Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH FIQH MUNAKAHAT

KONSEP KHITBAH DAN MAHAR


Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Munakahat
Dosen Pembimbing : Dr. MUHAMMAD FAISOL, S.S., M.Ag.

Disusun Oleh :
1. Arinismatul Izzah (212102040012)
2. Putri Dwi Lailatul Muarrifah (212102040031)
3. Alya Nur Kholifah (214102040008)
4. Syafa’atul Mazida Fitriani (214102040009)

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas seluruh limpahan rahmat serta
nikmatnya sehingga kami dapat meramapungkan makalah fiqh munakahat yang memiliki judul
“Konsep khitbah dan mahar" ini dengan waktu yang tepat.

Ada pula tujuan dari penulisann makalah ini yaitu untuk memenuhi syarat nilai dari
dosen pada mata kuliahfiqh munakahat. Selain itu makalah ini juga memiliki tujuan untuk lebih
menambah pengetahuan terkait fakikat fiqh munakahat bagi para pembaca dan juga kami selaku
penulis.

Tak lupa juga kami ucapkan banyak terima kasih kepada bapak Dr. MUHAMMAD
FAISOL, S.S., M.Ag. selaku dosen pembimbing mata kuliah fiqh munakahat yang dengan
senang hati memberikan tugas makalah ini sehingga kami lebih bisa menambah wawasan. Kami
juga ucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah bersedia membagi ilmu
serta pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Jember, 20 September 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang ...............................................................................................................1


B. Rumusan Masalah ..........................................................................................................2
C. Tujuan Masalah ..............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 3

1. Pengertian Khitbah dan Mahar .......................................................................................3


2. Dasar Hukum Khitbah dan Mahar .................................................................................5
3. Syarat Khitbah ................................................................................................................6
4. Syarat dan Sifat Mahar ...................................................................................................7
5. Kadar Mahar ..................................................................................................................8
6. Jenis Atau Macam-macam Mahar ..................................................................................8

BAB III PENUTUPAN .................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dengan perempuan yang
bertujuan untuk membentuk keluarga didalam rumah tangga yang bahagia, sakinah,
mawadah, dan warohmah berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Perkawinan telah ada
sejak manusia pertama diciptakan oleh Allah SWT. Sebuah ikatan perkawinan bukan
hanya mempersatukan dua pasangan manusia, yakni laki-laki dan perempuan, akan tetapi
mengikatkan tali perjanjian yang suci atas nama Allah SWT.
Sebuah kenyataan bahwa manusia di dunia tidaklah berdiri sendiri melainkan
berpasangan. Sering kali kita melihat didalam masyarakat masalah yang dihadapi dalam
keluarga dapat dimusyawarahkan untuk penyelesaiannya. Namun didalam masyarakat
juga mudah sekali pasangan suami istri memutuskan ikatan perkawinan seperti bercerai
atau memutuskan ikatan, karena tidak adanya solusi untuk penyelesaian masalah yang di
hadapi didalam keluarganya. Walaupun pada dasarnya melakukan perkawinan bertujuan
untuk selama-lamanya satu kali dalam seumur hidup melakukan perkawinan, akan tetapi
karena adanya sebab-sebab tertentu didalam perkawinan itu, jadi harus putus di tengah
jalan atau terpaksa untuk bercerai dengan sendirinya.
Persoalan seperti ini sering terjadi bahwa setelah bercerai sebuah kewajiban
pemberian nafkah terhadap anak tidak terlaksana dengan baik sehingga kebutuhan anak
tidak terpenuhi dengan baik, sehingga tidak menerima pendidikan yang wajar sesuai
dengan umurnya. Mengingat hal tersebut, maka penulis membahas masalah ini. Keluarga
merupakan sekumpulan individu yang terkait satu dengan yang lain, untuk menciptakan
suatu keakraban yang mendasar di dalamnya. Dalam kaiddah sosial, individu merupakan
diri sendiri yang hidup dalam wilayah yang sempit dan jauh dari keutuhan sosial. Sosok
tersebut baru akan sempurna keberadaannya setelah terikat dengan individu lain dalam
suatu ikatan yang di namakan perkawinan1.

B. Rumusan Masalah

1
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1992) h. 27

1
1. Bagaimana Pengertian Khitbah dan Mahar?
2. Bagaimana Hukum Khitbah dan Mahar?
3. Bagaimana Syarat Khitbah?
4. Bagaimana Syarat dan Sifat Mahar?
5. Bagaimana Kadar Mahar?
6. Bagaimana Jenis Atau Macam-macam Mahar?

