Anda di halaman 1dari 20

PERNIKAHAN LINTAS AGAMA

Makalah ini disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah


Masailul Fiqh
Dosen Pengampu : Dr. H. Mukhtar, LC,MA.

Oleh
Kelompok 2:
Muhammad Firdaus 1811101050
Faiz Aziz Savero 1811101059
Mohammad Zainul Fajri 1811101162

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SAMARINDA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul
“Pernikahan Lintas Agama.“

Shalawat serta salam kita curahan kepada junjungan kita suri tauladan kita
baginda kita Nabi Muhammad SAW. yang membawa risalah kepada kita semua,
sehingga kita terlepas dari jaman kebodohan, kesesatan, dan mengajak serta
membimbing kita menuju alam Ilmu Pengetahuan tentunya dengan Iman dan Islam.

Tujuan dalam pembuatan makalah ini untuk dapat menambah wawasan dan
pengetahuan khususnya dalam mata kuliah Masailul Fiqh.

Dan kami berharap kepada kita semua untuk mengambil nilai positif dan
membuang nilai negatif yang tersaji dalam makalah ini, memahami isi makalah serta
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran-saran yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata tak lupa kami ucapkan terima kasih banyak yang sebesar-besarnya
dan semoga makalah bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya bagi para
mahasiswa sekalian.

Samarinda, 2 Maret 2020

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................. i

Kata Pengantar................................................................................................. ii

Daftar Isi.......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 1
C. Tujuan.............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian, Hukum, dan Tujuan Pernikahan.................................... 2


B. Pernikahan Beda Agama.................................................................. 6
C. Hukum Pernikahan Beda Agama..................................................... 9
D. Hikmah Pelarangan Pernikahan Beda Agama................................. 14

BAB III PENUTUP

Kesimpulan............................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang
berkecukupan dan kalangan selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah si pria
yang muslim menikah dengan wanita non muslim (nasrani, yahudi, atau agama
lainnya) atau barangkali si wanita yang muslim menikah dengan pria non
muslim. Namun kadang kita hanya mengikuti pemahaman sebagian orang yang
sangat mengagungkan perbedaan agama (pemahaman liberal). Tak sedikit yang
terpengaruh dengan pemahaman liberal semacam itu, yang mengagungkan
kebebasan, yang pemahamannya benar-benar jauh dari Islam. Paham liberal
menganut keyakinan perbedaan agama dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.
Namun bagaimana sebenarnya menurut pandangan Islam yang benar
mengenai status pernikahan beda agama? Berangkat dari permasalahan itu kami
mencoba untuk menjelaskan tentang bagaimana hukumnya pernikahan beda
agama.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, hukum, dan tujuan dari pernikahan?
2. Bagaimana penjelasan mengenai pernikahan beda agama?
3. Apa hukum pernikahan beda agama?
4. Apa hikmah pelarangan pernikahan beda agama?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian, hukum, dan tujuan dari pernikahan.
2. Untuk mengetahui bagaimana penjelasan mengenai pernikahan beda agama.
3. Untuk mengetahui apa hukum pernikahan beda agama.
4. Untuk mengetahui apa hikmah pelarangan pernikahan beda agama.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian, Hukum, dan Tujuan Pernikahan


