Anda di halaman 1dari 18

KHITBAH DAN KAF’AH

Tugas Ini Disusun Untuk Memenuhu Tgas Mata Kuliah Fiqih Munakahat
Dosen Pengampu : Uswatun Hasanah, S,H,M.Ag

D
I
S
U
S
U
N

OLEH: KELOMPOK 2

Nama Nim
PUSPITA SARI NASUTION 2020100010
NURUL ANNISA POHAN 2020100224
WAHYUDI HASIBUAN 2020100317

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kita sampaikan kehadirat Allah SWT. Yang telah mencurahkan rahmat,
nikmat, dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan yang
diharapkan, dengan judul ”KHITAH DAN KAFA‟AH”. Shalawat dan salam kita hadiahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa ummatnya dari zaman kebodohan ke
zaman yang berilmu pengetahuan seperti yang sudah kita rasakan saat ini.
Kami mengucapkan terimakasih banyak kepada ibu Uswatun Hasanah, Selaku Dosen
Pengampu kami pada mata kuliah Fiqih Munakahat, karena masih memberikan kesempatan
kepada kami sebagai pembawa makalah atau penyaji makalah untuk didiskusikan bersama.
Penulis sadar bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, karena pengalaman dan
pengetahuan penulis yang terbatas. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat
kami harapkan demi terciptanya makalah yang lebih baik untuk kedepannya.

Padangsidimpuan, 17 sep 2022

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGATAR ..........................................................................................................1


DAFTAR ISI ......................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang .......................................................................................................3
B. Rumusan masalah ..................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Khitbah ................................................................................................ 5
B. Hukum khitbah ......................................................................................................6
C. Hal-hal yang penting dalam khitbah......................................................................7
D. Kafa‟ah dalam perkawinan....................................................................................8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ...........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PEMBAHASAN
A. Latar masalah
Dapat kita lihat dan dapat kita ketahui bahwa banyak hal yang menjdai dasar
terjadinya pernikahan. Bahwasanya cinta, kasih sayang, keinginan, keperluan, dan
kemampuan merupakan beberapa hal yang kerap menjadi sebuah alasan yang utama
dalam dua insan yang melangsungkan pernikahan. Pernikahan ataupun munakah‟at adalah
sebuah hal yang sakral dalam kehidupan dua orang insan. Sebuah janji sehidup semati yag
akan di ikrarkan dalam sebuah pernikahan bukan lagi sebuah hal yang mudah untuk
diwujudkan. Sebuah lika-liku perjalanan hidup mengarungi bahtera pernikahan akan di
jalani dua insan tersebut.
Namun, terlepas dari berbagai sebuah alasan tersebut. Di dalam islam menganjurkan
bahwasanya beberapa syarat yang akan di akan di penuhi sebelum seseorang aka menjalani
sebuah pernikahan. Bukan lagi syarat adanya wali dan perangkat pernikahan lainya, tetapi
terlebih dahulu berkhitbah ataupun akan memiang. Agar merasa lebih yakin untuk
melangsung akad pernikahan tersebut. Dan akan mencari kafa‟ah ataupun kecocokan
antara seorang laki-laki dan perempuan yang akan berkasih dan berkeluarga.