C. Tujuan Masalah
1. Menjelaskan Pengertian Khitbah dan Mahar
2. Menjelaskan Hukum Khitbah dan Mahar
3. Menjelaskan Syarat Khitbah
4. Menjelaskan Syarat dan Sifat Mahar
5. Menjelaskan Kadar Mahar
6. Menjelaskan Jenis Atau Macam-macam Mahar

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian khitbah dan mahar

· Khitbah (peminangan)

Menurut bahasa, meminang atau melamar artinya antara lain adalah meminta wanita dijadikan
istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut istilah, peminangan ialah kegiatan atau upaya kearah
terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Atau, seorang laki-laki
meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku
ditengah-tengah masyarakat.

Kata “khitbah” , dalam terminologi Arab memiliki akar kata yang sama dengan al-khithab dan
alkhathab. Kata al-khathab berarti “pembicaraan”. Apabila dikatakan takhathaba maksudnya “dua orang
yang sedang berbincang-bincang”. Jika dikatakan khathabahu fi amr artinya “ia memperbincangkan
sesuatu persoalan pada seseorang”. Jika khitbah (pembicaraan) ini berhubungan dengan ihwal perempuan,
maka makna yang pertama kali ditangkap adalah pembicaraan yang berhubungan dengan persoalan
pernikahannya. Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan, disyari’atkan sebelum ada ikatan
suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan
pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak2.

· Mahar

Kata “mahar” berasal dari bahasa Arab yang termasuk kata benda bentuk abstrak atau mashdar,
yakni “mahran” atau kata kerja. Ini berarti mahar adalah suatu benda yang berbentuk abstrak yang sesuai
dengan permintaan calon pasangan atau kesepakatan bersama. Mahar merupakan pemberian yang
dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan yang hukumnya wajib.
Dalam memberikan mahar pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan yang berupa
harta atau manfaat karena adanya ikatan perkawinan bentuk dan jenisnya mahar tidak ditetapkan tetap
dalam hukum perkawianan Islam hanya saja kedua mempelai diajurkan melakukan musyawarah untuk
menyepakati mahar yang akan diberikan.
Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi mahar ialah “pemberian wajib dari
calon suami kepada calon istri sebagai ketelusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih

2
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1992) h. 27

3
bagi seorang istri kepada calon suaminya”. Suami berkewajiban memberikan mahar kepada calon
istrinya.
Mahar adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberikan nafkah lahir
kepada istri dan anak-anaknya. Selama mahar itu bersifat simbolis atau sekedar formalitas, maka
jumlahnya sedikit pun tidak ada masalah. Hal ini sejalan dengan penjelasan Rasulullah, “sebaik-
baik maskawin adalah seringan-ringannya.” Maksud dari hadits tersebut adalah, jangan sampai
karena masalah mahar menjadi faktor yang memberatkan bagi laki-laki, maka tidak ada larangan
bagi laki-laki yang mampu untuk memberikan sebanyak mungkin mahar kepada calon istrinya.3
Namun, pernikahan pada dasarnya bukanlah akad jual beli, dan mahar bukanlah menjadi
harga seorang wanita. Sebaimana firman Allah QS. An-Nisa’ (4) : (20-21)
‫ج َّو ٰاتَ ْيتُ ْم اِحْ ٰدىه َُّن قِ ْنطَارًا فَاَل تَْأ ُخ ُذوْ ا ِم ْنهُ َش ْيـًٔا ۗ اَتَْأ ُخ ُذوْ نَهٗ بُ ْهتَانًا َّواِ ْث ًما ُّمبِ ْينًا‬ ٍ ْ‫َواِ ْن اَ َر ْدتُّ ُـم ا ْستِ ْبدَا َل َزو‬
ٍ ۙ ْ‫ج َّم َكانَ زَ و‬
Artinya : “Dan jika kamu mengganti istrimu dengan yang lain, sedangkan kamu telah memberikan
kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak maka janganlah kamu mengambil kembali dari
padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang
dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?”

ْ َ‫ْض َّوا‬
ً‫خَذنَ ِم ْن ُك ْم ِّم ْيثَاقًا َغلِ ْيظ‬ ٍ ‫ض ُك ْم اِلى بَع‬ ٰ ‫َو َك ْيفَ تَْأ ُخ ُذوْ نَهٗ َوقَ ْد اَ ْف‬
ٰ ُ ‫ضىـ بَ ْع‬ ‫ا‬

Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal sebaimana kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil
perjanjian yang kuat.”

Ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dikemukakan di atas merupakan dalil sebagai dasar
hukum yang kuat bahwa laki-laki wajib membayar mahar kepada perempuan yang hendak
dinikahinya dengan ikhlas agar hak perempuan sejak awal telah ditegakkan. Ayat-ayat diatas
menunjukan bahwa mahar itu tidak ditetapkan jumlah minimalnya. Segeram tepung, cicin besi
dan dua pasang sandal itu sudah cukup untuk disebut sebagai mahar 4. Dan berlebih-lebihan
dalam mahar dimakruhkan karena yang demikian tidak banyak memberikan berkah, bahkan
seringkali menyulitkan. Jika seorang wanita telah menyetujui ilmu seorang laki-laki dan hapalan
seleruh atau sebagian Al-Qur’an sebagai mahar maka yang demikian itu diperbolehkan .6 Agama
3
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1992) h. 27

4
As-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa Mohammad Thalib, cet. I (ttp: PT. al Ma’arif, 1980), h. 48.

4
Islam mencintai manusia yang tidak melampaui batas dalam memberikan mahar dan tidak
berlebihan. Karena Islam tidak menganjurkan mahar yang berlebihan, mahar mubah (boleh)
apabila kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan hal tersebut tidak menjadi masalah akan
tetapi apabila salah satu diantara keduanya keberatan bahkan menggagalkan pernikahan maka
makruh hukumnya.
2. Dasar hukum khitbah dan mahar
· Dasar Hukum Khitbah

Islam tak hanya mengatur soal pernikahan saja, tapi juga tentang khitbah. Di dalam Al
Quran, Allah SWT berfirman: “Tidak ada dosa bagi siapapun yang meminang perempuan-
perempuan itu dengan cara bersembunyi atau hanya dengan sebuah keinginan di dalam hati
untuk mengawini mereka dalam hatimu. Allah memahami bahwa kamu akan menyebutkan nama
mereka, oleh karena itu janganlah kamu menyebutkan janji kawin dengan para perempuan secara
rahasia, kecuali hanya sekadar mengucapkan (kepada mereka) sebuah perkataan yang makruf.
Dan jangan juga kamu bertetap hati atau berazam untuk berakad nikah, sebelum
perempuan tersebut habis masa iddahnya. Dan ketahuilah bahwa Allah SWT mengetahui semua
yang ada di dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya dan perlu kamu ketahui bahwa Allah SWT
Maha Pengampun dan Maha Penyantun.(QS Al-Baqarah: 235). Di dalam sebuah hadis,
Rasulullah SAW bersabda: “Nabi Muhammad SAW melarang seseorang untuk membeli barang
yang sedang dibeli atau ditawar oleh saudaranya, dan Rasulullah juga melarang seseorang
meminang seorang perempuan yang sudah dipinang hingga orang yang meminangnya
meninggalkan perempuan tersebut atau mengizinkannya.5

· Dasar Hukum Mahar

Mahar adalah pemberian pria kepada wanita sebagai pemberian wajib, untuk memperkuat
hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang antara kedua suami istri. Hal ini berdasarkan al-
Qur’an dan hadits, sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 4 yang
berbunyi : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari

5
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 48.

5
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)
yang sedap lagi baik akibatnya.”

Ayat di atas menegaskan bahwa apabila seorang laki-laki ingin menikahi seorang
perempuan untuk dijadikan sebagai istri wajib atasnya untuk memberikan mahar atau maskawin.
Ayat yang lain juga disebutkan dalam surat yang sama yaitu an-Nisa’ ayat 24 : “Maka isteri-
isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya
(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.’’

Ayat ini menegaskan bahwa kehalalan memperoleh kenikmatan dari seorang istri yang
dinikahi menjadi sempurna apabila telah diberikan hak wanita tersebut yaitu berupa mahar. Allah
juga berfirman dalam surat al-Maidah ayat 5 berkaitan dengan kewajiban seorang suami untuk
memberikan mahar kepada calon istrinya : “Dan dihalalkan mangawini wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin
mereka dengan maksud menikahinya.”

