KHITBAH
Disusun Oleh:
Nama: M. Rizky
NPM: 2006030036
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata‟ala atas segala karunia nikmatnya sehingga
makalah hukum perdata dan perdata islam di indonesia yang berjudul “Sejarah Munculnya
Persoalan Teologi dan Sketsa-sketsanya dalam Islam Syi‟ah, Asy‟ariah dan Matoridiah”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tauhid yang diampu oleh Ibu Dona
Hariyati.
Makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya tidak lepas dari bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu. Untuk itu kami
Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini, baik
dari segi EYD, kosa kata, tata bahasa, etika maupun isi. Oleh karenanya penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian untuk kami jadikan
Demikian, semoga makalah ini dapat diterima sebagai ide/gagasan yang menambah
M.rizky
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
BAB I PENDAHULUAN
C. Tujuan .............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Khitbah.......................................................................................... 3
B. Perempuan yang boleh Dikhitbah ................................................................... 4
C. Hukum Mengkhitbah Perempuan yang Dalam Masa Iddah ........................... 7
D. Hukum Mengkhitbah Tunangan Orang Lain ................................................. 8
E. Hukum dan Dampak Negatif Membatalkan Khitbah ..................................... 10
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam UU Perkawinan sama sekali tidak membicarakan peminangan. Hal ini mungkin
disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat dengan perkawinan.
KHI (Kompilasi Hukum Islam) mengatur peminangan itu dalam pasal 1, 11, 12, dan 13.
keseluruhan pasal yang mengatur peminangan ini keseluruhannya berasal dari fiqh madzhab,
terutama madzhab Syafi‟ie. Namun hal-hal yang dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh tentang
Dalam makalah ini dijelaskan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pinangan atau
dalam bahasa lain (baca: Arab) adalah khitbah (merujuk pada Kompilasi Hukum Islam 1991
Pasal 12, tentang aturan pinangan). Selain itu, permasalahan khitbah ini sering dianggap sepele
oleh masyarakat Indonesia tanpa mengacu kepada hukum-hukum Islam yang ada. Oleh karena
itu, dalam makalah ini diulas beberapa hal yang berhubungan dengan khitbah.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1
2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khitbah
gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia
hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah
merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau
(bertunangan) dengan yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara
kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan
untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang
mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan
akibat-akibat tertentu.
Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam
masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu
sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal
penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti
menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah
menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan.
3
4
Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang
Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen
untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah sebaiknya dilakukan sebelum
khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah
saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada
Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk
menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat
memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain
untuk meminangnya.
Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah dipinang
atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar sehingga
terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh si wanita diajak hidup serumah
(rumah tangga) kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syara', dan rukun
asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul. Selama akad nikah - dengan ijab dan kabul - ini belum
terlaksana, maka perkawinan itu belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara',
maupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si peminang
Syarat-Syarat Khitbah
5
halangannya. Karena itu di sini dibicarakan dalam satu subpokok bahasan, agar di perole
gambaran yang jelas. Pertunangan diperbolehkan oleh agama apabila terpenuhi syarat-syarat di
bawah ini :
a) Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada hubungan keluarga
(mahram), tunggal susuan (rodhoah), mushoharoh, atau penghalang yang lain, sebab
tunangan adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya dengan akad
perkawinan.
b) Tidak berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan
Imam An-Nasai mengatakan :" Tidak boleh bagi seorang lelaki melamar tunangan orang lain
sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya "Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dan Imam Muslim. Keharaman ini jika tidak mendapat izin dari pelamar
pertama atau ada unsur penolakan dari pihak mempelai wanita, itu tadi adalah pendapat
mayoritas ulama' (Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah), namun sebagian ulama' lain
memperbolehkan khitbah tersebut apabila tidak ada jawaban yang jelas dari mempelai
wanita.
a) Menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang dalam arti langsung dipahami atau tidak
mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan seperti ucapan : “saya
b) Menggunakan ucapan yang kurang jelas dan tidak terus terang (kinayah) yang berarti ucapan
itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan, seperti ucapan : “tidak ada orang yang
Keadaan keadaan perempuan yang dapat dipinang dibagi dalam tiga hal :
a. Perempuan tersebut menyukai laki-laki yang meminangnya dan menyetujui pinangan itu
secara jelas memberi izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.
b. Perempuan tersebut tidak senang dengan laki-laki yang meminang dan secara terus terang
menyatakan ketidaksetujuannya baik dengan ucapan atau dengan tindakan atau isyarat.
c. Perempuan itu tidak memberikan jawaban yang jelas, namun ada isyarat dia menyenangi
peminangan itu.
