Anda di halaman 1dari 15

Ritual Ammaca Kitta Dalam Tradisi Upacara Kematian

Masyarakat Desa Jombe Kecamatan Turatea Kabupaten


Jeneponto
Aldi Saputra
30500116078
Aldisaputtraa9@gmail.com

Pembimbing 1: Prof. Dr. H. Muh. Natsir, MA


Pembimbing 2: Syamsul Arif Galib, M.A

Jurusan Studi Agama-Agama


Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

ABSTRAK

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kitta dibacakan oleh Imam atau


tokoh agama yang mampu membaca kitta’dan dilantunkan dalam bentuk nada dan
Bahasa yang berbeda, dan hanya dibacakan oleh satu orang yang kemudian orang
yang lain berfokus untuk mendengarkan apa yang terkandung dalam kitta yang
dibacakan tersebut. Prosesi pembacaan tersebut dilakukan setelah tahap Tahlilan
dan Anngaji Tumate yang juga dilaksanakan di kediaman orang yang meninggal.
Kitta’ dibacakan pada malam hari setelah prosesi Anngaji tumate dan diselang
selingi dengan pengajian Al-Quran, bila orang sudah membaca Al Qurandibacalah
kitab ini sampai jauh malam,bahkan sampai siang. Pembacaan Kitta’ di mulai
sejak malam pertama darimeninggalnya hingga melalui tahap Barzanji dan tiba
puncak acara hari kematiannya (nialle allonna) sekaligus dilaksanakan acara
Takziah. Selain itu, Ammaca Kitta’sebagai media dakwah yang menjelaskan
tentang pengalaman dan perjalanan orang yang mati beserta tanda-tanda kematian,
dan juga bertujuan untuk mengingatkan orang yang masih hidup. Walaupun
biasanya disamakan dengan Ta’ziah, akan tetapi ta’ziah hanya menyampaikan hal
yang umum saja, Kitta’ menjelaskan secara detail tentang bagaimana kita
mempergunakan, akal, mata, dan sebaginya dalam kehidupan sosial, na sollanna
tauaappilanngeri (Mendengarkan dan melakukan).
Penelitian ini mengangkat pokok masalah tentang “Makna dan Ritual
Ngaben dalam Masyarakat Penganut Hindu di Kecamatan Wotu Desa Karambua,
Kab. Luwu”, dengan menggunakan pendekatan antropologi dan pendekatan
teologi. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari hasil observasi dan hasil
wawancara dengan beberapa informan yang ditunjang dengan kajian
literaturliteratur. Kemudian data tersebut diolah dengan reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan.
Kata Kunci: Ritual, Ammaca Kitta, Upacara Kematian.

A. PENDAHULUAN
Kematian di dalam kebudayaan apapun hampir pasti disertai acara ritual.
Ada berbagai alasan mengapa kematian harus disikapi dengan acara ritual.
Masyarakat memandang kematian bukan sebagai peralihan status baru bagi orang
yang mati. Segala status yang disandang semasa hidup ditelanjangi digantikan
dengan citra kehidupan luhur. Kematian selalu dilakukan acara ritual oleh yang
ditinggal mati. Setelah orang meninggal biasanya dilakukan upacara doa, sesaji,
selamatan, pembagian waris, pelunasan hutang dan sebagainya.1

Kematian dipandang sebagai keterpisahan seseorang dari komunitas di


mana ia hidup dan adanya penghormatan yang mendalam pada orang yang telah
meninggal tersebut melalui beragam upacara (ritual) dan beragam bentuk karya
budaya yang merepresentasikan kesakralan kematian dan ritual pemakaman.2

Tradisi, dalam hal ini, terkait juga dengan interpretasi sebuah masyarakat
dalam melihat realitas untuk disikapi dengan keyakinan dan kepercayaan.Tradisi
terbentuk dari mitos, legenda, epos, sejarah nyata yang pernah terjadi, maupun
refleksi seorang tokoh atas kehidupan yang saat itu sedang menjadi persoalan.
Wujud tradisi itu sendiri sangat bermacam-macam. Mulai dari upacara
keagamaan, upacara pernikahan, upacara kematian, upacara kelahiran,perayaan
hari-hari tertentu, maupun tradisi dalam wujud kesenian. Biasanya,aneka macam
tradisi tersebut antara daerah yang satu dengan daerah lainnya memiliki pola yang
mirip, tetapi ada sedikit perbedaannya. Hal itu juga terkait dengan pengetahuan
yang ada di masyarakat tersebut dan memiliki dasar makna dan filosofi tersendiri.

Tradisi dalam suatu masyarakat untuk dilihat nilainya bisa ditinjau dari
peran dan fungsi dengan pendekatan antropologi. Beberapa nilai seperti nilai
religius, nilai moral, nilai edukatif, dan nilai spiritual yang ada di dalam tradisi
hanya bisa dilihat dan dikaji dalam bentuk manifestasi, yang kemudian
diinterpretasikan. Dalam pandangan se-macam ini, tradisi menjadi akses yang
terus ditempuh dari waktu ke waktu untuk menjaga keseimbangan dimensi
kosmos alam semesta.3

Ritual, jika diamati dan dianalisis, tidak hanya bersifat psikologis dan
mistis. Ritual melibatkan simbol-simbol tertentu baik dari sisi bahasa, gerak,

1
1Abdul Karim,“Makna ritual kematian dalam tradisi Islam jawa”,Jurnal
Pendidikan,Vol.12 No.2, (Desember 2017, h, 1 (Diakses tanggal 2 Oktober 2021)
2
Romi,”Ritus Kematian Etnis Bugis di Karangantu Banten”,Skripsi (Banten:UIN
Banten,2019, h. 1
3
Suwito,Agus Sriyanto,Arif Hidayat,”Tradisi dan Ritual Kematian Wong Islam
Jawa”,Jurnal Pendidikan,vol.13,no2,Juli-Desember 2015, h.3
maupun perilaku ritual lainnya. Ritual memiliki makna yang hanya dapat
dipahami oleh orang yang mengerti akan maksud dan tujuan dari apa yang mereka
lakukan sekaligus juga memahami makna dan arti dari apa yang mereka lakukan.
Dalam hal ini, ritual merupaan ungkapan yang lebih bersifat logis daripada hanya
bersifat psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atau simbol-simbol yang
diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan, serta
membentuk disposisi pribadi dari para pemuja mengikuti modelnya masing-
masing. Pengobjekkan ini penting untuk kelanjutan dan kebersamaan dalam
kelompok keagamaan.

