Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Budaya adalah segala hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Sedangkan kebudayaan
adalah kebiasaaan-kebiasaan yang dilakukan nenek moyang yang telah mendarah
daging dan masih dilakukan hingga sekarang. Sebagai seseorang yang mendiami
suatu tempat tertentu khusunya Bulukumba apakah kita tau bahwa ada sebuah budaya
yang sangat unik? Karena masalah tersebut maka dikemukakan bahwa perlu segera
dicarikan solusi alternatife. Adapun alternatif pemecahan masalah yang dipilih adalah
dengan membaca. Dari latar belakang tersebut maka penulis mengambil judul Budaya
Unik Kabupaten Bulukumba.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Asal Usul Kabupaten Bulukumba?
2. Apa sajakah Kebudayaan Unik Kabupaten Bulukumba?
C. Tujuan
1. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui asal usul kabupaten bulukumba
b. Untuk mengetahui apa saja kebudayaan unik kabupaten bulukumba
2. Tujuan Umum
Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Seni Budaya.
D. Manfaaat
1. Manfaat secara teoritis
Untuk memahami lebih mendalam asal usul Kabupaten Bulukumba serta
kebudayaan unik dari Kabupaten Bulukumba.
2. Manfaat Secara Praktis
Sebagai sumbangan pengetahuan secara teoritis dan positif bagi
pengembangan pengetahuan tentang asal usul Kabupaten Bulukumba serta
kebudayaan unik dari Kabupaten Bulukumba.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Asal Usul Kabupaten Bulukumba


Bulukumba-Asal Usul Nama Kabupaten Bulukumba Beruntunglah pemerintah
dan masyarakat Kabupaten Bulukumba, karena banyak orang Bulukumba yang
senang mempelajari sejarah. Mereka tidak hanya mempelajari sejarah dunia dan
sejarah nasional, melainkan juga mempelajari sejarah Bulukumba.
Salah seorang di antaranya ialah Prof Dr H Ahmad Mattulada (alm). Dari hasil
kajiannyalah akhirnya terungkap asal-usul nama Bulukumba. Konon, nama
Bulukumba berawal dari perang mulut dan perang saudara antara dua kerajaan besar
di Sulawesi Selatan, yaitu Kerajaan Gowa (Makassar) dan Kerajaan Bone (Bugis).
Peristiwa tersebut terjadi pada abad ke-17 Masehi. Di pesisir pantai yang bernama
"Tana Kokkong" (tanah yang ada dalam genggaman), di situlah utusan Raja Gowa
(Makassar) dan Raja Bone (Bugis) bertemu. Mereka berunding secara damai dan
menetapkan batas wilayah pengaruh kerajaan masing-masing.
Bangkeng Buki (kaki bukit), yang merupakan barisan lereng bukit dari
Gunung Lompobattang (perut besar; lompo=besar, battang=perut) diklaim oleh pihak
Kerajaan Gowa sebagai batas wilayah kekuasaannya mulai dari Kindang sampai ke
wilayah bagian timur. Namun pihak Kerajaan Bone berkeras mempertahankan
Bangkeng Buki sebagai wilayah kekuasaannya mulai dari barat sampai ke selatan.
Pihak Kerajaan Bone mengatakan ”Bulu’ku mupa” yang berarti masih gunung
saya. Kata itulah yang kemudian dipakai sebagai nama daerah sengketa antara
Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Besar kemungkinan ”Bulu’ku mupa” inilah yang
kemudian mengalami perubahan menjadi Bulukumpa dan Bulukumba.
Mungkin karena lidah orang Gowa (Makassar) sulit mengucapkan kata
”bulu’ku mupa”, akhirnya mereka mengucapkan kata ”Bulukkumba” yang kemudian
berubah menjadi ”Bulukumba”. Di pihak lain, orang Bone (Bugis) juga sulit
mengucapkan kata ”Bulukkumba” atau ”Bulukumba”, akhirnya mereka mengucapkan
kata ”Bulukumpa.”
Bulukumpa kini menjadi nama salah satu kecamatan di Bulukumba,
sedangkan Bulukumba menjadi nama kabupaten. Konon sejak itulah nama
Bulukumba mulai ada, dan hingga kini resmi menjadi sebuah kabupaten, yaitu
Kabupaten Bulukumba. Peresmian Bulukumba menjadi sebuah nama kabupaten