1. Pengertian Pernikahan (Perkawinan)
Secara etimologi, pernikahan berarti Persetubuhan, Perjanjian’ (al-
Aqdu). Secara terminologi, pernikahan menurut Abu Hanifah adalah “Aqad
yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seseorang wanita, yang
dilakukan dengan sengaja”.
Pengukuhan disini maksudnya adalah suatu pengukuhan yang sesuai
dengan ketetapan pembuat syariah, bukan sekedar pengukuhan yang
dilakukan oleh dua orang yang saling membuat ‘aqad (perjanjian) yang
bertujuan hanya sekedar untuk mendapat kenikmatan semata.
Menurut mazhab Maliki, pernikahan adalah “Aqad yang dilakukan untuk
mendapat kenikmatan dari wanita”. Dengan ‘aqad tersebut seseorang akan
terhindar dari perbuatan haram (zina)
Menurut mazhab Syafi’I pernikahan adalah “Aqad yang menjamin
diperbolehkannya persetubuhan”
Sedang menurut mazhab Hambali adalah “Aqad yang di dalamnya
terdapat lafazh pernikahan secara jelas, agar diperbolehkan bercampur”.
Kalau kita perhatikan keempat definisi tersebut, jelas bahwa yang
menjadi inti pokok pernikahan itu adalah ‘aqad (perjanjian) yaitu serah
terima antara orang tua calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria.
Penyerahan dan penerimaan tanggung jawab dalam arti yang luas, telah
terjadi pada saat ‘awad nikah itu, disamping penghalalan bercampur
keduanya sebagai suami istri.1

1
Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2006),h.11-12.

2
2. Hukum Nikah
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum nikah, ada yang
mengatakan halal, sunah, mubah, makruh, dan haram.
a. Wajib Nikah
Sekiranya seseorang sudah merasa mampu membiayai rumah tangga, ada
keinginan untuk berkeluarga dan takut terjerumus ke dalam perbuatan
zina, maka kepada orang tersebut diwajibkan nikah. Sebab menjaga diri
jatuh ke dalam perbuatan haram, wajib hukumnya. Hal ini tidak terwujud,
kecuali dengan jalan berumah tangga. Menurut Al Qurthubi, wajib nikah
bagi orang yang telah mampu dan takut pula akan merusak jiwanya dan
agamanya.
b. Sunah Nikah
Sekiranya seseorang yang telah mampu membiayai rumah tangga dan juga
keinginan berumah tangga, tetapi keinginan nikah itu tidak dikhawatirkan
menjurus kepada perbuatan zina, maka sunat baginya untuk menikah dan
supaya lebih tenang lagi beribadah dan berusaha.
c. Mubah Nikah
Pada dasarnya hukum nikah itu adalah mubah (boleh), karena tidak ada
dorongan atau larangan untuk menikah.
d. Makruh Nikah
Orang yang tidak dapat memenuhi nafkah lahir batin, tetapi tidak sampai
menyusahkan wanita itu, kalau dia orang berada dan kebutuhan biologis
pun tidak begitu menjadi tuntutan, maka terhadap orang itu dimakruhkan
menikah. Sebab, walaupun bagaimana nafkah lahir batin menjadi
kewajiban suami, diminta atau tidak oleh istri
e. Haram Nikah
Orang yang belum mampu membiayai rumah tangga, atau diperkirakan
tidak dapat memenuhi nafkah lahir dan batin, haram baginya menikah,
sebab akan menyakiti perasaan wanita yang akan dinikahinya. Demikian

3
juga diharamkan menikah, apabila ada tersirat niat menipu wanita itu atau
menyakitinya.2
3. Tujuan Nikah
Setidaknya ada empat macam yang menjadi tujuan pernikahan (perkawinan).
Keempat macam tujuan perkawinan itu hendaknya benar-benar dapat dipahami
oleh calon suami istri, supaya terhindar dari keretakan dalam rumah tangga yang
biasanya berakhur dengan perceraian yang sangat dibeni oleh Allah swt.
a. Menentramkan Jiwa
Bila sudah terjadi ‘aqad nikah, si wanita merasa jiwanya tentram, karena
merasa ada yang melindungi dan ada yang bertanggung jawab dalam
rumah tangga.
Suami pun merasa tentram karena ada pendampingnya untuk mengurus
rumah tangga, tempat menumpahkan perasaan suka dan duka, dan teman
bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan. Allah swt
berfirman:

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya Dia menciptakan


untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung merasa
tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Ar-Rum: 21)
b. Mewujudkan (Melestarikan) Turunan
Biasanya sepasang suami istri tidak ada yang tidak mendambakan anak
turunan untuk meneruskan kelangsungan hidup. Anak turunan diharapkan