Tradisi yang dimaknai sebagai bentuk praktik kepercayaan nenek moyang


yang secara permulaan lahir sebelum Islam hadir sebagai ruang ultimatum bahwa
Islam merupakan Agama yang sangat universal dan holistik sehingga
memungkinkan bagi masyarakat untuk lebih mudah memahami Islam melalui
proses akulturasi Budaya dan Agama sebagai ruang menemu kenali substansi dari
tradisi tersebut.

Tradisi “Ammaca Kitta” (Membaca Kitab) di desa Jombe, Kecamatan


Turatea, Kabupaten Jeneponto adalah sebuah ritual yang sudah ada sejak zaman
nenek moyang sebagai implementasi ajaran Islam dalam memperingati tiap orang
yang mati dan menyampaikan pesan-pesan Al-Qur’an kepada semua manusia
yang masih hidup tekhusus pada masyarakat yang ada disekitarnya

Ammaca Kitta biasanya dibacakan oleh seorang Imam atau tupanritayya


(Orang pintar) pada daerah tersebut selama beberapa malam dalam memperingati
orang yang berpulang sekaligus sebagai pengingat kepada yang masih hidup.
Kitab yang dibacakan pun adalah manuskrip dalam bentuk tulisan arab yang
berbahasa daerah seperti apa yang menjadi Bahasa keseharian di Desa Jombe,
Kecamatan Turatea, Kabupaten Jeneponto.

