Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

“Islam dan Upacara Kematian di daerah Banjar


(Baaruah)”
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Islam dan Budaya Banjar

Dosen Pengampu:

H. Nashrullah, M.H.I

Oleh

Nama: Siti Mahfuzah

NIRM: 18.11.20.01.09.01604

SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QUR’AN (STIQ) AMUNTAI


PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah Swt. Atas


segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan sebuah tulisan dengan judul “Islam dan Upacara Kematian di
Daerah Banjar”.

Secara garis besar peristiwa kematian dipahami dengan cukup sederhana,


yaitu proses terlepasnya daya hidup (hayat) dari tubuh manusia. Ketika daya
hidup (hayat) masih melekat pada diri makhluk, maka makhluk menjadi mampu
bergerak. Sebaliknya ketika makhluk ditinggalkan daya hidup (hayat), maka
kemampuan geraknya berhenti total. Peristiwa maut yang menjadikan gerak
berhenti total dan harus berpisah dengan kehidupan sehari-hari inilah yang
menimbulkan spekulasi komunitas lokal sejak manusia ada. Mereka meraba-raba
apa yang akan terjai ‘di alam sana’ yang perabaan tersebut banyak dipengaruhi
oleh pengalaman hidup sehari-harinya. Karena itulah antara lain timbul upacara-
upacara dan semacamnya.

Dengan mengikuti uraian di atas jelas bahwa Islam berangkat dari


paradigma deduktif Al-Qur’an. Sementara itu, tradisi lokal berangkat dari
paradigma induktif tradisi leluhur. Ketika Islam masuk ke Kalimantan Selatan
khusunya daerah Banjar kedua paradigma tersebut bertemu, Islam bermotif
dakwah (misi agama) dan tradisi lokal bermotif melestarikan tradisi leluhur.
Keduanya saling tarik ulur wujud akulturasi dan sinkretisasi (paham/aliran baru
yang merupakan perpaduan dari beberapa paham yang berbeda untuk mencari
keserasian, keseimbangan, dan sebagainya).

Kematian bagi masyarakat manapun, termasuk bagi masyarakat Banjar yang


berada di Kalimantan Selatan, merupakan masalah sosial karena ia tidak hanya
melibatkan anggota keluarganya tetapi juga masyarakatnya. Oleh karena itu, jika
ada kematian, seluruh warga kampung datang membantu keluarga yang sedang
berkabung. Biasanya salah seorang perempuan dari setiap keluarga datang ke

ii
rumah keluarga yang sedang berduka cita sambil membawa sejumlah beras.
Sementara itu, para lelakinya, disamping membantu dalam persiapan penguburan,
juga mempersiapkan kayu-kayu yang diperlukan untuk masak-memasak dalam
rangka selamatan (baaruah).

Amuntai, 16 Maret 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

BAB II ISLAM DAN BUDAYA KEMATIAN ADAT BANJAR ...........4

BAB III PERGESERAN BUDAYA ......................................................... 17

BAB IV PENGARUH FENOMENA ....................................................... 22

BAB V ANALISIS BUDAYA KEMATIAN ADAT BANJAR

BERDASARKAN SYARI’AT ISLAM ......................................23

BAB VI PENUTUP ....................................................................................26

A. Kesimpulan ...............................................................................25

B. Saran .........................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................28

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Setiap daerah di Indonesia memiliki kebudayaan tersendiri dengan


keunikannya masing-masing yang masih tetap dipertahankan secara turun
temurun walaupun zaman terus berkembang. Hal ini dikarenakan kebudayaan
tercipta dari masyarakat itu sendiri. Manusia dan kebudayaan merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan, sementara itu kebudayaan adalah manusia itu
sendiri. Sekalipun mahluk manusia akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya
akan diwariskan pada keturunannya, demikian seterusnya.1
Masyarakat Suku Banjar merupakan masyarakat yang masih memegang
teguh tradisi dan adat istiadatnya, karena merupakan warisan leluhur mereka.
Kehidupan sehari-hari masyarakat Suku Banjar sarat dengan ritual. Meskipun
ritus peralihan berasal dari agama Islam tetapi tujuan dari penyelenggaraan
upacara ritual tersebut untuk melestarikan budaya leluhur. Pada masyarakat
Banjar mengenal beberapa peristiwa yang menandai siklus kehidupan manusia.
Peristiwa-peristiwa yang utama adalah kelahiran, perkawinan, mempunyai anak,
dan meninggal dunia. Sedangkan peristiwa yang lainnya menyangkut tahapan-
tahapan kehidupan dari masa kanak-kanak hingga meninggal.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai upacara adat kematian pada
masyarakat Banjar, khususnya upacara kenduri atau dalam bahasa Banjar disebut
upacara baaruah.
Kenduri kematian adalah salah satu tradisi masyarakat Banjar yang masih
dianggap memiliki nilai-nilai yang cukup relevan bagi penyempurnaan dalam
penyelenggaraan mayat. Selain sebagai usaha anggota masyarakat untuk dapat
menolong arwah dengan sedakah, shalat, pengajian Al-Quran, juga merupakan
perwujudan kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri secara aktif
terhadap lingkungannya. Kenduri kematian adalah sebuah keharusan yang tidak
dapat ditolak, dalam pandangan masyarakat Banjar, karena memiliki nilai-nilai

1
Hari Poerwanto, Kebudayaan dan Lingkungan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2008, h.
50.

1
sakral yang sangat tinggi. Hal ini bisa disimak bila ada anggota masyarakat yang
meninggal dunia, maka anggota keluarganya bersiap dengan segala kemampuan
yang ada untuk melaksanakan kenduri. Meskipun hal itu di luar kemampuan
mereka, atau mereka terpaksa melakukan, karena malu dengan anggota
masyarakat yang lain. Ritual keagamaan yang dilakukan oleh anggota masyarakat
berdasarkan kepercayaan yang dianut, mendorong manusia untuk melakukannya
sesuai dengan kelaziman yang berlaku sebelumnya.tindakan yang bertujuan
mencari hubungan dengan dunia gaib penguasa alam. Pelaksanaan kenduri
didasari atas adanya kebenaran atau apa yang dilakukan sudah sesuai dengan
tuntunan agama. Itulah dalil dari sebagian kelompok masyarakat di Indonesia,
baik berupa ritual kematian, ritual syukuran atau selamatan, ritual tolak bala, dan
lain sebagainya.2
Pada masyarakat Banjar, hal yang sama pun ditemui. Bila ada salah seorang
anggota keluarga yang meninggal, maka segala bentuk persiapan untuk kenduri/
di sediakan.Anggota masyarakat dari pihak perempuan mengumpul dirumah ahli
waris simayit, mempersiapkan segala bentuk kebutuhan masakan untuk
disedakahkan kepada para tamu yang diundang, untuk sembahyang, tahlil, serta
disambung dengan membaca Al-Quran sampai larut malam. Ritual seperti ini
pada dasarnya sangat baik dari sudut etika bermasyarakat. Namun yang perlu
dipertanyakan, bagaimanakah kalau dipandang dari sudut akidah, dan syariat
Islam? Karena setiap ritual tidak bisa lepas dari penilaian, baik dan buruk, sunah,
atau pun bid’ah, dalam arti kata; setiap kreativitas dalam siklus hidup beragama,
semuanya tidak lepas dari penilaian. Dalam pada itu kebiasaan mencermati, dan
menyambut kehadiran arwah kembali ke rumah adalah suatu kebiasaan yang telah
dilakukan oleh masyarakat dinamisme, mereka beranggapan, apabila masuk pada
hari ketiga, ketujuh, arwah akan kembali ke rumah, untuk memperhatikan: apa
kegiatan yang dilakukan oleh ahli mayit. Bila ahli mayit tinggal diam saja tanpa

