Anda di halaman 1dari 31

Bab.

X
Lambang-Ambang Dalam Seni Bangunan Tradisional
Sebagai Refleksi Nilai Budaya Melayu

Oleh : Tenas Effendy Page |


423
Ringkasan

Penulis ini dalam makalahnya mencoba memperkenalkan makna lambang-


lambang yang terkandung dalam seni bangunan di Riau. Menurutnya,
sandaran atau sumber seni bangunan tradisional di Riau dapat dijumpai
dalam berbagai bentuk puisi tradisional serta ungkapan-ungkapannya yang
khas. Oleh karena itu diperlukan pengenalan yang mendalam terhadap
sastra lisan, tulisan dan ungkapan lama untuk mengetahui dengan tepat
makna lambang-lambang yang terdapat dalam seni bangunan tradisional.

Pendahuluan
Bangunan tradisional yang disebut juga ”Seni bina” Melayu,
terutama untuk rumah kediaman, pada hakekatnya amatlah
diutamakan dalam kehidupan orang Melayu. Rumah bukan saja
sebagai tempat tinggal di mana kegiatan kehidupan dilakukan
dengan sebaik-baiknya, tetap juga menjadi lambang
kesempurnaan hidup. Beberapa ungkapan tradisional Melayu
menyebutkan rumah sebagai ”cahaya hidup di bumi, tempat
beradat berketurunan, tempat berlabuh kaum kerabat, tempat
singgah dagang lalu, hutang orang tua kepada anaknya”.
Itulah sebabnya rumah dikatakan ”mustahak” dibangun dengan
berbagal pertimbangan yang cermat, dengan memperhatikan
lambang-lambang yang merupakan refleksi nilai budaya
masyarakat pendukungnya. Hanya dengan cara demikianlah
diyakini bangunan itu akan benar-benar dapat memberikan
kesempurnaan lahir dan batin, bagi penghuni rumah itu dan
bagi masyarakat sekitarnya.
Lambang-lambang yang berkaitan dengan bangunan
tradisional Melayu bukan saja terdapat pada bagian-bagian
bangunan itu tapi juga dalam bentuk berbagai upacara, bahan
Pemerintah Provinsi Riau. 1985. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya.
bangunan dan nama-namanya, serta letak bangunan itu.
Tentulah oleh perjalanan masa, lambang-lambang
tersebut di atas tidak mudah dilacak lagi sekarang ini. Berbagai
masalah kebudayaan harus turut diperhitungkan. Bukanlah
cukup banyak nilai-nilai tradisional yang dikandung dalam Page |
suatu masyarakat telah ter abaikan dan punah oleh pergeseran 424
dan perubahan nilai budaya yang terus terjadi.
Nilai budaya Melayu Riau umumya berpunca dari tiga
aspek yang dominan, yaitu agama Islam, adat dan tradisi
Melayu. Adat dan tradisi yang kian melonggar berangsur-
angsur menyebabkan nilai-nilai ”asli” semakin kabur
kehilangan warna. Dalam seni bangunan tradisional,
pergeseran serta perubahan sangat jelas terlihat. Di seluruh
Riau, bangunan tradisional semakin sedikit. Sedangkan
lambang-lambang yang dikandungnya nyaris tidak lagi dikenal
oleh masyarakat.
Musyawarah, upacara dan kegotong-royongan dalam
pelaksanaan mendirikan bangunan, sudah sangat diabaikan.
Temp&t untuk bangunan itu pun tidak lagi dikaitkan dengan
kepercayaan masyarakat. Bentuk dan ukuran memakai gaya
arsitektur masa kini. Bahan bangunan yang menurut tradisi
harus dipilih secara tertentu kini tergantung dari bahan yang
terdapat di pasaran. Begitu pula dengan ragam hias dan lain
sebagainya.
Di kampung-kampung, tempat sisa-sisa bangunan
tradisional masih banyak terdapat, pemiliknya atau orang tua-
tua di situ tidak banyak lagi yang mengetahui makna lambang-
lambangnya. Kalaupun masih ada para tukang yang masih
dapat membuat bangunan yang berpola tradisional, mereka
kurang mengetahui tentang arti yang dikandung lambang-
lambang tersebut.
Masalah lain yang merupakan penghambat ialah
kurangnya bahan bacaan tentang arsitektur tradisional Melayu
Riau. Dan makalah ini terbatas membahas tentang seni bangu-
nan Melayu Riau, dan bukan seni bangun Melayu seluruhnya,
antara disebabkan kesulitan mendapatkan bahan-bahan itu.
Sandaran informasi untuk sampai kepada sasaran
makalah ini sebagian besar berdasarkan sastra lisan di
pedalaman Riau, seperti ”Bilang Undang” dan Nyanyi Page |
Panjang” yang syukurlah masih kuat dalam ingatan masyarakat 425
pendukungnya.

Arti, Fungsi dan Bentuk Bangunan


Setiap bangsa dan suku bangsa tentulah memiliki arti. fungsi
dan bentuk bangunan tradisional sebagai ciri khasnya, di
samping nilai-nilai universal yang dikandungnya. Demikian
pula halnya dengan orang Melayu. Bahkan wilayah Melayu
yang besar itu mempunyai pula persamaan dan perbedaan jika
diperhatikan atau dipilah-pilah lebih mendetail.
Bangunan tradisional Melayu adalah suatu bangunan
yang utuh, yang dapat dijadikan tempat kediaman keluarga,
tempat bermusyawarah, tempat beradat berketurunan, tempat
berlindung siapa saja yang memerlukannya. Hal itu tergambar
dari sebuah ungkapan tradisional di Riau yang berbunyi :

Yang bertiang dan bertangga


Beratap penampung hujan penyanggah panas
Berdinding penghambat angin dan tempias Berselasar
dan berpelantar
Beruang besar berbilik dalam
Berpenanggah dan bertepian
Tempat berhimpun sanak saudara
Tempat berunding cerdik pandai
Tempat bercakap alim ulama
Tempat beradat berketurunan
Yang berpintu berundak-undak
Bertingkap panjang berterawang
Berparan beranjung tinggi

Pemerintah Provinsi Riau. 1985. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya.