2
Ali Hasan, Pedoman . . . h.7-10.

4
dapat mengambil alih tugas, perjuangan dan ide-ide yang pernah tertanam
di dalam jiwa suami atau istri. Fitrah yang sudah ada dalam diri manusia
ini diungkapkan oleh Allah dalam firman-Nya:

Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu dan
memberimu rezeki dari yang baik-baik” (An-Nahl:72)
Berdasarkan ayat tersebut di atas jelas, bahwa Allah menciptakan manusia
ini berpasang-pasangan supaya berkembang biar mengisi bumi ini dan
memakmurkannya. Atas kehendak Allah, naluri manusia pun
menginginkan demikian.
c. Memenuhi Kebutuhan Biologis
Hampir semua manusia yang sehat jasmani dan rohaninya menginginkan
hubungan seks. Keinginan demikian adalah alami. Pemenuhan biologis itu
harus diatur melalui lembaga perkawinan, supaya tidak terjadi
penyimpangan, tidak lepas begitu saja sehingga norma-norma adat istiadat
dan agama dilanggar. Allah berfirman:

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang


telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah

5
menciptakan istrinya dan dari pada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya
kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan
silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
(An-Nisa: 1)
d. Latihan Memikul Tanggung Jawab
Apabila perkawinan dilakukan untuk fitrah manusia, dan mewujudkan
bagi manusia itu kekekalan hidup yang diinginkan nalurinya, maka faktor
keempat yang tidak kalah pentingnya dalam perkawinan itu adalah
menumbuhkan rasa tanggung jawab. Hal ini berarti, bahwa perkawinan
adalah merupakan pelajaran dan latihan praktis pelaksanaan segala
kewajiban yang timbul dari pertanggung jawaban tersebut.
Pada dasarnya, Allah menciptakan manusia di dalam kehidupan ini,
tidak hanya untuk sekedar makan, minum, hidup kemudian mati seperti
yang dialami makhluk lainnya. Lebih jauh lagi, manusia diciptakan supaya
berpikir, menentukan, mengatur, mengurus, segala persoalan, mencari dan
memberi manfaat untuk umat
Sesuai dengan maksud diatas, manusia bertanggung jawab dalam
keluarga, masyarakat, dan negara. Latihan itu pula dimulai dari ruang
lingkup yang terkecil dulu (keluarga), kemudian baru meningkat kepada
lebih luas lagi.3
B. Pernikahan Beda Agama
Sebelum masuk lebih jauh ke pembahasan, kita harus mengetahui lebih
dahulu apa makna dari pernikahan dalam pandangan Islam. Pernikahan sekilas
adalah aktivitas duniawi belaka, namun dalam Islam nikah merupakan ibadah
yang secara tegas dinyatakan sebagai sunnah Rasulullah. Dalam Islam
pernikahan dimaksudkan untuk melaksanakan ajaran Islam dalam memenuhi
3
Ali Hasan, Pedoman . . .h.13-22

6
kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan
keturunannya yang diselenggarakan dalam suasana saling mencintai (mawaddah)
dan kasih sayang (rahmah) antara suami isteri.
Filosofis pernikahan dalam Islam dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Islam memandang pernikahan sebagai suatu yang sakral, karena bermula dari
perjanjian khusus yang melibatkan Allah, karenanya segala sesuatu yang
berkenaan dengannya diatur secara khusus dan lengap.
2. Pernikahan merupakan cara penghalalan terhadap hubungan antara kedua
lawan jenis yang semula diharamkan, seperti memegang, memeluk,
mencium, dan hubungan intim.
3. Pernikahan merupakan cara untuk melangsungkan kehidupan umat manusia
di muka bumi, secara legal dan bertanggung jawab.
4. Pernikahan memiliki dimensi psikologis yang sangat dalam, karena dengan
pernikahan ini kedua insan, suami isteri yang semula merupakan orang lain
dan asing, kemudian menjadi bersatu.
5. Pernikahan memiliki dimensi sosiologis, dimana dengan pernikahan
seseorang memiliki status baru yang dianggap sebagai anggota masyarakat
yang utuh. 4
Dengan demikian, dalam Islam pernikahan bukan saja persoalan biologis
belaka, melainkan juga persoalan psikologis dan sosiologis bahkan merupakan
persoalan teologis. Jika melihat pernikahan dari aspek seksual dan aspek
hubungan biologis semata, berarti sama dengan apa yang terjadi di lingkungan
hewan.
Sekarang kami akan membahas pernikahan beda agama. Pada dasarnya,
semua agama menolak pernikahan agama. Semua agama menghendaki
pernikahan yang harus seiman. Pernikahan beda agama kalaulah diperkenankan
oleh agama tertentu sangat terbatas. Islam mengajarkan umatnya agar hidup lurus