B. PEMBAHASAN
1. Kondisi Sosial dan Keagamaan Masyarakat Jeneponto
Masyarakat Jeneponto termasuk sebagai penganut agama Islam fanatik.
Meski demikian, peninggalan leluhur masih menjadi pengaruh yang kuat dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Jeneponto. Disatu sisi, masyarakat Jeneponto
sangat menunjung tinggi nilai-nilai agama Islam, tetapi sebagian lagi dari
masyarakatnya masih memercayai kekuatan supranatural dan benda-benda
keramat.
Masyarakat Jeneponto adalah masyarakat homogen yang hanya satu agama
yang mereka anut, yakni Islam. Homogenitas masyarakat Jombe bukan berarti
mencerminkan sikap eksklusivisme yang menolak dan tidak toleran terhadap
penganut agama lain atau yang berbeda dengan mereka.
Namun yang menarik dari realitas keagamaan masyarakat Jeneponto
adalah corak keagamaannya yang sangat bernuansa lokalistik. Banyak nilai-nilai
kearifan lokal atau tradisi yang turut mewarnai ajaran keislaman mereka.
Sehingga nampak berbeda dengan ekspresi keislaman dari daerah lain. Mungkin
ini mengindikasikan kalau Islam masuk di Jeneponto melalui proses akomodatif
dan dialogis terhadap tradisi dan budaya lokal. Atas sikap akomodatif inilah
melahirkan identitas keislaman yang sangat menghargai entitas tradisi lokal.
Realitas keagaman di Jeneponto adalah salah satu contoh dimana relasi
antara agama dengan realitas tradisi dan kebudayaan manusia tidak bisa
dipisahkan. Agama manapun jika ia tidak menyapa dan bersentuhan dengan
realitas kehidupan manusia, maka agama tersebut tidak akan pernah membumi
dan mengakar di masyarakat. Agama diturunkan oleh Tuhan untuk manusia
(sebagai petunjuk) dan tidak hadir pada ruang hampa, melainkan hadir ditengah-
tengah kompleksitas kehidupan manusia.
2. Profil Desa Jombe
Desa Jombe berdiri pada tahun 1916. Berdasarkan cerita dari para sesepuh
Desa Jombe, bahwa konon nama Jombe berasal dari abad ke-15 sejak kerajaan
Minak Koncar dari Ramajang melarikan diri beserta pengikutnya dari Kerajaan
Adipati Minak Jinggo dari Blambangna, mereka melewati hutan Belantara. Desa
Jombe berasal dari kata Bahasa Makassar Jeneponto, Jombe artinya Hutan.
Dahulu asal mula berdirinya Desa Jombe terbentuk pada masa Kerajaan Minak
Koncar tetapi masa itu masih belum ada kepala desa, Barulah pada jaman
penjajahan Jepang terbentuk Pemimpin Desa atau Kepala Desa. Desa Jombe
dibagi menjadi 5 (Lima) Dusun Yaitu: Jombe utara, Jombe Tengah, Jombe
Selatan, Tompo balang dan Muncu-muncuPara pejabat Kepala Desa Jombe
semenjak berdirinya Desa Jombe.
Desa Jombe merupakan salah satu dari 11 Desa di Wilayah Kecamatan
Tuatea, yang terletak 7 km ke arah Selatan dari Kecamatan Turatea, Desa Jombe
mempunyai luas Wilayah seluas 511,51 Hektar. Mengalami iklim tropis dengan
tipe iklim D3 dan Z4 berkisar 5sampai 6bulan kondisi kering dan 1 sampai 3
bulandengan kondisi basah dengansuhu rata-rata mencapai 29-35 Co
sertamengalami 2 tipe musim yaknimusimkemarau dan musim hujan.
Desa Jombe adalah sebuah desa yang berada di Kecamatan Turatea
Kabupaten Jeneponto, yang terletak di dataran tinggi di pegunungan yang ada di
Kecamatan Turatea yang memiliki luas 3,76 km2 dan berada sekitar Sembilan
kilometer dari bontosunggu, ibu kota kabupaten Jeneponto.
1. Prosesi Pelaksanaan Ritual Ammaca Kitta
Pelaksanaan pembacaan ini dilakukan oleh para pembacaKitta yang
berpengalaman dan turun temurun, pembaca secara bergantian membacakan
dengan alunan suara sesuai teks yang dibaca, apabila teksnya mengandung makna
kesedihan maka suara dan iramanya mengalun sendu sebaliknya jika mengisahkan
janji kegembiraan maka alunan suara terdengar riang, pembacanya hanya dari
kalangan tertentu yang mampu memahami baca tulis al-Qur'an, serta teks yang
terdapat dalam Kitta yang berisi masalah-masalah keagamaan terkait dengan
kematian, hari kiamat dan kenikmatan serta keindahan surga.
Pelaksanaan upacara adat kematian dikalangan masyarakat Makassar
terdiri atas dua bagian yaitu pelaksanaan sebelum mayat dikebumikan dan
pelaksanaan setelah mayat dikebumikan. Pembacaa Kitta’ dilakukan setelah mayat
dikebumikan yang biasanya dilakukan pada malam hari setelah pembacaan Al-
Qur’an atau disebut anngaji tumate. Pelaksanaan sebelum mayat dikebumikan
terdiri dari:
1. Appau-pau (memberitahukan kepada seluruh keluarga) setelah
seseorang dipastikan meninggal. Ketika ada keluarga yang meninggal
dunia, kerabat terdekat segera menyampaikan kepada keluarga yang
lain {appau-pau) sekalian disampaikan waktu dan tempat
penguburannya. Setelah mendengar pemberitahuan maka keluarga
yang bersangkutan segera menuju kediaman keluarga yang berduka
biasa disebut Turung 44 Ta'bangka (datang karena kaget mendengar
berita), selanjutnya kedatangan berikutnya membawa beras, sarung
atau uang sebagai tanda turut berduka cita.
2. Nije 'ne Salai (dimandikan untuk sementara). Pelaksanaan ajje 'ne salai
hanya dilakukan bagi mayat tertentu, yaitu apabila ada mayat yang
dalam keadaan sakit bertahun-tahun sehingga mengeluarkan bau busuk
atau meninggal dalam keadaan luka parah. Ni je'ne salai atau nibissai
menurut, pada saat orang meninggal dunia maka yang dilakukan
pertama melepaskan pakaiannya dan membersihkan bagian vital
(dubur) lalu diangkat ke pangngunjurang (di atas kasur).
3. Ni Unjuruki. ditelentangkan di atas sebuah kasur atau sebuah tikar).
Setelah dimandikan sementara maka proses selanjutnya ialah
memindahkan mayat ke tempat lain yang lebih bagus yaitu dengan cara
melentangkan si mayat di atas sebuah kasur atau sebuah tikar keadaan
terbalik. Kemudian mayat ditutup dengan kain sarung yang disebut
dalam bahasa Makassar Pallole.
4. Ni Sarei Dupa ri Tujunna Ulunna (diberi kemenyan dekat kepalanya).
Menurut sebagian masyarakat Jombe, maksud pemberian kemenyan
(dupa) di dekat kepala si mayat adalah agar bau si mayat (apabila
mayat berbau) tidak dicium oleh pelayat.
5. Appare Bunga (pembuatan bunga-bungaan). Pembuatan bunga-
bungaan dilakukan oleh orang yang ahli. Bunga yang digunakan adalah
daun pandan (pandan bunga). Bunga tersebut dibuat dalam beberapa
bentuk seperti persegi, segitiga, dan ada yang diiris-iris kecil. Bunga ini
akan ditaburkan di atas kuburan. Pada saat mayat disemayamkan maka
kerabat atau keluarga utamanya perempuan, mulai mengambil daun
pandan dan dipotong kecil-kecil tipis, yang lain dipotong kurang lebih
5 cm, ada 10 cm bagi keluarga bangsawan daun pandan dan bunga
dijahit sesuai besarnya kayu nisan dan yang lain ditabur di atas pusara.
6. Appare Bulekang (pembuatan usungan). Usungan untuk mayat dibuat
dari bambu dan ada puia yang dipadukan dengan pohon pinang (poko'
rappo) yang menjadi penyangga dari usungan agar lebih kuat. Di
bagian atasnya dibuatkan berbentuk lasugi (walasuji) yang mengelilingi
bulekang tersebut dan di bagian dalamnya dibuatkan pula "sarigan"
berbentuk balai-balai, tempat mayat diletakkan. Di tengah lasugi yang
berbentuk persegi panjang dibuat "Rangka-rangka" untuk menutupi
mayat. Juga digunakan kain sarung yang belum dijahit atau kain
panjang. Appare bulekang bermacam-macam tingkatannya bagi orang
yang biasa, penyanggahnya 6 buah, 8 buah, 10 buah yang terbuat dari
bambu, tetapi bagi keluarga bangsawan sampai 12 penyanggahnya
terbuat dari batang pinang (rappo), lalu dipotongkan seekor kambing.
Setelah selesai maka bulekang ditutup atau dikelilingi dengan 4 lembar