Berselembayung bersayap layang
Berperabung kuda berlari
Berlarik jerajak luar
Bertebuk kisi-kisi dalam
Bidainya tingkat bertingkat Page |
Kaki dan atap berombak-ombak 426
Berhalaman berdusun
Di situ berlabuh kaum kerabat
Di situ bertambat sanak famili
Di situ berhenti dagang lalu

Menurut tradisi, orang Melayu Riau percaya kepada


empat cahaya di bumi yang terdiri dari rumah tangga, ladang
bertumpuk, beras padi, dan anak muda-muda. Cahaya pertama
yaitu rumah tangga hendaklah dipelihara sebaik-baiknya
dengan dipagari oleh adat atau tradisi, sebagaimana dinyatakan
dalam ungkapan :

Empat hutang orang tua kepada anaknya


Pertama mandi ke air Kedua jejak tanah
Ketiga sunat Rasul bagi anak laki-laki Tindik dabung
bagi anak perempuan
Keempat mendirikan rumah tangganya
Rumah ada adatnya Tepian ada bahasanya Jalan
bersetabik
Cakap bersetina Duduk berbatuh
Makan berkatab

Karena luasnya kandungan makna dan fungsi bangunan


dalam kehidupan orang Melayu, yang akan menjadi
kebanggaan dan memberikan kesempurnaan hidup, bangunan
hendaklah didirikan dengan melalui tata cara perbuatan yang
sesuai dengan ketentuan adat.
Barulah dengan memakai tata cara yang tertib itu
bangunan itu dapat disebut ”Rumah sebenar Rumah”.
Tentang bentuk bangunan tradisional Melayu biasanya
ditentukan oleh bentuk atap- nya, seperti ”Atap Belah
Bubung”, ”Atap Limas” dan ”Atap Lontik”.
Rumah yang perabungnya lurus di pertengahan puncak Page |
atap, dengan kedua bagian sisi atapnya curam ke bawah seperti 427
huruf V terbalik disebut ”Atap Belah Bubung”, "Bubung
Melayu” atau ”Rabung Melayu”. Kalau atapnya curam sekali
disebut ”Lipat Pan- dan”, sebaliknya jika mendatar disebut
”Lipat Kajang”. Jika pada bagian bawah atap um- pamanya
diberi tambahan atap lain, ini disebut ”Atap Labu”, ”Atap
Layar”, ”Atap Bersayap” atau”Atap Bertinggam”. Keterangan
tentang hal ini dapat dijumpai dalam salah satu ungkapan
tradisional yang berbunyi :

Perabung lurus di tengah-tengah


Atap mencucur kiri kanan
Yang mengembang lipat kajang
Yang tegak berlipat pandan
Atap bertingkat
Ampar Labu Berempang leher
Atap Bertingggam
Menguak ke samping Atap Bersayap
Tadahan angin Atap Layar

Jika perabung atap bangunan itu sejajar dengan jalan


raja, orang Melayu menyebutnya ”Rumah Perabung Panjang”.
Sebaliknya jika terletak tidak sejajar disebut pula ”Ru- mah
Perabung Melintang”. Ungkapan tradisional menyebut
bangunan-bangunan ini secara teliti

Di mana letak Perabung Panjang?


Pada labuh dan tambak panjang Lurusnya bagai antan
disusun Selari bagai induk tangga Kalau perabung

Pemerintah Provinsi Riau. 1985. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya.


bersilang tambak Bertelingkai bagai ranting Bagai
tangga dengan induknya Itu tandanya Perabung
Melintang

Jika perabung bangunan itu melentik ke atas pada Page |


kedua ujungnya, dinamakan orang ”Rumah Lontik”, ”Rumah 428
Pencalang” atau ”Rumah Lancang”, karena bentuk hiasan pada
kaki dinding di depan dan belakang seperti bentuk perahu. Ini
dinyatakan pula dalam
ungkapan :

Lontik rumah pada perabung Lontik sepadan ujung


pangkal Tempat hinggap sulo bayung Tempat
bertanggam tanduk buang

Jika atap Rumah Lontik ini bertingkat, disebut "Rumah


Gorai” atau ”Gerai”
Rumah atap limas yang diberi tambahan di bagian muka dan
belakang dengan atap lain yang berbentuk limas pula disebut
”Limas Penuh”. Tapi jika atap tambahan itu ber- bentuk Belah
Bubung, rumah itu disebut ”Limas Berabung Melayu”.
Keterangan yang ada dalam ungkapan tradisional mengatakan :

Bersorong limas dengan limas Padanan disebut limas


penuh Yang di muk'a ke selasar Yang di belakang ke
penanggah Kalau berpatut limas dengan kajang
Berpandan dengan lipat pandan Di situ tegak kunyit-
kunyit Yang di muka ke selasar Yang di belakang ke
penanggah

Bangunan tersebut di atas umumnya berbentuk persegi


panjang, jarang sekali bujur sangkar. Lagi pula bangunan itu
dinyatakan sebagai ”tinggi lucup kepala, rendahnya se- anjing
duduk” yaitu menggambarkan rumah panggung.
Lambang-lambang dalam Bangunan Melayu Riau

Kunci utama untuk mewujudkan bangunan dan lambang-


lambangnya adalah musyawarah. Sebab itulah langkah pertama Page |
sebelum mendirikannya ialah melakukan musyawarah, baik 429
antar keluarga ataupun dengan melibatkan aggota masyarakat
lainnya.
Musyawarah itu membicarakan tentang bangunan apa
yang akan didirikan, untuk apa gunanya, bahan yang
diperlukan, di mana tempatnya, siapa tukangnya, dan bila pe-
kerjaan itu dimulai. Biasanya dalam musyawarah itu dijelaskan
pula segala pantang dan larangan, adat dan kebiasaan yang
harus dilakukan dengan tertib. Pengerjaannya ditekankan
kepada asas kegotong-royongan yang disebut ”Batobo”,
”Besolang”, ”Bepiari” ataupun ”Betayan”.

Seseorang anggota masyarakat yang mendirikan suatu


bangunan tanpa mengada- kan musyawarah dapat dianggap
orang yang ”kurang adab” atau ”tak tahu adat”. Orang tua-tua
merasa dilangkahi dan orang muda-muda merasa ditinggalkan.
Bangunan yang didirikan tanpa musyawarah terlebih dahulu
akan menyebabkan pemiliknya mendapat umpatan dari
masyarakat sedangkan bangunan itu sendiri dianggap ”gawal”
atau ”se- wal” yaitu mendatangkan sial, seperti diungkapkan :

Rumah siap pahat berbunyi


Yang mati berbalik hidup
Terkena tangkap sesentak
Berseliu bulan berkalan
Bersilang tongkat dengan tugal
Lantai berjungkat tengah rumah
Kasau jantan menyundak kepala
Ke hilir terhelah-helah

Pemerintah Provinsi Riau. 1985. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya.


Ke hulu terdudu-dudu

Sedangkan sebuah bangunan yang ideal digambarkan


sebagai berikut :
Page |
Mangkuk penuh pinggan berisi 430
Rumah siap pahat tidak berbunyi
Melenggang tidak berpepas
Menyundak tidak tertumbuk
Berarang tidak patah
Berotan tidak putus
Tak ada rumput nan menyungkat
Tak ada tanah nan bertingkah
Kilaunya sudah kemas
Tak berundang di balik tanah merah
Tak ada kayat di balik mati

Jadi musyawarah dan kegotong-royongan yang menjadi


dasar kehidupan tradisional merupakan landasan dari pekerjaan
membuat sebuah bangunan. Hal ini jelas sekali dalam
ungkapan yang berbunyi :
Orang kaya menurut kayanya
Orang miskin dengan tulang uratnya
Kalau tak ada beban sepikulan
Sehelai rotan terbelit juga

Lambang-lambang yang berkenaan dengan bangunan


tradisional Melayu tergambar dengan baiknya dalam upacara-
upacara, ukuran bangunan, bagian-bagian bangunan, dan
hiasnya.