4
Karsayuda, Perkawinan Beda Agama, (Yogyakarta: Total Media Yogyakarta, 2006),h.66-
69.

7
dalam hidayah Allah, jauh dari kesesatan. Untuk itulah maka seorang muslim
dilarang menikah dengan orang musyrik dan kafir.
Agama Kristen Katolik secara tegas menyatakan, “Perkawinan antara seorang
Katolik dengan penganut agama lain adalah tidak sah”. (Kanon;1086). Gereja
memberikan dispensasi dengan persyaratan yang ditentukan hukum gereja.
Dispensasi diberikan oleh uskup setelah kedua belah pihak yang hendak menikah
membuat perjanjian tertulis yang berisi: (1) Yang beragama katolik berjanji akan
tetap setia pada iman Katolik, berusaha mendidik anak-anak mereka secara
Katolik, (2) Yang tidak beragama Katolik berjanji menerima pernikahan secara
Katolik, tidak menghalangi pihak yang beragama Katolik melaksanakan
imannya, bersedia mendidik anak-anaknya secara katolik.5
Agama Kristen Protestan mengajarkan kepada umatnya mencari pasangan
hidup yang seagama. Menyadari adanya kehidupan bersama dengan umat lain,
maka gereja tidak melarang penganutnya melangsungkan pernikahan dengan
orang-orang yang bukan beragama Kristen.6
Dalam agama Hindu, suatu pernikahan dapat disahkan jika mempelai itu
telah menganut agama yang sama, yaitu agama Hindu. Pernikahan dengan
penganut agama lain dilarang dalam agama Hindu. Menurut hukum Hindu, suatu
pernikahan hanya sah jika dilaksanakan upacara suci oleh petinggi agama
mereka, dan petinggi agama Hindu hanya mau melaksanakan upacara pernikahan
jika kedua pengantin beragama Hindu. Pernikahan orang Hindu yang tidak
memenuhi syarat dapat dibatalkan.
Agama Budha sebagai ajaran yang lebih banyak memperhatikan ajaran dan
amalan moral dengan menitik beratkan pada kesempurnaan diri manusia, tidak

5
Usman Suparman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di
Indonesia, (Serang: Saudara, 1995),h.55-56.
6
Ichtiyanto, Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Badan
Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI, 2003),h.132-133.

8
mengatur secara khusus pernikahan beda agama. Agama Budha tidak membatasi
umatnya untuk menikah dengan penganut agama lain.7
C. Hukum Pernikahan Beda Agama
1. Perempuan Muslim dengan Laki-laki Nonmuslim
Semua ulama sepakat bahwa perempuan muslimah tidak diperbolehkan kawin
dengan laki-laki nonmuslim, baik Ahli Kitab maupun musyrik. Pengharaman
tersebut didasarkan pada QS. Al-Mumtahanah ayat 10

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu


perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah
kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka,
mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka
apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap
berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan
hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka
meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang

7
Ichtiyanto, Perkawinan…h.134-136.

9
ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
2. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Musyrik
Para ulama sepakat mengharamkan laki-laki muslim kawin dengan
perempuan penyembah berhala. Perempuan musryik disini mencakup
perempuan penyembah berhala (al-watsaniyah), ateis (zindiqiyyah),
perempuan yang murtad, penyembah api, dan penganut aliran libertin (al-
ibahah). Dilarangnya pernikahan laki-laki muslim dengan wanita musyrik
terdapat di dalam surah Al-Baqarah ayat 221

Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum


mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran.
Satu hal yang membedakan antara perempuan musyrik dengan perempuan
ahli kitab, menurut As-Sayyid Sabiq adalah bahwa perempuan musyrik tidak
memiliki agama yang melarang berkhianat, mewajibkan berbuat amanah,

10
memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Apa yang dikerjakan
dan pergaulannya dipengaruhi ajaran-ajaran kemusyrikan. Inilah yang bisa
menyebaban ia mengkhianati suaminya dan merusak akidah dan anak-
anaknya.
3. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahli Kitab
Pada dasarnya laki-laki muslim diperbolehkan mengawini perempuan Ahli
Kitab berdasar pengkhususan QS Al-Maidah ayat 5.

Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi
mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang
menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan
perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka
untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk
menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka
sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang
rugi.
Adapun pendapat fuqaha empat mazhab Sunni tentang laki-laki muslim
mengawini perempuan Ahli Kitab adalah sebagai berikut:
a. Madzhab Hanafi

11
Para ulama mazhab Hanafi mengharamkan seorang laki-laki mukmin
mengawini perempuan Ahli Kitab yang berdomisili di wilayah yang
sedang berperang dengan Islam. Karena mereka tidak tunduk terhadap
hukum orang-orang Islam sehingga bisa membuka pintu fitnah.
Sedangkan mengawini perempuan Ahli Kitab Dzimmi (yang berada di
negara dan perlindungan pemerintahan Islam) hukumnya hanya makruh.
b. Madzhab Maliki
Pendapat madzhab maliki terbagi menjadi dua, kelompok pertama
memandang bahwa mengawini perempuan Ahli Kitab, baik di dar harb
maupun dzimmiyah hukumnya makruh mutlak. Hanya saja kemakruhan
yang di dar harb lebih berat. Kelompok kedua memandang tidak makruh
mutlak sebab zahir QS Al-Maidah ayat 5 membolehkan secara mutlak.
Tetapi tetap saja makruh karena digantungkan kemakruhannya berkait
dengan dar al-Islam.
c. Madzhab Syafi’i
Para ulama Syafi’I memandang makruh mengawini perempuan Ahli Kitab
yang berdomisili di dar al-Islam dan sangat dimakruhkan bagi yang
berada di dar al-harb, sebagaimana pendapat fuqaha Malikiyah. Ulama
Syafi’iah memandang kemakruhan tersebut apabila terjadi dalam peristiwa
berikut
- Tidak terbesit oleh calon mempelai laki-laki muslim untuk mengajak
perempuan Ahli Kitab tersebut masuk Islam
- Masih ada perempuan muslimah yang shalihah
- Apabila tidak mengawini perempuan Ahli Kitab tersebut ia bisa
terprosok ke dalam perbuatan zina
d. Madzhab Hambali
Laki-laki muslim diperbolehkan dan bahkan sama sekali tidak
dimakruhkan mengawini perempuan Ahli Kitab berdasarkan keumuman
QS. Al-Maidah ayat 5. Disyaratkan perempuan Ahli Kitab tersebut adalah

