Anda di halaman 1dari 21

JODOH DUNIA AKHIRAT

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah seminar pendidikan agama
Islam dengan dosen pengampu:
Dr.Munawar Rahmat,M.Pd.

Oleh:
Nur Muhammad Syarip Mizwar
1206150

DEPARTEMEN PENDIDIKAN TEKNIK MESIN


FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2015

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr wb
Segala puji bagi Alloh SWT yang senantiasa memberikan nikmat dan
hidayah-Nya sehingga penyusun mampu menyelesaikan makalah yang berjudul
Jodoh Dunia Akhirat ini dengan sebaik-baiknya. Sholawat dan salam semoga
senantiasa tercurah kepada Nabi Besar Islam yakni Nabi Muhammad SAW yang
telah mengajarkan manusia berbagai ilmu untuk hidup dan mati. Aamiin
Penyusun mengucapkan terima kasih serta memberikan rasa hormat kepada
Bapak Dr.Munawar Rahmat,M.Pd sebagai dosen pengampu mata kuliah seminar
pendidikan agama Islam yang senantiasa membimbing penyusun sehingga
penyusun mampu menyelesaikan Makalah ini.
Penyusun mengharapkan saran yang membangun dari pembaca untuk
kesempurnaan pembuatan makalah di kemudian hari. Semoga Makalah ini bisa
bermanfaat, khususnya bagi penyusun dan umumnya bagi pembaca. Demikian
yang dapat penyusun katakan, mohon maaf apabila ada kekurangan.
Wassalamualaikum wr wb

Bandung,

Mei 2015
Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................

DAFTAR ISI ...............................................................................................

ii

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................
B. Rumusan Masalah ...................................................................................
C. Tujuan .....................................................................................................
D.Manfaat ....................................................................................................

1
2
2
2

BAB II.PEMBAHASAN
A.Pengertian Pernikahan .............................................................................
B. Hukum Nikah ..........................................................................................
C. Tujuan Pernikahan dalam Islam ..............................................................
D. Pengertian Jodoh dalam Islam ................................................................
E. Memilih Calon Istri/Suami Menurut Islam .............................................

3
6
11
13
15

BAB III. PENUTUP


A. Kesimpulan .............................................................................................

17

DAFTAR PUSTAKA

ii

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Apabila berbicara tentang pernikahan maka dapatlah kita memandangnya

dari dua buah sisi. Dimana

pernikahan merupakan sebuah perintah agama.

Sedangkan di sisi lain adalah satu-satunya jalan penyaluran seks yang disah kan
oleh agama.dari sudut pandang ini, maka pada saat orang melakukan pernikahan
pada saat yang bersamaan dia bukan saja memiliki keinginan untuk melakukan
perintah agama, namun juga memiliki keinginan memenuhi kebutuhan biologis
nya yang secara kodrat memang harus disalurkan.
Sebagaimana kebutuhan lainnya dalam kehidupan ini, kebutuhan biologis
sebenarnya juga harus dipenuhi. Agama Islam juga telah menetapkan bahwa satusatunya jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia adalah hanya dengan
pernikahan. Pernikahan merupakan satu hal yang sangat menarik jika kita lebih
mencermati kandungan makna tentang masalah pernikahan ini. Di dalam AlQuran telah dijelaskan bahwa pernikahan ternyata juga dapat membawa
kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini berarti pernikahan
sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana penyaluran kebutuhan seks
namun lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi manusia
dimana setiap manusia dapat membangun surga dunia di dalamnya. Semua hal itu
akan terjadi apabila pernikahan tersebut benar-benar dijalani dengan cara yang
sesuai dengan jalur yang sudah ditetapkan Islam.
Pernikahan sangat erat kaitannya dengan Jodoh. Seseorang tidak akan
melakukan pernikahan apabila tidak berjodoh. Tapi kerap kali yang menjadi
pertanyaan adalah seberapa lama kedua insan yang melakukan pernikahan
tersebut berjodoh.
Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis merasa tertarik untuk
mengangat judul makalah yang berhubungan yakni tentang Jodoh Dunia
Akhirat.