2
dimulai dari terbitnya Undang–undang nomor 29 Tahun 1959, tentang Pembentukan
Daerah–daerah Tingkat II di Sulawesi.
Undang-undang itu kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah
Kabupaten Bulukumba Nomor 5 Tahun 1978, tentang Lambang Daerah. Setelah
dilakukan seminar sehari pada tanggal 28 Maret 1994, dengan narasumber Prof Dr H
Ahmad Mattulada (ahli sejarah dan budaya), maka ditetapkanlah hari jadi Kabupaten
Bulukumba, yaitu tanggal 4 Februari 1960 melalui Peraturan Daerah nomor 13 tahun
1994.
Secara yuridis formal Kabupaten Bulukumba resmi menjadi daerah tingkat II
setelah ditetapkan Lambang Daerah Kabupaten Bulukumba oleh DPRD Kabupaten
Bulukumba pada tanggal 4 Februari 1960 dan selajutnya dilakukan pelantikan bupati
pertama Bulukumba yaitu Andi Patarai, pada tanggal 12 Februari 1960.
B. Budaya Unik Kabupaten Bulukumba
1. Pernikahan
Perkawinan dalam hal mencari jodoh dalam kalangan masyarakat desanya
sendiri, adat Bugis-Makassar menetapkan sebagai perkawinan yang ideal :
a. Perkawinan assialang marola (dalam bahasa Makassar passialleang baji’na) :
antara saudara sepupu derajat kesatu baik dari pihak ayah maupun ibu.
b. Perkawinan assialanna memang (dalam bahasa Makassar passialleanna) :
perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua, baik dari pihak ayah
maupun ibu.
c. Perkawinan antara ripaddeppe’ mabelae (dalam bahasa Makassar nipakambani
bellaya) : perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga juga dari kedua
belah pihak.

Adapun perkawinan-perkawinan yang dilarang karena dianggap sumbang


(salimara’) adalah

a. Perkawinan antara anak dengan ibu atau ayah.


b. Antara saudara-saudara kandung.
c. Antara menantu dan mertua.
d. Antara paman atau bibi dengan kemenakannya.
e. Antara kakek dan nenek dengan cucu.

3
Perkawinan yang dilangsungkan secara adat melalui deretan kegiatan-
kegiatan sebagai berikut
a. Mappuce-puce (dalam bahasa Makassar akkusissing) : kunjungan dari
keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk memeriksa
kemungkinan apakah peminang dapat dilakukan. Kalu kemungkinan itu
tampak ada, maka diadakan.
b. Massuro (dalam bahasa Makassar assuro) : kunjungan dari utusan pihak
keluarga laki-laki kepada keluarga si gadis untuk membicarakan waktu
pernikahan, jenis mas-kawinnya, belanja perkawinan, dan
penyelenggaraan pestanya. Setelah tercapai persepakatan maka masing-
masing keluarga melakukan.
c. Madduppa (dalam bahasa Makassar ammuntuli) : pemberitahuan kepada
semua kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan datang
2. Kesenian
a. Alat musik
 Kacapi (Kecapi)
Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan
khususnya suku Bugis, Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut
sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut,
sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua
dawai,diambil karena penemuannya dari tali layar perahu. Biasanya
ditampilkan pada acara penjemputan para tamu, perkawinan, hajatan,
bahkan hiburan pada hari ulang tahun.
 Sinrili
Alat musik yang mernyerupai biaola cuman kalau biola di
mainkan dengan membaringkan di pundak sedang singrili di mainkan
dalam keedaan pemain duduk dan alat diletakkan tegak di depan
pemainnya.
 Gendang
Musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang
dan bundar seperti rebana.

4
 Suling
Sulingbambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
 Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling
jenis ini telah punah.
 Suling calabai (Suling ponco),sering dipadukan dengan piola
(biola) kecapi dan dimainkan bersama penyanyi
 Suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih
terplihara di daerah Kecamatan Lembang. Biasanya digunakan
pada acara karnaval (baris-berbaris) atau acara penjemputan
tamu.
b. Seni Tari
 Tari pelangi
Tarian pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari meminta hujan.
 Tari Paduppa Bosara
Tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika kedatangan tamu
senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran dan
kehormatan
 Tari Pattennun
Tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang sedang
menenun benang menjadi kain. Melambangkan kesabaran dan
ketekunan perempuan-perempuan Bugis.
 Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari
Tarian ini dilakukan oleh calabai (waria), namun jenis tarian ini sulit
sekali ditemukan bahkan dikategorikan telah punah
 Pabatte Passapu
“Pabatte Passapu”atau “Sabung ayam” Tatian tersebut mengalir begitu
saja, tanpa latihan apalagi gladiresik Pabbatte Passapu menceritakan
sabung ayam yang diperagakan dengan passapu (destar atau ikat
kepala). Dua orang penari pria berpakaian serba hitam bergerak-gerak
seperti seekor ayam jago.Tangan keduanya mengibas-ngibaskan destar
hitam. Sebentar-sebentar, mereka beradu destar,menggambarkan dua
jago sedang bertarung.

