpikir tentang sebuah kebudayaan

dimana tidak ada ritual di dalamnya. Dalam hal ini, Malory Nye berpendapat

bahwa sebagian besar perilaku ritual dilakukan secara tidak disadari

(direnungkan), keluar dari kebiasaan, bahkan tanpa memikirkan tentang apakah

ada makna dan tujuan dibalik tindakan ritual tersebut.4

Salah satu adat yang mendapat pengaruh Islam adalah adat kematian.

Kematian adalah suatu peristiwa yang tidak dapat diramalkan dan berada di luar

jangkauan pikiran manusia dalam Islam dijelaskan bahwa setiap yang bernyawa

pasti akan mengalami yang namanya kematian. Hal tersebut terdapat dalam QS

Al– Anbiya: 35

‫س َذاۤ ِٕى َقةُ الْ َم ْو ِتۗ َو َنْبلُ ْو ُك ْم بِالشَِّّر َواخْلَرْيِ فِْتنَةً ۗ َواِلَْينَا ُت ْر َجعُ ْو َن‬
ٍ ‫ُك ُّل َن ْف‬
Terjemahnya:
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-
benarnya).dan Hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.
Berdasarkan penjelasan dalam surat Al Anbiya ayat 35 tersebut, maka umat

muslim dapat memaknai bahwasanya waktu hidup manusia dan makhluk hidup

lainnya di dunia hanyalah sementara, sebab setiap yang bernyawa kelak akan

menemui kematian. Oleh karena itu, sebagai manusia yang masih diberi

kesempatan untuk hidup, maka kita haruslah memanfaatkan waktu hidup tersebut

sebaik mungkin sebelum Allah SWT menarik nikmat kehidupan di dunia tersebut.

4
R.romi,Skripsi:”Ritus Kematian Etnis Bugis di Karangantu Banten”,(Banten:UIN
Banten,2019), h. .23-24.

3
Dari sini penjelasan ini, manusia tak pantas untuk menyombongkan diri

dengan segala kelebihan yang ia miliki karena pada hakikatnya semuanya milik

Allah serta akan kembali kepada-Nya dan manusia akan diminta

pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang ia lakukan.5

Tradisi upacara kematian terkhusus di daerah Kabupaten Jeneponto

memperlihatkan suatu bentuk keunikan dan perbedaannya dengan daerah-daerah

yang lain didalam melaksanakan atau memperingati tiap orang yang meninggal.

Ada tradisi yang secara turun-temurun yang masih dipertahankan karena dianggap

adalah sesuatu yang sangat signifikan memberikan nilai yang bermakna bagi

semua orang dalam menyadari perjalanan spritualnya menuju kematian.

Tradisi yang dimaknai sebagai bentuk praktik kepercayaan nenek moyang

yang secara permulaan lahir sebelum Islam hadir sebagai ruang ultimatum bahwa

Islam merupakan Agama yang sangat universal dan holistik sehingga

memungkinkan bagi masyarakat untuk lebih mudah memahami Islam melalui

proses akulturasi Budaya dan Agama sebagai ruang menemu kenali substansi dari

tradisi tersebut.

Tradisi “Ammaca Kitta” (Membaca Kitab) di desa Jombe, Kecamatan

Turatea, Kabupaten Jeneponto adalah sebuah ritual yang sudah ada sejak zaman

nenek moyang sebagai implementasi ajaran Islam dalam memperingati tiap orang

yang mati dan menyampaikan pesan-pesan Al-Qur’an kepada semua manusia

yang masih hidup tekhusus pada masyarakat yang ada disekitarnya.

Ammaca Kitta biasanya dibacakan oleh seorang Imam atau tupanritayya

(Orang pintar) pada daerah tersebut selama beberapa malam dalam memperingati

orang yang berpulang sekaligus sebagai pengingat kepada yang masih hidup.

Kitab yang dibacakan pun adalah manuskrip dalam bentuk tulisan arab yang

5
Muhammad Afif Sholeh, “Tafsir Surat Al-Anbiya Ayat 35 Tentang Ujian Hidup”,
(Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah,2019),hal.1

4
berbahasa daerah seperti apa yang menjadi Bahasa keseharian di Desa Jombe,

Kecamatan Turatea, Kabupaten Jeneponto.

Tetapi di era globalisasi seperti hari ini muncul berbagai bentuk

kekhawatiran terhadap generasi baru yang hari ini yang kadang tak mampu untuk

kita pahami makna dari setiap Tradisi kearifan lokal yang ada dan pada akhirnya

sudah dianggap sebagai sesuatu yang tidak lagi relevan dengan hari ini.

Dari penjelasan di atas peneliti tertarik untuk menelaah lebih spesifik lagi

tentang tradisi Ammaca Kitta’ yang merupakan tradisi yang sangat jarang ditemui

pada daerah-daerah lain sehingga memungkinkan titik fokus yang lebih dalam

proses penelitiannya nanti.

B. Fokus Penelitian Dan Deskripsi Fokus

1. Fokus Penelitian

Penelitian ini berjudul “Ritual Ammaca Kitta’ Dalam Tradisi Upacara

Kematian Masyarakat Desa Jombe Kecamatan Turatea Kabupaten Jeneponto”.

Peneliti hanya memfokuskan pada telaah kritis tentang pengaruh signifikan

terhadap masyarakat pada tradisi upacara kematian di Desa Jombe Kecamatan

Turatea Kabupaten Jeneponto.

2. Deskripsi Fokus

Deskripsi fokus merupakan penegasan untuk menjabarkan variabel fokus

penelitian terkait batasan masalah yang akan diteliti, untuk menghindari terjadinya

penafsiran yang keliru maka perlu dijelaskan tentang variabel dari fokus

penelitian ini, yaitu:

a. Ritual

Ritual merupakan teknik (cara, metode) membuat suatu adat kebiasaan

menjadi suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial dan

5
agama, karena ritual merupakan agama dalam tindakan.6 Ritual bisa pribadi atau

berkelompok, serta membentuk disposisi pribadi dari pelaku ritual sesuai dengan

adat dan budaya masing-masing. Sebagai kata sifat, ritual adalah dari segala yang

dihubungkan atau disangkutkan dengan upacara keagamaan, seperti upacara

kelahiran, kematian, pernikahan dan juga ritual sehari-hari untuk menunjukan diri

kepada kesakralan suatu menuntut diperlakukan secara khusus.7

b. Ammaca Kitta’

Ammaca Kitta (Membaca Kitab) adalah sebuah ritual yang sudah ada

sejak zaman nenek moyang sebagai implementasi ajaran Islam dalam

memperingati tiap orang yang mati dan menyampaikan pesan-pesan Al-Qur’an

kepada semua manusia yang masih hidup tekhusus pada masyarakat yang ada

disekitarnya.

Dengan membaca kalam ilahi dalam bentuk Bahasa yang disesuaikan

dengan Bahasa sehari-hari yang ada didalam masyarakat dianggap sebagai sesuatu

yang lebih signifikan memberikan pengaruh dan jauh lebih menyentuh wilayah

kesadaran dalam memahami perjalanan spritualnya menuju sang Khaliq dan

senantiasa mengingat kematian.

c. Tradisi

Tradisi dalam kamus antropologi sama dengan adat istiadat, yakni

kebiasaan-kebiasaan yang bersifat magis-religius dari kehidupan suatu penduduk

asli yang meliputi mengenai nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum dan

aturanaturan yang saling berkaitan, dan kemudian menjadi suatu sistem atau

peraturan yang sudah mantap serta mencakup segala konsepsi sistem budaya dari

6
Mariasusai Dhavamony, Fenomologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h.167.
7
Bustanul Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 95.

6
suatu kebudayaan untuk mengatur tindakan sosial.8 Sedangkan dalam kamus

sosiologi, diartikan sebagai adat istiadat dan kepercayaan yang secara turun

temurun dapat dipelihara.9

d. Upacara Kematian

Upacara atau ritual secara umum dipahami sebagai ekspresi keagamaan

dalam wujud perilaku yang dijadikan sebagai media untuk berkomunikasi dengan

hal-hal yang gaib. Dalam tataran implementasi atau praktek ritual tersebut, tampil

beragam berdasarkan kepercayaan masing-masing sekaligus merupakan

karakteristik budaya komunitas tertentu. Sehubungan dengan upacara atau

perayaan keagamaan, Hiviland menjelaskan bahwa upacara merupakan sarana

untuk menghubungkan antara manusia dengan hal-hal keramat yang diwujudkan

dalam praktik (in action), karena itu, menurutnya upacara bukan hanya sarana

untuk memperkuat ingatan social kolompok dan mengurangi ketegangan, tetapi

juga suatu cara untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting.10

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa

sub-sub masalah sebagai berikut:

1. Apa saja makna yang terkandung di dalam Ritual Ammaca Kitta’ dalam

tradisi upacara kematian di Desa Jombe Kecamatan Turatea Kabupaten

Jeneponto?

8
Ariyono dan Siregar, Aminuddi. Kamus Antropologi, (Jakarta:Akademik Pressindo,
1985), h. 4.
9
Soekanto, Kamus Sosiologi. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1993), h. 459.
10
Andi Nasrullah, Skripsi ”Tradisi Upacara Adat Mappogau Hanua Karampuang di
Kabupaten Sinjai (Studi Kebudayaan Islam)”,(Makassar,Juni,2016), h. 30.

7
2. Bagaimana Prosesi pelaksanaan Ritual Ammaca Kitta dalam tradisi

upacara kematian di Desa Jombe Kecamatan Turatea Kabupaten

Jeneponto?

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka adalah usaha untuk menemukan tulisan yang berkaitan

dengan judul skripsi ini, dan juga merupakan tahap pengumpulan data yang tidak

lain tujuannya adalah untuk memeriksa apakah sudah ada penelitian tentang

masalah yang dipilih dan juga untuk membantu penulisan dalam menemukan data

sebagai bahan perbandingan agar supaya data yang dikaji itu lebih jelas. Dalam

pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa literature sebagai bahan

acuan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Diantara litertur yang penulis

pergunakan dalam menyusun skripsi ini, antara lain;

1. Zulkarnain dalam tesisnya “Tradisi Upacara Kematian: Suatu Studi

Antropologis Pada Masyarakat Jawa diTebing Tinggi (2017).”

menjelaskan bahwa upacara kematian adalah salah satu tradisi yang

masih sering dilakukan oleh masyarakat jawa, selain dari upacara lain

seperti menyambut kelahiran dan perkawinan. upacara kematian

merupakan ritual yang telah dilaksanakan secara turun temurun oleh

masyarakat jawa sebagai wujud dari penghormatan kepada para arwah,

juga sebagai wujud bantuan dari keluarga yang hidup agar arwah tenang

dan dapat diterima Tuhan YME. upacara adat kematian dapat bertahan

ditengah masyarakat jawa tidak terlepas dari faktor pemahaman

keagamaan yang dianut sebagian besar masyarakat jawa yaitu paham

kaum tua. keyakinan bahwa doa dan pahala yang disampaikan oleh orang

yang masih hidup kepada yang sudah meninggal akan sampai kepada si

mayit membuat tradisi upacara kematia tetap bertahan meskipun dengan

8
berbagai macam perbedaan. paham kaum tua membuka diri terhadap

norma adat sehingga dalam pelaksanaan sunatan, mengayunkan dan

perkawinan selalu diiringi tepung tawar.11

2. Lisa Zuana menjelaskan dalam skripsinya dengan judul “Tradisi Reuhab

dalam masyarakat Gampong Kota Aceh (Studi kasus kecamatan

Seunangan Kabupaten Nagan Raya)”, menjelaskan diantara tradisi yang

telah mengakar ditengah-tengah masyarakat seunangan adalah upacara

kematian, dimana terdapapat suatu tata cara yang sering dilakukan oleh

masyarakat yaitu, jika seseorang meninggaldunia maka dilakukan

upacara-upacara mulai dari hari pertama, proses pemakaman, sehingga

selesai pemakaman. 12

3. Skripsi Saenal Abidin yang berjudul upacara adat kematian di

Kecamatan Salomekko Kabupaten Bone. Penelitian tersebut membahas

mengenai adat kematian di Salomekko sebelum Islam dan setelah Islam

masuk san dianut oleh masyarakat Salomekko. Penelitian ini berfokus

pada sejarah adat kematian di Salomekko dan meninjau upacara adat

kematian dari segi adat, budaya dana agama. Penduduk di Kecamatan

Salomekko beragama Islam, tapi hanya sebagian saja yang taat

melaksanakan ajaran Islam, pengaruh Islam dalam adat kematian masih

cukup terasa dikalangan masyarakaat Salomekko, pelaksanaan upacara

kematian di Salomekko masih dirangkaian dengan kebiasaan lama

mereka yang sulit untuk dihilangkan oleh masyarakat Salomekko. Dalam

penelitian ini tidak menjelaskan secara detail pelaksanaan upacara adat

11
Zulkarnain, “Tradisi Upacara Kematian: Suatu Studi Antropologis Pada Masyarakat
Jawa di Tebing Tinggi”. Tesis (Medan: Program Studi Antropologi Sosial, Program Pasca Sarjana
Universitas Negeri Medan, 2017), h. 12.
12
Lisa Zuana, “Tradisi Reuhab dalam masyarakat Gampong Kota Aceh (Studi kasus
kecamatan Seunangan Kabupaten Nagan Raya)”Skripsi(Banda Aceh:UINAr-Raniry, 2018),h.3.

