Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Fiqh Muqarran
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A
Dr. Sapiuddin Shidiq, M.Ag
Disusun oleh:
Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan
serta kekuatan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul, “Ijab
Qabul, Legalisasi Wali Nikah, serta Saksi dalam Pernikahan.” Shalawat dan salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu mata kuliah Fiqh
Muqarran yang disajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber.
kami turut berterima kasih kepada dosen pengampu Dr. Sapiuddin Shidiq, M.Ag.,
yang telah membimbing kami sehingga makalah ini dapat disusun dengan baik.
Kami menyadari makalah ini bukanlah tugas yang sempurna karena memiliki
banyak kekurangan baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisan. Oleh sebab
itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi kami khususnya
sebagai pemakalah dan pembaca.
Pemakalah
Jakarta, 23 Oktober 2022
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menjalani kehidupan sebagai seorang muslim maka adanya hukum
syari’at yang mengatur agar terciptanya kehidupan yang tentram dan teratur. Salah
satu ajaran syari’at Islam adalah pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu cara
yang dipilih oleh Allah Swt, sebagai jalan untuk memperbanyak diri (berkembang
biak), dan meneruskan hidupnya. Pernikahan merupakan Sunnah Allah yang sudah
diketahui secara umum dan berlaku didunia ini.
Untuk melaksanakan suatu pernikahan Islam membuat aturan- aturan yang
harus dipenuhi. Aturan-aturan dalam pernikahan ini harus diketahui dan dipahami
oleh seluruh muslim baiknya sebelum ia melangsungkan akad nikah, agar tidak
terdapat kesalahan dalam menjalankan akad nikah. Jika nikahnya tidak sah karena
sebab-sebab tertentu ditakutkan masuk kedalah ranah perzinaan.
Agar tidak terjadi perselisihan dan kefanatikan dalam hal ini, maka kita dapat
melihat aturan-aturan tersebut menurut pandangan empat imam mazhab, dikarenakan
kita mengikuti mazhab yang berbeda-beda.
Di dalam makalah ini kita akan terfokus pada masalah ijab qabul, wali nikah,
dan saksi dalam pernikahan. Ketiga masalah ini menurut hemat pemakalah hal yang
sangat penting dalam pelaksanaan akad nikah. Kita akan melihat bagaimana
pandangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam ketiga hal tesebut.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Pendapat Empat Imam Mazhab tentang Ijab Qabul?
b. Bagaimana Pendapat Empat Imam Mazhab tentang Wali Nikah?
c. Bagaimana Pendapat Empat Imam Mazhab tentang Saksi dalam Pernikahan?
C. Tujuan Penelitian
a. Menjelaskan Pendapat Empat Imam Mazhab tentang Ijab Qabul
b. Menjelaskan Pendapat Empat Imam Mazhab tentang Wali Nikah
c. Menjelaskan Pendapat Empat Imam Mazhab tentang Saksi dalam Pernikahan
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ijab Qabul
Sebelum kita membahas tentang ijab qabul ada baiknya kita singgung sedikit
tetang pengertian nikah menurut empat imam mazhab.
Menurut mazhab Hanafi, nikah adalah akad yang menyebabkan kepemilikan
wewenang untuk bersenang-senang dengan sengaja. Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa
nikah ialah pembolehan hubungan seksual dan seterusnya. Mazhab Maliki mendefenisikan
nikah sebagai akad yang hanya berkaitan dengan kesenangan yang dinikmati dengan istri
sah. Sedangkan menurut mazhab Hambali nikah adalah akad dengan lafal pernikahan atau
perkawinan atas manfaat bersenang-senang.1
Perkawinan menurut syara‟ adalah akad yang dengannya diperbolehkan
mengambil kenikmatan dengan perempuan, dengan syarat perempuan tersebut bukan
mahram dari segi nasab, susuan, dan keluarga.2 Perkawinan juga akan membawa manusia
dalam mencapai kedamaian, ketenangan hidup dan menimbulkan rasa kasih sayang
sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21:
اجا لِِّتَ ْس ُكنُ ْوا اِل َْي َها َو َج َع َل بَ ْي نَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّوَر ْْحَةً ۗاِ َّن ِ ِْف ِ ِ ِ ِ
ً َوم ْن ٰايٰته اَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم ِّم ْن اَنْ ُفس ُك ْم اَ ْزَو
ت لَِِّق ْوٍم يَّتَ َف َّك ُرْو َن َ ِٰذل
ٍ ٰك َ َٰلي
Perkawinan bisa dikatakan sah dimata hukum Islam dan undang-undang apabila