2
Alfina Munawarroh, Fungsi Sosial Tradisi Mandoa dalam Upacara Kematian (Tesis
tidak diterbitkan, UNAND,2016), h.62.

2
ada perhatian terhadap kepergian si mayit, maka arwah itu akan kembali ke
kuburnya dengan perasaan sangat sedih.
Dari statemen ini bisa disimpulkan sementara bahwa ada kemungkinan,
bahwa kebiasaan umat Islam mengadakan kenduri sedekahan di rumah ahli mayit
ini merupakan akulturasi dari keyakinan masyarakat Dinamisme tersebut. Apa
lagi kalau disimak, masih banyak sisa kebudayaan Dinamisme yang masih dipakai
oleh umat Islam, dalam tradisi hidup sehari-hari. Adanya berbagai ritual dan
tradisi yang dilakukan masyarakat telah memperkokoh eksistensi dari agama yang
dianut oleh masyarakatnya karena berbagai tradisi yang berkaitan dengan siklus
kehidupan berkembang dan menjadi kuat ketika ia telah mentradisi dan
membudaya ditengah kehidupan masyarakat.

3
BAB II

ISLAM DAN BUDAYA KEMATIAN ADAT BANJAR

A. Islam dan Budaya Kematian Adat Banjar

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahsa Sansakerta yaitu buddhayah.


Merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi dan akal), diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris kebudayaan
disebut culture. Berasal dari kata latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan.
Bisa juga diartikan mengolah tanah atau bertani. Kata culture, juga kadang-
kadang sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.

Dalam Islam, istilah ini disebut dengan adab. Islam telah mengatur etika dan
norma-norma pemeluknya berdasarkan tuntunan langsung dari Allah melalui
wahyu kepada rasul-nya. Pengaruh agama dapat melanggengkan sebuah tradisi
melalui pemaknaan yang dikaitkan dengan keagamaan. Oleh karena itu, sistem
religi atau upacara keagamaan merupakan salah satu unsur kebudayaan yang
paling stabil sifatnya terhadap perubahan. Jika dikaitkan dengan ba-ayun maulid,
sebuah upacara yang sebelumnya dipraktikkan berdasarkan kepercayaan lama
dapat menjadi sebuah tradisi dalam agama Islam karena dalam pelaksanaanya
diberi anasir Islam.

Meski mendapat pengaruh Islam, tidak semua tradisi yang terkait dengan
agama merupakan ajaran dari agama itu sendiri. Sebagaimana ditegaskan Alfani
Daud (1997:6-7) bahwa praktik-praktik keagamaan yang merupakan bagian dari
religi komunitas pada masyarakat Banjar tidaklah seluruhnya dapat dicari
referensinya dalam ajaran Islam. Asal mula praktik keagamaan itu dapat ditelusuri
dari sisa-sisa kepercayaan dan praktik keagamaan religi suku, Hindu, dan Budha
yang pernah berkembang jauh sebelum masuknya Islam ke kawasan ini. Ketika
Islam berkembang di wilayah ini maka terjadilah perpaduan antara unsur Islam

4
dengan kepercayaan lama yang terungkap dalam praktik-praktik keagamaan suatu
komunitas dalam masyarakat Banjar.3

B. Budaya Kematian Adat Banjar


1. Upacara Baaruah

Upacara ini dilakukan setelah selesai upacara pemakaman. Upacara ini


disebut menurut istilah bahasa Banjar dengan nama “baaruah”, maksudnya
adalah mengadakan selamatan untuk arwah yang meninggal dunia. Ini dilakukan
tidak oleh seluruh masyarakat Banjar yang beragama Islam, tetapi ini dilakukan
oleh masyarakat Banjar yang beragama Islam untuk kelompok atau golongan
Kaum Tuha penganut aliran Ahlussunnah wal Jama’ah dan kebanyakan di daerah-
daerah pedesaan, di seluruh kawasan Kalimantan Selatan.
Secara umum yang termasuk jenis upacara baaruah ini adalah sebagai
berikut:
1. Manurun Tanah, yaitu upacara selamatan yang dilakukan pada malam
pertama jenazah itu dikebumikan atau diturunkan ke tanah. Oleh karena
itu, upacara baaruah pada malam pertama ini disebut “Manurun Tanah”.
2. Baaruah pada malam kedua atau Mandua Hari, yaitu upacara selamatan
yang dilakukan pada malam kedua sesuadah jenazah dikembumikan.
3. Maniga Hari, juga merupakan upacara selamatan yang sama pada malam
ketujuh sesudah mayat itu dikebumikan atau dimakamkan.
4. Manujuh Hari, juga merupakan upacara selamatan yang sama pada
malam ke tujuh sesudah mayat itu dikebumikan atau di makamkan.
5. Manyalawi, ialah upacara selamatan pada malam ke dua puluh lima,
sesudah jenazah tersebut dimakamkan. Biasanya diadakan pada malam
ke-25 atau malam ke Selawi menurut istilah dalam bahsa Banjar.
6. Mamatang Puluh, atau selamatan yang diadakan pada malam yang ke
empat puluh sesudah jenazah dimakamkan.

3
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar Deskripsi dan Analisa Kebudayaan
(Jakarta: PT Grafindo Persada, 1997), h. 6-7.

5
7. Manyaratus atau upacara yang biasnya dilakukan pada hari yang ke
seratus, sesudah jenazah tersebut dimakamkan. Biasnya ini dilakukan
pada siang dan malam dengan upacara yang khusus tersendiri dan
memakan biaya yang cukup banyak juka dibandingkan dengan upacara
baaruah lainnya.
8. Bahaul, yaitu upacara yang dilakukan setiap tahun, tepat pada hari
meninggalnya orang tersebut. Ini biasanya dilakukan di waktu malam
hari. Upacara Bahaul ini biasanya dilakukan setiap tahun pada hari
meningalnya orang tersebut dan merupakan seolah-ilah selamatan untuk
mengenang hari meninggalnya orang tersebut.
Yang dimaksud dengan upacara baaruah pada bagian ini adalah beberapa
upacara yang hampir sama bentuknya, hanya waktunya saja yang berbeda dalam
upacara Baaruah ini ialah:
- Manurun Tanah,
- Mandua Hari,
- Maniga Hari,
- Manujuh Hari,
- Manyalawi Hari, dan
- Mamatang Puluh Hari (Mamatang Puluh Hari), yang berasal dari kata
Patang Puluh = 40

Baaruah seperti tersebut ini bentuknya sama dan upacaranya pun sama, hanya
waktu penyelenggaraannya atau harinya yang berbeda. Walaupun ada perbedaan,
hanya terletak pada besar kecilnya hidangan dan apa-apa yang dibaca pada saat itu
saja. Namun biasnya tahlilan dan doa aruah tetap atau wajib dibaca pada saat
upacara itu.