9
kematian terutama pada peringatan hari kematian. Hal tersebut yang akan

membedakan dengan penelitian ini nantinya yang akaan membahas lebih

mendalam terutama pada peringatan hari kematian. 13

4. Ari Abi Aufa dalam Jurnalnya dengan judul “Memaknai kematian dalam

upacara adat kematian dijawa”. Menjelaskan ritual kematian, dalam

tradisi jawa, merupakan bentuk penghormatan yang diberikan oleh yang

hidup terhadap yang mati, diiringi dengan doa-doa untuk kebaikan sang

jenazah sekaligus pengingat bagi yang hidup bahwa suatu saat akan

mengikuti jejaknya. ritual ini biasanya berlangsung selama beberapa hari

dan terus dilakukan dalam durasi beberapa tahun setelahnya.14

Penelitian-penelitian tersebut telah banyak menambah wawasan

pengetahuan khususnya kepada peneliti mengenai upacara adat kematian

dibeberapa daerah dan sangat membantu dalam penelitian ini nantinya. Akan

tetapi penelitian kali tidak hanya mengkaji tentang upacara kematian secara umum

saja tetapi penelitian kali ini akan lebih mencoba menganalisis lebih spesifik

terhadap Ritual Ammaca Kitta’ di dalam Upacara kematian yang ada di daerah

Kabupaten Jeneponto yang sama sekali tidak pernah dibahas oleh para peneliti

sebelumnya.

Penelitian ini juga bertujuan untuk menghormati Sang Pencipta Tuhan

yang Esa dan para leluhurnya, sekaligus juga sebagai wujud dalam melestarikan

budaya dari generasi ke generasi yang lain. Selain itu, sebagai bentuk keselamatan

keluarga serta dirinya sendiri dalam ruang lingkup sosial.

13
Saenal Abidin,”Upacara Adat Kematian di Kecamatan Salomekko Kabupaten Bone”,
Skripsi (Makassar,15 Desember 2010).
14
Ali Abi Auf, "Memaknai Kematian Dalam Upacara Kematian di Jawa”, Jurnal
Humaniora,vol.2 No.1 (Diakses pada tanggal 12 Oktober 2021).

10
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dengan rumusan masalah tersebut maka dapat ditetapkan tujuan

penulisannya sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam Tradisi “Ammaca Kitta”

dalam upacara kematian di Desa Jombe Kecamatan Turatea Kabupaten

Jeneponto.

b. Untuk mengetahui pandangan masyarakat dalam Tradisi “Ammaca Kitta”

pada upacara adat kematian di Desa Jombe Kecamatan Turatea Kabupaten

Jeneponto.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian dalam penulisan draft ini adalah sebagai

berikut:

a. Kegunaan Ilmiah

Penelitian diharapkan dapat berguna dalam pengembangan ilmu

pengetahuan khususnya dalam bidang kajian budaya dan tradisi dan dapat menjadi

bahan rujukan bagi kepentingan ilmiah dan praktis lainnya, serta dapaat menjadi

langkah awal bagi penelitian serupa didaerah-daerah lain.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat mengajak masyarakat

khususnya di Desa Jombe untuk lebih menjaga dan melestarikan budaya yang

dimiliki sehingga dapat dinikmati oleh generasi selanjutnya.

11
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Sejarah Penyebaran Islam di Konfederasi Turatea Abad XVII

Pada masa awal beberapa kerajaan besar Sulawesi Selatan terbentuk

melalui konsep tomanurung untuk melebur bentuk konfederasi menjadi satu

kesatuan pemerintahan berbentuk kerajaan dengan mengangkat dan menobatkan

tokoh awal yang diberi predikat tomanurung (secara harfiah berarti “orang yang

diturunkan”) itu sebagai raja pertama. Hal itu terjadi bagi kerajaan-kerajaan

seperti Gowa, Bone, Soppeng, Marusu, Bantaeng, Sinjai dan lainnya. Sementara

yang lainnya merupakan proses dari kedudukan sebagai ketua konfederasi yang

kemudian menjadi jabatan pewarisan sebagai kelompok memegang kendali politik

utama konfederasi itu sehingga meleburnya menjadi bentuk kerajaan. Model ini

berlaku untuk Jeneponto dan Kerajaan Wajo.

Ajaran Islam mulai dikenal secara resmi di wilayah Makassar sekitar tahun

1500- an, pada masa Raja Gowa ke IX bernama Daeng Mantanra Karaeng

Manguntungi Tumapa’risika Kallonna. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan

adanya Masjid yang dibangun pertama kali di daerah Manggalekanna tahun 1538

M.15

Dalam sejumlah literatur sejarah sebagaimana yang diutarakan, didapatkan

informasi bahwa secara khusus Islamisasi di Sulawesi Selatan tidak dapat

dipisahkan dari peran utama tiga mubalig yang ditugaskan untuk menyebarkan

agama Islam, yaitu dari Minangkabau Sumatera Barat yang terkenal di kalangan

masyarakat Bugis “Datu Tellue”. Mereka ini adalah: Abdul Kadir Datuk Tunggal

dengan panggilan Datuk ri Bandang, Sulung Sulaeman yang digelar Datuk


15
Eka Yuliana Rahman, “Sejarah Penyebaran Islam di Konfederasi Turatea Abad XVII
(Tinjauan Sistem Pemerintahan dan Religi)”, Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol.9 No.1 (Diakses
Januari 2020), 2
Patimang, dan Khatib Bungsu yang digelar Datuk ri Tiro. Ketiga ulama ini

berbagi tugas wilayah dalam melakukan kegiatan penyebaran Islam. Datuk ri

Bandang bertugas di kerajaan kembar Gowa-Tallo, Datuk Patimang bertugas di

Kerajaan Luwu, dan Datuk ri Tiro bertugas di daerah Tiro Bulukumba. Islamisasi

di Sulawesi Selatan dilakukan dengan strategi mengislamkan penguasa kerajaan,

dan sangat terlihat strategi ini berhasil dan masif. Jika agama sebelumnya seperti

Hindu dan Budha di Sulawesi Selatan tidak berkembang sebesar Islam, salah satu

faktornya bisa karena bentuk penyebaran agama dilakukan. Namun menariknya,

kedatangan Islam di daerah Gowa, selanjutnya menjadi agama resmi kerajaan

tersebut, ternyata telah diawali oleh beberapa penguasa lokal yang disebut sebagai

konfederasi Turatea yang menjadikan Islam sebagai agama yang dianut.16

Konfederasi Turatea sendiri merupakan perhimpunan tiga kerajaan di

Sulawesi Selatan yang meliputi Kerajaan Binamu, Kerajaan Bangkala dan

Kerajaan Laikang (Takalar sekarang). Ketiga kerajaan tersebut mempunyai sistem

pemerintahan sendiri dan menjalin hubungan dengan kerajaan besar yakni

Kerajaan Gowa- Tallo juga Kerajaan Bone.

Kerajaan Gowa- Tallo menjadikan Islam agama kerajaan, penguasa

(bangsawan) dan rakyat Konfederasi Turatea telah menganut Islam. Dikisahkan

bahwa Sayid Jalaluddin Al Aidid yang mengawali perjalanan syiar Islamnya dari

Aceh singgah di Kutai. Ketika itu ia berjumpa dengan seorang bangsawan Binamu

yang berhasil diajak untuk menganut ajaran Islam, ia kemudian melamar putri

bangsawan itu dan menikahinya.

Kedatangan Islam di Sulawesi Selatan tentunya bukan hanya membawa

ajaran ideologi semata tetapi juga adat kebiasaan, kesenian, bahasa, tulisan dan

16
Eka Yuliana Rahman, “Sejarah Penyebaran Islam di Konfederasi Turatea Abad XVII
(Tinjauan Sistem Pemerintahan dan Religi)”, Jurnal Pendidikan Sejarah, vol.9 no.1 (Diakses
Januari 2020), 3

13
unsur budaya lainnya, yang disebut dengan kebudayaan Islam. Pada proses

Islamisasi tersebut, terdapat percampuran kebudayaan. Sebagaimana diketahui

sebelum datangnya budaya Islam di Sulawesi Selatan sudah ada kebudayaan

prasejarah, termasuk juga kepercayaan animisme dan dinamisme. Pengaruh

Hindu-Budha juga turut berakulturasi dengan kepercayaan sebelumnya, beberapa

kepercayaan tercampur dalam bentuk sinkretisme.17

Hanya sedikit yang diketahui tentang sejarah kerajaan Bangkala atau

Binamu karena belum banyak yang telah diteliti dengan baik oleh para arkeolog.

Meskipun demikian proses rekonstruksi sudah dimungkinkan, setidaknya pada

bagian tertentu yaitu asal usul dan perkembangan awal melalui sumber-sumber

diantaranya tulisan lontara yaitu sebuah naskah tradisional yang ditulis

menggunakan bahasa Bugis dan Makassar juga tradisi lisan terkini masyarakat

Jeneponto.

Salah satu sumber primer yang digunakan untuk membantu

mengungkapkan eksistensi Islam di konfederasi Turatea abad XVII serta

memperlihatkan bentuk sinkretisme yang terjadi misalnya pada daerah Binamu

dan Bangkala saat ini menjadi kecamatan di kabupaten Jeneponto yakni

mempunyai beberapa titik situs kompleks makam raja. Diantaranya Kompleks

Makam Kalimporo, Makam Karaeng Labbua Tali Bannanna, kompleks Makam I

Maddi Daeng Rimakka, Kompleks Makam Bataliung, Kompleks Makam

Manjang Loe, Kompleks Makam Joko, Kompleks Makam Sapanang, Makam

Patima Daeng Ti’no. Temuan arkeologis dimulai dari bentuk makam dan susunan

17
Eka Yuliana Rahman, “Sejarah Penyebaran Islam di Konfederasi Turatea Abad XVII
(Tinjauan Sistem Pemerintahan dan Religi)”, Jurnal Pendidikan Sejarah, vol.9 no.1 (Diakses
Januari 2020), 4

14
batu makam yang bersusun keatas, yang menjelaskan semakin tinggi tingkatannya

menunjukkan derajat kepemimpinannya.18

Catatan mengenai pertemuan tokoh agama dengan petinggi kerajaan

Binamu yaitu Paddewakkang Daeng Rangka, menujukkan masyarakat Turatea

senantiasa memandang penguasanya sebagai elit lokal atau figur panutan. Apa

yang dipandang baik dan benar pasti akan diterima juga oleh rakyatnya. Hal ini

yang mendasari sehingga proses syiar Islam di daerah ini diawali dengan

mengajukan kepada penguasa, jika penguasa menerima ajakan untuk menjadi

penganut Islam maka rakyatnya pasti dengan senang hati ikut menganut ajaran itu.

Itulah sebabnya proses syiar Islam di daerah ini dinyatakan sebagai proses

Islamisasi, penguasa ikut berperan mendorong penganjur ajaran agama Islam

untuk menyiarkan kepada rakyatnya. Menurut penulis pola distribusi kekuasaan

yang berpusat pada figur sebagai penguasa lokal merupakan sarana paling ampuh

menyebarkan ajaran agama.

Penerimaan ajaran Islam dibeberapa tempat di Nusantara secara umum

memiliki pola yang serupa, yakni: (1) Islam diterima lebih dahulu oleh

masyarakat lapisan bawah, kemudian berkembang dan diterima oleh lapisan atas

atau elit penguasa kerajaan dan (2) Islam diterima langsung oleh elit penguasa

kerajaan kemudian disosialisasikan dan berkembang kepada masyarakat bawah.

Keberhasilan syiar Islam memperlihatkan adanya pola top down, yaitu: Islam

awalnya diterima langsung oleh Raja, kemudian turun ke bawah yaitu rakyat.

Artinya, Setelah raja menerima agama Islam dan menjadikannya sebagai agama

18
Eka Yuliana Rahman. “Sejarah Penyebaran Islam di Konfederasi Turatea Abad XVII
(Tinjauan Sistem Pemerintahan dan Religi)”. Jurnal Pendidikan Sejarah. vol.9 no.1 (Diakses
Januari 2020), h.7

15
Negara, maka otomatis seluruh rakyat kerajaan akan mengikuti raja yang

memeluk agama tersebut.19

1. Transformasi kebudayaan era Islam pada Masyarakat Turatea

Setelah masuknya ajaran Islam di Turatea turut mempengaruhi sistem

norma dan aturan-aturan adatnya. Hal ini terlihat pada unsur

pangadereng/pangadakkang sebuah tata nilai tradisi yang sudah lama ada,

bertambah satu yakni adanya unsur sara' yang dikaitkan dengan syariat Islam di

tatanan sosial-budaya masyarakat Sulawesi Selatan. Penambahan nilai baru dalam

sebuah kebudayaan berpotensi adanya akulturasi dan memungkinkan terjadinya

sinkretisme pada masyarakat. Hal ini disebabkan karena unsur kebudayaan yang

ada tidak dihilangkan sampai habis tetapi berusaha disinkronkan dengan

kebudayaan asing yang datang.