B.

Rumusan Masalah
Untuk memperjelas ruang lingkup permasalahan, maka perlu adanya

rumusan masalah. Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah:


1.

Apa Pengertian Pernikahan ?.

2.

Apa Hukum Nikah ?.

3.

Apa Tujuan Pernikahan dalam Islam ?.

4.

Apa Pengertian Jodoh dalam Islam?.

5.

Bagaimana Memilih Calon Istri/Suami Menurut Islam ?.

C.

Tujuan
Penulisan makalah ini memiliki beberapa tujuan sesuai dengan uraian latar

belakang dan rumusan masalah. Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah:
1.

Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah seminar pendidikan


agama islam.

2.

Untuk Mengetahui Pengertian Pernikahan.

3.

Untuk Mengetahui Hukum Nikah.

4.

Untuk Mengetahui Tujuan Pernikahan dalam Islam.

5.

Untuk Mengetahui Pengertian Jodoh dalam Islam.

6.

Untuk Mengetahui Bagaimana Memilih Calon Istri/Suami Menurut


Islam.

D.

Manfaat
Makalah ini diharapkan mampu memberikan manfaat. Adapun manfaat

dari penulisan laporan ini adalah:


1.

Bagi Penulis, menjadi media untuk mengkaji ilmu agama Islam lebih
dalam.

2.

Bagi Pembaca, Menjadi Bacaan yang berguna.

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Pengertian Pernikahan
1.

Menurut Pandangan Islam


Nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. Dikatakan :

nakahat al-asyjar, yaitu pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan


berkumpul dalam satu tempat. Berkata Imam Nawawi : Nikah secara bahasa
adalah bergabung, kadang digunakan untuk menyebut akad nikah, kadang
digunakan untuk menyebut hubungan seksual.
Al-Fara seorang ahli bahasa Arab mengatakan bahwa orang Arab
menyebutkan kata Nukah al Mar-atu artinya adalah organ kewanitaan. Jika
mereka mengatakan nakaha al-mar-ata artinya telah menggauli di organ
kewanitaannya.
Adapun Nikah secara istilah adalah : Akad yang dilakukan antara
laki-laki dan perempuan yang dengannya dihalalkan baginya untuk melakukan
hubungan seksual.
Dalam al-Quran dan As-Sunah kata Nikah kadang digunakan untuk
menyebut akad nikah, tetapi kadang juga dipakai untuk menyebut suatu
hubungan seksual. Contoh menikah yang artinya akad nikah adalah firman
Allah SWT:

Contoh lain adalah firman Allah SWT :

Adapun contoh menikah yang artinya melakukan hubungan seksual


adalah firman Allah SWT :

Arti nikah pada ayat di atas adalah al-wath-u atau al-jimau (melakukan
hubungan seksual), bukan akad nikah. Karena seseorang tidak disebut suami,
kecuali kalau sudah melakukan akad nikah.
Seorang istri yang telah diceraikan suaminya yang pertama sebanyak
tiga kali, dan sudah menikah dengan suami yang kedua, maka dia harus
melakukan nikah dengan suaminya yang kedua tersebut, kemudian
diceraikannya, sebelum kembali kepada suaminya yang pertama. Melakukan
nikah dengan suami yang kedua, maksudnya adalah melakukan hubungan
seksual.
Nikah dalam arti melakukan hubungan seksual pada ayat di atas
dikuatkan oleh hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah ra yang artinya Dari
Aisyah, ia berkata; Rasulullah SAW ditanya mengenai seorang laki-laki yang
mencerai isterinya tiga kali, kemudian wanita tersebut menikah dengan lakilaki yang lain dan bertemu muka dengannya kemudian ia mencerainya
sebelum mencampuri, maka apakah ia halal bagi suaminya yang pertama?
Aisyah berkata; tidak. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Ia tidak