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian khitbah dan kafa‟ah ?
2. Apa ladasan hukum khitbah dan kafa‟ah ?
3. Bagaimana kriteria wanita yang akan dinikahi ?
4. Bagaimaa kriteria kafa‟ah di dalam islam ?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Khitbah
Secara etimologi khitbah dalam bahasa indonesia merupakan sebuah pinangan atau
lamaran yang berasal dari kata pinang,meminang. Meminang di artikan sebagai thalabah
al-mar’ah li al-zawaj sebuah permintaan kepada wanita untuk dijadikan seorang istri.
Dan secara terminologi khitbah adalah sebuah pernyataan permintaan untuk menikah
dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perentaraan
seorang yang dipercayai maupun secara langsung tanpa perantara. Dan adapun tujuan
diisyaratkannya sebuah khitbah adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon
pendampig hidupnya.1
Dapat disimpulkan bahwasanya khitbah itu merupakan mengugnkapkan keinginan
untuk menikah dengan seseorang perempuan yang tertentu dan memberitahukan keinginan
tersebutkepada seorang perempuan tersebut dan walinya. Sebuah pemberitahuan keinginan
ini bisa dilakukan secara langsung oleh seorang laki yang hendak mengkhitbah ataupun
bisa juga dengan cara memakai perantara keluarganya. Jika siperempuan yang hendak
dikhitbah atau keluarganya setuju maka tunangan dinyatakan sah.2
Orang yang mengajukan khitbah disebut khatib ( ‫ ) خطيب‬sedangkan wanita yang sudah
dikhitbah disebut dengan makhthubah ( ‫) مخطُ بت‬.3
Meminang hanya merupakan mukaddimah ataupun pendahuluan bagi perkawinan dan
pengantar menuju ke perkawinan. Wanita yang telah dikhitbah ataupun dipinang tetap
merupakan orang asing (bukan mahram). Tidak boleh wanita yang sudah dikhitbahnya di
ajak hidup serumah layak berumah tangga, dikarenakan hal itu baru boleh setelah
dilaksanakn sebuah akda nikah yang dibenarkan syariat agama dengan rukun dan syarat
tertentu.
Mengapa demikian tidak diperbolehkan?. Dikarenkan kehalalan tersebut belum
diperkenan bagi seoarang laki-laki ataupun seorang perempuan untuk berduaan tanpa
adanya orang ketiga. Jadi, khitbah ini bukanlah sebuah pintu pembukaa kehalalan dalam

1M.Dahlan R. Fikih Munakahat (yokyakarta:Deepublish,2015). hlm 10.


2 Wahbsh Az-Zuhailli.Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jakarta:Gema Insani, 2011). hlm 20-21.
3 Ahmad Sarwat.Eksplopedia fikih idonesia 8: pernikahan (jakarta :gramedia pustaka utama, 2019). Hlm 69.
4
setiap perbuatan kepada yang sudah dikhitbah. Khitbah ini hanyalah pintu pembuka
menuju sebuah persetujuan diterimanya permintaan sebagai calon suami dan istri.4
seluruh kitab ataupun kamus membedakan anatar klata-kata “khitbah” (melamar) dan
“zawaj” (kawin ataupunn menikah), adat ataupun kebiasaan yang juga membedakan anatar
laki-laki yang sudah meminang (bertunangan) denagn yang sudah menikah dan syari”at
pun membedakan secara jelas antar kedua istilah tersebut. Dikarenakan itu, khitbah tidak
lebih dari sekedar mengumumkan keinginnan untuk menikah dengan wanita tertentu,
seangkan zawaj (pernikahan) adalah sebuah akad yang mengikat dan perjanjian yang kuat
dan yang mempunyai batas-batas,syarat-syarat, hak-hak dan akibat-akibbat yang tertentu.
Dan dapat kita ketahui bahwa pinangan yang kemudian beranjut dengan sebuah
pertunangan yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah mnerupakan sebuah
budaya ataupun sebuah tradisi yang intinya adalah khitbah sendiri. Adapun salah satu hal
yag harus kita ketahui bahwasanya anggapan masyarakat itu pertunangan adalah tanda
pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksakan ritual itu, mereka
sudah menjadi mahram adalah keliru. Pertunangan ataupun khitbah belum tentu berakhir
dengan pernikahan. Oleh karena itu baiknya pihak laki-laki maupun perempuan harus tetap
menjag batasan-batasan yang telah ditentukanoleh syariat.
Menurut komplilasi hukum islam pasal 1 huruf a, peminangan ialah kegiatan upaya
kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Dalam
undang-undang no. 1 tahun1974 tentang perkawinan tidak terdapat ketentuan khusus pasal
11-13 (Bab III tentang peminangan) dan RRU hukum terapan peradilan agama bidang
perkawinan. Menurut yahya harahap pengaturan ini demi tertibnya cara-cara peminangan
berdasarkan moral dan yuridis.5
Namun, masa khitbah bukan lagi saatnya untuk memilih. Tetapi mengkhitbah sudah
jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi sholat istihara sebaiknya
dilakukan sebelum khitbah.jadi, islam telah menganjurkan dan bahkan memeritahkan
kaum muslimin untuk melangsungkan pernikahan.

