Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KHITBAH

Disusun Oleh:

Nama: M. Rizky

NPM: 2006030036

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN

MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI

FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata‟ala atas segala karunia nikmatnya sehingga

makalah hukum perdata dan perdata islam di indonesia yang berjudul “Sejarah Munculnya

Persoalan Teologi dan Sketsa-sketsanya dalam Islam Syi‟ah, Asy‟ariah dan Matoridiah”.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tauhid yang diampu oleh Ibu Dona

Hariyati.

Makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya tidak lepas dari bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu. Untuk itu kami

ucapkan terima kasih.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini, baik

dari segi EYD, kosa kata, tata bahasa, etika maupun isi. Oleh karenanya penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian untuk kami jadikan

sebagai bahan evaluasi.

Demikian, semoga makalah ini dapat diterima sebagai ide/gagasan yang menambah

kekayaan intelektual bangsa.

Banjarmasin, 31 Oktober 2021

M.rizky

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................................1

B. Rumusan Masalah ...........................................................................................1

C. Tujuan .............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Khitbah.......................................................................................... 3
B. Perempuan yang boleh Dikhitbah ................................................................... 4
C. Hukum Mengkhitbah Perempuan yang Dalam Masa Iddah ........................... 7
D. Hukum Mengkhitbah Tunangan Orang Lain ................................................. 8
E. Hukum dan Dampak Negatif Membatalkan Khitbah ..................................... 10

BAB III PENUTUP

Kesimpulan ........................................................................................................... 113

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam UU Perkawinan sama sekali tidak membicarakan peminangan. Hal ini mungkin

disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat dengan perkawinan.

KHI (Kompilasi Hukum Islam) mengatur peminangan itu dalam pasal 1, 11, 12, dan 13.

keseluruhan pasal yang mengatur peminangan ini keseluruhannya berasal dari fiqh madzhab,

terutama madzhab Syafi‟ie. Namun hal-hal yang dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh tentang

peminangan seperti hukum perkawinan yang di lakukan setelah berlangsungnya peminangan

yang tidak menurut ketentuan, tidak diatur dalam KHI.

Dalam makalah ini dijelaskan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pinangan atau

dalam bahasa lain (baca: Arab) adalah khitbah (merujuk pada Kompilasi Hukum Islam 1991

Pasal 12, tentang aturan pinangan). Selain itu, permasalahan khitbah ini sering dianggap sepele

oleh masyarakat Indonesia tanpa mengacu kepada hukum-hukum Islam yang ada. Oleh karena

itu, dalam makalah ini diulas beberapa hal yang berhubungan dengan khitbah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang Dimaksud dengan Khitbah ?

2. Apa Syarat Perempuan yang Boleh Dikhitbah ?

3. Bagaimana hukum Mengkhitbah Perempuan yang Dalam Masa Iddah ?

4. Bagaimana Hukum Mengkhitbah Tunangan Orag Lain ?

5. Apa Hukum dan Dampak Negatif Membatalkan Khitbah ?

C. Tujuan

1
2

1. Agar Kita Mengetahui Decara Detail tentang Makna dari Khitbah

2. Untuk Mengetahui Bagaimana Perempuan yang Boleh Dikhitbah

3. Untuk mengetahui hukum Mengkhitbah Perempuan yang Dalam Masa Iddah

4. Untuk Mengetahui Hukum Mengkhitbah Tunangan Orag Lain

5. Untuk Mengetahui Hukum dan Dampak Negatif Membatalkan Khitbah


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Khitbah

Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu

gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia

hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah

merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau

permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.

Seluruh kitab/kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj"

(kawin/menikah), adat/kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang

(bertunangan) dengan yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara

kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan

untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang

mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan

akibat-akibat tertentu.

Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam

masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu

sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal

penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti

menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah

menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan.

3
4

Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang

telah ditentukan oleh syariat.

Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen

untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah sebaiknya dilakukan sebelum

khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah

saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada

takdir Allah yang menghendaki lain.

Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk

menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat

memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain

untuk meminangnya.

Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah dipinang

atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar sehingga

terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh si wanita diajak hidup serumah

(rumah tangga) kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syara', dan rukun

asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul. Selama akad nikah - dengan ijab dan kabul - ini belum

terlaksana, maka perkawinan itu belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara',

maupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si peminang

(pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan.