halal bagi suaminya yang pertama hingga ia merasakan manisnya (hubungan


seksua) dengan suaminya yang lain, dan ia (sang suami) juga merasakan
manisnya (hubungan seksual) dengannya."
Contoh dari hadits yang menunjukan bahwa arti nikah adalah
melakukan hubungan seksual adalah sabda Rasulullah SAW yang artinya
Lakukanlah segala sesuatu (dengan istrimu yang sedang haid) kecuali nikah,
yaitu jima.
Setelah kita mengetahui bahwa nikah mempunyai dua arti, yaitu akad
nikah dan melakukan hubungan seksual, maka pertanyaan yang muncul adalah
bagaimana kita membedakan antara dua arti tersebut di dalam suatu
pembicaraan? Para ulama membedakan antara keduanya dengan keterangan
sebagai berikut : Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan
seorang perempuan lain, yaitu fulanah binti fulan, maka artinya bahwa laki-laki
tersebut melakukan akad nikah dengannya. Jika dikatakan bahwa seorang lakilaki menikah dengan istrinya, maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan
hubungan seksual dengannya.
Dari kedua makna nikah di atas, mana yang hakikat dan mana yang
majaz? Para ulama berbeda pendapat :
a.

Pendapat Pertama : bahwa nikah pada hakikatnya digunakan untuk


menyebut akad nikah, dan kadang dipakai secara majaz untuk
menyebutkan hubungan seksual. Ini adalah pendapat shahih dari
madzhab Syafiiyah, dishahihkan oleh Abu Thoyib, Mutawali dan
Qadhi Husain. Ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Syekh
Al-Utsaimin.

b.

Pendapat kedua : bahwa nikah pada hakikatnya dipakai untuk


menyebut hubungan seksual. Tetapi kadang dipakai secara majaz
untuk menyebut akad nikah. Ini adalah pendapat al-Azhari, alJauhari dan az-Zamakhsari, ketiga orang tersebut adalah pakar dalam
bahasa Arab.

2.

Pernikahan Menurut Undang-Undang.


Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang perkawinan menyatakan

bahwa :

a.

Pasal 1
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah)


yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa.
b.

Pasal 2
Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad

yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah
dan melakukannya merupakan ibadah.
c.

Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga

yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.


d.

Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum islam

sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang


perkawinan.
B.

Hukum Nikah
1.

Hukum Asal dari Pernikahan


Adapun hukum asal dari pernikahan, para ulama berbeda pendapat :
a.

Pendapat Pertama
Bahwa hukum asal pernikahan adalah wajib. Ini adalah pendapat

sebagian ulama. Berkata Syekh al-Utsaimin: Banyak dari ulama


mengatakan bahwa seseorang yang mampu (secara fisik dan ekonomi)
untuk menikah, maka wajib baginya untuk menikah, karena pada dasarnya
perintah itu menunjukkan kewajiban, dan di dalam pernikahan tersebut
terdapat maslahat yang agung.
Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abdullah
bin Masud ra, yang artinya: Rasulullah SAW bersabda pada kami:
Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mempunyai
kemampuan (secara fisik dan harta), hendaknya ia menikah, karena ia
dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa
belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syahwat) ..

Rasulullah SAW dalam hadist di atas memerintahkan para pemuda


untuk menikah dengan sabdanya falyatazawaj (segeralah dia menikah),
kalimat tersebut mengandung perintah. Di dalam kaidah ushul fiqh
disebutkan bahwa : al ashlu fi al amr lil wujub (Pada dasarnya perintah
itu mengandung arti kewajiban).
Dalil berikutnya menjelaskan bahwa menikah itu merupakan
perilaku para utusan Allah subhanahu wa taala, sebagaimana firman Allah
subhanahu wa taala:

Dalil berikutnya ialah hadist riwayat Bukhori dan Muslim dari Anas
bin Malik ra yang artinya Dari Anas bahwa sekelompok orang dari
kalangan sahabat Nabi Muhammad SAW bertanya kepada isteri-isteri Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam mengenai amalan beliau yang tersembunyi.
Maka sebagian dari mereka pun berkata, Saya tidak akan menikah.
Kemudian sebagian lagi berkata, Aku tidak akan makan daging. Dan
sebagian lain lagi berkata, Aku tidak akan tidur di atas kasurku.
Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi Muhammad SAW memuji Allah dan
menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: Ada apa dengan mereka?
Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga
tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka
siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku.
Karena tidak menikah itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap
orang-orang Nashara, sedang menyerupai mereka di dalam masalah ibadat
adalah haram. Berkata Syekh al Utsaimin : dan karena dengan
meninggalkan nikah padahal ia mampu, merupakan bentuk penyerupaan
7

dengan orang-orang Nashara yang meninggalkan nikah sebagai bentuk


peribadatan mereka. Sedangkan menyerupai ibadat non muslim hukumnya
adalah

haram.

Karena

menyerupai

mereka

haram,

maka

wajib

meninggalkan penyerupaan tersebut dengan cara menikah, sehingga


menikah hukumnya wajib.
b.

Pendapat Kedua
Bahwa hukum asal dari pernikahan adalah sunnah, bukan wajib. Ini

merupakan pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Nawawi : Ini adalah


madzhab kita (Syafiiyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa perintah
menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban dan tidak diketahui
seseorang mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju
dengannya dari pengikut Ahlu Dhahir (Dhahiriyah), dan riwayat dari Imam
Ahmad.
Dalil yang menjelaskan hal tersebut adalah Firman Allah SWT:

Berkata Imam al-Maziri : Ayat di atas merupakan dalil mayoritas


ulama (bahwa menikah hukumnya sunnah), karena Allah SWT memberikan
pilihan antara menikah atau mengambil budak secara sepakat. Seandainya
menikah itu wajib, maka Allah tidaklah memberikan pilhan antara menikah
atau mengambil budak. Karena menurut ulama ushul fiqh bahwa
memberikan pilihan antara yang wajib dan yang tidak wajib, akan
menyebabkan hilangnya hakikat wajib itu sendiri, dan akan menyebabkan
orang yang meninggalkan kewajiban tidak berdosa. Perintah yang terdapat
8

dalam hadist Abdullah bin Masud di atas bukan menunjukkan kewajiban,


tetapi menunjukan al-istihbab (sesuatu yang dianjurkan).
Selanjutnya, Bahwa menikah maslahatnya kembali kepada orang
yang melakukannya terutama yang berhubungan dengan pelampiasan
syahwat, sehingga dikatakan bahwa perintah di atas sebagai bentuk
pengarahan saja.
2.

Hukum Menikah Menurut Kondisi Pelakunya


Adapun hukum

nikah jika dilihat dari kondisi

orang

yang

melakukannya adalah sebagai berikut :


a.

Kondisi Pertama
Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang mempunyai hasrat yang

tinggi untuk menikah karena syahwatnya bergejolak sedangkan dia


mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup. Dia merasa terganggu
dengan gejolak syahwatnya, sehingga dikawatirkan akan terjerumus di
dalam perzinaan.
Begitu juga seorang mahasiswa atau pelajar, jika dia merasa tidak
bisa konsentrasi di dalam belajar, karena memikirkan pernikahan, atau
seandainya dia terlihat sedang belajar atau membaca buku, tapi ternyata dia
hanya pura-pura, pada hakekatnya dia sedang melamun tentang menikah
dan selalu memandang foto-foto perempuan yang diselipkan di dalam
bukunya, maka orang seperti ini wajib baginya untuk menikah jika memang
dia mampu untuk itu secara materi dan fisik, serta bisa bertanggung jawab,
atau menurut perkiraannya pernikahannya akan menambah semangat dan
konsentrasi dalam belajar.
b.

Kondisi Kedua
Nikah hukumnya sunah bagi orang yang mempunyai syahwat, dan

mempunyai harta, tetapi tidak khawatir terjerumus dalam maksiat dan


perzinaan. Imam Nawawi di dalam Syareh Shahih Muslim menyebutkan
judul dalam Kitab Nikah sebagai berikut : Bab Dianjurkannya Menikah
Bagi Orang Yang Kepingin Sedangkan Dia Mempunyai Harta .

c.