Kadang-kadang ada baaruah kecil-kecilan setiap malam Jum’at yang


diadakan di antara hari-hari atau malam-malam upacara baaruah yang pokok itu
sampai manyaratus, yang disebut Manyala Ari atau manyala berasal dari kata
sasala yang artinya sela-sela atau di antara, sedangkan ari artinya hari. Jadi

6
Manyala Ari artinya Baaruah di sela-sela hari Baaruah yang resmi seperti disebut
di atas sampai waktu Manyaratus.

Maksud penyelenggaraan upacara ialah untuk memberikan atau memintakan


rahmat bagi arwah yang telah meninggal tersebut, terhadap azab dari Tuhan Yang
Maha Kuasa, akibat perbuatannya di dunia dan juga untuk mendo’akan agar yang
meninggal itu, diterima di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa. Di samping itu agar
arwah yang meninggal itu, mendapat kelapangan di dalam kubur dari siksa kubur
yang akan emnimpanya.

Selain itu juga memberikan sedekah pahala yang didapat dari pembacaan
ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dibacakan di waktu upaca itu kepada arwah yang
meninggal. Demikian juga pahala dari tahlilan yang dibacakan di waktu upacara
tersebut secara bersama-sama, juga pahalanya disedekahkan kepada yang
meninggal. Jadi upacara ini juga bermaksud memberikan sedekah pahala dari
hasil pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan tahlilan dan lain sebagainya,
termasuk suguhan tersebut kepada arwah yang meninggal, di samping itu juga
untuk meminta do’a kepada para undangan yang hadir pada upacara ini agar yang
meninggal mendapat kelapangan di dalam kubur dan diterima di sisi Tuhan Yang
Maha Kuasa.

Bagi yang hidup merupakan tanda terima kasih kepada seluruh tetangga atau
keluarga yang menolong pada saat pemakaman atau pada almarhum tersebut sakit
sampai meninggalnya. Di samping itu juga bermaksud merapatkan tali atau ikatan
kekeluargaan dan persahabatan pada upacara selamatan tersebut.

Penyelenggaraan upacara ini waktunya adalah sebagai berikut:

1) Manurun Tanah diselenggarakan pada malam pertama sesudah


jenazah tersebut dikebumikan atau dimakamkan.
2) Mandua Hari biasanya diselenggarakan pada malam ke tiga sesudah
jenazah tersebut dimakamkan.
3) Manujuh Hari diselenggarakan sesudah tujuh hari atau pada malam ke
tujuh sesudah jenazah tersebut dimakamkan atau dikebumikan.

7
4) Manyalawi diadakan sesudah atau pada malam kesalawi atau ke-25,
sejak jenazah dimakamkan.
5) Mamatang Puluh diselenggarakan pada malam ke-40 sesudah jenazah
tersebbut dimakamkan.
6) Manyala Ari diselenggarakan setiap malam Jum’at, sampai dengan
waktu Manyaratus tiba.

Biasanya waktu yag diambil adalah malam hari sesudah shalat Isya, pada
bulan-bulan yang tidak terkena bulan puasa. Jika bertepatan dengan bulan
puasa, biasanya dilaksanakan bertepatan dengan berbuka puasa, biasnya ini
dilaksanakan bertepatan tepat berbuka puasa atau sesudah shalat tarawih dan
terkadang, sekaligus jamuannya dijadikan jamuan makan sahur, yang istilah
dalam bahasa Banjar Manyaurakan, jika hidangannya disuguhkan bertepatan
dengan sahur untuk puasa besoknya. Sebelum waktu sahur itu, setelah shalat
tarawih, orang sudah berkumpul membaca ayat suci Al-Qur’an menunggu
waktu sahur tiba.

Jika waktu menyuguhkan hidangannya bertepatan dengan berbuka puasa,


dinamakan Membukaakan. Waktu malam ini diambil biasanya orang pada
saat tersebut beristirahat, setelah bekerja di sawah waktu siang hari. Jadi para
undangan dapat menghadirinya.

Walaupun sebenarnya ada pengecualian, kadang-kadang dalam bentuk


sangat sederhana sekali diadakan di waktu siang, karena ada keperluan-
keperluan tertentu yang berbarengan waktunya dengan baaruah tersebut. Jika
terpaksa siang, biasnya sore hari yang juga mengambil ketika orang sedang
istirahat dari bekerja.

Upacara ini diselenggarakan di tempat atau dirumah orang yang


meninggal tersebut biasanya, kecuali terpaksa baru upacara ini dipindahkan
ke rumah orang lain, misaknya karena keluarga yang meninggal tersebut tidak
tinggal di rumah itu yang menyelenggarakan upacara Baaruah itu, karena
berpindah tempat atau karena pekerjaan yang memaksa harus bepergian. Ini

8
pun biasnya di rumah tersebut juga kecil-kecilan. Ini disebabkan ada sebagian
anggapan bahwa roh yang meninggal itu masih berada di sekitar rumah
tersebut, sebelum habis seratus hari atau sebelum selesai upacara Manyaratus.

Perlengkapan yang pertama disiapkan dalam upacara kematian ini adalah


bahan baku untuk hidangan upacaran ini, yang berupa beras, ikan sayur-sayur
tradisional seperti humbut atau umbut rumbia atu nyiur. Juga tepung beras
untuk kue tradisional yang disuguhkan untuk hidangan tersebut misalnya
tepung untuk wadai badaya atau sejenis bubur sumsum jika yang meninggal
itu adalah bayi yang masih menyusu atau belum bisa makan nasi. Ini
disebabkan jika yang meninggal tersebut adalah bayi yang belum bisa
memakan nasi, suguhannya adalah wadai badayai tersebut, disesuaikan
dengan makanan yang bisa dimakan oleh yang meninggal itu.

Jika yang meninggal itu adalah orang dewasa, biasanya suguhannya


adalah nasi dengan lauk pauknya atau kue-kue tradisional seperti apam, wajik
dan dodol disamping nasi serta ketan, jika ada acara-acara khusus, seperti
acara manyubarangakan Qur’an atau menamatkan pembacaan Al-Qur’an
pada saat upacara itu.

Biasanya yang tidak pernah ketinggalan adalah humbut rumbia atau


humbut nyiur, untuk sayur dalam hidangan itu, karena ini mengandung
maksud-maksud tertentu dalam penyuguhannya. Demikian pula biasanya
ayam itu selalu ada yang harus dipotong atau disembelih untuk dihidangakan.