Upacara
Mendirikan bangunan secara tradisional memerlukan
bermacam-macam upacara supaya memenuhi harapan
pemiliknya dasn semua orang yang terlibat dalam
mengerjakannya. Juga supaya mereka semua terhindar dari
malapetaka. Upacara-upacara yang umum dilakukan dalam
pekerjaan ini ialah Beramu, Mematikan Tanah, dan Menaiki
Rumah. Page |
Upacara ”Beramu” disebut juga ”Mendarahi Kayu”, 431
”Meramu”atau ”Membahan”. Tujuannya untuk menjaga agar
orang-orang yang terlibat dalam pembuatan bangunan itu tidak
mendapat gangguan dari ”penunggu hutan”. Sebagaimana
digambarkan dalam mantra yang dibacakan oleh Pawang,
Dukun atau Kemantan yang melakukan upacara ini, yaitu :

Assalamualaikum ibu ke bumi


Assalamualaikum bapa ke langit
Si Dogum namanya bumi
Si Coca namanya kayu
Induk Alim namanya tanaman
Menentukan salah dengan silih
Jangan diberi rusak
Jangan diberi binasa
Pada anak sidang manusia
Berkat aku mengambil kayu Tiang Tua
Berkat La ilahailailah

Upacara ini disebut "Mendarahi Kayu” karena Pawang


yang memimpin upacara ini lebih dulu menyiram kayu yang
akan ditebang dengan darah ayam, sebelum ditepung-tawari.
Darah ayam yang disiram ke pangkal pohon itu melambangkan
bersebatinya darah manusia dengan darah segala makhluk
dalam hutan itu sehingga mereka tidak akan mengganggu
orang-orang tersebut. Lambang-lambang yang terdapat dalam
upacara ini mencerminkan sikap hidup orang Melayu yang
senantiasa menghormati orang lain. selalu ingin menjalin
persahabatan dan persaudaraan dengan siapa saja di bumi ini.

Pemerintah Provinsi Riau. 1985. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya.


Upacara ”Mematikan Tanah” bertujuan untuk
membersihkan tanah tempat bangunan akan didirikan dari
segala makhluk halus yang mendiaminya, sebelum bangunan
itu ditegakkan. Jika upacara ini dilakukan secara besar-besaran
disembelih seekor kerbau, jika sederhana ialah seekor Page |
kambing, atau setidak-tidaknya seekor ayam. 432
Peralatan yang dipakai dalam upacara ini mengandung
lambang-lambang yang mempunyai arti jika dikaitkan dengan
nilai-nilai dalam kebudayaan Melayu, yaitu :

1. Kain Campo Tengkuluk Godang, yakni sejenis


selendang yang .terdiri dari 3 atau 5 atau 7 warna untuk
diselimutkan pada Tiang Tua. Kain melambangkan ibu
rumah tangga yang akan mendiami rumah itu,
sedangkan penyelimutan pada tiang menggambarkan
kasih sayangnya kepada suami, anak-anak dan
keluarganya. Warna-warna kain itu pun mempunyai arti
yaitu merah sebagai lambang persaudaraan, hitam
untuk keberanian atau kedubalangan, hijau untuk
kesuburan atau bertunas, biru untuk kebahagian atau
Cayo Langit, putih untuk kesucian atau putih hati
seperti kapas, kuning untuk kekuasaan atau ono ajo.
2. Sirih setangkai, yang melambangkan penghormatan
kepada masyarakat yang ikut membantu mendirikan
bangunan tersebut
3. Bibit kelapa dua jurai yang melambangkan hubungan
berkeluarga dan berketurunan.
4. Mayang pinang satu jurai, yang melambangkan
kecantikan dan keserasian hidup dalam rumah tangga.
5. Payung, melambangkan tempat berlindung bagi siapa
saja yang memerlukannya.
6. Kain panji dan umbul-umbul sebagai lambang
keragaman persukuan yang ada dalam masyarakat yang
telah turut mengerjakan bangunan itu.
7. Alat musik celempong, tetawak dan gendang, yang
melambangkan kegembiraan dan kebahagian.
8. Seperangkat peralatan Tepung Tawar yang terdiri dari :
a. Daun Setawar yang berari obat segala bisa.
b. Daun Sedingin untuk mendinginkan kepala Page |
yang panas, menyejukkan hati dan berlapang 433
dada.
c. Daun Ati-ati yang berarti bijak berkata-kata dan
baik tingkah laku.
d. Daun Gandarusa untuk penangkal malapetaka
dari luar.
e. Bedak Limau untuk membersihkan jasmani dan
rohani.
f. Air Percung yang mengandung arti "memberi
tidak diminta, melepas tidak disentak” atau
ikhlas dan rela berkorban.’
g. Beras Kunyit,Beras Basuh,dan Bertih yang
mengandung arti keselamatan, kemakmuran dan
kesucian hati.
9. Pebara dan Kemenyan sebagai tanda persahabatan
dengan segala makhluk dan pemberitahuan ajakan dan
pernyataan bahwa di tempat itu diadakan upacara.
10. Limau Purut, penyembuh segala penyakit, tangkal
penolak bala.
11. Hewan sembelihan untuk ”semah” atau sedekah kepada
makhluk di sekitar tempat itu.
12. Tahi besi dan besi berani sebagai lambang kekuatan,
kebulatan hati dan daya pikat dalam pergaulan.
13. Lumpur laut atau lumpur tanah bekas perumahan
keluarga yang tertua, yang melambangkan kelemah-
lembutan, tidak kaku dan kekal abadi.
14. Inggu untuk menolak makhluk halus yang jahat.
15. Daun juang-juang, lambang hidup dan mati, serta
tangkal sihir.

Pemerintah Provinsi Riau. 1985. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya.


16. Tunam yaitu semacam obor dari kulit kayu dan damar,
melambangkan cahaya, seri atau rumah tangga yang
terang benderang.

Upacara ”Menaiki Rumah” bertujuan sebagai ucapan Page |


terima kasih dari pemilik rumah atau bangunan itu kepada 434
orang-orang yang telah ikut membantu. Kadang-kadang
upacara ini diikuti oleh kenduri atau makan bersama yang
didahului doa selamat.

