Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS MAKNA KULTURAL PROSES RITUAL PENGOBATAN BAPIDARAAN

PADA TRADISI BUDAYA ADAT BANJAR DI DESA SUNGAI SAREN KEC. BRAM
ITAM KAB. TANJUNG JABUNG BARAT

Yessa Yuliana
Universitas Jambi
JL. Jambi-Muara Buliana No.KM. 15, Mendalo Darat, Kec. Jambi Luar Kota, Kab. Muaro
Jambi, Jambi
yessajuliana02@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini adalah studi kasus etnografi dengan pendekatan kualitatif bertujuan untuk
menyampaikan makna kultural dari proses ritual pengobatan Bapidaraan di Desa Sungai Sareb
Kec. Bram Itam Kab. Tanjung Jabung Barat. Bapidaraan merupakan pengobatan tradisoanal
yang mana masih melekat di kehidupan sosial masyarakat tersebut dan dipercaya bisa mengobati
dari gangguan roh atau mistis. Penelitian ini menggunakan tiga narasumber, yang terdiri dari satu
laki-laki dan dua perempuan. Metode pengumpulan data dilakukan secara tekni wawancara,
observasi dan dokumentasi. Sedangkan pada analisis data dilakukan secara mereduksi data yang
sudah dilakukan dari proses pengumpulan data. Dari penelitian ini, ditarik kesimpulan bahwa,
ritual pengobatan Bapidaraan memang sangat kental dengan proses kepercayaan mistis dengan
menggunakan berbagai media yang digunakan untuk keberlangsungan proses ritual pengobatan,
ditemukan juga bahwa perwarisan ritual ini memiliki syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi
oleh si pengguna.
Kata Kunci: Etnografi, Bapidaraan, kepercayaan Mistis

Abstract
This research is an ethnographic case study with a qualitative approach aimed at
conveying the cultural meaning of the ritual process of Bapidaraan treatment in Sungai Sareb
Village, Kec. Bram Itam Kab. Cape Jabung Barat. Bapidaraan is a traditional medicine which is
still inherent in the social life of the community and is believed to be able to cure spiritual or
mystical disorders. This study used three informants, consisting of one man and two women.
Methods of data collection carried out technical interviews, observation and documentation.
While the data analysis is done by reducing the data that has been done from the data collection
process. From this study, it was concluded that the Bapidaraan healing ritual is indeed very
thick with a mystical belief process using various media used for the continuation of the healing
ritual process. It was also found that the inheritance of this ritual has certain conditions that
must be met by the user.
Keywords: Ethnography, Bapidaraan, Mystical belief
A. PENDAHULUAN
Bahasa adalah pra-syarat dalam menjalin komunikasi dalam interaksi sosial. Timbulnya
bahasa sebagai bentuk komunikasi tumbuh pada situasi-situasi tertentu bisa saja terjadi ketika
objek-objek seperti bunyi-bunyi binatang atau peristiwa-peristiwa alam. Manusia yang berusaha
meniru bunyi anjing, bunyi ayam, atau desis angin, debur gelombang, dan sebagainya akan
menyebut objek-objek atau perbuatannya dengan bunyi-bunyi itu. dengan cara ini terciptalah
kata-kata dalam bahasa (Keraf, 1983:3).

Hal ini sejalan dengan teori Hockett-Ascher (dalam buku Keraf, 1983:32-33),
mengemukakan bahwa apa yang mereka banyak mengunakan data-data arkeologis, fosil, dan
data-data geologis yang telah diselidiki para ahli lain. Mereka sekedar menghubungkan semua
data itu untuk menjelaskan bagaimana pertumbuhan bahasa manusia itu sejak awal mula
perkembangannya. Dalam kenyataanya , struktur formal bahasa-bahasa tidak banyak
menimbulkan masalah dalam perbandingan bila dibandingkan dengan struktur makna.

Dalam memahami makna di dalam suatu objek budaya, maka relavan dengan makna
secara kultural sebab berkaitan dengan unsur budaya yang mendeskripsikan tentang makna-
makna yang ada pada objek media dari Bapidaraan yang dimiliki secara penjelasan bahasa.

