Anda di halaman 1dari 13

Nikah Beda Agama Perspektif Fikih (Munakahat)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah

Studi Fikih

Dosen Pengampu:

Mughniatul Ilma, M.H.

Oleh :

Ya'lu M. Hubbik (208200093)

PROGRAM STUDI TADRIS IPS C

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, inayah dan
hidayah-NYA kepada kita semua, serta mencurahkan karunia-NYA kepada kita, sehingga
pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini.

Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita semua yakni
Nabi akhir zaman, Nabi Muhammad SAW. Berkat beliaulah kita bisa keluar dari jalan yang
penuh kesesatan menuju jalan yang terang dan jalan yang ridhoi oleh Allah.

Alhamdulillah makalah tentang Nikah Beda Agama Perspektif Fikih (Munakahat) ini
dapat selesai tepat pada waktunya. Kiranya dalam makalah ini masih terdapat banyak
kesalahan, saya mohon maaf dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.Amin..

Kediri, 08 Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Bab I Pendahuluan................................................................................................4

A. Latar Belakang...........................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah......................................................................................................................4

C. Tujuan Pembahasan....................................................................................................................4

Bab II Pembahasan................................................................................................5

A. Pengertian Pernikahan................................................................................................................5

B. Hukum Nikah Beda Agama........................................................................................................5

C. Jenis-Jenis Nikah Beda Agama...................................................................................................5

D. Pendapat Ulama’ Tentang Pernikahan Beda Agama.................................................................10

Bab III PENUTUP...............................................................................................11

A. Kesimpulan...............................................................................................................................11

B. Saran.........................................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................13
Bab I
Pendahuluan

A. Latar Belakang

Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti
nalurinya dan berhubungan antara laki-laki dan perempuan secara anarki, dan tidak ada satu
aturan, tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemulyaan manusia, Allah adakan
hukum sesuai dengan martabatnya.

Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan
berdasarkan saling ridho-meridhoi, dengan ucapan ijab qobul sebagai lambang dari adanya
rasa ridho –meridhoi, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau kedua pasangan
laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.

Bentuk pernikahan ini telah memberikan jalan yang aman untuk menjaga nalurinya,
memelihara keturunan dengan baik dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput
yang bisa dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya. Pergaulan suami istri diletakkan
di bawah naungan keibuan dan kebapakan, sehingga nantinya akan menumbuhkan tumbuh-
tumbuhan yang baik dan membuahkan buah yang bagus.

Peraturan pernikahan seperti inilah yang diridhoi Allah dan diabadikan Islam untuk
selamanya, sedangkan yang lainnya diharamkan. Untuk itu dalam makalah ini akan jelaskan
tentang Nikah Beada Agama, agar orang-orang tidak salah faham mengenai hukumnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Pernikahan ?

2. Apa Hukum Nikah Beda Agama ?

3. Apa Saja Jenis-Jenis Nikah Beda Agama ?

4. Bagaimana Pendapat Ulama’ Tentang Nikah Beda Agama ?

C. Tujuan Pembahasan

Untuk memahami serta mengetahui pengertian Pernikahan, hukum nikah beda agama,
Jeni-jenis nikah beda agama, dan pendapat ulama’ tentang nikah beda agama.
Bab II
Pembahasan

A. Pengertian Pernikahan

Pernikahan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Allah,
baik pada maanusia, hewan maupun tumbuhan. Seperti firman Allah dalam surat yasin:36.

“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu berjodoh-jodohan, baik
tumbuh-tumbuhan maupun diri mereka sendiri dan lain-lain yang tidak mereka ketahui.”

Pernikahan merupakan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk
beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah masing- masing pasangan siap
melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan.

B. Hukum Nikah Beda Agama

Seringkali kita jumpai pertanyaan “apa hukumnya bila nikah beda agama, baik yang
laki-laki atau perempuannya yang muslim, apa sah atau tidak menurut Islam ?”. Pertanyaan
ini sering muncul terutama ketika kita berada di sebuah negara yang mayoritas penduduknya
non muslim.