semua rukun-rukunnya terpenuhi dengan sempurna, Dari beberapa rukun nikah yang ada
yang paling penting adalah Ijab Qabul, karena rukun-rukun yang lain seperti saksi dan
wali masih ada kontroversi ulama, seperti halnya wali menurut Madzhab Hanafi bukanlah
termasuk dalam rukun nikah, begitupula saksi menurut Madzhab Maliki tidak termasuk
rukun nikah, bahkan menurut satu madzhab yang belum sempat terkodifikasi yaitu
madzhab yang didirikan oleh Abu Sulaiman Daud bin Ali bin Khalaf al-Dzahiri saksi dan
wali sama sekali tidak tergolong dalam rukun nikah.3
1
Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), Jilid 5, h. 5-8
2
Wahbah al-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu,(Jakarta : Gema insani,2011), h. 4
3
Abu Bakar Syatha, I’anah Ath-Thalibin, ( Beirut: Dar Al- Fikr, 1997 ), h.163
5
6
4
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), h. 79
7
Jika calon suami mengatakan dengan wali calon istri: “Nikahkan saya”, lalu
kemudian wali menjawabnya dengan: “Iya, saya nikahkan”, maka tetap saja lafaz ijab itu
adalah lafaz yang keluar dari wali, dan lafaz qabul adalah yang keluar dari calon suami,
dan aqad seperti ini dinilai sah.Jika bersandar dengan pendapat ini, maka dalam
prakteknya pelaksanaan ijab dan qabul tidak harus selalu dimulai atau diawali dari seorang
wali, sehingga memungkinkan lafaz yang pertama itu bisa keluar dari calon suami,
walaupun secara pribadi penulis belum pernah menyaksikan ini dalam tradisi kita di
Indonesia.
Namun berbeda halnya dengan pendapat dari kalangan Hanabilah yang meyakini
bahwa lafaz qabul harus datang belakangan setelah lafaz ijab, karena pada dasarnya
lafaz qabul itu sangat terkait dengan lafaz ijab.
2. Lafaz Ijab dan Qabul
Secara umum tidak ada lafaz khusus yang yang harus digunkan
dalam ijab dan qabul, mungkin lafaz ini mirip-mirip dengan lafzh niat shalat yang biasa
digunakan oleh sebagian kita, atau seperti lafaz niat puasa, yang tidak mempunyai redaksi
khusus, sehingga memungkinkan bagi kita untuk berijtihad dalam mencari lafaz yang
bagus.
Hanya saja para ulama menyepakati bahwa dalam lafaz itu harus ada kata-
kata nikah atau zawaj, bahkan menurut ulama Syafiyah dan Hanabilah tidak sah
hukumnya jika tidak memakai salah satu dari kata tersebut. Alasannya adalah karena Al-
Quran hanya menyebutkan dua kata itu untuk mengungkap sebuah pernikahan. Misalnya
pada dua ayat berikut:
bukan aqad yang lain. Maka tidak heran di negri kita kedua lafaz ini (nikah dan kawin)
lafaz yang wajib ada, atau disebagian tempat malah keduanya disebut bersamaan dalam
waktu yang sama.5
3. Dasar Hukum Ijab Qabul
Dasar hukum Ijab Qabul tersirat dalam Al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW:
a. Al-Qur’an .
- QS. An-Nisa’ ayat 29, yaitu :
b. Hadist
اتقوا هللا ِف النساء فإنكم أخذمتوهن أبمان هللا واستحللتم فروجهن بكلمة هللا
“Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kalian mengambil
(menikahi) mereka dengan kepercayaan Allah. dan kalian halalkan kehormatan mereka
dengan kalimat Alla.” (HR. Muslim).6
5
Muhammad Saiyid Mahadhir, “ijab dan qabul” https://rumahfiqih.com/fikrah-166-ijab-dan-qabul.html
(diakses 21 oktober 2022, 19.00 ).
6
Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj an-Naisabury, Shahih Muslim, (Semarang: Toha Putra, t. Th), h. 593.
9
a. Kedua belah pihak yang melakukan akad nikah, baik wali maupun calon mempelai
pria, atau yang mewakili salah satu atau keduanya, adalah orang yang sudah dewasa
dan sehat rohani (tamyiz). Apabila salah satu pihak masih kecil atau ada yang gila,
maka pernikahannya tidak sah.
b. Ijab dan qabul dilaksanakan dalam satu majelis. Artinya, ketika mengucapkan ijab-
qabul, tidak boleh diselingi dengan kata-kata atau perbuatan lain yang dapat dikatakan
memisahkan antara sighat ijab dan sighat qabul dan menghalangi peristiwa ijab-qabul
c. Ucapan qabul hendaknya tidak menyalahi ucapan ijab. Artinya, maksud dan tujuannya
sama, kecuali bila qabul-nya lebih baik dari ijab yang seharusnya, dan menunjukkan
pernyataan persetujuan lebih tegas. Contohnya, jika pihak wali mengatakan: “Aku
nikahkan kamu dengan puteriku fulanah dengan mahar seratus ribu rupiah”. Lalu si
mempelai pria menjawab: “Aku terima nikahnya dengan mahar dua ratus ribu rupiah”.