Bahasa mempunyai ciri-ciri utama yang merupakan hakikat bahasa. Dengan mengetahui
aneka prinsip dasar bahasa, maka prinsip dasar bahasa para penutur mempunyai modal utama
dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang penutur. Bahasa mempunyai fungsi yang
beraneka ragam. Pengetahuan mengenai prinsip-prinsip dasar serta anaka fungsi bahasa mutlak
harus dimiliki oleh seorang penutur yang selalu berhadapan dalam interaksi sosial (Tarigan,
1986).

Dalam konsep bahasa, tidak lupa berkaitan dalam ranah budaya, tradisi, adat, dll. Sebab
layaknya manusia dengan bahasa yang tidak terpisahkan, maka bahasa dan budaya pun
merupakan keterhubungan yang penting juga dalam konsep berkomunikasi. Menurut
(Koentjaraningrat, 2005) bahasa adalah objek budaya yang membuktikan keberadaan budaya
tersebut masih ada dan menggunakan bahasa tersebut sebagai unsur budaya yang
membangunnya. Setiap daerah memiliki bahasa yang berbeda dalam mewakili setiap unsur
dinamika budaya atau tradisi, keterhubungan itu melekat pada masyarakat berbahasa. Seperti
penjelasan sebelumnya perihal permunculan bahasa, hal ini sangat berhubungan langsung dalam
menemukan keterbahasaan yang ada tetapi belum memiliki aset tulisan yang perlu dilestarikan.
Sehingga, penyelidikan keterhubungan antara bahasa dan budaya yang belum tertulis merupakan
kajian dalam ilmu Etnolinguistik konsep ilmu ini mengaplikasikan bahasa dan budaya sebagai
bentuk situasi-situasi bahasa yang memiliki ikatan dengan budaya masyarakat.

Dalam beberapa aspek banyak sekali keterlibatan budaya dalam aspek berbahasa, hal ini
tidak menutup kemungkinan jika dilakukan suatu penelitian keterlibatan budaya dalam bahasa,
dengan menganut pendekatan ilmu etnolinguistik, bahasa dan budaya tersebut dapat diketahui
dan dilestarikan sebagai bentuk aset warisan budaya nonbenda ataupun benda (Anderson, O’C,
Benedict R-Nakamura, MitsouSlamet, 1996).

Salah satu penelitian yang begitu menarik untuk dilakukan dan membuat penulis untuk
melakukan riset kajian dalam objek pendekatan etnolinguistik pada kebudayaan tradisi suku
Banjar. Banyak beberapa masyarakat, masih percaya pada hal yang berbau mistis, termasuk pada
suku Banjar ritual-ritual mistis masih digunakan dalam unsur pengobatan misalnya (Daud,
1997). Kepercayaan ini dinyakini sebagai bentuk perwarisan nonbenda yang dilakukan secara
lisan tanpa ada aset budaya secara tertulis. Suku Banjar yang merupakan etnis suku di Prov.
Kalimantan, memiliki ritual pengobatan ynag disebut Bapidara yaitu, proses pengobatan jika
seseorang mengalami gangguan secara mistis dan tidak bisa ditangani secara pengobatan ilmiah,
pengobatan ini indentik dengan menggunakan kunyit sebagai bentuk simbol perlindungan dari
gangguan mistis (Ideham, 2015).

Sistem kepercayaan menjadi landasan dalam sebuah budaya atau tradisi, konsep ini
mengandung nilai-nilai budaya dan tetap yakin pada keberadaan Tuhan. Hal ini sejalan dengan
teori kepercayaan menurut (Koentjaraningrat, 1987), unsur budaya memuat sebuah kenyakinan
atau tradisi yang menjadi alat dalam mencerminkan sifat-sifat manusia, pikiran yang berada
dalam diri sendiri. Sistem kepercayaan ini mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat yang
menganut, sebab sudah begitu melekat unusur budaya didalam diri mereka dan dinayakini
sebagai bentuk perwarisan lokal oleh para pendahulu sebelumnya.