Menurut hukum Islam seorang Muslim, baik pria maupun wanita menikah dengan
orang yang berbeda agama? Masalah perkawinan beda agama telah mendapat perhatian serius
para ulama di Tanah Air. Hukum nikah demikian tidak sah, sebagaimana telah diputuskan
dalam Muktamar NU tahun 1962 dan Muktamar Thariqah Mu’tabarah tahun 1968. Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional II pada tahun 1980 juga telah
menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama. MUI menetapkan dua keputusan terkait
pernikahan beda agama ini.

C. Jenis-Jenis Nikah Beda Agama

Nikah Beda Agama Ada 2 jenis:

1. Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam

Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam Hukum mengenai


perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non- Islam adalah jelas-jelas dilarang
(haram). Dalil yang digunakan untuk larangan menikahnya muslimah dengan laki-laki non
Islam adalah Surat Al Baqarah(2):221.

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.


Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.”

Jadi, wanita muslimah dilarang atau diharamkan menikah dengan non muslim, apapun
alasannya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Alquran di atas. Bisa dikatakan, jika
seorang muslimah memaksakan dirinya menikah dengan laki-laki non Islam, maka akan
dianggap berzina.

2. Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam Pernikahan seorang


lelaki Muslim dengan perempuan non muslim terbagi atas 2 macam:

a. Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab.

Yang dimaksud dengan Ahli Kitab di sini adalah agama Nasrani dan Yahudi (agama
samawi). Hukumnya boleh, dengan dasar Surat Al Maidah(5):5.

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-
wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-
gundik.”

Ibnu Mundzir berkata : tidaklah benar bahwa ada salah seorang sahabat yang
mengharamkan kawin dengan perempuan Ahli kitab. Dari Ibnu Umar, bahwa pernah ia
ditanya orang tentang laki-laki muslim kawin dengan perempuan Nashrani atau Yahudi.
Jawabnya : Allah mengharamkan orang-orang mukmin kawin dengan perempuan musyrik.
Sedangkan menurut saya tidak ada perbuatan musyrik yang lebih besar daripada perempuan
yang mengatakan, Isa sebagai Tuhannya atau salah seorang oknum Tuhan.
Kata Qurthubi, Nuhas berkata : pendapat ini menyimpang dari pendapat kelompok
besar yang telah dijadikan hujjah, sebab yang berpendapat halal kawin dengan perempuan
Ahli kitab terdiri dari golongan sahabat dan tabi’in. Dari golongan sahabat diantaranya :
Utsman, Thalhah, Ibnu Abbas, Jabir dan Hudzaifah. Dari golongan tabi’in di antaranya : Sa’id
bin Musayyab, Sa’id bin Jubbair, dll.

Makruhnya Nikah dengan perempuan Ahli Kitab: Nikah dengan perempuan Ahli kitab
sekalipun boleh tetapi dianggap makruh, karena adanya rasa tidak aman dari gangguan-
gangguan keagamaan bagi suaminya atau bisa saja ia menjadi alat golongan agama. Jika
perempuan dari golongan Ahli kitab yang bermusuhan dengan kita, maka dianggap lebih
makruh lagi sebab berarti akan memperbanyak jumlah orang yang akan menjadi musuh kita.

Bahkan segolongan ulama memandang haram nikah dengan perempuan Ahli kitab
yang memusuhi kita ini.

Ibnu Abbas pernah ditanya tentang hal ini, yang jawabnya tidak halal, sesuai dengan
firman Allah dalam surat At-taubat:29 . “perangilah mereka yang tidak beriman kepada
Allah dan hari kemudian dan beragamaa dengan agama yang benar, dari oran-orang Ahli
kitab, sehingga mereka membayarkan Jizyah (pajak) dari tangannya dengan merendahkan
diri.”

b. Lelaki Muslim dengan perempuan non Ahli Kitab.

Untuk kasus ini, banyak ulama yang melarang, dengan dasar Al Baqarah(2):221.