5
3. Makanan
a. Baulu Peca/Bolu Peca
Baulu Peca/Bolu Peca ini memiliki ciri khas tersendiri, karena setelah
bolu jadi, bolu tersebut dimasukkan kedalam cairan gula merah dan ditiriskan.
Cara masaknya tidak terlalu sulit. Hampir mirip dengan membuat bolu.
Pertama-tama kita menyiapkan bahan”, untuk adonan bolu dibutuhkan 3 butir
telur 4 sdm. tepung ketan putih sangrai, dan ½ sdt. soda kue, dan untuk adonan
gula merahnya dibutuhkan ¾ kg. Gula merah, 1 gelas air, dan ½ sdt. Vanili.
Setelah menyiapkan bahan-bahan, kita membuat kue bolu terlebih
dahulu. Untuk membuatnya, telur dikocok bersama soda kue hingga
mengembang, kemudian tambahkan tepung ketan sangria dan sisihkan.
Setelah itu tuang adonan kedalam cetakan dan dikukus hingga matang. Setelah
matang, kita menunggu kue itu sampai dingin dan kemudian di potong-potong
sesuai keinginan.
Ketika menunggu bolu tersebut hingga dingin, kita membuat adonan
gula merah, caranya masak air hingga mendidih, campur dengan gula merah
dan vanili sampai semua bahan menyatu dan mencair. Setelah itu, adonan
tersebut disaring dan didihkan kembali.
Setelah bolu tersebut dipotong dan adonan gula merah sudah jadi,
celupkan potongan bolu ke dalam air gula saru persatu hingga bolu berubah
wrna menjadi agak kecoklatan, tiriskan. Baulu peca sudah bisa anda nikmati.
b. Kue Nagasari/Bandang-Bandan
Kue bandang ini merupakan sejenis kue basah dan memiliki dua jenis,
bandang lojo (kue bandang tanpa pembungkus yang ditaburi kelapa) dan
bandang-bandang (dibungkus daun pisang dan berbahan dasar pisang juga).
Kalau masyarakat pada umumnya, menyebut bandang-bandang ini sebagai
kue nagasari.
Cara membuat kue basah ini juga tidak sulit. Hanya membutuhkan 4
liter tepung beras baru, 3 gelas gula pasir, 4sdm garam, 12sdm tepung kanji, 3
liter santan, pisang secukupnya (Potong 1 buah pisang menjadi 4 bagian), dan
daun pisang untuk membungkus adonan bandang-bandang.
 Setelah semua bahan sudah siap, kita mulai membuat bandang-
bandang,

6
 Ambil 1liter santan, campur dengan tepung beras hingga halus dan
merata.
 Tambahkan tambahjan tepung kanji dan aduk hingga halus dan
merata.
 Didihkan 2liter santan dan masukkan gula pasir serta adonan 1liter
santan, tepung beras, dan tepung beras tadi. Aduk sampai kental, dan
angkat adonan itu dari atas kompor.
 Ambil 1 sendok adonan, ratakan diatas daun pisang, isi dengan pisang,
dan bungkus adonan tersebut sampai tertutup rapat
 Adonan yang sudah dibungkus dengan daun pisang tersebut dikukus
hingga matang
 Bandang-bandang sudah siap dinikmati
c. Pallubasa
Sekilas makanan ini mirip dgn Soto Makassar, pakai daging & jeroan
sapi, tapi ada yang membuat masakan ini jauh lebih lezat.
Resep rahasianya adalah Pallubasa menggunakan "ALAS" yakni
kuning telur & parutan serbuk kelapa yang membuat kuahnya lebih kental &
gurih. Cukup dengan merogoh kocek sebesar 20 ribu saja, kamu bisa
menikmati 1 porsi Pallubasa dan 1 piring nasi.
d. Kue Barongko/Buronggo Khas Bugis
Bisa disebut Buronggo, disajikan sebagai makanan penutup. Kue
Barongko sangat mudah dijumpai di acara adat, acara jamuan di daerah Bugis
seperti acara perkawinan, sunatan, pengajian dsb. Buronggo adalah makanan
yang berbahan dasar pisang kepok matang yang dikukus beserta daun
pisangnya.
Barongko atau Buronggo adalah salah satu penganan khas asli Bugis.
Barongko sangat mudah dijumpai dalam acara-acara adat, acara perjamuan
dan kegiatan-kegiatan lain di daerah Bugis, seperti misalnya acara pengantin,
Mappanre Temme (khatam Qur’an), sunatan, pengajian dan lain-lain.
Biasanya kue Barongko yang juga kadang disebut Buronggo disajikan sebagai
makanan penutup setelah makanan pokok. Penganan ini berbahan dasar pisang
kepok matang yang dikukus dengan daun pisang.
Untuk membuat Barongko atau Buronggo, berikut ini resepnya

