Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Munakahat
Disusun Oleh:
Ciko (11190454000024)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Selawat
serta salam semoga terlimpahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW
yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami sebagai penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan
nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Bahasa Indonesia
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat
menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen
Bahasa Indonesia kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang universal , agama yang mencakup semua sisi kehidupan.
Tidak ada masalah di dunia ini yang tidak dijelaskan, dan tidak ada satupun masalah yang
tidak disentuh dalam islam. Walaupun masalah tersebut terlihat kecil atau sepele, itulah
islam agama yang memberi rahmat bagi alam semesta.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Khitbah?
2. Apa Hikmah dilaksanakannya Khitbah?
3. Bagaimana Hukum melaksanakan Khitbah?
4. Bagaimana Tata cara melakasanakan Khitbah?
5. Bagimana Konsekuensi Hukum Khitbah?
6. Apa Pengertian Kafaah?
7. Bagaimana Ukuran dan Kedudukan Kafaah dalam Akad Nikah?
C. Tujuan
1. Untuk menambah pengetahuan mahasiswa tentang apa itu khitbah secara jelas dan
supaya ketika menjalani khitbah bisa menjalaninya dengan baik dan benar.
2. Untuk menambah pengetahuan mahasiswa tentang apa itu kafaah secara jelas dan
bisa menjadi acuan ketika ingin mencari pasangan hidup.
D. Manfaat
1. Untuk membuat mahasiswa lebih mengenal lagi apa itu khitbah.
2. Untuk membuat mahasiswa lebih mengenal lagi apa itu kafaah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khitbah
Khitbah secara etimologi (bahasa) artinya adalah meminang atau melamar (antara
lain) meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain), sedangkan
menurut terminologi peminangan ialah kegiatan atau upaya ke arah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita, atau seorang laki-laki meminta
kepada seorang peempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku
ditengah masyarakat.1
Berikut khitbah didefenisikan dengan beberapa defenisi oleh para ulama:
a. Sayyid Sabiq mendefenisikan bahwa khitbah adalah meminta perempuan untuk
dapat dinikahi atau dikawini dengan perantaraan yang dikenal baik diantara
manusia.
b. Abu Zahrah mendefenisikan khitbah dengan permintaan seorang laki-laki
kepada wali atau seorang perempuan dengan maksud untuk menikahi
perempuan itu.
c. Zakaria Al-Anshari mendefenisikan bahwa khitbah adalah permintaan pelamar
untuk menikah kepada pihak tunangan.
d. Para Ulama Fiqh mendefenisikan khitbah sebagai keinginan pihak laki-laki
kepada perempuan tertentu untuk menikahinya dan pihak perempuan
1
Tihami,Sahrani Sohari,Fiqh Munakahat :Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2009) hal
24
C. Hukum melaksanakan Khitbah
Peraturan islam tidak melarang peminangan yang datang dari perempuan atau dari
walinya. Kalau kita runtut sejarah hukum peminangan menyatakan bahwa sebelum Nabi
Muhammad Saw diutus sudah ada, salah satu contoh apa yang diajarkan Nabi Syu’aib As
pernah menawarkan anaknya kepada Musa hal ini telah disebutkan dalam Al-Qur’an surat
al-Qashas ayat 27 yang artinya :
Dalam konteks hukum peminangan tidak menjadi perdebatan apakah laki-laki, wali
atau perempuan itu sendiri, adapun yang dilakukan oleh perempuan hal ini dikatakan boleh
sebagaimana dicontohkan oleh Khadijah meminang baginda Nabi Muhamad Saw. Di
dalam syari’at islam pun boleh meminangkan seorang anak perempuan oleh bapaknya
sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah yang meminangkan anak perempuannya kepada
Usman bin Affan, selain itu juga Umar bin Khattab pernah menawarkan anaknya (Hafsah)
kepada petinggi sahabat.
a. Menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang dalam arti tidak mungkin dipahami
dari ucapan itu kecuali untuk khitbah seperti ucapan: “saya berkeinginan untuk
menikahimu”
2
Wafa, Moh.Ali,Hukum Perkawinan di Indonesia(Tangerang Selatan:Yayasan Asy-Syari’ah Modern Indonesia,2018)
hal 67-68
b. Menggunakan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang seperti ucapan: “tidak ada
orang yang tidak senang kepadamu”.
Khitbah adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului perkawinan dan menurut
biasanya setelah itu dilakukanlah perkawinan. Namun khitbah itu bukanlah suatu
perjanjian yang mengikat untuk dipatuhi. Laki-laki yang meminng atau perempuan yang
dipinang dalam masa menjelang perkawinan dapat saja membatalkan khitbah tersebut.
meskipun demikian, pemutusan khitbah itu dilakukan secara baik dan tidak menyakiti
pihak manapun. Pemberian yang dilakukan dalam acara khitbah itu tidak mempunyai
kaitan apa-apa dengan mahar perkawinan. Dengan demikian, pemberian tersebut dapat
diambil kembali bila khitbah itu tidak berlanjut.
1. Pinangan atau khitbah belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan khitbah.
2. Kebebasan memutuskan hubungan khitbah atau peminangan dilakukan dengan tata cara
yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina
kerukunan dan saling menghargai.