Perempuan dalam keadaan yang pertama tersebut tidak boleh dipinang oleh seseorang.
Sedangkan dalam keadaan kedua boleh dipinang karena pinangan pertama jelas ditolak. Adapun
perempuan dalam keadaan yang ketiga menurut sebagian ulama‟ diantaranya Ahmad bin Hanbal
juga tidak boleh dipinang sama keadaannya dengan perempuan dalam keadaan pertama. Namun,
sebagian ulama‟ berpendapat bahwa tidak haram meminang perempuan yang tidak secara jelas
Perempuan yang belum menikah atau sudah menikah dan telah habis masa iddahnya
boleh dipinang dengan ucapan terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran. Tidak boleh
meminang seorang perempuan yang masih punya suami, meskipun dengan janji akan
dinikahinya pada waktu dia telah boleh dinikahi; baik dengan menggunakan bahasa terus terang
seperti : “Bila kamu dicerai suamimu saya akan menikahi kamu” atau dengan bahasa sindiran,
seperti : “”.
7
Perempuan yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalani iddah raj‟i, sama
keadaannya dengan perempuan yang punya suami dalam hal ketidakbolehannya untuk dipinang
bak dengan bahasa terus terang atau bahasa sindiran. Alasannya, ialah bahwa perempuan dalam
iddah talak raj‟i statusnya sama dengan perempuan yang sedang terikat dalam perkawinan.
Sedangkan perempuan yang sedang menjalani iddah karena kematian suaminya, tidak boleh
Bagi perempuan yang sedang menjalani masa iddah, baik karena talak dengan suaminya,
atau karena ditinggal mati oleh suaminya, maka dia tidak boleh menerima lamaran dari laki-laki
lain sebelum masa iddahnya sudah berakhir. Ia haram menerima lamaran laki-laki tersebut,
Selain itu, bagi seorang laki-laki tidak diperbolehkan melamar perempuan yang sedang
menjalani masa iddah dengan menggunakan perkataan dan ucapan yang sharih atau jelas.
Perkataan dan ucapan sharih adalah perkataan yang secara pasti menunjukkan adanya keinginan
kuat untuk menikah dengan seorang perempuan. Misalnya, „Aku ingin menikahimu.
Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab I‟anatut Thalibin berikut;
“Haram melamar perempuan yang sedang menjalani iddah dengan perkataan yang jelas, baik
karena talak raj‟i dan talak bain, atau karena fasakh, atau karena ditinggal mati oleh suaminya.”
“Dan tidak boleh melamar perempuan yang sedang iddah dengan perkataan yang jelas, baik
karena iddah wafat, atau karena talak bain dan raj‟i. Yang dimaksud perkataan jelas adalah
8
perkataan yang secara pasti menunjukkan adanya keinginan kuat untuk menikah, seperti berkata
Adapun jika melamar dengan menggunakan perkataan sindiran atau majaz, maka
hukumnya boleh. Yang dimaksud perkataan sindiran adalah perkataan yang tidak secara pasti
menunjukkan keinginan untuk menikahi seorang perempuan. Misalnya, „kamu cantik atau
Jangan khawatir dicerai suamimu, saya yang akan melindungimu‟ dan lain sebagainya.
Dalam kitab Ghayah al-Taqrib, Syaik Abu Syuja‟ mengatakan sebagai berikut;
“Dan tidak boleh melamar perempuan yang sedang menjalani masa iddah dengan perkataan yang
jelas, namun boleh melamarnya dengan cara sindiran dan menikahinya setelah selesainya masa
iddah.”
Wanita yang sudah dilamar kerap disepakati sebagai wanita yang hampir sah menjadi
pasangan seseorang tertentu sebelum ada hal-hal yang menggugurkannya. Lantas, bagaimanakah
dijelaskan, melamar wanita yang sudah dilamar orang merupakan hal yang dilarang sebagaimana
yang disabdakan Rasulullah SAW dalam sebuah hadis shahih. Namun demikian, para ulama
berselisih pendapat apakah larangan tersebut menunjukkan batalnya perbuatan yang dilarang
atau tidak? Jika iya, maka dalam keadaan apa hal itu berlaku?
