Anda di halaman 1dari 4

Pandangan Masyarakat Terhadap Kebudayaan Nyadran

Kevin Putra Setyawan


Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas
Maret, Surakarta, Indonesia
E-mail: kevinputras27@gmail.com

Abstract. Indonesia is an archipelago that has a variety of cultures from various regions. Starting
from ethnic, regional and religious cultures. Culture is closely related to society. One important
culture in Indonesia is Javanese culture. Javanese culture contains values that guide and guide
people's lives. Java community, especially those who are Muslim, have a variety of ways to
welcome the month of Ramadan, one of which is to do nyadran. In the development era of
traditional ceremonies as a vehicle for noble culture still plays an important role in society. There
are still many people who believe that if they do not carry out a nyadran culture, they will be
exposed to things that are not desirable. This study seeks to find out how people's views about
kebadayan nyadran. This study describes how the Surkarta people view the Nyadran tradition.
The method used in this study is the interview method. The results of this study will yield about
how the public view of the traditional ceremony of Nyadran which is still valid today.

Keywords: Culture, Nyadran, Javanese

1. Pendahuluan
Kebudayaan merupakan suatu hasil karya, rasa, dan cipta suatu masyarakat. Arti masyarakat itu
sendiri adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu
yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, Kebudayaan
Jawa, 1994).Definisi kebudayaan menurut (Taylor, 1871) adalah kebudayaan sebagai keseluruhan yang
kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat dan kemampuan serta kebiasaan yang terdapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Masyarakat dengan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat erat. Masyarakat merupakan
sekelompok orang yang hidup bersama-sama dalam satu daerah yang dapat menghasilkan suatu budaya.
Dengan demikian, tidak akan tercipta suatu kebudayaan tanpa adanya masyarakat. Kebudayaan
merupakan warisan sosial yang haya dapat dimiliki oleh warga masyarakat pendukungnya dengan jalan
mempelajarinnya (Purwadi, 2005).
Bersamaan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dan semakin
maju maka masyarakat ini juga akan mengalami perubahan secara langsung maupun tidak langsung,
karena masyarakat, teknologi, dan ilmu pengetahuan saling mempengaruhi. Pada zaman sekarang
budaya asing dengan mudahnya masuk ke dalam suatu masyarakat yang akan berhadapan dengan
kebudayaan suatu masyarakat tersebut. Sehingga mau tidak mau kebudayaan asing tersebut akan
mempengaruhi nilai-nilai suatu kebudayaan masyarakat tersebut.
Dalam kondisi seperti itu sebenanya masyarakat kita mengalami suatu perubahan yang besar.
Perubahan yang terjadi seperti adanya teknologi komunikasi, transmigrasi, urbanisasi, perkawinan antar
suku dll. Dengan adanya perubahan yang besar tersebut maka kebudayaan suatu masyarakat juga
terkena dampaknya, budaya yang mulanya tumbuh dan berkembang di masyarakat itu sendiri sekarang
telah bercampur dengan kebudyaan-kebudayaan lain. Namun, kebudayaan selalu memberikan sesuatu
yang berkhas, karena pada umumnya diartikan sebagai proses atau hasil karya, cipta, rasa, dan karsa
manusia dalam menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekitarnya (Simuh, 2003).
Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki keanekaragaman. Keanekargaman tersebut
meliputi agama, budaya, traidisi, suku, dan masih banyak lagi. Salah satu contoh keanekaragaman
tersebut adalah keanekaragaman dalam menyambut bulan Ramadan. Setiap daerah memiliki tradisi
tersendiri untuk menyambut datangnya bulan Ramadan. Tradisi berasal dari kata latin traditio yang
berkata dasar trodere, yang mempunyai arti menyerahkan, meneruskan turun menurun (Laksmono,
2009). Tradisi yang berkembang dimasyarakat mempunyai beberapa fungsi,antara lain, yang pertama
,tradisi adalah kebijakan turun temurun. Tempatnya dikesadaran, keyakinan, norma, dan nilai yang kita
anut kini serta di dalam benda diciptakan di masa lalu. Kedua,memberikan legitimasi pandangan hidup,
keyakinan, pranata dan aturan yang sudah ada. Ketiga, menyediakan simbol identitas kolektif yang
meyakinkan memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok. Dan yang ke
empat, membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, ketidakpuasan, dan kekecewaan
kehidupan modern (Sztompka, 2008)
Dalam menyambut bulan Ramadan di Jawa Tengah terutama di Solo terdapat berbagai tradisi.
Salah satunya adalah Tradisi Nyadran. Nyadran berarti berziarah ke tempat makam para leluhur untuk
berdoa dengan membawa bunga tabur dan air. Biasanya sebelum melakukan doa, masyarakat
membersihkan dahulu makamnya. Makna Nyadran sendiri sebagai sebuah refleksi kerukunan,
kebersamaan demi mencapai keharmonisan hidup. Baik hal itu berkaitan dengan yang masih hidup,
yang telah meninggal serta keterikatannya dengan Tuhan.
Tradisi nyadran pada masyarakat Jawa termasuk dalam kearifan lokal yang merupakan suatu
warisan dari para leluhur. Kearifan lokal merupakan prinsip-prinsip dan cara-cara tertentu yang dianut,
dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal dalam berinteraksi dan berinterelasi dengan
lingkungannya dan ditransformasikan dalam bentuk sistem nilai dan norma adat (Febriamansyah, 2008)
Pandangan suatu orang terhadap tradisi dari suatu masyarakat pasti akan beragam. Pandangan
suatu orang bisa positif atau negatif tergantung dari bagaiamana prespsi suatu orang tersebut. Proses
modernisasi telah mendorong penyerapan pengaruh, sehingga presepsi suatu orang terhadap tradisi
nyadran juga ikut bergeser. Dengan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk meneliti
bagaimanakah pandangan masyarakat terhadap tradisi nyadran yang masih dilaksakan di zaman
sekarang.