7
Bahan
 8 buah pisang kapok matang
 2 butir telur, kocok lepas
 50 gram gula pasir
 ¼ sendok teh garam
 ¼ sendok teh vanili bubuk
 100 ml santan dari ¼ butir kelapa
 Daun pisang untuk membungkus
Cara Membuat Kue Barongko :
 Kupas pisang, potong-potong, haluskan
 Tambahkan telur, gula pasir, garam, vanili, santan. Aduk hingga rata
 Ambil selembar daun pisang, masukkan 2 sendok makan adonan.
Bungkus bentuk tum.
 Kukus 30 menit hingga matang
 Hasil kurang lebih 15 porsi/bungku
e. Jagung Marning
Jagung marning biasanya dibawa pulang oleh wisatawan sebagai buah
tangan. rasanya yang khas dan harganya yang terjangkau membuatnya
digemari oleh orang banyak. Harganya hanya sekitar Rp1.000 - Rp. 10.000
tergantung pada ukuran kemasannya. Jagung marning adalah jagung yang
digoreng dengan keahlian khusus. cemilan ini tersedia dalam dua rasa, yaitu
pedas dan manis.
Resep Marning Jagung Renyah dan Empuk. Marning adalah makanan
camilan yang terbuat dari jagung yang digoreng.
Cara membuat marning jagung yang enak sangatlah mudah, namun
proses pembuatan marning jagung membutuhkan waktu yang tidak singkat
sehingga membutuhkan ketelatenan.
Bahan Yang Diperlukan
 1/2 kg Jagung yang sudah dipipil
 1/2 sdm Kapur sirih
 Garam
 Bawang putih
 Jeruk nipis

8
 Daun jeruk, potong-potong
 Minyak untuk menggoreng
Cara Membuat Jagung Marning Renyah
 Cuci dan bersihkan jangung lalu rebus bersama kapur sirih, hingga
sedikit merekah. Selanjutnya Angkat, dan cuci sampai air kapur habis
dan bersih.
 Jika sudah bersih, jagung dimasukkan ke wadah dan dikasih air sampai
diatas volime jagung. Rendam jagung tersebut selama 24 JAM (proses
ini bisa dilewati).
 Lanjutkan dengan mengganti air rendaman dengan air baru dan rebus
lagi sampai merekah sempurna.
 Bila sudah merekah angkat, tiriskan dan bumbui bawang putih dan
garam.
 Tambahkan perasan jeruk nipis dan juga daun jeruk yang sudah
dipotong-potong.
 Goreng sampai kering, angkat, tirskan jika sudah dingin marning siap
dikonsums
4. Ritual
Ada dua bentuk ritual yang dijalankan oleh suku kajang apabila terjadi kasus
pencurian, yaitu tunu panroli dan tunu passau. Tunu panroli yaitu mencari pelaku
pencurian dengan cara seluru masyarakat memegang linggis yang membara
setelah dibakar. Masyarakat yang tidak bersalah, tidak akan merasakan panasnya
linggis tersebut. Tapi, apabila sang pencuri melarikan diri, maka
dilakukanlah tunu Passau yaitu Ammatoa membakar kemenyan sambil membaca
mantra yang dikirmkan kepada pelaku agar jatuh sakit dan akhirnya meninggal
dunia secara tidak wajar.
Tiap akhir tahun, masyarakat adat suku kajang melakukan
ritual andingingi yang berarti mendinginkan. Ini merupakan salah satu bentuk
kesyukuran mereka atas kemurahan alam dengan cara mendinginkannya. Waktu
tersebut adalah saatnya alam untuk diistirahatkan setelah dikelolah dan dinikmati
hasilnya selama satu tahun.