Jika Baaruah itu agak besar hidangan dan jumlah undangannya banyak
biasanya mencari kayu pun dijalankan dengan gotong royong ke huutan
sampai dengan menungkihnya atau membelahnya, menjadi kayu bakar. Untuk
memasak nasi dengan kawah atau mengawah biasanya dilakukan oleh para
pria yang juga secar gotong royong.

Pada upacara baaruah ini ada dua jenis atau dua cara pelasanaannya,
yaitu ada yang disertai dengan tadarusan atau kaji darau sebelum upacara
puncak yang berupa hidangan disuguhkan sesudah selesai satu jus membaca

9
ayat suci Al-Qur’an tiap orang atau secukupnya untuk tadarusan atau
seterusnya dilaksanakan tahlilan sebelum pembacaan do’a aruah
dilaksanakan. Do’a aruah ini adalah do’a yang khusus dibaca untuk upacara
Baaruah itu. Kedua ada juga yang tanpa pembacaan Al-Qur’an tetapi
langsung tahlilan dan pembacaan do’a aruah saja, seterusnya hidangan di
suguhkan sebelum pembacaan doa tersebut. Jadi ketika pembacaan do’a
tersebut hidangan sudah dihidangkan di hadapan para undangan, tetapi belum
dipersilakan untuk mencicipinya.

Untuk jenis pertama ini setelah undangan terkumpul dimulailah


pembacaan ayat suci Al-Qur’an untuk menghadiahi arwah yang meninggal
baik berupa tadarusan atau kaji darau bersama dengan memakai mukaddam.
Biasanya Al-Qur’an tersebut diletakkan di atas bantal di muka orang yang
duduk berkeliling di ruang upacara itu bersandar pada dinding rumah, di
tengah-tengah atau di gantung di nyalakan lampu stromking.

Anak-anak yang menghadiri undangan tersebut yang tidak ikut mengaji


kadang-kadang tertidur di ruangan itu juga pada saat upacara menjelang
selesai yaitu pada waktu hidangan disuguhkan, anak-anak ini dibangunkan
untuk ikut makan bersama.

Biasanya upacara bakakajian atau tidak Ini tergantung dari hidangan


yang disuguhkan titik jika hidangan itu hanya kue saja biasanya jarang
dilaksanakan bakakajian tersebut, karena upacara Ini memakan waktu yang
lama dan kadang-kadang sampai larut malam atau jika pada bulan puasa
sampai lewat tengah malam yaitu sampai saat makan sahur tiba. Oleh karena
itu jika hidangannya hanya kue, diusahakan tidak memakan waktu lama
upacaranya, karena upacara bakakajian itu cukup memakan tenaga dan waktu
yang lama.

Para undangan yang mempunyai keahlian memasak dengan kawah atau


kuali besar dan tidak ikut mengaji, biasanya memasak nasi di sekitar rumah
tersebut, bersama beberapa orang lainnya yang membantu untuk itu. Biasanya

10
tidak lama sesudah acara membaca ayat suci Al-Qur’an itu dimulai, dimulai
pula mengawah atau memasak nasi dengan kawah. Baaruah ini merupakan
tradisi bagi suku Banjar Hulu Sungai, apabila memasak nasi untuk selamatan
atau kenduri yang mengundang orang banyak. Ini sesuai dengan lingkungan
dari di daerah Kalimantan Selatan yang banyak sekali tumbuh pohon pohonan
yang bisa dipergunakan untuk kayu api dan tungku serta daun pisang yang
digunakan untuk menutupinya.

Ada satu hal yang mempunyai hubungan yang erat dengan kebiasaan
memasak nasi dengan kawah ini dengan tidak memakai dandang, yaitu nasi
yang dimasak dengan kawah itu biasanya menghasilkan kerak di dasarnya ini
merupakan makanan yang enak bagi anak-anak yang menghadiri upacara
baruh pada saat itu, sehingga jika nasi sudah masak dan telah diambil,
sehingga tertinggal keraknya saja lagi anak-anak ramai sekali berebutan kerak
tersebut, seperti suatu upacara khusus kelihatannya di samping upacara itu.
Kegiatan anak-anak ini diluar dari acara.

Terdapat beberapa pantangan yang harus dihindari pada saat upacara


baaruah ini. Di antara tantangan tersebut yaitu:

1. Tidak boleh memakai pisang untuk hidangan atau membawa naik ke


rumah tempat orang tersebut meninggal atau tempat upacara itu
sampai 3 hari karena ini bisa menimbulkan berpusing pusang atau
huru-hara, atau tidak tenteram akibat sesuatu.
2. Tidak boleh memakan wadai balapis atau kue lapis untuk hidangan
arwah ini ini, karena bisa menyebabkan yang meninggal berlapis-
lapis atau berturut-turut dikenai musibah seperti itu titik ini menurut
orang yang mempercayai hal itu.
3. Barang yang dijadikan suguhan atau hidangan yang disuguhkan
waktu upacara itu harus benar-benar halal dari segala-galanya,
termasuk didapatnya serta uang untuk membelinya. Karena jika tidak
memenuhi persyaratan ini nanti tidak sampai pada tujuannya.

11
B. Upacara Manyaratus atau Mangganap Ari

Menyeratus berasal dari kata saratus atau seratus, menyeratus berarti


upacara baru pada hari yang ke-100 sesudah seseorang itu meninggal atau
telah meninggal pada 100 hari yang lalu. Istilah lain yang juga dalam bahasa
Banjar yaitu menggenapi Ari berasal dari kata genap yang berarti genap Ari
berarti hari. Menggenapi Ari berarti upacara aruh pada genap hitungan
seseorang meninggal dunia 100 hari titik ini disebabkan sesudah genap 100
hari ini mayat tersebut tidak diupacarai lagi seperti sebelumnya, tetapi hanya
setiap tahun sekali saja setiap hari ulang tahun meninggalnya. Upacara setiap
tahun ini disebut bahwa ul, yang diuraikan pada tulisan ini selanjutnya.

menyeratus ini adalah upacara yang paling besar diantara upacara


kematian lainnya pada suku Banjar kadang-kadang besarnya selamatan ini
hampir sama dengan selamatan upacara perkawinan. Ini tergantung dari
kemampuan orang yang meninggal tersebut kadang-kadang sampai
memotong kerbau atau sapi untuk keperluan tersebut jika orang yang
meninggal itu adalah orang yang terhitung mampu atau kaya.

Upacara ini terdiri atas beberapa tahap dalam pelaksanaan dari persiapan
sampai berakhirnya upacara ini. Tahap pertama sekali adalah tahap gotong
royong untuk mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk keperluan
penyelenggaraan upacara seperti kayu api, beras, ikan dan sebagainya. Tahap
ini biasanya dimulai kira-kira 15 hari sebelum pelaksanaan upacara berjalan.
Tahap kedua yang biasa disebut dengan duduk aruh atau api-api. Ini biasanya
memakan waktu 1 hari sebelumnya. Tahap berikutnya barulah tahap
penyelenggaraan upacara, yaitu memakan waktu siang dan malam, dengan
upacara yang berbeda-beda. Hal ini dilaksanakan untuk orang dewasa yang
meninggal jika anak-anak cukup secara sederhana saja dan hanya memakan
waktu satu hari saja bahkan hanya seperti baaruh biasa pelaksanaannya.

