Anda di halaman 1dari 8

RITUAL KEPERGIAN DARI DUNIA BAGI SUKU

KAJANG
PENDAHULUAN
Bulukumba adalah salah satu kabupaten yang berada di Sulawesi Selatan, Indonesia.
Bulukumba secara terminologi berasal dari bahasa Bugis yaitu, “Bulu’ku” dan “mupa” yang
dalam bahasa Indonesia berarti “masih gunung milik saya atau tetap gunung saya”. Namun
dalam kurung waktu yang lama dan diikuti dengan dialek tertentu hingga mengalami
perubahan menjadi Bulukumba. Hingga sampai saat ini dikenal kabupaten Bulukumba (Juma
Darmapoetra, 2014).

Pada dasarnya Kabupaten Bulukumba memiliki dua identitas masyarakat, yaitu


masyarakat Bugis dan masyarakat Kajang, namun masyarakat Kajang juga memiliki bahasa
sendiri disebut bahasa konjo, sebagai bahasa komunikasi sesam suku Kajang maupun suku
lainnya. Dua identitas masyarakat tersebut hidup berdampingan dengan keharmonisannya,
dan saling mendukung satu sama lain.

Di Kabupaten Bulukumba memiliki 10 (sepuluh) kecamatan. Diantara Sepuluh


kecamatan yang ada, terdapat satu kecamatan yang unik dan memiliki kekhasan tersendiri
serta memiliki daya tarik dari segi adat dan tradisi, yaitu Kecamatan Kajang. Keunikan dan
kekhasan yang terkenal adalah pakaian adat sekaligus pakaian keseharian mereka yang
berwarna hitam (warna kebesaran masyarakat Kajang), masih melekatnya kehidupan sosial
yang tradisional dan sederhana pada sebagian masyarakatnya, serta memiliki adat-istiadat
yang kuat dan kental mewarnai kehidupan mereka, sehingga berdaya tarik bagi masyarakat
lain (bagi peneliti).

Dalam tatanan sosial masyarakat Kajang terdapat dua golongan, yaitu masyarakat
Kajang luar dan masyarakat Kajang dalam. Pembagian golongan tersebut didasarkan dengan
wilayah tempat tinggal masyarakatnya. Pada masyarakat Kajang bagian Dalam, berada dalam
wilayah teritorial Kawasan Adat Ammatoa yang dipimpin oleh kepala adat yang disebut
Ammatoa. Sedangkan, pada masyarakat Kajang Luar tersebar di Kecamatan Kajang.

Kedua golongan yang berbeda tersebut dan berada pada wilayah berbeda pula, namun
dalam aktivitas ritual tradisi adat-istiadat mereka masih tetap komitmen melaksanakan tradisi
adat yang sama. Seperti halnya yang akan dibahas dalam penulisan ini mengenai “tradisi
kematian suku Kajang”. Satu tradisi masyarakat Kajang ini masih begitu kental dengan
kepercayaan-kepercayaan pada para pendahulu mereka. Dimana dalam semua komponen-
komponen tradisi tersebut tidak terkontaminasi dengan modernitas yang ada, dengan
kekentalan itu peneliti tertarik untuk membahas dan menuangkannya dalam sebuah tulisan.

Tradisi-tradisi kental ini selain masih bertahan sampai saat ini, juga merupakan salah
satu keunikan dari suku Kajang itu sendiri. Memang bagus untuk di bahasa atau di tuangkan
dalam tulisan, sebagai penambah wawasan dalam kebudayaan Indonesia. Tidak hanya
mengenal suatu kebudayaan namun juga mengetahui nilai-nilai yang d kandungnya, yang
menjadi fokus untuk lebih spesifik dalam penelitian ini,tertuang dalam pertanyaan-pertanyaan
menalar prespektif kematian menurut orang suku kajang ,bala dalam tradisi kematian suku
kajang, dan kandungan dalam tradisi kematian suku Kajang .

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bulukumba tepatnya Desa Bonto Baji Kecamatan
Kajang. Metode penelitian itu sendiri adalah cara untuk memecahkan masalah ataupun
sebagai cara pengembangan ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode-metode ilmiah
yang sistematis dan logis.