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.


Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.”

Banyak ulama yang menafsirkan bahwa Al Kitab di sini adalah Injil dan Taurat.
Dikarenakan agama Islam, Nasrani dan Yahudi berasal dari sumber yang sama, agama
samawi, maka para ulama memperbolehkan pernikahan jenis ini. Untuk kasus ini, yang
dimaksud dengan musyrik adalah penyembah berhala, api, dan sejenisnya. Untuk poin 2,
menikah dengan perempuan yang bukan ahli kitab, para ulama sepakat melarang.
Dari sebuah literatur, di dapatkan keterangan bahwa Hindu, Budha atau Konghuchu
tidak termasuk agama samawi (langit) tapi termasuk agama ardhiy (bumi). Karena benda yang
mereka katakan sebagai kitab suci itu bukanlah kitab yang turun dari Allah SWT. Benda itu
adalah hasil pemikiran para tokoh mereka dan filosof mereka. Sehingga kita bisa bedakan
bahwa kebanyakan isinya lebih merupakan petuah, hikmah, sejarah dan filsafat para
tokohnya.

Kita tidak akan menemukan hukum dan syariat di dalamnya yang mengatur masalah
kehidupan. Tidak ada hukum jual beli, zakat, zina, minuman keras, judi dan pencurian.
Sebagaimana yang ada di dalam Al-Quran Al-Karim, Injil atau Taurat. Yang ada hanya etika,
moral dan nasehat. Benda itu tidak bisa dikatakan sebagai kalam suci dari Allah yang
diturunkan melalui malaikat Jibril dan berisi hukum syariat. Sedangkan Taurat, Zabur dan
Injil, jelas-jelas kitab samawi yang secara kompak diakui sebagai kitabullah.

Sementara itu, Imam Syafi’i dalam kitab klasiknya, Al-Umm, mendefinisikan


Kitabiyah dan non Kitabiyah sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah
orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan bangsa Israel asli. Adapun
umat-umat lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka tidak termasuk
dalam kata ahlul kitab. Sebab, Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali untuk
Israil dan dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi umat-umat setelah Bani israil.”

Sementara itu, para jumhur shahabat membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita
kitabiyah, diantaranya adalah Umar bin Al-Khattab, Ustman bin Affan, Jabir, Thalhah,
Huzaifah. Bersama dengan para shahabat Nabi juga ada para tabi`Insya Allah seperti Atho`,
Ibnul Musayib, al-Hasan, Thawus, Ibnu Jabir Az-Zuhri. Pada generasi berikutnya ada Imam
Asy-Syafi`i, juga ahli Madinah dan Kufah. Yang sedikit berbeda pendapatnya hanyalah Imam
Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, dimana mereka berdua tidak melarang hanya
memkaruhkan menikahi wanita kitabiyah selama ada wanita muslimah.

Pendapat yang mengatakan bahwa nasrani itu musyrik adalah pendapat Ibnu Umar.
Beliau mengatakan bahwa nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm yang mengatakan
bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa.
Sehingga menurut mereka menikahi wanita ahli kitab itu haram hukumnya karena mereka
adalah musyrik.
Namun jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa wanita kitabiyah itu boleh dinikahi,
meski ada perbedaan dalam tingkat kebolehannya. Namun demikian, wanita muslimah yang
komitmen dan bersungguh-sungguh dengan agamanya tentu lebih utama dan lebih layak bagi
seorang muslim dibanding wanita ahlul kitab. Juga apabila ia khawatir terhadap akidah anak-
anak yang lahir nanti, serta apabila jumlah pria muslim sedikit sementara wanita muslimah
banyak, maka dalam kondisi demikian ada yang berpendapat haram hukumnya pria muslim
menikah dengan wanita non muslim.

Dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab namun tidak
sebaliknya karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa atas isterinya, dan
bertanggung jawab terhadap dirinya. Islam menjamin kebebasan aqidah bagi isterinya, serta
mlindungi hak-hak dan kehormatannnya dengan syariat dan bimbingannya. Akan tetapi,
agama lain seperti nasrani dan yahudi tidak pernah memberikan jaminan kepada lelaki isteri
yang berlainan agama.

Pernikahan muslim dengan wanita kafir yang bukan murni ahli kitab, seperti wanita
penyembah berhala, Majusyi, atau salah seorang dari kedua orang tuanya adalah orang kafir,
sebagaimana firman Alloh SWT: “Dan janganlah kamu nikahi wanita – wanita musyrik
sebelum mereka beriman”. Pelarangan dalam ayat tersebut menunjukkan keharamannya.

Yang dimaksud dengan wanita ahli kitab yang masih murni, adalah wanita israel. Ia
halal bagi kita sebagaimana firman Alloh Swt.: “(dan dihalalkan mengawini) wanita – wanita
yang memiliki kehormatan diantara orang – orang yang diberi al – kitab sebelum kamu”.
Yang dimaksud dengan Al- kitab, adalah Taurat dan injil, dan bukan kitab – kitab yang lain
sebelumnya, seperti kitab Nabi Syist, idris, dan ibrahim a.s., karena kitab – kitab tersebut
tidak diturunkan secara teratur sistematik, dan bisa dipelajari ataupun dibaca. Para nabi
tersebut hanya diberi wahyu tentang pengertian – pengertiannya saja, atau karena kitab – kitab
tersebut hanya memuat kata hikmah dan nasehat – nasehat, dan tidak memuat hukum –
hukum syariat.

Bagi orang yang pindah agama, seperti orang Yahudi atau penyembah berhala menjadi
Nasrani atau sebaliknya, maka tidak akan diterima kecuali islam. karena ia telah mengakui
ketidakbenaran agama yang ditinggalkannya itu dan mengakui pula ketidakbenaran agama
baru yang dipeluknya.
Disepakati, tidak sah wanita muslimah menikah dengan lelaki kafir, baik merdeka
ataupun budak. Tidak sah pula wanita murtad menikah dengan siapapun, tidak dengan lelaki
muslim karena wanita tersebut telah dan tidak mengakui apapun, dan tidak sah pula menikah
dengan lelaki kafir karena masih adanya ikatan islam pada dirinya.

D. Pendapat Ulama’ Tentang Pernikahan Beda Agama

Masalah pernikahan beda agama telah mendapat perhatian serius para ulama di Tanah
Air. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional II pada 1980 telah
menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama. MUI menetapkan dua keputusan terkait
pernikahan beda agama ini.

Pertama, para ulama di Tanah Air memutuskan bahwa pernikahan wanita Muslim
dengan laki-laki non-Muslim hukumnya haram. Kedua, seorang laki-laki Muslim diharamkan
mengawini wanita bukan Muslim. Perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahlul
kitab memang terdapat perbedaan pendapat. "Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya
lebih besar dari maslahatnya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram,"
ungkap Dewan Pimpinan Munas II MUI, Prof Hamka, dalam fatwa itu.

Dalam memutuskan fatwanya, MUI menggunakan Alquran dan Hadis sebagai dasar
hukum. "Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka ber iman (masuk
Islam). Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan wanita orangorang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih
baik dari orang musyrik, meskipun ia menarik hatimu..." (QS: al-Baqarah:221).

Selain itu, MUI juga menggunakan Alquran surat al-Maidah ayat 5 serta at Tahrim
ayat 6 sebagai dalil. Sedangkan, hadis yang dijadikan dalil adalah Sabda Rasulullah SAW
yang diriwayatkan Tabrani: "Barang siapa telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian
dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa (takut) kepada Allah dalam bagian yang lain."

Ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama.
Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989.
Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama
di Indonesia hukumnya tidak sah.