Budaya, tradisi, dan adat istiadat bersifat relatif karena ia merupakan

produk manusia melalui proses alami yang tidak mesti selaras dengan ajaran

Ilahiah. Terjadinya akulturasi budaya dalam lingkungan masyarakat bahwasanya

proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan

tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing dengan sedemikian

rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah

ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian

kebudayaan itu sendiri. Adanya unsur religi baru masuk yakni Islam,

memungkinkan terjadinya sinkretisme dalam kehidupan sosial budaya masyarakat

Bugis-Makassar. Hal ini disebabkan karena sebelum datangnya Islam, masyarakat

telah menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme juga terpengaruh dengan

hindu-budha yang sulit dihilangkan. Sinkretisme menciptakan suatu yang baru

19
Eka Yuliana Rahman, “Sejarah Penyebaran Islam di Konfederasi Turatea Abad XVII
(Tinjauan Sistem Pemerintahan dan Religi)”, Jurnal Pendidikan Sejarah, nol.9 no.1 (Diakses
Januari 2020), h. 12

16
dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa

kepercayaan untuk dijadikan bagian integral dari kepercayaan baru tersebut.

Percampuran kepercayaan tersebut dapat ditelusuri melalui wujud budaya

yang bersifat artefaktual dan non artefaktual. Percampuran budaya dan

perkembangannya, dapat dilihat dari peninggalan arkeologisnya seperti pada

makam, masjid dan naskah kuno berupa aksara serang, (Aksara serang adalah

aksara yang menggunakan aksara Arab, namun bahasa yang dipergunakan adalah

bahasa Bugis-Makassar.) hal yang paling menonjol adalah peninggalan makam.

Hal ini disebabkan karena makam merupakan bagian dari proses ritual dan

tingkah laku sosial sebagai bagian dalam siklus kehidupan manusia. Selain itu,

makam juga sebagai media untuk pengungkapan ekspresi manusia terhadap hal-

hal yang dipahaminya yang berkaitan dengan penghormatan leluhur.

Proses transformasi kebudayaan dari pra-Islam menuju Islam telah

mengambil porsi pada pembuatan makam Islam dengan beragam atributnya,

termasuk yang terdapat di kompleks makam-makam raja Binamu.20

Tranformasi kebudayaan tidak lantas mengubah semua tatanan lama.

Islamisasi pada Konfederasi Turatea dan di wilayah Indonesia pada umumnya

dimungkinkan memperlihatkan corak yang serupa. Konsep alkurturasi

memperlihatkan adanya ikatan yang kuat antara kebudayaan pra Islam dan

kebudayaan Islam. Bertemunya nilai kebudayaan lama dengan kebudayaan baru

selayaknya dipandang sebagai kekayaan budaya yang berpotensi untuk dirawat

dan dilestarikan sebagai keragaman dan harmoni budaya nusantara.

20
Eka Yuliana Rahman, “Sejarah Penyebaran Islam di Konfederasi Turatea Abad XVII
(Tinjauan Sistem Pemerintahan dan Religi)”, Jurnal Pendidikan Sejarah, vol.9 no.1 (Diakses
Januari 2020), h. 19

17
B. Ritual

Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat

yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama. Yang ditandai dengan adanya

berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat

dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta orangorang yang

menjalankan upacara.21

Pada dasarnya ritual adalah rangkaian kata, tindakan pemeluk agama

dengan menggunakan benda-benda, peralatan dan perlengkapan tertentu,

ditempat tertentu dan memakai pakaian tertentu pula. 22 Begitu halnya dalam ritual

upacara kematian, banyak perlengkapan, benda-benda yang harus dipersiapkan

dan dipakai.

Ritual merupakan teknik (cara, metode) membuat suatu adat kebiasaan

menjadi suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial dan

agama, karena ritual merupakan agama dalam tindakan.23 Ritual bisa pribadi atau

berkelompok, serta membentuk disposisi pribadi dari pelaku ritual sesuai dengan

adat dan budaya masing-masing. Sebagai kata sifat, ritual adalah dari segala yang

dihubungkan atau disangkutkan dengan upacara keagamaan, seperti upacara

kelahiran, kematian, pernikahan dan juga ritual sehari-hari untuk menunjukan diri

kepada kesakralan suatu menuntut diperlakukan secara khusus.24

Ritual dibedakan menjadi empat macam, yaitu :

21
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), h.
56
22
Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2001), h. 41
23
Mariasusai Dhavamony, Fenomologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 167.
24
Bustanul Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 95.

18
a. Tindakan magis, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang

bekerja karena daya-daya mistis.

b. Tindaka religius, kultur para leluhur juga bekerja dengan cara ini.

c. Ritual konstitutif, yang mengugkapkan atau mengubah hubungan sosial

dengan merujuk pada pengertian mistis, dengan cara ini upacaraupacara

kehidupan menjadi khas.

d. Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan pemurnian

dan perlindungan atau dengan cara meningkatkan kesejahteraan materi suatu

kelompok.

Tujuan Ritual dalam antropologi, dimaknai sebagai aktifitas untuk

mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, agar mendapatkan berkah atau rizki

yang banyak dari suatu pekerjaan, seperti upacara sakral ketika akan turun

kesawah, ada yang untuk menolak bahaya yang telah atau diperkirakan akan

datang, ritual untuk meminta perlindungan juga pengampunan dari dosa ada ritual

untuk mengobati penyakit, ritual karena perubahan atau siklus dalam kehidupan

manusia. Seperti pernikahan, mulai dari kehamilah, kelahiran, kematian dan ada

pula upacara berupa kebalikan dari kebiasaan kehidupan harian, seperti puasa

pada bulan atau hari tertentu, kebalikan dari hari lain yang mereka makan dan

minum pada hari tersebut. Memakai pakaian tidak berjahit ketika berihram haji

atau umrah adalah kebalikan dari ketika tidak berihram25.

Dalam setiap ritual penerimaan, ada tiga tahap, yaitu perpisahan, peralihan

dan penggabungan. Pada tahap persiapan, individu dipisahkan dari suatu tempat

atau kelompok atau status. Dalam setiap peralihan, ia disucikan dan menjadi

subjek bagi prosedur-prosedur perubahan. Sedangakan prosedur pada masa

penggabungan ia secara resmi ditempatkanpada suatu tempat, kelompok atau

25
Bustanul Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia ( Raja Grafindo Persada, 2006), h.
96-97.

19
status yang baru. Ritual penrimaan cenderung dikaitkan dengan krisis-krisis

hidup individu - individu, mereka mengajukan pendapat untuk menambahkan

suatu katagori baru, namun mirip secara fundamental, yakni ritual intensifikasi.

Ini merupakan lebih dari pada individu yang terpusat meliputi upacaupacara

seperti tahun baru, yang mengantisipasi akhir musim dingin dan permulaan

musim semi, serta ritual-ritual perburuan dan pertanian, serta ketersediaan buruan

dan panenan.26.

Ritual dipraksiskan di dalam masyarakat didasarkan kepada kepercayaan

dan agama yang dianutnya.

C. Tradisi

Masuknya Islam di Sulsel tidak menjumpai ruang yang kosong dari

kebudayaan. Masyarakat Sulsel sebelumnya sudah memiliki apa yang disebut

kebudayaan dan kepercayaan yang telah diamalkan secara turun temurun dari

zaman nenek moyang. Budaya Sulsel bersifat unik dan khas, karena berbeda

dengan budaya di daerah jawa dan Sumatera yang cukup kental dengan pengaruh

Sansekerta (India) maupun budaya Cina (untuk Sumatera) serta agama Hindu dan

Buddha. Budaya Sulsel masih menampakkan keoriginalannya sebagai budaya

yang lahir dari masyarakat pribumi yang tidak terlalu mendapatkan pengaruh dari

budaya luar. Diterimanya Islam pada masyarakat Sulsel, maka beberapa sendi

kehidupan masyarakat mengalami warna baru. Hal ini dapat dilihat dalam pola-

pola sosial, sistem budaya, dan bahkan birokrasi kepemimpinan yang mengalami

perubahan. Kedatangan Islam memunculkan pemahaman baru bahwa Islam

datang untuk menguatkan adat yang baik dan merombak adat yang tercela.

Seluruh sendi kehidupan pribadi dan sosial masyarakat, sedikit-banyaknya

mengalami persentuhan dan pengaruh ajaran Islam.


26
Bustanul Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 120.

20
Tradisi adalah kebiasaan yang diwariskan dari suatu generasi kegenerasi

berikutnya secara turun-temurun, mencakup berbagai nilai budaya yang meliputi

adat istiadat, sistem kepercayaan, dan sebagainya, kata tradisi berasal dari bahasa

Latin “tradition” yang berarti diteruskan. Dalam pengertian yang paling

sederhana, tradisi diartikan sebagai sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama

dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. 27 Dalam

pengertian tradisi ini, hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya

informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering

kali) lisan oleh karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.

Tradisi merupakan sebuah persoalan dan yang lebih penting lagi adalah

bagaimana tradisi tersebut terbentuk. Menurut Funk dan Wagnalls seperti yang

dikutip oleh Muhaimin tentang istilah tradisi di maknai sebagai pengatahuan,

doktrin, kebisaaan, praktek dan lain-lain yang dipahami sebagai pengatahuan

yang telah diwariskan secara turun-temurun termasuk cara penyampaian doktrin

dan praktek tersebut.28

Dari penjelasan di atas secara implisit menjabarkan bahwa ada nilai yang

sangat fundamental yang dapat dipetik dalam menelaah makna yang terkandung

disetiap bentuk kebiasaan yang dilakukan yang bernuansa kebudayaan yang erat

kaitannya dengan Agama.

Perkembangan budaya Islam tidak menggantikan atau memusnahkan

kebudayaan yang sudah ada di Idnonesia. Karena kebudayaan yang berkembang

di nusantara sudah begitu kuat di lingkungan masyarakat. sehingga terjadi

akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan yang sudah ada.

D. Upacara Kematian
27
Nur Syam, Islam pesisir, Yogjakarta: Lkis Pelangi Aksara, 2005, h.16-18.
28
Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal (Ciputat: Logos Wacana Ilmu,
2001), h. 11.

21
Upacara adalah salah satu tradisi masyarakat tradisional yang masih

memiliki nilai yang cukup relevan bagi kebutuhan masyarakat pendukungnya.

Upaacara yang dilakukan sebagai bentuk perwujudan kemampuan manuasia

untuk menyesuaikan diri dengan alam lingkungan. Hubungan antara alam dan

manusia adalah sebuah keharusan yang tidak dapat ditolak, karena hubungan

tersebut memiliki nilai nilai sakral yang dianggap memiliki nilai yang sangat

tinggi. Hal ini diungkapkan dalam personifikasi mistik kekuatan alam, yakni

kepercayaan pada makhluk gaib, kepercayaan pada arwah leluhur, atau dengan

mengkonseptualisasikan hubungan antara berbagai kelompok sosial sebagai

hubungan antara binatang-binatang, burung-burung, atau kekuatan-kekuatan

alam.29

Upacara erat kaitannya dengan ritual-ritual keagamaan atau disebut juga

dengan ritus. Ritus adalah alat manusia religius untuk melakukan perubahan. Ia

juga dikatakan sebagai simbol agama, atau ritual itu merupakan “agama dan

tindakan”.30 Ritual keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat berdasarkan

kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya, kepercayaan seperti inilah yang

mendorong manusia untuk melakukan berbagai perbuatan atau tindakan yang

bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib penguasa alam melalui ritual-

ritual, baik ritual keagamaan (religious ceremonies) maupun ritual-ritual adat

lainnya yang dirasakan oleh masyarakat sebagai saat-saat genting, yang bias

membawa bahaya gaib, kesengsaraan dan penyakit kepada manusia maupun

tanaman.31

29
Zayadi Hamzah, Islam dalam Perspektif Budaya Lokal (Yogyakarta: Madani Press,
1992), h.131.
30
Munawir Abdul Fatah, Tradisi Orang-Orang NU (Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi
Aksara, 2006), h. 267.
31
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984),h.243-246.

