Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MULI MAGHANAI

Guru Pembimbing : Anita Lisdiana, M.Pd

Disusun Oleh :

Ronaldo Aditya Pratama


Kelas XII IPS

MADRASAH ALIYAH AL-HIKMAH KEDATON


BANDAR LAMPUNG
T.A. 2018/2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, karena berkat taufiq dan
hidayah-Nya lah penulisan makalah ini dapat diselesaikan

Saya selaku penulis sadar bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu, penulis selalu mengharapkan kritik dan saran dari
Anda demi perbaikan selanjutnya.

Selanjutnya, saya mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada


semua pihak yang telah membantu terselesaikannya pembuatan makalah ini
terutama kepada Bapak / Ibu guru selaku pembimbing kami.

Terlepas dari semua kekurangan penulisan makalah ini, baik dalam susunan dan
penulisannya yang salah, penulis memohon maaf dan berharap semoga penulisan
makalah ini bermanfaat khususnya kepada kami selaku penulis dan umumnya
kepada pembaca.

Akhirnya, semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada


siapa saja yang mencintai pendidikan. Amin Ya Robbal Alamin.

Bandar Lampung , Februari 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Depan
Kata Pengantar ................................................................................................ ii
Daftar Isi .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 4
1.3 Tujuan .......................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian .................................................................................................... 5
2.2 Kewajiban – kewajiban Bujang Gadis (muli-makhanai) ............................. 5
2.3 Hak-Hak Bujang Gadis (muli-makhanai) .................................................... 7

BAB III PENUTUP


Kesimpulan ........................................................................................................ 9
Daftar Pustaka

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masyarakat adat Lampung merupakan masyarakat yang masih menjunjung
tinggi nilai nilai adat budaya dan tradisi, Adat budayanya pun sangat khas. Sampai
saat ini masih dapat kita jumpai Upacara – upaca Adat seperti Upacara Adat
dalam menyambut Tamu Agung, Pengangkatan Raja, Nyambai Agung dan
Pernikahan.

Diantara bebeberapa Upacara Adat tersebut, yang paling sering kita jumpai adalah
Upacara Adat Pernikahan. Dalam hal ini Muda mudi yang dalam bahasa lampung
disebut Muli Mekhanai mempunyai peranan sebagai pendukung dan penyemarak
kegiatan Upacara Pernikahan tersebut. Terdapat beberapa Tradisi Muli Mekhanai
dalam menyemarakkan

Upacara adat Pernikahan ini salah satunya adalah Tari Selendang/Lempar


Selendang, yaitu sebuah tarian menggunakan kain selendang oleh Muli Mekhanai
yang diringi oleh musik tradisional Gong dan Rebana. Secara bergantian Muli
Mekhanai mencari pasangan hingga terbentuk dua pasangan lalu barulah tarian
dimulai, proses pergantian antar Muli Mekhanai satu dengan yang lainnya adalah
saat dihentikannya alunan musik ditengah pasangan Muli Mekhanai yang sedang
menari lalu mereka masing-masing memilih dan memberikan selendang untuk
penari selanjutnya secara berpasangan dan demikian seterusnya.

Namun kini seiring tradisi tersebut berubah dan mengalami pergeseran nilaiTari
yang cukup mengkhawatirkan. Tari Selendang yang awalnya adalah tarian
selendang yang diikuti alunan musik tradisonal, kini berganti menjadi tak ubahnya
sebuah Pesta Dugem, alunan musik tradisonal Gong dan Rebana digantikan
menjadi alunan yang mereka sebut dengan House Music dari VCD Player dengan
speaker yang disetel sekencang-kencangnya, tarinya pun yang awalnya syarat

1
akan nilai seni tradisional mau tidak mau harus mengikuti alunan House Music
tadi, yang masih tersisa hanyalah kain selendang yang fungsinya memang masih
sama dengan fungsi awal.

Ironis dan menghawatirkan memang jika melihat fenomena seperti ini terjadi
ditengah-tengah masyarakat lampung barat yang masih memegang teguh nilai
nilai keluhuran adat budaya.

Globalisasi Dalam Kesenian Tradisional globalisasi


Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa globalisasi merupakan salah satu unsur kuat
dan mendasar terhadap terjadinya perubahan dan pergeseran nilai-nilai budaya
dan tentunya dalam hal ini kesenian tradisional sebagai salah satu subsistemnya.

Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang


bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses
manusia global itu.

Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi mempercepat akselerasi


proses globalisasi ini. Kalau dahulu di Lampung Barat misalnya hanya ada alat
musik gong dan rebana dan belum ada VCD Player maka sekarang sudah ada
VCD Player yang lebih canggih, sehingga alat-alat musik tradisional tadi
ditinggalkan dan digantikan dengan alat musik yang lebih canggih dan lebih
mudah digunakan, Kondisi yang demikian mau tidak mau berpengaruh terhadap
kesenian tradisonal kita, Padahal kesenian tradisional kita merupakan bagian dari
khasanah kebudayaan nasional yang perlu dijaga kelestariannya.

Sebenarnya perubahan dan pergeseran nilai suatu kebudayaan adalah lumrah


adanya, asalkan tidak bergeser terlalu jauh dari sifat dan nilai-nilai aslinya, karena
pada dasarnya pun kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, dan karya manusia adalah
bergerak secara dinamis. Namun yang terjadi justru berbeda, hampir tidak bisa
kita dapati dimana letak nilai-nilai keluhuran budaya pada sebuah pesta Dugem
House Music ini.

2
Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi kesenian tradisional yang merupakan
cerminan nilai-nilai masyarakat ini, apakah tetap bersikap konservatif dengan
lebih menekankan pada nilai originalitasnya (keaslian) atau lebih global dan
memahami dan menerima bahwa kebudayaan memang bergerak terus menerus
dan mengalami perubahan seiring berkembangnya zaman terlebih dengan kian
derasnya arus globalisasi saat ini. Tentunya cara memandang kesenian tradisional
tersebut setiap orang berbeda-beda adanya.

Namun Hendaknya fenomena ini bisa kita jadikan pelajaran dan acuan kita
kedepan mengingat tantangan globalisasi dimasa mendatang akan semakin berat
bahkan menyentuh seluruh aspek penting kehidupan. Globalisasi menciptakan
berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam
upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan. Dan bukan tidak
mungkin dimasa mendatang keberadaan dan eksistensi kesenian tradisional dapat
dipandang dengan sebelah mata oleh masyarakat, jika dibandingkan dengan
kesenian modern yang merupakan imbas dari budaya modern.

Tantangan globalisasi ini sejalan dengan apa yang ungkapkan oleh


sosiologglobalization_1 asal Kenya Simon Kemoni, mengatakan bahwa
globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan
nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha
menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat
melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi, menurut Simon
Kemoni, dalam proses ini, negara-negara Dunia Ketiga harus memperkokoh
dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak
dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia Ketiga
haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah
pengalaman mereka.

Dan patut pula kita renungkan pokok-pokok pikiran yang di kemukakan oleh
Naisbitt (1988), yaitu semakin kita menjadi universal, maka tindakan kita semakin

3
menjadi kesukuan atau lebih berorientasi ‘kesukuan’ dan berpikir secara lokal,
namun bertindak global. Yang dimaksudkan Naisbitt disini adalah bahwa kita
harus berkonsentrasi kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh
kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia
Internasional. Dengan demikian, berpikir lokal, bertindak global, seperti yang
dikemukakan Naisbitt di atas, dapat diletakkan dan diposisikan pada masalah-
masalah kesenian di Indonesia sebagai kekuatan yang penting dalam era
globalisasi ini.

1.2 Rumusan Masalah


a. Pengertian Bujang-gadis atau muli-makhanai ?
b. Apakah Kewajiban-kewajiban Bujang Gadis
c. Apakah hak-hak muli-mukhanai?

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui Bujang-gadis atau muli-makhanai
b. Untuk mengetahui Kewajiban-kewajiban Bujang Gadis
c. Mengetahui hak-hak muli-mukhanai?

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian
Bujang-gadis atau muli-makhanai (muli = gadis, makhani = bujang)
merupakan kelompok individu yang amat penting bagi kehidupan masyarakat
di kalangan hukum adat, karena bujang gadis sebagai remaja yang amat peka
dan mudah emosi jika sedikit saja hak mereka tidak dipenuhi.
Kadang-kadang karena suatu kepentingan yang kecil-kecil saja mereka secara
sepontan mengadakan tindakan sebagai reaksi dan koreksi praktis terhadap
pelanggaran hak mereka.
Meski demikian bujang-gadis dalam banyak hal amat berperan
(mempunyai kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada mereka) terutama
dalam pesta. Banyak pekerjaan yang sesungguhnya berat dan perlu biaya
untuk menyelesaikannya, tapi dengan dikerjakan secara gembira dan santai
oleh bujang-gadis, pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan baik.

