Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial menduduki posisi yang sangat penting dan strategis.
Sebab, hanya manusialah satu-satunya makhluk yang diberi karunia bisa berbicara. Dengan
kemampuan bicara itulah, memungkinkan manusia membangun hubungan sosialnya. Dalam Al
Qur’an surat Ar Rahman (55:4) “mengajarnya pandai berbicara”. Banyak penafsiran yang
muncul berkenaan dengan ayat tersebut, salah satunya dan hal ini yang paling kuat yaitu bahwa
kata al-bayān, adalah berbicara (al-nuthq, al-kalām). Hanya saja, menurut Ibn 'Asyur, kata al-
bayān juga mencakup isyarah-isyarah lainnya, seperti kerlingan mata, anggukan kepala. Dengan
demikian, al-bayān merupakan karunia yang terbesar bagi manusia. Bukan saja ia dapat dikenali
jati dirinya, akan tetapi, ia menjadi pembeda dari binatang.
Rakhmat, menjelaskan kemampuan bicara berarti kemampuan berkomunikasi.
Berkomunikasi adalah sesuatu yang dihajatkan di hampir setiap kegiatan manusia. 1 Dalam
sebuah penelitian telah dibuktikan, hampir 75 % sejak bangun dari tidur manusia berada dalam
kegiatan komunikasi. Dengan komunikasi kita dapat membentuk saling pengertian dan
menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan
melestarikan peradaban. Akan tetapi, dengan komunikasi, juga kita dapat menumbuh-suburkan
perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan
menghambat pemikiran. Kenyataan ini sekaligus memberi gambaran betapa kegiatan komunikasi
bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan oleh setiap manusia. Anggapan ini barangkali
didasarkan atas dasar asumsi bahwa komunikasi merupakan suatu yang lumrah dan alamiah yang
tidak perlu dipermasalahkan. Sedemikian lumrahnya, sehingga seseorang cenderung tidak
melihat kompleksitasnya atau tidak menyadari bahwa dirinya sebenarnya berkekurangan atau
tidak berkompeten dalam kegiatan pribadi yang paling pokok ini. Dengan demikian menurut
Robbins dan Jones, berkomunikasi secara efektif sebenarnya merupakan suatu perbuatan yang
paling sukar dan kompleks yang pernah dilakukan seseorang.2
Dalam salah satu ungkapan Arab disebutkan ucapan atau perkataan menggambarkan si
pembicara'. Atau ungkapan lain yang mengatakan katakata yang baik adalah sedeqah. Dari
1
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), h. 7

2
James G. Robbins dan Barbara S. Jones.. Komunikasi Yang Efektif, terjemahan Turman Sirait. (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1986). h. 3

1
pernyataan ini dapat dipahami bahwa perkataan/ucapan, atau dengan istilah lain, kemampuan
berkomunikasi akan mencerminkan apakah seseorang adalah terpelajar atau tidak. Dengan
demikian, berkomunikasi tidaklah identik dengan menyampaikan sebuah informasi. Para pakar
komunikasi, sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat, (Al Hikmah) berpendapat
bahwa setiap komunikasi mengandung dua aspek, yaitu aspek isi dan aspek kandungan, di mana
yang kedua mengklasifikasikan yang pertama dan karena itu merupakan metakomunikasi (di luar
komunikasi). Komunikasi memang bukan hanya menyampaikan informasi tetapi yang terpenting
adalah mengatur hubungan sosial di antara komunikan.
Untuk itu, demi terciptanya suasana kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat,
maka harus dikembangkan bentuk-bentuk komunikasi yang beradab, yang digambarkan oleh
Jalaludin Rakhmat yaitu sebuah bentuk komunikasi di mana sang komunikator akan menghargai
apa yang mereka hargai; ia berempati dan berusaha memahami realitas dari perspektif mereka.
Pengetahuannya tentang khalayak bukanlah untuk menipu, tetapi untuk memahami mereka, dan
bernegosiasi dengan mereka, serta bersama-sama saling memuliakan kemanusiaannya. Adapun
gambaran kebalikannya yaitu apabila sang komunikator menjadikan pihak lain sebagai obyek; ia
hanya menuntut agar orang lain bisa memahami pendapatnya; sementara itu, ia sendiri tidak bisa
menghormati pendapat orang lain. Dalam komunikasi bentuk kedua ini, bukan saja ia telah
mendehumanisasikan mereka, tetapi juga dirinya sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep etika komunikasi perspektif Islam?
2. Bagaimanakah penjelasan komunikasi Qaulan Ma’rufa?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui konsep etika komunikasi perspektif Islam
2. Untuk mengetahui penjelasan komunikasi Qaulan Ma’rufa

