X
Lambang-Ambang Dalam Seni Bangunan Tradisional
Sebagai Refleksi Nilai Budaya Melayu
Pendahuluan
Bangunan tradisional yang disebut juga ”Seni bina” Melayu,
terutama untuk rumah kediaman, pada hakekatnya amatlah
diutamakan dalam kehidupan orang Melayu. Rumah bukan saja
sebagai tempat tinggal di mana kegiatan kehidupan dilakukan
dengan sebaik-baiknya, tetap juga menjadi lambang
kesempurnaan hidup. Beberapa ungkapan tradisional Melayu
menyebutkan rumah sebagai ”cahaya hidup di bumi, tempat
beradat berketurunan, tempat berlabuh kaum kerabat, tempat
singgah dagang lalu, hutang orang tua kepada anaknya”.
Itulah sebabnya rumah dikatakan ”mustahak” dibangun dengan
berbagal pertimbangan yang cermat, dengan memperhatikan
lambang-lambang yang merupakan refleksi nilai budaya
masyarakat pendukungnya. Hanya dengan cara demikianlah
diyakini bangunan itu akan benar-benar dapat memberikan
kesempurnaan lahir dan batin, bagi penghuni rumah itu dan
bagi masyarakat sekitarnya.
Lambang-lambang yang berkaitan dengan bangunan
tradisional Melayu bukan saja terdapat pada bagian-bagian
bangunan itu tapi juga dalam bentuk berbagai upacara, bahan
Pemerintah Provinsi Riau. 1985. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya.
bangunan dan nama-namanya, serta letak bangunan itu.
Tentulah oleh perjalanan masa, lambang-lambang
tersebut di atas tidak mudah dilacak lagi sekarang ini. Berbagai
masalah kebudayaan harus turut diperhitungkan. Bukanlah
cukup banyak nilai-nilai tradisional yang dikandung dalam Page |
suatu masyarakat telah ter abaikan dan punah oleh pergeseran 424
dan perubahan nilai budaya yang terus terjadi.
Nilai budaya Melayu Riau umumya berpunca dari tiga
aspek yang dominan, yaitu agama Islam, adat dan tradisi
Melayu. Adat dan tradisi yang kian melonggar berangsur-
angsur menyebabkan nilai-nilai ”asli” semakin kabur
kehilangan warna. Dalam seni bangunan tradisional,
pergeseran serta perubahan sangat jelas terlihat. Di seluruh
Riau, bangunan tradisional semakin sedikit. Sedangkan
lambang-lambang yang dikandungnya nyaris tidak lagi dikenal
oleh masyarakat.
Musyawarah, upacara dan kegotong-royongan dalam
pelaksanaan mendirikan bangunan, sudah sangat diabaikan.
Temp&t untuk bangunan itu pun tidak lagi dikaitkan dengan
kepercayaan masyarakat. Bentuk dan ukuran memakai gaya
arsitektur masa kini. Bahan bangunan yang menurut tradisi
harus dipilih secara tertentu kini tergantung dari bahan yang
terdapat di pasaran. Begitu pula dengan ragam hias dan lain
sebagainya.
Di kampung-kampung, tempat sisa-sisa bangunan
tradisional masih banyak terdapat, pemiliknya atau orang tua-
tua di situ tidak banyak lagi yang mengetahui makna lambang-
lambangnya. Kalaupun masih ada para tukang yang masih
dapat membuat bangunan yang berpola tradisional, mereka
kurang mengetahui tentang arti yang dikandung lambang-
lambang tersebut.
Masalah lain yang merupakan penghambat ialah
kurangnya bahan bacaan tentang arsitektur tradisional Melayu
Riau. Dan makalah ini terbatas membahas tentang seni bangu-
nan Melayu Riau, dan bukan seni bangun Melayu seluruhnya,
antara disebabkan kesulitan mendapatkan bahan-bahan itu.
Sandaran informasi untuk sampai kepada sasaran
makalah ini sebagian besar berdasarkan sastra lisan di
pedalaman Riau, seperti ”Bilang Undang” dan Nyanyi Page |
Panjang” yang syukurlah masih kuat dalam ingatan masyarakat 425
pendukungnya.