Maksud penyelenggaraan upacara ini sama saja dengan maksud


penyelenggaraan upacara baaruah seperti tersebut di atas, yaitu arwah yang

12
meninggal bisa mendapat rahmat atau selamat dalam hidup di alam barzah
atau alam kubur serta diterima di sisi Tuhan yang Maha Kuasa. Di samping
itu juga untuk mendo’akan agar arwah yang meninggal mendapat rahmat dari
Tuhan yang Maha Kuasa serta dilapangkan dari siksa kubur. Upacara ini
seperti upacara terakhir atau perpisahan antara keluarga yang ditinggalkan
dengan meninggalkan atau meninggal dunia itu oleh karena itu biasanya
upacara ini merupakan upacara yang terbesar jika dibandingkan dengan
segala upacara kematian lainnya. Selain itu juga untuk mendapatkan tali
kekeluargaan antara sesama keluarga yang meninggal dan juga sebagai tanda
terima kasih kepada yang membantu dalam penyelenggaraan pemakaman
atau yang membantu selama almarhum sakit sampai dengan meninggal dunia
titik juga merupakan kesempatan memberikan sedekah kepada yang telah
meninggal tersebut berupa pahala pembacaan ayat suci Al-Quran, tahlilan
dan jamuan makan yang diberikan terhadap para undangan tersebut. waktu
penyelenggaraan upacara biasanya adalah tepat jatuh pada hari ke-100 dari
meninggalnya seseorang. Upacara tersebut biasanya dilakukan siang dan
malam hari upacara pada malam tersebut berupa upacara kecil-kecilan
Sedangkan untuk siang hari biasanya diselenggarakan secara besar-besaran.
Pada siang hari, biasanya mengambil waktu pagi antara jam 08.00 sampai
jam 10.00 jika acara banyak yang dilaksanakan, sedangkan yang malam
ketika menjelang upacara siang hari sudah duduk aruh dan dimulai sesudah
shalat Isya. Sekarang upacara itu menjadi hampir 1 hari suntuk, karena
dilaksanakan seperti upacara selamatan perkawinan dengan kedatangan
undangan yang tidak serentak. Dulu upacara ini dijalankan serentak dari acara
pertama sampai terakhir, seperti acara baaruah biasa.

C. Upacara Bahaul

Bahaul adalah nama untuk upacara baru yang dilakukan secara rutin
setiap tahun sekali, bertepatan dengan hari atau malam meninggalnya
seseorang. Upacara Ini juga secara umum disebut baru yaitu berupa upacara

13
baru yang waktunya setiap tahun sekali titik upacara Ini sederhana saja, tidak
seperti menyeratus, bahkan kadang-kadang lebih sederhana dari baru biasa.

Umumnya seperti halnya upacara baru biasa, ini hanya terdiri dari dua
tahap, yaitu tahap mempersiapkan perlengkapannya termasuk memasak
hidangannya dan tahap pelaksanaan upacara tersebut. Maksud
penyelenggaraan upacara bahaul seperti halnya baru juga untuk memberikan
sedekah kepada yang meninggal pahala bacaan yang dilakukan di waktu
upacara sekaligus juga mendoakan agar yang meninggal tersebut mendapat
rahmat dari Tuhan yang Maha Kuasa. Di samping itu juga merupakan
peringatan terhadap ulang tahun kematian seseorang.4

Dalam upacara baaruah sampai bahaul ini terdapat upacara tahlilan. Tahlilan
berasal dari kata tahlil, yaitu pengucapan yang meng-Esakan Allah dengan
kalimat La ilaha ilallah (Tiada Tuhan Selain Allah). Karena hal ini merupakan
lafadz yang memiliki makna pengakuan totalitas akan sistem keyakinan seorang
hamba terhadap Keesaan Tuhan, maka hal ini merupakan amalan baik dan
merupakan anjuran ajaran agama. Sebagaian besar masyarakat Banjar memiliki
keyakinan bahwa tahlilan adalah amalan baik yang perlu untuk dilaksanakan, baik
secara pribadi atau dilaksanakan bersama-sama (berjamaah) sebagai bentuk
ibadah kepada Allah.

Tahlilan berarti dzikir yang bisa dibaca kapan saja, misalkan sedang tidur,
membaca, sedang duduk ataupun dalam keadaan apapun. Karena tahlilan ini
sifatnya mengagungkan nama Allah. Tahlilan bisa dibaca sendiri ataupun
berjamaah, tahlilan yang dibaca secara berjamaah maka doa salah satu diantara
orang tersebut dapat dikabulkan/diterima oleh Allah. Tahlilan yang umumnya
dibaca saat ada yang meninggal berarti hadiah bagi si mayit supaya segala
dosanya diampuni oleh Allah SWT. Kalau membaca tahlil selain mendoakan

4
_______ (Online) Tersedia di
http://enpri.indonesiaheritage.org/indo/katalog/detail/90/death-of-tradisional-ceremony-south-
kalomantan Diakses tanggal 17 Februari 2021.

14
mayit juga untuk yang membaca mendapatkan pahala dan juga merupakan
shadaqoh pada orang yang meninggal dan fadhilahnya disampaikan kepada orang
yang meninggal. Adapun keistimewaan yasinan-tahlilan yang lain adalah: (1)
Apabila ada orang yang istiqomah membaca laa ilaha illa Allah sampai mati
akan tetap membaca kalimat itu. (2) Apabila orang yang selalu membaca laa
ilaha illa Allah akan mati dalam keadaan husnul khotimah.

Namun dalam pelaksanaan amalan baik berupa tahlilan ini kemudian


menjadi fenomena sosial tersendiri karena keberadaan tahlilan ini telah menjadi
sebuah tradisi yang membudaya dalam masyarakat, khususnya pada msyarakat
Banjar, dengan memiliki bentuk yang khas seperti dalam acara tahlilan itu
memiliki waktu-waktu tertentu yang dianggap perlu untuk mengadakan acara
tersebut. Tahlilan yang diikuti oleh pembacaan surat yasin adalah suatu kegiatan
Ritual keagamaan yang di lakukan masyarakat muslim dalam rangka
memanjatkan do’a atau istighfar membaca kalimat–kalimat toyyibah yang
dihadiakan kepada arwah orang yang telah meninggal dunia, baik bagi orang yang
baru meninggal dunia (1-7 hari) 40 hari,100 hari ,maupun halnya (1 tahun) nya
mereka berkumpul bersama dalam majelis membaca tahlil surat yasin dan ditutup
dengan do’a.