Letak Bangunan

1. Tempat yang baik untuk mendirikan bangunan menurut


tradisi Melayu Riau :
2. Di atas tanah Hat kuning dan hitam. Penghuninya tidak
akan* diserang penyakit jerih, pitam dan sawan babi,
sebagaiman dikatakan dalam sebuah ungkapan : ”Tegak
pada tanah iiat, Liat nyawa di badan, Serit jerih
menimpa, Yang kuning penolak pening, Yang hitam
penawar pitam, Penawar sawan babi”.
3. Di atas tanah yang datar. Penghuni bangunan akan
selalu tenang hidupnya dan disenangi dalam pergaulan,
sebagaimana dinyatakan dalam sebuah ungkapan
tradisional : ”Datar tanah perumahan, Datar pula
halamannya, Tak ada batang melintang. Tak ada onak
menjemba”.
4. Di atas tanah yang miring ke belakang. Penghuninya
tak akan kekurangan rezeki, seperti dinyatakan
ungkapan : ”Miring tanah ke penanggah. Tanda tungku
kan menyala, Tanda puntung kan berasap, Tanda periuk
kan berisi. Kalau curam ke halaman, Yang datang
menggolek pergi, Tak terhempang dek pengkelang, Tak
tersangkut dek tangga turun, Sumpit kempis, Langau
tak hinggap”.
5. Di atas tanah belukar. Penghuni akan mendapat rezeki
yang halal, bebas dari gangguan hantu dan makhluk
halus lain, seperti dinyatakan ungkapan lama : ’Terkena
pada tanah belukar, Kok codingnya bernas bernas, Tak
menjelau jin pelesit, Tak menyonggol jembalang Page |
tanah”. 435
6. Di atas tanah yang dekat dengan sumber air.
Penghuninya akan mendapat rezeki melimpah, seperti
dalam ungkapan : ”Dekat telaga di bawah bukit, Dekat
suak anak sungai, Dekat segala ucap pinta. Kalau labu
berisi penuh, kalau petak acap-acapan. Makan tak
termakan-makan, Minum tak terminum-minum”.

Tempat yang tidak terlalu baik dan tidak terlalu buruk ialah :
a. Di atas tanah dusun atau kebun yang belum ada
tanaman tua atau tanaman keras. Penghuni bangunan
tidak akan melarat hidupnya, tidak pula rezekinya
melimpah. Ini dinyatakan dalam ungkapan lama :
”Tanah ladang berbelukar, Belukar turun ke purun,
Purun singgah ke tanah dusun. Terkena ke tanah dusun,
Yang tak berdurian bercempedak, Tidak bermacang
bermempelam, tidak bermanggis berbuah rambai.
Dapat pagi makan pagi, Bersua malam makan malam,
Tapi tidak gadai menggadai, Tidak pula dibelit hutang,
Tidak berjuak dan berjurai”,
b. Di atas tanah bercampur pasir. Penghuni akan terhindar
dari penyakit sampar, seperti diterangkan dalam
ungkapan : ”Berserak pasir di perumahan, Kisik
berkisik di halaman, Tak kan singgah jembalang tanah,
Tak kan hinggap awe sampar”.
c. Di atas tanah bekas perumahan lama. Penghuninya akan
mendapat nasib seperti pemilik bangunan lama itu,
seperti diungkapkan secara tradisional : ”Mengunut
jejak mengulang langkah, Kalau unut di bawah betis,

Pemerintah Provinsi Riau. 1985. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya.


Kalau jejak di bawah tapak”.
d. Di atas tanah terbuang atau terlantar. Penghuninya akan
bernasil dalam hidup jika ”sial” tanah itu dibuang

Tempat yang dipantangkan ialah : Page |


1. Di atas tanah gambut. Penghuninya bangunan akan 436
menderita penyakit tulang, se perti tersebut dalam
ungkapan lama : ”Kalau gambut tiang rumah, Kok
tegak tak berdiri, Kok cangkung tak terlipat, Kok
duduk tak tersila, Ngilu tulang yang kan tiba”.
2. Di atas tanah kuburan. Penghuni akan diganggu
oleh hantu atau diserang berbagai penyakit, sebagai
disebutkan dalam ungkapan : Berumah di atas
kubur, Kok hantunya silau bersilau, Penyakit ulang-
berulang, Betah pagi petang tiba, Betah petang pagi
berbalik”.
3. Di atas bekas orang mati berdarah. Penghuninya
akan mendapat celaka dan diganggu oleh hantu
orang mati di situ, seperti dikatakan : "Berumah di
atas tanah berani, Bagai menghimbau musuh tiba,
Bagai mengimak bala datang’’.
4. Di atas tanah bekas orang mati karena penyakit
sampar. Penghuni bangunan akan mendapat nasib
yang sama, seperti dinyatakan dalam ungkapan :
"Berumah di tanah Awe Gilo, Bagai menghimbau
induk awe, Bagai mengimak jembalang awe”.
5. Di atas tanah ”tahi burung” yaitu tanah berlekuk-
lekuk. Penghuni akan mendapat penyakit bubul,
sebagai mana dinyatakan : "Tanah iekuk berlekuk,
Tanah bernama tahi burung, Dibuat ladang padinya
kerit, Dibuat kebun batang meranggas, Dibuat
rumah sakit bubul, Dibuat gelanggang mematahkan,
Dibuat tepian tak berair”.
6. Di atas tanah berbusut dan beranai-anai. Penghuni
akan melarat, seperti diungkapkan secara tradisional
: "Tanah berbusut beranai-anai, Busutnya
penyemput bala, Anai-anai penyemput hutang, Tak
kering kain di pinggang, Tak bersiang tak
bermalam". Page |
7. Di atas tanah wakaf. Penghuninya akan ditimpa 437
kutukan, sebagaimana diungkapkan : "Membuat
rumah di tanah wakaf, Kepala menjunjung bala,
Bahu memikul siksa".
8. Di atas "lidah tanah” yakni tanah yang berbusut
panjang. Penghuni bangunan tak akan tetap
mendiami rumahnya, sebagaimana dinyatakan
dalam ungkapan : "Busut panjang lidah tanah, Tak
menahan gelegar rumah, Tak memapan lantai
tengah, Kekalnya sehari dua, Ketiga mati ditimpa
alang, Keempat terbuang ke laut luas”.