BAB II
PEMBAHASAN

2
A. Konsep Etika Komunikasi Perspektif Islam
Teori komunikasi menurut ajaran Islam selalu terikat kepada perintah dan larangan Allah
swt atau Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad saw Pada dasarnya agama sebagai kaidah dan
sebagai perilaku adalah pesan (informasi) kepada warga masyarakat agar berperilaku sesuai
dengan perintah dan larangan Tuhan. Dengan kata lain komunikasi menurut ajaran agama sangat
memuliakan etika yang dibarengi sanksi akhirat.3
Al-Qur’an juga menyebut komunikasi sebagai salah satu fitrah manusia. Untuk
mengetahui bagaimana manusia seharusya berkomunikasi. Al-Qur’an memberikan kata kunci
(key concept) yag berhubungan dengan hal itu. Al-Syaukani4 misalnya mengartikan kata kunci
al-bayan sebagai kemampuan berkomunikasi. Selain itu, kata kunci yang diperguna-kan
AlQur’an untuk komunikasi ialah al-qaul. Dari al-qaul ini, Jalaluddin Rakhmat menguraikan
prinsip, qaulan sadidan yakni kemampuan berkata benar atau berkomunikasi dengan baik.
Dengan komunikasi, manusia mengekspresikan dirinya, membentuk jaringan interaksi
sosial, dan mengembangkan kepribadiannya. Para pakar komunikasi sepakat dengan para
psikolog bahwa kegagalan komunikasi berakibat fatal baik secara individual maupun sosial.
Secara sosial, kegagalan komunikasi menghambat saling pengertian, menghambat kerja sama,
menghambat toleransi, dan merintangi pelaksanaan norma-norma sosial Al-Qur’an menyebut
komunikasi sebagai salah satu fitrah manusia. Dalam QS. Al-Rahman : ayat 1 – 4
          
Artinya: “(Tuhan) yang Maha pemurah, Yang telah mengajarkan Al-Qur'an. Dia menciptakan
manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (QS. Al-Rahman : 1 – 4)

Al-Syaukani dalam Tafsir Fath al-Qadir mengartikan al-bayan sebagai kemampuan


berkomunikasi. Untuk mengetahui bagaimana orang-orang seharusnya berkomunikasi secara
benar (qaulan sadidan), harus dilacak kata kunci (keyconcept) yang dipergunakan Al-Qur’an
untuk komunikasi. Selain al-bayan, kata kunci untuk komunikasi yang banyak disebut dalam
AlQur’an adalah “al-qaul” dalam konteks perintah (amr), dapat disimpulkan bahwa ada enam
prinsip komunikasi dalam Al-Qur’an.

3
Muis dan Abdul Andi. Komunikasi Islami (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001). h. 5-9

4
Rahmat. Efektivitas Berkomunikasi dalam Islam. Cet. I. (Bandung: Mizan 1999). h. 71

3
Dalam etika komunikasi Islam ada 6 prinsip gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yaitu:
1. Qaulan Sadidan
2. Qaulan Ma’rufa
3. Qaulan Balighan
4. Qaulan Layyinan
5. Qaulan Maisura
6. Qaulan Karima

B. Qaulan Ma’rufa
Qaulan ma’rufa dapat diterjemahkan dengan ungkapan yang pantas. Kata ma’rufa
berbentuk isim maf’ul yang berasal dari madhinya, ’arafa. Salah satu pengertian mar’ufa secara
etimologis adalah al-khair atau al-ihsan, yang berarti yang baik-baik. Jadi qawlan ma’rufa
mengandung pengertian perkataan atau ungkapan yang baik dan pantas5
Qaulan Ma’rufa juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan
kebaikan (maslahat). Sebagai muslim yang beriman, perkataan kita harus terjaga dari perkataan
yang sia-sia, apapun yang kita ucapkan harus selalu mengandung nasehat, menyejukkan hati bagi
orang yang mendengarnya. Jangan sampai kita hanya mencari-cari kejelekan orang lain, yang
hanya bisa mengkritik atau mencari kesalahan orang lain, memfitnah dan menghasut.
Kata Qaulan Ma`rufa disebutkan Allah dalam ayat Al-Qur'an (QS. Al-Ahzab ayat 32)
ialah:
          