22
Kepercayaan ini telah menjadi tradisi dan menjadi bagian dari kehidupan

sehari-hari sebagian besar masyarakat karena telah diwariskan secara turun-

temurun oleh nenek moyang mereka kepada generasi berikutnya.32

Ritual dan sistem kepercayaan merupakan salah satu unsur kebudayaan

yang bisa dihampiri dalam setiap kelompok masyarakat di dunia. Ritual

keagamaan merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan yang

keramat, inilah agama dalam praktek ritual bukan hanya sarana yang memperkuat

ikatan sosial kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi juga suatu cara untuk

merayakan peristiwa-peristiwa penting, dan yang menyebabkan krisis seperti

kematian, tidak begitu mengganggu bagi masyarakat, dan bagi orang-orang yang

bersangkutan lebih ringan untuk diderita.33

Kematian adalah keniscayaan yang tidak terelakkan, bisa dirasakan oleh

manusia kapan saja di sepanjang kehidupannya. Kematian merupakan sesuatu

yang penuh misteri sehingga banyak tinjauannya apabila dilihat dari pendekatan

ilmiah, salah satu kajiannya adalah melalui tinjauan psikologi qur’ani. Sebagai

suatu ilmu pengetahuan empiris psikologi terikat pada pengalaman duniawi,

justru jika dikaitkan dengan ilmu agama berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits

maka ilmu pengetahuan itu menjadi bermakna atau bermanfaat bagi kehidupan di

dunia dan di akhirat kelak. Dalam pendekatan psikologi qur’ani, kematian

dipandang sebagai peristiwa yang ghaib dialami oleh setiap insan yang hidup

pasti mengalami kematian ataupun wajib merasakan peristiwa kematian.

Psikologi qur’ani dapat mempelajari bagaimana sikap dan pandangan manusia

terhadap masalah kematian, bagaimana psikis manusia disaat-saat menjelang

peristiwa kematian (sakratul maut). Kepercayaan manusia terhadap kematian

merupakan salah satu motivasi manusia beragama. Boleh dikatakan bahwa


32
M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011),h.16.
33
Soekadijo, Antropologi. Jilid 2.(Jakarta: Erlangga, 1993), h.207

23
adanya kematian atau mengingat mati merupakan dasar manusia untuk

beragama.34

Upacara kematian juga mengandung nilai-nilai budaya yang dapat

dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bersama dan bekal kehidupan di

kemudian hari. Nilai-nilai itu antara lain kegotong-royongan, kemanusiaan, dan

religius. Bahwa berkaitan dengan konsep kematian mengatakan bahwa kematian

adalah sebagai proses penyucian terhadap dosa-dosa yang tidak bisa kita

bersihkan sepanjang hidup kita.35

Maksudnya dengan adanya kematian tersebut manusia akan kembali lagi

pada proses pensucian. Dan hasilnya setelah kita meninggal dunia, masih banyak

dosa-dosa kita yang belum terputihkan ketika di dunia, baik oleh taubat maupun

musibah. Karena itu dari kasih sayang Allah Swt maka Tuhan melakukan lagi

proses pembersihan. Hanya saja proses pembersihan itu tidak lagi berasal dari

amal kita. Sebab setelah mati, putuslah segala amalnya. Menurut Ibn Qayyim,

pada waktu mati ada proses pembersihan terhadap diri kita. Ialah, sakitnya pada

saat sakaratul maut. Ia menjadi penebus dari beberapa dosa. Perbuatan dosa yang

paling besar pada sakitnya sakaratul maut adalah berbuat dzalim terhadap sesama

hamba Allah dan menyakiti hati orang lain.36

Kematian adalah sesuatu yang pasti, maka upacara sebagai bentuk

momentum dalam memahami dan menyadari makna perjalanan spritual agar tak

lalai oleh fana kehidupan dunia. Upacara kematian dilakukan untuk menghormati,

mendoakan, dan berkhidmat terhadap orang yang meninggal agar dalam proses

34
Miskahuddin,”Kematian dalam Persepektif Psikologi Qur’ani”, Jurnal Vol.16, No.1,
Januari 2019, h. 1.
35
K.H. Jalaluddin Rahmat, Memaknai Kematian (Bandung: Pustaka II Man, 2006),15.
36
K.H. Jalaluddin Rahmat, Memaknai Kematian, h. 22.

24
perjalanan spritualnya mendapatkan ridho sang pencipta berangkat dari harapan-

harapan yang dilantunkan oleh orang yang masih hidup melalui upacara tersebut.

25
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Lokasi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis Penilitian yang digunakan penulis adalah penelitian kualitatif yang

lebih dikenal dengan istilah naturalisme inquiry (ingkuri alamiah). 37 penelitian

kualitatif adalah penelitian yang tidak mengadakan perhitungan dengan

angkaangka, karena penelitian kualitatif adalah penelitian yang memberikan

gambaran tentang kondisi secara faktual dan sitematis mengenai faktor-faktor,

sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang dimiliki untuk melakukan

akumulasi dasardasarnya saja.38 Pandangan lain menyatakan bahwa penelitian

kualitatif adalah penelitian untuk melakukan eksplorasi dan memperkuat prediksi

terhadap suatu gejala yang berlaku atas dasar data yang diperoleh di lapangan.

2. Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian adalah bertempat di Desa Jombe Kecamatan

Turatea Kabupaten Jeneponto.

B. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan-pendekatan sebagai berikut:

1. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam

memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian

agama baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan

jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup

37
Lexy. J. Moleog, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosdakarya, 2001), h. 3.
38
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2001), h. 1.
bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang

menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup

bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan perserikatan

hidup itu serta pula kepercayaan, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada

cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.

Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan

masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya

yang saling berkaitan. Dengan ilmu sosiologi suatu fenomena sosial dapat

dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas

sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.

Pendekatan penelitian sosiologis digunakan untuk menemukan solusi atau

kemungkinan terbaik dalam memecahkan masalah sosial. Digunakan untuk

menganalisis gejala sosial yang terjadi dimasyarakat. Di samping itu digunakan

untuk mendapatkan gambaran sebab-akibat suatu fenomena, kebijakan sosial,

perubahan sosial maupun dalam rana tradisi kebudayaan.39

2. Pendekatan Antropologis

Antropologi dalam bahasa Yunani terdapat dua kata yaitu, anthropos

berarti manusia dan logos berarti studi. Jadi, antropologi merupakan suatu studi

disiplin ilmu yang berdasarkan rasa ingin tahu yang tiada henti-hentinya tentang

makhluk manusia. Antropologi secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu

yang mempelajari tentang masyarakat dan kebudayaan. Kebudayaan itu sendiri

adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin manusia. Maka antropologi adalah ilmu

tentang manusia khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat

istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau.40

39
M. Arif Khoiruddin, “Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam”,Jurnal Pendidikan,
Volume 25 No.2 (September 2014), h.394
40
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), h.83.

27
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji

masalah manusia dan budayanya. Ilmu ini bertujuan untuk memperoleh suatu

pemahaman totalitas manusia sebagai makhluk hidup, baik di masa lampau

maupun masa sekarang. Antropologi itu tidak lebih dari suatu usaha untuk

memahami keseluruhan pengalaman sosialnya. juga menggambarkan suatu bagian

sejarah daerah manusia itu, lingkungan hidup, cara kehidupan keluarga, pola

pemukiman, sistem politik dan ekonomi, agama, gaya kesenian dan berpakaian,

segi-segi umum bahasa, dan sebagainya. Maka hasil maksimum yang diperoleh

dari antropologi adalah fenomena yang menunjukkan adanya Tuhan.41

Pendekatan penelitian antropologis digunakan untuk mencapai pengertian

dan pandangan di berbagai masyarakat tentang pola perilaku manusia dalam

kehidupan masyarakat secara universal dan memahami masyarakat dan

kebudayaannya.

C. Sumber Data

Adapun sumber data dalam penelitian ini dapat diklasfikasi kedalam jenis

sebagai berikut:

1. Sumber Data Primer

Sumber data primer yang dimaksud adalah catatan hasil wawancara yang

diperoleh langsung dari narasumber, yang terdiri dari beberapa informan yang

meliputi: Kepala Desa, suami atau istri yang bersangkutan, orang-orang sekitar

atau tetangga, Tokoh pemuda dan Tokoh Agama.

41
Koentjaraningrat, Budi Santoso, Kamus Istilah Antropologi ( Jakarta : Balai Pustaka,
1978/1979), h. 10.

28
2. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yang dimaksud yaitu: pustaka yang memiliki

relavansi dalam menunjang penelitian ini, dapat berupa: buku, majalah, koran,

internet, serta sumber data lain yang dapat dijadikan sebagai data pelengkap.

D. Metode Pengumpulan Data

Untuk menunjang pembahasan ini, diperlukan data yang cukup sebagai

bahan analisis. Pengumpulan data dan informasi data yang dipakai adalah data

primer, yang diperoleh dari hasil interview dan data sekunder, yang diambil dari

data-data, catatan-catatan dan laporan-laporan serta literatur.

1. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap

gejala yang diteliti. Penggunaan metode observasi dalam penelitian ini

pertimbangan bahwa data yang dikumpulkan secara efektif bila dilakukan secara

langsung mengamati objek yang diteliti. Tehnik penulis ini gunakan untuk

mengetahui kenyataan yang ada di lapangan. Alat pengumpulan data yang

dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat, menganalisis secara sistematis.

Analisis ini secara langsung akan bersentuhan dengan aktivitas ritual yang

akan di teliti secara implisit dengan cara mengamati atau meninjau secara cermat

dan langsung di lokasi penelitian untuk mengetahui kondisi yang terjadi atau

membuktikan kebenaran dari sebuah desain penelitian yang sedang dilakukan.42

2. Interview/Wawancara

Interview atau wawancara adalah sebuah percakapan antara peneliti dan

informan adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan ini dilakukan

42
Syafnidawaty, “Pengertian Observasi”, (Tangerang, Universitas Raharja, 2020), h.1.

29
oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan yang

diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyan itu.43

Metode ini digunakan untuk mengetahui informasi yang lebih luas dari

orang lain atau informan. Dengan menggunakan metode interview guide yaitu

panduan wawancara untuk mengajukan pertanyaan yang telah disusun sesuai

dengan tema penelitian kepada informan. Panduan wawancara ini digunakan oleh

penyusun untuk menghindari meluasnya cara pembicaraan wawancara.

Metode ini secara langsung akan berinteraksi dengan masyarakat pada

wilayah penelitian tersebut, dan terkhusus kepada seorang guru atau imam yang

merupakan orang yang memahami ritual tersebut.

3. Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan

bendabenda tertulis seperti buku, majalah, dokumentasi, peraturan-peraturan,

notulen rapat, catatan harian, dan sebagainya.44 Di samping itu, foto maupun

sumber tertulis lain yang mendukung juga digunakan untuk penelitian. Metode ini

digunakan untuk memperoleh gambaran umum tentang wilayah yang akan diteliti.

Pengumpulan data melalui metode ini akan mengumpulkan berbagai foto

dari aktivitas ritual tersebut.

E. Instrumen Penelitian

Pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan gunakan oleh

penelitian dalam kegiatannya mengumpulkan agar kegiatan tersebut menjadi

sistematis dan dipermudah olehnya.45 Jadi, instrumen penelitian adalah alat bantu

43
Robert K.Yin,Studi Kasus: Metode dan Desain Penelitian, (Jakarta :PT Rajawali,.
2002), h. 108-109
44
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: UGM Press, 1999), h. 72.
45
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2000), h. 134.

30
yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan informasi mengenai hal yang

sedang diteliti seperti catatan, handphone, dan pulpen.

Instrument penelitian yang akan digunakan peneliti yaitu, handphone

sebagai kamera dan perekam serta buku catatan.

F. Teknis Analisis Data

Teknik pengolahan data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yang

dinyatakan dalam bentuk verbal yang diolah menjadi jelas akurat dan sistematis.

Penelitian akan melakukan pencatatan dan berupaya mengumpulkan informasi

mengenai keadaan suatu gejala yang terjadi saat penelitian dilakukan.46

Analisis data merupakan upaya untuk mencapai dan menata secara

sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dokumentasi. Lainnya untuk

meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan dijadikannya

sebagai temuan bagi orang lain. Analisis data adalah proses pengorganisasian dan

pengurutan data kedalam pola, kategori dan suatu uraian dasar. Tujuan analisis

data adalah untuk menyederhanakan data kedalam bentuk yang mudah dibaca.

Metode yang digunakana dalam metode survey dengan pendekatan

kualitatif, yang artinya setiap data terhimpun dapat dijelaskan dengan berbagai

persepsi yang tidak menyimpan dan sesuai dengan judul penelitian. Teknik

pendekatan deskriptif kualitatif merupakan suatu proses menggambarkan keadaan

sasaran.47

Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan (mendeskripsikan)

populasi yang sedang diteliti. Analisis deskriptif dimaksudkan untuk memberikan

data yang diamati agar bermakna dan komunikatif.

46
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: PT. LKS Yogyakarta 2008), h.
89.
47
Noen Muhajirin, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2009), h. 138

31
Teknik yang digunakan dalam analisis data yaitu:

1. Reduksi Data (Data Reduction)

Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu mengorganisasikan

data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat diambil.