Arah Bangunan

Setelah memilih tempat yang baik harus pula diperhatikan arah


tempat bangunan
itu dihadapkan. Untuk itu seni bangunan Melayu Riau
mempunyai beberapa patokan,
yaitu :
1. Menghadap ke utara. Baik sekali, mendatangkan
banyak rezeki, jarang ditimpa penyakit dan selalu hidup
bercekupan, seperti dinyatakan ungkapan lama : "Kalau
rumah menghadap ke Utara, Bagai menahan belat di
kuala, Satu dipasang dua isinya, Dua dipasang empat
mengena”.
2. Menghadap ke Timur. Baik sekali, penghuni akan
mendapat rezeki melimpah, jauhdari segala macam
penyakit, seperti dinyatakan : ”Kalau rumah
menghadap ke Timur, Bagai lukah di pintu air, Pagi

Pemerintah Provinsi Riau. 1985. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya.


direndam petang berisi, Petang direndam malam penuh,
Bukan penuhnya oleh apa, Penuh emas dengan urai,
Penuh gelak nan berderai”.
3. Menghadap ke Barat. Tidak baik, penghuni bangunan
selalu diserang penyakit panas dan tidak tenteram, Page |
seperti diungkapkan : ”Kalau rumah menghadap ke 438
Barat, Bagai lesung batu tidak beranak, Lada ada
sambal tak lumat, Garam sebuku tak tergiling”.
4. Menghadap ke Selatan. Kadang-kadang baik, kadang-
kadang tidak baik, seperti ungkapan : ”Kalau rumah
menghadap ke Selatan, Bagai peluntang di tengah
sungai, Tuah kail puntung mengena, Sial kail
umpannya habis”.

Memilih Bahan Bangunan

Sastra lisan dengan ungkapan tradisional di Riau


memberi petunjuk pula tentang bermacam-macam kayu yang
tidak baik untuk dijadikan bahan bangunan, yaitu :
1. Kayu yang dililit akar. Kayu ini menyebabkan
bangunan sering dinaiki ular atau penghuninya
mendapat kesulitan. ”Kalau kayu dililit akar,
Tumbangnya tak jejak ke tanah, Ditebang menyangkut
beliung, dibawa pulang diikut susah”.
2. Kayu yang berlubang digirik kumbang atau kayu yang
berlubang di tengahnya. "Kalau kayu digirik kumbang,
Dilintangkan ia patah, Ditegakkan ia rebah. Kalau kayu
berlubang panjang, Empulurnya membawa miang,
Tatalnya melenting mata, Patut dibuat kayu api”.
3. Kayu yang sedang berpucuk muda. Kayu ini
menyebabkan penghuni bangunan sakit- sakit dan sulit
mendapat rezeki. ”Kalau kayu berbunga lebat, Buahnya
mengunjung dahan, Pucuknya menjarum-jarum, Kalau
panas ia pecah, Kalau hujan ia lapuk, Terasnya tidak
berurat, Empulur menggenang getah”.
4. Kayu yang batangnya berpilin. Kayu ini akan
menyebabkan penghuni bangunan mendapat fitnah.
”Batang kayu berpiuh pilin, Di hutan menyundak
dahan, Di rumah menyundak atap, yang lurus Page |
membengkokkan, Yang tegak merebahkan”. 439
5. Kayu tunggal yaitu kayu yang jenisnya hanya ada
sebatang di suatu tempat. Penghuni bangunan yang
dibuat dengank kayu ini akan bercerai dengan
keluarganya. ”Kayu tunggal penunggu rimba, Kalau
ditebang menghabiskankan, Kalau ditutur mematikan”.
6. Kayu bekas tebangan orang. Bangunan yang dibuat
dengan kayu ini, penghuninya akan cepat bercerai
dengan keluarganya. ”Kalau ada bekas beliung, Tak
boieh dikerat lagi, Di situ letak silang sengketa, Di situ
pertemuan dihabisi”.
7. Kayu yang ketika ditebang, tumbangnya tidak langsung
ke tanah. Bangunan yang, dibuat dari kayu ini akan
mendatangkan bahaya kematian bagi penghuninya.
”Yang rebah tak mencecah tanah, Menyandar ke kayu
lain, Memutus ranting meretas dahan, Matinya mati
menganggang, Tergantung lapuk tertegak busuk’\
8. Kayu yang akarnya menjulur ke air. Bangunan yang
dibuat dengan kayu ini akan menyebabkan penghuninya
mendapat sial. ”Sebelah akar di tebing , Sebelah akar di
air, Satu dipegang satu lepas, Satu dapat satu
menghilang”.
9. Kayu bekas terbakar. Bangunan yang dibuat dengan
kayu ini akan menyebabkan penghuninya menderita
kemiskinan dan berbagai penyakit. "Terpanggang kayu
di tengah ladang, Terasnya menjadi gubal, Diketam
tidak bertatal, Kulit dikubik berisi arang, Banir diseluk
tak berurat tunggang, Dipesandar timpa menimpa,
Ditampung tak tertampung, Dikerat tak terkerat,

Pemerintah Provinsi Riau. 1985. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya.


Mematah pada beliung, Memecah hulu parang”.

Ukuran Bangunan
Ukuran bangunan juga dipercayai dapat menentukan
baik tidaknya sebuah rumah. Secara tradisional patokan untuk Page |
mengukur itu ialah ukuran alat-alat tubuh si pemilik seperti 440
tinggi dan hasta, serta ukuran berdasarkan banyaknya kasau
dan gelepar.
Tinggi bangunan yang paling baik ialah dengan tinggi
sepemikulan atau setinggi bahu. Ini berarti beban hidup dapat
dipikul sepenuhnya oleh si pemilik. Tentang hal ini ungkapan
lama menyebutkan : "Tinggi rumah sepemikulan, Terpikul
bendul nana empat, Terpikul ladang bertumpuk, Tak bertingkat
tungku di dapur, Tak tersingkap kain di pinggang”.
Jika tinggi bangunan itu ”sejunjungan” yaitu setinggi
puncak kepala si pemilik, juga berarti baik : ’Tinggi rumah
sejunjungan, terjunjung adat dengan lembaga, terjunjung harta
dengan pusaka, terjunjung pintak dengan bagi, terjunjung ico
dengan pakaian”.
Jika tinggi bangunan itu ”sepenjangkauan”, itu juga
berarti baik karena dipercayai si pemilik dapat menjangkau
segala keperluan rumah tangganya serta mencapai cita-cita :
’Tinggi rumah sepenjangkauan, tergapai kasau dengan alang,
teraih padi dalam petak, tertutup baju di dada, tercapai ucap
dengan pinta”.
Jika tinggi bangunan itu sepenyangup yaitu setinggi mulut, itu
berarti tidak baik. Ini berarti si pemilik akan menjadi rakus dan
kikir seka bertengkar dengan tetangga di seki tar : 'Tinggi
rumah sepenyangup, langau lalat dimakannya, berlapis kancing
pintunya, duduknya di atas-atas, cakap tengking menengking,
tak lawan musuh dicari”.
Jika tinggi bangunan itu ” selutut” berarti sangat tidak
baik juga. Ini berarti si pemiliknya dianggap tak tahu adat serta
akan berada dalam kemiskinan : ”Kalau rumah tinggi selutut,
tak beradat pintu rumah, tak beradat tangga rumah, berbeliung
tak berpoda, berparang tidak berasah, ke hulu pinta meminta,
ke hilir kata mengata”.
Kalau pada ukuran tinggi bangunan yang menjadi
ukuran ialah tinggi badan lelaki (suami), pada ukuran besar Page |
bangunan diutamakan ukuran tangan perempuan (isteri). 441
Umpamanya untuk mengukur besar rumah yang tepat dipakai
seutas tali yang hasta pertama disebut ular berang yang berarti
tidak baik karena di bangunan yang ukuran jatuh pada hasta
pertama ini akan terjadi sengketa didalamnya. Hasta kedua
disebut meniti riak yang juga berarti tidak baik karena
penghuninya akan menjadi sombong. Hasta ketiga disebut riak
meniti kumbang berteduh yang berarti baik sekali karena
penghuninya akan mendapat ketentaraman dan kebahagiaan,
rezeki melimpah, tempat bernaung keluarga dan masyarakat
sekitarnya. Hasta keempat disebut habis hutang berganti hutang
yang berarti tidak baik karena penghuninya akan melarat
karena berhutang. Hasta kelima disebut hutang lalu tidak
terimbuh yang berarti tidak baik karena penghuni bangunan
seukuran itu akan bertambah miskin bila mendiaminya.
Ada lagi cara mengukur yang disebut ”bilang kasau”,
juga diserahkan kepada perempuan (isteri). Tapi ukurannya di
sebut ”setulang” yakni sepanjang ujung siku hingga ke ujung
buku jari tergenggam. Tulang pertama disebut ”kasau” yang
berarti baik, membawa kebahagiaan lahir dan batin. Tulang
kedua disebut ”risau” yang berarti akan mendatangkan
malapetaka. Tulang ketiga disebut ”rebe” yang berarti selalu
diancam oleh bahaya dan melarat. Tulang keempat disebut
”api” yang berarti sering terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan mungkin sekali rumah itu terbakar.
”Bilang gelegar” sama caranya dengan mengukur
kasau. Tulang pertama disebut ”gelegar” yang baik sekali
artinya karena ukuran ini konon membawa kesejahteraan dan
kebahagiaan. Tulang kedua disebut ”geligi artinya tidak baik