sarung, agar jenazah ketika diusung tidak tampak dari luar
7. Akkeke Kuburu (penggalian kubur). Untuk memulai penggalian kubur
maka dihubungilah orang-orang yang ahli dalam hal penggalian kubur,
dalam Bahasa Makassar disebut "Panyabbala Kalibong". Setelah
dimulai oleh "Panyabbala Kalibong" maka dilanjutkan oleh orang lain
sampai selesai. Selanjutnya prosesi ketika akkeke kuburang atau a'latu,
pertama menggali kuburan maka dipanggil Anrong guru (pegawai sara)
untuk mengawali menggali tanah yang pertama, karena kuburan ini
adalah rumah yang akan ditempati mayat, setelah itu 2 atau 3 orang
melanjutkan penggalian kuburan tersebut. Setelah Anrong guru
menyelesaikan tugasnya maka pihak keluarga memberikan sarung atau
uang di atas piring sebagi tandaterima kasih.
8. Ajje 'ne (memandikan mayat). Sebelum mayat dimandikan, maka hal-
hal yang dipersiapkan adalah: a) peralatan untuk memandikan mayat,
b) petugas yang akan melaksanakan acara tersebut sudah harus hadir
sebelum acara ajje'ne dimulai, c) keluarga dekat atau yang paling dalam
sudah harus hadir seperti suami atau istri, anak, ibu atau bapak dan
Iainlain yang dianggap perlu hadir sebelum mayat dimandikan. Pada
saat memandikan mayat, biasanya memakai batang pisang yang sudah
di potong tiga, tetapi kalau ada keluarga yang terdekat tidak perlu
memakai batang pisang, cukup kaki sebagai penyanggah mayat,
biasanya terdiri dari 4 orang, satu di bagian kepala, satu di bagian dada,
satu berada di bagian antara perut dan paha, satu berada di bagian kaki.
Mulai dimandikan dengan je,ne biasa yaitu disiram secara keseluruhan,
lalu je'ne parallu yaitu tahap yang sudah menuju bersih atau ni
pakalanynying, terakhir je’ne sambayang (air wudhu).
9. A 'roko (mengkafani). Untuk proses pengkafanan ini hal yang pertama
kali dipersiapkan adalah kain kafan dan tentunya petugas yang akan
melaksanakan tugas ini sudah hadir sebelum acara dimulai
10. Nisambayangngi (disahalatkan). Apabila mayat selesai dimandikan
(nije'ne) dan sudah dikafani atau dibungkus, maka dishalatkanlah.
Adapun yang memimpin shalat jenazah ini biasanya imam Desa atau
imam kampong, sedangkan yang menjadi makmum (yang mengikuti)
tidak dibatasi, semakin banyak semakin baik. Tradisi masyarakat yang
biasa dilakukan dengan isitilah sambayang niparallui yaitu setelah
jenazah dikafani lalu disembahyangi oleh satu orang imam, setelah itu
disholatkan secara berjamah boleh di rumah dan sebaiknya di masjid,
selanjutnya dinaikkan ke bulekang untuk menuju lokasi pemakaman.
11. Ajjikkiri (berzikir). Setelah selesai disembahyangkan, dilanjutkan
dengan acara dzikir (ajjikkiri) yang dipimpin oleh imam yang
memimpin shalat jenazah tadi dan diikuti oleh makmum yang lain.
12. Mengantar mayat ke kubur. Selesai berzikir maka dibukalah
kesempatan bagi keluarga terdekat untuk melihat mayat tersebut
sebagai kesempatan terakhir. Sesudah itu dibawalah mayat ke usungan
dengan hati-hati untuk diantar ke kuburan. Waktu mayat belum
dinaikkan ke usungan, jika seorang raja atau bangsawan, maka
dipotonglah seekor kerbau diusungannya, dan jika seorang masyarakat
biasa cukup dengan seekor ayam saja. Acara pemotongan kerbau atau
ayam ini dalam Bahasa Makassar disebut "Ni ceraki bulekanna".
13. Ni awangngang (penguburan). Setelah mayat tiba di kuburan, maka
diangkatlah mayat dari usungan untuk selanjutnya dimasukkan ke liang
lahat. Setelah mayat berada di liang lariat, seluruh pengikat kain kafan
dilepas kemudian kain kafan di bagian muka mayat dibuka sampai
kelihatan mukanya, dan selanjutnya diberi segumpal tanah oleh
petugasyang menurunkannya. Maksud pemberian tanah ini adalah
karena manusia berasal dari tanah maka harus kembali ke tanah. Dalam
Bahasa Makasar disebut " Nipasiamaki Buttayya".
14. Ammaca Talaking (pembacaan Talqin). Setelah proses penguburan
selesai dilanjutkan dengan penaburan bunga di atas kuburan, setelah itu
barulah dibacakan Talqin (Ni pammacangi Talakking) yang
dilaksanakan oleh imam atau pegawai sara' atau Angrong Gurunna
(gurunya) sendiri. Assidakka (pelaksanaan Sedekah). Setelah Kembali
orang dari kuburan, maka proses selanjutnya adalah assidakka
(sedekah). Adapun sedekah ini diberikan kepada orang-orang tertentu
yang membantu dalam pelaksanaan upacara kematian sebelumnya.
Assidakka in) dilaksanakan setelah mayat dikuburkan, kebiasaan orang
Jombe setelah mayat disembahyangi di masjid maka yang pertama di
berikan adalah Paje'ne (orang yang memandikan mayat), Pa' langiri
(orang yang membersihkan di bagian kepala), A 'nyimbang (yang
membersihkan antara perut dan leher), A 'cuci (yang membersihkan
dubur), keempat keluarga inilah yang diberi sedekah selain Pa'talqing
(orang yang memimpin talqin) , Pa'baca (orang yang membaca doa
selamat di kuburan), dan Appasoso (orang yang memasukkan mayat ke
Hang lahat).
Sedangkan pelaksanaan setelah dikebumikan terdiri dari:
1. Tahlilan. Semalaman di rumah duka diadakan tahlilan dan khatam Al-
Qur’an, yaitu membaca Al-Qur’an secara bergantian. Upacara
selamatan sekaligus perhitungan hari kematian yang dihitung mulai
dari hari penguburan jenazah. Biasa dilakukan selamatan tujuh hari
atau empat puluh harinya. Sekarang ini, upacara tersebut sudah
bergeser dan hanya dilakukan tiga malam saja. Sebagai penutup, pada
hari esok harinya dilakukan dzikir barzanji.
2. Anngaji Tumate (Mengaji orang mati). Dilakukan pada malam hari
setelah sholat isya sampai pada malam ketujuh atau kesepuluh, yaitu
membaca Al-Qur’an secara bergantian tetapi dengan nada yang
berbeda dan mengedepankan kebenaran dalam membaca Al-Qur’an
dengan memperhatikan hukum bacaan yang merupakan tradisi
masyarakat Desa Jombe dan dilaksanakan di kediaman orang yang
meninggal.
3. Ammaca Kitta’ (Membaca Kitab). Dilakukan pada malam hari setelah
prosesi Anngaji Tumate, yang dibacakan oleh Imam atau tokoh agama
yang mampu membaca kitta’dan dilantunkan dalam bentuk nada dan
Bahasa yang berbeda, dan hanya dibacakan oleh satu orang yang
kemudian orang yang lain berfokus untuk mendengarkan apa yang
terkandung dalam kitta yang dibacakan tersebut.
Pembacaan Kittakdalam masyarakat Turatea mempunyai arti penting, hal
ini ditegaskan oleh Mustamin Dg Ngika (Tokoh AgamaDesa Jombe ia berkata:
“Antu Kitta’ biasai nibaca punna niak tau mate, nipaklekbasang
angngajia Kurangan, punna lekbamo tauwa angngaji nibacami antu
Kittaka sanggenna lantang bangngiya, yakkannengpaya sanggenna
singarak sannak nangaina napilangngeri baik-baikneya. Anne Tau matea
appakaramula nipangngajian siagang nipaklebasang ammaca Kitta’,
sipattanna sanggenna narapi nialle allonna" (Kitta’ itu sering dibaca, bila
ada orang yang meninggal, diselang-selingi dengan pengajian Alquran,
bila orang sudah membaca Alquran dibacalah kitab ini sampai jauh malam,
bahkan sampai siang.Pembacaan "Kitta’di mulai sejak malam pertama dari
meninggalnya hingga tiba puncak acara hari kematiannya (nialle
allonna)".4
Mustaming Dg Ngika menandaskan bahwa pembacaan kitta’ mendapatkan
posisi yang penting di tengah masyarakat Turatea, sehingga tidak afdal membaca
Alquran bagi si mayit tanpa membaca kitab ini. Sebab kitab ini dapat dijadikan
pelipur lara dikala duka dan penghibur di kala sedih. Begitu pula, bagi yang
mendengar pembacaan Kitta’ dapat meningkatkan keimanan kepada Allah Swt,
sebab banyak berisi nasehat-nasehat perlunya mawas diri dalam menghadapi
kematian.