9
5. Pakaian Adat
Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan
bila kita memasuki kawasan ammatoa pakaian kita harus berwarna hitam. Warna
hitam mempunyai makna bagi Mayarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan
dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. tidak ada warna
hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah
sama. Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di
depan sang pencipta.
Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan,
utamanya kelestarian hutan yang harus di jaga keasliannnya sebagai sumber
kehidupan.Untuk memasuki kawasan adat Ammatowa, tempat Suku Kajang
tinggal, seluruh warga harus melewati pos penjagaan. Di pos ini ketentuan adat
mulai berlaku. Semua orang termasuk tamu, harus mengenakan pakaian adat atau
pakaian serba hitam yang merupakan simbol kesakralan. Jangansekali-kali
memakai pakaian warna merah.karena itu merupakan suatu penghinaan .
Pakaian mereka adalah pakaian yang ditenun sendiri, yang konon
harganya sangat mahal, bahkan sampai jutaan rupiah.Pos ini juga merupakan
simbol mulai berlakunya hukum adat Masyarakat Kajang. Hukum adat ini
berpedoman pada kitab wasiat Masyarakat Kajang yang masih dipegang teguh.
Sehingga segala macam bentuk peradaban diluar kawasan tidak akan pernah
mereka terima. Menurut kepala desa, salah satu kebiasaan yang harus dijalankan
adalah kewajibanseorang wanita membuat pakaian untuk anggota keluarganya.
Membuat pakaian merupakan syarat bagi seorang wanita untuk dapat
melangsungkan pernikahan. Sehingga dalam kehidupannya wanita tanpa keahlian membuat
pakaian, tidak dapat menikah. Pembuatan pakaian ini dilakukan secara tradisional,
mulai dari pembuatanbenang, proses pewarnaan hingga menenunnya menjadi
selembar kain.
6. Rumah Adat
Suku Kajang dalam lebih teguh memegang adat dan tradisi moyang
mereka dibanding penduduk kajang luar yang tinggal di luar perkampungan. Rumah-
rumah panggung yang semuanya menghadap ke barat tertatarapi, khususnya yang
berada di Dusun Benteng tempat rumah Amma Toa berada. Tampak beberapa
rumah yang berjejer dari utara ke selatan, dengan kata lain setiap rumah dibangun
menghadap ke arah barat. Membangun rumah melawan arah terbitnya matahari
10
dipercayai mampu memberikan berkah. Di depan barisan rumah terdapat pagar
batu kali setinggi satu meter.
Rumah Amma Toa berada beberapa rumah dari utara.Rumah Adat
Suku Kajang bila kita melihat secara fisik tidak jauh beda dengan rumah adat
masayarakat bugis makassar struktur yang tinggi dan masih mempergunakan
kekayaan hutan disekitar untuk membuatnya
Bentuk rumah adat suku kajang sangat unik. Bangunan rumah khas Sulawesi
Selatan secara umum adalah rumah panggung. Tapi suku Kajang mempunyai
keunikan bentuk rumah panggung tersendiri yakni, dapurnya terletak di depan,
menghadap jalan utama. Jadi, kalau anda memasuki salah satu rumah “tau
Kajang” ,yang pertama nampak adalah dapur. Ini melambangkan kesederhaan,
dan mau menunjukkan apaadanya.Mereka senantiasa menyembunyikan rumah di
balik lebatnya hutan, mempunyai kekuatan mistik hingga orang luar yang datang ke sana
tanpa izin mereka dan tanpa mereka kehendaki kedatangannya, hanya akan melihat
hutan belaka.
7. Agama
Agama mereka adalah Islam, dan akan marah jika dikatakan bukan
orang Islam.Tapi jika dilihat lebih dalam, orang-orang Kajang masih menganut
animisme, dinamisme ataupun totemisme. Sumbernya adalah “patuntung ”,
sehingga ada yang mengatakan bahwa agama orang Kajang adalah agama
“Patuntung”. Agama patuntung adalahsemacam upacara adat, dan sangat kelihatan pada
acara-acara kematian
8. Upacara Adat
Setiap usai panen mereka selalu menggelar upacara adat yang
bertujuan sebagai ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta. Upacara adat yang
disebut Rumatang ini dipimpin langsung oleh Ammatowa.Di sawah milik
Ammatowa ini persiapan upacara Rumatang mulai dilakukan sejak pagi hari. Saat
itu kaum wanita telah datang dan mulai memasak makanan di bawah gubuk milik
Ammatowa. Berbagai jenis makanan khas Suku Kajang mulai dipersiapkan untuk
keperluan upacara adat dan makan siang bersama.
Persiapan di tepi sawah ini dipimpin oleh seorang wanita tua yang
telah mengetahui jenis makanan yang harusdipersiapkan untuk sesaji. Dibawah
petunjuknya, kaum wanita mulai memasak berbagai jenis makanan, termasuk nasi
dengan empat warna.Di saat kaum wanita sibuk mempersiapkan sesaji, kaum pria
11