B. Dasar Hukum Khitbah


Meskipun khitbah dalam masyarakat sangat sering dilakukan, namun dalam mayoritas
fuqoha menyatakan bahwa khitbah memang syari‟at islam. Tetapi seseorang tidak wajib

4 M.Dahlan R. Fikih Munakahat (yokyakarta:Deepublish,2015). hlm 10.


5 Siska lis sulistiani,Hukum perdata islam (jakarta timur:sianar grafika,2018). Hlm 39
5
melakukan khitbah sebelum menikah karena tidak ada satu dalil pun, baik dalam al-qur‟an
ataupun sunnah yang menunjukkan secara ekspilist akan kewajiban melakukan khitbah.
Jadi, bahwasanya khitbah ini tidak bisa di sebut bagia dari rukun nikah.
Sungguh islam menjadikan khitbah sebagai perantara untuk mengetahui sifat-sifat
perempun yag dicitai, yang laki-laki menjadi terhadapnya, dengan orang yang
diinginkannya sebagi suami baginya sehingga menuju pelaksanaan pernikahan. Ia
seoarang yang menyenangkan untuk ketinggian istrinya secara indrawi dan maknawi
sehingga tidak menyusahkan hidupnya dan mengeruhkan kehidupannya.
Adapun hukum meming iru ada dua antara lain :
1. Jaiz (diperbolehkan)
a. Apabila perempuan yang dipinang itu tidak dalam status perkawinan (bersuami)
dengan orang lain
b. Apabila perempuan itu tidak dalam „iddah
Adapun dalil yang memperbolehnya adalah :
Allah swt berfirman dalam al-qur’an surah al-baqarah ayat 235 yang berbunyi :

ّ ‫طبَ ِت الىِّ َس ۤا ِء اَ َْ اَ ْكىَ ْىتُ ْم فِ ْْٓي اَ ْوفُ ِس ُك ْم َعلِ َم ه‬


‫ّللاُ اَوَّ ُك ْم‬ ْ ‫ََ ََل ُجىَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َما َعسَّضْ تُ ْم بِ ًٖ ِم ْه ِخ‬
َ‫ْز ُم ُْا ُع ْق َدة‬ ِ ‫َل اَ ْن تَقُ ُْلُ ُْا قَ ُْ ًَّل َّم ْعس َُْفًّا ە ََ ََل تَع‬ ْٓ َّ ِ‫َستَ ْر ُكس َُْوٍَ َُّه ََ هل ِك ْه ََّل تُ َُا ِع ُد ٌَُْ َّه ِس ًّّسا ا‬
‫ّللاَ يَ ْعلَ ُم َما فِ ْْٓي اَ ْوفُ ِس ُك ْم فَاحْ َرز َُْيُ ََۚا ْعلَ ُم ُْْٓ اَ َّن‬ ّ ‫اح َح هتّى يَ ْبلُ َغ ْال ِك هتبُ اَ َجلًَٗ ََا ْعلَ ُم ُْْٓا اَ َّن ه‬ ِ ‫الىِّ َك‬
ّ‫ه‬
‫ّللاَ َغفُ ُْ ٌز َحلِ ْي ٌم‬
Artinya : “Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan
sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa
kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian
(untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata
yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa idahnya.
Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-
Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun (al-baqarah : 235).

2. Haram (dilarang)
a. Apabila perempuan itu dalam status perkawinan (bersuami)
b. Apabila perempuan itu telah dipinang lebih dahulu oleh laki-laki lain

6
c. Apabila perempuan itu dalam masa „iddah baik dalam „iddah raj‟i, thalak bain
maupun „iddah karena ditinggal mati oleh suaminya.
Kebanyakan para ulama mengatakan bahwasanya tunangan hukumnya mubbah,
dikarenakan tunangan ibarat janji dari kedua mempelai unyuk menjalin hidup bersama
dalam ikatan keluarga yang harmonis. Tunangan bukan hakekat dari perkawinan
melainkan langkah awal menuju taliu perkawinan.
Namun sebagian ulama cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunnah dengan
alasanya akad-akad yang lain sehinga seblumya disunnahkan khhitbah sebagi priode
penyesuaiannya kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumahh
taggapun akan lebih akan mantap.6
Pada prinsip apabila telah dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang
perempuan, berlumbah berakibat hukum. Sebagimana yang telah dijelaskan dalam KHI
pasal 13 ayat :
a. pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan
hubungan peminangan
b. kebebasan memutuskan hubunga peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik
sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina
kerukunan dan saling menghargai.
Karena peminangan prinsipnya belum berakibat hukum, maka diantara mereka yang
telah bertunangan, tetap dilarang untuk berkhalwat (bersepi-sepi berdua) sampai dengan
mereka melangsungkan akad perkawinan.
Hukum islam di indonesia menentukan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah
persetujuan dari kedua calon mempelai. Sebagiamana tercantum dalam pasal 6 ayat (1) jo.
Pasal 16 ayat (1) KHI.
Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata
dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti tidak ada
penolakan yang tegas. Hal ini sebagiaman tercantum dalam KHI pasal 16 ayat (2).7