Kearifian loka ini menjadi objek kajian Etnografi sebagai bentuk budaya tanpa tertulis
atau naskah. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk pertahanan budaya dan tradisi Bapidaraan
adalah salah satu dari sekian ritual yang dilakukan oleh etnis Banjar. Fenomena bapidaraan
dikenal oleh orang Banjar pada saat zaman pra-Islam, sebab mengandung doa-doa atau mantara-
mantra yang lekat pada unsur agama islam atnapa menghilangkan wujud aslinya. Tetapi tidak
menutup kemungkinan, media yang digunakan dalam proses ritual bisa saja berbeda-beda,
tergantung dari aspek leluhur sebelumnya (Al-Utsmani, 1985)

Sehingga pada penelitian ini, penulis akan menjelaskan makna kebudayaan dalam unsur
ritual bapidaraan sebagai objek budaya lokal suku Banjar di Desa Sungai Saren, RT 09,
Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Penulis mengambil tiga narasumber sebagai penunjang
informasi penelitian, pendekatan yang digunakan yaitu menggunakan kajian Etnolinguistik untuk
mengetahu makna-makna dari setiap media yang digunakan dalam berlangsungnya ritual
Bapidaraan tersebut. Dari hasil yang sudah ditemukan, bahwa ketiga informan ini memilki cara
atau proses yang berbeda-beda. Sebab dipengaruhi dari segi pewarisanya, seperti pada informan I
sebagai penghulu desa sekaligus orang yang bisa melakukan ritual pengobatan bapidaraan
menggunakan beberapa media yang lebih kompleks sebanyak empat proses dan ini terfokus
ritual tersebut, sedangkan narasumber kedua hanya menggunakan dua media dalam proses ritual
kepidaraan, tetapi memiliki keterhubungan dengan ritual lain seperti batupungtawar, batawas
yang masih dalam klasifikasi proses pengobatan. Lalu narasumber terakhir hanya bisa
melakukan pengobatan pada kerabat yang memiliki hubungan keluarga saja.

Dari penelitian yang dilakukan didukung dari beberapa artikel yang memilki kajian yang
sama atau relavan seperti, (Nugraheny, 2015. Suatu Kajian Tentang Eksistensi Kearifan Loka
Bapidara pada Kehidupan Sosial Masyarakat Banjar terutama di Koata Banjarmasin), (Hairani
Lubis et al., 2017. Mamidarai sebagai Kepercayaan dalam Penyembuahan Penyakit Keteguran
Makhluk Halus), (Maghfiera Izzania Basenda, Noor Cahaya, 2017. Tinjauan Etnofarmakologi
Tumbuhan Obat pada Etnis Suku Banjar di Kecamatan Banjarmasin Timur Kota Banjarmasin).
Dari tiga artikel ini, membahas perihal objek ritual Bapidara dengan konteks pembahasan yang
berbeda, dari tiga artikel tersebut belum ada penelitian lanjutan mengenai pemaknaan secara
kultural dari segi alat-alat yang digunakan.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis membuat penelitian ini dengan judul
“KAJIAN ETNOLINGUISTIK PROSES RITUAL PENGOBATAN KAPIDARAAN PADA
TRADISI BUDAYA ADAT BANJAR DI DESA SUNGAI SAREN KEC. BRAM ITAM KAB.
TANJUNG JABUNG BARAT”. Hal ini atas ketertarikan penulis sebagai etnis suku Bajar yang
ingin berkontrubusi dalam mewariskan ritual pengobatan “Bapidara” sebagai kepercyaan dalam
mengobatai penyakit secara diagnosa mistis.

B. METODE
Dalam analisis ini, peneliti mengambil studi kasus etnografi dengan pendekatan
kualitatif. Studi kasus etnografi menurut Marvin Harris and Orna Johnson (Imam Gunawan,
2015), menyabarkan bahwa etnografi adalah gambaran umum perihal budaya, kepercayaan dan
perilaku yang sudah melekat di kehidupan masyarakat tersebut. Berdasarkan [pendapat
Hammersley dalam Sri Ramdiani menyatakan bahwa metodologis etnografi secara spesifik,
didasarkan atas sebagai berikut (Ramdiani, 2014)

1. Naturalisme, adalah mengatahui bagaimana pandangan masyarakat secara sosial,


mengenai penelitian yang dilakukan.
2. Pemahaman, adalah melihat tanggapan manusia, terhadap apa yang menjadi subjek
penelitian. Jadi, aspek ini idasarkan pada tindakan manusia.
3. Penemuan, adalah temuan mn=endasar dari hipotesi yang dibuat.