Landasan hukum juga terdapat dalam hadits Nabi SAW, yang memperkuat statemen
tentang kewajiban memberikan mahar kepada calon istri yaitu: Dari ‘Aisyah berkata:
“Rasulullah SAW bersabda: perempuan siapapun yang menikah dengan tanpa izin dari walinya,
maka pernikahannya batal, apabila suami telah mendzukhulnya, maka wajib baginya
memberikan mahar untuk menghalalkan farjinya, namun apabila walinya tidak mau
menikahkannya, maka penguasa menjadi walinya.” (dikeluarkan oleh empat perawi kecuali
Nasa’i, dan dishahihkan oleh Abu ‘Awanah dan Ibnu Hiban dan Hakim).

Firman Allah SWT dan hadits Nabi SAW di atas menunjukkan bahwa mahar sangat
penting meskipun bukan sebagai rukun nikah, namun setiap suami wajib memberi mahar sebatas
kemampuannya. Ayat tersebut juga menjadi indikasi bahwa agama Islam sangat memberi
kemudahan dan tidak bersifat memberatkan.6

3. Syarat khitbah

6
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 48

6
Berdasarkan aturan yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) pasal 12,
setidaknya terdapat empat syarat perempuan boleh dikhitbah atau dipinang pihak laki-laki
sebagai berikut.

a. Khitbah dapat dilakukan terhadap perempuan yang masih perawan atau terhadap janda
yang telah habis masa iddahya.
a. Khitbah haram atau tidak boleh dilakukan pada perempuan yang ditalak suaminya,
namun masih berada dalam kondisi iddah rujuk.
b. Tidak boleh meminang seorang perempuan yang sedang dipinang laki-laki lain, selama
pinangan lelaki tersebut belum putus atau belum ada kesalahan dari pihak perempuan.
c. Putusnya pinangan laki-laki lain melalui pernyataan yang disampaikan secara terang-
terangan atau diam-diam. Selain itu, yang meminang sebelumnya juga telah
menghasilkan dan foto perempuan yang dipinang.
4. Syarat dan Sifat Mahar
· Syarat-syarat Mahar

Mahar yang diberikan kepada calon istri tidak boleh sembarangan, melainkan harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Melansir dari Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah karya
Abdurrahman Al-Jaziri, berikut ini adalah syarat mahar:

a. Harta berharga. Sesuatu yang tidak berharga tidak sah sebagai mahar. Jika mahar sedikit
namun bernilai, maka barang tersebut tetap sah disebut mahar. Sejatinya, tidak ada
ketentuan banyak atau sedikitnya maskawin.
b. Barangnya suci dan bermanfaat. Oleh sebab itu jika mahar berupa khamar, babi, atau hal
lainnya yang dianggap haram dalam ajaran Islam dan yang tidak berharga, maka
hukumnya tidak sah.
c. Bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya
namun tidak bermaksud memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak.
Mahar dari hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.7
d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Jika barang tidak jelas keadaannya atau tidak
disebutkan jenisnya, maka barang tersebut tidak boleh dijadikan mahar.
· Sifat Mahar
7
Slamet Abidin et al, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: CV Purtaka Setia, 2005), h, 149 10

7
Mengenai sifat-sifat mahar, fuqaha telah sependapat tentang sahnya perkawinan
berdasarkan pertukaran dengan suatu barang tertentu yang dikenal sifatnya. Yakni yang
tertentu jenis, besar dan sifatnya. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang barang yang
tidak diketahui sifatnya dan tidak ditentukan jenisnya. Seperti seorang mengatakan, “Aku
kawinkan engkau dengan dia (wanita) atas (mahar) seorang hamba atau pelayannya,” tanpa
menerangkan sifat-sifat hamba atau pelayan itu yang dengannya dapat ditentukan harganya.
Imam Malik dan Abu Hanafiyah berpendapat bahwa perkawinan dengan cara itu
diperbolehkan. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat tidak boleh.