Adanya sebuah forum perkumpulan yang melibatkan banyak individu dalam


suatu komunitas atau jamaah. Kenyataan ini menjadi sebuah pengganti dari
sekedar kenyataan berbuat yang tidak memiliki manfaat dari sebuah perkumpulan,
yang biasanya hanya sekedar omong-omong saja, kemudian diisi dengan kegiatan
yang baik. Tahlilan dan Yasinan diadakan dengan cara berjama’ah dengan
memperbanyak membaca dzikir dan membaca ayat-ayat Al Qur'an. Dilihat dari
makna tahlilan itu sendiri; afdlalu adzdzikri laa ilaha illa Allah (lebih bagus dzikir
dengan bacaan laa ilaha illa Allah). Sedangkan Yasinan yaitu membaca surat
Yasin karena memang secara logika tidak dapat jadi alasan mengapa harus surat
Yasin. Dimana semua ayat-ayat Al Qur'an sama-sama bagusnya untuk kita

15
bacakan. Tapi Nabi telah menganjurkan kepada para sahabat dan umatnya dan
bersabda : “ Bacakanlah surat Yasin untuk saudara-saudara yang tiada.”5

5
Hamim Farhan, Ritualisasi Budaya Agama dan Fenomena Tahlilan Yasinan sebagai
Upaya Pelestarian Potensi Kearifan Lokal dan Penguatab Moral Masyarakat, (Gresik:
Universitas Muhammadiyah Gresik, Vol. 5 No. 2 (2008) h. 91

16
BAB III

PERGESERAN KEBUDAYAAN

Animisme-dinamisme adalah merupakan unsur yang paling menonjol


pada pelaksanaan baaruah, terutama baaruah yang dilaksanakan oleh orang
Islam Banjar. Persembahan yang awalnya diperuntukkan kepada roh nenek
moyang saja, ketika Hindu-Budha masuk persembahan diperuntukkan juga
kepada dewa-dewi yang ada dalam ajaran Hindu- Budha.

Dalam kehidupan manusia, tidak mungkin statis, pasti akan berubah pada
setiap waktu tertentu. Wujud tradisi baaruah penuh dengan unsur-unsur
kepercayaan Animisme-Dinamisme, kemudian ditambahi dengan unsur-unsur
Hindu-Budha serta Islam. Setiap penambahan tidak ada dalam baaruah
tentunya akan mengubah sebuah bentuk baaruah, hal ini menunjukkan bahwa
segala sesuatu tentulah mengalami perubahan. Pembaruan tentu berakibat
pada perubahan pola kehidupan manusia.

Kegiatan baaruah tetap masih ada, hanya saja bentuknya yang berubah
karena nilai-nilai ajaran sebelum Islam telah sedikit demi sedikit memudar
tergeser oleh pengilhaman ajaran Islam yang semakin kuat. Fungsi baaruah
yang dahulunya sebagai salah satu bentuk ritual keagamaan yang sakral, kini
berfungsi lebih sebagai sarana untuk bersedekah serta menjaga hubungan baik
dengan sesama anggota masyarakat. Pada masyarakat Banjar acara baaruah
berbentuk lazim tidak lebih dari sebuah acara tahlil dan berdo'a bersama
dalam sebuah pengajian, yang kemudian dapat diikuti dengan makan
bersama. Aktifitas ritual baaruah kematian merupakan upacara yang sangat
sakral. Dahulu, pengadaan baaruah untuk meninggalnya seseorang adalah
agar leluhur yang telah tiada mengganggu anak cucu yang masih hidup di
dunia. Pemberian persembahan yang berupa makanan atau sesaji tidak
mungkin lupa disediakan dalam setiap upacara baaruah. Masyarakat Banjar
percaya sesaji akan membuat para leluhur senang dan berkenan hadir dalam

17
upacara baaruah untuk memberikan keselamatan pada anak cucunya di
dunia.

Pada zaman dahulu, kenduri dilaksanakan dengan adanya sesaji yang


syarat akan nilai ajaran sebelum Islam. Pada zaman modern, banyak orang
yang tidak lagi menghiraukan makna yang terkandung dari sesaji-sesaji yang
harus disediakan. Dihilangkannya sesaji atau perlengkapan yang dikelola
Animisme-Dinamisme, Hindu-Budha yang ada dalam kenduri kematian
menunjukkan bahwa agama Islam diimplementasikan secara murni oleh
masyarakat sekarang. Tradisi dengan sasaji saat ini hanyalah lebih pada
sekedar melestarikan budaya Banjar yang telah ada sejak lama, karena
kebanyakan orang yang masih melakukan upacara baaruah tidak tahu arti
atau makna sesaji dan prosesi yang dilakukan.

Pada zaman dahulu upacara baaruah harus dilakukan di rumah orang


yang meninggal kecuali dengan alasan tertentu, dengan banyak persiapan
yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat terdekat . Namun, sekarang
upacara ini dibuat lebih sederhana, seperti kebanyakan masyarakat Banjar
sekarang biasanya mengadakan upacara baaruah setelah pengajian di majlis
atau di mesjid setelah selesai shalat fardhu dengan rincian kegiatan:
pembacaan surah yasin, tahlilan, dan do’a.

Selain itu, jika pada zaman dahulu hidangan yang disuguhkan dalam
upacara baaruh biasanya dimasak atau disiapkan oleh keluarga dan
masyarakat secara gotong-royong, berbeda dengan sekarang di mana orang
terbiasa memesan masakan dari cathering dan bahkan hidangan tersebut
sudah dibungkus sehingga undangan bisa memakan hidangan tersebut di
rumah, tidak di tempat upacara.

Secara garis besar alasan masyarakat di Banjar memilih meninggalkan


model kenduri bentuk kuno dan beralih pada bentuk modern antara lain:

a. Praktis.

18
Masyarakat perkotaan masyarakat terbiasa hidup dengan cara-cara
yang cepat, mudah, serta semuanya serba praktis.

b. Pengoptimalan daya guna.

Kenduri kematian dengan bentuk tradisional terdiri dari makanan


yang terlebih dahulu harus dilakukan. Makanan yang telah dibuat
akan menjadi dasar jika terlalu lama didiamkan, dan itu menjadikan
hal yang mubadzir. Berbeda jika berkatan dibuat dengan model
modern, yang terdiri dari bahan mentah yang tidak akan basi
meskipun beberapa hari, jadi berkatan yang didapat oleh tamu
kenduri tidak akan terbuang sia-sia jika tidak dimakan saat itu juga.

c. Keterbatasan fasilitas.

Untuk melakukan model upacara baaruah model lama dengan akan


memerlukan tempat yang luas, namun jika suatu rumah denga luas
yang pas-pasan model kenduri kuno tidak akan memungkinkan
dilakukan.

d. Tidak adanya orang tua sebagai pengarah.

Dalam upacara baaruah yang mengerti betul prosesi serta sesaji


yang ada diaturan pakem adat Jawa adalah para orang tua, jadi ketika
para orang tua telah tiada, golongan muda yang tidak paham apa pun
soal seluk beluk adat upacara baaruah maka beberapa orang akan
melaksanakan kenduri sasuai apa yang orang- orang muda pahami.

e. Kesadaran akan agama.

upacara baaruah merupakan budaya adat, bukan budaya agama.