4
Mustaming Dg Ngika, (45 Tahun), Tokoh Agama, Wawancara, di dusun Tompo Balang,
Desa Jombe, 2 April 2022
Ammaca Kitta’ kerap disamakan dengan Takziah yang merupakan media
dakwah dalam momen upacara kematian sehingga kadang Ammaca Kitta’ tersebut
tak lagi dilaksanakan karena Takziah tersebut, sedangkan hal ini kemudian
dipertegas oleh Bapak Rabasang Daeng La’lang selaku Imam Desa Jombe bahwa:
Ammaca Kitta’ lebih bagus dari penceramah, karena takziah hanya
menjelaskan yang umum saja, sedangkan Kitta’ menjelaskan secara detail
tentang bagaimana kita mempergunakan, akal, mata, dan sebaginya dalam
kehidupan sosal, na sollanna tau a appilanngeri (Mendengarkan dan
melakukan)5

2. Makna Ritual Ammaca Kitta


Pesan adalah inti utama dari komunikasi. Hakekat pesan adalah sifatnya
yang abstrak, untuk mewujudkan pesan yang abstrak menjadi konkret manusia
dengan akal budi menciptakan sejumlah lambang komunikasi. Pesan disampaikan
manusia kepada manusia yang lain guna memenuhi dorongan motif komunikasi.
Pesan sebagai hasil penggunaan akal budi manusia untuk mewujudkan motif
komunikasi. Sedangkan lambang komunikasi adalah simnol, tanda, kode, sandi
yang digunakan manusia untuk mewujudkan motif komunikasi. Artinya lambang
komunikasi adalah wujud konkret dari pesan. Lambang komunikasi dapat berupa,
mimik, gerak-gerik, suara, Bahasa lisan dan Bahasa tulisan.
Tulisan merupakan salah satu bukti peradaban dan perwujudan jati diri
dalam suatu komunitas, tradisi tulis ini di Indonesia terbatas pada suku-suku
tertentu saja, tidak semua suku yang ada memiliki tradisi tersebut, suku Bugis dan
Makassar di Sulawesi Selatan serta suku Mandar di Sulawesi Barat termasuk suku
yang memiliki "keunikan" dan kekhasan tulisan yang dituangkan dalam tiga jenis
aksara yaitu jangan-jangan (burung-burung), serang yang diadopsi dari aksara
Arab atau Jawi yang menggunakan bahasa Bugis, Makassar atau Mandar dan
lontaraq.6
Kitta adalah sebuah naskah kuno yang berbahasa makassar dengan huruf
arab yang merupakan naskah yang bersumber dari Al-Qur'an dan hadist, ditulis
oleh para kyai sebagai media dakwah yang mudah dipahami oleh masyarakat,
cerita mengenai kehidupan sesudah mati, cerita mengenai hari akhirat, cerita
mengenai surga dan neraka dan berbagai pesan-pesan moral lainnya.
Naskah Kitta tersebut ditemukan di Daerah Tingkat II Goa (sekarang
Kabupaten Gowa). Naskah tersebut merupakan naskah salinan yang umurnya
diperkirakan kurang lebih lima puluh tahun. Naskah ditulis atas perintah Karaeng
Tumalompoa (Sombaya). Nama pengarang tidak diketahui, tapi menurut
pengakuan penulisnya, isi naskah ini disunting dari beberapa buku karangan Al

