Anda di halaman 1dari 27

IJAB QABUL, LEGALISASI WALI, SERTA SAKSI DALAM PERNKAHAN

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Fiqh Muqarran

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A
Dr. Sapiuddin Shidiq, M.Ag

Disusun oleh:

Yusril Amri : 21220110000011


Alfina Pasca Khaira : 21220110000008
Shobrinia Nur Yasrifah : 21220110000022

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1444 H/2022 M
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan
serta kekuatan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul, “Ijab
Qabul, Legalisasi Wali Nikah, serta Saksi dalam Pernikahan.” Shalawat dan salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu mata kuliah Fiqh
Muqarran yang disajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber.
kami turut berterima kasih kepada dosen pengampu Dr. Sapiuddin Shidiq, M.Ag.,
yang telah membimbing kami sehingga makalah ini dapat disusun dengan baik.
Kami menyadari makalah ini bukanlah tugas yang sempurna karena memiliki
banyak kekurangan baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisan. Oleh sebab
itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi kami khususnya
sebagai pemakalah dan pembaca.

Pemakalah
Jakarta, 23 Oktober 2022

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii


DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 4
A. Latar Belakang .......................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 5
A.Ijab Qabul ................................................................................................................... 5
B.Wali Nikah.................................................................................................................. 13
C.Saksi dalam Pernikahan .............................................................................................. 19
BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 24
A. Kesimpulan................................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam menjalani kehidupan sebagai seorang muslim maka adanya hukum
syari’at yang mengatur agar terciptanya kehidupan yang tentram dan teratur. Salah
satu ajaran syari’at Islam adalah pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu cara
yang dipilih oleh Allah Swt, sebagai jalan untuk memperbanyak diri (berkembang
biak), dan meneruskan hidupnya. Pernikahan merupakan Sunnah Allah yang sudah
diketahui secara umum dan berlaku didunia ini.
Untuk melaksanakan suatu pernikahan Islam membuat aturan- aturan yang
harus dipenuhi. Aturan-aturan dalam pernikahan ini harus diketahui dan dipahami
oleh seluruh muslim baiknya sebelum ia melangsungkan akad nikah, agar tidak
terdapat kesalahan dalam menjalankan akad nikah. Jika nikahnya tidak sah karena
sebab-sebab tertentu ditakutkan masuk kedalah ranah perzinaan.
Agar tidak terjadi perselisihan dan kefanatikan dalam hal ini, maka kita dapat
melihat aturan-aturan tersebut menurut pandangan empat imam mazhab, dikarenakan
kita mengikuti mazhab yang berbeda-beda.
Di dalam makalah ini kita akan terfokus pada masalah ijab qabul, wali nikah,
dan saksi dalam pernikahan. Ketiga masalah ini menurut hemat pemakalah hal yang
sangat penting dalam pelaksanaan akad nikah. Kita akan melihat bagaimana
pandangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam ketiga hal tesebut.

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Pendapat Empat Imam Mazhab tentang Ijab Qabul?
b. Bagaimana Pendapat Empat Imam Mazhab tentang Wali Nikah?
c. Bagaimana Pendapat Empat Imam Mazhab tentang Saksi dalam Pernikahan?

C. Tujuan Penelitian
a. Menjelaskan Pendapat Empat Imam Mazhab tentang Ijab Qabul
b. Menjelaskan Pendapat Empat Imam Mazhab tentang Wali Nikah
c. Menjelaskan Pendapat Empat Imam Mazhab tentang Saksi dalam Pernikahan

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ijab Qabul
Sebelum kita membahas tentang ijab qabul ada baiknya kita singgung sedikit
tetang pengertian nikah menurut empat imam mazhab.
Menurut mazhab Hanafi, nikah adalah akad yang menyebabkan kepemilikan
wewenang untuk bersenang-senang dengan sengaja. Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa
nikah ialah pembolehan hubungan seksual dan seterusnya. Mazhab Maliki mendefenisikan
nikah sebagai akad yang hanya berkaitan dengan kesenangan yang dinikmati dengan istri
sah. Sedangkan menurut mazhab Hambali nikah adalah akad dengan lafal pernikahan atau
perkawinan atas manfaat bersenang-senang.1
Perkawinan menurut syara‟ adalah akad yang dengannya diperbolehkan
mengambil kenikmatan dengan perempuan, dengan syarat perempuan tersebut bukan
mahram dari segi nasab, susuan, dan keluarga.2 Perkawinan juga akan membawa manusia
dalam mencapai kedamaian, ketenangan hidup dan menimbulkan rasa kasih sayang
sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21:

‫اجا لِِّتَ ْس ُكنُ ْوا اِل َْي َها َو َج َع َل بَ ْي نَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّوَر ْْحَةً ۗاِ َّن ِ ِْف‬ ِ ِ ِ ِ
ً ‫َوم ْن ٰايٰته اَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم ِّم ْن اَنْ ُفس ُك ْم اَ ْزَو‬
‫ت لَِِّق ْوٍم يَّتَ َف َّك ُرْو َن‬ َ ِ‫ٰذل‬
ٍ ٰ‫ك َ َٰلي‬

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan


pasangan_pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berfikir”).

Perkawinan bisa dikatakan sah dimata hukum Islam dan undang-undang apabila
semua rukun-rukunnya terpenuhi dengan sempurna, Dari beberapa rukun nikah yang ada
yang paling penting adalah Ijab Qabul, karena rukun-rukun yang lain seperti saksi dan
wali masih ada kontroversi ulama, seperti halnya wali menurut Madzhab Hanafi bukanlah
termasuk dalam rukun nikah, begitupula saksi menurut Madzhab Maliki tidak termasuk
rukun nikah, bahkan menurut satu madzhab yang belum sempat terkodifikasi yaitu
madzhab yang didirikan oleh Abu Sulaiman Daud bin Ali bin Khalaf al-Dzahiri saksi dan
wali sama sekali tidak tergolong dalam rukun nikah.3

1
Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), Jilid 5, h. 5-8
2
Wahbah al-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu,(Jakarta : Gema insani,2011), h. 4
3
Abu Bakar Syatha, I’anah Ath-Thalibin, ( Beirut: Dar Al- Fikr, 1997 ), h.163

5
6

1. Pengertian Ijab Qabul


Melirik perbedaan diatas, tidak ada dari salah satupun madzhab yang empat
memperdebatkan tentang Ijab Qabul sebagai rukun nikah. Para ulama sepakat bahwa
dalam perkawinan harus ada yang namanya Ijab Qabul, Ijab Qabul ini merupakan suatu
kewajiban yang harus dilakukan karena didalamnya berisi tentang pernyataan persetujuan
dari mempelai laki-laki dan mempelai perempuan untuk melangsungkan suatu
perkawinan. Dengan ikrar suci inilah maka perkawinan dapat sah di mata hukum syariat
Islam.
Akad nikah merupakan wujud nyata sebuah ikatan antara seorang pria yang
menjadi suami dengan seorang wanita sebagai isteri, yang dilakukan di depan (paling
sedikit) dua orang saksi, dengan menggunakan sighat ijab dan qabul.
Pernyataan yang menunjukan kemauan membentuk hubungan suami isteri dari
pihak mempelai wanita disebut ijab. Sedangkan pernyataan yang diucapkan oleh pihak
mempelai pria untuk menyatakan ridha dan setuju disebut qabul.4
Kedua pernyataan antara ijab dan qabul nikah inilah yang dinamakan akad dalam
pernikahan. Ijab merupakan pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak,
yang mengandung keinginan secara pasti untuk mengikat diri. Sedangkan qabul adalah
pernyataan pihak lain yang mengetahui dirinya menerima pernyataan ijab tersebut. Ijab
dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita, sedangkan qabul dilakukan oleh mempelai
pria. Qabul yang diucapkan hendaknya dinyatakan dengan kata-kata yang menunjukan
kerelaan secara tegas.
Para ulama sepakat bahwa sighah yang dimaksud dalam rukun nikah itu adalah
lafaz yang lebih dikenal dengan istilah ijab dan qabul [‫]اإلجياب والقبول‬.
Istilah ijab dan qabul ini sepertinya sudah menjadi istilah Indonesia yang sudah sangat
masyhur. Mungkin hanya anak kecil yang belum duduk dibangku sekolah saja yang belum
mengenal istilah ini. Istilah ini sering muncul dalam beberapa pembahasan fiqih, ia ada
dalam bab nikah, juga ada dalam bab jual beli, dan dalam pembahasan muamalah lainnya.
Namun dalam tulisan sederhana ini kita mencoba memahami bersama bagaimana fiqih
memahami makna ijab dan qabul, sehingga istilah fiqih yang sudah kadung menjadi
bahasa Indonesia ini bisa lebih difahami sesuai dengan apa yang difahami oleh ulama
fiqih.
Jumhur ulama dan Mayoritas ulama dari Malikiyah, Syafiyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ijab itu adalah lafaz yang keluar dari wali
calon istri, sedangkan qabul adalah lafaz yang keluar dari calon suami atau yang mewakili.
Namun dalam pandangan ulama-ulama Malikiyah dan Syafiyah lafaz ijab tidak harus
menjadi lafaz pertama yang keluar, sehingga memungkin bagi calon suami untuk terlebih
dahulu mengeluarkan lafaz qabul.