2.2. Kewajiban-kewajiban Bujang Gadis


Kewajiban-kewajiban ini biasanya berlaku ketika diadakan suatu hajatan
(pesta) perkawinan, manjau pedom, nyunat, dll.
Kewajiban-kewajiban bujang-gadis tersebut antara lain yaitu:
1. Kahibos, mencari pucuk aren yang akan digunakan oleh yang berhajat
untuk lepot (lepat). Kewajiban ini khusus bagi bujang (makhanai).
2. Nyakhak, memisahkan antara lidi dengan helai daun kaung atau hibos
(pucuk aren yang masih berwarna kuning gading) dan membelah lidi
tersebut. Ini dikerjakan oleh bujang-gadis berhadapan sambil santai.
Bujang-gadis biasanya memakai pakaian yang indah, bagus dan menarik.
Para gadis memakai kebaya, dihiasi dengan kacing-kancing emas dolar,
berjejer dari atas dada sampai ke perut, dan dengan selendang warna
warni yang menarik dan menyenangkan. Para bujang memakai kemeja,
celana yang dilengkapi dengan salimpat (sarung yang digulung sampai
menutupi celana di atas lutut), dan memakai kopiah.

5
3. Biasanya tamu dari luar kampung mendapat kehormatan untuk
dipersilakan masuk terlebih dahulu. Ketika ini amat menyenangkan
bujang-gadis dan banyak yang mencari kesempatan untuk medapatkan
jodo, dengan umpamanya: saling berbalas pantun, surat-menyurat, sindir-
menyindir, dan ada yang malah mengikat janji.
4. Nyaccak, (menumbuk beras dengan alu di dalam lesung agar menjadi
lebih putih dan lebih bersih). Ini dikerjakan oleh bujang-gadis dengan
santai, sambil juga berbalas pantun, tegur menegur dengan menyindir,
memuji dan sebagainya. Bagi yang mencari jodo ketika ini adalah suatu
kesempatan yang sangat baik untuk saling berkenalan dan kalau setuju
dapat mempereratnya di lain kesempatan. Bagi gadis-gadis maupun
bujang-bujang layaknya pesta, juga memakai pakaian yang baik dan
menarik. Karena pekerjaan ini dilakukan secara santai dan di ajang
(kalasa) bujang-gadis, maka pekerjaan yang berat-berat menjadi
tanggung jawab bujang-gadis dari kelompok yang berehajatan, sedang
yang ringan-ringan oleh bujang-gadis (muli-makhanai) tamu.
5. Nutu gekhpung, ialah menumbuk beras atau ketan menjadi tepung,
biasanya digunakan untuk membikin kue atau bubur (kekuk).
6. Kabulung, mencari daun untuk pembungkus. Pekerjaan ini dilakukan
oleh bujang-gadis ke kebun atau ke bukit dengan santai dan sambil
bersenda. Tentu saja Kepala Muli-Makhanai bertanggung-jawab atas
kelancaran acara ini, sehingga tidak terjadi hal-hal yang melanggar
kesopanan dan adat istiadat.
7. Tandang, mencari sayur mayur diladang atau kebun. Biasanya acara ini
sekaligus dilakukan bersamaan dengan acara kabulung.
8. Buasakh-asakhan, ialah membersihkan alat-alat atau perkakas-perkakas
bekas pesta, seperti tikar, alat-alat dapur dsb. Pekerjaan ini dilakukan
juga dengan santai dan dengan senda gurau. Meski santai, pekerjaan yang
sesungguhnya memerlukan tenaga dan biaya ini dapat diselesaikan
dengan baik oleh bujang-gadis.