Pemerintah Provinsi Riau. 1985. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya.


karena penghuni bangunan
akan selalu sakit, mendapat sial dan susah. Tulang ketiga
disebut ”ulur” artinya tidak baik karena mendatangkan
kesusahan dan kemelaratan. Tulang keempat disebut ”bangkai”
yang berarti sangat tidak baik yaitu mambawa malapetaka dan Page |
bahaya maut bagi penghuninya. 442
Tiang
Dalam banguanan tradisional Melayu terdapat beberapa macam
tiang seperti ”tiang
seri” yaitu tiang yang terletak pada keempat sudut bangunan
induk. Sastra lisan di Riau mengungkapkan tiang seri ini
seperti berikut :

Tiang seri di empat sudut


Empat cahaya di langit
Empat cahaya di bumi
Empat seri ke muka
Tempat dinding bertemu kasih
Tempat belebat bergalang ujung
Kalau tegak tiang nan empat
Kalau hutang ke anak jantan
Empat hutang ke anak betina
Empat alim berkitabullah
Empat sahabat Rasulullah
Empat alam ditunggunya
Empat asai kejadiannya

Tiang Penghulu ialah tiang yang terletak di antara pintu muka


dengan Tiang Seri di sudut kanan muka bangunan. Tentang
tiang ini dikatakan dalam sastra lisan :

Tegak rumah dek tiang seri


Kokoh rumah dek tiang penghulu
Tempat bersandar datuk-datuk
Tempat bertumpu alim ulama
Tiang penghulu bertiang panjang
Lurusnya bagai alif
Nan menahan beban rumah
Nan memikul berat atap Page |
Nan menyangga dinding belebat 443
Tertegak tiang penghulu
Tegak adat selilupnya.

Tiang Tua ialah tiang yang terletak pada deretan kedua


sebelah kiri dan kanan pintu tengah. Tentang tiang ini
diungkapkan :

Tiang tua sebelah kiri


Tempat kelapa dua jurai
Tiang tua sebelah kanan
Tempat selendang kain campo
Tiang tua di pintu tengah
Tempat bersandar bendul panjang

Tempat adat dipalangkan Tempat langkah dihentikan


Tiang Tengah iaiah tiang-tiang yang terdapat di sekeliling
bangunan induk. Tentang tiang ini terdapat ungkapan :

Tiang tengah pemasak rumah


Terpasak kaki ke bumi
Terpasak kepala ke langit
erpasak dengki dengan aniaya
Terpasak salah dengan silih

Tiang Bujang ialah tiang yang dibuat khusus di bagian tengah


rumah. Tentang tiang ini terdapat ungkapan :

Tiang bujang di tengah rumah

Pemerintah Provinsi Riau. 1985. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya.


Bertanduk rusa bersangkutan
Tempat membuat peluh busuk
Tempat mengusap-usap muka
Tempat menggaru-garu belakang
Tempat kenyang dilepaskan Page |
444
Tiang Dua Belas adalah gabungan dari 4 buah tiang seri, 4
buah tiang tengah, 2 buah tiang tua, 1 buah tiang penghulu dan
1 buah tiang bujang. Tentang tiang dua belas ini terdapat
ungkapan :

Tertegak rumah tiang dua belas


Dua belas cahaya naik
Dua belas cahaya turun
Dua belas tiang dikandungnya
Dua belas bulan ditunangnya

Selain dari tiang-tiang utama tersebut diatas terdapat


pula tiang-tiang pembantu, yaitu ”tiang tongkat”, ”tiang
sokong”, dan ”tiang sulai atau ”tiang banga”. Bentuk semua
tiang itu ada yang bulat dan ada yang bersegi. Makna tiang
bulat dan bersegi mempunyai makna tertentu seperti yang ada
terungkap dalam khazanah sastra lisan.

