Disusun oleh :
WAHYUDIN
TS822064
WAHYUDIN
TS822064
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
PEMBAHASAN
Pemikiran Fiqih Kyai Sholeh Darat tidak dilepaskan dari latar belakang
keilmuannya dan kondisi sosio - kultural pada masa hidupnya. Kyai Sholeh
Darat dikenal sebagai kyai yang sangat gigih mempertahankan pemikiran islam
tradisional, seperti menganut salah satu mazhab fikih Sunni, terutama
madzhab syafi’, sekaligus mempertahankan doktrin - doktrin Ash‘ariyah, dan
merujuk al-Ghazali dalam bidang tasawuf. Ia juga dipandang sebagai ulama
yang moderat karena karya-karyanya yang dipandang kontekstual dan
mengedepankan aspek lokalitas.
Dengan demikian, bisa dipahami bahwa pemikiran fiqih Kiai Sholeh Darat
bercorak sunni tradisional dengan kecenderungan yang kuat kepada madzhab
Syafi’i. Pemikiran fiqihnya juga sedikit banyak telah terpengaruh oleh doktrin
tasawuf sunni versi al-Ghazali. Hal ini nampak dalam beberapa
pemikirannya dalam kitab Majmu’ yang banyak merujuk kepada dua madzhab
sunni di atas. Kritik yang dilontarkannya kepada tradisi lokal kebanyakan juga
merujuk pada literatur sunni klasik, tidak langsung merujuk pada argumen
normatif al-Qur’an dan Hadits sebagaimana dilakukan oleh islam puritan.
Studi karya para Ulama Nusantara di Indonesia menunjukkan dinamika
yang signifikan. Penemuan unsur lokalitas (kearifan lokal) di masing-masing
karya Ulama Nusantara menunjukkan bahwa aspek kepulauan Nusantara
mempengaruhi karya intelektualnya. Buku Fiqih dengan judul Majmu'at as-
Shari'ah al-Kafiyah li al-'Awam adalah karya Kiai Sholeh Darat. Buku tersebut
ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa pada akhir abad 19, dan karyanya
jelas menunjukkan elemen yang sangat menonjol dari wilayah ini. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif analisis terhadap buku Majmu'at as- Shari'ah
al-Kafiyah li al-'Awam dengan menggunakan pendekatan kearifan lokal ini,
diharapkan masyarakat bisa memahami dan lebih mudah mengikuti pesan dari
buku tersebut. Hasil dari penelitian ini yaitu mengetahui bahwa aspek kearifan
4
lokal dalam buku Majmu'at as- Shari'ah al-Kafiyah li al-'Awam muncul dalam
hal-hal seperti penampilan, bahasa dan penjelasan. Dalam penafsiran dan
bahasa, Kiai Sholeh Darat menggunakan naskah pegon, sebuah bentuk
keaksaraan yang sangat umum digunakan oleh masyarakat Muslim tradisional,
terutama di wilayah Jawa saat itu. Sementara itu, Kiai Sholeh Darat sering
mengomentari masalah masalah Dayang Memule dengan penawaran (sajen),
Perhitungan pasaran, Nyahur Tanah, Ukuran Timbangan (untuk Zakat) dan
lain-lain.
Pada dasarnya selametan kematian, tiga hari ataupun tujuh hari, dan
sedekah untuk mayit, menurut Kiai Sholeh Darat hukumnya sunah. Akan
tetapi, ia memberikan catatan bahwa selametan dan sedekah tersebut tidak
boleh diselenggarakan dengan harta si mayit (tirkah). Selametan dan Sedekah
juga tidak harus dilaksanakan pada saat tiga hari atau tujuh hari saja, tetapi
bisa dilakukan kapan saja tanpa ada batas waktu. Jika Selametan dan Sedekah
tersebut diselenggarakan dengan harta tirkah, Kiai Sholeh menyebutnya sebagai
bid’ah yang munkar (Al-Samarani, t.th: 89). Karena ketika seseorang meninggal
dunia, maka segala yang ditinggalkan bukan lagi miliknya, tetapi menjadi hak
ahli waris. Maka, bersedekah untuk mayit dengan harta tirkah tidak
diperbolehkan.
Sampai saat ini masalah harta tirkah untuk selametan dan sedekah
memang belum dipahami oleh kebanyakan orang awam, meskipun ritual
tersebut hampir menjadi aktifitas sehari-hari muslim Indonesia. Oleh karenanya,
dalam kitab Majmu’ Kiai Sholeh mewanti-wanti agar selametan tidak perlu
melibatkan harta tirkah, karena si mayit tidak lagi punyak hak atas harta itu.