C. Hal-hal Penting Dalam khitbah


1. Wanita yang boleh khitbah

6 Sudarto. Fikih munakahat (yogyakarta:cv budi utama,2012) hlm 27-34.


7 H.M Syukri Albani Nasution,Hukum perkawian muslim (jakarta :prenadamedia group,2020).hlm 93-94.
7
Pada dasarnya peminangan itu adalah proses awal dari suatu perkawinan. Dengan
demikian perempuan-perempuan yang secara hukum syara boleh dikawini oleh seoarng
laki-laki berarti boleh dipinang. Didalam islam memberikan garis yang tegas tentang siapa
saja wanita yang boleh dipinang dan siapa saja wanita yang tidak boleh dipinang, adapun
wanita yang boleh dipinang (dikhitbah), antar lain :
a. Wanita yang tidak berstatus sebagai istri orang lain. Dikarenakan meminag wanita
yang menjadi istri orang lain akan merusak hubungan suami-istri dan itru haram
hukumnya.seseorang juga tidak diperbolehkan membunjuk istri orang lain agar
meminta cerai kepada suamiy, agar bisa dipinang dan dinikahi. Karena itu
merupakan pelanggaran terhadap kehormatan seorang muslim. Sebab seorang
muslim itu wajib menjaga kehormatan saudaranya sesama muslim dan tidak boleh
merusak ataupun menonainya.
b. Wanita yang belum (tidak sedang) dipinang oleh lelaki lain yang sah menurut hukum
syara‟. Dikarenakan wanita yang telah dipinang lelaki lain dan ia telah menyetujui
(menrima) dipinang tersebut,maka haram hukumnya bagi lelaki lain untuk
meminangnya
c. Wanita yang tidak sedang meenjalani masa iddah. Diharamkan bagi laki-laki untuk
meminang perempuan yag masih sedang dalam masa iddah, baik karena dicerai
maupun karena ditinggalkan mati oleh suaminya.8
2. Melihat wanita yang dipinang
Waktu berlangsungnya pernikahan, laki-laki yang akan melakukan peminangan
dibolekan melihat perempuan yang dipinagnya meskipun menurut asalnya seorang laki-
laki tersebut tidak diperbolehkan melihat perempuan. Kebolehan melihat disini didasarkan
kepda hadits bnabi dari jabir menurut riwayatnnya ahamd dan abu dawud dengan sanad
yang begitu dipercayai yang berbunyinya :
“dari jabir berkata rasullulah saw bersabda: Apabila seseorang diantaranya kamu
meminang seorang perempuan, jika ia dapat, maka ia dapat, maka ia dapat
melihatnya, agar dapat mendorongnya untuk menikahinya maka laksanakanlah”.
(HR.Ahmad dan daud).
3. Batas yang boleh dilihat