Apabila terjadi perkawinan seperti itu, maka Imam Malik berpendapat bahwa
pengantin wanita memperoleh jenis dari apa yang di sebutkan untuknya. Sedangkan Imam
Abu Hanafiyah berpendapat bahwa perkawinan pria dipaksa untuk mengeluarkan harganya
(yakni harga hamba atau pelayan itu). Bagi fuqaha yang mempersamakannya dengan
kekikiran pada jual beli, maka mereka mengatakan, bahwa sebagaimana tidak boleh berjual
beli atas satu barang yang tidak diketahui sifat-sifatnya, maka demikian pula halnya dengan
menikah (atas satu mahar yang tidak diketahui sifat- sifatnya). Sedangkan bagi fuqaha yang
tidak mempersamakannya dengan jual beli, karena yang dimaksudkan daripadanya adalah
memberikan kehormatan (kemurahan) maka mereka mengatakan bahwa perkawinan seperti
itu boleh.8

5. Kadar mahar

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa batas minimal mahar adalah 10 (sepuluh) dirham,


sementara mazhab Syafi'i berpendapat mahar itu tidak ada batas minimalnya, bahkan
ditegaskan bahwa apapun yang berharga atau dapat dijadikan harga bagi sesuatu atau upah
boleh dijadikan mahar, yang penting dalam mahar itu adalah kerelaan istri. Dan dalam
hukum Islamitu sendiri tidak mengatur batasan nilai minimal maupun maksimal suatu mahar
karena besarnya suatu mahar diserahkan kepada kesepakatan calon mempelai pria dan calon
mempelai wanita.

6. Macam-macam mahar

8
Slamet Abidin et al, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: CV Purtaka Setia, 2005), h, 149 10

8
Mahar adalah suatu yang wajib diberikan meskipun tidak dijelaskan bentuk dan
nilainya pada waktu akad. Dari segi dijelaskan atau tidaknya mahar pada waktu akad,
mahar terbagi menjadi dua macam.

a. Mahar musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perempuan
yang disebutkan dalam redaksi akad. para ulama sepakat bahwa tidak ada jumlah
maksimal dalam mahar tersebut Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak
disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama
itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak
dibolehkan.9
Bagi suami yang menalak istrinya sebelum dukhul, ia wajib membayar setengah dari
mahar yang telah diakadkan, sebagaimana disebutkan dalam Al- Qur’an QS-Al-Baqarah
Ayat: (237)

‫ض ـتُ ْم ِإٓاَّل َأن‬


ْ ‫ف َمافَ َر‬ ُ ْ‫يضةً فَنِص‬َ ‫َوِإن طَلَّ ْقتُ ُموهُ َّن ِمن قَب ِْل َأن تَ َمسُّوهُ َّن َوقَ ْد فَ َرضْ تُ ْم لَه َُّن فَ ِر‬
ْ َ‫نسـ ُو ۟ا ْٱلف‬
‫ضـ َل بَ ْينَ ُك ْم‬ َ َ‫اح َوَأن تَ ْعفُ ٓواَأ ْق َربُ لِلتَّ ْق َو ٰى َواَل ت‬ ۟
ِ ‫ون َأ ْو يَ ْعفُ َوا ٱلَّ ِذى بِيَ ِد ِهۦ ُع ْق َدةُ ٱلنِّ َك‬
َ ُ‫يَ ْعف‬
‫صي ۟ ٌر‬ َ ُ‫ِإ َّن ٱهَّلل َ بِ َما تَ ْع َمل‬
ِ َ‫ون ب‬
“Dan Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal
Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang
telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang
yang memegang ikatan nikahdan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah
kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang
kamu kerjakan.”25 Pernyataan diatas menjelaskan tentang sebagai berikut :
a) Mahar menurut Syafi’i, Hambali, Imamiyah ialah bahwa segala sesuatu yang
dapat dijadikan harga dalam jual beli boleh dijadikan mahar, dan tidak ada
batasan minimal dalam mahar.

9
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006),h 155.

9
b) Hanafi jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham. Kalau suatu akad
dilakukan dengar mahar kurang dari itu, maka akad tetap sah, dan wajib
membayar mahar sepuluh dirham.
c) Menurut Maliki jumlah minimal mahar adalah tiga dirham, kalau akad dilakukan
kurang dari jumlah mahar tersebut, kemudian terjadi percampuran maka suami
harus membayar tiga dirham10
b. Mahar mitsli ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang biasa diterima
oleh keluarga pihak istri karena pada waktu akd nikah jumlah mahar belum ditetapkan
bentuknya. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 236