Metode kualitatif bertujuan untuk mengumpulkan dan menganalisis data secara baku,
sehingga dari perolehan hasil reduksi data akan diperoleh berupa data yang sistematis mengenai
permaknaan yang terkandung didalam proses pengobatan tradisional Bapidaraan. Waktu
pelaksanaan pengamatan dilakukan pada tanggal 6 April 2023 s/d 10 April 2023 bertempat di
desa Sungai Saren, Rt 09, Bram Itam Kiri, Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Penelitian ini, penulis didasarkan pada sumber data berupa nama-nama media yang
digunakan selama melakukan ritual pengobatan Bapidara. Serta melakukan wawancara pada
beberapa narasumber yang memahami betul perihal proses ritual tersebut, hal ini untuk
mengetahui makna-makna pada media yang digunakan. Teknik pengumpulan data merupakan
aspek penting dalam penyusunan penelitian kualitatif, dengan melakukan wawancara secara
langsung kepada narasumber dan memberikan beberapa pertanyaa yang mengarah pada aspek
objek penelitian. Berikut teknik pengumpulan data didasarkan pada penelitian kualitatif
berdasarkan pendapat (Sugiono, 2017) dalam (DHARMAWAN, 1990) sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang didapatkan dari hasil secara langsung
dalam proses lapangan (Kristanto, 2018).

b. Wawancara

Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan secara langsung, melalui
proses tanya jawab lisan, antara pihak yang ditanyakan (Fathoni, 2006)
c. Dokumentasi
Diartikan sebagai cara pengumpulan data dengan memanfaatkan data yang diperoleh
dari beberpa sumber seperti, buku, dokumen secara tertulis dan dikumpulakan menjadi
lembaran yang siap untuk digunakan dalam proses penelitian.
d. Reduksi data
Adalah langkah dalam teknik analisa data dalam penelitan kualitatif yang diperoleh dari
proses sebelumnya. Lalu dikembangkan menjadi pola yang saling keterhubungan dan
sampai pada penarikan kesimpulan (Sugiyono, 2012).
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan pada Desa Sungai Saren, RT 09, Kabupaten Tanjung Jabung Barat
dengan melakukan wawancara secara langsung kepada tiga narasumber yang paham pada
ritual Bapidaraan, sebagai proses pengobatan tradisional yang mengalami gangguan mistis.
Sehingga didapatkan nama-nama media yang digunakan dalam ritual pengobatan tersebut,
diantaranya:

Tabel 1.1 Nama-nama media ritual pengobatan Bapidaraan


N Media Ritual Bapidaraan Makna Kultural
O
1. Janar/ Kunyit Kunyit dimaknai
Gambar 1.1 media sebagai bahan yang
:
Bapidaraan mampu mengetahui
apakah si pasien benar
mengalami ganguaan
mistis atau tidak. Jika
warna sari kunyit
merah maka, benar
(Sumber: website kalselprov)
mengalami ganguaan
mistis yang parah,
tetapi jika berwana
kuning keruh tandanya
tidak terlalu parah.
2. Lilin Lilin dimknai sebagai,
Gambar 1.2 Media media sebagai bentuk
Bapidaraan mengundang berkat
dari malaikat yang
akan membantu proses
pengobatan.

(Sumber: channel youtobe


yahya yahya)
3. Parang Parang dimaksudkan
Gambar 1.3 Media sebagai benda yang
Bapidaraan ditakuti oleh setan
ataupun roh-roh.

(Sumber:channel youtube
Rizky Haryaji)
4. Kapur sirih Kapur sirih memiliki
Gambar 1.4 Media makna yang mampu
Setelah penyajian data-data berupa pengumpulan media yang digunakan dalam proses
ritual pengobatan tradisional Bapidaraan. Maka selanjutnya berupa penjelasan tahapan atau
syrarat yang perlu diperhatiakan oleh orang yang mengobati dan yang diobati, sebagai berikut:

a) Membawa beras, jarum yang ditusuk ke uang (pasien yang mengalami gangguan mistis)
pengobatan ini tidak memandang usia dan jenis kelamin.
b) Memiliki wawasan dalam ritual pengobatan, pernah melakukan pengobatan, boleh laki-
laki atau perempuan (Dari pewarisan keluarga Angah S dan Nenek Aminah. Tetapi dari
informasi yang disampaikan oleh Nenek R (sebagai inisial), keluarganya mewarisi proses
pengobatan tersebut, hanya boleh dilakukan oleh perempuan saja.
c) Pernah melakukan proses pengobatan Bapidaraan pda diri sendiri
d) Tetapi berbeda dengan Nenek S, dia hanya bisa melakukan proses pengobatan hanya
pada dirinya sendiri dan keluarganya saja, tidak bisa untuk orang lain.
e) Ritual pengobatan Kepidaraan harus dilakukan pada saat matahari mulai terbenam,
dimulai dari pukul 16.00-24.00 WIB. Ada bebrapa malam khusus, seperti malam Jum’at,
dilakukan proses pengobatan, hal ini maksudkan sebagai proses pembersihan jiwa dari
gangguan mistis yang sulit untuk diobati dengan ritual biasanya. Perlu diketahui juga,
narasumber menyampaikan jam 16.00 WIB merupakan terbenamnya matahari yang
dimaknai sebagai tanda munculnya roh-roh yang didalam jiwa manusia, sehingga proses
pengusiran lebih mudah unuk dilakukan.
f) Dari tiga informan, memiliki cara pengobatan masing-masing, seperi Angah S melakukan
pengobatan dengan menutup tubuh pasien yang mengalami gangguan mistis dibawah
sinar bulan, setelah itu diguyurkan air hujan dan kelapa dimulai dari kaki menuju ke
kepala, tidak lupa juga lilin selalu dinyalakan agar jiwa yang dinyakini tetap berada
didalam tubuh.
g) Kapidaraan, untuk metode yang digunakan oleh Julak Irau dengan menganut kepercayaan
mukjizat nabi ibrahim, berbeda dengan informan yang pertama, beliau menggunakan
ayat-ayat syifa yang masih dalam konteks keislaman. Julak Irau lebih pada
melantunkan konteks mukjizat nabi Ibrahim sebagi proses pengobatan
muhammadarasulullah, meminta tawar dingin, bismillahirrahmannirrahim
yanaralduwadha wassalamumalanabiibrahim.
h) Orang yang mengalami kepidaraan ditandai dengan suhu badan yang panas, tetapi telapak
tangan dan kaki dingin.
i) Lalu dimulai dengan membaca ayat-ayat syifa yang masih berhubungan dengan agama
islam, seperti ayat kursi, Al-Baqarah (285-286), Al-Ikhlas, Al-Falaf, An-Naas, Al-Araf
11-119, Yunus 79-82, Thaha 65-69, Taubah 128-129.
j) Inti dari ritual pengobatan kepidaraan adalah dengan membuat tanda coreng (+) dari
kapur sirih yang dicampur dengan janar/ kunyit di beberapa titik tubuh yang dipercaya
bahwa bagian-bagian itu tempat para makhluk astral tersebut bersembunyi, yaitu di dahi,
daun telinga, telapak tangan, lulut, telapak kaki.

Adapun proses pengobatan yang dilakukan oleh narasumber Nenek S, jika proses ritual
pengobatan Bapidaraan tidak berhasil dilakukan. Maka ada proses lain yang mana masih
dalam klasifikasi yang sama, sebagai berikut:

a) Batupung tawar, adalah metode ritual yang digunakan oleh Julak Irau (nama panggilan)
yang biasanya ia gunakan dalam melakukan proses pengobatan jika proses ritual pertama
tidak berhasil atau tidak mempan, batupung tawar masuk dalam klasifikasi Ritual
Kepidaraan tetapi memiliki proses yang berbeda. Media yang digunakan berupa kunyit,
tepung beras, bunga tujuh warna, air kelapa, gayung, wadah air/ember, kambang pinang,
tapeh/sarung, kelapa, kumpai/rumput liar, serabut kelapa, kelapa tua, tanah, kain hitam
berbebntuk segitiga.dilakukan pada malam Jum’at (dimlai pada pukul 21:00-24.00)
b) Batawas, ritual ini digunakan ketika seseorang terkena sajam/rasa sakit pada ulu hati
yang dipercaya terkena gangguan makhluk astral. Media yang digunakan kapur sirih atau
bisa juga menggunakan sabun, cawan, kain putih, lalu membaca ayat kusi, olehkan pada
bagian dada yang mendekat pada organ hati, setelah itu bagian punggung.