Peneliti mengolah data dengan bertolak dari teori untuk mendapatkan kejelasan

pada masalah, baik data yang terdapat dilapangan maupun yang terdapat pada

kepustakaan. Data dikumpulkan, dan dipilih secaras elektif dan sesuaikan dengan

permasalahan dirumuskan dalam penelitian dilakukan pengelolaan dengan

penelitian ulang.48

2. Penyajian Data (Data Display)

Penyajian data adalah penyajian data kedalam suatu bentuk tertentu

sehingga terlihat sosoknya secara utuh. Penyajian data dilakukan secara induktif,

yakni menyuraikan setiap permasalahan dalam penelitian dengan memamparkan

secara umum kemudian menjelaskan secaras peifik.

3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing/Verification)

Langkah selanjutnya dalam menganalisis data kualitatif adalah penarikan

kesimpulan dan verifikasi, setiap kesimpulan awal yang dikemukakan masih

bersifat sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti yang kuat dan

mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.

48
Asep Saeful Muhtadi, Metode Penelitian Dakwah (Bandung: PustakaSetia, 2003), h.
107.

32
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Letak Geografi Kab. Jeneponto

Jeneponto adalah sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Sulawesi

Selatan. Bagian selatannya memanjang garis pantai kurang lebih 114 km. Daerah

ini terletak di laut Flores (flores sea) dengan luas wilayah mencapai 749,79 km

persegi yang terbagi 11 kecamatan dengan ibu kota Bontosunggu. Daerah ini

terletak di antara bentangan 5º23’12”-5º42’1,2” Lintang Selatan dan 119º29’12”-

119º56’44,9” Bujur Timur.49

Peta 1: Peta Wilayah Kabupaten Jeneponto

49
Badan Pusat Statistik Kabupaten Jeneponto, Kecamatan Turatea Dalam Angka 2015.
(Jeneponto: BPS Kabupaten Jeneponto, 2015), h. 1
Adapun luas wilayah Kabupaten Jeneponto tercatat 74.979 ha atau 749,79

km2 yang terdapat memiliki 11 kecamatan yang terdapat 31 kelurahan dan 82 desa

seperti; Kecamatan Bangkala, Kecamatan Bangkala Barat, Kecamatan Tamalatea,

Kecamatan Bontoramba, Kecamatan Binamu, Kecamatan Turatea, Kecamatan

Batang, Kecamatan Arungkeke, Kecamatan Taroang, Kecamatan Kelara,

Kecamatan Rumbia.

Kode Kecamatan Ibu Kota Luas Wilayah Jarak ke Ibu Kota


Kecamatan Kecamatan Kabupaten (km)
Wilayah

010 Bangkala Allu 121,82 26,3

011 Bangkala Bulujaya 152,96 40,7


Barat

020 Tamalatea Tanetea 57,58 9,9

021 Bontoramb Bontoramb 88,30 18


a a

030 Binamu Bontosung 69,49 0


gu

031 Turatea Paitana 53,76 13,1

040 Batang Togo-togo 33,04 15,8

041 Arungkeke Tamanroya 29,91 9,1

042 Tarowang Tarowang 40,64 18,9

34
050 Kelara Tolo 43,95 14,8

051 Rumbia Rumbia 58,30 31,8

Tabel I: Luas wiayah dan Jarak Tempuh ke Ibu Kota Kabupaten.

Berdasarkan dalam tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa jarak tempuh ke Ibu

Kota Kabupaten dan yang paling terjauh jaraknya ke Ibu Kota Kabupaten yaitu

Ibu Kota Bangkala Barat (bulujaya) dengan jarak tempuh 40,7 km dan yang

paling terdekat itu adalah Kecamatan Binamu.

Dimana kecamatan terluas yaitu Kecamatan Bangkala Barat dengan luas

152,95 km2 dan yang terkecil luas wilayahnya yaitu Kecamatan Arungkeke sekitar

29,91 km2. Adapun luas wilayah kecamatan serta jarak tempuh antara Ibu Kota

Kecamatan ke Ibu Kabupaten Jeneponto yang akan saya jelaskan dalam tabel

berikut:50

2. Topografi Kabupaten Jeneponto

Secara umum keadaan iklim yang ada di Kabupaten Jeneponto yang

beriklim tropis diakibatkan curah hujan yang rendah, serta memiliki dua musim

seperti musim hujan dan musim kemarau yang dapat berpengaruh dengan pola

pertumbuhan yang ada di daerah-daerah di Kabupaten Jeneponto. Bagian utara

terdiri dari dataran tinggi yang ketinggiannya sekitar 500 sampai dengan 1400

meter di atas permukaan laut, bagian tengah mencapai ketinggian 100 sampai

dengan 500 meter di atas permukaan laut, dan dibagian selatan yang dataran

terendah serta termasuk daerah pesisir mencapai ketinggiannya 0 sampai dengan

150 meter di atas permukaan laut.

50
Sumber; Badan Statistik Kabupaten Jeneponto, Thn 2020

35
3. Kondisi Agama

Masyarakat Jeneponto termasuk sebagai penganut agama Islam fanatik. Meski

demikian, peninggalan leluhur masih menjadi pengaruh yang kuat dalam

kehidupan sehari-hari masyarakat Jeneponto. Disatu sisi, masyarakat Jeneponto

sangat menunjung tinggi nilai-nilai agama Islam, tetapi sebagian lagi dari

masyarakatnya masih memercayai kekuatan supranatural dan benda-benda

keramat.

Masyarakat Jeneponto adalah masyarakat homogen yang hanya satu

agama yang mereka anut, yakni Islam. Homogenitas masyarakat Jombe bukan

berarti mencerminkan sikap eksklusivisme yang menolak dan tidak toleran

terhadap penganut agama lain atau yang berbeda dengan mereka.

Namun yang menarik dari realitas keagamaan masyarakat Jeneponto

adalah corak keagamaannya yang sangat bernuansa lokalistik. Banyak nilai-nilai

kearifan lokal atau tradisi yang turut mewarnai ajaran keislaman mereka.

Sehingga nampak berbeda dengan ekspresi keislaman dari daerah lain. Mungkin

ini mengindikasikan kalau Islam masuk di Jeneponto melalui proses akomodatif

dan dialogis terhadap tradisi dan budaya lokal. Atas sikap akomodatif inilah

melahirkan identitas keislaman yang sangat menghargai entitas tradisi lokal.

Realitas keagaman di Jeneponto adalah salah satu contoh dimana relasi

antara agama dengan realitas tradisi dan kebudayaan manusia tidak bisa

dipisahkan. Agama manapun jika ia tidak menyapa dan bersentuhan dengan

realitas kehidupan manusia, maka agama tersebut tidak akan pernah membumi

dan mengakar di masyarakat. Agama diturunkan oleh Tuhan untuk manusia

(sebagai petunjuk) dan tidak hadir pada ruang hampa, melainkan hadir ditengah-

tengah kompleksitas kehidupan manusia.

4. Letak Geografis Kec. Turatea

36
Peta 2: Peta Kecamatan Turatea kabupaten Jeneponto

Peta tersebut merupakan gambaran pembagian wilayah Kecamatan


Turatea yang memiliki luas wilayah km, yang terbagi menjadi Desa/Kelurahan

termasuk Desa Jombe yang memiliki luas wilayah 3,76 km.

Kecamatan Turatea merupakan salah satu dari 11 kecamatan di

Kabupaten Jeneponto. Kecamatan Turatea memiliki 11 desa, salah satu desa yang

peneliti melakukan penelitian adalah desa Kayuloe Barat. Desa Kayuloe Barat

adalah salah satu desa yang ada di Kecamatan Turatea Kabupaten Jeneponto

dengan batas – batas wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Parasangan Beru

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sapanang

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa kayuloe Timur

37
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Jombe

5. Sejarah Singkat Desa Jombe

Desa Jombe berdiri pada tahun 1916. Berdasarkan cerita dari para sesepuh

Desa Jombe, bahwa konon nama Jombe berasal dari abad ke-15 sejak kerajaan

Minak Koncar dari Ramajang melarikan diri beserta pengikutnya dari Kerajaan

Adipati Minak Jinggo dari Blambangna, mereka melewati hutan Belantara. Desa

Jombe berasal dari kata Bahasa Makassar Jeneponto, Jombe artinya Hutan.

Dahulu asal mula berdirinya Desa Jombe terbentuk pada masa Kerajaan Minak

Koncar tetapi masa itu masih belum ada kepala desa, Barulah pada jaman

penjajahan Jepang terbentuk Pemimpin Desa atau Kepala Desa. Desa Jombe

dibagi menjadi 5 (Lima) Dusun Yaitu: Jombe utara, Jombe Tengah, Jombe

Selatan, Tompo balang dan Muncu-muncu Para pejabat Kepala Desa Jombe

semenjak berdirinya Desa Jombe.

MASA
NO. NAMA KETERANGAN
JABATAN

1 Rajaming Lagu 1994-2002 Petinggi

2 Drs. Baso Padewakang 2002-2013 Petinggi

3 Hj. ST. Salmah 2013-2019 Petinggi

4 Jusmaedy 2020-2026 Petinggi

Desa Jombe merupakan salah satu dari 11 Desa di Wilayah Kecamatan

Tuatea, yang terletak 7 km ke arah Selatan dari Kecamatan Turatea, Desa Jombe

mempunyai luas Wilayah seluas 511,51 Hektar.

Tabel I: Daftar Nama Kepala Desa Jombe

Dari data di atas menunjukkan bahwa Desa Jombe dari segi

kepemimpinannya terbilang masih begitu muda berdasarkan empat nama kepala

desa dari awal terbentuknya desa jombe sampai sekarang ini.

38
Desa Jombe mengalami iklim tropis dengan tipe iklim D3 dan Z4 berkisar 5

sampai 6 bulan kondisi kering dan 1 sampai 3 bulan dengan kondisi basah dengan

suhu rata-rata mencapai 29-35 Co serta mengalami 2 tipe musim yakni musim

kemarau dan musim hujan.

Musim hujan terjadi mulai oktober-april, sementara musim kemarau

terjadi mulai bulan mei-september setiap tahunnya. Dan puncak kemarau terjadi

pada bulan agustus dan september. Hal ini sangat mempengaruhi musim tanam

dan musim panen petani di desa jombe untuk setiap tahunnya.

Desa Jombe adalah sebuah desa yang berada di Kecamatan Turatea

Kabupaten Jeneponto, yang terletak di dataran tinggi di pegunungan yang ada di

Kecamatan Turatea yang memiliki luas 3,76 km2 dan berada sekitar Sembilan

kilometer dari bontosunggu, ibu kota kabupaten Jeneponto.

Desa Jombe merupakan salah satu dari 11 desa di wilayah Kecamatan

Turatea, yang terletak 7 km ke arah Selatan dari Kecamatan Turatea, Desa Jombe

mempunyai luas wilayah seluas 455,7 ha. Adapun batas-batas wilayah Desa

Jombe:

BATAS DESA

Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Tanjonga

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Desa Sapanang

Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Kayuloe barat

Sebelah Barat : Berbatasan dengan Desa Bangkalaloe

39
Tabel II: Batas-batas Desa Jombe

Peta 3: Peta Desa Jombe

Berbatasan dengan Desa Tanjonga (Sebelah Utara), Desa Sapanang (Sebelah

Selatan), Kayu Loe Barat (Sebelah Timur), Bangkala Loe (Sebelah Barat).

Desa Jombe terdiri dari 5 dusun, yaitu:

1. Dusun Muncu-muncu

2. Dusun Tompo Balang

3. Dusun Jombe Selatan

4. Dusun Jombe Tengah

5. Dusun Jombe Utara

6. Letak Demografi

Hingga saat ini, data terakhir jumlah penduduk yang ada di Desa Jombe

adalah 2673 Jiwa dari 795 KK, dengan perincian sebagaimana tabel berikut:

40
Tabel III: Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah

1. Laki-laki 1.687

2. Perempuan 1.579

3. Kepala Keluarga 962

Dengan melihat data tersebut bahwa jumlah penduduk yang ada menurut

jenis kelamin jumlah laki-laki dan perempuan hampir setara dengan total

keseluruhan berjumlah 2673 jiwa.

Tabel IV: Jumlah Penduduk Desa Jombe Menurut Agama

1. Islam 2673 orang

2. Kristen 0 orang

3. Katolik 0 orang

4. Hindu 0 orang

5. Buddha 0 orang

Berdasarkan data di atas ditinjau dari segi agama dan kepercayaan

masyarakat Desa Jombe mayoritas atau seluruhnya beragama Islam.

Tabel V: Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Jumlah ( orang )

1. Tidak Sekolah / Buta Huruf 30

3. Tidak Tamat SD/Sederajat 378

4. Tamat SD / sederajat 1.701

5. Tamat SLTP / sederajat 227

41
6. Tamat SLTA / sederajat 569

7. Tamat D1, D2, D3 10

8. Sarjana / S-1 136

Dari data di atas penduduk dari segi pendidikan menunjukkan bahwa

Akses untuk mendapatkan pendidikan cukup sulit karena ekonomi

Masyarakat sangat rendah sehingga lebih memilih kerja daripada

sekolah, sehingga kalau dilihat dari data statistik masih rendahnya

tingkat pendidikan masyarakat merupakan suatu permasalahan yang

harus segera dipecahkan terutama dalam membangun kesadaran

masyarakat akan arti pentingya pendidikan.

