Anda di halaman 1dari 14

MADZHAB IMAM ABU HANAFI

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Madzhab
Dosen pengampu : Muhammad Khaidar Azmy, LC. MA.

Disusun oleh :
Salis Maslukhah 23010170332
Fatimah 23010170345
Mawarida Agustina 23010170348
Handoko Wahyu S.W 23010170
Aziz Kurniawan 23010170362

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas ini dengan lancar. Shalawat serta
salam marilah kita curahkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW semoga kita
semua mendapatkan syafaat di yaumul akhir nanti.
Selama melakukan penyusunan ini penyusun banyak menghadapi kesulitan
dan hambatan. Semuanya itu dapat teratasi berkat bantuan dan dukungan dari semua
pihak dan terutama ridho Allah SWT. Untuk itu, pada kesempatan kali ini penyusun
ingin menyampaikan terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah turut
memberikan dan membantu penyusun sehingga dapat menyelesaikan penyusunan dan
penulisan makalah ini..
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan dapat menjadi
sumber teorimasi yang berguna. Khususnya bagi penyusun dan pambaca pada
umumnya.

Salatiga, 2 April 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................1
C. Tujuan.................................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................3
PEMBAHASAN............................................................................................................3
A. Pengertian Madzab.............................................................................................3
B. Sejarah Pendirian Madzab Imam Abu Hanafi....................................................4
C. Metode yang Digunakan Dalam Pengambilan/Menentukan Suatu Hukum.......6
D. Tokoh dan Kitab Dalam Madzhab Imam Abu Hanafi........................................9
BAB III........................................................................................................................10
PENUTUP...................................................................................................................10
A. Kesimpulan.......................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah timbulnya madzhab dalam hukum Islam tidak lepas dari
sejarah perkembangan Fiqh Islam. Problematika umat yang membutuhkan
penyelesaian dengan berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis merupakan suatu
keharusan di kalangan masyarakat. Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber
Nidhomul Islam (peraturan hidup dalam Islam), mengingat keduanya adalah
pedoman dalam menjalankan agama Islam dengan sebenar-benarnya.
Kehidupan pada masa sahabat-tabi’in merupakan representasi dari ayat-ayat
Al-Qur’an yang pada masa itu para pewaris nubuwah masih banyak yang
hidup dan problematika belum begitu modernis, praktis dalam menyelesaikan
suatu permasalahan masih dapat ditemukan di Al-Qur’an atau hadis.
Pada masa tabi’in dan tabiut probelmatika sudah mulai kompleks.
Beberapa permasalahan yang mengenai ibadah atau muamalah mulai
bermunculan seiring berkembangya periode umat Islam dari masa sahabat
menuju masa dinasti. Banyak permasalahan umat mendorong para ulama
sholeh melakukan pengambilan keputusan mengenai masalah agama dengan
kemampuan kesholehanya atau lebih sering disebut ijtihad. Ulama mujtahid
tampil bukan sebagai pembawa aturan baru tetapi memberikan solusi umat
yang semakin kompleks, salah satu mujtahid yang mashur adalah Imam Abu
Hanafi. Dalam makalah ini akan kita bahas mengenai sejarah, metode
pengambilan hukum, kitab-kitab dan murid dari imam abu hanafi.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan madzab Abu Hanafi?
2. Bagaimana sejarah pendirian madzab Imam Abu Hanafi?

1
3. Metode apa yang digunakan dalam pengambilan/menentukan suatu
hukum?
4. Siapa saja tokoh-tokoh dalam madzhab Imam Abu Hanafi?
5. Apa saja kitab dalam madzab Imam Abu Hanafi?

C. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk,
1. Mengetahui pengertian madzhab Abu Hanafi.
2. Mengetahui sejarah pendirian madzab Imam Abu Hanafi.
3. Mengetahui metode yang digunakan dalam pengambilan/menentukan
suatu hukum.
4. Mengetahui tokoh-tokoh dalam madzhab Imam Abu Hanafi.
5. Mengetahui kitab dalam madzab Imam Abu Hanafi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Madzab
Madzab diambil dari bahasa Arab mazhab berasal dari shighah
masdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunujukkan
keterangan tempat) dari akar kata fiil madhy dzahaba yang bermakna pergi.
Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya tempat pergi (Huzaemah: 1997, 71).
Madzhab juga berarti al ra’yu yang artinya pendapat, dengan demikian
madzhab bisa disebut juga sebagai suatu pegangan bagi seseorang dalam
berbagai masalah (M. Shaleh: 2016). Sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) madzab adalah aliran dari suatu pemikiran atau
ajaran dalam disiplin ilmu (KBBI daring, 2020).
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan madzhab secara
istilah. Adapun definisi-definisi tersebut sebagai berikut, Madzhab menurut
istilah dalam kalangan umat Islam adalah sejumlah fatwa-fatwa dan pendapat-
pendapat seorang alim besar didalam urusan agama, baik ibadah maupun
lainya. Sedangkan menurut Siradjuddin Abbas (1972: 52) madzhab adalah
fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid. Madzab menurut M. Husain
Abdullah adalah kumpulan hukum-hukum Islam dari pendapat mujtahid,
digali dari syariat Islam dengan rinci dan berlandasakan kaidah ushul fiqih
yang saling berkesinambungan (Nanang Abdillah: 2014, 21). Syeikh
Muhammad Said Ramadlany al-Buthi menegaskan bahwa pengertian
madzhab menurut istilah adalah jalan pikiran/paham/pendapat yang ditempuh
oleh seorang imam mujtahid di dalam menetapkan suatu hukum Islam dari Al-
Qur’an dan Sunnah.
Dari definisi yang dikemukakan di atas dapat ditarik suati kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan madzhab itu mengandung dua pengertian yaitu
pertama, madzhab berarti jalan pikiran atau metode ijtihad yang ditempuh

3
seorang imam mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, madzhab dalam arti fatwa-fatwa
atau pendapat seorang imam mujtahid tentang suatu hukum terhadap suatu
masalah yang digali dari Al-Qur’an dan Sunnah.
B. Sejarah Pendirian Madzab Imam Abu Hanafi
Membahas madzab hanafi maka tidak terlepas dari nama Imam Abu
Hanifah, karena dari pemikiranya yang melandasi berdirinya madzab hanafi.
Sejak kecil Imam Hanifah sudah memiliki minat yang kuat terhadap ilmu
agama, dilanjutkan pada masa muda berguru pada para sahabat dan tabi’in.
Kesholehan dan kecerdasanya tidak diragukan lagi bahkan Imam Syafi’i
memuji nya “Tidak ada perempuan atau laki-laki yang mengungguli akal
imam abu hanifah” (Ali Fikri: 45).
Nama asli Imam Abu Hanifah adalah Nu’man bin Tsabit bin Zautha
bin Maah, berasal dari keturunan bangsa Persia. Abu Hanifah dilahirkan di
kota Kufah, kota yang terletak di Iraq, pada tahun 80 Hijriyah (699 M) dan
meninggal di Kufah pada tahun 150 Hijriyah (767 M) bersamaan dengan
tahun kelahiran Imam Syafi’i (M. Zuchri, 1997). Saat kelahirannya, banyak
sahabat yang masih hidup, di antara mereka adalah Anas bin Abu Hanifah
(pembantu Rasul), Abdullah bin Abi Auf, Sahl bin Said as-Sa’idi, dan Abu
Tufail bin Amir bin Watsilah. Menurut kebiasaan bangsa arab panggilan Abu
Hanifah dikarenakan ia memiliki putra yang bernama Hanifah, sedangkan ada
yang menyatakan bahwa penamaan Abu Hanifah karena ia selalu membawa
tinta yang dalam bahasa irak disebut hanifah (M. Iqbal Juliansyahzen; 2015,
75).
Sewaktu ia hidup, hampir seluruh hidupnya digunakan untuk belajar
dan mendalami ajaran agama Islam dan perlu diketahui bahwa Abu Hanifah
semenjak kecil sampai dengan meninggal, berada di kota Kufah (Iraq). Sejak
kecil ia belajar sebagaimana anak-anak yang berada di negeri itu, ia mulai
belajar membaca Al-Qur’an serta menghafalnya, ia hidup dan dibesarkan di