5
Pak Rabasang Daeng La’lang (51 tahun), Imam Dusun Tompo Balang. Wawancara, di
Dusun Jombe Tengah, Desa Jombe, 3 April 2022
6
Husnul Fahimah Ilyas, Lontaraq Suqkuna Wajo: Telaah UlangAwal hlamisasi di Wajo,
(Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2011), h. 1-2.
Ghazali. Kertasnya sudah mulai menguning sudah ada bintik-bintik sedikit.
Ukuran naskah 20 X 15 cm. Setiap halaman berisi 17 baris tulisan. Cara
penjilidannya tidak memakai paku atau kawat dan tidak memakai lem, melainkan
dijahit. Cara penulisan naskah ini sedikit berbeda dengan naskah kuno pada
umumnya. Naskah yang diteliti tersebut mempunyai susunan halaman seperti
penyusunan halaman kitab suci al-Qur'an yaitu dari kanan ke kiri. Jadi agak
berbeda dengan penyusunan naskah-naskah yang biasa. Hal ini karena isinya
mengandung ajaran agama, sehingga dapat pengaruh dari cara penulisan al-
Qur'an.7
Sehubungan dengan naskah yang merupakan dokumen tertulis, terdapat
keistimewaan dan keunikan tersendiri bagi sebagian masyarakat Makassar, yang
memiliki naskah populer dengan nama kitta’. Kitta’ adalah naskah kuno yang
ditulis dalam aksara serang yang diadopsi dari aksara Arab yang menggunakan
Bahasa Makassar. Kata serang berasal dari kata "Seram" karena orang
BugisMakassar pada mulanya banyak berhubungan dengan orang Seram yang
lebih dahulu menerima Islam, di Seram sendiri menggunakan huruf Arab sebagai
tulisan dalam penyebaran Islam.8 Hal ini juga disampaikan oleh Bapak Rabasang
Daeng La’lang selaku Imam Desa Jombe bahwa:
Kitta’ itu adalah karangan seorang kyai yang diambil dan bersumber dari
Al-Qur’an dan Hadis, yang membicarakan tentang kematian, tingkah laku
sehari-hari, dan kehidupan manusia. Agar tidak menggunakan akalnya,
matanya untuk hal-hal tidak bermanfaat. Dan perbedaanya dengan Al-
Qur’an hanya 4 huruf dari semua huruf yang ada pada kitta’. Kitta’ juga
dibacakan dan diperdengarkan khusus kepada orang yang hidup na
sollanna appilanngeri na saba’na ammaca kitta’ kamma tonji tau
accaramah.9
Hal tersebut juga disampaikan oleh Bapak Sahabuddin Daeng Rapi selaku
Imam Dusun Tompo Balang Desa Jombe bahwa:
Anjo Kittaka kamma tonji tau accaramayya, pappasang ri tau tallasaka,
na nikullai anjo anngu’rangi rimatea, na anggaukang gau bajika ri lino,
na saba’na ri kuranganga ni alle, panritayya appare na ansusungi.10
Berdasarkan hasil wawancara di atas bahwa secara substansi Kitta’
disematkan sebagai naskah yang menyampaikan pesan-pesan yang terkandung di
dalam kitab suci Al-Qur’an dan juga merupakan metode dalam berdakwah.

7
Ambo Gani, Tulkiyamat (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Nusantara, 1990), h.10
8
Mattulada, Latoa (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985), h. 10
9
Pak Rabasang Daeng La’lang (51 tahun), Imam Desa Jombe. Wawancara, di Dusun
Jombe Tengah, Desa Jombe, 3 April 2022.
10
Pak Sahabuddin Daeng Rapi (71 tahun), Imam Dusun Tompo Balang. Wawancaara. di
Dusun Tompo Balang, Desa Jombe, 5 April 2022
Contoh yang terkandung dalam bagian Kitta’:
Asseng sai ikau sikontu tumatappaka ri Allahu Taala siyagang matea
nanakana ri hadeseka, tojeng-tojengna Allahu Taala ampakjari mateya
antu sitawu malaeka lompodudu nanirinringmo ri Allahu Taala mateya
antu sampulo kattina lonjokna, langrinna nalompona malaekaka antu
masarro lompoangi nalangika tuju lonjokna siyagang butta tuju lapisikna.
Terjemahan:
Ketahuilah engkau sekalian orang yang beriman tentang adanya kematian,
disebutkan dalam hadis sesungguhnya Allah Taala yang menciptakan mati,
seorang malaikat dilindungi oleh Allah Taala seratus ribu dinding,
besarnya malaikat itu lebih besar dari pada langit yang tujuh dengan tanah
tujuh lapis.
Bahasa yang digunakan pada naskah ini, ialah Bahasa Makassar,
bahasanya mudah dimengerti dan tidak terlalu banyak kesulitan untuk
mengartikannya, juga banyak dijumpai kata-kata Arab yang mengandung isi ayat
al-Qur'an atau hadis, hal ini dapat dimengerti karena naskah ini termasuk naskah
yang mengandung ajaran keagamaan (Islam).11
Tradisi Ammaca Kitta’ sebagai salah satu media dakwah tradisional dalam
menyampaikan pesan-pesan agama yang terkandung dalam Kitta, saat ini masih
dipertahankan oleh masyarakat Makassar yang bermukim di Desa Jombe,
Kecamatan Turatea, Kabupaten Jeneponto, yaitu pembacaan Kitta, bagi keluarga
yang berduka. Untuk mengundang (ammuntuli), seorang pembaca Kitta, perlu
perlakuan khusus, yaitu pada saat ammuntuli maka dua orang utusan keluarga
yang datang mengunjungi rumah yang memiliki Kitta, biasanya membawa sebuah
piring yang berisi uang dan rokok ditutup dengan kain putih, kemudian
menyampaikan hajat kepada pembaca sekaligus pemiliki Kitta. Setelah hajat atau
pembacaan Kitta telah selesai dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan pada saat
ammuntuli, maka keluarga yang berduka kembali lagi ke rumah si pemilik Kitta
dengan membawa pisang, sarung, kue-kue dan uang secukupnya, sebagai tanda
ucapan terima kasih telah datang membacakan Kitta tersebut.
Pelaksanaan pembacaan Kitta menjadi tradisi atau kebiasaan secara turun
temurun oleh masyarakatmakassar yang bermukim di Kabupaten Jeneponto dan
saat ini masih dilestarikan. Fenomena tersebut sangat menarik untuk diteliti oleh
karena tulisan yang dibacakan menggunakan aksara Arab dan dibaca dalam
Bahasa Makassar. Hal ini sangat mudah dipahami makna dan isi yang terkandung
dalam Kitta selama pembacaan berlangsung, oleh karena ada penjelasan dari
pembaca menguraikan teks-teks yang dianggap penting untuk lebih dipahami.
Pembacaan Kitta ini sekaligus sebagai media tradisional yang senantiasa