8 Saiful Hadi El-Sutha,Kado Istimewa Calon Pengantin (jakarta selatan,Kawah Media,2017) hal 69.
8
Meskipun hadis nabi menetapkan diperbolehkan melihat perempuan yang akan
dipinang tersebut, namun ada batassan-batasan yang diperbolehkan dilihat. Dalam hal ini
terdapat perbedaan pedapat dikalangan ulama. Jumhur ulama mengatakan bahwa yang
boleh dilihat hanyalah muka dan telapak tangan. Ini adalah batasan yang umum aurat
seorang perempuan.alasanya mengapa diidentikan dengan muka dan telapak tangan dapat
kita ketahui bahwasanya melihat muka dapat dilihat kecantikannya sedangkan telapak
tangan itu terlihat kesuburan badan perempuan tersebut.
Dan adapun waktu melihat kepda perempuan itu adlah saat menjelang menpaikan
pinangan bukan setelahnya, dikarenakan apabila ia tidak suka setelah melihat ia akan dapat
meninggalkannya tanpa menyakitinya.9
4. Kriteria wanita yang akan dipinang
Ketika kita ingin menentukan calon pendamping hidup, maka kita harus
pandaipandai memilih pasangan yang baik. Kriteria wanita yang akan dipinang :
a. Beragama dan mau menjalankannya dengan baik. Dalam memilih calon istri,
carilah wanita yang mentaati agama dengan baik, memperhatikan hak-hak
suami serta memelihara anak-anaknya dengan baik. Hal ini sesuai dengan
hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan At- Tirmidzi dari Jabir, ia
berkata bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Sesungguhnya wanita itu dinikahi orang karena agamanya, hartanya, dan
kecantikannya, maka pilihlah yang beragama agar kamu selamat”. (HR.
Bukhari).
b. Perawan (gadis). Demikian pula sekiranya keperawanan seorang perempuan
menjadi salah satu kriteria wanita yang akan dijadikan sebagai calon istri.
Wanita yang masih gadis yang belum pernah mengikat hubungan cinta dengan
laki-laki lain, kalau menikah dengan wanita seperti ini akan dimungkinkan
akan terjalin hubungan suami istri yang kokoh. Dalam hadist yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda:
“Hendaklah kamu mengawini perawan-perawan. Karena mereka lebih tawar
44mulutnya lebih banyak anak-anaknya dan lebih rela menerima yang
sedikit”.(HR.Ibnu Majah)

9 Kumedi jafar,hukum perkawinan di indonesia (suka bumi,2021) hlm 9-10


9
c. Turunan orang yang berkembang (mempunyai keturunan yang sehat, subur,
banyak anak). Hal ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan An- Nasa‟i dari Ma‟qil bin Yasar ia berkata: “Sesungguhnya
datang seorang laki-laki kepada Nabi Muhammad SAW, ia berkata: “Aku
telah mendapat wanita bangsawan yang cantik, hanya saja ia tidak bisa
member keturunan. Baiklah akan menikah dengannya, wahai Rasulullah?”,
Beliau menjawab: “Tidak, kawinlah dengan orang yang dikasihi lagi
berkembang” Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, juga
disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Kawinlah kamu dengan
wanita yang subur dan dicintai. Karena sesungguhnya aku akan
membanggakan jumlahmu yang banyak terhadap umat-umat lain pada hari
kiamat.”
d. Kecantikan. Sesungguhnya kecantikan adalah sifat yang hakiki. Seorang laki-
laki menyukai wanita yang cantik dan mempesona, begitu juga seorang wanita
menyukai pria yang tampan dan gagah. Islam tidak menentang tuntutan ini.
Karena itulah Islam memperbolehkan seorang wanita dan laki-laki
memperbolehkan saling melihat satu sama lain sebelum menikah.
e. Nasab. Nasab merupakan hal yang harus diperhatikan. Anak perempuan yang
tumbuh dalam keluarga yang mulia akan menjadi perempuan mulia dan
terhormat, sebaliknya jika keluarga itu hina, niscaya ia akan menemui
penderitaan dan siksaan.10

D. Kaffa’ah Dalam Perkawinan


1. Pengertian kafa‟ah
Kafa‟ah secara etimologi adalah sama, sesuai dan sebanding. Para ulama Imam
madzhab berbeda pendapat dalam memberi pengertian Kafa‟ah dalam
perkawinan.Menurut ulama Hanafiyah, kafa‟ah adalah persamaan laki-laki dan
perempuan dalam nasab, Islam, pekerjaan, merdeka, nilai ketakwaan dan harta. Menurut
ulama Malikiyah, kafa‟ah adalah persamaan antara laki-laki dengan perempuan dalam
agama dan selamat dari cacat yang memperoleh seorang perempuan untuk melakukan
khiyar terhadap suami.