Masyarakat semakin paham, dari kegiatan dalam upacara baaruah
yang terpenting hanyalah do'a bukan perlengkapan.

f. Penghematan biaya operasional.

19
Sebuah tradisi atau upacara tentulah tidak lengakap jika tanpa
perlengkapan yang beragam. Untuk memenuhi perlengkapan
tentunya membutuhkan biaya yang sekiranya tidak sedikit. Karena
alasan, beberapa bentuk kenduri saat kini dilakukan dengan
sederhana.

Suatu perubahan pasti akan berakibat postif maupun negatif. Termasuk


kebiasaaan atau adat dalam melakukan kenduri. Berubahnya bentuk kenduri
dari bentuk lama yang sarat akan kepercayaan lama menjadi bentuk baru yang
lebih diutamakan dari unsur Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa
perkembangan Islam dari waktu ke waktu semakin meningkat kualitasnya.
Dampak negatif dari terbentuknya adat baru dalam ritual kenduri adalah
kenduri tidak lagi sesuai dengan tujuan utama yaitu hanya memohon
keselamatan dan bersedekah. Kenduri kematian model modern akan menjadi
ajang bersaing untuk saling mengunggulkan diri hingga menimbulkan
kecemburuan sosial bagi masyarakat sekitarnya yang ekonominya biasa saja.

Selain pergeseran pada budaya baaruah, juga terjadi pada budaya


tahlilan. Fenomena tahlilan merupakan kegiatan perkumpulan yang
melibatkan orang banyak, sehingga acara ini boleh dibilang hajatan
komunitas masyarakat yang kini tidak hanya dilaksanakan ketika berkaitan
dengan kematian saja sebagaimana pada mulanya fenomena ini muncul. Akan
tetapi kini telah mulai berkembang peran dan fungsi serta makna dari
tahlilan itu sendiri. Karena fenomena tahlilan yang merupakan realitas sosial
sudah masuk pada wilayah-wilayah luas. Semisal adanya syukuran kelahiran,
pindah rumah, acara arisan bahkan pada perkampungan tertentu Acara
Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT), PKK dan sebagainya tidak
bisa dilepasan dari apa yang disebut Fenomena Tahlilan dan biasanya
ditambah Yasinan (pembacaan Surat Yasin). Tidak heran jika kini di setiap
susunan perangkat ke-RT-an dan ke-RW-an ada satu Departemen atau Bidang
Keagamaan yang salah satu bidang garapnya adalah melaksanakan Tahlilan-
Yasinan ini yang terbentuk dalam Forum Jama’ah Tahlilan-Yasinan di

20
sebagian besar perkampungan muslim. Dalam hal kelanggengan tahlilan
dibaca secara rutin setiap malam jum‘at dimana tahlilan tersebut dilakukan
secara berpindah–pindah di dalam Desa dari RT ke RT dan di setiap tahunya
mengadakan tour Wali Songo untuk menambah semangat mereka dalam
tradisi tahlilan dan melakukan tahlilan selama tujuh hari di rumah keluarga
yang meninggal. Hal tersebut merupakan tradisi yang tidak bisa dipisahkan
dari masyarakat. Karena mereka sudah mempercayai bahwa tahlilan
mempunyai manfaat yang luar biasa. Untuk itu meskipun zaman semakin
modern tidak akan berpengaruh pada tradisi ini, karena tradisi ini sudah
melekat di masyarakat dari zaman nenek moyang dulu sampai di zaman
modern ini, dan dengan adanya tahlilan ini masyarakat bisa lebih terkontrol
lagi terutama para pemuda yang selalu menyala gunakan teknologi. Dari
sinilah Fenomena Tahlilan ini sebagai ajang bertemu dan berkumpulnya
individu-individu yang memiliki tujuan dan hajat bersama dalam membentuk
sebuah ikatan-ikatan sosial dan solidaritas.

21
BAB IV

PENGARUH PENYELENGGARAAN UPACARA KEMATIAN ADAT


BANJAR

Persentuhan budaya Islam dengan budaya lokal sangat berpengaruh dalam


kehidupan bermasyarakat. Pengaruh Islam terhadap budaya lokal memberi
dampak terhadap penyebaran Islam karena dengan percampuran budaya Islam
dengan budaya lokal, penyebaran Islam lebih mudah diterima. Pengaruh pada
masyarakat Banjar dalam penyelenggaraan kematian ini adalah sangat
berpengaruh dimana tradisi-tradisi lokal mampu bersanding dengan kebudayaan
asing yang memberi dampak yang besar bagi kehidupannnya. Mereka bekerja
bersama dengan didasari rasa ikhlas tanpa pamrih dan meminta imbalan. Dengan
adanya percampuran budaya ini mereka bergotong royong dalam membantu
saudara yang sedang dalam kesusahan..

Ajaran Islam yang dipegang menjadi lebih baik. Keikutsertaan masyarakat


dalam penyelenggaraan kenduri kematian ini sangat baik karena mampu
mengurangi rasa duka yang dialami oleh ahli waris, meski dari segi biaya banyak
keluar. Percampuran budaya lokal dengan Islam memberi pengaruh yang sangat
besar karena memberi dampak yang positif, seperti terjalinnya silaturrahim,
bergotong royong dan mereka menyampingkan masalah-masalah pribadinya
ketika dalam membantu tetangga siapa saja yang meninggal.

22
BAB V

ANALISIS BUDAYA KEMATIAN ADAT BANJAR BERDASARKAN


SYARI’AT ISLAM

Analisis budaya dan pantangan yang terjadi pada upacara kematian adat
Banjar sebagaimana tebel berikut.

No Budaya Akul Eli Stim Asi Alasan


. tura min ulus mila
si asi si
1. Upacara √ Adanya akulturasi Islam baik
baaruah dilihat dari pengertian, tujuan,
pembacaan tahlil, penjamuan
makanan serta hadiah pahala
untuk ahli kubur dari tradisi-
tradisi yang telah ditinggalkan
oleh pengaruh budaya Hindu
dan animisme
2. Penyajian √ Karena orang yang meninggal
sesaji untuk atau roh-roh tidak bisa
mayit memakan hidangan yang di
sajikan. Ini bisa menjadikan
makanannya mubadzir dan
menimbulkan kesyirikan.
3. Tujuan Sebelum Islam datang upacara
hidangan/ ini telah ada ditandai dengan
sesaji adanya hidangan atau sesajen
yang disediakan untuk roh atau
arwah agar tidak mengganggu
orang yang masih hidup.
Namun setelah Islam datang
upacara ini diakulturasi dalam
hal tujuan penyediaan
hidangan untuk undangan yang
telah bersedia mendo’akan
mayit.
4. Menyediakan √ Imama Suyuthi berkata:
makanan “Kebiasaan memberikan
untuk sedekah makanan selama tujuh
undangan hari merupakan kebiasaan
dengan niat yang telah berlaku hingga
sedekah sekarang (zaman Imam
Suyuthi, sekitar abad IX