Dalam penelitian ini kami menggunakan metode etnografi yang termasuk dalamnya
metode pengumpulan data kualitatif. Suatu catatan etnografis meliputi catatan lapangan, alat
perekam, gambar artefak, dan benda benda lain yang mendokumentasikan suasana budaya
yang diteliti (James P. Spradley. 2007). Etnografi adalah studi mendalam tentang perilaku
alami dalam sebuah budaya atau seluruh kelompok sosial. Metode etnografi adalah prosedur
prosedur penelitian kualitatif untuk menggambarkan, menganalisa, dan menafsirkan unsur-
unsur dari sebuah kelompok budaya seperti pola perilaku, kepercayaan, dan bahasa yang
berkembang dari waktu ke waktu. Dimana fokus dari penelitian yakni bagaimana budaya
pada masyarakat Kajang yang mengenai tradisi kematian yang masih berkembang hingga
saat ini.

Pendekatan etnografi tidak hanya memahami masyarakat melainkan lebih dari itu
etnografi beajar dari masyarakat. Umumnya data terbagi atas data primer dan data sekuder.
Data primer adalah data yang didapat dari sumber pertama, baik dari individu atau perseorang
seperti wawancara atau atau hasil pengisian kuisioner yang biasa diakukan oeh peneliti
(Sugiarto dkk, 2003:16-17). Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak
langsung dan sering disebut metode penggunaan dokumen , karena dalam hal ini peneliti
tidak secara langsung mendapatkan data dari informan atau individu tetapi memanfaatkan
data yang telah dihasilkan atau diolah oleh pihak lain (Metode Pengumpulan Data PDF,
2019).

Selain dari pada jenis data tersebut, dalam mengumpulkan data kami menggunakan
beberapa teknik yakni wawancara dan observasi kepada informan. Teknik wawancara adalah
cara yang dipakai untuk memperoleh informasi melalui kegiatan interaksi sosial antara
peneliti dengan yang diteliti. Dalam intreraksi tersebut kami dalam hal ini peneliti berusaha
mengungkap gejala yang sedang diteliti melalui kegiatan tanya jawab (Slamet, 2006: 101).
Sedangkan teknik observasi adalah teknik pengumpulan data yang bersifat non verbal.
Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa,
tempat atau lokasi serta rekaman gambar. wawancara yang dilakukan tidak hanya pada satu
informan saja melainkan ada beberapa informan yang membantu memberikan informasi
dalam proses pengumpulan data kami. Teknik observasi pun kami lakukan karena kondisi
pada masyarakat kajang sudah ada yang menggunakan teknologi (Teorionline.wrldpress.com,
2019).

PEMBAHASAAN

A. Prespektif Kematian Suku Kajang

Manusia adalah makhlus sosial yang diciptakan Allah Tuhan semesta alam untuk
saling kenal-mengenal karena dengan saling mengenal manusia bisa melangsungkan
hidupnya dan bisa berkembangbiak serta berkomunikasi dengan efektif, baik dalam
komunikasi dengan sesama manusi begitupun dengan alam ( jurnal dirisma). Kematian
adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme biologis. Semua makhluk
hidup pada akhir akan mati secara permanen, baik karena penyebab alami atau penyebab
tidak alami (Wikipedia) Orang kajang percaya bahwa kematian itu adalah proses
perpindahan dari alam yang penuh rintangan dan cobaan kealam yang lain. Kehidupan
manusia didunia diandaikan meniti (allete) menuju ke tempat selanjutnya, lalu masuk
kedalam kandungan (asono) untuk dilahirkan (rianakkang) . selanjutnya manusia meniti
hidup lagi hingga ajalnya tiba dan masuk ke alam baka (Halilintar Lathief, 2014).

Kematian biasanya dianggap sebagai peristiwa duka yang sangat mendalam bagi
setiap manusia didunia ini. Bagi suku Kajang Ammatoa, kematian merupakan suatu
perjalanan yang indah dan penuh nasihat. Sama halnya dengan suku Toraja, suku Kajang juga
dalam hidupnya telah mengetahui akan datangnya kematian bagi setiap orang jadi mereka
melakukan beberapa ritual adat yang telah diwariskan secara turun temurun dan dilestarikan
dengan sangat baik dikarenakan bagi suku Kajang menganggap kematian yang dialami oleh
seseorang itu meninggalkan banyak nilai yang bersifat religius sehingga mereka melakukan
beberapa ritual adat yang menyangkut kematian atau perginya seseorang dari dunia ini.