Kondisi ketiga
Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai syahwat,

tetapi tidak mempunyai harta. Atau bagi orang yang mempunyai harta tetapi
tidak mempunyai syahwat.
d.

Kondisi Keempat
Nikah hukumnya makruh bagi orang yang tidak punya harta dan

tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat). Dikatakan makruh,


karena dia tidak membutuhkan perempuan untuk dinikahi, tetapi dia harus
mencari harta untuk menafkahi istri yang sebenarnya tidak dibutuhkan
olehnya. Tentu akan lebih baik, kalau dia mencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhannya terlebih dahulu. Selain itu, istrinya akan sedikit tidak terurus,
dan kemungkinan tidak akan mendapatkan nafkah batin, kecuali sedikit
sekali, karena sebenarnya suaminya tidak membutuhkannya dan tidak
terlalu tertarik dengan wanita.
Begitu juga seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah,
tetapi tidak punya harta yang cukup, maka baginya, menikah adalah
makruh.
Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan
untuk menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat : Pendapat
Pertama : Dia tidak dimakruhkan menikah tetapi lebih baik baginya untuk
konsentrasi dalam ibadah. Ini adalah pendapat Imam SyafiI dan mayoritas
ulama Syafiiyah. ; Pendapat Kedua : Menikah baginya lebih baik. Ini
adalah pendapat Abu Hanifah dan sebagian dari ulama Syafiiyah serta
sebagian dari ulama Malikiyah. Kenapa? karena barangkali istrinya bisa
membantunya dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, seperti memasak,
menyediakan makanan dan minuman, menyuci dan menyetrika bajunya,
menemaninya ngobrol, berdiskusi dan lain-lainnya. Menikah sendiri tidak
mesti melulu melakukan hubungan seks saja, tetapi ada hal-hal lain yang
didapat sepasang suami selama menikah, seperti kebersamaan, kerjasama,
keakraban, menjalin hubungan keluarga, ketenangan dan ketentraman.

10

e.

Kondisi Kelima
Nikah hukumnya haram, bagi yang merasa dirinya tidak mampu

bertanggung jawab dan akan menelantarkan istri dan anak. Syekh alUtsaimin memasukan pernikahan yang haram adalah pernikahan yang
dilakukan di Darul Harbi ( Negara Yang Memusuhi Umat Islam ), karena
dikhawatirkan musuh akan mengalahkan umat Islam dan anak-anaknya
akan dijadikan budak. Tetapi jika dilakukan dalam keadaan darurat, maka
dibolehkan.
C.

Tujuan Pernikahan dalam Islam


Berikut adalah tujuan pernikahan dalam Islam dengan disisipkan beberapa

perjelasan:
1.

Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi


Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk

memenuhi kebutuhan ini adalah dengan aqad nikah (melalui jenjang


pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti caracara orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina,
lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh
Islam.
2.

Untuk Membentengi Akhlaq Luhur dan Menundukkan Pandangan


Sasaran utama dari disyariatkannya pernikahan dalam Islam di

antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor


dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur.
Islam memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana
efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi
masyarakat dari kekacauan.
3.

Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami


Dalam Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya thalaq

(perceraian), jika suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas
Allah, sebagaimana firman Allah SWT dalam ayat berikut:

11

4.

Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah


Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk mengabdi dan

beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla dan berbuat baik kepada sesama
manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur
bagi peribadahan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal shalih yang
lain, bahkan berhubungan suami isteri pun termasuk ibadah (sedekah).
5.

Untuk Memperoleh Keturunan yang Shalih


Tujuan pernikahan di antaranya adalah untuk memperoleh keturunan

yang shalih, untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, sebagaimana


firman Allah Azza wa Jalla:

12

D.