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa tentang
penikahan beda agama. Secara tegas, ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa seorang
wanita Muslim dilarang menikah dengan pria non-Muslim. Hal itu sesuai dengan surat al-
Baqarah ayat 221, seperti yang telah disebutkan di atas. "Berdasarkan ayat tersebut, laki-laki
Mukmin juga dilarang nikah dengan wanita non- Muslim dan wanita Muslim dilarang
walinya untuk menikahkan dengan laki-laki non- Muslim," ungkap ulama Muhammadiyah
dalam fatwanya.

Ulama Muhammadiyah pun menyatakan nikah beda agama juga dilarang dalam
agama Nasrani. Dalam perjanjian alam, kitab ulangan 7:3, umat Nasrani juga dilarang untuk
menikah dengan yang berbeda agama. "Dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 juga
disebutkan bahwa: "Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu."

"Jadi, kriteria sahnya perkawinan adalah hukum masing-masing agama yang dianut
oleh kedua mempelai," papar ulama Muhammadiyah dalam fatwanya. Ulama Muhammadiyah
menilai pernikahan beda agama yang dicatatkan di kantor catatan sipil tetap tak sah nikahnya
secara Islam. Hal itu dinilai sebagai sebuah perjanjian yang bersifat administratif.

Ulama Muhammadiyah memang mengakui adanya perbedaan pendapat tentang


bolehnya pria Muslim menikahi wanita non-Muslim berdasarkan surat al- Maidah ayat 5.
"Namun, hendaknya pula dilihat surat Ali Imran ayat 113, sehingga dapat direnungkan ahli
kitab yang bagaimana yang dapat dinikahi laki-laki Muslim," tutur ulama Muhammadiyah.

Dalam banyak hal, kata ulama Muhammadiyah, pernikahan wanita ahli kitab dengan
pria Muslim banyak membawa kemadharatan. "Maka, pernikahan yang demikian juga
dilarang." Abdullah ibnu Umar RA pun melarang pria Muslim menikahi wanita non-Muslim.

Bab III
PENUTUP

A. Kesimpulan

 Pernikahan merupakan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk
beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan
siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan.
 Secara ringkas hukum nikah beda agama bisa kita bagi menjadi demikian:
 Suami Islam, istri ahli kitab = boleh
 Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram
 Suami ahli kitab, istri Islam = haram
 Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram
 Jenis- Jenis Nikah Beda Agama: Ada 2 jenis menikah beda agama:
 Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam.
 Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam, dibagi 2
macam:
o Laki-laki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab
o Laki-laki Muslim dengan perempuan non Ahli Kitab
 Pendapat Ulama tentang Nikah Beda Agama: Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
musyawarah Nasional II pada 1980 telah menetapkan fatwa tentang pernikahan beda
agama. MUI menetapkan dua keputusan terkait pernikahan beda agama ini. Pertama,
para ulama di Tanah Air memutuskan bahwa pernikahan wanita Muslim dengan laki-
laki non-Muslim hukumnya haram. Kedua, seorang laki-laki Muslim diharamkan
mengawini wanita bukan Muslim.

B. Saran

Demikian dengan selesainya makalah ini, tidak bisa di pungkiri bahwa di dalamnya
masih terdapat banyak kesalahan, untuk itu kami selaku pemakalah mengharapkan kritik dan
saran guna perbaikan pada makalah ini dan kami juga menyarankan agar para pembaca
mencari referensi lain untuk menambah pengetahuan yang lebih luas lagi tentang pembahasan
yang ada di dalam makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin...
DAFTAR PUSTAKA

Sabiq, Sayyid.1980.Fikih Sunnah 6.Bandung:PT Alma’arif.

Mahfudh, sahal.2004. Ahkamul Fuqaha, solusi problematika Aktual Hukum Islam, keputusan
Muktamar, Munas dan Konbes Nahdatul Ulama (1926-2004M).Surabaya:Lajnah Ta’lif wan
Nasyr (LTN) NU Jawa Timur.

https://www.republika.co.id/berita/ensikopledia-islam/fatwa/10/05/01/113862-hukum-nikah-
%20beda-agama-dalam-islam-dan-kristen.

Anda mungkin juga menyukai