Kajang dengan segala keunikan ritus kematiannya yang selalu menyangkut dengan
konsep nenek moyang atau nilai leluhurnya masih begitu kental dan begitu eksist hingga
masa saat ini. Prosesi tradisi kemetian ini yang berjalan begitu lama yaitu 3 bulan 10 hari, dan
dengan ketentuan-ketentuan adat yang masih begitu kental. Kemistisan dan kesakralan setiap
prosesi-prosesi tradisis pembahasan ini masih begitu terpancar.

Masyarakat kajang sebahagian besarnya memiliki pemaknaan tersendiri mengenai


kematian yang dialami manusia, yang di tuangkan dengan ritual-ritual tertentu. Masyarakat
Kajang melihat sebuah kematian adalah sebuah proses yang akhirnya akan terlahirkan
kembali manusia yang telah meninggal trsebut.

Dengan menganalogikan kematian dalam artian seluruh prosesi tradisi kemetian


masyarakat Kajang, sama halnya sebuah proses seorang ibu mengandung anaknya ygang
nantinya akan dilahirkan di dunia, begitulah masyarakat Kajang meliat kematian, hingga
semua tertuan dalam tradisi-tradisinya. Proses seorang ibu mengandung dalam waktu 9 bulan
tersebut, memperlakukan dirinya begitu istimewa dan penuh dengan kehati-hatian, dengan
analogi yang sama tersebut masyarakat Kajang melihat sebuah fenomena kematian, yang
dapat tergambarkan secara real dengan prosesi-prosesi tradisinya.

Kematian sudah menjadi barang pasti, akan dialami oleh setiap makhluk hidup, akan
tetapi dengan kesadaran kita bahwa hidup itu tidak lebih hanya tempat persinggahan semata,
maka dari itu dalam kehidupan setidaknya kita bisa membuat suatu hal yang berarti bagi diri
kita maupun orang lain yang berkesan sehingga tak mudah dilupakan. Itulah yang membuat
kematian kita lebih berarti, itu salah satu pandangan orang-orang Kajang mengenai kematian,
maka dari itu saat seseorang mengalami kematian mereka menggunakan sebagian materi
yang mereka miliki berupa harta benda untuk melakukan beberapa ritual kematian yang
masih mereka lestarikan hinga saat ini yang memiliki makna yang sangat mendalam yang
disertai rasa duka yang mereka alami saat ditinggalkan oleh keluarga yang meninggal.
B. NILAI-NILAI TRADISI KEMATIAN KAJANG

Dalam setiap prosesi tradisi kematian orang kajang memiliki pemaknaan-pemaknaan


yang tidak mudah dimengerti, demikianlah penelitian ini dilakukan untuk mencoba
menjabarkan hal-hal yang dianggap tidak rational oleh masyarakat umum.

Pada dasarnya yang menjadi ketertarikan peneliti pada awalnya adalah adanya
pengetahuan awal mengenai tradisi suku Kajang, yaitu bahwa kematian orang kajang
memiliki keunikan tersendiri dibandingkam dengan suku-suku lainya di Indinesia. Seperti
lamanya prosesi kematian orang-orang disana, yaitu 3 bulan 10 hari, dan banyak lagi prosesi-
prosesi didalamnya.

Berikut adalah prosesi-prosei tradisis kematian orang-orang suku Kajang :

1. Memandikan Mayat

Memandikan mayat pada saat sebelum dikuburkan adalah salah satu ritual umum
yang sering kita jumpai. namun ada pula sisi yang menjadi pembeda yang mungkin juga
menjadi keunikan prosesi ini, yaitu ketika ada penangguhan penguburan mayat dikarenakan
adanya sanak saudara atau keluarga yang ditunggu untuk mengikuti acara prosesi ini,
keunukan juga yang menjadi kemistisannya adalah ketika mayat dimandikan oleh parentah (
orang yang yng menaji kepecayaan kepala suku untuk mengurusi kepentigan masyarakat
dalam tradisi, adat, dan sebagainya) tidak mengalami pembususkan hingga berhari-hari.
Namun ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh keluarga serumah oleh mayat, yaitu
diharuskannya berpusa tidak makan tidak minum (hingga samapai mayat tersebut
dikuburkan), sungguh sangat ekstrim hinnga maka dari itu sngat jarang dilakukan dan
biasanya manyat cepat-cepat d kuburkan.