10Mukhamad sukur,”perbandingan hukum terhadap status barang akibat pembatalan khitbah secara sepihak
menurut empat madzab,jurnal hukum islam, vol.6 no. 1, 2017,hlm 116.
10
Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyyah, kafa‟ah adalah persamaan suami dengan
isteri dalam kesempurnaan atau kekurangannya baik dalalm hal agama, nasab, merdeka,
pekerjaan dan selamat dari cacat yang memperbolehkan seseorang perempuan untuk
melakukan khiyar terhadap suami .
Karena perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka didalamnya adanya tujuan
dan maksud mengharapkan keridhaan Allah SWT.Kafa‟ah dalam pernikahan adalah
persesuaian keadaan antara laki-laki (calon suami) dan perempuan (calon istri), yaitu sama
kedudukannya. Suami sama atau seimbang kedudukannya dengan isterinya dalam
kekayaan, keturunan atau nasab. Tinjauan kafa‟ah ini selalu dilakukan agar perkawinan
dapat dilakukan secara baik dan dapat lestari.
Dari defenisi yang telah diterangkan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kafa‟ah
merupakan keseimbangan atau kesepadanan antara calon suami dan isteri dalam hal hal
tertentu, yaitu, agama, nasab, pekerjaan, merdeka, dan harta. Sedangkan Nabi Muhammad
SAW memberikan ajaran mengenai ukuran-ukuran kufu‟ dalam perkawinan agar
mendapatkan kebahagiaan dalam berumah tangga berdasarkan hadits Nabi SAW. Artinya:
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW.:
Sesungguhnya beliau bersabda: “Nikahilah perempuan karena empat perkara :
pertama karena hartanya, kedua karena derajatnya (nasabnya), ketiga karena
kecantikannya, keempat karena agamanya, maka pilihlah karena agamanya, maka
terpenuhi semua kebutuhanmu.”
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa jika seorang laki-laki akan menikahi seorang
perempuan, maka ia harus memperhatikan empat perkara hartanya, derajatnya (nasabnya),
kecantikannya, dan agamanya. Namun Nabi SAW sangat menekankan faktor agama untuk
dijadikan pertimbangan dalam memilih pasangan.

2. Hukum kafa‟ah
Lantas bagaimanakah hukum kafa‟ah dalam islam? Beragam jawaban yang
dikemukakan oleh para fuqaha.Di dalam Al-qur‟an tidak ada nash yang secara jelas
menerangkan konsep kafa‟ah,sehingga tidak mengherankan apabila dikalangan jumhur
ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum kafa‟ah.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kafa‟ah amat penting untuk kelangsungan suatu
perkawinan,meskipun menurut mereka kafa‟ah tidak termasuk syarat sahnya suatu

11
perkawinan dalam arti kafa‟ah hanya semata keutamaan dan sah perkawinan antara orang
yang tidak sekufu‟.Pendapat ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
Artinya “ Sungguh saya akan mencegah perkawinan perempuan-perempuan bangsawan
kecuali kawin dengan laki-laki yang sekufu.”
Sedangkan Ibn Hazm pemuka madzhab dhahiriyah,mutlak tidak mengakui adanya
kafa‟ah dalam perkawinan.Ia berpendapat bahwa setiap muslim selama tidak melakukan
zina boleh menikah dengan perempuan muslimah siapapun orang nya asal bukan
perempuan pezina.
Demikianlah pandangan ulama tentang kafa‟ah .Satu hal yang perlu ditekankan
meskipun kafa‟ah bukan salah satu rukun atau syarat sahnya pernikahan,namun kafa‟ah
merupakan sebuah ikhtiar dalam rangka mewujudkan sebuah rumah tangga yang ideal
dalam bingkai mawaddah warahmah.

3. Waktu berlakunya kafa‟ah


Kafa‟ah atau kufu diukur pada waktu berlangsungnya akad dalam suatu
perkawinan.Jika selesai akad terjadi kekurangan ataupun keadaanya berubah,maka hal itu
tidak mengganggu dan tidak membatalkan apa yang sudah terjadi,serta tidak
mempengaruhi hukum akad nikah.Karena syarat-syarat perkawinan hanya diukur ketika
berlakunya akad nikah.
Apabila seseorang pada waktu akad mempunyai mata pencarian yang
terhormat,mampu memberi nafkah dan termasuk orang yg saleh,kemudian berubah
menjadi hina,tidak sanggup memberi nafkah atau fasik terhadap perintah Allah dan
semuanya terjadi setelah selesainya akad,maka akadnya tetap berlaku.Karena masa selalu
berganti dan orang tidak selamanya tetap keadaannya.
Jadi kafa‟ah dinilai pada waktu terjadinya akad dalam suatu perkawinan,apabila
keadaanya berubah sesudah selesai nya akad maka hal tersebut tidak mempengaruhi akad
ataupun membatalkan perkawinan di kalangan ulama,baik mengenai kedudukannya dalam
perkawinan maupun kriteria apa yang digunakan dalam penentuan kafa‟ah.
Dalam kriteria yang digunakan untuk menentukan kafa‟ah terbagi menjadi dua segi
yaitu;
a) Dalam Segi Agama
Ada dua penafsiran atau versi yang berbeda mengenai kufu‟dalam hal agama ini,yaitu
yang pertama tola ukur kufu‟dalam agama dinilai dari keislaman nasab (leluhur/nenek