9
Menurut Imam Dawud, pernikahan tersebut otomatis batal. Sedangkan menurut Imam
Syafi‟i dan Imam Abu Hanifah, pernikahannya tidak batal. Sedangkan Imam Malik memiliki tiga
Pertama, pendapat beliau sama dengan Imam Dawud yakni batal. Kedua, pendapatnya
sama dengan Imam Syafi‟i dan Imam Abu Hanifah. Dan di pendapat yang ketiga, beliau
berpendapat bahwa pernikahan batal jika terjadi sebelum adanya hubungan seks, dan tidak batal
Sedangkan menurut Ibnu al-Qasim, maksud larangan tersebut adalah jika seseorang yang
saleh melamar atas lamaran sesama orang yang saleh. Akan tetapi, jika seseorang yang saleh
melamar atas lamaran orang yang tidak saleh maka hukumnya boleh.
Namun begitu perkara melamar atas lamaran orang lain menurut mayoritas ulama,
hukumnya haram. Hal ini sebagaimana yang dikutip oleh al-Hafizh dalam kitab Fathul Bari.
Dalam kitab tersebut dijabarkan, menurut Al-Khittabi menegaskan bahwa sebagian besar ulama
larangan haram yang bisa membatalkan akad. Sedangkan Imam An-Nawawi berpendapat, para
ulama sepakat bahwa hal tersebut merupakan larangan yang bersifat haram namun demikian
Menurut ulama-ulama dari mazhab Imam Syafi‟i dan Imam Hambali, hukum raham
diterapkan apabila lamaran sudah dijawab dengan tegas atau sang wali sudah merestuinya.
Namun jika lamaran sudah ditolak dengan tegas, maka hal itu tidak menjadi haram.
10
Sedangkan Imam Dawud berpendapat, jika lelaki kedua menikahi wanita tersebut, maka
akad nikahnya akan batal. Baik laki-laki itu sudah menggaulinya atau belum, akad nikahnya
tetap batal. Namun demikian di kalangan ulama-ulama mazhab Maliki, masalah ini memiliki dua
Sebagian dari ulama mazhab ini berpendapat, akad nikah akan batal jika belum digauli,
Memang sering kali tali pertunangan putus di tengah jalan tanpa membuahkan hasil
sampai ke jenjang perkawinan, mungkin sebab terlalu lama menunggu, kondisi yang kurang
mendukung atau karena kemelut badai yang mengguncang eratnya tali pertunangan hingga
pudar.
Ulama' berpendapat, boleh saja membatalkan tali pertunangan, namun itu adalah makruh,
sebab pertunangan ibarat ikatan janji setia dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama
membina rumah tangga bahagia, sedangkan pembatalan pertunangan ini adalah sebuah
pengkhianatan ikatan janji setia.Belum juga imbas dari pembatalan tali pertunangan ini, sudah
tidak asing lagi, tunangan yang batal adalah ajang percorengan muka, kebahagiaan yang indah,
kenangan manis dan canda ria pun ikut hangus terbakar, kemelut mengguncang. Lalu bagaimana
Meskipun Islam mengajarkan bahwa memenuhi janji adalah suatu kewajiban, dalam
masalah janji akan menikah ini kadang-kadang terjadi hal-hal yang dapat menjadi alasan yang
sah menurut Islam untuk memutuskan hubungan petunangan. Misalnya, diketahui adanya cacat
11
fisik atau mental pada salah satu pihak beberapa waktu setelah pertunangan, yang dirasakan akan
mengganggu tercapainya tujuan itu tidak dipandang melanggar kewajiban termasuk hak khiyar.
Berbeda halnya pemutusan pertunangan tanpa alasan yang sah menurut ajaran Islam.