2. Mengunjungi Kuburan

Keluarga dari orang yang meninggal dunia akan mengunjungi kuburan tiga kali dalam
sehari yaitu pagi, siang dan sore pada hari ke pertama sampai hari ke dua puluh. Hari kedua
puluh sampai dengan hari ketujuh puluh hanya akan dilakukan dua kali sehari yaitu pagi dan
sore kemudian pada seterusnya sampai hari keseratus kembali lagi tiga kali dalam sehari.
Tujuan kekuburan orang yang meninggal yaitu mendoakan dan membersihkan disekitar
kuburannya. Orang yang meninggal akan merasa nyaman ketika kuburannya bersih., sama
halnya seperti orang yang hidup mereka tidak menyukai ketika rumah atau lingkungannya
kotor dan akan merasa senang ketika rumah atau lingkungannya itu bersih. Begitu pun yang
dirasakan oleh orang yang meninggal.

3. Makkalle

Makkalle adalah prosesi yang dilakukan bila kematian seseorang sudah mencapai hari
ke-20, yaitu dilakukan pemagaran sekitaran kuburan dengan ukuran kisaran 1 meter
membentuk persegi, dan dengan tinggi pagar kisaran 2 meter. Tujuan makkalle ini untuk
melindungi kuburan dari kerusakan yang di sebabkan oleh hewan liar atau manusia sendiri,
dan selain itu melindunginya dari pengaruh hawa-hawa negative yang mungkin menyerang
konisi kubur maupun mayatnya. Ada pula pandangan lain mengenai hal itu mengapa
dilakukan makkalle karena pemagaran kubur itu di analogikan oleh orang Kajang, sama
halnya orang kajang yang sering menggunakan sarung dalam kesehariannya, pagar itu
dianalogikan sebagai sarung bagi orang yang telah meninggal dunia ( Pung Palasa ).

4. Menyalakan Lilin

Lilin yang mereka nyalakan pada saat tarjadinya kematian didalam keluarga mereka
itu terbuat dari kemiri dan kapur. Lilin tersebut disimpan pada saat orang yang meninggal
dibaringkan sebelum ke kuburannya. Lilin tersebut dibakar dari sore ketika langit sudah
mulai gelap sampai fajar langit mulai terang. Tujuan menyalakan lilin ini untuk menerangi
kuburan orang yang meninggal da nada juga tujuan lain yaitu menerangi jalan dan menuntun
jaln bagi roh orang yang meninggal sampai ke dalam kuburnya.

5. Ma’basing dan Baca Doa

Ma’basing adalah menyuling kemudian sambil diiringi dengan nyanyian yang


mengguanaan bahasa khas disana yaitu bahasa konjo. Suara suling tersebut terdengar saat
orang yang meninggal tersebut dimasukkan kedalam kubur. Biasanya didengar oleh orang
yang berada disekitar kuburan tersebut. Tujuan dari ritual Ma’Basing yaitu lagu itu pun akan
dirasakan oleh orang yang meninggal, Ma’basing ini dilaksanakan tetap baca doa tidak hanya
dilaksanakan pada hari tersebut tetapi juga dilaksanakan pada hari yang berkelipatan 5.

6. A’Dangan

A’Dangan ini dilaksanakan pada hari ke-100. A’Dangan ini seperi malam terakhir
tausiah yang sering dilakukan oleh orang-orang kebanyakan. Keluarganya akan mematok 1
ekor atau 2 ekor kerbau tergantung kesanggupan keluarganya atau tergantung kasta dari
keluarga orang yang mwninggal tersebut. Akan datang pemangku adat. Keluarga tersebut
akan mempesiapkan banyak makanan untuk diberikan kepada Parentah yaitu orang yang yng
menaji kepecayaan kepala suku untuk mengurusi kepentigan masyarakat dalam tradisi, adat,
dan sebagainya. Setelah ritual A’Dagang maka pihak keluarga akan kembali beraktivitas
seperti sebelum keluarganya meninggal seperti memakai pakaian yang diinginkan dan
berdandan. Karena keluarga telah selesai melaksanakan tugasnya kepada keluarga yang
meninggal untuk menghantarkan kea lam akhirat.