B. Makna Ritual Ammaca Kitta’

Pesan adalah inti utama dari komunikasi. Hakekat pesan adalah sifatnya

yang abstrak, untuk mewujudkan pesan yang abstrak menjadi konkret manusia

dengan akal budi menciptakan sejumlah lambang komunikasi. Pesan disampaikan

manusia kepada manusia yang lain guna memenuhi dorongan motif komunikasi.

Pesan sebagai hasil penggunaan akal budi manusia untuk mewujudkan motif

komunikasi. Sedangkan lambang komunikasi adalah simnol, tanda, kode, sandi

yang digunakan manusia untuk mewujudkan motif komunikasi. Artinya lambang

komunikasi adalah wujud konkret dari pesan. Lambang komunikasi dapat berupa,

mimik, gerak-gerik, suara, Bahasa lisan dan Bahasa tulisan.

Tulisan merupakan salah satu bukti peradaban dan perwujudan jati diri

dalam suatu komunitas, tradisi tulis ini di Indonesia terbatas pada suku-suku

tertentu saja, tidak semua suku yang ada memiliki tradisi tersebut, suku Bugis dan

Makassar di Sulawesi Selatan serta suku Mandar di Sulawesi Barat termasuk suku

yang memiliki "keunikan" dan kekhasan tulisan yang dituangkan dalam tiga jenis

aksara yaitu jangan-jangan (burung-burung), serang yang diadopsi dari aksara

42
Arab atau Jawi yang menggunakan bahasa Bugis, Makassar atau Mandar dan

lontaraq.51

Naskah kitta tersebut ditemukan di Daerah Tingkat II Goa (sekarang

Kabupaten Gowa). Naskah tersebut merupakan naskah salinan yang umurnya

diperkirakan kurang lebih lima puluh tahun. Naskah ditulis atas perintah Karaeng

Tumalompoa (Sombaya). Nama pengarang tidak diketahui, tapi menurut

pengakuan penulisnya, isi naskah ini disunting dari beberapa buku karangan Al

Ghazali. Kertasnya sudah mulai menguning sudah ada bintik-bintik sedikit.

Ukuran naskah 20 X 15 cm. Setiap halaman berisi 17 baris tulisan. Cara

penjilidannya tidak memakai paku atau kawat dan tidak memakai lem, melainkan

dijahit. Cara penulisan naskah ini sedikit berbeda dengan naskah kuno pada

umumnya. Naskah yang diteliti tersebut mempunyai susunan halaman seperti

penyusunan halaman kitab suci al-Qur'an yaitu dari kanan ke kiri. Jadi agak

berbeda dengan penyusunan naskah-naskah yang biasa. Hal ini karena isinya

mengandung ajaran agama, sehingga dapat pengaruh dari cara penulisan al-

Qur'an.52

Sehubungan dengan naskah yang merupakan dokumen tertulis, terdapat

keistimewaan dan keunikan tersendiri bagi sebagian masyarakat Makassar, yang

memiliki naskah populer dengan nama kitta’. Kitta’ adalah naskah kuno yang

ditulis dalam aksara serang yang diadopsi dari aksara Arab yang menggunakan

Bahasa Makassar. Kata serang berasal dari kata "Seram" karena orang Bugis-

Makassar pada mulanya banyak berhubungan dengan orang Seram yang lebih

dahulu menerima Islam, di Seram sendiri menggunakan huruf Arab sebagai

51
Husnul Fahimah Ilyas, Lontaraq Suqkuna Wajo: Telaah UlangAwal hlamisasi di Wajo,
(Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2011), h. 1-2.
52
Ambo Gani, Tulkiyamat (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Nusantara, 1990), h.10.

43
tulisan dalam penyebaran Islam.53 Hal ini juga disampaikan oleh Bapak Rabasang

Daeng La’lang selaku Imam Desa Jombe bahwa:


Kitta’ itu adalah karangan seorang kyai yang diambil dan bersumber
dari Al-Qur’an dan Hadis, yang membicarakan tentang kematian, tingkah
laku sehari-hari, dan kehidupan manusia. Agar tidak menggunakan akalnya,
matanya untuk hal-hal tidak bermanfaat. Dan perbedaanya dengan Al-Qur’an
hanya 4 huruf dari semua huruf yang ada pada kitta’. Kitta’ juga dibacakan
dan diperdengarkan khusus kepada orang yang hidup na sollanna
appilanngeri na saba’na ammaca kitta’ kamma tonji tau accaramah.54

Hal tersebut juga disampaikan oleh Bapak Sahabuddin Daeng Rapi selaku Imam

Dusun Tompo Balang Desa Jombe bahwa:

Anjo Kittaka kamma tonji tau accaramayya, pappasang ri tau


tallasaka, na nikullai anjo anngu’rangi rimatea, na anggaukang gau bajika ri
lino, na saba’na ri kuranganga ni alle, panritayya appare na ansusungi.55

Berdasarkan hasil wawancara di atas bahwa secara substansi Kitta’

disematkan sebagai naskah yang menyampaikan pesan-pesan yang terkandung di

dalam kitab suci Al-Qur’an dan juga merupakan metode dalam berdakwah.

Contoh yang terkandung dalam bagian Kitta’:


Asseng sai ikau sikontu tumatappaka ri Allahu Taala siyagang matea
nanakana ri hadeseka, tojeng-tojengna Allahu Taala ampakjari mateya
antu sitawu malaeka lompodudu nanirinringmo ri Allahu Taala mateya
antu sampulo kattina lonjokna, langrinna nalompona malaekaka antu
masarro lompoangi nalangika tuju lonjokna siyagang butta tuju
lapisikna.
Terjemahan:
Ketahuilah engkau sekalian orang yang beriman tentang adanya
kematian, disebutkan dalam hadis sesungguhnya Allah Taala yang
menciptakan mati, seorang malaikat dilindungi oleh Allah Taala seratus
ribu dinding, besarnya malaikat itu lebih besar dari pada langit yang
tujuh dengan tanah tujuh lapis.

53
Mattulada, Latoa (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985), h. 10
54
Pak Rabasang Daeng La’lang (51 tahun), Imam Desa Jombe. Wawancara, di Dusun
Jombe Tengah, Desa Jombe, 3 April 2022.
55
Pak Sahabuddin Daeng Rapi (71 tahun), Imam Dusun Tompo Balang. Wawancaara. di
Dusun Tompo Balang, Desa Jombe, 5 April 2022.

44
Bahasa yang digunakan pada naskah ini, ialah Bahasa Makassar,

bahasanya mudah dimengerti dan tidak terlalu banyak kesulitan untuk

mengartikannya, juga banyak dijumpai kata-kata Arab yang mengandung isi ayat

al-Qur'an atau hadis, hal ini dapat dimengerti karena naskah ini termasuk naskah

yang mengandung ajaran keagamaan (Islam).56

Tradisi Ammaca Kitta’ sebagai salah satu media dakwah tradisional dalam

menyampaikan pesan-pesan agama yang terkandung dalam Kitta, saat ini masih

dipertahankan oleh masyarakat Makassar yang bermukim di Desa Jombe,

Kecamatan Turatea, Kabupaten Jeneponto, yaitu pembacaan Kitta, bagi keluarga

yang berduka. Untuk mengundang (ammuntuli), seorang pembaca Kitta, perlu

perlakuan khusus, yaitu pada saat ammuntuli maka dua orang utusan keluarga

yang datang mengunjungi rumah yang memiliki Kitta, biasanya membawa sebuah

piring yang berisi uang dan rokok ditutup dengan kain putih, kemudian

menyampaikan hajat kepada pembaca sekaligus pemiliki Kitta. Setelah hajat atau

pembacaan Kitta telah selesai dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan pada saat

ammuntuli, maka keluarga yang berduka kembali lagi ke rumah si pemilik Kitta

dengan membawa pisang, sarung, kue-kue dan uang secukupnya, sebagai tanda

ucapan terima kasih telah datang membacakan Kitta tersebut.

Pelaksanaan pembacaan Kitta menjadi tradisi atau kebiasaan secara turun

temurun oleh masyarakat Makassar yang bermukim di Kabupaten Jeneponto dan

saat ini masih dilestarikan. Fenomena tersebut sangat menarik untuk diteliti oleh

karena tulisan yang dibacakan menggunakan aksara Arab dan dibaca dalam

Bahasa Makassar. Hal ini sangat mudah dipahami makna dan isi yang terkandung

dalam Kitta selama pembacaan berlangsung, oleh karena ada penjelasan dari

56
Ambo Gani, dkk, Tulkiyamat (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan
Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1990), h.9-10.

45
pembaca menguraikan teks-teks yang dianggap penting untuk lebih dipahami.

Pembacaan Kitta ini sekaligus sebagai media tradisional yang senantiasa

dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakat di Desa Jombe Kecamatan

Turatea Kabupaten Jeneponto.

Cerita mengenai kehidupan sesudah mati, cerita mengenai hari akhirat,

cerita mengenai surga dan neraka biasa disebut dengan istilah Eskatologi. Dalam

sastra Indonesia lama cerita mengenai hal ini dapat pula kita baca dalam "Hikayat

Raja Jumjumah", "Hikayat Nabi Mikraj", dan "Hikayat Seribu Masalah". Dalam

"Hikayat Raja Jumjumah" diceritakan kisah pengalaman Raja Jumjumah tatkala

hadapi maut, pengalamannya dalam kubur, di alam barzakh, macam-macam siksa

neraka, pertemuannya dengan para malaikat dan sebagainya. Cerita ini

disampaikan kepada Nabi Isa setelah Nabi Isa menghidupkannya kembali. Cerita

pengalaman Raja Jumjumah di akhirat sampai dihidupkan kembali oleh Nabi Isa

itulah inti cerita.57

Hal tersebut juga disampaikan oleh Bapak Sarodding selaku Imam Dusun

Jombe Selatan Desa Jombe bahwa:

Kitta’ tersebut menjelaskan tentang pengalaman dan perjalanan orang


yang mati beserta tanda-tanda kematian, yang bertujuan untuk
mengingatkan orang yang masih hidup. Walaupun biasanya disamakan
dengan Ta’ziah, akan tetapi ta’ziah hanya menyampaikan hal yang umum
saja, sedangkan kitta’ rurunganna tu matea, ri je’nena, ri roko’na, ri
sambayangna, ri kuburanna.58
Hal ini kemudian dipertegas oleh Bapak Suhapid selaku Tokoh Agama

Desa Jombe bahwa:


Kitta’ itu sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis, perjalanan tau matea,
pertanyaan-ertanyaan di bawah kubur. Dan juga mula-mula masuk Islam
melalui Ammaca Kitta’59

57
Nuruddin ar-Raniri, Khabar Akhirat dalam Hal Kiamat, (Jakarta: Proyek Penerbitan
Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983), h.14- 15.
58
Pak Saroddin (60 tahun), Imam Dusun Jombe Sealatan. Wawancara. di Dusun Jombe
Selatan, Desa Jombe, 3 April 2022.