Misalnya, karena ingin mendapatkan yang lebih baik dari segi keduniaan. Ditinjau dari segi nilai
moral Islam, pemutusan pertunangan seperti itu sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Masalah yang sering muncul adalah pada masa peminangan, pihak laki-laki memberikan
hadiah-hadiah pertunangan atau – mungkin – mahar telah dibayarkan kepada pihak perempuan
sebelum akad nikah dilaksanakan, bagaimana nasib hadiah-hadiah atau mahar tersebut apabila
akhirnya pertunangan terputus? Apakah dikembalikan pada pihak laki-laki atau tetap menjadi
hak sepenuhnya calon istri yang urung tersebut? Mahar yang dibayarkan sebelum akad nikah
(dalam masa tunangan) menjadi hak laki-laki, kecuali apabila direlakan, sebab kewajiban suami
a. Sebagian ulama' (Syafi‟iyah) mengatakan bahwa kedua belah pihak boleh menuntut kembali
atas pemberiannya, baik pembatalan tunangan tersebut bersumber dari pihak mempelai pria
maupun dari mempelai wanita, dan jika barang pemberian tersebut telah rusak atau berubah
b. Madzhab Hanafiah mengatakan jika hadiah itu masih utuh dan tidak ada perubahan, maka
kedua belah pihak boleh menuntutnya kembali, namun bila terjadi perubahan atau rusak,
maka kedua belah pihak tidak boleh saling menuntut kembali atas pemberiannya itu.
12
c. Berbeda lagi dengan pendapat Malikiah, menurutnya pihak yang menghendaki pembatalan
tali tunangan tidak berhak apa-apa atas pemberiannya, dan harus mengembalikan hadiah-
hadiah yang pernah diterima dari pihak lain baik barangnya masih utuh ataupun telah rusak,
atau berubah menjadi barang lain. Penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya dibanarkan
apabila ada syarat lain antara keduabelah pihak, atau apabila „urf (adat kebiasaan) tempat
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pasal 13 sendiri dibahas tentang akibat hukum suatu peminangan. “hukum” yang
dimaksud dalam pasal 13 ayat 1 adalah hukum atau hubungan antara laki-laki yang meminang
dengan perempuan yang dipinang adalah “orang asing” dan tidak menimbulkan akibat hukum
yang mengikat. Namun, di dalamnya terdapat hukum sebagaimana yang tertulis dalam pasal 12
(peraturan pinangan) ayat 3 yaitu tidak boleh meminang wanita yang masih dalam pinangan
orang lain, selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
Disisi lain, dalam pasal 12 poin 1 yang berbunyi “peminangan dapat dilakukan terhadap seorang
yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.” Dalam pasal ini tidak
disebutkan bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya namun masih dalam masa iddah,
boleh dilamar namun harus dengan cara kinayah (sindiran) tidak boleh menggunakan cara yang
shorih (jelas). Begitu juga dengan seorang wanita yang menjalani masa iddah dari talaq ba‟in
dalam bentuk fasakh atau talaq tiga boleh dipinang namun dengan cara sindiran.
Begitulah tunangan yang membudaya saat ini, ada yang membuahkan hasil positif sebagi
langkah awal membina rumah tangga, dan juga banyak yang kandas di tengah jalan, mungkin
karena belum ada kesiapan atau sebab beberapa pertimbangan yang wajib dibuat acuan malah
dilupakan.
Dengan demikian cenderung perlu adanya tali pertunangan sebagai langkah awal menuju
sebagai berikut:
13
14
1) Punya rencana kapan penikahan akan diadakan, jangan sampai jarak antara tunangan dan
Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa dibuat bahan acuan dan pertimbangan
bagi mereka yang akan menjalin rumah tangga bahagia dan semoga Allah SWT. Selalu
memberikan yang terbaik bagi kita semua Amin. Wallahu a'lamu bisshowab.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Ahmad Rofiq, M.A. Hukum islam di indonesia cetakan pertama PT rajawali pers.
Sabiq, Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan Pertama. PT Al Ma‟arif.
Bandung
Azhar Basyir, Ahmad. (1999). Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke-9. UII Press. Yogyakarta
https://pandidikan.blogspot.com/2011/04/khitbah-lamaran-dalah-hukum-islam.html?m=1
https://m-republika-co-
id.cdn.ampproject.org/v/s/m.republika.co.id/amp/q5bjfg430?amp_js_v=a6&_gsa=1&usqp=mq331A
QKKAFQArABIIACAw%3D%3D#aoh=16356577273358&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.co
m&_tf=Dari%20%251%24s&share=https%3A%2F%2Fwww.republika.co.id%2Fberita%2Fq5bj
fg430%2Fbagaimana-hukum-melamar-wanita-yang-sudah-dilamar
13