4
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), h. 79
7

Jika calon suami mengatakan dengan wali calon istri: “Nikahkan saya”, lalu
kemudian wali menjawabnya dengan: “Iya, saya nikahkan”, maka tetap saja lafaz ijab itu
adalah lafaz yang keluar dari wali, dan lafaz qabul adalah yang keluar dari calon suami,
dan aqad seperti ini dinilai sah.Jika bersandar dengan pendapat ini, maka dalam
prakteknya pelaksanaan ijab dan qabul tidak harus selalu dimulai atau diawali dari seorang
wali, sehingga memungkinkan lafaz yang pertama itu bisa keluar dari calon suami,
walaupun secara pribadi penulis belum pernah menyaksikan ini dalam tradisi kita di
Indonesia.
Namun berbeda halnya dengan pendapat dari kalangan Hanabilah yang meyakini
bahwa lafaz qabul harus datang belakangan setelah lafaz ijab, karena pada dasarnya
lafaz qabul itu sangat terkait dengan lafaz ijab.
2. Lafaz Ijab dan Qabul
Secara umum tidak ada lafaz khusus yang yang harus digunkan
dalam ijab dan qabul, mungkin lafaz ini mirip-mirip dengan lafzh niat shalat yang biasa
digunakan oleh sebagian kita, atau seperti lafaz niat puasa, yang tidak mempunyai redaksi
khusus, sehingga memungkinkan bagi kita untuk berijtihad dalam mencari lafaz yang
bagus.
Hanya saja para ulama menyepakati bahwa dalam lafaz itu harus ada kata-
kata nikah atau zawaj, bahkan menurut ulama Syafiyah dan Hanabilah tidak sah
hukumnya jika tidak memakai salah satu dari kata tersebut. Alasannya adalah karena Al-
Quran hanya menyebutkan dua kata itu untuk mengungkap sebuah pernikahan. Misalnya
pada dua ayat berikut:

َ َ‫س ِاء إَِلَّ َما قَ ْد َسل‬


‫ف‬ ِ ِ ِ
َ ِّ‫َوَلَ تَ ْنك ُحوا َما نَ َك َح آ َََب ُؤُك ْم م َن الن‬
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau” (QS. Annisa’: 22)

‫ضى َزيْ ٌد ِم ْن َها َوطًَرا َزَّو ْجنَا َك َها‬


َ َ‫فَ لَ َّما ق‬
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya),
Kami kawinkan kamu dengan dia” (QS. Al-Ahzab: 37)
Namun yang menjadi pertanyaan itu adalah adakah kata yang pas untuk mewakili
arti dari dua kata tersebut di dalam bahasa indonesia? Kenapa dalam terjemah kedua ayat
diatas lafaz nikah dan zawajnya diartikan denga arti yang sama yaitu kawin. Yang jelas
nikah dan kawin itu sudah menjadi bagian bahasa yang difahamai oleh penduduk negri,
bahwa lafaz nikah dan kawin itu tidak sama artinya dengan hadiah, pemberian, pinjaman,
dan seterusnya. Sehingga ketika mendengar kata-kata nikah atau kawin, maka yang ada
dalam pikiran kita adalah sebuah kata khusus yang dipakai hanya dalam aqad pernikahan,
8

bukan aqad yang lain. Maka tidak heran di negri kita kedua lafaz ini (nikah dan kawin)
lafaz yang wajib ada, atau disebagian tempat malah keduanya disebut bersamaan dalam
waktu yang sama.5
3. Dasar Hukum Ijab Qabul
Dasar hukum Ijab Qabul tersirat dalam Al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW:
a. Al-Qur’an .
- QS. An-Nisa’ ayat 29, yaitu :

‫اض ِِّم ْن ُك ْم ۗ َوََل‬ ِ ِ ِ ِ


َ َ‫ٰٰيَيُّ َها الَّذيْ َن ٰا َمنُ ْوا ََل ََتْ ُكلُ ْوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْي نَ ُك ْم َِبلْبَاط ِل ا ََّل اَ ْن تَ ُك ْو َن ِت‬
ٍ ‫ارةً َع ْن تَ َر‬
‫اّللَ َكا َن بِ ُك ْم َرِح ْي ًما‬ ِ
ِّٰ ‫س ُك ْم ۗ ا َّن‬ َ ‫تَ ْقتُ لُ ْوا اَنْ ُف‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka diantara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu
sendiri, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”
- QS. An-Nisa’ ayat 21, yaitu :

‫ض ُك ْم اِ ٰل بَ ْعض َّواَ َخ ْذ َن ِمْن ُك ْم ِمْي ثَاقًا َغلِْيظًا‬


ُ ‫ف ََتْ ُخ ُذ ْونَهٗ َوقَ ْد اَفْضٰى بَ ْع‬
َ ‫َوَكْي‬
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat” (Q.S. An-Nisa/4: 21).

b. Hadist

‫اتقوا هللا ِف النساء فإنكم أخذمتوهن أبمان هللا واستحللتم فروجهن بكلمة هللا‬
“Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kalian mengambil
(menikahi) mereka dengan kepercayaan Allah. dan kalian halalkan kehormatan mereka
dengan kalimat Alla.” (HR. Muslim).6

Kutipan di atas, menunjukkan adanya suatu kalimat yang diucapkan, ketika


melangsungkan sebuah penikahan. Ucapan tersebut adalah akad nikah yang dilakukan
mempelai pria dan wali dari pihak mempelai wanita.

5
Muhammad Saiyid Mahadhir, “ijab dan qabul” https://rumahfiqih.com/fikrah-166-ijab-dan-qabul.html
(diakses 21 oktober 2022, 19.00 ).
6
Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj an-Naisabury, Shahih Muslim, (Semarang: Toha Putra, t. Th), h. 593.
9

4. Syarat-syarat dalam Ijab Qabul


Akad nikah yang dinyatakan dengan pernyataan ijab dan qabul, baru dianggap sah
dan mempunyai akibat hukum pada suami istri apabila telah terpenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:

a. Kedua belah pihak yang melakukan akad nikah, baik wali maupun calon mempelai
pria, atau yang mewakili salah satu atau keduanya, adalah orang yang sudah dewasa
dan sehat rohani (tamyiz). Apabila salah satu pihak masih kecil atau ada yang gila,
maka pernikahannya tidak sah.
b. Ijab dan qabul dilaksanakan dalam satu majelis. Artinya, ketika mengucapkan ijab-
qabul, tidak boleh diselingi dengan kata-kata atau perbuatan lain yang dapat dikatakan
memisahkan antara sighat ijab dan sighat qabul dan menghalangi peristiwa ijab-qabul
c. Ucapan qabul hendaknya tidak menyalahi ucapan ijab. Artinya, maksud dan tujuannya
sama, kecuali bila qabul-nya lebih baik dari ijab yang seharusnya, dan menunjukkan
pernyataan persetujuan lebih tegas. Contohnya, jika pihak wali mengatakan: “Aku
nikahkan kamu dengan puteriku fulanah dengan mahar seratus ribu rupiah”. Lalu si
mempelai pria menjawab: “Aku terima nikahnya dengan mahar dua ratus ribu rupiah”.
Maka pernikahan itu tetap sah, karena qabul yang diucapkan lebih baik, dan telah
mencukupi dari yang seharusnya.
d. Ijab dan qabul harus dilakukan dengan lisan dan didengar oleh masingmasing pihak,
baik wali, mempelai maupun saksi. Pernyataan kedua belah pihak harus dengan
kalimat yang maksudnya menyatakan terjadinya pelaksanaan akad nikah, meskipun
kata-katanya ada yang tidak dapat dipahami. Karena yang menjadi pertimbangan di
sini adalah maksud dan niat, bukan mengerti setiap kata yang dinyatakan dalam ijab
dan qabul.