Jodoh dalam Islam


Kata jodoh adalah kata yang dipakai dalam bahasa Indonesia untuk

menunjuk makna tertentu. Kata ini berbeda dengan kata suami, istri, pasangan
hidup atau yang semisal dengannya. Kata jodoh menurut kamus bahasa Indonesia
adalah pasangan yang cocok baik bagi laki-laki maupun perempuan. Oleh karena
itu kata jodoh memiliki makna yang lebih spesifik dari kata suami, istri, atau
pasangan hidup, sebab di sana terdapat penjelasan sifat lebih khusus dari sekedar
pasangan hidup. Dalam bahasa Arab, kata yang bermakna jodoh seperti yang
terdapat dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan.
Para fuqaha ketika membahas hukum pernikahan hanya menyebut istilah
Zauj atau Balun untuk suami dan Zaujatun atau Imroatun untuk istri yakni
istilah-istilah yang berkonotasi netral tanpa ada penekanan sifat tertentu
sebagaimana kata suami, istri, atau pasangan hidup dalam bahasa Indonesia.
Adapun makna jodoh yang menjadi topik diskusi di sini adalah orang atau
individu tertentu yang akan menjadi pasangan hidup. Dengan titik diskusi apakah
Alloh telah menentukan dalam Lauhul Mahfudz, sebelum manusia dilahirkan
bahwa ia akan dipasangkan dengan individu tertentu atau tidak?. Artinya apakah
Alloh sudah mentandirkan dalam azal bahwa A akan dipasangkan dengan B, atau
tidak?.
Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu harus dilakukan studi yang
mendalam terhadap nash-nash yang terkait dengan topik tersebut berdasarkan AlQuran dan Assunnah atau dail yang ditunjuk keduanya seraya mengesampingkan
semua dasar yang tidak terkait dengan nash Al-Quran dan Assunnah baik ia
berupa adat, tradisi, pameo, peribahasa, dan sebagainya. Hanya saja, pembahasan
tentang jodoh termasuk perkara Qadha atau bukan tidak boeh dicampur adukkan
dengan pembahasan keimanan bahwa Alloh adalah Maha Pengatur. Sebab,
pembahasan jodoh termasuk perkara Qadha atau bukan adalah suatu hal,
sementara pembahasan tentang keimanan bahwa Alloh adalah Maha Pengatur.
Masing-masing adalah topik tersendiri yang harus dibahas berdasarkan
nash-nash yang terkait dengan topik itu. Mencampur adukkan dua topik
pembahasan ini adalah langkah keliru karena bertentangan dengan fakta
pembahasan, sebagaimana bisa berakibat kekacauan terhadap pemahaman.

13

Dengan demikian dua macam pembahasan itu harus dipisahkan. Tinjauan sekilas
terhadap persoalan jodoh menunjukan bahwa persoalan ini adalah termasuk
masalah aqidah, sebab keperayaan bahwa Alloh mentakdirkan A berpasangan
dengan B, atau Alloh tidak mentakdirkan itu adalah jenis keyakinan, bukan amal.
1.

Benarkan Jodoh Sudah ditentukan oleh Alloh ?


Tentu saja jodoh sudah ditentukan oleh Alloh bahkan bukan hanya

jodoh, semua hal mengenai diri manusia duah ditentukan oleh Alloh ketika
manusia berada di Lauhul Mahfudz. Dalam sebuah riwayat Bukhori dan
Muslim dari Ibnu Masud ra, dikabarkan bahwa Rosululloh SAW, bersabda
yang artinya sesungguhnya proses penciptaan setiap orang dari kalian
berada di perut ibunya selama 40 hari berupa segumpal air mani. Selanjutnya
ia berubah menjadi segumpal darah dalam masa yang sama. Kemudian ia
berubah menjadi segumpal daging dalam masa yang sama. Lalu Alloh
mengutus seorang malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya disamping
diperintahkan untuk menuliskan empat perkara, yakni rizqinya, ajalnya,
perilakunya, dan bahagia celakanya.
2.

Apakah Jodoh yang sudah ditetapkan oleh Alloh bisa diubah ?


Apakah jodoh (dan segala takdir) yang ditentukan Alloh bisa dirubah?.