juga mulai mengikat padi hasil panen mereka menjadi ikatan-ikatan besar. Usai
diikat, padi hasil panen ini dijemur di bawah terik matahari.Tengah hari,
merupakan pertanda upacara harus dilangsungkan. Sebelum memulai upacara
puncak, warga Suku Kajang berkumpul dibawah bilik untuk makan siang
bersama.
Uniknya makan siang di tepi sawah ini mempunyai syarat tertentu.
Nasi yang dipersiapkan harus dari beras hitam. Karena jenis beras inilah yang
pertama kali dapat ditanam oleh leluhur mereka. Upacara makan siang dilanjutkan
dengan meminumsejenis minuman keras khas Sulawesi Selatan yang disebut
"ballo".
Semua kaum pria wajib meminum ballo dari gelas yang sama sebagai
simbol persaudaraan.Usai makan siang, kaum pria ditugaskan untuk membawa
padi yang telah diikat menuju ke desamereka. Padi mereka bawa dengan
menggunakan sebilah kayu. Mereka berjalan menyusuri pematang sawah dengan
menempuh jarak sekitar 10 kilometer. Namun beban berat dan berjalan jauh tidak
mereka rasakan karena rasa senangakan hasil panen yang berlimpah.
Selain Upacara tersebut ada juga upacara yang bernama Upacara Adat
Appa Sulapa atau ritual adat Mappano' Ri Wae'. Upacara adat ini terdiri dari
prosesi pembacaan mantra dalam bahasa Bugis dan Konjo, kemudian diiringi
tarian dari para penari dan diakhiri dengan mekarung sesajen ke Sungai.
9. Permainan Tradisional
Permainan tradisional cokki, bermakna 'mencongkel'. Cokki dimainkan
mengenakan sarung tanpa mengenakan alas kaki. Menggunakan kayu berukuran
setengah meter untuk mencungkil kayu kecil berukuran 5 sentimeter yang
disimpan di dalam lubang tanah, kemudian dilempar ke arah lawan yang terdiri
dari lima orang yang telah berdiri di depan pemain cokki.
Penentukan pemenang, jumlah hitungan jarak yang diukur dengan menggunakan
kayu Cokki.
10. Kepercayaan Tentang Hutan
Masyarakat Tana Toa percaya bahwa bumi ini adalah warisan nenek
moyang yang berkualitas dan seimbang. Oleh karena itu, anak cucunya harus
mendapatkan warisan tersebut dengan kualitas yang sama persis.
Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat adat memegang
teguh ajaran leluhur yang disebutpasang ri kajang yang berarti pesan di kajang.
12
Ajaran pasang itu, dinilai ampuh dalam melestarikan hutan. Selaku pemimpin
adat, Ammatoa membagi hutan dalam tiga bagian. Yaitu, hutan keramat “hutan
karamaka”, hutan perbatasan “hutan batasayya” serta hutan rakyat “hutan laura”.
Hutan keramat diakui sebagai hutan pusaka dan dijadikan kawasan hutan
larangan untuk semua aktifitas, kecuali kegiatan ritual. Hutan ini sangat
dilindungi, mereka meyakini kawasan ini sebagai tempat turunnya manusia
terdahulu yang juga lenyap di tempat tersebut. Masyarakat juga yakin, hutan ini
tempai naik turunnya arwah dari bumi kelangit.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan hutan yang seluas 317,4
hektar ini, maka akan dikenakan denda Rp.1.200.000 di tambah dengan sehelai
kain putih serta mengembalikan barang yang telah diambil dari daerah tersebut.
Hutan perbatasan merupakan hutan yang bisa ditebang beberapa jenis
kayunya, akan tetapi harus dengan izin Ammatoa dan kayu yang diambil dari
kawasan itu hanya untuk membangun fasilitas umum, serta untuk rumah bagi
komunitas Ammatoa yang tidak mampu.
Selain demikian, sebelum melakukan penebangan pohon, orang tersebut
diwajibkan melakukan penanaman sebagai penggantinya. Ketika sudah tumbuh
subur, penebangan baru akan dilakukan dengan menggunakan alat tradisional
serta mengangkatnya secara gotong royong keluar dari areal hutan.
Nah, apabila seorang menebang kayu di kawasan ini tanpa izin, maka
dikenakan denda 800 ribu rupiah. Dan ketika terjadi kelalaian yang menyebabkan
kerusakan hutan, dikenakan denda 400 ribu rupiah. Kedua denda tersebut
dilengkapi dengan sehelai kain putih.
Yang terakhir adalah hutan rakyat, meskipun hutan ini dikuasai dan di
kelola oleh rakyat. Tapi hukum adat masih tetap berlaku. Denda atas pelanggaran
di kawasan ini sama dengan denda hutan perbatasan.
Selain sanksi denda, orang yang melakukan pelanggaran tersebut juga
dikenakan hukum adat berupa pengucilan. Yang lebih parahnya lagi, pengucilan
tersebut berlaku bagi semua keluarga sampai generasi ketujuh.
Dalam kehidupan sehari-hari, suku Konjo memilih hidup dengan
menerapkan kebudayaan lama yang sudah turun temurun ada yaitu seperti
berpakaian serba hitam, tidak diperbolehkan untuk menggunakan peralatan, dan
mempraktekkan ilmu sihir sebagai bagian dari proses penyembahan.