Maka, ia mengan- jurkan agar ahli waris saja yang bersedekah untuk si mayit,
meski semampunya. Terutama pada tiap malam Jum’at dianjurkan
memperbanyak sedekah untuk orang tua yang sudah meninggal atau jika tidak
mampu, maka cukup dengan membacakan al-Qur’an meskipun sekedar al-
Fatihah atau al-Ikhlas.
Dalam pandangan hidup masyarakat Jawa, penting memilih hari yang baik
untuk melaksanakan hajat, apalagi pernikahan. Untuk memilih hari baik pada
upacara perkawinan, biasanya masyarakat Jawa menggunakan hitungan weton
yang didasarkan pada hari dan pasaran. Demikian juga dalam menentukan
pasangan mereka mendasarkan pasangan pada kecocokan hitungan weton.
Dengan memilih hari dan pasangan yang baik tersebut, diharapkan kehidupan
setelah pernikahan juga berlangsung dengan baik dan langgeng.
Hal ini tidak luput perhatian Kiai Sholeh Darat, apalagi kala itu
pemahaman agama masyarakat Jawa masih sangat dangkal. Dalam kitab Majmu’,
ia mengatakan bahwa percaya terhadap perkataan ahli nujum atau dukun
tentang hari dan bulan yang tidak baik untuk akad nikah tidak diperbolehkan,
begitu juga dengan hitungan weton pengantin pria dan wanita. Menurutnya itu
semua adalah hitungan orang Jahiliyyah yang tidak ada penjelasannya dalam al-
Qur’an dan Hadits. Kiai Sholeh Darat menganjurkan kepada para lelaki agar
tidak tergesa-gesa dalam menentukan pasangan, karena kelak akan menjadi
pendamping seumur hidup. Menurutnya, untuk menentukan calon istri, saat
khitbah laki-laki boleh melihat wanita berkali-kali hingga menemukan
keyakinan dalam hati masing-masing agar tidak ada penyesalan di kemudian
hari. Dalam kitab nikah tersebut, Kiai Sholeh Darat juga mengemukakan dengan
cukup detail perihal katuranggan wanita sebagai solusi alternatif atas hitungan
weton yang saat itu menjadi syarat wajib pernikahan.
8
BAB III
3.1 Kesimpulan
Lahirnya sebuah karya tak bisa begitu saja dipisahkan dari konteks kehidupan
yang mengitarinya. Faktor-faktor eksternal itulah yang terkadang cukup
dominan dalam lingkup keilmuan fiqih, karena fiqih bukanlah dogma yang
kaku, melainkan fleksibel, bisa berubah bentuk sesuai dengan wadahnya. Dalam
hal ini, persilangan antara cakrawala pemikiran dengan konteks yang meruang
waktu mutlak terjadi dalam fiqih, dan itulah yang menjadikan sebuah kitab fiqih
memiliki karakteristik yang berbeda dengan yang lain. Demikian halnya dengan
kitab Majmu’ karya KH. Sholeh Darat, aspek lokalitas yang nampak dalam
kitab tersebut amatlah kaya, terutama problem-problem keagamaan yang
berkaitan dengan kebudayaan masyarakat Jawa. Kondisi social politik Jawa
pada akhir abad ke - 19 memperlihatkan bahwa mayoritas muslim masih
cenderung sinkretis dan awam dalam pemahaman keagamaan. Di sisi lain Jawa
juga berada di bawah penguasaan pemerintah kolonial, yang sedikit banyak
telah menularkan budaya negatif bagi masyarakat Jawa. Faktor inilah yang
sedikit banyak mempengaruhi Kiai Sholeh Darat untuk bersikap kritis terhadap
non muslim dan tradisi lokal yang dianggap tidak sesuai syari’at. Yang
menarik, sikap kritisnya tersebut tidak langsung merujuk pada argument
normatif al-Qur’an Hadits, tetapi melalui rujukan kitab-kitab fiqih sunni
klasik.
Terlepas dari itu, Kiai Sholeh Darat beserta segala pemikirannya memiliki
peranan penting dalam proses pembentukan fiqih Nusantara, baik melalui karya-
karyanya ataupun mata rantai transmisi keilmuannya. Mengkaji pemikiran fiqih
Kiai Sholeh Darat berarti melacak akar tradisi fiqih yang berlaku di Nusantara
saat ini. Dengan begitu, kajian semacam ini hendaknya semakin digalakkan dan
dikembangkan lagi sebagai upaya untuk merumuskan islam Nusantara.
9
Daftar Pustaka