5. Konsep Akad Nikah Menurut Ulama Empat Madzhab


Ulama Empat Madzhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika
dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara wali dari pihak wanita yang
dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya, dan
dianggap tidak sah bila hanya berlandaskan suka sama suka tanpa adanya akad.
Para Ulama Madzhab juga sepakat bahwa nikah itu sah bila dilakukan dengan
menggunakan redaksi zawwaj artinya “aku mengawinkan” atau ankahtu (artinya“aku
menikahkan” dari pihak mempelai wanita atau orang yang mewakilinya dan redaksi
qabiltu (aku terima) atau radhitu (aku setuju) dari pihak mempelai pria atau orang yang
mewakilinya.
Madzhab Hanafi berpendapat, akad nikah boleh dilakukan dengan segala redaksi
yang menunjukkan maksud menikah, meski dengan lafal at-Tamlik (kepemilikan), al-
Hibah (penyerahan), al-Bay’ (penjualan), al-A’tha’ (pemberian), al-Ibahah (pembolehan)
dan Al-Ihlal (penghalalan), sepanjang akad tersebut disertai dengan qarinah (kaitan) yang
menunjukkan arti nikah. Akan tetapi akad tidak sah jika dilakukan dengan lafal Al-Ijarah
(sewa) atau al-Ariyah (pinjaman), sebab kedua kata tersebut tidak memberi arti kelestarian
atau kontinuitas.
10

Maliki dan Hambali berpendapat: Akad nikah dianggap sah jika menggunakan
lafal an-Nikah dan Az-Zawaj serta lafal-lafal bentukannya. Juga dianggap sah dengan
lafal-lafal al-Hibah, dengan syarat harus disertai penyebutan mahar atau mas kawin, selain
kata-kata tersebut di atas tidak dianggap sah.
Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa redaksi akad harus merupakan kata
bentukan dari lafal at-Tazwij dan an-Nikah saja, selain itu tidak sah. Berdasarkan hukum
asalnya, ijab itu datangnya dari pihak pengantin wanita dan qabul dari pengantin laki-laki.
Wali mengatakan, “saya nikahkan anak perempuanku kepadamu,” lalu pengantin laki-laki
menjawab, “saya terima nikah dengan anak perempuanmu”.
Ketika qabul didahulukan, dimana pengantin lakilaki mengatakan kepada wali,
“nikahkan saya dengan dia”, lalu wali berkata, “saya nikahkan kamu dengannya”, maka
timbullah pertanyaan: apakah akad tersebut sah atau tidak? Imamiyah dan tiga Madzhab
lainnya mengatakan sah, sedangkan Hambali mengatakan tidak sah.

a. Ijab Qabul Dalam Madzhab Hanafiyah


Ulama Hanafiyah mendefinisikan ijab menurut bahasa sebagai suatu penetapan
atau itsbat. Sedangkan ijab menurut istilah adalah suatu lafaz pertama yang berasal dari
salah satu diantara dua orang yang berakad,7 dalam definisi lain ijab merupakan suatu
penetapan atas suatu pekerjaan tertentu atas dasar kerelaan yang diucapkan pertama kali
dari ucapan salah satu diantara dua orang yang berakad atau orang yang mewakilinya,
baik ucapan tersebut berasal dari mumallik atau orang yang memberikan hak
kepemilikan maupun mutamallik atau orang yang mencari hakkepemilikan.8 Sedangkan
kabul merupakan suatu ungkapan kedua yang diucapkan dari salah satu diantara dua
orang yang berakad, yang mana ucapan tersebut menunjukkan adanya suatu
kesepakatan dan kerelaan terhadap apa yang telah diwajibkan atau dibebankan
kepadanya pada saat ijab.9
Ulama madzhab Hanafiyah membagi lafaz-lafaz ijab menjadi dua macam
yaitu terkadang shariẖ (jelas) dan terkadang kinayah (samar atau sindiran).9 Pertama,
lafaz shariẖ yaitu suatu lafaz yang sudah jelas bahwa lafaz tersebut menunjukkan
adanya keinginan terjadinya pernikahan. Lafaz yang shariẖ ini tidak membutuhkan
adanya qarinah (petunjuk). Lafaz yang shariẖ ada dua bentuk yaitu lafadz yang
berasal dari nakaha dan zawwaja.
Kedua, yaitu lafaz yang berbentuk kinayah. Lafaz ijab yang berbentuk kinayah
merupakan suatu lafaz yang masih belum menunjukkan adanya kejelasan adanya
keinginan suatu pernikahan.
Madzhab Hanafiyah memberi beberapa persyaratan yang berkaitan dengan
shighat akad nikah, yaitu :

7
Abdullah bin ahmad, al-Baẖru al-Râiq, Juz III ( Cet. I ; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1997), h. 144
8
Wahbah az-Zuhaili, al-fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, Juz IV (Damaskus: dar al-Fikr, 2006), h. 2931
(buku ini selanjunya “al-fiqh”); idem, al-fiqh al-Mâliki al-Muyassar (Cet. III; Beirut: Dar al-Kalam
al-Thayyib,2005),32 (buku ini selanjutnya disebut “al-Maliki”)
9
Ibid.,h. 2931
11

1) Ijab qabul menggunakan lafadz-lafadz tertentu yang sah digunakan dalam akad
nikah
2) Ijab qabul dilakukan dalam satu majlis
3) Antara ijab dan qabul tidak ada perbedaan
4) Pelafalan ijab Kabul harus didengar oleh dua orang yang berakad
5) Ijab Kabul tidak boleh dibatasi dengan waktu

b. Ijab Qabul Dalam Madzhab Malikiyah


Ijab menurut Ulama Malikiyah merupakan suatu ungkapan yang menunjukkan
atas suatu kerelaan yang berasal dari mumallik (orang yang memiliki). Sedangkan kabul
suatu ungkapan yang menunjukkan atas suatu kerelaan yang berasal dari mutamallik
(orang yang mencari kepemilikan).23
Mereka membagi lafaz ijab menjadi dua bagian yaitu berupa lafaz shariẖ atau
jelas yang mana tidak mengandung arti lain selain arti pernikahan atau perkawinan dan
lafaz ghairu shariẖ atau tidak jelas yang masih mempunyai kemungkinan bahwa lafaz-
lafaz tersebut mengandung arti selain pernikahan atau perkawinan.
Adapun lafaz-lafaz ijab yang shariẖ ulama Malikiyah hanya membatasi pada
dua lafaz saja yaitu lafaz yang berasal dari kata nakaẖa dan lafaz zawwaja
Madzhab Malikiyah memberi beberapa persyaratan yang berkaitan dengan
shighat akad nikah, yaitu :
1) Lafaz ijab kabul menunjukkan arti saat itu juga akad telah selesai atau terpenuhi.
Jadi kalau akad masih digantungkan pada waktu tertentu maka akad tidak sah.10
2) Satu majelis, yaitu ijab kabul dilaksanakan dalam satu majelis. Hal ini dikarenakan
syarat ikatan dapat terjadi jika dalam satu majelis. Maka dari itu jika ijab kabul
tidak dilaksanakan dalam satu majelis maka akan berdampak pada ketidaksahan ijab
kabul tersebut
3) Kesesuaian antara kabul dengan ijab, maksudnya adalah apa yang diucapkan dalam
lafaz kabul harus sesuai dengan apa yang dilafazkan pada ijab
4) Tidak boleh ada pemisah yang panjang antara pelafalan ijab dengan kabul
5) Menggunakan lafaz yang khusus, yaitu menggunakan lafaz yang sah digunakan
dalam ijab kabul.11

c. Ijab Qabul Dalam Madzhab Syafi’iyah


Pengertian ijab dan kabul dalam madzhab Syafi’iyah sama dengan pengertian-
pengertian yang dirumuskan oleh madzhab-madzhab selain madzhab Syafi‟iyah,yaitu
ijab merupakan suatu ucapan kerelaan untuk menyerahkan sesuatu kepada pihak lain,
dalam hal ini dilakukan oleh pihak wali calon istri. Sedangkan kabul adalah suatu
ucapan yang menunjukkan atas kerelaan dan kesiapan untuk menerima sesuatu dari
pihak yang lain, dalam hal ini dilakukan oleh pihak calon suami atau yang
mewakilinya.