B. Perempuan Yang Boleh Dikhitbah

Adapun syarat-syarat khitbah;

Syarat-Syarat Khitbah
5

Membicarakan syarat pinangan tidak dapat di pisahkan dari pembicaraan tentang

halangannya. Karena itu di sini dibicarakan dalam satu subpokok bahasan, agar di perole

gambaran yang jelas. Pertunangan diperbolehkan oleh agama apabila terpenuhi syarat-syarat di

bawah ini :

a) Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada hubungan keluarga

(mahram), tunggal susuan (rodhoah), mushoharoh, atau penghalang yang lain, sebab

tunangan adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya dengan akad

perkawinan.

b) Tidak berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan

Imam An-Nasai mengatakan :" Tidak boleh bagi seorang lelaki melamar tunangan orang lain

sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya "Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh

Imam Ahmad dan Imam Muslim. Keharaman ini jika tidak mendapat izin dari pelamar

pertama atau ada unsur penolakan dari pihak mempelai wanita, itu tadi adalah pendapat

mayoritas ulama' (Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah), namun sebagian ulama' lain

memperbolehkan khitbah tersebut apabila tidak ada jawaban yang jelas dari mempelai

wanita.

Adapun cara menyampaikan ucapan peminangan terdapat dua cara :

a) Menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang dalam arti langsung dipahami atau tidak

mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan seperti ucapan : “saya

berkeinginan untuk menikahimu”.


6

b) Menggunakan ucapan yang kurang jelas dan tidak terus terang (kinayah) yang berarti ucapan

itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan, seperti ucapan : “tidak ada orang yang

tidak senang kepadamu”.

Keadaan keadaan perempuan yang dapat dipinang dibagi dalam tiga hal :

a. Perempuan tersebut menyukai laki-laki yang meminangnya dan menyetujui pinangan itu

secara jelas memberi izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.

b. Perempuan tersebut tidak senang dengan laki-laki yang meminang dan secara terus terang

menyatakan ketidaksetujuannya baik dengan ucapan atau dengan tindakan atau isyarat.

c. Perempuan itu tidak memberikan jawaban yang jelas, namun ada isyarat dia menyenangi

peminangan itu.

Perempuan dalam keadaan yang pertama tersebut tidak boleh dipinang oleh seseorang.

Sedangkan dalam keadaan kedua boleh dipinang karena pinangan pertama jelas ditolak. Adapun

perempuan dalam keadaan yang ketiga menurut sebagian ulama‟ diantaranya Ahmad bin Hanbal

juga tidak boleh dipinang sama keadaannya dengan perempuan dalam keadaan pertama. Namun,

sebagian ulama‟ berpendapat bahwa tidak haram meminang perempuan yang tidak secara jelas

menerima pinangan pertama.

Perempuan yang belum menikah atau sudah menikah dan telah habis masa iddahnya

boleh dipinang dengan ucapan terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran. Tidak boleh

meminang seorang perempuan yang masih punya suami, meskipun dengan janji akan

dinikahinya pada waktu dia telah boleh dinikahi; baik dengan menggunakan bahasa terus terang

seperti : “Bila kamu dicerai suamimu saya akan menikahi kamu” atau dengan bahasa sindiran,

seperti : “”.
7

C. Hukum Mengkhitbah Perempuan yang Dalam Masa Iddah

Perempuan yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalani iddah raj‟i, sama

keadaannya dengan perempuan yang punya suami dalam hal ketidakbolehannya untuk dipinang

bak dengan bahasa terus terang atau bahasa sindiran. Alasannya, ialah bahwa perempuan dalam

iddah talak raj‟i statusnya sama dengan perempuan yang sedang terikat dalam perkawinan.

Sedangkan perempuan yang sedang menjalani iddah karena kematian suaminya, tidak boleh

dipinang dengan menggunakan bahasa terus terang.

Bagi perempuan yang sedang menjalani masa iddah, baik karena talak dengan suaminya,

atau karena ditinggal mati oleh suaminya, maka dia tidak boleh menerima lamaran dari laki-laki

lain sebelum masa iddahnya sudah berakhir. Ia haram menerima lamaran laki-laki tersebut,

meskipun hanya dalam bentuk ucapan.