‫ـوهُ َّن‬ْ ‫ْضـةً ۖ َّو َمتِّ ُعـ‬


َ ‫ضـ ْوا لَه َُّن فَ ِري‬ ُ ‫طلَّ ْقتُ ُم النِّ َسـ ۤا َء َمــا لَ ْم تَ َم ُّسـ ْوهُ َّن اَ ْو تَ ْف ِر‬
َ ‫اح َعلَ ْي ُك ْم اِ ْن‬
َ َ‫اَل ُجن‬
‫ف َحقًّا َعلَى ْال ُمحْ ِسنِي َْن‬ ِ ۚ ‫َعلَى ْال ُم ْو ِس ِع قَ َدر ُٗه َو َعلَى ْال ُم ْقتِ ِر قَ َدر ُٗه ۚ َمتَاعًا ۢبِ ْال َم ْعر ُْو‬
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri
kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan
bagi orang-orang yang berbuat kebajikan”.
a) Menurut Hanafi dan Hambali manakala salah satu diantara mereka
meninggal dunia sebelum terjadi percampuran maka ditetapkan bahwa si istri
berhak atas mahar secara penuh.
b) Sementara menurut Maliki,dan Imamiyah tidak ada keharusan membayar
mahar manakala salah satu seorang di antara keduanya meninggal dunia.
Menurut Sayyid Sabiq mahar mitsli diukur berdasarkan mahar perempuan lain
yang sama dengannya dari segi umurnya, kecantikannya, hartanya, akalnya, agamanya,
kegadisannya, kejandaanya dan negrinya sama ketika akad nikah dilangsungkan serta
sumua yang menjadi perbedaan mengenai hak atas mahar. Apabila terdapat perbedaan
maka berbeda pula maharnya seperti janda yang mempunyai anak, janda tanpa anak dan
gadis, maka berbeda pula maharnya. Pernyataan di atas menjelaskan bahwa terdapat
perbedaan mahar dalam setiap perkawinan berdasarkan umur, kecantikan, harta, akal,
10
Muhammad Jawad Mughniyah Fiqih Lima Mazhab (Penerbit Lintera Cetakan Ke 22 Jakarta 2008) h. 364

10
kegadisan, janda dan semua yang menjadi perbedaan mengenai hak mahar. Mahar mistli
diwajibkan dalam tiga kemungkinan.
1. Dalam keadaan suami tidak menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya ketika
berlangsungnya akad nikah
2. Suami menyebutkan mahar musamma namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat
yang ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti mahar dengan minuman keras
3. Suami menyebutkan mahar musamma namun kemudian suami isteri berselisih dalam
jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat terselesaikan.
Untuk menemukan jumlah dan bentuk mahar mistli tidak ada ukuran yang pasti
biasanya disesuaikan dengan kedudukan isteri ditengah tengah masyarakat atau dapat pula
disesuaikan dengan perempua yang sederajat atau dengan saudaranya sendiri

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

11
Kata “khitbah” , dalam terminologi Arab memiliki akar kata yang sama dengan al-
khithab dan alkhathab. Kata al-khathab berarti “pembicaraan”. Apabila dikatakan takhathaba
maksudnya “dua orang yang sedang berbincang-bincang”. Jika dikatakan khathabahu fi amr
artinya “ia memperbincangkan sesuatu persoalan pada seseorang”. Jika khitbah (pembicaraan) ini
berhubungan dengan ihwal perempuan, maka makna yang pertama kali ditangkap adalah
pembicaraan yang berhubungan dengan persoalan pernikahannya. Peminangan merupakan
pendahuluan perkawinan, disyari’atkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu
memasuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-
masing pihak.
Mahar adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberikan nafkah
lahir kepada istri dan anak-anaknya. Selama mahar itu bersifat simbolis atau sekedar
formalitas, maka jumlahnya sedikit pun tidak ada masalah. Hal ini sejalan dengan
penjelasan Rasulullah, “sebaik-baik maskawin adalah seringan-ringannya.” Maksud dari
hadits tersebut adalah, jangan sampai karena masalah mahar menjadi faktor yang
memberatkan bagi laki-laki, maka tidak ada larangan bagi laki-laki yang mampu untuk
memberikan sebanyak mungkin mahar kepada calon istrinya. Namun, pernikahan pada
dasarnya bukanlah akad jual beli, dan mahar bukanlah menjadi harga seorang wanita.

DAFTAR PUSTAKA

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1992) h. 27

As-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa Mohammad Thalib, cet. I (ttp: PT. al Ma’arif, 1980),
h. 48.

12
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 48.

Slamet Abidin et al, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: CV Purtaka Setia, 2005), h, 149 10

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006),h 155.

Muhammad Jawad Mughniyah Fiqih Lima Mazhab (Penerbit Lintera Cetakan Ke 22 Jakarta
2008) h. 364

13

Anda mungkin juga menyukai