6
2.3. Hak-hak Bujang-Gadis
Disamping kewajiban-kewajiban tersebut bujang-gadis mempunyai hak-hak,
antara lain yaitu :
1. Manjau muli, dalam pesta-pesta nukhunko maju (pada pertama kali
penganten gadis turun dari rumah Kepala Adat ke rumah si penganten laki-
laki), bujang dapat kesempatan ke ruang (lantai bagian dapur) untuk
melihat-lihat dari jauh para gadis yang sedang mengadakan pengajian
barzanji, assala, dan beradu pantun. Meski dari jarak beberapa meter, para
bujang merasa bahagia dan terhibur mengintai dan memandang gadis-
gadis manis yang memakai pakaian serba bagus di ruang tengah.
2. Nganik kekuk, sebagai imbalan bagi mereka yang telah mengerjakan nutu
gakhpung (numbuk tepung), maka bujang-bujang datang sambil melihat
gadis dari ruangan dapur, serta di beri hidangan kekuk (bubur yang terbuat
dari tepung ketan).
3. Makan terutama tamu-tamu dari luar kampung berhak diberi makan selesai
mengerjakan pekerjaan, nyakhak, kahibos, nutu gakhpung, nyaccak, dll.
4. Berhak memperoleh caluk (tangan dan kaki kerbau sebanyak hitungan
kerbau yang disembelih pada pesta itu) umpama kerbau 3 = 3×4 = 12
caluk, dan berhak pula mendapat “Pangan” (makan di penghujung pesta
dengan hidangan yang lengkap).
5. Sekuwakhian, adalah suatu istilah yang dipakai oleh adat Lampung untuk
menamakan suatu pertemuan bujang dengan gadis, biasanya beberapa
bujang, duduk bersimpuh (bersila) berhadap-berhadapan di rumah si gadis.
Sekuwakhian juga bisa dilakukan pada suatu kesempatan dalam acara
pesta adat.
6. Bagi bujang-bujang dari luar kampung untuk sekawakhian ini harus
melalui Kepala Bujang, kemudian kepala bujang itu meminta izin kepada
orang tua si gadis.
7. Bagi bujan-bujang di dalam kampung untuk manjau/ bertamu/sekawakhian
dengan si gadis di dalam kampung sendiri, tidak melalui kepala bujang,
melainkan boleh minta sendiri dari balik pintu dapur.

7
8. Permintaan bujang yang ditolak oleh ayah si gadis untuk sekuwakhian
lebih dari 3x berturut-turut, tanpa suatu alasan yang tepat, diberikan sanksi
denda oleh Kepala Adat, yaitu ayah bujang tersebut diwajibkan membayar
denda sesuai dengan peraturan yang berlaku.
9. Akibat perkembangan dan pengaruh dari luar atau sebab malu terhadap
orang tua si gadis jika terlalu sering bertamu di rumah si gadis maka
timbullah suatu istiadat nyambang (berbicara dari balik kamar atau bilik) si
gadis dengan jalan amat rahasia, agar jangan sampai diketahui oleh
keluarga atau orang tua si gadis. Dalam pada itu ada sebagian bujang yang
iseng, pura-pura bertindak sebagai orang tua si gadis ngalalakun (menyorot
dengan lampu baterai yang terang) ke arah si bujang, bahkan kadang-
kadang sambil melempar dengan batu. Tak karuan si bujang terpontang-
panting lari meninggalkan tempat itu.

8
BAB III
PENUTUP

Bujang-gadis atau muli-makhanai (muli = gadis, makhani = bujang)


merupakan kelompok individu yang amat penting bagi kehidupan masyarakat di
kalangan hukum adat, karena bujang gadis sebagai remaja yang amat peka dan
mudah emosi jika sedikit saja hak mereka tidak dipenuhi.
Kadang-kadang karena suatu kepentingan yang kecil-kecil saja mereka secara
sepontan mengadakan tindakan sebagai reaksi dan koreksi praktis terhadap
pelanggaran hak mereka.
Meski demikian bujang-gadis dalam banyak hal amat berperan (mempunyai
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada mereka) terutama dalam pesta.
Banyak pekerjaan yang sesungguhnya berat dan perlu biaya untuk
menyelesaikannya, tapi dengan dikerjakan secara gembira dan santai oleh bujang-
gadis, pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan baik.

9
DAFTAR PUSTAKA

Imron, Ali. 2005. Pola Perkawinan Saibatin. Bandar Lampung. Universitas


Lampung.

Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung.


Bandung. Mandar Maju.

Sabaruddin. 2012. Pepadun dan Saibatin/Pesisir. Jakarta. Buletin Way Lima


Manjau

https://arthaliwa.wordpress.com/2009/05/26/pergeseran-nilai-seni-tradisional-
muli-mekhanai-di-lampung-barat/

10

Anda mungkin juga menyukai