Selain itu, bagi seorang laki-laki tidak diperbolehkan melamar perempuan yang sedang

menjalani masa iddah dengan menggunakan perkataan dan ucapan yang sharih atau jelas.

Perkataan dan ucapan sharih adalah perkataan yang secara pasti menunjukkan adanya keinginan

kuat untuk menikah dengan seorang perempuan. Misalnya, „Aku ingin menikahimu.

Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab I‟anatut Thalibin berikut;

“Haram melamar perempuan yang sedang menjalani iddah dengan perkataan yang jelas, baik

karena talak raj‟i dan talak bain, atau karena fasakh, atau karena ditinggal mati oleh suaminya.”

Juga disebutkan dalam kitab al-Bajuri sebagai berikut;

“Dan tidak boleh melamar perempuan yang sedang iddah dengan perkataan yang jelas, baik

karena iddah wafat, atau karena talak bain dan raj‟i. Yang dimaksud perkataan jelas adalah
8

perkataan yang secara pasti menunjukkan adanya keinginan kuat untuk menikah, seperti berkata

kepada mu‟taddah, „Akun ingin menikahimu.‟”

Adapun jika melamar dengan menggunakan perkataan sindiran atau majaz, maka

hukumnya boleh. Yang dimaksud perkataan sindiran adalah perkataan yang tidak secara pasti

menunjukkan keinginan untuk menikahi seorang perempuan. Misalnya, „kamu cantik atau

Jangan khawatir dicerai suamimu, saya yang akan melindungimu‟ dan lain sebagainya.

Dalam kitab Ghayah al-Taqrib, Syaik Abu Syuja‟ mengatakan sebagai berikut;

“Dan tidak boleh melamar perempuan yang sedang menjalani masa iddah dengan perkataan yang

jelas, namun boleh melamarnya dengan cara sindiran dan menikahinya setelah selesainya masa

iddah.”

D. Hukum Mengkhitbah Tunangan Orang Lain

Wanita yang sudah dilamar kerap disepakati sebagai wanita yang hampir sah menjadi

pasangan seseorang tertentu sebelum ada hal-hal yang menggugurkannya. Lantas, bagaimanakah

hukum melamar wanita yang sudah dilamar orang?

Berdasarkan buku Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd

dijelaskan, melamar wanita yang sudah dilamar orang merupakan hal yang dilarang sebagaimana

yang disabdakan Rasulullah SAW dalam sebuah hadis shahih. Namun demikian, para ulama

berselisih pendapat apakah larangan tersebut menunjukkan batalnya perbuatan yang dilarang

atau tidak? Jika iya, maka dalam keadaan apa hal itu berlaku?
9

Menurut Imam Dawud, pernikahan tersebut otomatis batal. Sedangkan menurut Imam

Syafi‟i dan Imam Abu Hanifah, pernikahannya tidak batal. Sedangkan Imam Malik memiliki tiga

versi pendapat mengenai hal ini.

Pertama, pendapat beliau sama dengan Imam Dawud yakni batal. Kedua, pendapatnya

sama dengan Imam Syafi‟i dan Imam Abu Hanifah. Dan di pendapat yang ketiga, beliau

berpendapat bahwa pernikahan batal jika terjadi sebelum adanya hubungan seks, dan tidak batal

jika terjadi sesudahnya.

Sedangkan menurut Ibnu al-Qasim, maksud larangan tersebut adalah jika seseorang yang

saleh melamar atas lamaran sesama orang yang saleh. Akan tetapi, jika seseorang yang saleh

melamar atas lamaran orang yang tidak saleh maka hukumnya boleh.

Namun begitu perkara melamar atas lamaran orang lain menurut mayoritas ulama,

hukumnya haram. Hal ini sebagaimana yang dikutip oleh al-Hafizh dalam kitab Fathul Bari.

Dalam kitab tersebut dijabarkan, menurut Al-Khittabi menegaskan bahwa sebagian besar ulama

ahli fikih menegaskan larangan akan hal tersebut.