10
Wahbah az-Zuhaili, “al-fiqh” Juz X. Op. Cit., h. 6523.
11
Abdul Raẖman al-Jaziri, Op. Cit., h. 19.
12

Mengenai lafaz-lafaz ijab yang dibenarkan penggunaannya di dalam pelaksaan


akad pernikahan, Ulama Syafi’iyah hanya membatasi membatasi pada dua lafaz saja,
yaitu lafaz yang berasal dari kata nakaẖa dan lafaz zawwaja.
Pembatasan yang sangat ketat terhadap lafaz akad nikah dalam madzhab
Syafiʻiyah ini disebabkan karena menurut mereka hanya kedua lafaz inilah
secara pasti menunjukkan makna sebuah pernikahan, sedangkan selain kedua
lafaz tersebut tidak menunjukkan suatu maksud pernikahan.
Dalam kaitannya dengan persaksian ijab kabul kalau menggunakan selain
lafaz yang berasal dari kata nakaẖa dan lafaz zawwaja menyebabkan ketidaksahan
persaksian akad nikah karena terjadi ketidakjelasan maksud dari kedua belah pihak
yang melakukan akad.12
Madzhab Syafi’iyah memberi beberapa persyaratan yang berkaitan dengan
shighat akad nikah, yaitu :
1) Shighat akad nikah tidak boleh digantungkan dengan sesuatu.
2) Ijab kabul tidak boleh dibatasi dengan waktu
3) Ijab kabul menggunakan lafaz yang berasal dari kata at-Tazwij atau
an-Nikah.13
4) Antara pengucapan ijab dan kabul harus bersambung, tidak boleh dipisah dengan
pemisah yang Panjang.
5) Antara ijab dan kabul harus sesuai
6) Ijab kabul dilaksanakan dalam satu majelis

d. Ijab Qabul Dalam Madzhab Hanabilah

Definisi ijab kabul dalam Madzhab Hanabilah hampir sama dengan definisi
yang telah dikonsepkan oleh madzhab-madzhab sebelumnya. Menurut mereka ijab
merupakan lafaz kerelaan memberikan sesuatu yang berasal dari wali nikah atau
orang yang menempati posisi wali dalam arti orang yang mewakili wali kepada
calon suami atau wakilnya.14 Sedangkan kabul merupakan ucapan penerimaan yang
berasaldari calon suami atau orang yang mewakili calon suami.15
Adapun lafaz-lafaz ijab yang sah digunakan dalam akad pernikahan menurut
madzhab Hanabilah hanya ada dua yaitu lafaz yang berasal dari kata nakaẖa dan lafaz
zawwaja. Ulama Hanabilah menyatakan bahwa suatu ijab kabul pernikahan yang tidak
menggunakan kedua lafaz ini hukumnya tidak sah, karena menurut mereka hanya
kedua lafaz inilah yang direkomedasikan keabsahannya oleh Allah SWT.
Adapun dalam syarat shigaht akan dalam mazhab hanabilah, sama persis
dengan yang dimiliki pada madzhab syafi’iyah.

12
Abi Zakariya Muẖyiddin bin Syaraf al-Nawawi, Kitâb al-Majmû„, Juz 17 (Cet. I; Beirut: Dar Ihya’
al-Turats al-Arabi,), h. 208
13
Syamsuddin Muẖammad bin Muẖammad al-Khatibi, al-Iqnâʻ, Juz II (Cet. III; Beirut: Dar al-Kutub
Al-Ilmiyah,2007), h. 245
14
Muẖammad Nashiruddin al-Albani, al-Mu‟tamad, Juz II (Cet. II; Beirut: Dar al-Khair,2001), h. 154
15
Zainuddin al-manji bin Usman, al-Mumta‟fî Syarẖi Muqna‟, Juz III ( Cet. III; Makkah: Maktabahal-
Asadi, 2003), h. 548
13

B. Wali Nikah
1. Pengertian Wali dan Macam-macamnya
Perwalian menurut bahasa adalah rasa cinta dan pertolongan. Menurut fuqaha wali
adalah kemampuan untuk langsung bertindak dengan tanpa bergantung kepada izin
seseorang.16
Secara etimologis wali mempunyai arti pelindung, penolong atau penguasa. Wali
pernikahan diartikan sebagai orang yang berhak menikahkan seorang perempuan, jika
wali yang bersangkutan tidak hadir atau karena ada suatu sebab ia tidak dapat bertindak
sebagai wali maka hak kewaliannya berpindah kepada orang lain. Imam Malik, Imam
Syafi’i, mengatakan bahwa wali itu adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah, bukan
dari garis ibu.17
Wali dalam nikah adalah orang yang menjadi acuan sahnya akad nikah. Dengan
demikian akad nikah dinyatakan tidak sah bila tanpa wali. Yang dimaksud denga wali
nikah adalah Bapak (wali mujbir) atau orang yang mendapat wasiat darinya, kerabat
ashabah, orang yang memerdekakan budak, hakim dan tuan dari seorang budak (wali
maula).18
Syarat-syarat wali menurut fuqaha yaitu Islam, baligh, berakal dan merdeka.
Mazhab Syafi’i dan Maliki menyatakan wali sebagai rukun nikah, sedangkan mazhab
Hambali dan Hanafi wali bukan termasuk rukun nikah. Namun Hanafi menyatakan
bahwa wali termasuk kepada syarat sah nikah.19
Wali sebagai unsur akad nikah tidak selalu hanya pada mempelai perempuan,
walau hampir semua akad nikah yang dipraktekkan dalam masyarakat penentuan wali
sebagai unsur akadnya selalu untuk mempelai perempuan saja. Jadi penentuan wali untuk
mempelai lelaki jarang terjadi, dan dengan ketentuan dari pasal 7 ayat 1 Undang-undang
perkawinan yang menyatakan “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun,” maka praktis mempelai lelaki
melangsungkan akadnya sendiri karena dalam unsur tersebut mereka tidak berada di
bawah perwalian lagi.20
Dalil-dalil tentang wali dari Al-Qur’an dan hadis:
• Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, ditakhrij oleh Abu Dawud, at-Tirmizi dan
Ibnu Majah:
‫اح َها ََب ِط ٌل‬ ِ ُّ ِ‫ أَُُّّيَا ْامرأَةٍ ََل ي ْنكِ ْح َها الْو‬: .‫م‬.‫ قال رسول هللا ص‬:‫عن عائشة رضي هللا عنها قالت‬
ُ ‫ِل فَن َك‬ َ ُْ َ
ُّ َ‫اب ِم ْن َها فَِإ ِن ا ْشتَ َج ُروا ف‬
ُّ‫الس ْلطَا ُن َوِِل‬ َ ‫َص‬ َ ‫َصا ََبَا فَ لَ َها َم ْه ُرَها ِِبَا أ‬
ِ
َ ‫اح َها ََبط ٌل فَِإ ْن أ‬
ِ ِ
ُ ‫اح َها ََبط ٌل فَن َك‬
ِ
ُ ‫فَن َك‬
َّ ِ‫َم ْن َلَ َو‬
ُ‫ِل لَه‬
Artinya: " Dari Aisyah ra berkata : Rasulullah SAW bersabda: "Tiap-tiap wanita
yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka
nikahnya batal. Jika perempuan itu telah disetubuhi, maka dia berhak menerima
16
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Depok: Gema Insani), Jilid. 9, h. 178
17
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: RajaGrafindo, 2009), h. 90
18
Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), Jilid 5, h. 54
19
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, h. 185
20
Achmad Kuzary, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), Cet. I, h. 41
14

mahar dengan sebab persetubuhan itu. Maka jika para wali enggan (berselisih),
maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada wali."

Dari Abu Hurairah ditakhrij oleh Ibnu Majah & Daruquthni Nabi Saw bersabda;
‫س َها‬ ُ ‫ج ال َْم ْرأَةُ ال َْم ْرأَةَ َوَلَ تُ َزِِّو‬
َ ‫ج ال َْم ْرأَةُ نَ ْف‬ ُ ‫ َلَ تُ َزِِّو‬:.‫م‬.‫ قال رسول هللا ص‬: ‫عن أىب هريرة رضي هللا عنه قال‬
”Wanita tidak boleh menikahkan wanita, dan wanita tidak boleh menikahkan
dirinya sendiri.”

Diriwayatkan Abu Burdah dari Abu Musa dari ayahnya. Di takhrij oleh Ahmad dan
lainnya seperti at-Tirmizi, Abu Dawud dan Ibnu Majah:
‫ل‬ ِ َِّ ‫رسول‬
َ ‫ "َل نكاح إَل َبو‬:‫صلِّى هللا َعلَْيه َو َسلِّم‬
َ ‫اّلل‬ ُ ‫قال‬
َ :‫قال‬
َ ‫َع ْن أَيب بُ ْردةَ عن أيب موسى‬
Artinya: "Dari abi Burdah dari abiy Musa dari Bapaknya dari Nabi SAW bersabda:
Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali.