         
Artinya: “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu
bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah Qaulan Ma’rufa –perkataan
yang baik.” (QS. Al-Ahzab:32)
Selanjutnya M. Quraish Shihab (1997:344) memberikan komentar bahwa untuk
mewujudkanb komunikasi yang baik, seseorang harus selalu berhati-hati, memikirkan dan
merenungkan apa yang akan diucapkan.6 Penekanan pada aspek ini karena sering ucapan yang
keluar dari mulut seseorang mengakibatkan bencana dan malapetaka besar bagi orang yang
5
Mafri Amir. Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam (Jakarta: Logos. 1999). h. 85
6
M. Quraish Shihab. Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan Cet. X; (Bandung : Mizan. 1997). h. 344

4
mengucapkannya dan bahkan bagi orang lain.Perintah untuk berhati-hati dan selektif dalam
mengeluarkan kata-kata disinyalir Firman Allah dalam QS. Al-Maidah : Ayat 101.
          
            
  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan
di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah
memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”
(QS. Al-Maidah : 101)
Ada beberapa cara menutupi kebenaran dengan komunikasi, yakni
a. Menutupi kebenaran dengan menggunakan kata-kata yang abstrak, ambigu atau
menimbulkan penafsiran yang sangat berlainan apabila anda tidak setuju dengan
pandangan kawan anda, kemudian anda segera menyebut dia “tidak pancasilais”. Anda
sebetulnya tidak tahan dikritik,tetapi tidak enak menyebutkannya lalu anda akan berkata,
“saya sangat menghar-gai kritik, tetapi kritik itu harus disampaikan secara bebas dan
bertanggung jawab”. Kata “bebas” dan “bertanggung jawab” adalah kata abstrak untuk
menghindari kritikan. Ketika seorang mubalig menemukan pendapat Muballig lain dan
pendapatnya tidak logis, iya akan berkata, “akal harus tunduk dengan agama”. Dia
sebetulnya mau mengatakan bahwa logika orang lain itu harus tunduk dengan
pemahamannya tentang agama. Akal dan agama adalah dua kata abstrak. Oleh karena itu,
menasehatkan agar kita berhati-hati menggunakan abstrak.
b. Orang menutupi kebenaran dengan menciptakan istilah yang diberi makna orang lain.
Istilah itu berupa eufimisme atau pemutar balikan makna sama sekali. Pejabat
melaporkan kelaparan di daerahnya dengan mengatakan “kasus kekurangan gizi atau
“rawan pangan”. Ia tidak dikatakan “ditang-kap”, tetapi “diamankan”. Harga tidak
dinaikkan, tetapi “disesuaikan”.7

7
Abdurrahman. Dasar-Dasar Public Relation, (Bandung: Alumni. 1999), h. 57

5
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori komunikasi menurut ajaran Islam selalu terikat kepada perintah dan larangan Allah
swt atau Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad saw Pada dasarnya agama sebagai kaidah dan
sebagai perilaku adalah pesan (informasi) kepada warga masyarakat agar berperilaku sesuai
dengan perintah dan larangan Tuhan. Dengan kata lain komunikasi menurut ajaran agama sangat
memuliakan etika yang dibarengi sanksi akhirat.
Dengan komunikasi, manusia mengekspresikan dirinya, membentuk jaringan interaksi
sosial, dan mengembangkan kepribadiannya.
Dalam etika komunikasi Islam ada 6 prinsip gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yaitu:

6
1. Qaulan Sadidan
2. Qaulan Ma’rufa
3. Qaulan Balighan
4. Qaulan Layyinan
5. Qaulan Maisura
6. Qaulan Karima

Ma’rufa dapat diterjemahkan dengan ungkapan yang pantas. Kata ma’rufa berbentuk isim
maf’ul yang berasal dari madhinya, ’arafa. Salah satu pengertian mar’ufa secara etimologis
adalah al-khair atau al-ihsan, yang berarti yang baik-baik. Jadi qawlan ma’rufa mengandung
pengertian perkataan atau ungkapan yang baik dan pantas.
Qaulan Ma’rufa juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan
kebaikan (maslahat).

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. Dasar-Dasar Public Relation, Bandung: Alumni. 1999

James G. Robbins dan Barbara S. Jones.. Komunikasi Yang Efektif, terjemahan Turman
Sirait. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1986

M. Quraish Shihab. Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan Cet. X; Bandung :
Mizan. 1997). h. 344

7
Mafri Amir. Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam Jakarta: Logos. 1999

Muis dan Abdul Andi. Komunikasi Islami Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001

Rahmat. Efektivitas Berkomunikasi dalam Islam. Cet. I. Bandung: Mizan 1999

Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996

Anda mungkin juga menyukai