4
tengah-tengah keluarga pedagang kain sutera dan keluarga yang taat
melaksanakan ajaran Islam. Kakeknya sangat berkesan ketika berjumpa
dengan Sayyidina Ali, hal itu selalu diceritakannya kepada anak cucunya,
termasuk kepada Abu Hanifah, Abu Hanifah selalu mencontoh perbuatan Ali,
hal ini terlihat pada jalan pikirannya di kemudian hari. Sebelum Irak dikuasai
Islam, telah berkembang pula di sana berbagai macam agama, yaitu Nasrani,
Yahudi, Budha, Hindu, Animisme, Dinamisme dan sebagainya. Islam masuk
ke negeri Irak mendapat bermacam-macam tantangan, namun berkat keuletan
para ulama dan atas pertolongan Allah. Selain itu di Irak merupakan tempat
timbulnya berbagai aliras filsafat, baik yang berasal dari Romawi, Yunani dan
negeri-negeri barat lainnya (Sya’ban Muhammad Ismail, 1985: 67).
Pada mulanya Abu Hanifah menuntut ilmu agama hanya sekedar
untuk keperluannya sendiri, termasuk untuk berdagang, namun pada suatu
hari ia bertemu dengan gurunya yaitu Amir bin Syarahil (104 H /721 M). Ia
menceritakan kepada gurunya itu bahwa ia lewat di muka rumah Asy-Sya’bi,
dalam hal ini Abu Hanifah mengatakan bahwa ia berkesan dengan
perjumpaannya dengan Asy-Sya’bi itu, dengan demikian sejak itulah Abu
Hanifah mulai menuntut ilmu dan yang mula-mula dipelajarinya adalah ilmu
kalam dan mengadakan diskusi dengan ulama-ulama yang beraliran ilmu
kalam, seperti dengan orang-orang yang beraliran Mu’tazilah, Syi’ah
Khawarij dan Maturidiyah. Abu Hanifah tidak segan-segan mencurahkan
tenaga, fikiran dan bahkan harta bendanya untuk membiayai keperluan
berdiskusi. Abu Hanifah sering pergi ke luar kota Irak untuk menuntut ilmu,
setelah mendalami ilmu kalam barulah ia berlatih mempelajari ilmu fiqh,
dengan cara mendatangi ulama-ulama ahli fiqih dari bermacam-macam aliran
(Romli SA, 1999:47).
Dalam hal ini Abu Hanifah pernah dituduh bahwa Abu Hanifah dalam
menetapkan hukum hanya menggunakan akal saja, tuduhan tersebut
disampaikan kepada khalifah Abu Ja’far al-Mansur (Khalifah Abasiyyah)