• QS. Al-Baqarah ayat 232


ِ ِ‫ضلُو ُه َّن اَ ْن يَّ ْنك‬ ۤ ِ َّ ِ
‫ض ْوا بَ ْي نَ ُه ْم‬
َ ‫اج ُه َّن اذَا تَ َرا‬‫و‬‫ز‬
ْ
َ َ َ‫ا‬
َ ‫ن‬ ‫ح‬
ْ ْ ُ ‫ع‬
ْ ‫ت‬
َ ‫َل‬
َ ‫ف‬
َ ‫ن‬
َّ ‫ه‬
ُ ‫ل‬
َ ‫ج‬
َ َ َ َ‫س‬
َ‫ا‬ ‫ن‬ ‫غ‬
ْ ‫ل‬
َ ‫ب‬ ‫ف‬
َ ‫ء‬ ‫ا‬ َ ِّ‫َواذَا طَل ْقتُ ُم الن‬
‫َِبل َْم ْع ُرْوف‬
“Apabila kamu mentalak istrimu lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para
wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.”
(QS. Al-Baqarah: 232).

Imam Bukhari meriwayatkan dari Hasan bahwasanya firman Allah swt.,


“...maka janganlah kmau menghalangi...” (al-Baqarah: 232) turun berkaitan dengan
Ma’qil bin Yasar. Ma’qil berkata,”Aku telah menikahkan saudara perempuanku
dengan seorang laki-laki, lalu laki-laki itu menceraikannya. Ketika masa iddahnya
sudah selesai, laki-laki itu datang untuk meminangnya kembali. Aku lantas berkata
kepadanya, aku telah menikahkanmu, menjadikannya sebagai tempat tidurmu dan
memuliakanmu, tapi kamu menceraikannya. Kemudian kamu datang lagi untuk
meminangnya. Tidak, demi Allah kau tidak akan kembali kepadanya untuk
selamanya. Sebenarnya lelaki ini tidak memiliki cacat, sementara saudara
perempuanku ingin kembali kepadanya. Lantas Allah swt. berfirman: “...maka
jangan kamu halangi mereka...” (Albaqarah: 232). Aku lantas berkata, sekarang aku
akan melakukannya wahai Rasulullah. Lalu aku menikahkan saudara perempuanku
dengannya. Dalam kitab Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata,”Di antara hujjah
yang paling kuat adalah sebab turunnya ayat ini yakni surah al-Baqarah ayat 232.
Ayat ini menjadi dalil yang paling jelas menunjukkan peran seorang wali dalam
pernikahan.21

21
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008), Jilid 3, h. 370
15

2. Urutan Wali
Urutan wali dalam pernikahan menurut empat imam mazhab dapat kita lihat
dalam tabel di bawah ini:
No Mazhab Hanafi Mazhab Maliki Mazhab Syafi’i Mazhab Hambali
Anak laki-laki
1. (Walaupun dari Bapak Bapak Bapak
hasil perzinaan)
Cucu laki-laki Anak laki-laki
Kakek (dst ke
2. (dari anak laki- (Walaupun dari Kakek
atas)
laki dst ke bawah) hasil perzinaan)
Cucu laki-laki
Anak laki-laki
3. Bapak (dari anak laki- Bapak kakek
(dst ke bawah)
laki)
Bapak yang
bukan mujbir
(wanita tsb lahir
dg dia sebagai
Saudara laki-laki
Kakek (dari bapaknya dalam Saudara laki-laki
4. kandung
bapak dst ke atas) pernikahan yang kandung
sah) jika status
bapak karena zina
maka tidak ada
hak perwalian
Saudara laki-laki Saudara laki-laki Saudara laki-laki Saudara laki-laki
5.
kandung kandung sebapak sebapak
Saudara laki-laki Saudara laki-laki Anak laki-laki Anak laki-laki
6.
sebapak sebapak (no. 4) (no. 4)
Anak laki-laki Anak laki-laki Anak laki-laki Anak laki-laki
7.
(no.5) (no. 5) (no. 5) (no. 5)
Anak laki-laki Anak laki-laki Anak laki-laki
8. Paman kandung
(no.6) (no.6) dari (no. 6 & 7)
Saudara laki-laki
9. kakek Paman sebapak Paman kandung
kandung bapak
Saudara laki-laki
Saudara laki-laki Anak laki-laki
10. kandung bapak Paman sebapak
kandung bapak paman kandung
(sebapak)
Anak laki-laki Anak laki-laki Anak laki-laki Anak laki-laki
11.
(no. 9 & 10) no.10 paman sebapak paman kandung
Saudara kandung Anaklaki-laki
12. Bapak kakek Paman bapak
kakek paman sebapak
Beralih ke kerabat
13. dekat (zawil Paman bapak Paman kakek Paman kakek
arham) dan hakim
16

Beralih ke wali:
Beralih ke wali:
yang Anak laki-laki
14. pengasuhnya, dan
memerdekakan (no. 13)
hakim
budak, dan hakim
Beralih ke wali:
yang
15.
memerdekakan
budak dan hakim

Dalam mazhab Hanafi urutan wali pertama yaitu Ashabah karena nasab atau
karena sebab, seperti orang yang memerdekakan budak. Lalu kerabat dekat (zawil
arham) dan hakim. Uraian di dalam tabel adalah urutan wali ashabah. Mereka semua
memiliki hak perwalian yang memaksa pada anak perempuan dan anak laki-laki saat
masih kecil. Adapun pada saat anak laki-laki sudah dewasa, maka mereka tidak
memiliki hak perwalian kecuali terhadap yang gila baik laki-laki maupun perempuan.22
Pada mazhab Maliki, urutan wali yang pertama adalah mujbir yaitu bapak,
orang yang mendapat wasiat dari bapak, dan tuan atas hamba sahayanya. Lalu beralih
ke pengasuh dan hakim. Pada anak laki-laki yang hasil dari perzinaan, jika si ibu
menikah terlebih dahulu baru si anak lahir maka ia lebih didahulukan menjadi wali.
Tapi jika si ibu melahirkan terlebih dahulu kemudian si ibu menikah maka bapaknya
(ayah si ibu) lebih didahulukan menjadi wali karena bapak sebagai wali mujbir.23

Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadi. Rasulullah Saw bersabda:
َّ ِ‫ل َم ْن ََّل َو‬
ُ‫ل لَه‬ ُّ ِ‫الس ْلطَا ُن َو‬
ُّ َ‫ف‬
Artinya: “Maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak
ada walinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud,Ibnu Majah dan Nasa’i).24

3. Klasifkasi Wali
Wali terbagi menjadi dua kategori, yaitu wali mujbir (yang berhak menikahkan
sebagian orang-orang yang berada di bawah perwaliannya tanpa izin dan ridhanya dan
wali ghairu mujbir.
Menurut mazhab Hanafi tidak ada wali kecuali wali mujbir. Menurut mazhab
Syafi’i, wali mujbir adalah bapak & kakek serta seterusnya ke atas. Wali ghairu mujbir
adalah ashabah dan anak laki-laki tidak termasuk wali. Menurut mazhab Maliki, wali
mujbir ialah bapak, kakek, orang yang mendapat wasiat dari bapak (setelah wafat), dan
tuan (pemilik). Sedangkan mazhab Hambali wali mujbir adalah bapak, orang yang
mendapat wasiat dari bapak, dan hakim.25

22
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, h. 183
23
Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, h. 58
24
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h. 97
25
Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, h. 60
17

4. Kewenangan Khusus Wali Mujbir


Wali mujbir adalah memiliki kewenangan khusus untuk menikahkan anak kecil
laki-laki/perempuan, orang dewasa laki-laki/perempuan (walaupun gila), tanpa harus
meminta izin dan ridha mereka.
▪ Mazhab Hanafi
Setiap wali adalah mujbir, akan tetapi tidak ada perwalian kecuali terhadap:
Anak kecil baik laki-laki maupun perempuan, orang gila laki-laki/perempuan
meskipun sudah dewasa ( Jika perempuan gila tidak memiliki anak laki-laki maka
yang jadi walinya adalah bapak/kakeknya. Jika memiliki anak laki-laki maka yang
jadi wali anak laki-lakinya).
Yang termasuk ke dalam perwalian wali ghairu mujbir ialah menikahkan
wanita dewasa berakal, baligh, dengan izin dan ridhanya. Seandainya wanita itu
diam tanpa ada ekspresi yang menunjukkan pada penolakan, maka itu merupakan
izinnya. Kemudian jika wanita itu janda dia harus menyatakan izinnya secara verbal
(terucap) bahwa dia ridha.26
Jadi menurut mazhab Hanafi nikah tidak sah tanpa ada tindakan langsung
dari wali. Nikah tidak sah jika wali melaksanakan akad nikah tanpa izin dan ridha
wanita yang menjalani akad nikah.