Dalam tradisi suku Banjar, memang aspek keluarga berpengaruh pada perwarisan
berbagai hal yang berhubungan dengan aspek mistis. Sebab, setiap keluarga memiliki
kepercayaan, syarat-syarat yang dinyakini bahwa itu merupakan keberlangsungan dalam
proses tradisi. Dari penelitian ini diperoleh dari tiga informan yang berbeda-beda dalam
proses penggunaan media pengobataan Bapidaraan. Dari segala aspek media yang
digunakanpun berbeda-beda, sampai pada klasifikasi penyembuhan dan tingkat pengobatan.
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ynag dilakukan, ritual Bapidaraan memang memiliki nilai
kultural yang sangat lekat dengan unsur budaya dengan ditemukan 30 media yang menjadi unsur
dalam proses Bapidaraan. Bapidaraan adalah sebuah ritual pengobtan tradisional di masyarakat
suku Banjar pada wilayah Kapubaten Tanjung Jabung Barat, desa Sungai Saren. Ritual ini, hanya
dikuasi oleh perwarisan dari keluarga sampai kegenerasi berikutnya dan perwarisan pada setiap
keluarga memiliki pola atau syarat tersendiri. Diantaranya sebgai berikut

 Perwarisan budaya kultural dipahami dari aspek pemahaman lelulur keluarga secara
individual. Sehingga bisa diketahui apakah keluarga tersebut dalam proses perwarisan
apa boleh dilakukan oleh laki-laki atau perempuan.
 Pernah melakukan ritual pengobtan pada diri sendiri, sebelum melakukan pengobtan pada
orang lain.
 Bisa menompang rasa sakit dari pasien yang diobati dengan menanggung kepada pihak
yang mengobati.
Syarat-syarat diatas harus dilakukan, jika tidak dilakukan maka akan berbahaya bagi yang
melakukan proses pengobtan ataupun yang diobati. Bapidaraan merupakan, objek budaya tak
benda dan perlu diwariskan kepada generasi berikutnya dengan dilakukan studi kasus
Etnolinguistik dapat diketahui unsur pemaknaan secara kultural pada proses pengobtan
Bapidaraan tersebut.

SARAN

Penelitian ini berfokus pada bidang Etnolinguistik, untuk mengetahui unsur pemaknaan yang
terkandung didalamnya. Sehingga diharapkan pada penelitian selanjut, dilakukan kajian yang
lebih mendalamlagi, seperti keterhubungan dengan ritual Bapidaraan ini dengan ritual
pengobatan lainnya yang ada di masyarakat suku Banjar pada Kabupaten Tanjung Jabung Barat,
desa Sungai Saren

DAFTAR PUSTAKA

Al-Utsmani. (1985). Misteri Jin, Setan dan Manusia. Jakarta: Mizan Publika.

Anderson, O’C, Benedict R-Nakamura, MitsouSlamet, M. (1996). Religion Social Ethos-


Agama dan etos sosial di Indonesia. PT Al-Ma’arif Bandung.

Daud, A. (1997). Islam dan Masyarakat Banjar. Deskripsi dan Analis Kebudayaan
Banjar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

DHARMAWAN, I. A. (1990). TEKNIK PENGUMPULAN DATA DALAM


PENELITIAN KUALITATIF. (Gallus Sp.), 21(58), 99–104.
https://www.unhcr.org/publications/manuals/4d9352319/unhcr-protection-training-
manual-european-border-entry-officials-2-legal.html?query=excom 1989

Fathoni, A. (2006). Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi (p. 105).
Rineka Cipta.

Hairani Lubis, R. K., Syam, I. D. K., Diba, N. Z., & Renaldy, M. (2017). MAMIDARAI
SEBAGAI KEPERCAYAAN DALAM PENYEMBUHAN PENYAKIT
KETEGURAN MAKHLUK HALUS. Psikostudia: Jurnal Psikologi, Vol 6,
No(2302–2582), hlm. 32-41.