5
karena tuduhan itu Abu Hanifah akhirnya dipanggil untuk menghadap
khalifah, khalifah menanyakan antara lain ”Dari mana ilmu itu diperoleh?”,
Abu Hanifah menjawab bahwa ilmunya diperoleh dari sahabat Nabi yaitu
Umar, Ali, Ibnu Mas’ud dan Abdullah ibnu Abbas, sahabat-sahabat tersebut
merupakan ulama yang jauh melebihi kepandaiannya. Mendengar jawabanya,
khalifah Abu Ja’far al- Mansur merasa puas dengan mengatakan, “Aku
percaya kepadamu”.
Pada tahun 130 Hijriyah, Abu Hanifah berangkat ke Makkah dan
menetap di sana selama enam tahun, selama di Makkah beliau mengadakan
diskusi atau musyawarah dengan para ulama mashur, ia juga bertemu dengan
ulama Syi’ah, Zaidiyah, yakni ulama ahli hadits, sehingga ia dapat
mengadakan tukar pikiran dengan mereka dan juga berdiskusi dengan Ja’far
ash-Shidqi. Selain perjumpaan dengan muridnya Ibnu Abbas yang kemudian
diajaknya pergi ke Madinah yang bernama Ja’far ash-Shidqi untuk
mengadakan tukar fikiran dengannya, sepulang dari Makkah dan Madinah ia
tetap mempelajari ilmu pengetahuan agama, ia sangat menghargai pendapat
orang lain walaupun bertentangan dengan pendapatnya, karena perbedaan
pendapat merupakan rahmat (M. Bahri Ghanaian, 1992: 123).
C. Metode yang Digunakan Dalam Pengambilan/Menentukan Suatu
Hukum.
Abu Hanifah dikenal sebagai Ahli Ra`yi dalam menetapkan hukum
Islam, baik yang diistimbathkan dari Al-Quran atau pun hadis. Beliau banyak
menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra`yi ketimbang khabar ahad. Abu
Hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu hukum berpegang kepada
beberapa dalil syara' yaitu Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, Qiyas, Istihsan,
dan 'Urf.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama, Terkait hal ini, Imam Abu
Hanifah sependapat dengan Jumhur ulama lainnya bahwa Al-Qur'an
merupakan sumber hukum Islam. Juga beliau sependapat bahwa Al-Qur'an

6
adalah lafadz dan maknanya. Sumber ini, seperti yang sudah kami uraikan,
adalah sumber yang muttafaq. Termasuk Imam Abu Hanifah. Namun, Abu
Hanifah berbeda pendapat mengenai terjemah Al-Qur'an ke dalam bahasa
selain bahasa Arab. Menurut beliau bahwa terjemah tersebut juga termasuk
Al-Qur'an.
Sunnah sebagai sumber hukum yang kedua, para ulama sepakat bahwa
hadits shahih itu merupakan sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat
dalam menilai keshahihan suatu hadits. Menurut pendapat Imam Hanafi di
lihat dari segi sanad, hadits itu terbagi dalam mutawatir, masyhur dan ahad
dan semua ulama telah menyepakati kehujjahan hadits mutawatir, namun
mereka berbeda pendapat dalam menghukumi hadits ahad, yaitu hadits yang
di riwayatkan dari Rosulullah SAW. oleh seorang, dua orang atau jama'ah,
namun tidak mencapai derajat mutawatir.
Ijma’ sahabat sebagai sumber hukum yang ketiga, Kedudukan ijma`
sebagai sumber hukum Islam didasari oleh hadis Nabi yang mengaskan bahwa
pada hakikatnya ijma` adalah milik umat Islam secara keseluruhan. Imam
mujtahid merupakan wakil umat dalam memutuskan hukum. Tentunya mereka
sebagai wakil umat tidak mungkin berdusta atau berbuat kesalahan yang
disengaja.
Qiyas sebagai sumber hukum yang keempat, Jumhur ulama sepakat
bahwa qiyas merupakan sumber hukum. Ia berada pada urutan keempat
setelah Al-Quran, Hadis, dan Ijma`. Bagi ulama yang menjadikan qiyas
sebagai sumber hukum atau disebut mutsbitul qiyaas,memiliki alasan yang
kuat baik dari sisi nash maupun akal. Dalam nash al-Quran terdapat banyak
ayat yang menyuruh agar manusia dapat menggunakan akalnya semaksimal
mungkin. Menurut Abu Zahra sendiri tidak kurang dari 50 ayat berbicara agar
manusia mau mengguunakan aklanya. Di antaranya terdapat dalam surat Al-
Hasyr ayat 59 yang artinya ambillah pelajaran wahai orang yang memiliki
pandangan (akal).