12
perempuan merdeka, karena al-muhshanat yang dimaksud dalam ayat
tersebut adalah perempuan merdeka.8
4. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Shabiah, Majusi, dan Lainnya
Para ulama berpendapat bahwa shabiun adalah orang-orang yang menganut
ajaran Zoroaster (Majusi), Yahudi, Nasrani, bukan menganut satu agama
tertentu. Seorang pioner ulama tauhid, mujahid, menganggap mereka sebagai
sekte ahli kita yang membaca kitab Zabur. Sedangkan ulama ilmu kalam yang
lain, Hasan, mengatakan bahwa kaum shabiun adalah orang orang yang
menyembah dewa-dewa. Abdal al- Rahman bin Zaid berpendapat bahwa
mereka sebetulnya dulu beriman kepada Allah dan mengucapkan la ilaha illa
Allah (Tidak ada tuhan selain Allah) tetapi tidak mengamalkan keimanan
mereka, mereka juga tidak mempunyai suatu kitab suci tertentu atau nabi.
Mereka menetap di Mosul.
Menurut ibnu katsir, mufasir yang masyhur, bahwa orang-orang Shabiun ini
biasa melakukan sembahyang menghadap arah yang berlawanan dengan
kiblat, mereka juga membaca kitab zabur dan menyembah dewa-dewa.
Mereka mengenal Allah, mempunyai syariah sendiri, serta tinggal menetap di
Irak. Dikatakan juga bahwa mereka mempercayai beberapa Nabi, berpuasa
selama 30 hari dalam setahun, bahkan mereka sembahyang lima kali sehari.
Yusuf Ali, ulama tafsir yang mulia itu, memperluas pengertian Shabiun yang
mencakup umat yang beragama budha, kong hu cu, atau Shinto, maka
menikah dengan perempuan Shabiun itu sama dengan menikah dengan
perempuan musyrik. Orang-orang kafir itu tidak akan memperlakukan
isterinya yang beriman berdasarkan prinsip-prinsip al-amr bi al-ma’ruf dan
sebaliknya nahy al munkar.9

8
Suhadi, Kawin Lintas Agama¸(Yogyakarta:LkiS Yogyakarta, 2006),h.34-39.
9
Abdur Rahman, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, (Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 1996).h. 246-250.

13
D. Hikmah Pelarangan Penikahan Beda Agama
1. Hikmah Pelarangan Pernikahan Seorang Muslimah dengan Nonmuslim
Dengan keislamannya, seorang muslimah mendapatkan kemuliannya.
Disaat seorang muslimah menikah dengan nonmuslim, maka nonmuslim ini
yang akan kemudian berstatus sebagai suami akan memiliki kendali atas
dirinya. Disaat seorang muslimah menikah dengan nonmuslim, maka dengan
pernikahannya tersebut seolah ia hanya melahirkan anak-anak yang kafir dan
bukan anak-anak generasi Islam. Inilah sesungguhnya yang tidak diinginkan
dalam syariat Islam.
Para lelaki nonmuslim umumnya anak mengajak wanita yang beriman
kepada kekufuran yang semuanya ini hanya menjerumuskannya ke dalam
neraka. Maka pernikahan seorang muslimah dengan lelaki kafir hanya akan
menjerumuskannya kepada sesuatu yang diharamkan, karenanya pernikahan
tersebut pun diharamkan.10
2. Hikmah Dibolehkannya Seorang Muslim Menikahi Wanita Ahli Kitab
Ketahuilah bahwa yang dimaksudkan Ahli Kitab adalah orang yang
menganut keyakinan agama samawi (sebelum ajarannya disesatkan oleh
kalangan mereka sendiri), yang diturunkan oleh Allah. Ahli Kitab bukanlah
orang-orang musyrik yang meyakini khurafat dan dugaan semata ataupun
menyembah berhala, batu, api, dan bintang-bintang. Sedangkan orang
musyrik adalah orang yang jauh dari hidayah Allah dan jauh untuk bisa
mengikuti tuntutan agama yang benar, walau banyak bukti yang ditujukan
kepada mereka dengan jelas. Itulah beda antara Ahli Kitab dengan orang
musyrik, dan itulah sebab mengapa hukum syariat membolehkan seorang
muslim untuk menikahi wanita Ahli Kitab.