11
Ambo Gani, dkk, Tulkiyamat (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan
Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1990), h.9-10.
dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakat di Desa Jombe Kecamatan
Turatea Kabupaten Jeneponto.
Cerita mengenai kehidupan sesudah mati, cerita mengenai hari akhirat,
cerita mengenai surga dan neraka biasa disebut dengan istilah Eskatologi. Dalam
sastra Indonesia lama cerita mengenai hal ini dapat pula kita baca dalam "Hikayat
Raja Jumjumah", "Hikayat Nabi Mikraj", dan "Hikayat Seribu Masalah". Dalam
"Hikayat Raja Jumjumah" diceritakan kisah pengalaman Raja Jumjumah tatkala
hadapi maut, pengalamannya dalam kubur, di alam barzakh, macam-macam siksa
neraka, pertemuannya dengan para malaikat dan sebagainya. Cerita ini
disampaikan kepada Nabi Isa setelah Nabi Isa menghidupkannya kembali. Cerita
pengalaman Raja Jumjumah di akhirat sampai dihidupkan kembali oleh Nabi Isa
itulah inti cerita.12
Hal tersebut juga disampaikan oleh Bapak Sarodding selaku Imam Dusun
Jombe Selatan Desa Jombe bahwa:
Kitta’ tersebut menjelaskan tentang pengalaman dan perjalanan orang yang
mati beserta tanda-tanda kematian, yang bertujuan untuk mengingatkan
orang yang masih hidup. Walaupun biasanya disamakan dengan Ta’ziah,
akan tetapi ta’ziah hanya menyampaikan hal yang umum saja, sedangkan
kitta’ rurunganna tu matea, ri je’nena, ri roko’na, ri sambayangna, ri
kuburanna.13
Berdasarkan hasil wawancara di atas bahwa Ammaca Kitta’ merupakan
satu metode penyiaran Islam dalam muatan kebudayaan yang kemudian
menjelaskan kandungan ayat suci Al-Qur’an dan Hadis yang memuat segala
bentuk petunjuk dan gambaran perjalanan spiritual orang yang meninggal agar
kiranya mampu menjadi bahan renungan bagi yang masih hidup untuk melakukan
segala yang terbaik sesuai tuntunan dan menegaskan bahwa kematian akan datang
pada setiap manusia.
Kitta’menjadi salah satu bagian yang terpenting dari upacara kematian,
olehnya itu penelahaan pesan-pesan religius dalam Kitta’ juga sangat urgen.
Peneliti hanya akan mendeskripsikan sekelumit pesan-pesan religius dalam kitta’
ini yang terdiri atas tujuh bab.
1. Bab uru-urunayya ampaknassai kajarianna Nurun Muhammad, (Bab
pertama menceritakan tentang kejadian Nur Muhammad).
2. Bab maka ruwana ampaknassai kajarianna nabi Adam, (Bab yang kedua
menceritakan kejadian Nabi Adam).
3. Bab maka talluna ampaknassai kajariyanna mateya siagang
pammallokinna mateya (Bab yang ke tiga menceritakan tentang kematian dan
segala hal ihwalnya).
12
Nuruddin ar-Raniri, Khabar Akhirat dalam Hal Kiamat, (Jakarta: Proyek Penerbitan
Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983), h.14- 15.
13
4 Pak Saroddin (60 tahun), Imam Dusun Jombe Sealatan. Wawancara. di Dusun Jombe
Selatan, Desa Jombe, 3 April 2022.
4. Bab maka akpakna ampaknassai kana-kananna Kiyamaka (Bab yang ke
empat menceritakan hari Kiamat).
5. Bab maka limana ampaknassai gaukna Kiamaka siagang
pammallokinna Kiamaka (Bab yang ke lima menceritakan hari Kiamat dan
huruharanya).
6. Bab maka annanna ampaknassai kana-kananna Naraka siagaang bonena
(Bab yang ke enam menceritakan neraka dan isinya serta segala azabnya).
7. Siagang bab maka tujuna ampaknassai kanakananna suruga siagang
bonena (Bab yang ketujuh menceritakan.14
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa secara keseluruhan yang tercantum
pada bab dan pasal dalam kitta’, menjelaskan secara komprehensif gambaran dari
proses penciptaan manusia, hari kiamat, sampai di hari pembalasan kelak, sesuai
denga apa yang menjadi makna kitta’ tersebut sebagai peringatan kepada manusia
untuk menyiapkan bekal dihari kemudian nanti dengan melakukan apa yang di
perintahkan oleh Allah SWT dan menjauhi segala larangannya.