46
Allah SWT berfirman:

ِ ‫ت الَّ ِذ ْي تَِف ُّر ْو َن ِمْن هُ فَاِنَّهٗ ُم ٰل ِقْي ُكم مُثَّ تُ ر ُّد ْو َن اِىٰل َع امِلِ الْغَْي‬
‫ب‬ ِ
َ ‫قُ ْل ا َّن الْ َم ْو‬
َ ْ
‫َّه َاد ِة َفُينَبُِّئ ُك ْم مِب َا ُكْنتُ ْم َت ْع َملُ ْو َن‬
َ ‫ࣖ َوالش‬
Terjemahan:
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia
pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada
(Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia
beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

Berdasarkan hasil wawancara di atas bahwa Ammaca Kitta’ merupakan


satu metode penyiaran Islam dalam muatan kebudayaan yang kemudian
menjelaskan kandungan ayat suci Al-Qur’an dan Hadis yang memuat segala
bentuk petunjuk dan gambaran perjalanan spiritual orang yang meninggal agar
kiranya mampu menjadi bahan renungan bagi yang masih hidup untuk melakukan
segala yang terbaik sesuai tuntunan dan menegaskan bahwa kematian akan datang
pada tiap-tiap manusia.
Ringkasan BAB dan Pasal dalam Kitta’
Bab 1 Kejadian Nur Muhammad

Bab 2 Kejadian Adam. a.s

Bab 3 Maut dan Sakratul Maut

Pasal 1 Mengisahkan jawaban nyawa kepada Malaikat maut


Pasal 2 Mengisahkan godaan setan kepada orang mukmin untuk
meninggalkan imannya
Pasal 3 Mengisahkan suara dari langit dan bumi
Pasal 4 Mengisahkan suara bumi dan kubur
Pasal 5 Mengisahkan saat nyawa berpisah dari badan
Pasal 6 Mengisahkan diharamkan memukul-mukul mayit
Pasal 7 Mengisahkan kesabaran dalam menghadapi kematian

59
Pak Suhapid (60 tahun), Tokoh Agama. Wawancara, di Dusun Tompo Balang, Desa
Jombe, 5 April 2022.

47
Pasal 8 Mengisahkan situasi dan kondisi manusia ketika nyawa
berpisah dari tubuhnya
Pasal 9 Mengisahkan tentang Malaikat yang datang ke kubur
sebelum Mungkar dan Nakir
Pasal 10 Mengisahkan jawaban mayit ketika ditanya oleh Malaikat
Mungkar dan Nakir
Pasal 11 Mengisahkan tentang Malaikat Kiraman dan Katibin
Pasal 12 Mengisahkan tentang berangkatnya nyawa sesudah
berpisah dengan tubuh
Bab IV Tanda-tanda Kiamat

Pasal 1 Mengisahkan tentang keluarnya Imam Mahdi


Pasal 2 Mengisahkan tentang keluary Dajjal daan segala sifatnya
Pasal 3 Mengisahkan tentang turunnya Nabi Isa a.s
Pasal 4 Mengisahkan tentang keluarnya Yajuj dan Majuj
Pasal 5 Mengisahkan tentang keluarnya Lasykar Habsyah
Pasal 6 Mengisahkan tentang terbitnya Matahari dari Barat
Pasal 7 Mengisahkan tentang turunnya Dabbatul Ardh
Bab V Hal Ihwal Kiamat

Pasal 1 Mengisahkan tentang ditiupnya Terompet Sangkakala


Pasal 2 Mengisahkan tentang lenyapnya semua makhluk pada hari
Kemudian
Pasal 3 Mengisahkan tentang dikumpulkannya semua makhluk di
Padang Mahsyar
Pasal 4 Mengisahkan tentang orang yang datang ke Padang
Mahsyar dengan berkendaraan sesuai dengan hewan
qurban atau hewan aqiqah yang pernah dipotong
Pasal 5 Mengisahkan tentang manusia terbagi dalam tiga
kelompo, yaitu kelompok Mukminin, kelompok Munafik,
dan kelompok Kafir

48
Pasal 6 Mengisahkan tentang Laiwail Hamdu, bendera yang amat
panjang dan luas
Bab VI Neraka dan Isinya
Bab VII Surga dan Isinya

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa secara keseluruhan yang tercantum


pada bab dan pasal dalam kitta’, menjelaskan secara komprehensif gambaran dari
proses penciptaan manusia, hari kiamat, sampai di hari pembalasan kelak, sesuai
denga apa yang menjadi makna kitta’ tersebut sebagai peringatan kepada manusia
untuk menyiapkan bekal dihari kemudian nanti dengan melakukan apa yang di
perintahkan oleh Allah SWT dan menjauhi segala larangannya.

C. Prosesi Pelaksanaan

Pelaksanaan pembacaan ini dilakukan oleh para pembaca Kitta yang

berpengalaman dan turun temurun, pembaca secara bergantian membacakan

dengan alunan suara sesuai teks yang dibaca, apabila teksnya mengandung makna

kesedihan maka suara dan iramanya mengalun sendu sebaliknya jika mengisahkan

janji kegembiraan maka alunan suara terdengar riang, pembacanya hanya dari

kalangan tertentu yang mampu memahami baca tulis al-Qur'an, serta teks yang

terdapat dalam Kitta yang berisi masalah-masalah keagamaan terkait dengan

kematian, hari kiamat dan kenikmatan serta keindahan surga.

Pelaksanaan upacara adat kematian di kalangan masyarakat Makassar

terdiri atas dua bagian yaitu pelaksanaan sebelum mayat dikebumikan dan

pelaksanaan setelah mayat dikebumikan. Pembacaa Kitta’ dilakukan setelah

mayat dikebumikan yang biasanya dilakukan pada malam hari setelah pembacaan

Al-Qur’an atau disebut anngaji tumate. Pelaksanaan sebelum mayat dikebumikan

terdiri dari:

49
1. Appau-pau (memberitahukan kepada seluruh keluarga) setelah

seseorang dipastikan meninggal. Ketika ada keluarga yang meninggal

dunia, kerabat terdekat segera menyampaikan kepada keluarga yang

lain {appau-pau) sekalian disampaikan waktu dan tempat

penguburannya. Setelah mendengar pemberitahuan maka keluarga yang

bersangkutan segera menuju kediaman keluarga yang berduka biasa

disebut Turung Ta'bangka (datang karena kaget mendengar berita),

selanjutnya kedatangan berikutnya membawa beras, sarung atau uang

sebagai tanda turut berduka cita.

2. Nije 'ne Salai (dimandikan untuk sementara). Pelaksanaan ajje 'ne salai

hanya dilakukan bagi mayat tertentu, yaitu apabila ada mayat yang

dalam keadaan sakit bertahun-tahun sehingga mengeluarkan bau busuk

atau meninggal dalam keadaan luka parah. Ni je'ne salai atau nibissai

menurut, pada saat orang meninggal dunia maka yang dilakukan

pertama melepaskan pakaiannya dan membersihkan bagian vital

(dubur) lalu diangkat ke pangngunjurang (di atas kasur).

3. Ni Unjuruki. ditelentangkan di atas sebuah kasur atau sebuah tikar).

Setelah dimandikan sementara maka proses selanjutnya ialah

memindahkan mayat ke tempat lain yang lebih bagus yaitu dengan cara

melentangkan si mayat di atas sebuah kasur atau sebuah tikar keadaan

terbalik. Kemudian mayat ditutup dengan kain sarung yang disebut

dalam bahasa Makassar Pallole.

4. Ni Sarei Dupa ri Tujunna Ulunna (diberi kemenyan dekat kepalanya).

Menurut sebagian masyarakat Jombe, maksud pemberian kemenyan

(dupa) di dekat kepala si mayat adalah agar bau si mayat (apabila mayat

berbau) tidak dicium oleh pelayat.

50
5. Appare Bunga (pembuatan bunga-bungaan). Pembuatan bunga-bungaan

dilakukan oleh orang yang ahli. Bunga yang digunakan adalah daun

pandan (pandan bunga). Bunga tersebut dibuat dalam beberapa bentuk

seperti persegi, segitiga, dan ada yang diiris-iris kecil. Bunga ini akan

ditaburkan di atas kuburan. Pada saat mayat disemayamkan maka

kerabat atau keluarga utamanya perempuan, mulai mengambil daun

pandan dan dipotong kecil-kecil tipis, yang lain dipotong kurang lebih 5

cm, ada 10 cm bagi keluarga bangsawan daun pandan dan bunga dijahit

sesuai besarnya kayu nisan dan yang lain ditabur di atas pusara.

6. Appare Bulekang (pembuatan usungan). Usungan untuk mayat dibuat

dari bambu dan ada puia yang dipadukan dengan pohon pinang (poko'

rappo) yang menjadi penyangga dari usungan agar lebih kuat. Di bagian

atasnya dibuatkan berbentuk lasugi (walasuji) yang mengelilingi

bulekang tersebut dan di bagian dalamnya dibuatkan pula "sarigan"

berbentuk balai-balai, tempat mayat diletakkan. Di tengah lasugi yang

berbentuk persegi panjang dibuat "Rangka-rangka" untuk menutupi

mayat. Juga digunakan kain sarung yang belum dijahit atau kain

panjang. Appare bulekang bermacam-macam tingkatannya bagi orang

yang biasa, penyanggahnya 6 buah, 8 buah, 10 buah yang terbuat dari

bambu, tetapi bagi keluarga bangsawan sampai 12 penyanggahnya

terbuat dari batang pinang (rappo), lalu dipotongkan seekor kambing.

Setelah selesai maka bulekang ditutup atau dikelilingi dengan 4 lembar

sarung, agar jenazah ketika diusung tidak tampak dari luar

7. Akkeke Kuburu (penggalian kubur). Untuk memulai penggalian kubur

maka dihubungilah orang-orang yang ahli dalam hal penggalian kubur,

dalam Bahasa Makassar disebut "Panyabbala Kalibong". Setelah

51
dimulai oleh "Panyabbala Kalibong" maka dilanjutkan oleh orang lain

sampai selesai. Selanjutnya prosesi ketika akkeke kuburang atau a'latu,

pertama menggali kuburan maka dipanggil Anrong guru (pegawai sara)

untuk mengawali menggali tanah yang pertama, karena kuburan ini

adalah rumah yang akan ditempati mayat, setelah itu 2 atau 3 orang

melanjutkan penggalian kuburan tersebut. Setelah Anrong guru

menyelesaikan tugasnya maka pihak keluarga memberikan sarung atau

uang di atas piring sebagi tandaterima kasih.

8. Ajje 'ne (memandikan mayat). Sebelum mayat dimandikan, maka hal-

hal yang dipersiapkan adalah: a) peralatan untuk memandikan mayat, b)

petugas yang akan melaksanakan acara tersebut sudah harus hadir

sebelum acara ajje'ne dimulai, c) keluarga dekat atau yang paling dalam

sudah harus hadir seperti suami atau istri, anak, ibu atau bapak dan Iain-

lain yang dianggap perlu hadir sebelum mayat dimandikan. Pada saat

memandikan mayat, biasanya memakai batang pisang yang sudah di

potong tiga, tetapi kalau ada keluarga yang terdekat tidak perlu

memakai batang pisang, cukup kaki sebagai penyanggah mayat,

biasanya terdiri dari 4 orang, satu di bagian kepala, satu di bagian dada,

satu berada di bagian antara perut dan paha, satu berada di bagian kaki.

Mulai dimandikan dengan je,ne biasa yaitu disiram secara keseluruhan,

lalu je'ne parallu yaitu tahap yang sudah menuju bersih atau ni

pakalanynying, terakhir je’ne sambayang (air wudhu).

9. A 'roko (mengkafani). Untuk proses pengkafanan ini hal yang pertama

kali dipersiapkan adalah kain kafan dan tentunya petugas yang akan

melaksanakan tugas ini sudah hadir sebelum acara dimulai

52
10. Nisambayangngi (disahalatkan). Apabila mayat selesai dimandikan

(nije'ne) dan sudah dikafani atau dibungkus, maka dishalatkanlah.

Adapun yang memimpin shalat jenazah ini biasanya imam Desa atau

imam kampong, sedangkan yang menjadi makmum (yang mengikuti)

tidak dibatasi, semakin banyak semakin baik. Tradisi masyarakat yang

biasa dilakukan dengan isitilah sambayang niparallui yaitu setelah

jenazah dikafani lalu disembahyangi oleh satu orang imam, setelah itu

disholatkan secara berjamah boleh di rumah dan sebaiknya di masjid,

selanjutnya dinaikkan ke bulekang untuk menuju lokasi pemakaman.

11. Ajjikkiri (berzikir). Setelah selesai disembahyangkan, dilanjutkan

dengan acara dzikir (ajjikkiri) yang dipimpin oleh imam yang

memimpin shalat jenazah tadi dan diikuti oleh makmum yang lain.

12. Mengantar mayat ke kubur. Selesai berzikir maka dibukalah

kesempatan bagi keluarga terdekat untuk melihat mayat tersebut

sebagai kesempatan terakhir. Sesudah itu dibawalah mayat ke usungan

dengan hati-hati untuk diantar ke kuburan. Waktu mayat belum

dinaikkan ke usungan, jika seorang raja atau bangsawan, maka

dipotonglah seekor kerbau diusungannya, dan jika seorang masyarakat

biasa cukup dengan seekor ayam saja. Acara pemotongan kerbau atau

ayam ini dalam Bahasa Makassar disebut "Ni ceraki bulekanna".

13. Ni awangngang (penguburan). Setelah mayat tiba di kuburan, maka

diangkatlah mayat dari usungan untuk selanjutnya dimasukkan ke liang

lahat. Setelah mayat berada di liang lariat, seluruh pengikat kain kafan

dilepas kemudian kain kafan di bagian muka mayat dibuka sampai

kelihatan mukanya, dan selanjutnya diberi segumpal tanah oleh petugas

yang menurunkannya. Maksud pemberian tanah ini adalah karena

53
manusia berasal dari tanah maka harus kembali ke tanah. Dalam Bahasa

Makasar disebut " Nipasiamaki Buttayya".

14. Ammaca Talaking (pembacaan Talqin). Setelah proses penguburan

selesai dilanjutkan dengan penaburan bunga di atas kuburan, setelah itu

barulah dibacakan Talqin (Ni pammacangi Talakking) yang

dilaksanakan oleh imam atau pegawai sara' atau Angrong Gurunna

(gurunya) sendiri 15. Assidakka (pelaksanaan Sedekah). Setelah

kembali orang dari kuburan, maka proses selanjutnya adalah assidakka

(sedekah). Adapun sedekah ini diberikan kepada orang-orang tertentu

yang membantu dalam pelaksanaan upacara kematian sebelumnya.