Ideham, M. S. (2015). Urang Banjar dan Kebudayaannya. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

IMAM GUNAWAN, Suparlan, H., Marce, T. D., Purbonuswanto, W., Sumarmo, U.,
Syaikhudin, A., Andiyanto, T., Gunawan, I., Yusuf, A., Nik Din, N. M. M., Abd
Wahid, N., Abd Rahman, N., Osman, K., Nik Din, N. M. M., Pendidikan, I.,
Koerniantono2, M. E. K., Jannah, F., Stmik, S., Tangerang, R., … Supendi, P.
(2015). Imam Gunawan. PEDAGOGIA: Jurnal Pendidikan, 2(1), 59–70.
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/sls/article/viewFile/1380/1342%0Ahttp://
mpsi.umm.ac.id/files/file/55-58 Berliana Henu Cahyani.pdf

Keraf, G. (1983). LINGUISTIK BANDINGAN HISTORIS. Jakarta: PT GRAMEDIA. PT


GRAMEDIA

Koentjaraningrat. (1987). Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit


PT. Gramedia.

Koentjaraningrat. (2005). Pengantar Antropologi Pokok-Pokok Etnografi II (P. R. Cipta


(ed.)). PT.Rineka Cipta.

Kristanto. (2018). Metodologi Penelitian Pedoman Tulis Karya Ilmiah. Deepublish.

Maghfiera Izzania Basenda, Noor Cahaya, V. M. S. (2017). TINJAUAN


ETNOFARMAKOLOGI TUMBUHAN OBAT PADA ETNIS BANJAR DI
KECAMATAN BANJARMASIN TIMUR KOTA BANJARMASIN. Indonesia
Natural Research Pharmaceutical Journa, Vol. 2, No(2502–8421).

Nugraheny, A. R. (2015). EKSISTENSI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT


BANJAR: PENGOBATAN TRADISIONAL BEPIDARA SEBAGAI SUMBER
BELAJAR IPS. FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.

Ramdiani, S. (2014). Pelestarian nilai-nilai kearifan lokal upacara adat “Ngalaksa” dalam
upaya membangun karakter bangsa. Repository. UPI. Edu.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta.

Tarigan, H. G. (1986). Pengajaran Pragmatik. ANGKASA: BANDUNG.

AM DUT .(10 Oktober 2022). Pidara khas banjarmasin https://youtu.be/iVqXpI3T_bY

WIdya Pratisca Asiba. (24 Januari 2021) .Batapung Tawar dalam Masyarakat Banjar.
https://youtu.be/hkW6amMDZ9o

Rizky Haryaji. (29 November 2016). Bapidara. https://youtu.be/s-thMVxcDCs

Azim Albahauri. (17 Juli 2020). Adat khas banjar bapidara.


https://youtu.be/KJYy62yHm00

ARIS SUROYO. (17 Juli 2016). Palas bidan Noor Azwa Ramadhani (1).
https://youtu.be/CjfWDfPm2t4

Herry Fadhillah. (7 Maret 2020) Bapidara. https://youtu.be/gsWZYuxkNcg

Yahya yahya. (2 Mei 2017). Bapidara sendiri. https://youtu.be/dKIfJQ2gE40

ifHan_sYah. (14 November 2021) Pengobatan Tradisional Suku Banjar (Bapidara).


https://youtu.be/gTSSBoZTDcM

(Diakses pada 12 Juni 2023) https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkalbar/pamintan-


kain- penyembuh-penyakit-dari-kalimantan-selatan/

LAMPIRAN
(BIODATA INFORMAN)

Raudah
Sungai Saren, 18 Agustus 1958
65 Tahun
Sebagai ibu rumah tangga, bisa
melakukan ritual pengobatan dan
merupakan sepupu dari Abdurrahman
Sidik .Bisa melakukan proses ritual
penggobatan Kapidaraan pada tradisi
budaya Banjar.

Gambar 1.1 Informan I


Siti Aminah
Sungai Saren, 20 Maret 1959
62 Tahun
Sebagai ibu rumah tangga, sekaligus
adik dari Abdurrahman Sidik dan bisa
melakukan proses ritual penggobatan
Kapidaraan pada tradisi budaya Banjar

Gambar 1.2 Informan II


Abdurrahman Sidik
Sungai Saren, 05 November 1950
70 Tahun
Sebagai guru menggaji dalam membaca
Al- Qur’an dan salah satu pewaris dan
penerus dari enam bersaudara yang
Gamabar 1.1 Informan III
masih hidup dalam meneruskan proses
ritual pengobatan Kapidaraan pada
tradisi budaya Banjar

(GAMBAR RITUAL)
(Sumber:Youtube channel Herry Fadhillah)

Tautan: https://youtu.be/gsWZYuxkNcg

Anda mungkin juga menyukai