2. Metode
Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif, yaitu data yang
dikumpulkan bukan berupa angka-angka melainkan data yang berasal dari hasil wawancara. Pendekatan
kualitatif ini digunakan untuk menggambarkan data yang diperoleh dari wawancara tentang pandangan
masyarakat terhadap kebudayaan nyadran. Lokasi yang digunakan sebagai tempat penelitian ini terletak di
Kota Surakarta.

3. Hasil dan Pembahasan


Tradisi Nyadran merupakan upacara selamatan di Jawa untuk menghormati arwah leluhur yang
telah meninggal dunia yang dilaksanakan rutin setahun sekali menjelang bulan ramadhan tepatnya pada
bulan Ruwah atau Sya’ban (Santoso, 2012). Masyarakat Jawa memiliki anggapan bahwa makam nenek
moyang adalah tempat untuk melakukan kontak dengan leluhurnya (Koentjaraningrat, 1994).
Pandangan hidup orang jawa merupakan paduan dari alam pikir Jawa tradisional, kepercayaan Hindu,
dan ajaran Islam (Herusatoto, 2000).
Setiap kebudayaan itu memiliki fungsi. Begitu juga denga tradisi nyadran yang ada di Kota
Surakarta ini. Dengan adanya tradisi nyadran dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai alat pengikat
rasa persaudaraan diantara warganya telah memenuhi kebutuhan batin manusia yang mempunyai naluri
untuk hidup bersama dengan manusia lainya. Dengan adanya silaturahmi, solidaritas yang ada di dalam
kehidupan masyarakat akan tetap terjaga
Setiap orang memiliki presepsi terhadap tradisi nyadran yang berbeda tergantung dari
bagaimana cara tersebut dimaknai. Persepsi merupakan tindakan mengindra, mengenali, dan
menafsirkan suatu informasi untuk mendapatkan suatu gambaran dan pemahaman. Pada masyarakat
Jawa sendiri memiliki kebiasaan setiap kali datangnya ramadan. Kebiasaan itu adalah suatu tradisi yang
terjadi secara turun-menurun dilakukan, yang telah bertahan sekian lama hingga sekarang ini yaitu
Tradisi nyadran. Sebagaimana yang terjadi di daerah Jawa lainnya, di Jawa tengah terutama kota Solo
Tradisi nyadran masih terus dilestariakan dari masa ke masa.
Setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap tradisi nyadran tersebut. Seperti
yang diungkapkan oleh Bapak Joko bahwa nyadran itu merupakan tradisi dari orang-orang terdahulu
yang harus dilestarikan karena dengan nyadran kita bisa mendoakan para leluhur kita, bisa berkumpul
dengan saudara-saudra, dan juga bisa membagikan rezeki kepada orang lain.
Lain halnya dengan yang diungkapkan oleh Bapak Joko, Bapak Yoto berpendapat bahwa
kegiatan nyadran itu tidak seharusnya dilakukan karena menurutnya itu bukanlah ajaran islam. Nyadran
itu sama saja bisa disebut ‘id (kegiatan berkumpul di suatu waktu tertentu, tempat tertenu) sedangkan
nabi Muhammad SAW melarang kuburannya dijadikan ‘id. Jika kuburan beliau saja di larang apalagi
selain kuburan beliau.
Sedangkan pendapat dari Mbah Lamdi adalah nyadran merupakan suatu kegiatan untuk
memperingatkan diri kita bahwa sejatinya manusia itu tidak akan hidup selamanya pasti suatu saat nanti
akan mengalami kematian. Maka dengan diadakannya tradisi nyadran tersebut diharapkan masyarakat
akan ingat terhadap kematian. Sehingga orang-orang akan berhati-hati dalam bertindak, akan selalu
berbuat kebaikan, akan selalu berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan.
Pendapat dari Mbah Ti adalah nyadran itu boleh-boleh saja dilaksankan asalkan tidak melebih-
lebihkan tradisi tersebut seperti menghiasi makam berlebihan, mengasih menyan yang bermaksud untuk
memunculkan kepercayaan takhayul seperti meminta kekayaan secara material, meminta pekerjaan
kepada makhluk makhluk ghaib dan memelencengkan keiman bukan kepada Allah tetapi kepada benda
benda mati ataupun kepada nenek moyang yang telah taiada. Nyadran merupakan tradisi jawa sehingga
kita sebagai masyarakat jawa sudah seharusnya tetap menjaga dan melaksanakan tradisi tersebut agar
tidak hilang tradisi tersebut.
Padangan terhadap nyadran menurut Bapak Tofa adalah bahwa kegiatan nyadran itu sebaiknya
tidak usah diadakan karena menurut Bapak Tofa orang-orang jaman sekarang yang melakukan nyadran
hanyalah untuk sekedar berkunjung saja seperti apakah kita pernah melihat orang-orang yang setelah
nyadran terlihat menangis atau kecewa karena ingat mati dan dosanya. Menurutnya mendoakan para
leluhur juga tidak hanya pada saat-saat tertentu, melainkan dapat dilakukan setiap hari dan pada saat
kapanpun, serta dimanapun kita berada.
Pandangan terhadap nyadran menurut Ibu Sri adalah Kebudayaan jawa turun menurun yang
memiliki nilai luhur yang cukup tinggi. Karna, dalam nyadran tersendiri terhubung jiwa antara manusia
yang hidup di dunia dan manusia yang sudah meninggal. Keterikatan ini menjadi sebuah kebudayaan
yang sangat sakral dan spiritual. Sesuai dengan kepercayaan yang dianut setiap manusia mendoakan
manusia yang sudah tiada merupakan sesuatu yang mulia. Dan kebudayaan nyadran itu memuat
kepercayaan yang mulia tersebut. Selain mendoakan dan kembali terhubungnya jiwa antara manusia
yang masih hidup dan manusia yang telah tiada, muncul juga silahturahmi antara manusia manusia yang
juga melaksanakan nyadran di dalam daerah tersebut, mereka bersama, bertemu dan mempertahankan
kebudayaan ini dengan khidmat dan rukun. Dan menurutnya kebudayaan ini perlu di lestarikan karena
bermanfaat secara spiritual, maupun sosial.

4. Simpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan pandangan masyarakat terhadap tradisi nyadran terdapat 2
sisi. Sisi yang pertama, bahwa seharusnya masyarakat tetap menjaga dan melestarikan tradisi nyadran
tersebut karena itu merupakan bentuk pelestarian nilai luhur, dan kebudayaan warisan dari para leluhur,
berkaitan dengan yang masih hidup, yang telah meninggal serta keterikatannya dengan Tuhan, juga itu
sebagai sarana mendoakan para leluhur kita dan mengingatkan kita bahwa sejatinya kita itu hidup tidak
selamanya pasti suatu saat nanti akan mengalami kematian maka dari itu kita akan terus melakukan
kebaikan.
Kedua, tradisi nyadran tidak seharusnya dilakukan karena tradisi tersebut bertentangan dengan
ajaran Islam yaitu dengan menjadikan kuburan sebagai ‘id (tempat berkumpul pada waktu tertentu)
yang sebagaimana dilarang oleh rasulullah SAW dan mendoakan para leluhur seharusnya tidak pada
saat-saat tertentu seperti itu, tetapi setiap hari setiap saat dimanapun kapanpun.

5. Daftar Pustaka
Febriamansyah, Z. d. (2008). Kearifan Lokal dan Pemanfaatan dan Pesisir. Jurnal Agribisnis
Kerakyatan.
Herusatoto, B. (2000). Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.
Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa: Seri Etnografi Indonesia No.2. Jakarta: Balai Pustaka.
Laksmono, P. M. (2009). Tradisi: Dalam Struktur Masyarakat Jawa, Kerajaan, dan Pedesaan.
Yogyakarta: Kepel Press.
Marzali, A. (2006). Struktural Fungsionalisme.
Purwadi. (2005). Budi Pekerti Jawa: Tuntunan Luhur Budaya Adiluhung. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santoso, I. B. (2012). Spiritualisme Jawa: Sejarah, Laku, dan Intisari Ajaran. Yogyakarta: Memayu
Publishing.
Simuh. (2003). Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta: Teraju.
Sztompka, P. (2008). Sosiologi Perubahan Sosial. Yogyakarta: Penanda Media Group.
Taylor, E. B. (1871). Primitive culture: research into the development of mythologi, philosophy, religion,
art, and sutom (Vol. 2).

Anda mungkin juga menyukai