7
Istihsan sebagai sumber hukum yang kelima, Selanjutnya pada diri
mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan segi analisis yang tersembunyi,
lalu ia berpaling aspek analisis yang nyata, maka ini disebut dengan Istihsan.
Demikian pula apabila ada hukum yang pengecualian kasuistis dari hukum
yang bersifat kulli (umum) dan menurut hukum lainya, maka ini juga menurut
syara’ disebut dengan Istihsan. Sekelompok mujtahid mengingkari terhadap
istihsan sebagai hujjah dan mereka mengangapnya sebagai beristimbath
terhadap hukum syara’ berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri.
‘Urf sebagai sumber hukum yang keenam, Imam Abu Hanifah
menggunakan `Urf usebagai salah satu metode hukum yang dijadikan sumber
dalam ijtihadnya. `Urf adalah segala sesuatu yang telah dikenal oleh orang
banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau
perbuatan, atau keadaan meninggalkan. Ia juga disebut adat istiadat.
Sedangkan menurut istilah para ahli syara`, tidak ada perbedaan antara `urf
dan kebiasaan (Azkar Saputra, 2018: 21).
Langkah-langkah ijtihad Imam Abu Hanifah secara berurutan merujuk
pada Al-Qur’an, Sunnah, fatwa sahabat yang disepakati (Ijma’ ash-shahabi),
dan memilih salah satu dari fatwa sahabat yang berbeda-beda dalam satu
kasus hukum. Imam Abu Hanifah tidak akan melakukan Istinbāţh hukum
sendiri, selama ia menemukan jawaban hukum dari sumber-sumber rujukan
tersebut. Yang menarik ialah, Imam Hanafi tidak menjadikan pendapat ulama
tabi’in sebagai rujukan karena rentang weaktu yang sudah jauh antara
Rosulullah dan ulama dari generasi tabi’in. Ia berpendapat, kedudukannya
sama dengan kedudukan tabi’in dalam hal berijtihad. Walaupun begitu Abu
Hanifah tidak fanatik dengan pendapatnya “Inilah pendapat saya dan kalau
ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat, maka pendapatnya
itulah yang lebih benar” (Hawada Afiya, 2020: 34).

8
D. Tokoh dan Kitab Dalam Madzhab Imam Abu Hanafi
Sepeninggal Abu hanifah, madzhab fikihnya tidak redup dan terus
dipakai oleh umat Islam, bahkan menjadi madzhab resmi beberapa kerajaan
Islam seperti Daulah Abbasiyah, Mughal, dan Turki Utsmani. Saat ini
madzhab beliau banyak dipakai di daerah Turki, Suriah, Irak, Balkan, Mesir,
dan India. Mazhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu
Hanifah diangkat menjadi Qadhi dalam pemerintahan tiga khalifah
Abbasyiah: Al-mahdi, Al-hadi dan Al-Rasyid. Al-Kharaj adalah kitab yang
disusun atas permintaan khalifah Al-Rasyid dan kitab ini adalah rujukan
pertama Madzhab Hanafi (Ita Sofia Ningrum, 2017: 103).
Adapun kitab-kitab hasil karya murid-murid Imam Hanafi dalam
bidang ilmu fiqh adalah:
1. Kitab al-Kharaj oleh Imam Abu Yusuf
2. Zahir al-Riwayah oleh Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.
3. Al-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani
4. Al-Mabsut adalah syarah dari al-Kahfi yang disusun oleh Imam as-
Syarkhasi.
5. Badai’ Sana’i oleh Alauddin Abi Bakr bin Mas‟ud bin Ahmad al-Kasani
al-Hanafi.
6. Hashiyah Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Darr al-Mukhtar fi Syarh Tanwir al-
Absar oleh Ibnu Abidin (Habba Zuhaida: 2016, 63).