Tangga
Pada bangunan tradisional Melayu tangga depan dikatakan
mengandung makan lambang-lambang sehingga diungkapkan :
"Leher berpanggak pada bendul, kepala bersandar ke jenang
pintu, anak bersusun tingkat bertingkat, tempat pusaka
melangkah turun, tempat mengisik-ngisik debu, tempat
membasuh-basuh kaki”.
Ada dua jenis tangga. Yang pertama tangga bulat. yakni
tangga yang dibuat dari kayu bulat. Dalam jenis ini dikenal
tangga bertanggam. Yang Kedua tangga picak yaitu tangga
pipih yang terbuat dari papan tebal.
Susunan anak tangga, cara mengikat tali tangga dan
bagian-bagian induk tangga mengandung makna-makna
tertentu menurut tradisi seni bangunan Melayu sebagaimana
diungkapkan oleh sastra lisan. (umpamanya pangkal kayu Page |
anak-anak tangga haruslah diletakkan di sebelah kanan tangga. 445
Hal ini ada dijelaskan di dalam ungkapan lama : ”Pangkal kayu
sebelah kanan, ujung terletak disebelah kiri, tak bersilang adik
beradik, tak menyunsang sampan dikayuh, tak terkejut tengah
malam, tak tergempar orang di banjar”.
Ikatan tangga harus dibuat secara khusus yang disebut
”lilit selari” atau ”belit bercengkam”. Cara mengikat seperti itu
dikatakan karena ikatan talinya tak boleh terputus-putus mulai
dari anak tangga paling atas sampai ke anak tangga terbawah,
sebagaimana diungkapkan : "Belit bercengkam tali tangga, lilit
selari sambung bersambung, dari atas turun kebawah, ikat
bercengkam simpul mati, tak bertelingkah cakap di rumah, tak
kerit padi di ladang, kalau ya dipakai, kalau tidak dibuang”.
Bagian yang disebut leher tangga seperti tersangkut di
atas bendul pintu melambangkan kasih sayang ibu kepada
anaknya. Ada ungkapan lama tentang ini yaitu: ”Leher
terpangguk pada bendul, bagai memangku anak menyusu,
kasih menurut sepanjang jalan, tak bersekat berhempang-
hempang”.
Bagian yang disebut kepala tangga bersandar ke jenang
pintu melambangkan kepala rumah tangga yang senantiasa
menjaga martabat keluarganya : ”Kepala bersandar ke jenang
pintu, memberi tahu orang di rumah, memberi kabar orang di
tanah, entah orang salah duduk, entah orang salah cakap”.
Juga hitungan jumlah anak-anak tangga dalam
bangunan tradisional Melayu dinyatakan dalam ungkapan
tradisional sebagai berikut :

Yang pertama memberi salam

Pemerintah Provinsi Riau. 1985. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya.


Yang kedua pengisik debu
Yang ketiga pelepas penat
Yang keempat peninjau laman
Yang kelima pijakan adat
Yang keenam gantung rantungan Page |
Anak tangga bersusun 'lima 446
Lima rukun didalamnya
Anak tangga bersusun enam
Enam pula kandungannya
Yang sesuai menurut syara’
Yang lulus menurut kitab

Bendul dan lain-lain


Bendul atau bendul pintu kadang-kadang disebut juga ”batas
adat”. Ini dikatakan karena bendul itulah batas tempat
seseorang tamu lelaki dibenarkan masuk apabila dirumah
tersebut tidak ada lelaki. Sanga tamu hanya dibenarkan duduk
di bendul pintu muka dengan sebelah kaki berjuntai di anak
tangga.
Dalam rumah yang tidak berbilik permanen, bendul dijadikan
sekat atau batas yang biasanya ditutup dengan tabir.
Tentang bendul ungkapan tradisional dalam sastra lisan
di pedalaman Riau mengatakan sebagai berikut :

Rumah ada adatnya


Selilup bendul tepi
Selingkup bendul tengah
Kalau rumah tak berjantan
Sebelah kaki di bendul
Sebelah tinggal di anak tangga
Kalau dihimbau naik ke rumah
Masuk terpalang bendul tengah
Itu tandanya rumah beradat
Berbendul sekat menyekat
Bagai durian beruang-ruang
Bagai buluh ruas beruas

Selain bendul, juga gelegar, pintu, jendela, kasau, alang,


dinding, bilik, anjungan, lubang angin, bidai, atap dan ruangan, Page |
ada dinyatakan dalam ungkapan tradisional atau yang termasuk 447
dalam sastra lisan yang masih diingat para penduduk di
beberapa pelosok daerah Riau.

Ragam Mas dalam seni bangunan Melayu Riau

Bermacam-macam hiasan yang terdapat dalam seni bangunan


Melayu Riau. Misalnya sebagai hiasan sepanjang kaki dinding
di bagian depan dan belakang ”rumah lontik” disebut hiasan
”gando ari”. Motip ukiran ada yang mengambil bentuk daun,
bunga, kuntum dan akar-akaran yang yang menggambarkan
kekayaan flora sebagai pernyataan dekatnya hubungan manusia
dengan alam. Juga terdapat motif-motif hewan dan alam
sekitar.
Dari seluruh daerah Riau dapatlah disebut secara kasar
motif-motif yang diberi nama seperti ”Kaluk Pakis”, ”Bunga
Hutan”, ”Bunga Kundur”, ”Tampuk Manggis”, ”Pucuk
Rebung”, dan lain-lain yang berasal dari alam flora, dan "Itik
Pulang Petang”, ”Semut Beriring”, ”Siku Keluang” dari alam
fauna, dan motif lainnya dari alam seperti ”Bulan Sabit”,
"Bintang-bintang”, ”Awan Larat” dan lain sebagainya.
Hiasan-hiasan itu dibuat pada dinding dinding
bangunan, pada daun pintu, pada kisi-kisi jendela, pada tangga,
pada bagian atap. Hiasan pada bagian atap biasanya dibuat
pada cucuran atap atau pada perabung. Di antara hiasan yang
dibuat pada perabung atap ialah Selembayung.
Selembayung disebut juga ”Sulo Bayung” atau
”Tanduk Buang” ialah hiasan yang terletak bersilangan pada
kedua ujung perabung bangunan Belah Bubung dan Rumah

Pemerintah Provinsi Riau. 1985. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya.


Lontik. Di bagian bawahnya kadang-kadang diberi pula hiasan
tambahan seperti tombak terhunus yang bersambungan dengan
kedua ujung perabung.
Selembayung yang diletakkan di bagian paling tinggi
suatu bangunan mengandung lamabang yang sangat tinggi Page |
artinya. Itulah sebabnya selembayung dinamakan juga ”Tajuk 448
Rumah” atau mahkota suatu bangunan yang dipercayai dapat
membangkitkan seri atau cahaya bangunan itu. Sebagai ”Tajuk
Rumah” ungkapan tradisional daerah Riau mengatakan sebagai
berikut :

Sepasang tajuk di ujung


Sepasang tajuk di pangkal
Tajuk pembangkit seri pelangi
Membangkit cahaya di bumi
Membangkit cahaya di langit
Membangkit cahaya di laut
Membangkit cahaya di dalam rumah

Selembayung dinamakan pula ”Pekasih Rumah” sebagaimana


dinyatakan dalam ungkapan :

Selembayung jantan sebelah kanan


Selembayung betina sebelah kiri
Bagai balam dua selenggek
Kalau mengukur balam jantan
Angguk mengangguk balam betina

Selembayung dinamakan juga ”Pasak Atap” sebagai lambang


keserasian hidup yang ”tahu diri”. Hal ini dinyatakan dalam
ungkapan :

Terpacak selembayung bubung


Melayu Tegak pemasak atap rumah
Bagai tangan tadah-tadahan
Yang tahu kecil dirinya
Yang tahu papa dengan kedana
Yang tahu nasib dengan untungnya
Yang bercakap di bawah-bawah Page |
Yang mandi di hilir-hilir 449