Adapun ekspresi kesedihan dari sank saudara maupun kluarga juga menjadi salah satu
ciri khas dari suku Kajang yang mampu dilihat begitu jelas dan sebagai pembeda anara
kondisi keluarga yang baik-baik saja dan yang tidak baik-baik saja, yaitu pihak perempuan
keluarga yang ditingalkan mereka tidak mengenakan aksesoris wajah seperti make up dan dia
juga tidak mengenakan pakaian pada umumnya, hanya menggunakan sarung berwarna hitam
dan baju dalaman. Hal tersebut dilakukan selain sebagai pembeda juga adalah salah satu
tradisi yang diletarikan oleh suku Kajang dengan sebab atau filosofinya bahwa roh orang
yang telah meninggal dunia tidak mengenali sanak keluarga yang mengenakan pakaian pada
umunya ataupun aksesoris wajah pada umumnya seperti make up.

Pada saat keluarga mengunjungi kuburan orang yang meninggal, mereka tidak
semata-mata hanya mendoakan orang meninggal tetapi juga membersihkan kuburan tersebut
dikarenakan bagi mereka itu adalah rumah baru bagi orang yang telah meninggal.
Dianalogikan pula seperti merawat seorang ibu yang telah mengandung dengan
menempatkannya di tempat yang begitu istimewa.

C. BALA ATAU KARMA

Berbicara mengenai bala, mungkin dalam setiap suku memiliki konsekuesnsi disaat
para suku tersebut tidak melaksanakan suatu tradisi adat tersentu yang mengakibatkan
terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan oleh orang yang tidak melakukan tradisi terseut.
Bala terbut terbagi dua yaitu bala bagi orang yang meninggal dan bala bagi sanak saudara
atau keluarga yang bersangkutan.

Adapun bala atau karma tersebut sebagai berikut:

1. Sanksi Sosial
Ketika salah keluarga suku Kajang yang tidak melaksanakan suatu tradisi ritual ini,
maka keluarga tersebut biasanya akan mendapatkan gunjingan-gunjingan dari keluarga lain
dikarenakan mereka merasa tidak peduli dengan keluarganya yang telah meninggal karena
tidak melakukan tradisi ritual tersebut atau bisa disebut mereka mendapatkan beban moral
sebab tidak melaksanakan ritual yang telah dilakukan oleh para leluhur mereka. Gunjingan-
gunjingan ini biasanya menyerang psikis sesorang yang membuatnya tidak lagi terlihat sebai
salah atau termasuk dalam kelompok suku Kajang.

2. bala karma

a. Karma bagi keluarga

Bala bagi keluarga yang memiliki salah seorang keluarga yang meninggal,
disebabkan karena tidak menjalankan tradisi tersebut dikatakn suatu saat nantinya akan
mendapatkan musibah yang sangat sulit untuk ditemukan jalan keluarnya. Begitu
konsekuensi dari sakralnya tradisi ini.

b. Bala bagi orang yang telah meninggal

Ada pun karma atau siksaan bagi mereka yang telah meninggal dunia namun
keluarganya tidak menjalankan tradisi nenek moyannya, maka orang yang teah meninggal
tersebut mendaptkan ketidak tenangan dalam prosesnya menuju akhirat, atau rohnya tidak
memiliki bekal untuk sampai ke akhirat.

KESIMPULAN

Kematian adalah suatu hal yang pasti akan dialami oleh setiap makhluk hidup pada
waktu yang telah ditakdirkan oleh Tuhan, oleh karena itu alangkah baiknya kita sebagai
manusia sebagai makhluk hidup yang sempurna memanfaatkan waktu hidup yang telah
diberikan dengan cara mampu berguna bagi orang lain serta bisa mengukir sejarah-sejarah
indah yang belum pernah dilakukan oleh kebanyakan orang sebelummnya. Terkait dengan
ritual suku Kajang, mereka memeang telah mempersiapkan kematian da jiak kermatian
tersebut tiba, maka keluarga dari orang yang telah meninggal tersebut akam melakukan
beberapa ritual yang mengandung nilai-nilai tertentu yang disertai rasa berduka dengan cara
mengekspresikan rasa duka itu dengan melakukan beberapa tradisi yang telah diturunkan dari
para leluhur mereka sebelumnya dan teap mereka lestarikan hingga saat ini seperti
mengunjungi kuburan, makkale, menyalakan lilin, ma’basing, a’dangan.

Anda mungkin juga menyukai