13
Dalam tradisi masyarakat Konjo terdapat satu kearifan lokal yang menjadi
pandangan hidup masyarakat Konjo yaitu “Hutan tak boleh ditambah dan tak
boleh dikurangi”. Tanah pertanian, ladang dan tanaman di area tersebut terjaga
kesuburannya. Filosofi Masyarakat Konjo berakar dari kondisi masyarakat Konjo
yang merupakan masyarakat agraris dimana kehidupan mereka bergantung kepada
lahan pertanian. Selain itu, hutan adalah tempat sakral bagi masyarakat Konjo,
dimana ada larangan untuk tidak masuk ke hutan. Masyarakat Konjo mempunyai
pandangan bahwa tidak boleh ada yang masuk ke dalam hutan.
Masyarakat Konjo percaya satu hal bahwa hutan akan memberi kesuburan
bagi tanah mereka, menjaga sumber mata air desa. Mereka percaya bahwa hutan
masih ada maka tanah mereka akan subur. Hutan yang lebat juga akan
memberikan mereka sumber air yang banyak. Sebagian besar Orang Konjo masih
memanfaatkan air yang ada di sumber-sumber air yang biasanya keluar di
samping pohon-pohon yang besar. Orang Konjo yang ada di dalam kawasan adat
masih jarang yang memanfaatkan air tanah dengan membuat sumur.
Kesakralan Hutan bagi masyarakat Konjo juga karena hutan adalah tempat
menyelenggaraan ritual adat mereka. Konon nenek moyang orang Konjo
dimakamkan di hutan adat tersebut. Setiap tahun, ada upacara adat menziarahi
makan tersebut perangkat adat Tanatowa. Selain itu, hutan adat juga digunakan
sebagai media pemilihan Ammatowa (pemimpin tertinggi adat Orang Konjo).
Ammatowa dipilih dengan seleksi atau melewati ujian masuk ke dalam
hutan. Tidak semua orang dapat sembarangan masuk ke hutan, ada sebuah prosesi
”mistis” yang dilakukan. Bagi calon Ammatowa yang dapat keluar dari hutan
dengan kondisi tegap dan sehat maka ialah Ammatowa yang dipilih oleh leluhur
mereka. Orang Konjo percaya bahwa orang yang dapat keluar dengan selamat
setelah memasuki hutan adat maka orang tersebut adalah pemimpin yang dipilih
oleh Yang Maha Kuasa dan leluhur mereka.
11. Kematian
Masyarakat Ammatoa mempraktekkan sebuah agama adat yang disebut
dengan Patuntung. Istilah Patuntung berasal dari tuntungi, kata dalam bahasa
Makassar yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “mencari
sumber kebenaran” (to inquiri into or to investigate the truth). Ajaran Patuntung
mengajarkan, jika manusia ingin mendapatkan sumber kebenaran tersebut, maka
ia harus menyandarkan diri pada tiga pilar utama, yaitu menghormati Tu
14
Rie’A’ra’na (Tuhan), tanah yang diberikan Tu Rie’A’ra’na, dan nenek moyang
(Rossler, 1990). Kepercayaan dan penghormatan terhadap Tu Rie’A’ra’na
merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam agama Patuntung. Masyarakat
adat Kajang percaya bahwa Tu Rie’A’ra’na adalah pencipta segala sesuatu, Maha
Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa.
Tu Rie’A’ra’na menurunkan perintah-Nya kepada masyarakat Kajang
dalam bentuk pasang (sejenis wahyu dalam tradisi agama Abrahamik) melalui
manusia pertama yang bernama Ammatoa. Secara harfiah, pasang berarti
“pesan”. Namun, pesan yang dimaksud bukanlah sembarang pesan. Pasang
adalah keseluruhan pengetahuan dan pengalaman tentang segala aspek dan lika-
liku yang berkaitan dengan kehidupan yang dipesankan secara lisan oleh nenek
moyang mereka dari generasi ke generasi (Usop, 1985). Pasang tersebut wajib
ditaati, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Ammatoa. Jika
masyarakat melanggar pasang, maka akan terjadi hal-hal buruk yang tidak
diinginkan. Hal ini disebutkan dalam sebuah pasang yang berbunyi “Punna
suruki, bebbeki. Punna nilingkai pesokki” (Artinya: Kalau kita jongkok, gugur
rambut, dan tidak tumbuh lagi. Kalau dilangkahi kita lumpuh).
Agar pesan-pesan yang diturunkan-Nya ke bumi dapat dipatuhi dan
dilaksanakan oleh manusia, Tu Rie’A’ra’na memerintahkan Ammatoa untuk
menjaga, menyebarkan, dan melestarikan pasang tersebut. Fungsi Ammatoa
dalam masyarakat Kajang adalah sebagai mediator, pihak yang memerantarai
antara Tu Rie’A’ra’na dengan manusia. Dari mitos yang berkembang dalam
masyarakat Kajang, Ammatoa merupakan manusia pertama yang diturunkan oleh
Tu Rie’A’ra’na ke dunia. Masyarakat Kajang meyakini bahwa tempat pertama
kali Ammatoa diturunkan ke bumi adalah kawasan yang sekarang ini menjadi
tempat tinggal mereka. Suku Kajang menyebut tanah tempat tinggal mereka saat
ini sebagai Tanatoa, “tanah tertua”, tanah yang diwariskan oleh leluhur mereka.
Mereka percaya, konon di suatu hari dalam proses penciptaan manusia pertama di