Selembayung juga disebut ’Tangga Dewa” yang dipercayai


konon sebagai tempat turun dewa, mambang, akuan, soko, roh
orang sakti. Hal ini dinyatakan dalam suatu ungkapan :

Selembayung balai belian


Tangga Desa nama asalnya
Tempat berpijak Dewo Mambang
Tempat turun soko akuan
Tempat pijakan keramat sidi
Tempat melenggang wali-wali
Yang turun ke balai puncak
Yang turun ke bilik dalam
Yang turun ke tanah sekepal mula jadi
Yang turun ke bumi selebar dulang
Yang turun dari langit sekembang payung
Selembayung dua kemuncak
Ujungnya menyundak langit
Kaki menyusur-nyusur atap
Tempat turun nenek di gunung
Tempat turun nenek di padang
Tempat turun nenek bunyian
Tempat turun Nek Bia Sati
Turunnya turun beradat
Turun berpijak pada kemuncak

Turun ke Balai Dewo Balai Ancak Ancak berisi


panggang mondung Lengkap dengan nasi kunyitnya Di muka

Pemerintah Provinsi Riau. 1985. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya.


tempat pelesungan Di belakang beras bertih Di bawah lantai
selari Di atas berselembayung
Turun segala penghulu lawang Turun bermanis-manis muka
Membawa obat dengan mawar Membuang salah dengan silih
Selembayung juga dinamakan ”Rumah Beradat” Page |
sebagai tanda bangunan berselembayung ialah tempat 450
kediaman orang berbangsa atau balai atau tempat kediaman
orang patut-patut. Hal ini diungkapkan seperti berikut :

Di mana tegak selembayung


Di balai tingkat bertingkat
Di istana beranjung tinggi
Di rumah besar berbilik dalam
Tempat berunding bermufakat
Tempat bertitah raja berdaulat
Tempat berpetuah datuk-datuk
Tempat dubalang kuat kuasa
Tempat penghulu pemangku adat
Tempat orang nan patut-patut
Tempat beradat berlembaga
Kalau tingginya tampak jauh
Kalau dekatnya tidak tergamak

Selembayung yang bentuknya seperti bulan sabit


dinamakan pula ”Tuan Rumah” yang dipercayai akan
mendatangkan tuah kepada pemilik bangunan. Hal ini
diungkapkan:

Yang bernama Sulo Bayung


Bagai mengetam bulan naik
Mengetam cahaya ke muka
Menyimbah tuah ke rumah
Mengetam cahaya ke kaki
Menyimbah tuah mendaki
Selembayung yang dilengkapi dengan tombak-tombak
melambangkan penjaga agar rumah atau bangunan berada
ketenteraman, dan menggambarkan pula wibawa dan ke-
perkasaan pemiliknya. Hal ini dinyatakan dalam ungkapan : Page |
451
Selembayung bertombak-tombak
Untuk penunggu-nunggu rumah
Untuk penyedap-nyedap hati
Kan penahan balak dan bala
Kan penahan salah dan silih,

Motif ukiran untuk selembayung yang terdiri dari daun-daunan


dan bunga melambangkan perwujudan kasih sayang, tahu adat
dan tahu diri, berlanjutnya keturunan dan serasi dalam rumah
tangga. Hal ini dinyatakan dalam ungkapan :

Jalin berjalin akar pakis


Lapis berlapis kelopak bunga
Susun bersusun kumtum jadi
Seluk berseluk daun kayu
Yang berjalin kasih sayang
Yang berlapis panggilan gelar
Yang bersusun gadis pingitan
Yang berseluk sanak saudara

Hiasan yang terdapat pada keempat sudut cucuran atap yang


bentuknya hampir sama dengan selembayung disebut sayap
layang-layang atau sayap layangan. Hiasan dipakai sebagai
padanan untuk setiap bangunan yang berselembayung.

Hiasan sayap layang-layang yang diletakkan pada keempat


sudut cucuran atap itu diungkapkan sebagai empat penjuru
hajkat sebagaimana dinyatakan :

Pemerintah Provinsi Riau. 1985. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya.


Empat sudut cucuran atap
Empat sayap layang-layangan
Empat alam terkembang
Empat pintu terbuka Page |
Pertama pintu rezeki 452
Kedua pintu hati
Ketiga pintu budi
Keempat pintu Ilahi

Hiasan ini juga digambarkan sebagai lambang kebebasan


menurut namanya, sebagaimana diungkapkan :

Nan bernama sayap layangan


Nan membumbung ke langit tinggi
Menengok alam sekelilingnya
Ditebang tidak tertebang
Ditebas jua jadinya
Dihempang tidak terhempang
Dilepas jua jadinya
Tapi walaupun dilepas
Diberi bertali panjang
Hendak menyimpang tali digenjur

Penutup

Demikianlah sekedar selintas pandang tentang makna lamang-


lambang yang terdapat dalam seni bangunan tradisional
Melayu. Tentulah tidak sedikit lambang-lambang yang tercecer
dari pandangan penulis makalah. Lagi pula disebabkan oleh
keragaman warna budaya di daerah Riau mungkin saja terdapat
perbedaan tafsiran lambang-lambang suatu wilayah dengan
wilayah lainnya. Ini memerlukan penerokaan yang lebih
menukik dan mendalam. Terima kasih.
Kepustakaan

Tim Penulis IDKD, 1982/1983 Ungkapan Tradisional Daerah


Riau, Ungkapan Tradisional Yang Berkaitan Dengan Sila-Sila Page |
Dalam Panca Sila di Daerah Riau. 453
Tim Penulis IDKD. 1982/83. Arsitektur Tradisional Daerah
Riau,
Tim Penulis IKKD. 1982/1983. Isi dan Kelenqkapan Rumah
Tangga Tradisional Daerah Riau,
Tenas Effendy dan O.K Nizami Jamil, 1980. Seni Ukir Daerah
Riau, Pemda Riau,
Tenas Effendy, 1981. Kumpulan Mantra Melayu (naskah),
Tenas Effendy, 1980 Bilang Undang Membayar
Tanda,(naskah),
Tenas Effendy.1983, Ragam Pantun Melayu, (naskah),
Bentuk-bentuk Bangunan Mesiid Kunci Memahami
Kebudayaan Melayu, Kementerian Kebudayaan Belia dan
Sukan Malaysia, Kuala Lumpur,
Amrin Sabrin. BA, 1978/1979 Bentuk-bentuk Ornamen Daerah
Riau, Kumpulan beberapa naskah kesenian Daerah Riau,
Proyek Pengembangan Kesenian Riau,
Pemda Riau. 1982. Anjungan Riau di TMII Jakarta, (booklet),

Pemerintah Provinsi Riau. 1985. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya.

Anda mungkin juga menyukai