Upacara
Mendirikan bangunan secara tradisional memerlukan
bermacam-macam upacara supaya memenuhi harapan
pemiliknya dasn semua orang yang terlibat dalam
mengerjakannya. Juga supaya mereka semua terhindar dari
malapetaka. Upacara-upacara yang umum dilakukan dalam
pekerjaan ini ialah Beramu, Mematikan Tanah, dan Menaiki
Rumah. Page |
Upacara ”Beramu” disebut juga ”Mendarahi Kayu”, 431
”Meramu”atau ”Membahan”. Tujuannya untuk menjaga agar
orang-orang yang terlibat dalam pembuatan bangunan itu tidak
mendapat gangguan dari ”penunggu hutan”. Sebagaimana
digambarkan dalam mantra yang dibacakan oleh Pawang,
Dukun atau Kemantan yang melakukan upacara ini, yaitu :
Letak Bangunan
Tempat yang tidak terlalu baik dan tidak terlalu buruk ialah :
a. Di atas tanah dusun atau kebun yang belum ada
tanaman tua atau tanaman keras. Penghuni bangunan
tidak akan melarat hidupnya, tidak pula rezekinya
melimpah. Ini dinyatakan dalam ungkapan lama :
”Tanah ladang berbelukar, Belukar turun ke purun,
Purun singgah ke tanah dusun. Terkena ke tanah dusun,
Yang tak berdurian bercempedak, Tidak bermacang
bermempelam, tidak bermanggis berbuah rambai.
Dapat pagi makan pagi, Bersua malam makan malam,
Tapi tidak gadai menggadai, Tidak pula dibelit hutang,
Tidak berjuak dan berjurai”,
b. Di atas tanah bercampur pasir. Penghuni akan terhindar
dari penyakit sampar, seperti diterangkan dalam
ungkapan : ”Berserak pasir di perumahan, Kisik
berkisik di halaman, Tak kan singgah jembalang tanah,
Tak kan hinggap awe sampar”.
c. Di atas tanah bekas perumahan lama. Penghuninya akan
mendapat nasib seperti pemilik bangunan lama itu,
seperti diungkapkan secara tradisional : ”Mengunut
jejak mengulang langkah, Kalau unut di bawah betis,
Arah Bangunan
Ukuran Bangunan
Ukuran bangunan juga dipercayai dapat menentukan
baik tidaknya sebuah rumah. Secara tradisional patokan untuk Page |
mengukur itu ialah ukuran alat-alat tubuh si pemilik seperti 440
tinggi dan hasta, serta ukuran berdasarkan banyaknya kasau
dan gelepar.
Tinggi bangunan yang paling baik ialah dengan tinggi
sepemikulan atau setinggi bahu. Ini berarti beban hidup dapat
dipikul sepenuhnya oleh si pemilik. Tentang hal ini ungkapan
lama menyebutkan : "Tinggi rumah sepemikulan, Terpikul
bendul nana empat, Terpikul ladang bertumpuk, Tak bertingkat
tungku di dapur, Tak tersingkap kain di pinggang”.
Jika tinggi bangunan itu ”sejunjungan” yaitu setinggi
puncak kepala si pemilik, juga berarti baik : ’Tinggi rumah
sejunjungan, terjunjung adat dengan lembaga, terjunjung harta
dengan pusaka, terjunjung pintak dengan bagi, terjunjung ico
dengan pakaian”.
Jika tinggi bangunan itu ”sepenjangkauan”, itu juga
berarti baik karena dipercayai si pemilik dapat menjangkau
segala keperluan rumah tangganya serta mencapai cita-cita :
’Tinggi rumah sepenjangkauan, tergapai kasau dengan alang,
teraih padi dalam petak, tertutup baju di dada, tercapai ucap
dengan pinta”.
Jika tinggi bangunan itu sepenyangup yaitu setinggi mulut, itu
berarti tidak baik. Ini berarti si pemilik akan menjadi rakus dan
kikir seka bertengkar dengan tetangga di seki tar : 'Tinggi
rumah sepenyangup, langau lalat dimakannya, berlapis kancing
pintunya, duduknya di atas-atas, cakap tengking menengking,
tak lawan musuh dicari”.
Jika tinggi bangunan itu ” selutut” berarti sangat tidak
baik juga. Ini berarti si pemiliknya dianggap tak tahu adat serta
akan berada dalam kemiskinan : ”Kalau rumah tinggi selutut,
tak beradat pintu rumah, tak beradat tangga rumah, berbeliung
tak berpoda, berparang tidak berasah, ke hulu pinta meminta,
ke hilir kata mengata”.