▪ Mazhab Maliki
Wali mujbir hanya memiliki kewenangan khusus untuk memaksa anak
perempuan yang masih kecil dan wanita gila (baligh/belum) jika gilanya permanen.
Jika gilanya kambuhan maka barus meminta izin ketika ia sadar (jika wanita itu
janda).27

▪ Mazhab Syafi’i
Wali mujbir adalah memiliki kewenangan khusus untuk menikahkan anak
kecil laki-laki/perempuan, orang dewasa laki-laki/perempuan (walaupun gila), tanpa
harus meminta izin dan ridha mereka, dengan 7 syarat yaitu:
Tidak ada permusuhan antara wali dan yang dinikahkannya, tidak ada
permusuhan antara wanita dengan calon suaminya (jika menikahkannya dengan laki-
laki yang tidak ia sukai atau laki-laki itu berniat buruk kepada wanita maka
pernikahannya tidak sah), suami harus sepadan, suami harus memiliki kelapangan
ekonomi dan mampu membayar mahar. (keempat syarat ini harus terpenuhi terkait
sahnya akad nikah, jika tidak maka akad nikah tidak trsebut batil). Kemudian harus
menikahkannya dengan mahar yang setara, mahar dinilai dengan nilai mata uang
dalam negeri dan harus dibayar tunai. (ketiga syarat ini merupakan syarat
dibolehkannya wali mujbir melangsungkan akad nikah. Jika tidak maka ia berdosa
namun akad nikah tetap sah.28

26
Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, h. 63
27
Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, h. 69
28
Ibid., h. 75
18

▪ Mazhab Hambali
Wali mujbir boleh memaksa orang yang belum dibebani kewajiban syari’at
yaitu anak kecil baik perawan atau janda yang usianya di bawah 9 tahun. Jika
usianya sudah memasuki 9 tahun dan statusnya sebagai janda, maka dia tidak dapat
dipaksa harus ada izin darinya. Wali mujbir boleh menikahkan anak gadisnya yang
sudah baligh baik berakal maupun gila tanpa izin dan ridhanya, kecuali laki-laki
tetsebut mengalami cacat maka gadis tersebut diberi hak untuk memilih
pengguguran akad nikah.29

5. Jika Wali Jauh Menikahkan Padahal Ada Wali Dekat


Menurut mazhab maliki, jika ada wali dekat dan wali jauh maka akad nikah
dinyatakan sah apabila dilakukan oleh wali jauh. Misalkan ada saudara laki-laki
bersama paman dari pihak bapak dan paman yang menjadi walinya, maka akad nikah
sah karena mereka berdua wali ghairu mujbir. Akan tetapi jika terkait wali mujbir maka
akad nikahnya tidak sah, jika wali mujbirnya ada. Misalkan ada bapak, kakek, dan
saudara laki-laki, lalu bapak meminta kakek yang menjadi wali atau saudara laki-laki si
wanita, maka nikahnya sah.30
Menurut mazhab Syafi’i, harus mengikuti urutan wali, tidak ada perwalian wali
dekat kepada wali jauh kecuali dalam kondisi tertentu: Wali dekat belum baligh, wali
dekat gila walupun tidak permanen, wali dekat dinyatakan orang yang fasik, wali dekat
mengalami gangguan pada wawasan dan pandangan terhadap perkara (bisa disebabkan
karena sakit yang berkepanjangan), beda agama (tidak ada perwalian orang kafir bagi
wanita muslim). Wali beralih kepada hakim jika: Wali sedang ihram, wali bepergian
jarak jauh, wali melarang pernikahan wanita (yang mana wanita telah ridha dengan
mahar yang telah ditentukan), wali di dalam penjara. Kebutaan tidak menyebabkan
beralihnya perwalian.31
Menurut mazhab Hanafi, jika wali dekat memperkenankan wali jauh untuk
dijadikan wali, maka nikahnya sah. Perwalian beralih dari wali dekat ke wali
berikutnya jika: wali dekat melakukan perjalanan jauh, wali dekat melarang menikah
dengan laki-laki yang sepadan, walinya tidak memenuhi syarat-syarat wali (merdeka,
mukallaf, Islam). 32
Apabila seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa wali sedangkan calon
suaminya sebanding (kufu’) maka pernikahannya boleh.33
Sebagai landasan atas pemdapatnya ini mazhab Hanafi mengemukakan
beberapa dalil berikut ini:
ِ ِ ِ َّ ِ
َ ْ َ‫فَا ْن طَل َق َها فَ ََل ََت ُّل لَه م ْن بَ ْع ُد َح ِّّٰت تَ ْنك َح َزْو ًجا غ‬
‫ْيه‬

29
Ibid., h. 77
30
Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, h. 79
31
Ibid., h. 82
32
Ibid., h. 85
33
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h. 91
19

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka


perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain.” (QS. Al-Baqarah: 230)

Menurut mazhab Hambali, harus mengikuti urutan wali. Hak wali dapat gugur
dalam kasus-kasus tertentu yaitu: jika wali tidak mengizinkan wanita menikah dengan
laki-laki pilihannya, menolak mahar yang telah wanita ridhai. Lalu wali bepergian
dengan jarak jauh, wali belum baligh, kafir, budak, dan tidak memenuhi syarat-syarat
wali.34
Empat imam mazhab sepakat bahwa wali boleh mewakilkan perwaliannya
kepada orang lain dengan alasan-alasan tertentu seperti yang sudah diuraikan di atas.

C. Saksi dalam Pernikahan

1. Definisi kesaksian (konsep kesaksian)


Kesaksian adalah keterangan atau pernyataan yang disampaikan oleh seorang
yang disebut sebagai saksi karena ia mengetahui kejadian suatu peristiwa yang terkait
dengan kesaksiannya. Keterangan atau pernyataan yang diberikan itu sudah tentu yang
menjadi saksi adalah orang yang mengetahui dengan jelas tentang suatu peristiwa yang
dilihatnya sendiri. Adapun pendapat atau dugaan yang diperoleh melalui berfikir tidak
terasuk dalam suatu kesaksian.35
Akad pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian
hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di
belakang hari. Jika para saksi yang hadir diminta oleh pihak yang mengadakan akad
pernihakan agar merahasiakan dan tidak memberitahukanya kepada orang-orang, maka
nikahnya tetap sah. Namun apabila tidak dihadiri oleh para saksi meskipun diumumkan
ke khalayak ramai, maka hukum pernikahnya tidak sah.
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya. Karena menyangkut
kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan
anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dan
istrinya itu. Juga supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunanya (nasabnya) dan tidak
kalah pentingnya adalah menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan jelek), seperti
kumpul kebo.36
Syafi’i, Hanafi dan Hambali sepakat bahwa perkawinan itu tidak sah tanpa
adanya saksi.37
Imam Syafi’i berkata: tidak boleh bagi bapak menikahkan anaknya yang
perawan, dan tidak boleh bagi wali selain bapak menikahkan perawan maupun janda
yang sehat akalnya hingga terdapat 4 unsur, yaitu: pertama, keridhaan dari wanita yang

34
Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, h. 87
35
Ibnu Elmi ASP dan Abdul Helim, Konsep Kesaksian, ( Malang: setara press. 2015), h.6
36
Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2000), h.146
37
Imam Syafi’i, Abu Adullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm, terj. Imaron Rosadi,
dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.447
20

akan dinikahkan dan saat itu ia telah baligh. Adapun batasan baligh adalah telah
mengalami haid (menstruasi) atau usianya telah cukup 12 tahun. Kedua, keridhaan laki-
laki yang akan menikah dan saat itu ia telah baligh pula. Ketiga, wanita itu harus
dinikahkan wali atau sultan (penguasa). Keempat, pernikahan ini disaksikan oleh dua
orang saksi yang adil. Apabila pernikahan tidak memenuhi salah satu dari 4 unsur ini,
maka perikahan dianggap rusak (tidak sah)”.
Tetapi Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki, atau
seorang laki-laki dengan dua orang perempuan, tanpa disyarakan harus adil. Namun
mereka berpendapat bahwa kesaksian kaum wanita saja tanpa laki-laki dinyatakan tidak
sah.38
Menurut Imam Malik dan para sahabatnya bahwa saksi dalam akad nikah itu
tidak wajib dan cukup diumumkan saja.39
Imam Malik da para pengikutnya berpendapat bahwa kesaksian bukanlah
sesuatu yang diwajibkan dalam pernikahan. Menurut mereka pernikahan cukup dengan
disebarkan dan diumumkan. Mereka mendasarkan pendapat mereka dari jual beli,
kesaksian tidak termasuk kewajiban yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan praktik
tersebut. Adapun kesaksian di dalam pernikahan yang tidak pernah disinggung
langsung dalam qur’an akan lebih leluasa untuk tidak dijadikan sebagai salah satu hal
pokok yang harus dipenuhi, karena inti dari kesaksian adalah pemberitahuan dan
pemberitaan sehingga hal itu dapat menyelamatkan keturunan dari ketidakselasan
nasab”.