Ya dan tidak. Takdir itu bisa diubah oleh manusia, tetapi dapat diubah oleh
Alloh. Alloh SWT berfirman:

Karena jodoh (dan segala takdir) itu hanya bisa diubah oleh Alloh,
apakah sebaiknya manusia menunggu takdir dari Alloh saja tanpa perlu
berusaha lagi?. Alih-alih, Alloh dan Rosul-Nya mempersilakan manusia untuk
berusaha supaya Alloh mengubah takdir manusia itu. Alloh SWT berfirman:

14

E.

Memilih Calon Istri/Suami Menurut Islam


Setiap orang yang berumah tanggah tentu mengharapkan keluarganya akan

menjdi keluarga yang sakinah mawadah warakhmah. Kehidupan rumah tangganya


dapat menjadi surga di dunia dapat menjadi diri dan keluarganya. Apalagi pada
saat ini banyak sekali kasus peceraian keluarga dijumpai ditengah-tengah
masyakat yang semakin berkembang ini. Alasan dalam peceraian itu bermacammacam, dari alasan pendapatan istri lebih besar dari pada suami, selingkuh dengan
adanya orang ketiga, kekerasan dalam rumah tanggah, dan lain-lain.
Maka dari itu dalam membanggun mahligai surga rumah tangga, persiapan
awal harus dilakukan pada saat memilih jodoh. Islam mengangjurkan kepada
umatnya ketika mencari jodoh itu harus berhati-hati baik laki-laki maupun
perempuan, hal ini dikarenakan masa depan kehidupan rumah tangga itu
berhubungan sangat erat dengan cara memilih suami maupun istri. Untuk itu kita
sebagai umat muslim harus memperhatikan kriteria dalam memilih pasangan
hidup yang baik.
Dasar firman Allah SWT yang berbunyi Dan kawinkanlah orang-orang
yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurniaNya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
Dan dari sabda Rasullah yang artinya Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi
Muhammad SAW beliau bersabdah : sesunguhnya seorang wanita itu dinikahi
atas empat perkara, yaitu : harta, nasab, kecantikan, dan agamanya, maka
perolehlah yang mempunyai agama maka akan berdeburlah tanganmu..
Dalam memilih istri hendaknya menjaga sifat-sifat wajib. Syeh Jalaluddin
Al-qosimi Addimasyai dalam kitab Al-mauidotul Mukminin menyebutkan ada
kriteria bagi laki-laki dalam memilih jodoh :
1.

Baik agamanya : hendaknya ketika memilih istri

itu harus

memperhatikan agama dari sisi istri tersebut.


2.

Luhur budi pekertinya : seorang istri yang luhur budi pekertinya selalu
sabar dan tabah menghadapi ujian apapun.

15

3.

Cantik wajahnya : Kecantikan wajah yang disertai kesolehahan prilaku


membuat pasangan tentram dan cenderung melipahkan kasih sayangnya
kepadanya.

4.

Ringan maharnya : Rasullullah bersabda : salah satu tanda keberkahan


perempuan adalah cepat kawinnya, cepat melahirkannya, dan murah
maharnya.

5.

Subur : artinya cepat memperoleh keturunan dan wanita itu tidak


berpenyakitan.

6.

Masih perawan : jodoh yang terbaik bagi seorang laki-laki perjaka


adalah seorang gadis. Rasullullah pernah mengikatkan Jabbir RA yang
akan menikahi seorang janda : alangkah baiknya kalau istrimu itu
seorang gadis, engkau dapat bermain-main dengannya dan ia dapat
bermain-main denganmu.

7.

Keturunan keluarga baik-baik : dengan sebuah hadist Rasullallah


besabda : jauhilah dan hindarkan olehmu rumput mudah tumbuh
ditahi kerbau. Maksudnya : seorang yang cantik dari keturunan orangorang jahat.

8.