Kalau pada ukuran tinggi bangunan yang menjadi
ukuran ialah tinggi badan lelaki (suami), pada ukuran besar Page |
bangunan diutamakan ukuran tangan perempuan (isteri). 441
Umpamanya untuk mengukur besar rumah yang tepat dipakai
seutas tali yang hasta pertama disebut ular berang yang berarti
tidak baik karena di bangunan yang ukuran jatuh pada hasta
pertama ini akan terjadi sengketa didalamnya. Hasta kedua
disebut meniti riak yang juga berarti tidak baik karena
penghuninya akan menjadi sombong. Hasta ketiga disebut riak
meniti kumbang berteduh yang berarti baik sekali karena
penghuninya akan mendapat ketentaraman dan kebahagiaan,
rezeki melimpah, tempat bernaung keluarga dan masyarakat
sekitarnya. Hasta keempat disebut habis hutang berganti hutang
yang berarti tidak baik karena penghuninya akan melarat
karena berhutang. Hasta kelima disebut hutang lalu tidak
terimbuh yang berarti tidak baik karena penghuni bangunan
seukuran itu akan bertambah miskin bila mendiaminya.
Ada lagi cara mengukur yang disebut ”bilang kasau”,
juga diserahkan kepada perempuan (isteri). Tapi ukurannya di
sebut ”setulang” yakni sepanjang ujung siku hingga ke ujung
buku jari tergenggam. Tulang pertama disebut ”kasau” yang
berarti baik, membawa kebahagiaan lahir dan batin. Tulang
kedua disebut ”risau” yang berarti akan mendatangkan
malapetaka. Tulang ketiga disebut ”rebe” yang berarti selalu
diancam oleh bahaya dan melarat. Tulang keempat disebut
”api” yang berarti sering terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan mungkin sekali rumah itu terbakar.
”Bilang gelegar” sama caranya dengan mengukur
kasau. Tulang pertama disebut ”gelegar” yang baik sekali
artinya karena ukuran ini konon membawa kesejahteraan dan
kebahagiaan. Tulang kedua disebut ”geligi artinya tidak baik
Tangga
Pada bangunan tradisional Melayu tangga depan dikatakan
mengandung makan lambang-lambang sehingga diungkapkan :
"Leher berpanggak pada bendul, kepala bersandar ke jenang
pintu, anak bersusun tingkat bertingkat, tempat pusaka
melangkah turun, tempat mengisik-ngisik debu, tempat
membasuh-basuh kaki”.
Ada dua jenis tangga. Yang pertama tangga bulat. yakni
tangga yang dibuat dari kayu bulat. Dalam jenis ini dikenal
tangga bertanggam. Yang Kedua tangga picak yaitu tangga
pipih yang terbuat dari papan tebal.
Susunan anak tangga, cara mengikat tali tangga dan
bagian-bagian induk tangga mengandung makna-makna
tertentu menurut tradisi seni bangunan Melayu sebagaimana
diungkapkan oleh sastra lisan. (umpamanya pangkal kayu Page |
anak-anak tangga haruslah diletakkan di sebelah kanan tangga. 445
Hal ini ada dijelaskan di dalam ungkapan lama : ”Pangkal kayu
sebelah kanan, ujung terletak disebelah kiri, tak bersilang adik
beradik, tak menyunsang sampan dikayuh, tak terkejut tengah
malam, tak tergempar orang di banjar”.
Ikatan tangga harus dibuat secara khusus yang disebut
”lilit selari” atau ”belit bercengkam”. Cara mengikat seperti itu
dikatakan karena ikatan talinya tak boleh terputus-putus mulai
dari anak tangga paling atas sampai ke anak tangga terbawah,
sebagaimana diungkapkan : "Belit bercengkam tali tangga, lilit
selari sambung bersambung, dari atas turun kebawah, ikat
bercengkam simpul mati, tak bertelingkah cakap di rumah, tak
kerit padi di ladang, kalau ya dipakai, kalau tidak dibuang”.
Bagian yang disebut leher tangga seperti tersangkut di
atas bendul pintu melambangkan kasih sayang ibu kepada
anaknya. Ada ungkapan lama tentang ini yaitu: ”Leher
terpangguk pada bendul, bagai memangku anak menyusu,
kasih menurut sepanjang jalan, tak bersekat berhempang-
hempang”.
Bagian yang disebut kepala tangga bersandar ke jenang
pintu melambangkan kepala rumah tangga yang senantiasa
menjaga martabat keluarganya : ”Kepala bersandar ke jenang
pintu, memberi tahu orang di rumah, memberi kabar orang di
tanah, entah orang salah duduk, entah orang salah cakap”.
Juga hitungan jumlah anak-anak tangga dalam
bangunan tradisional Melayu dinyatakan dalam ungkapan
tradisional sebagai berikut :
Penutup