2. Dasar Hukum Kesaksian


Dasar hukum keharusan saksi dalam akad pernikahan ada yang dalam bentuk ayat
Al-Qur’an dan beberapa hadits Nabi SAW diantaranya firman Allah SWT:

ِ ِ ٍ ‫َمس ُكوه َّن ِِبَعر‬


ُ ‫عروف َوأَش ِه ُدواْ ذَ َوي َعدل ِّمن ُكم َوأَق‬
ْ‫يموا‬ ِ ُ ُ‫وف أَو فَا ِرق‬
ُ َ‫وه َّن ِب‬ ُ ُ ِ ‫َجلَ ُه َّن فَأ‬ َ َ‫فَِإذَا بَل‬
َ ‫غن أ‬
ِ ‫وم‬ ِ ‫ٱّلل وٱلي‬
ِ ِ
‫ٱّللَ ََي َعل لَّهۥُ ََم َرجا‬
َّ ‫ٱألخ ِرۗ َوَمن يَت َِّق‬ ِ ُ ‫وع‬
َ َ َّ ِ‫ظ بِهۦ َمن َكا َن يُؤم ُن ب‬ َ ُ‫ّللۗ ٰذَلِ ُكم ي‬
َِِّ َ‫ٱلش ٰه َدة‬
َ َّ
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik
atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan keluar.”40

‫ادةَ َع ْن َجابِ ِر بْ ِن َزيْ ٍد َع ْن‬ َ َ‫يد َع ْن قَ ت‬ ٍ ِ‫ي حدَّثَنَا َعب ُد ْاألَ ْعلَى َعن سع‬
َ ْ ْ َ ُّ ‫ص ِر‬
ٍ ‫ف بن َْح‬
ْ َ‫َّاد الْب‬ ُ ْ ُ ‫وس‬ ُ ُ‫َحدَّثَنَا ي‬
‫س ُه َّن بِغَ ِْْي بَيِِّنَ ٍة‬ ِ َّ ‫اٰي‬
َ ‫الَلِِت يُنْك ْح َن أَنْ ُف‬ َ َ‫اّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َ َ‫ال الْبَ غ‬ َّ ‫صلَّى‬ َ َّ‫َن النَّبِي‬
َّ ‫اس أ‬
ٍ َّ‫ابْ ِن َعب‬

38
Muhammad Jawwad Mughriyah, fiqih lima mazhab
39
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 3, (Jakarta: pena pundi akasara, 2010), h. 272
40
Departeman Aagama RI, Alqur’an dan terjemahanya, (Jakarta: bumi restu, 1976), h.115
21

“Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Hammad Al Bashri, telah menceritakan
kepada kami Abdul A'la dari Sa'id dari Qatadah dari Jabir bin Zaid dari Ibnu
Abbas bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wanita-wanita pezina
ialah mereka yang menikahkan diri mereka sendiri tanpa adanya bayyinah (yaitu wali
atau saksi)." 41

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa saksi dalam akad nikah merupakan
rukun dari akad tersebut. Beliau mengqiyaskan persaksian dalam akad akad nikah
dengan persaksian dalam akad muammalah. Kesaksian merupakan rukun dari akad
muammalah, maka menurut beliau akad nikah lebih utama dari akad muammalah.
Oleh karena itu adanya saksi dalam akad nikah lebih utama dan diperlukan dari pada
adanya saksi-saksi dalam akad muammalah.42
Secara umum keberadaan saksi dalam nikah diterima oleh jumhur ulama, akan
tetapi terdapat perbedaan pendapat/pandangan terhadap masalah syarat0syarat yang
harus dimiliki oleh saksi sewaktu menjadi saksi nikah. Menurut KHI pasal 25, yang
dapat ditunujuk untuk menjadi saksi dalam akad nikah islah seorang laki-laki muslim,
aqil baligh, adil, tidak terganggu da tina tuna rungu atau tuli. Salah satu syarat yang
perlu diperhatikan menueut penulis ialah diisyaratkannya adil bagi saksi dalam
pernikahan.
Mengenai disyaratkannya adil ini terdapat perbedaan pandangan kalangan para
fuqaha. Ulama dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa sifat adil tidak disyaratkan
bagi saksi. Artinya pernikahan yang telah dilaksanakan dengan disaksikan oleh dua
orang saksi yang fasik hukumnya tetap sah. 43 Namun berbeda pendapat dengan imam
Syafi’I, menurutnya saksi mengandung du aarti yaitu pengumuman dan penerimaan,
jadi disyaratkan menggunakan saksi yang adil. Beliau mengatakan bahwa “kami tidak
memperbolehkan perkawinan, selain perkawinan yang dilakukan akadnya dengan
dihadiri dua saksi yang adil”44

Mushannif menyebutkan bahwa keabsahan sebagai wali dan dua saksi


membutuhkan enam syarat, yaitu:
a) Islam
Disepakati oleh Imam malik, Imam syafi’I dan imam Hanafi, bahwa saksi
dalam suatu akad adalah saksi yang beragama islam. Jika ada salah satu dari
wali ataupun saksi ada yang tidak beragama islam, maka kesaksiaanya
dianggap tidak sah.
b) Baligh/dewasa
Anak-anak tidak diperkenankan menjadi saksi, walaupun sudah mumayyiz
(menjelang dewasa), kesaksianya dianggap belum pantas
c) Berakal sehat

41
Muhammad Isa bin surah at-tirmidzi, sunan at-tirmidzi, juz II, (bairut-Libanon: daar al-fikri, 1994),
h. 298
42
Soemiyati, Hukum perkawinan islam dan undang-undang, (Yogyakarta: Liberty, 1986), h.51
43
Sayyid Sabiq, fiqih sunnah 3, (Jakarta: pena pundi aksara, 2010),h. 274
44
Muhammad bin idris al-Syafi’i, al-umm, h. 35
22

Artinya orang yng sedang mabuk/gila tidak dapat dijadikan saksi


d) Merdeka
e) Saksi berjumlah 2 orang atau lebih
Menurut Hanafi, Hambali, dan Maliki menerima jika seorang saksi wanita
jumlah 2 orang itu cukup. Berbeda dengan Syafi’I bahwa jika saksi seorang
wanita maka paling sedikit berjumlah 4 orang.
f) Laki-laki
g) Kedua saksi dapat mendengar dan melihat
Bukan hanya dapat mendengar dan melihat saja, melainkan juga harus paham
dan menegerti
h) Adil.
Meskipun terlihat secara lahiriah saja. Namun berbeda dengan pendapat
Hanafi dan Maliki.

3. Fungsi saksi dalam akad nikah


Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah, oleh
karena itu setiap pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi, sebagaimana di
dalam komplikasi hokum islam pasl 24 ayat 1 menyatakan bahwa: saksi dalam
perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah, dan ayat 2 berbunti: setiap
perkawinan harus disaksikan oleh 2 orang saksi. Kehadiran saksi dalam akad nikah
adalah mutlak diperlukan, apabila saksi tidak hadir pada saat akad nikah
dilangsungkan, maka sebagai akibat hukumanya nikah tersebut tidak sah.45
Selain merupakan rukun nikah, adanya saksi digunakan untuk
mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari,
apabila ada salah satu suami atau istri terlibat perselisihan dan perkaranya diajukan
ke pengadilan. Saksi-saksi tersebut yang menyaksikan akad nikah, dapat dimintai
keterangan sehubungan dengan pemeriksaan perkaranya. Oleh karena itu dalam
pelaksanaanya, selain saksi harus hadir dan menyaksiakan secara langsung akad
nikah, saksi diminta untuk menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat
akad nikah dilangsungkan. 46
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang saksi, apakah saksi itu
merupakan suatu syarat saja ataukah sebagai rukun dalam perkwinan. Berarti
mengandung maksud bahwa nikah itu tidak dapat dicapai dengan cara yang lain
akan tetapi Imam Syafi;I menyatakan babwa saksi itu sebagai rukun, sehingga
setiap perkawinan harus disaksikan oleh kedua orang saksi.