Larangan dilakukan sebab mendahulukan adanya etika. Sehingga larangannya bukanlah

larangan haram yang bisa membatalkan akad. Sedangkan Imam An-Nawawi berpendapat, para

ulama sepakat bahwa hal tersebut merupakan larangan yang bersifat haram namun demikian

mereka berselisih pendapat mengenai syarat-syaratnya.

Menurut ulama-ulama dari mazhab Imam Syafi‟i dan Imam Hambali, hukum raham

diterapkan apabila lamaran sudah dijawab dengan tegas atau sang wali sudah merestuinya.

Namun jika lamaran sudah ditolak dengan tegas, maka hal itu tidak menjadi haram.
10

Sedangkan Imam Dawud berpendapat, jika lelaki kedua menikahi wanita tersebut, maka

akad nikahnya akan batal. Baik laki-laki itu sudah menggaulinya atau belum, akad nikahnya

tetap batal. Namun demikian di kalangan ulama-ulama mazhab Maliki, masalah ini memiliki dua

versi pendapat yang menyertainya.

Sebagian dari ulama mazhab ini berpendapat, akad nikah akan batal jika belum digauli,

bukan sesudahnya. Sedangkan sebagian lainnya berpendapat sebaliknya.

E. Hukum dan Dampak Negatif Membatalkan Khitbah

Memang sering kali tali pertunangan putus di tengah jalan tanpa membuahkan hasil

sampai ke jenjang perkawinan, mungkin sebab terlalu lama menunggu, kondisi yang kurang

mendukung atau karena kemelut badai yang mengguncang eratnya tali pertunangan hingga

pudar.

Ulama' berpendapat, boleh saja membatalkan tali pertunangan, namun itu adalah makruh,

sebab pertunangan ibarat ikatan janji setia dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama

membina rumah tangga bahagia, sedangkan pembatalan pertunangan ini adalah sebuah

pengkhianatan ikatan janji setia.Belum juga imbas dari pembatalan tali pertunangan ini, sudah

tidak asing lagi, tunangan yang batal adalah ajang percorengan muka, kebahagiaan yang indah,

kenangan manis dan canda ria pun ikut hangus terbakar, kemelut mengguncang. Lalu bagaimana

sikap ulama' menanggapi masalah ini?

Meskipun Islam mengajarkan bahwa memenuhi janji adalah suatu kewajiban, dalam

masalah janji akan menikah ini kadang-kadang terjadi hal-hal yang dapat menjadi alasan yang

sah menurut Islam untuk memutuskan hubungan petunangan. Misalnya, diketahui adanya cacat
11

fisik atau mental pada salah satu pihak beberapa waktu setelah pertunangan, yang dirasakan akan

mengganggu tercapainya tujuan itu tidak dipandang melanggar kewajiban termasuk hak khiyar.

Berbeda halnya pemutusan pertunangan tanpa alasan yang sah menurut ajaran Islam.

Misalnya, karena ingin mendapatkan yang lebih baik dari segi keduniaan. Ditinjau dari segi nilai

moral Islam, pemutusan pertunangan seperti itu sama sekali tidak dapat dibenarkan.

Masalah yang sering muncul adalah pada masa peminangan, pihak laki-laki memberikan

hadiah-hadiah pertunangan atau – mungkin – mahar telah dibayarkan kepada pihak perempuan

sebelum akad nikah dilaksanakan, bagaimana nasib hadiah-hadiah atau mahar tersebut apabila

akhirnya pertunangan terputus? Apakah dikembalikan pada pihak laki-laki atau tetap menjadi

hak sepenuhnya calon istri yang urung tersebut? Mahar yang dibayarkan sebelum akad nikah

(dalam masa tunangan) menjadi hak laki-laki, kecuali apabila direlakan, sebab kewajiban suami

membayar maskawin adalah setelah terjadi ikatan pernikahan.