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Madzab merupakan kumpulan pendapat mujtahid, dalam makalah ini
fokus yang kita bahas adalah madzab Hanafi. Madzab ini merupakan pengikut
Imam Abu Hanifah yang secara kesholehan dan kecerdasanya telah diakui
oleh jumhur ulama. Perkembangan madazab ini dimulai dari Iraq sampai ke
negara Islam yang berada di semenajung Arab, dapat dikatakan madzab ini
popular di daerah perkotaan, mengingat literatur dari madzab ini adalah
dengan halqoh dengan para ulama-ulama yang mashur.
Imam Abu Hanifah menggali Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas,
Ihtihsan dan ‘Urf sebagai sumber syariat Islam. Dengan metode instimbath
produk hukum diperoleh sebagai solusi permasalahan umat yang tidak dapat
ditemukan di sumber hukum Islam. Banyak anggapan bahwa Imam Abu
Hanifah banyak menggunakan ra’yu dalam menggali produk hukum, tetapi
beliau tidak fanatik dengan hujjahnya.
Perkembangan madzab ini begitu besar pada masa Dynasti Abbasiyah,
dengan muridnya yang membawa hujjah abu hanifah dan beberapa darinya
aktif dalam penulisan buku fiqih maka madzab hanafi masih dapat kita jumpai
pada saat hari ini. Banyak perbedaan dalam pelaksanaan hukum fiqih bukan
berarti ada nilai banding tetapi itu semua merupakan rahmat bagi umat Islam.

10
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Siradjuddin. 1972. Sejarah dan Keagungan Imam Syafi’i. Jakarta: Pustaka Tarbiyah.

Abdillah, Nanang. 2014. ”Madzhab Dan Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan”.


Jurnal Fikroh, Vol. 8 No. 1.

Al-Syurbasi, Ahmad. 1993. al-Aimmatu al-Arbaah. Jakarta: Bumi Aksara.

Azkar Saputra: 2018. “Metode Ijtihad Imam Hanafi dan Imam Malik”. Jurnal
Syariah Hukum Islam. Vol. 1 No. 1

Fikri, Ali. T.t. Kisah-kisah para Imam Mazhab. Yogyakarta: Mitra pustaka,

Ghazali, M. Bahri. 1992. Perbandingan Mazhab. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.

Habba Zuhaida: 2016. Studi Analisis Metode Istinbat{ Hukum Imam Hanafi Dan
Imam Syafi’I Tentang Wali Mujbir. Skripsi. UIN Walisongo Semarang.

Hawada Afiya, Biografi Imam Abu Hanifah, http://www.mutiarapublic.com/ragam-


public/biografi-tokoh-islam/biografi-imam-abu-hanifah, di akses 1 April 2020
Jam 16.00 WIB.

Ismail, Sya'ban Muhammad. 1985. at-Tasyri’ al-Islami wa ath Waruh. Mesir: al-
Maktabah al- Nahdhah al-Misriyyah.

Ita Sofia Ningrum: 2017. “Dasar-Dasar Para Ulama Dalam Berijtihad dan Metode
Istinbāţh Hukum”. Mizan: Jurnal Ilmu Syariah, FAI Universitas Ibn Khaldun
(UIKA) BOGOR Vol. 5 No. 1.

Juliansyahzen, M Iqbal. 2015. “Pemikiran Hukum Islam Abu Hanifah”. Jurnal Al-
Mazahib, Vol. 3, No 1.

M.Saleh. 2016Eksistensi Madzhab Dalam Hukum Islam Masa Kontemporer Vol. 13 No. 1
Mei.

Romli SA, Muqoronah Madzahib Fil Ushul, Cet. Ke-I. 1999. Jakarta: Gaya Media
Pertama.

Yanggo, Huzaemah Tahido. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos.

Zuhri, Muh. 1997. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: PT RajaGrapindo.

11

Anda mungkin juga menyukai