KESIMPULAN
Ammaca Kitta’ merupakan kepercayaan masyarakat Turatea dalam
memperingati hari kematian. Tradisi ini dapat dikatakan sebagai penawar duka
dan pelipur lara bagi keluarga yang ditinggalkannya di alam fana ini. Aktivitas
dan perilaku sosial budaya, adat istiadat dipengaruhi oleh sistem kepercayaan
masyarakat Turatea. Wujud aktivitas dan perilaku sosial budaya yang mereka
lakukan merupakan hasil refleksi penghayatan, pemahaman dan pengetahuan
mereka terhadap sistem kepercayaan yang tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat Turatea.
Hasil penelitian tersebut mengupas dan memperoleh dua muatan penting
tentang prosesi dan makna pelaksanaan Ammaca Kitta antara lain:
1. Ammaca Kitta dilaksanakan pada malam hari yang dibacakan oleh
Imam atau tokoh agama yang hanya dibacakan oleh satu orang yang
kemudian orang lain berfokus untuk mendengarkan apa yang
terkandung dalam Kitta tersebut. Prosesi pembacaan tersebut
dilakukan setelah tahap Tahlilan dan Anngaji Tumate yang juga
dilaksanakan di kediaman orang yang meninggal. Kitta’ dibacakan
pada malam hari setelah prosesi Anngaji tumate dan diselang-selingi
dengan pengajian Al-Quran, bila orang sudah membaca Al-
Qurandibacalah kitab ini sampai jauh malam,bahkan sampai siang.
Pembacaan Kitta’ di mulai sejak malam pertama darimeninggalnya
hingga melalui tahap Barzanji dan tiba puncak acara hari kematiannya
(nialle allonna) sekaligus dilaksanakan acara Takziah.
14
Muh. Jumatang Rate,”Angngalle Allo: Tradisi Dan Perilaku Sosial Budaya Masyarakat
Turatea, Jurnal Al-Qalam, Vol.20. (Di akses Desember 2014) hal.68
2. Kitta’ merupakan sebuah metodologi transformasi atau media dakwah
tentang perjalanan spritual orang yang meninggal beserta tanda-tanda
kematian dan juga bertujuan untuk mengingatkan bagi orang yang
masih hidup tentang pentingnya pesan-pesan ilahi dalam menjalankan
kehidupan di dunia agar senantiasa menjaga perilaku dan mendekatkan
diri kepada-Nya. Kittamendeskripsikan muatannya yang terbagi dari
beberapa bab yang dimulai dari penjelasan tentang kejadian Nur
Muhammad SAW, kejadian Nabi Adam a.s., kematian dan segala
ihwalnya, hari kiamat dan huru-haranya, neraka dan segala azabnya
dan menceritakan surga dan segala isinya.
Naskah Kitta’ masih relevan disosialisasikan dalam kehidupan masyarakat
yang dilakukan dalam bentuk penyalinan, pembacaan, dan ceramah. Naskah Kitta’
masih mendapat tempat di tengah masyarakat meskipun secara terbatas dan
mengalami pergeseran, yang dipengaruhi oleh kurangnya perhatian masyarakat,
padahal Kitta’ merupakan naskah yang berisi pesan-pesan religius yang sangat
berguna untuk keluarga yang ditinggalkan untuk meniti kehidupan masa
mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim,“Makna Ritual Kematian dalam Tradisi Islam Jawa”,Jurnal

Pendidikan,Vol.12 No.2, (Desember 2017 (Diakses tanggal 2 Oktober 2021).

Ambo Gani, Tulkiyamat (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal

Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan

Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1990).

Husnul Fahimah Ilyas, “Lontaraq Suqkuna Wajo: Telaah UlangAwal hlamisasi di Wajo”

Skripsi (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2011).

Mattulada, Latoa (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985).

Muh. Jumatang Rate,”Angngalle Allo: Tradisi Dan Perilaku Sosial Budaya Masyarakat

Turatea, Jurnal Al-Qalam, Vol.20. (Di akses Desember 2014).

Mustaming Dg Ngika, (45 Tahun), Tokoh Agama, Wawancara, di dusun Tompo Balang,

Desa Jombe, 2 April 2022.

Nuruddin ar-Raniri, Khabar Akhirat dalam Hal Kiamat, (Jakarta: Proyek Penerbitan

Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

1983).

Rabasang Daeng La’lang (51 tahun), Imam Desa Jombe. Wawancara, di Dusun Jombe

Tengah, Desa Jombe, 3 April 2022.

Romi,”Ritus Kematian Etnis Bugis di Karangantu Banten”,Skripsi (Banten:UIN

Banten,2019.

Sahabuddin Daeng Rapi (71 tahun), Imam Dusun Tompo Balang. Wawancaara. di Dusun

Tompo Balang, Desa Jombe, 5 April 2022

Saroddin (60 tahun), Imam Dusun Jombe Sealatan. Wawancara. di Dusun Jombe Selatan,

Desa Jombe, 3 April 2022.

Suwito,Agus Sriyanto,Arif Hidayat, ”Tradisi dan Ritual Kematian Wong Islam

Jawa”,Jurnal Pendidikan,vol.13,no2,Juli-Desember 2015.

Anda mungkin juga menyukai