F. Pengertian Kafaah
Kafaah artinya secara bahasa adalah sama atau sepadan. Yang dimaksud ialah
kesepadanan antara suami dan istrinya, baik status sosialnya, ilmunya, akhlaknya maupun
hartanya.
Dewasa ini orang lebih banyak mengutamakan harta, mereka jadikan ukuran status
social, padahal itu salah.
Ibnu Hazm mengatakan:“Orang islam mana pun asal bukan pezina berhak
mengawini wanita muslimah mana saja, selagi bukan pezina”4
Yang menjadi ukuran dalam kafaah sebenarnya adalah keteguhan beragama dan
akhlak, bukan nasab,usaha, kekayaan ataupun sesuatu yang lain. Jadi bagi laki-laki yang
sholeh, sekalipun bukan dari keturunan yang terpandang, ia boleh kawin dengan wanita
manapun.
Untuk itu, ketentuan islam dalam memilih jodoh adalah ketekunan beragama dan
akhlak yang luhur, dan bahwa kemegahan, harta, nasab dan lain-lain itu tidak diakui islam.
Karena dalam pandangan islam semua manusia adalah sama, hanyalah didasarkan pada
taqwa masing-masing kepada Allah.
Ukuran dalam kafa’ah adalah sikap hidup yang lurus dan sopan, bukan karena
keturunan, pekerjaan, kekayaan, dan sebagainya. laki-laki yang memililki kebesaran
apapun berhak menikah dengan perempuan yang memilki derajat dan kemasyuran yang
tinggi. Begitu pula dengan laki-laki yang fakir sekalipun, ia berhak dan boleh menikah
dengan perempuan yang kaya raya, asal kan laki-laki muslim dan dapat menjauhkan diri
dari meminta-minta serta tidak seorangpun dari walinya menghalanginya. Ibnu Rusyd
berkata: Dikalangan mashab Maliki tidak diperselisihkan lagi bahawa apabila seorang
gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamar(pemabuk)., atau
singkatnya dengan orang yang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak perkawinan
tersebut. Kemudian hakim hakim memeriksa perkaranya dan menceritakan antara
keduanya . begitu pula jika seorang gadis di nikahkan dengan pemilik harta haram atau
dengan orang yang banyak bersumpah dengan kata-kata talak.
Segolongan fuqaha ada yang memahami bahwa faktor agama sajalah yang jadikan
pertimbanga. Faktor yang berdasarkan sabda Nabi Saw. Adapun golongan lainnya
berpendapat bahwa faktor keturunan (nasab) sama kedudukannya dengan faktor agama,
demikian pula dengan faktor kekayaan, dan tidak ada yang keluar dari ruang lingkup
kafa’ah, terkecuali apa yang di keluarkan oleh ijmak, bahwa kecantikan tidak termasuk
dalam ruang lingkup kafa’ah. Di kalangan mashab Maliki, juga tidak diperselihkan bahwa
4
Tim Penyusun Materi Nisaiyah, Kulliyatul -1-Mu’allimat Al-Islamiyah (Pesantren Putri Pondok Modern
Gontor,1997)
faktor kemiskinan( pada pihak laki-laki) termasuk slah satu dalam perkara yang
menyebabkan pihak perempuan membatalkan pernikhanan.
Jika melihat dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang ditinjau dari segi kemanusiaan,
manusia itu sama dengan tersebut dalam Al-Hujarat ayat 13, seperti yang telah disinggung
di atas.
Melihat arti ayat dan hadist di atas dapat disimpulkan bahwa, Manusia sama
derajatnya, hanya takwalah yang membedakan manusia satu dengan yang lainny, bukan
seperti kebangsawanan dan kebangsaan ataupun kecantikan. Dalam masalah perkawinan
yang termasuk Sunnah Nabi membina keluarga yang sejahtera itu dalam agama yang
seharusnya menjadi titik yang paling penting, untuk mendapatkan derajat kebahagian
dalam berumah tangga.5
Kedudukan kafaah dalam akad nikah yaitu adalah sunnah, kafaah ini sifatnya
anjuran sebab kafaah adalah hak bagi seorang wanita dan juga walinya , sehingga keduanya
bisa saja menggugurkannya untuk tidak dinkahkan dengan laki-laki yang tidak sekufu
dengannya.
5
Tihami,Sahrani Sohari,Fiqh Munakahat :Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2009) hal
57
BAB III
PENUTUP
Perkawinan sama halnya dengan hukum alam di dunia. Perkawinan juga bisa
dikatakan mubah, tergantung dilihat kepada tingkat kemaslahatannya. Dalam pernikahan
ada beberapa tahapan-tahapan yang harus dilakukan seperti halnya, meminang atau
melamar yang artinya meminta wanita untuk di jadikan istri ( bagi diri sendiri atau orang
lain). Peminangan ini yang merupakan pendahuluan perkawinan yang disyartakan sebelum
ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasari kerelaan
yang didapatkan dari penelitian, pengetahuan, serta kesadaran masing-masing pihak. Dan
memiliki tujuan dalam perkawinan yang ingin mewujudkan suatu kelurga yang bahagia
bedasarkan cinta dan kasih sayang sehingga masakah keseimbangan dalam perkawinan
terwujud.
DAFTAR PUSTAKA