23
Hijriyah) di Mekah dan
Madinah.6
4. Tahlilan- √ Merupakan bentuk
Yasinan pengislaman oleh para Wali,
dari
√ Manfaat tahlilan-yasinan
diyakini sebagian masyarakat
sebagai media untuk
menyambung budaya
kekerabatan (silaturrahim) dan
kerukunan antar warga.
4. Pembacaan √ Tradisi ini disinyalir dirujuk
Al-Qur’an dari hadis Nabi Muhammad
pahalanya saw, meskipun tidak semuanya
dihadiahkan mengetahui persis teks hadis
kepada mayit yang tersebut, karena
pada upacara pengetahuan yang berkembang
Mukaddam didapat dari para tokoh agama
dan Manjaga melalui ceramah-ceramah.
Kubur Para penunggu makam
mempunyai sikap atau
pandangan serta tujuan yang
berbeda-beda. Ada yang
memang bertujuan untuk
melestarikan bacaan al-Qur’an
dalam setiap moment apapun,
ada juga yang berniat sekedar
mengabulkan hajat orang yang
meminta tolong tersebut,
bahkan ada juga yang
memandang tradisi ini sebagai
sarana untuk tambahan
pemasukan komisi kantong.7
6. Basusup di √ Maksud dari upacara basusup
bawah ini bagi orang yang
keranda mempercayainya yaitu sebagai
mayit bentuk penghormatan dan
untuk mendapatkan tuah dari
orang yang meninggal.

6
Ahmad Busyairi, “Akulturasi Budaya dalam Upacara Kematian Masyarakat Kota
Kediri Lombok Barat” Vol. 17 No. 2 (2018): h.247.
7
Miftahul Jannah, “Living Hadits dalam Tradisi Menjaga Kubur Masyarakat Banjar
KAB. HST KalSel”..... h.41.

24
Menurut penulis upacara ini
sebaiknya dieliminasi karena
tidak ada hukum yang
mendasar dan tidak logis.
7. Menyalakan √ Jika tujuannya untuk
dupa memanggil roh-roh atau arwah
pertanda yang telah meninggal.
dimulainya √ Jika tujuannya sebagai
kenduri pengharum ruangan dengan
membakar dupa, mustiki, kayu
gaharu yang membawa
ketenangan suasana. Karena
‘ittiba’ dengan Rasulullah
Saw. karena beliau menyukai
wangi-wangian, baik minyak
wangi, bunga-bungaan ataupun
pembakaran dupa.
8. Mandi √ Disunnahkan dan tak sampai
sesudah wajib bagi orang yang telah
mengubur memandikan jenazah untuk
atau mandi dan bagi orang yang
pelaksanaan mengusung jenazah untuk
jenazah. berwudhu.8
9. Beberapa √ Tidak ada dasar hukum dan
pantangan tidak logis.
pada upacara
baaruah ini
yaitu:
 Larangan
membawa
pisang ke
rumah
duka
 Menghida
ngkan kue
lapis

8
_______ (Online) tersedia di
https://www/dakwahmanhajsalaf.com/2019/06/benarkah-dianjurkan-untuk-mandi-setelah-
memandikan-jenazah.html?m=1 Diakses tanggal 12 Maret 2021.

25
BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:

1. Mayoritas agama yang dianut masyarakat Banjar adalah Islam NU


(Nahdatul Ulama), hal tersebut terlihat dari keseharian masyarakat Banjar
yang masih rutin menjalankan ritual-ritual seperti baaruah atau upacara-
upacara sejenis lainnya.
2. Masyarakat Banjar yang berkekuatan beragama Islam hingga sekarang
belum bisa meninggalkan adat budaya Banjarnya. Masyarakat masih
menjalankan tradisi-tradisi Banjar yang salah satunya adalah tradisi
baaruah.
3. Dalam suatu tradisi baaruah tidak pernah lepas dari perlengkapan serta
sesaji yang beragam. Perlengkapan-perlengkapan tersebut memiliki
makna dan nilai filosofis yang tinggi bagi kehidupan manusia.
4. Pergeseran nilai-nilai tradisi baaruah yang terjadi di masyarakat Banjar
terlihat pada berbagai hal dalam pelaksanaan baaruah sekarang. Dahulu
tujuan sebuah kenduri adalah menjaga hubungan baik kepada sang
pengusa alam, kini baaruah bertujuan lebih pada sarana untuk
bersedekah dan menjaga hubungan baik dengan masyarakat sekitar.
Prosesi dan perlengkapan dalam tradisi baaruah kini penuh dengan
unsur-unsur kepercayaan lama lebih mengutamakan unsur Islam.

Alasan masyarakat mengubah tradisinya adalah:

a. Praktis,
b. Pengoptimalan daya guna,
c. Keterbatasan fasilitas,
d. Tidak adanya lagi para orang tua yang ahli kenduri,
e. Semakin sadarnya masyarakat akan kaidah-kaidah agama, dan

26
f. Penghematan biaya operasional.

Dampak positif dari fenomena tersebut adalah pemahaman masyarakat


mengenai ajaran Islam. Untuk dampak negatifnya adalah tradisi baaruah tidak
lagi sesuai dengan tujuan utama yakni memohon kesalamatan pada penguasa
alam.

B. Saran

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat diajukan saran sebagai


berikut: Masyarakatnya dilindungi sebagai masyarakat Banjar yang dimonitor
tetap baik kebudayaan serta nilai-nilai luhur dalam khasanah kebudayaan Banjar,
namun sebagai masyarakat yang beragama Islam masyarakat yang dimilikinya
mampu memilah mana yang sesuai dengan ajaran Islam dan mana yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam.

27
DAFTAR PUSTAKA

Busyairy, Ahmad, “Akulturasi Budaya dalam Upacara Kematian


Masyarakat Kota Kediri Lombok Barat” Vol. 17 No. 2 (2018): h.247.

Daud, Alfani, Islam dan Masyarakat Banjar Deskripsi dan Analisa


Kebudayaan, Jakarta: PT Grafindo Persada, 1997.

Farhan, Hamim, Ritualisasi Budaya Agama dan Fenomena Tahlilan


Yasinan sebagai Upaya Pelestarian Potensi Kearifan Lokal dan Penguatab Moral
Masyarakat, Gresik: Universitas Muhammadiyah Gresik, Vol. 5 No. 2, 2008.

Jannah, Miftahul, “Living Hadits dalam Tradisi Menjaga Kubur


Masyarakat Banjar KAB. HST KalSel”.....,

Munawarroh, Alfina, Fungsi Sosial Tradisi Mandoa dalam Upacara


Kematian, Tesis tidak diterbitkan, UNAND, 2016.

________ (Online) tersedia di


https://www/dakwahmanhajsalaf.com/2019/06/benarkah-dianjurkan-untuk-mandi-
setelah-memandikan-jenazah.html?m=1 Diakses tanggal 12 Maret 2021.

________ (Online) Tersedia di


http://enpri.indonesiaheritage.org/indo/katalog/detail/90/death-of-tradisional-
ceremony-south-kalomantan Diakses tanggal 17 Februari 2021.

Poerwanto, Hari, Kebudayaan dan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2008.

28

Anda mungkin juga menyukai