Sedangkan mengenai hadiah-hadiah pertunangan, seperti tanda pengokoh (peningset atau

pikukuh di jawa) para ulama‟ berbeda pendapat :

a. Sebagian ulama' (Syafi‟iyah) mengatakan bahwa kedua belah pihak boleh menuntut kembali

atas pemberiannya, baik pembatalan tunangan tersebut bersumber dari pihak mempelai pria

maupun dari mempelai wanita, dan jika barang pemberian tersebut telah rusak atau berubah

menjadi barang lain maka wajib mengembalikan qimahnya.

b. Madzhab Hanafiah mengatakan jika hadiah itu masih utuh dan tidak ada perubahan, maka

kedua belah pihak boleh menuntutnya kembali, namun bila terjadi perubahan atau rusak,

maka kedua belah pihak tidak boleh saling menuntut kembali atas pemberiannya itu.
12

c. Berbeda lagi dengan pendapat Malikiah, menurutnya pihak yang menghendaki pembatalan

tali tunangan tidak berhak apa-apa atas pemberiannya, dan harus mengembalikan hadiah-

hadiah yang pernah diterima dari pihak lain baik barangnya masih utuh ataupun telah rusak,

atau berubah menjadi barang lain. Penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya dibanarkan

apabila ada syarat lain antara keduabelah pihak, atau apabila „urf (adat kebiasaan) tempat

piha-pihak bersangkutan mengatakan lain.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam pasal 13 sendiri dibahas tentang akibat hukum suatu peminangan. “hukum” yang

dimaksud dalam pasal 13 ayat 1 adalah hukum atau hubungan antara laki-laki yang meminang

dengan perempuan yang dipinang adalah “orang asing” dan tidak menimbulkan akibat hukum

yang mengikat. Namun, di dalamnya terdapat hukum sebagaimana yang tertulis dalam pasal 12

(peraturan pinangan) ayat 3 yaitu tidak boleh meminang wanita yang masih dalam pinangan

orang lain, selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.

Disisi lain, dalam pasal 12 poin 1 yang berbunyi “peminangan dapat dilakukan terhadap seorang

yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.” Dalam pasal ini tidak

disebutkan bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya namun masih dalam masa iddah,

boleh dilamar namun harus dengan cara kinayah (sindiran) tidak boleh menggunakan cara yang

shorih (jelas). Begitu juga dengan seorang wanita yang menjalani masa iddah dari talaq ba‟in

dalam bentuk fasakh atau talaq tiga boleh dipinang namun dengan cara sindiran.

Begitulah tunangan yang membudaya saat ini, ada yang membuahkan hasil positif sebagi

langkah awal membina rumah tangga, dan juga banyak yang kandas di tengah jalan, mungkin

karena belum ada kesiapan atau sebab beberapa pertimbangan yang wajib dibuat acuan malah

dilupakan.

Dengan demikian cenderung perlu adanya tali pertunangan sebagai langkah awal menuju

perkawinan, namun harus memperhatikan hal-hal yang perlu dipertimbangkan diantaranya

sebagai berikut:

13
14

1) Punya rencana kapan penikahan akan diadakan, jangan sampai jarak antara tunangan dan

perkawinan terlalu lama.

2) Sudah yakin siap mengikatkan diri pada satu orang.

3) Menikah dengan motivasi yang positif.

4) Kesiapan kedua belah pihak menhadapi limpahan tanggung jawab.

5) Status pendidikan dan penghasilan pasangan.

Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa dibuat bahan acuan dan pertimbangan

bagi mereka yang akan menjalin rumah tangga bahagia dan semoga Allah SWT. Selalu

memberikan yang terbaik bagi kita semua Amin. Wallahu a'lamu bisshowab.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Ahmad Rofiq, M.A. Hukum islam di indonesia cetakan pertama PT rajawali pers.

Sabiq, Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan Pertama. PT Al Ma‟arif.

Bandung

Undang-undang perkawinan Indonesia 2007 (Kompilasi Hukum Islam). Cetakan I, WIPRESS

Azhar Basyir, Ahmad. (1999). Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke-9. UII Press. Yogyakarta

https://pandidikan.blogspot.com/2011/04/khitbah-lamaran-dalah-hukum-islam.html?m=1

https://m-republika-co-
id.cdn.ampproject.org/v/s/m.republika.co.id/amp/q5bjfg430?amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331A
QKKAFQArABIIACAw%3D%3D#aoh=16356577273358&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.co
m&amp_tf=Dari%20%251%24s&ampshare=https%3A%2F%2Fwww.republika.co.id%2Fberita%2Fq5bj
fg430%2Fbagaimana-hukum-melamar-wanita-yang-sudah-dilamar

© 2021 - Bincang Syariah. Developed By NetDesain. All Rights Reserved

13

Anda mungkin juga menyukai