Assidakka in) dilaksanakan setelah mayat dikuburkan, kebiasaan orang

Jombe setelah mayat disembahyangi di masjid maka yang pertama di

berikan adalah Paje'ne (orang yang memandikan mayat), Pa' langiri

(orang yang membersihkan di bagian kepala), A 'nyimbang (yang

membersihkan antara perut dan leher), A 'cuci (yang membersihkan

dubur), keempat keluarga inilah yang diberi sedekah selain Pa'talqing

(orang yang memimpin talqin) , Pa'baca (orang yang membaca doa

selamat di kuburan), dan Appasoso (orang yang memasukkan mayat ke

Hang lahat).

Sedangkan pelaksanaan setelah dikebumikan terdiri dari:

1. Tahlilan. Semalaman d rumah duka diadakan tahlilan dan khatam Al-

Qur’an, yaitu membaca Al-Qur’an secara bergantian. Upacara

selamatan sekaligus perhitungan hari kematian yang dihitung mulai dari

hari penguburan jenazah. Biasa dilakukan selamatan tujuh hari atau

empat puluh harinya. Sekarang ini, upacara tersebut sudah bergeser dan

54
hanya dilakukan tiga malam saja. Sebagai penutup, pada hari esok

harinya dilakukan dzikir barzanji.

2. Anngaji Tumate (Mengaji orang mati). Dilakukan pada malam hari

setelah sholat isya sampai pada malam ketujuh atau kesepuluh, yaitu

membaca Al-Qur’an secara bergantian tetapi dengan nada yang berbeda

dan mengedepankan kebenaran dalam membaca Al-Qur’an dengan

memperhatikan hukum bacaan yang merupakan tradisi masyarakat

Desa Jombe dan dilaksanakan di kediaman orang yang meninggal.

3. Ammaca Kitta’ (Membaca Kitab). Dilakukan pada malam hari setelah

prosesi Anngaji Tumate, yang dibacakan oleh Imam atau tokoh agama

yang mampu membaca kitta’dan dilantunkan dalam bentuk nada dan

Bahasa yang berbeda, dan hanya dibacakan oleh satu orang yang

kemudian orang yang lain berfokus untuk mendengarkan apa yang

terkandung dalam kitta yang dibacakan tersebut.

4. Barzanji, merupakan kitab yang berisikan tentang kisah perjalanan,

pujian-pujian, dan doa untuk Rasulullah SAW. Barzanji biasanya juga

dilantunkan dalam bentuk nada yang berbeda dan dibacakan oleh

banyak orang secara bersamaan.

5. Takziah. Pelaksanaan ini sebagai metode dakwah yang disampaikan

oleh seorang Ustad sebagai sebuah usaha untuk menjadikan keluarga

yang meninggal dunia tetap bersabar dalam menghadapi cobaan yang

sedang menimpanya. Dan bertujuan untuk meringankan derita dan

kesedihan keluarga yang meninggal dunia. Biasanya dilaksanakan

dimalam ketujuh atau kesepuluh dan mengundang semua kerabat dan

lapisan masyarakat karna prosesi ini diperuntukkan untuk semua orang

yang masih hidup.

55
Ammaca Kitta’ kerap disamakan dengan Takziah yang merupakan media

dakwah dalam momen upacara kematian sehingga kadang Ammaca Kitta’

tersebut tak lagi dilaksanakan karena Takziah tersebut, sedangkan hal ini

kemudian dipertegas oleh Bapak Rabasang Daeng La’lang selaku Imam Desa

Jombe bahwa:
Ammaca Kitta’ lebih bagus dari penceramah, karena takziah hanya
menjelaskan yang umum saja, sedangkan Kitta’ menjelaskan secara
detail tentang bagaimana kita mempergunakan, akal, mata, dan sebaginya
dalam kehidupan sosal, na sollanna tau a appilanngeri (Mendengarkan
dan melakukan).60

Hal tersebut ditegaskan bahwa harapan yang sangat besar agar Tradisi
Ammaca Kitta’ tetap dilestarikan oleh para penerus karena tradisi ini mempunyai
keunikan tersendiri dan punya pengaruh yang sangat signifikan dalam mengajak
masyarakat untuk senantiasa mengingat kepada apa yang menjadi perintah dan
larangan Allah SWT.

60
Pak Rabasang Daeng La’lang (51 tahun), Imam Dusun Tompo Balang. Wawancara, di
Dusun Jombe Tengah, Desa Jombe, 3 April 2022.

56
57
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penelitian yang berjudul Ritual Ammaca Kitta dalam Tradisi Upacara

Kematian Masyarakat Desa Jombe Kecamatan Turatea Kabupaten Jeneponto,

berdasarkan pemaparan yang terdapat pada bab sebelumnya, maka epilog dari

pembahasan dapat diperoleh kesimpulan bahwa: Keberadaan naskah Kitta’

tersebut masih memperlihatkan eksistensinya, tetap dipelihara dan disimpan oleh

masyarakat, karena naskah tersebut memiliki kelebihan dibanding dengan naskah-

naskah lainnya. walaupun naskah ini tetap dilakukan pembacaan oleh masyarakat,

namun perhatian masyarakat terhadap naskah ini menunjukkan kecenderungan

semakin menurun. Terutama di kalangan generasi muda. Pelembagaan secara

takziah dengan model ceramah pada malam-malam tertentu menggeser acara

pembacaan Kitta’ tersebut.

Penggeseran ini ada yang secara total, dalam arti tidak ada sama sekali

pembacaan naskah, dan ada yang bersifat peminggiran, dalam arti waktunya pada

puncak acara. Namun demikian, pembacaan kitta masih dianggap relevan karena

dapat meningkatkan paham keagamaan, memberikan kesadaran, bagi masyarakat

untuk merubah perilaku kea rah yang lebih baik, dan dapat menjadi sarana untuk

mempercepat hubungan kekerabatan.

Naskah Kitta’ masih relevan sisosialisasikan dalam kehidupan masyarakat.

Bentuk sosialisasi dilakukan dalam bentuk penyalinan, peinjaman, pembacaan,

dan ceramah. Naskah Kitta’ masih mendapat tempat di tengah masyarakat

meskipun secara terbatas dan mengalami pergeseran, yang dipengaruhi oleh

kurangnya perhatian masyarakat.


Sehubungan dengan naskah yang merupakan dokumen tertulis, terdapat

keistimewaan dan keunikan tersendiri bagi sebagian masyarakat Makassar, yang

memiliki naskah populer dengan nama kitta’. Kitta’ adalah naskah kuno yang

ditulis dalam aksara serang yang diadopsi dari aksara Arab yang menggunakan

Bahasa Makassar. Kata serang berasal dari kata "Seram" karena orang Bugis-

Makassar pada mulanya banyak berhubungan dengan orang Seram yang lebih

dahulu menerima Islam, di Seram sendiri menggunakan huruf Arab sebagai

tulisan dalam penyebaran Islam.

Ammaca Kitta’ (Membaca Kitab). Dilakukan pada malam hari setelah

prosesi Anngaji Tumate, yang dibacakan oleh Imam atau tokoh agama yang

mampu membaca kitta’dan dilantunkan dalam bentuk nada dan Bahasa yang

berbeda, dan hanya dibacakan oleh satu orang yang kemudian orang yang lain

berfokus untuk mendengarkan apa yang terkandung dalam kitta yang dibacakan

tersebut.

B. Implikasi

Setelah mempelajari dan menganalisa hasil penelitian tersebut, maka

penulis memberikan saran kepada pihak-pihak yang terkait sebagai berikut:

1. Pihak Individu

Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti memberikan saran untuk bisa

memahami lebih dalam tentang makna tradisi tulisan dalam bentuk naskah

yang disebut Kitta’ dengan mengikuti, mendengarkan bahkan mempelajari

pembacaan Kitta’ tersebut. Agar kelak pembacaan Kitta’ yang merupakan

bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis tersebut tetap lestraikan sebagai

bentuk media dakwah untuk orang-orang yang masih hidup yang

kemudian mampu menjadi bahan perenungan dalam mengingat kebesaran

sang ilahi.

58
2. Pihak Pemerintah

Perlu perhatian yang lebih terhadap tradisi keagamaan yang dianggap

mempunyai manfaat yang sangat signifikan terhadap masyarakat. Hal ini

bisa dilakukan oleh Pemerintah Desa Jombe untuk senantiasa membuka

wadah belajar pengajian, dan kegiatan-kegiatan keagamaan, yang kelak

akan menjadi basis dan corak masyarakat yang menjunjung tinggi nilai

agama.

59
DAFTAR PUSTAKA

Agus, Bustanul. Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi


Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Afif Sholeh, Muhammad. Tafsir Surat Al-Anbiya Ayat 35 Tentang Ujian Hidup.
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2019.
Auf, Ali Abi. Memaknai Kematian Dalam Upacara Kematian di Jawa. Jurnal
Humaniora, vol. 2 no.1 (2016). (Diakses pada tanggal 12 Oktober 2021).
AG, Muhaimin. Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal. Ciputat: Logos Wacana
Ilmu, 2001.
Ariyono dan Siregar Aminuddin. Kamus Antropologi. Jakarta: Akademik
Pressindo, 1985.
Abidin, Saenal. Upacara Adat Kematian di Kecamatan Salomekko Kabupaten
Bone, Skripsi (Makassar,15 Desember 2010). (Diakses tanggal 18 Oktober
2021).
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta:
Rineka Cipta, 2000.
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1989.
Dhavamony, Mariasusai. Fenomologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Fatah, Munawir Abdul. Tradisi Orang-Orang NU. Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi
Aksara, 2006.
Hamzah, Zayadi. Islam dalam Perspektif Budaya Lokal. Yogyakarta: Madani
Press, 1992.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: UGM Press, 1999.
Karim, Abdul. Makna ritual kematian dalam tradisi Islam jawa. Jurnal
Pendidikan, vol. 12 no.2 (2017). (Diakses tanggal 2 Oktober 2021)
Koentjaraningrat dan Budi Santoso. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta : Balai
Pustaka, 1978/1979.
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat,
1985.
K.Yin,, Robert. Studi Kasus: Metode dan Desain Penelitian. Jakarta : PT
Rajawali,. 2002.
Khoiruddin, Arif. Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam. Jurnal Pendidikan,
vol. 25 no.2 (2014). (Diakses tanggal 18 November 2021).
Nasrullah, Andi, ”Tradisi Upacara Adat Mappogau Hanua Karampuang di
Kabupaten Sinjai (Studi Kebudayaan Islam)”. Skripsi (Makassar,
Juni,2016).
Muhajirin, Noen. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2009.
Muhtadi, Asep Saeful. Metode Penelitian Dakwah. Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Moleog, Lexy J. Metodelogi Penelitian Kualitatif . Bandung: Rosdakarya, 2001.

60
Miskahuddin. Kematian dalam Persepektif Psikologi Qur’ani. Jurnal, vol. 16
no.1. (2019). (Diakses tanggal 10 Oktober 2021).
Pranowo, Bambang. Memahami Islam Jawa. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011.
Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif . Yogyakarta: PT. LKS Yogyakarta
2008.
Rahmat, Jalaluddin. Memaknai Kematian. Bandung: Pustaka II Man, 2006.
Rahman, Eka Yuliana.“Sejarah Penyebaran Islam di Konfederasi Turatea Abad
XVII (Tinjauan Sistem Pemerintahan dan Religi)”, Jurnal Pendidikan
Sejarah, vol.9 no.1 (Diakses Januari 2020).
Romi, ”Ritus Kematian Etnis Bugis di Karangantu Banten”. Skripsi (Banten, UIN
Banten, 2019).
Syam, Nur. Islam pesisir.Yogjakarta: Lkis Pelangi Aksara, 2005.
Suwito, dkk. ”Tradisi dan Ritual Kematian Wong Islam Jawa”, Jurnal
Pendidikan, vol. 13 no. 2 (2015). (Diakses pada tanggal 15 Oktober 2021).
Soekanto. Kamus Sosiologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993.
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2001.
Suprayogo, Imam. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2001.
Syafnidawaty. Pengertian Observasi. Tangerang: Universitas Raharja, 2020.
Soekadijo. Antropologi. Jilid 2. Jakarta: Erlangga, 1993.

61
LAMPIRA

62
Lampiran 1:

63
64
65
66
Lampiran 2:

Pedoman Wawancara Penelitian

1. Identitas (Nama, usia, pekerjaan, keturunan)?

2. Berapa lama menjabat selaku Imam?

3. Apa Pendidikan terakhir Bapak/Ibu?

4. Apakah Bapak/Ibu mengetahui Ritual Ammaca Kitta’?

5. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan Ritual Ammaca Kitta?

6. Bagaiman pendapat/pandangan Bapak/Ibu tentang Ritual Ammaca Kitta’?

7. Bagaimana prosesi pelaksanannya?

8. Apa harapan Bapak/Ibu mengenai Ritual Ammaca Kitta’ tersebut?

67

Anda mungkin juga menyukai