4. Hikmah Persaksian Dalam Pernikahan


Hikmah disyaratkan persaksian dalam akad nikah adalah:
a) memberi pengertian betapa pentingnya pernikahan tersebut dan
menmpakkanya kepada orang-orang demi menangkis segala jenis prasangka
dan tuduhan atas kedua mempelai

45
Ahmad Rofikm, hukum islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 95
46
Ahdam Rofikm, Op.Cit, h. 96
23

b) persaksian tersebut dapat membedakan antara halal dan haram. Biasnaya suatu
yang halal itu ditampakkan namun yang haram sengaja ditutupi. Sehingga
dengan persaksian tersebut dapat dinotariskan sehingga dapat dikeluarkan
catatanya saat diperlukan.
c) Saksi bertujuan untuk memberikan informasi kepada orang-orang agar tidak
timbul fitnah.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Para ulama sepakat bahwa dalam perkawinan harus ada yang namanya Ijab Qabul.
Akad nikah merupakan wujud nyata sebuah ikatan antara seorang pria yang menjadi suami
dengan seorang wanita sebagai isteri, yang dilakukan di depan (paling sedikit) dua orang
saksi, dengan menggunakan sighat ijab dan qabul.
Kedua pernyataan antara ijab dan qabul nikah inilah yang dinamakan akad dalam
pernikahan. Ijab merupakan pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak,
yang mengandung keinginan secara pasti untuk mengikat diri. Sedangkan qabul adalah
pernyataan pihak lain yang mengetahui dirinya menerima pernyataan ijab tersebut. Ijab
dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita, sedangkan qabul dilakukan oleh mempelai
pria. Qabul yang diucapkan hendaknya dinyatakan dengan kata-kata yang menunjukan
kerelaan secara tegas. Jumhur ulama dan Mayoritas ulama dari Malikiyah, Syafiyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ijab itu adalah lafaz yang keluar
dari wali calon istri, sedangkan qabul adalah lafaz yang keluar dari calon suami atau yang
mewakili.
Secara umum tidak ada lafaz khusus yang yang harus digunkan
dalam ijab dan qabul, mungkin lafaz ini mirip-mirip dengan lafzh niat shalat yang biasa
digunakan oleh sebagian kita, atau seperti lafaz niat puasa, yang tidak mempunyai redaksi
khusus, sehingga memungkinkan bagi kita untuk berijtihad dalam mencari lafaz yang
bagus. Hanya saja para ulama menyepakati bahwa dalam lafaz itu harus ada kata-
kata nikah atau zawaj
Adapun syarat terhadap ijab qabul adalah: kedua belah pihak yang melakukan akad
nikah adalah orang yang sudah dewasa dan sehat rohani (tamyiz), ijab dan qabul
dilaksanakan dalam satu majelis, ucapan qabul hendaknya tidak menyalahi ucapan ijab,
ijab dan qabul harus dilakukan dengan lisan dan didengar oleh masing-masing pihak, baik
wali, mempelai maupun saksi dan antara pengucapan ijab dan kabul harus bersambung,
tidak boleh dipisah dengan pemisah yang panjang.
Perwalian menurut bahasa adalah rasa cinta dan pertolongan. Menurut fuqaha wali
adalah kemampuan untuk langsung bertindak dengan tanpa bergantung kepada izin
seseorang.
Syarat-syarat wali menurut fuqaha yaitu Islam, baligh, berakal dan merdeka.
Mazhab Syafi’i dan Maliki menyatakan wali sebagai rukun nikah, sedangkan mazhab
Hambali dan Hanafi wali bukan termasuk rukun nikah.
Menurut mazhab Hanafi tidak ada wali kecuali wali mujbir. Menurut mazhab
Syafi’i, wali mujbir adalah bapak & kakek serta seterusnya ke atas. Wali ghairu mujbir
adalah ashabah dan anak laki-laki tidak termasuk wali. Menurut mazhab Maliki, wali
mujbir ialah bapak, kakek, orang yang mendapat wasiat dari bapak (setelah wafat), dan

24
25

tuan (pemilik). Sedangkan mazhab Hambali wali mujbir adalah bapak, orang yang mendapat
wasiat dari bapak, dan hakim
Kesaksian adalah keterangan atau pernyataan yang disampaikan oleh seorang yang
disebut sebagai saksi karena ia mengetahui kejadian suatu peristiwa yang terkait dengan
kesaksiannya. Keterangan atau pernyataan yang diberikan itu sudah tentu yang menjadi saksi
adalah orang yang mengetahui dengan jelas tentang suatu peristiwa yang dilihatnya sendiri.
Syarat-syarat menjadi saksi menurut para ulama yaitu, islam, baligh, berakal,
merdeka, jika perempuan minimal 2 orang, laki-laki, dan adil. Dapat disimpulkan bahwa
menurut ulama Imam Hambali, Hanafi, dan syafi’i saksi itu menjadi syarat sah suatu
pernikahan, namun menurut imam Maliki itu tidak termasuk dari syarat pernikahan. Yang
terpenting adalah suatu informasi kepada oaring-orang tentang adanya suatu pernikahan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Bin Ahmad. 1997 . Al-Baẖru Al-Râiq, Juz III .Cet. I ; Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiah.

Ali Hasan. 2000. Perbandingan Mazhab Fiqih. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Al-Juzairi, Abdurrahman. Fikih Empat Mazhab. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Al-Manji,Zainuddin Bin Usman, 2003. Al-Mumta‟Fî Syarẖi Muqna‟, Juz III.Cet. III;
Makkah: Maktabah Al-Asadi,

Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Depok: Gema Insani.

Az-Zuhaili ,Wahbah, 2006. Al-Fiqh Al-Islâmi Wa Adillatuhu, Juz IV Damaskus: Dar Al-Fikr,
Buku Ini Selanjunya “Al-Fiqh”; Idem, Al-Fiqh Al-Mâliki Al-Muyassar Cet. III;
Beirut: Dar Al-Kalam Al- Thayyib,2005,32. Buku Ini Selanjutnya Disebut “Al-
Maliki.

Departeman Agama RI, 1976. Alqur’an Dan Terjemahanya, Jakarta: Bumi Restu,

Elmi ASP ,Ibnu Dan Abdul Helim, 2015.Konsep Kesaksian, Malang: Setara Press.

Hasan ,Ali, 2000.Perbandingan Mazhab Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo Persada


Imam Syafi’i, Abu Adullah Muhammad Bin Idris, 2008. Ringkasan Kitab Al-Umm, Terj.
Imaron Rosadi, Dkk, Jakarta: Pustaka Azzam
Isa ,Muhammad Bin Surah At-Tirmidzi, 1994. Sunan At-Tirmidzi, Juz II, Bairut-Libanon:
Daar Al-Fikri,

Ibnu Elmi, Abdul Helim. 2015. Konsep Kesaksian. Malang: Setara Press.

Jawwad Mughriyah ,Muhammad, Fiqih Lima Mazhab.

Kuzary, Achmad. 1995. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Muslim ,Abu Husain Bin Al-Hajjaj An-Naisabury, Shahih Muslim, Semarang: Toha Putra, T.
Th
Muẖyiddin ,Abi Zakariya,Bin Syaraf Al-Nawawi, Kitâb Al-Majmû„, Juz 17 Cet. I; Beirut:
Dar Ihya’ Al-Turats Al-Arabi,

Nashiruddin Al-Albani ,Muẖammad ,2001.Al-Mu‟Tamad, Juz II Cet. II; Beirut: Dar Al-
Khair

Rofikm ,Ahmad. 1995. Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

Sabiq, Sayyid. 2008. Fikih Sunnah. Jakarta: Cakrawala Publishing.

26
27

Syatha, Abu Bakar. 1997. I’anah Ath-Thalibin. Beirut: Dar Al- Fikr

Saiyid Mahadhir ,Muhammad.2014. “Ijab Dan Qabul” Https://Rumahfiqih.Com/Fikrah-166-


Ijab-Dan-Qabul.Html Diakses 21 Oktober 2022, 19.00 .

Syamsuddin, Muẖammad Bin Muẖammad Al-Khatibi, 2007.Al-Iqnâʻ, Juz II Cet. III; Beirut:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.

Sabiq ,Sayyid, 2010. Fiqih Sunnah 3, Jakarta: Pena Pundi Akasara,

Soemiyati, 1986. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang, Yogyakarta: Liberty,

Tihami, Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat. Jakarta: Rajagrafindo.

Tihami Dan Sohari Sahrani. 2013. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta:
Rajawali Pers,

Anda mungkin juga menyukai