muka bumi, turunlah To Manurung dari langit. Turunnya To Manurung itu
mengikuti perintah Tu Rie’A’ra’na atau Yang Maha Berkehendak. Syahdan, To
Manurung turun ke bumi dengan menunggangi seekor burung Kajang yang
menjadi cikal bakal manusia. Saat ini, keturunanya telah menyebar memenuhi
permukaan bumi. Namun, di antara mereka ada satu kelompok yang sangat dia
sayangi, yakni orang Kajang dari Tanatoa. Bagi orang Kajang, kepercayaan
15
tentang To Manurung ini diterima sebagai sebuah realitas. Di tanah tempat To
Manurung mendarat, mereka mendirikan sebuah desa yang disebut sebagai
Tanatoa atau tanah tertua tempat pertama kali manusia ada. Karena itu, mereka
meyakini To Manurung sebagai Ammatoa (pemimpin tertinggi Suku Kajang)
yang pertama dan mengikuti segala ajaran yang dibawanya. Kini, ajaran tersebut
menjadi pedoman mereka dalam hidup keseharian, dan nama burung Kajang
kemudian digunakan sebagai nama komunitas mereka.
Upacara pemakaman di daearah Kajang pada umumnya, sama dengan
upacara pemakaman umat islam lainnya, yaitu dimandikan, dikafani, dan
disholati. Tapi, pada saat ingin dikuburkan ada 4 tingkatan pemakaman yaitu:
Jika Amma Toa yang meninggal, maka kedalamannya sampai setinggi
orang yang menggali kubur tersebut, dan hanya orang tertentu yang
diperbolehkan untuk melakukannya, dan diatas pemakamannya, diberikan
semacam rumah-rumah yang di mana atapnya, terbuat dari daun rumbiah.
Jika yang meninggal adalah kepala suku, maka kedalaman pemakamannya
setinggi leher orang dewasa. Jika yang meninggal adalah kepala desa atau yang
mempunyai jabatan yang sederajat, kedalaman pemakamannya adalah sampai
dada orang dewasa, dan apabila yang meninggal hanya masyarakat biasa,
kedalaman pemakamannya hanya setinggi pusar orang dewasa.
Orang yang dibutuhkan pada saat memandikan jenasah, sekurang-
kurangnya 2 sampai 4 orang dari keluarganya sendiri, dan jenasahnya dimandikan
2x. Jika anak-anak yang baru saja dilahirkan kemudian meninggal, hanya 1 orang
yang boleh memandikannya. Tergantung dari orang yang mahir dan orang yang
mengurus kematiannya adalah keluarganya sendiri.
26 Adat yang dipakai saat ada orang yang meninggal disebut dengan
kamateang ki dirapi, yang datang Ammatoa, Imam dusun, Kepala dusun, Ketua
RT, dll. Dalam melakukan tausiyah, berbeda dengan tausiyah yang dilakukan
dengan umat islam pada umumnya, yaitu dimana masyarakat Kajang Ammatoa,
hanya berkomunikasi, sampai seratus hari tanpa henti kepada keluarga yang
ditinggalkan. Dimulai setelah 3 s/d 5 hari, acara disiarai 7 s/d 10 malam, 20
malam dibacakan doa namanya dikulli. Hari pertamanya dipotongkan kerbau
(tedong). 12 kain kafannya, 12 siku panjangnya, dan siku bawahnya 2 lembar.
Sesudah dimandikan, kemudian dibungkus, disembahyani oleh imam dusun.
Kuburan dijenguk/disiarai 3x sehari, pagi, siang, sore.
16
Orang yang bersiap-siap 3x sehari untuk keselamatan akhirat, berdoa
diberikan keselamatan. Hari kematiannya digendangkan benrong, benrong
dibunyikan apabila semua orang telah dating. Kuburannya diteduhkan, jika
perempuan 2 tenda dan jika laki-laki 1 tenda.
Di Kajang tidak ada Tausiyah yang ada hanya addanang. Jika perempuan
meninggal hanya memakai baju dalaman, tidak diperbolehkan tertawa karena
karena kalau tidak disebut menghina. 20 malamnya memotong tedong, ayam, dan
uhu’-uhu’. Orang bernyanyi basing untuk diakhirat. Basing baruga untuk
menjemput tamu, kalau bernyanyi tidak boleh sembarangan. Jika ada yang
meninggal tetap berpakaian hitam-hitam, dan perempuan yang modern memakai
jilbab namun di Tanatoa tetap mengikuti adat tidak memakai memakai jilbab
hanya dililitkan ke kepala (massimboleng).

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Budaya adalah segala hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Sedangkan
kebudayaan adalah kebiasaaan-kebiasaan yang dilakukan nenek moyang yang telah
mendarah daging dan masih dilakukan hingga sekarang.
B. Saran
Begitu banyak kebudayaan yang kita miliki, oleh karena itu sebagai generasi
penerus bangsa kita harus selalu mempertahankan kebudayaan kita dan tetap menjaga
dan selelalu melestarikan kebudayaa kita. Serta Menurut kami makalah yang kami
buat sudah sangat baik tetapi hanya harus lebih baik lagi. Karena makalah yang kami
buat hanya terkendala di waktu dan kurangnya persiapan sehingga itu membuat kami
agak kualahan dan kebingungan. Sehingga kami memberi saran jika makalah harus
dipikirkan secara detail dan spesifik lagi

18

Anda mungkin juga menyukai