12
moyangnya). Apabila seorang perempuan mempunyai ayah dan kakek Islam dianggap
tidak sekufu dengan orang yang punya ayah dan kakek bukan Islam.Seorang hanya
mempunyai orang tua Islam sekufu dengan orang yang hanya mempunyai satu orang tua
yang Islam,sebab penceraian dapat dituntut oleh ayah dan kakeknya.Hak menuntut cerai
itu tidak akan berpindah kepada selain ayah dan kakeknya.Sedangkan pendapat yang
kedua ,mengartikan ukuran kafa‟ah dalam hal agama(dien atau dinayah) adalah tingkat
ketaatan dalam menjalankan perintah agama.Bahkan ulama Malikiyah beranggapan
bahwa hanya inilah satu-satunya yang dapat dijadikan kriteria atau tolak ukur
kafa‟ah.Alasan yang dikemukakan oleh golongan Maliki adalah Firman Allah dalam
surah Al-hujurat ayat 13 yang berbunyi:
ّ ‫ازفُُْ ا ۚ اِ َّن اَ ْك َس َم ُك ْم ِع ْى َد ه‬
ِ‫ّللا‬ َ ‫هيْٓاَيٍَُّا الىَّاسُ اِوَّا خَ لَ ْق هى ُك ْم ِّم ْه َذ َك ٍس ََّاُ ْو هثى ََ َج َع ْل هى ُك ْم ُشعُُْ بًّا ََّقَبَ ۤا ِى َل لِتَ َع‬
ّ ‫اَ ْت هقى ُك ْم اِ َّن ه‬
‫ّللاَ َعلِ ْي ٌم خَ بِ ْي ٌس‬

Artinya:‟Hai manusia,sesungguhnyaKami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan


seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling mengenal.Sesunnguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yg paling bertakwa diantara kamu‟‟ (QS Al Hujurat :13).
Ayat ini mengakui bahwa nilai kemanusiaan pada setiap orang adalah sama,tak
seorang pun lebih mulia dengan yang lain,kecuali karena ketakwaannya dengan
menunaikan kewajibannya kepada Allah dan kepada sesame manusia.
b) Dalam Segi Sosial
Ada beberapa hal yang menjadi kriteria atau tolak ukur kafa‟ah dalam segi social
ini,diantaranya yaitu;
1) Nasab atau keturunan
Yang dimaksud unsur keturunan adalah bahwa orang tua pria itu
ada,dikenal,dan berasal dari keluarga baik-baik.Dikalangan Imam madzhab
sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan dalam menafsirkan unsur
keturunan ini,akan tetapi mereka memiliki definisi yang berbeda dengan pendapat
yang diatas.
2) Merdeka
Merdeka adalah pembebasan atau pernyataan tidak lagi mengikat
budak.Ada lagi yang menafsirkan bahwa yang dimaksud merdeka adalah bebas
dari perhambaan atau penjajahan.
13
3) Kekayaan
Kriteria yang ketiga tolak ukur kafa‟ah dalam segi social adalah
kekayaan.Yang dimaksud kekayaan adalah kesanggupan membayar maahar dan
nafkah perkawinan nantinya,bukan kaya dalam arti orang yang memiliki harta
berlimpah.
4) Tidak Cacat
Syarat kufu‟ lain adalah sehat jasmanidan rohani
5) Pekerjaan
Unsur lain dalam kriteria kafa‟ah adalah pekerjaan atau mata
pencaharian.Seorang perempuan dari keluarga yang pekerjaanya tetap dan
terhormat dianggap tidak sekufu dengan laki-laki yang rendah
penghasilannya.Akan tetapi jika pekerjaannya itu hampir bersamaan
tingkatnya,maka dianggap tidak menjadi halangan atau sudah dianggap standart
kufu‟.Sedangkan untuk mengetahui pekerjaan itu tidak dapat diukur dengan
kebiasaan masyarakat stempat.Sebab adakalanya suatu pekerjaan terhormat di
suatu tempat dianggap tidak terhormat ditempat atau masa yang lain.