10
Syeikh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, (Jakarta: Gema Insani,
2006),h.336-337.

14
Bisa dikatakan bahwa wanita Ahli Kitab memiliki keyakinan yang tidak
jauh dengan orang muslim. Mereka pun meyakini adanya Allah dan adanya
pengutusan sebagai rasul-Nya yang tidak diyakini oleh orang musyrik.
Ketetapan hukum ini mengandung hikmah dimana seorang wanita Ahli
Kitab akan memperlakukan suaminya dan berinteraksi dengannya setiap
waktu. Sehingga ia pun kelak akan mendapatkan kebenaran Islam hingga
akhirnya ia akan meyakininya dengan sendirinya dan mendapatnya hidayah.
Dengan demikian ia pun akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Disebutkan dalam kitab Badaa’i bahwa dibolehkannya seorang muslim
untuk menikahi wanita Ahli Kitab dengan harapan agar sang istri kelak akan
masuk Islam. Karena sesungguhnya ia telah beriman dengan kitab suci yang
dibawa oleh para nabi dan rasul secara globalnya. Ia hanya membutuhkan
penjelasan spesifik agar akhirnya menyadari kebenaran dan meyakini serta
beriman dengan semua spesifikasi yang dipahaminya.11
3. Hikmah Dilarangnya Seorang Muslim Menikahi Wanita Musyrik atau Majusi
Wanita musyrik ataupun majusi, mereka tidak pernah meyakini kebenaran
kitab suci yang diturunkan. Mereka pun tidak memahami ajaran agama
dengan baik, bahkan mereka membenci Islam dan kaum muslimin secara
turun-temurun. Karenanya sangat sulit untuk bisa mengharapkan mereka
masuk dan menganut Islam, kecuali setelah usaha yang sangat keras.
Kaum muslimin dilarang menikahi wanita musyrik karena pada umumnya
mereka sendiri yang telah memilih untuk menjadi musyrik dengan segala
dalih yang dimilikinya. Terkadang mereka pun mengikuti kemusyrikan orang
tuanya tanpa mau menyadari kebenaran yang datang dari ajaran yang benar.
Ia tidak mengindahkan semua dakwah dan seruan yang ditujukan untuknya
hingga kekufuran inilah yang kelak menjadi penghalang utama antara dirinya
dengan Islam kaum muslimin.
BAB III
11
Syeikh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya…h.338-339.

15
PENUTUP

Kesimpulan
Dalam Islam pernikahan dimaksudkan untuk melaksanakan ajaran Islam
dalam memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk
melangsungkan keturunannya yang diselenggarakan dalam suasana saling
mencintai (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) antara suami isteri. Pada
dasarnya, semua agama menolak pernikahan agama. Semua agama menghendaki
pernikahan yang harus seiman. Pernikahan beda agama kalaulah diperkenankan
oleh agama tertentu sangat terbatas. Islam mengajarkan umatnya agar hidup lurus
dalam hidayah Allah, jauh dari kesesatan. Untuk itulah maka seorang muslim
dilarang menikah dengan orang musyrik dan kafir.
Semua ulama sepakat bahwa perempuan muslimah tidak diperbolehkan
kawin dengan laki-laki nonmuslim, mengharamkan laki-laki muslim kawin
dengan perempuan penyembah berhala, dan juga mengharamkan pernikahan
dengan shabiun. Shabiun adalah orang-orang yang menganut ajaran Zoroaster
(Majusi), Yahudi, Nasrani, bukan menganut satu agama tertentu. Lalu dikalangan
ulama juga ada perbedaan pendapat mengenai diperbolehkannya laki-laki muslim
mengawini perempuan Ahli Kitab. Hikmah pelarangan pernikahan beda agama
adalah agar memelihara agama dan juga memelihara keturunan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jarjawi, Syeikh Ali Ahmad. 2006. Indahnya Syariat Islam. (Jakarta: Gema
Insani).

Hasan, Ali. 2006 Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam. (Jakarta: Prenada
Media Group).

Ichtiyanto. 2003. Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia.


(Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI).

Karsayuda. 2006. Perkawinan Beda Agama. (Yogyakarta: Total Media Yogyakarta).

Rahman, Abdur. 1996. Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan. (Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada).

Suhadi. 2006. Kawin Lintas Agama. (Yogyakarta:LkiS Yogyakarta).

Suparman, Usman. 1995. Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum


Perkawinan di Indonesia. (Serang: Saudara).

17

Anda mungkin juga menyukai