Bukan termasuk muhrim


Kedekatan hubungan darah membuat sebuah pernikahan menjadi

hambar, disamping itu menurut ahli kesehatan hubungan darah yang sangat
dekat dapat menimbulkan problem genetika bagi keturunannya.
Dalam memilih calon suami bagi anak perempuan hendaknya memilih
orang yang memiliki akhlak, kehormatan dan nama baik. Dengan demikian jika
ia menggauli istrinya maka istrinya maka ia menggaulinya dengan baik, jika
menceraikan maka ia menceraikan dengan baik. Rasullah bersabda :barang
siapa mengawinkan anak perempuannya denga orang yang fasik makasungguh
dia telah memutuskan hubungan persaudaraan. Seorang laki-laki berkata
kepada hasan bin ali, sesungguhnya saya memiliki seorang anak perempuan
maka siapakah menurutmu orang cocok agar saya dapat menikahkan
untuknya? hasan menjawab :nikahkanlah dia dengan seorang yang beriman
kepada Allah SWT, jika ia mencintainya maka dia akan memuliahkannya dan
jika dia membencinya maka dia tidak mendzoliminya.

16

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Meninjau dari uraian pembahasan pada Bab II, penulis dapat menarik

kesimpulan antara lain:


1.

Perkawinan menurut syara yaitu akad yang ditetapkan syara untuk


membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.

2.

Hukum nikah menurut Islam adalah Sunnah karena Ini merupakan


pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Nawawi : Ini adalah
madzhab kita (Syafiiyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa perintah
menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban dan tidak diketahui
seseorang mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju
dengannya dari pengikut Ahlu Dhahir (Dhahiriyah), dan riwayat dari
Imam Ahmad.

3.

Tujuan pernikahan antaralain: untuk memenuhi tuntutan naluri manusia


yang asasi, untuk membentengi akhlak luhur dan menundukkan
pandangan,

untuk

menegakkanr

tangga

yang

Islami,

untuk

meningkatkan ibadah kepada Allah, dan untuk memperoleh keturunan


yang shalih.
4.

Jodoh (dan berbagai hal) sudah ditentukan oleh Alloh, tetapi manusia
bisa berusaha agar Alloh berkehendak untuk merubahnya.

5.

Dalam memilih istri/suami hendaknya menjaga sifat-sifat wajib. Syeh


Jalaluddin Al-qosimi Addimasyai dalam kitab Al-mauidotul Mukminin
menyebutkan ada kriteria bagi laki-laki dalam memilih jodoh
diantaranya baik agamanya, Luhur budi pekertinya, cantik wajahnya,
ringan maharnya, subur, masih perawan, keturunan keluarga baik-baik,
dan bukan termasuk muhrim

17

DAFTAR PUSTAKA
Andriani Nurmalia. (2013). Pengertian Pernikahan Menurut Islam. [Online].
Tersedia:
http://nurmaliaandriani95.blogspot.com/2013/09/pengertianpernikahan-menurut-islam.html (diakses pada 21 Mei 2015).
Departemen Agama. (1993). Al-Quran dan Terjemahnya. Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Quran. Surabaya : Surya Citra Aksara.
Hashem, O. (1965). Marxisme dan Agama. Surabaya : Yayasan Pendidikan Islam
Islam Diaries. (2012). Tujuan Pernikahan dalam Islam. [Online]. Tersedia:
http://islamdiaries.tumblr.com/post/37326522822/tujuan-pernikahandalam-islam (diakses pada 21 Mei 2015).
Makalah Islam. (2013). Pengertian, Hikmah, Tujuan, dan Hukum Nikah. [Online].
Tersedia: http://islammakalah.blogspot.com/p/blog-page_27.html (diakses
pada 21 Mei 2015).
Sayyid Sabiq. (1973). Fiqh Sunnah. Jilid 1-2 Cetakan ke-1. Bandung : PT.AlMarif.
Zain Ahmad. (2011). Pengertian Menikah dan Hukumnya. [Online]. Tersedia:
http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/271/pengertian-menikah-danhukumnya/#_ftn4 (diakses pada 21 Mei 2015).

18

Anda mungkin juga menyukai