Dari pemahaman pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 kalau


ditinjau dari konsep kafa’ah maka prinsip kesejajaran dalam masalah agama yang
dianut oleh masing-masing mempelai harus sama meskipun tidak secara tegas
Negara melarang terjadinya perkawinan antar agama yang berbeda.

Selain Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkaiwinan sebagai hukum


materi khusus bagi pemeluk agama Islam di Indonesia juga ada aturan yang lebih
khusus mengatur tentang perkawinan yang terdapat dalam Instruksi Presiden RI
Nomor 1 Tahun 1991 tentang komplikasi hukum Islam di Indonesia khususnya
yang terdapat didalam Bab 1 tentang perkawinan.Kalau melihat isi pasal demi
pasal dari aturan tersebut bahwa syarat sekufu dalam pengertian kafa‟ah tidak
diharuskan dalam proses terjadinya perkawinan atau lebih teknisnya dalam proses
peminangan dan dalam hal aturan pencegahan atau lebih jelasnya didalam pasal 61
komplikasi Hukum Islam menyebutkan bahwa‟‟tidak sekufu tidak dapat dijadikan
alasan untuk mencegah perkawinan,kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama
atau ikhtilaafu al dien’’ . Dari pasal ini dapat disimpulkan meskipun dalam hal-hal

14
tertentu dapat dilakukan pencegahan perkawinan oleh wali nikah khususnya
terdapat didalam pasal 60 ayat 2 KHI yaitu dalam hal bila calon suami atau istri
yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhu syarat untuk
melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan
perkawinan menurut hukum islam dan aturan perundang undangan namun syarat
sekufu tidak bisa dijadikan alasan pencegahan perkawinan oleh wali nikah kecuali
disebabkan karena ketidaksamaan dalam hal agama yang dianut masing-masing
calon.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dapat kami simpulkan mengenai materi yang telah kami paparkan di atas khitbah
merupakan keinginan untuk menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan
memberitahu perempuan yang dimaksud dengan keluarganya(walinya).Proses khitbah
dapat berlangsung,yaitu diantara khitbah dapat dilakukan sendiri oleh seorang ikhwan
langsung kepada akhwatnya ataupun dengan mewakilkan,kemudian bisa juga
dilakukan oleh seorang ikhwan kepada keluarga atau wali pihak akhwat.

Kafa‟ah atau kufu‟ dalam perkawinan menurut istilah hukum Islam, yaitu
keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing
calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan.
Kriteria kafa‟ah diantaranya; Agama,kedudukan,kemerdekaan,keterampilan dan
kemampuan.

B. Saran
Kami selaku penulis mengharapkan dan menyarankan kepada seluruh pembaca agar
senantiasa menelusuri,mencari dan membaca materi serupa dengan yang kami
paparkan dalam makalah ini pada sumber rujukan lain serta memahaminya guna
mendapatkan informasi dan ilmu yang lebih luas dan rinci.Sebab,penulis mengakui
bahwa penulisan makalah ini belum cukup sempurna dan butuh kritik dan saran yang
membangun dari pembaca nantinya agar makalah ini dapat disempurnakan oleh
penulis dikemudian hari.

16
DAFTAR PUSTAKA

M.Dahlan R. Fikih Munakahat (yokyakarta:Deepublish,2015). hlm 10.


Wahbsh Az-Zuhailli.Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jakarta:Gema Insani, 2011). hlm 20-
21.
Ahmad Sarwat.Eksplopedia fikih idonesia 8: pernikahan (jakarta :gramedia pustaka utama,
2019). Hlm 69.

M.Dahlan R. Fikih Munakahat (yokyakarta:Deepublish,2015). hlm 10.


Siska lis sulistiani,Hukum perdata islam (jakarta timur:sianar grafika,2018). Hlm 39

Sudarto. Fikih munakahat (yogyakarta:cv budi utama,2012) hlm 27-34.


H.M Syukri Albani Nasution,Hukum perkawian muslim (jakarta :prenadamedia
group,2020).hlm 93-94.

Saiful Hadi El-Sutha,Kado Istimewa Calon Pengantin (jakarta selatan,Kawah


Media,2017) hal 69.

Kumedi jafar,hukum perkawinan di indonesia (suka bumi,2021) hlm 9-10

Mukhamad sukur,”perbandingan hukum terhadap status barang akibat pembatalan


khitbah secara sepihak menurut empat madzab,jurnal hukum islam, vol.6 no. 1, 2017,hlm
116.

17

Anda mungkin juga menyukai