Maka pernikahan itu tetap sah, karena qabul yang diucapkan lebih baik, dan telah
mencukupi dari yang seharusnya.
d. Ijab dan qabul harus dilakukan dengan lisan dan didengar oleh masingmasing pihak,
baik wali, mempelai maupun saksi. Pernyataan kedua belah pihak harus dengan
kalimat yang maksudnya menyatakan terjadinya pelaksanaan akad nikah, meskipun
kata-katanya ada yang tidak dapat dipahami. Karena yang menjadi pertimbangan di
sini adalah maksud dan niat, bukan mengerti setiap kata yang dinyatakan dalam ijab
dan qabul.
Maliki dan Hambali berpendapat: Akad nikah dianggap sah jika menggunakan
lafal an-Nikah dan Az-Zawaj serta lafal-lafal bentukannya. Juga dianggap sah dengan
lafal-lafal al-Hibah, dengan syarat harus disertai penyebutan mahar atau mas kawin, selain
kata-kata tersebut di atas tidak dianggap sah.
Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa redaksi akad harus merupakan kata
bentukan dari lafal at-Tazwij dan an-Nikah saja, selain itu tidak sah. Berdasarkan hukum
asalnya, ijab itu datangnya dari pihak pengantin wanita dan qabul dari pengantin laki-laki.
Wali mengatakan, “saya nikahkan anak perempuanku kepadamu,” lalu pengantin laki-laki
menjawab, “saya terima nikah dengan anak perempuanmu”.
Ketika qabul didahulukan, dimana pengantin lakilaki mengatakan kepada wali,
“nikahkan saya dengan dia”, lalu wali berkata, “saya nikahkan kamu dengannya”, maka
timbullah pertanyaan: apakah akad tersebut sah atau tidak? Imamiyah dan tiga Madzhab
lainnya mengatakan sah, sedangkan Hambali mengatakan tidak sah.
7
Abdullah bin ahmad, al-Baẖru al-Râiq, Juz III ( Cet. I ; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1997), h. 144
8
Wahbah az-Zuhaili, al-fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, Juz IV (Damaskus: dar al-Fikr, 2006), h. 2931
(buku ini selanjunya “al-fiqh”); idem, al-fiqh al-Mâliki al-Muyassar (Cet. III; Beirut: Dar al-Kalam
al-Thayyib,2005),32 (buku ini selanjutnya disebut “al-Maliki”)
9
Ibid.,h. 2931
11
1) Ijab qabul menggunakan lafadz-lafadz tertentu yang sah digunakan dalam akad
nikah
2) Ijab qabul dilakukan dalam satu majlis
3) Antara ijab dan qabul tidak ada perbedaan
4) Pelafalan ijab Kabul harus didengar oleh dua orang yang berakad
5) Ijab Kabul tidak boleh dibatasi dengan waktu
10
Wahbah az-Zuhaili, “al-fiqh” Juz X. Op. Cit., h. 6523.
11
Abdul Raẖman al-Jaziri, Op. Cit., h. 19.
12
Definisi ijab kabul dalam Madzhab Hanabilah hampir sama dengan definisi
yang telah dikonsepkan oleh madzhab-madzhab sebelumnya. Menurut mereka ijab
merupakan lafaz kerelaan memberikan sesuatu yang berasal dari wali nikah atau
orang yang menempati posisi wali dalam arti orang yang mewakili wali kepada
calon suami atau wakilnya.14 Sedangkan kabul merupakan ucapan penerimaan yang
berasaldari calon suami atau orang yang mewakili calon suami.15
Adapun lafaz-lafaz ijab yang sah digunakan dalam akad pernikahan menurut
madzhab Hanabilah hanya ada dua yaitu lafaz yang berasal dari kata nakaẖa dan lafaz
zawwaja. Ulama Hanabilah menyatakan bahwa suatu ijab kabul pernikahan yang tidak
menggunakan kedua lafaz ini hukumnya tidak sah, karena menurut mereka hanya
kedua lafaz inilah yang direkomedasikan keabsahannya oleh Allah SWT.
Adapun dalam syarat shigaht akan dalam mazhab hanabilah, sama persis
dengan yang dimiliki pada madzhab syafi’iyah.
12
Abi Zakariya Muẖyiddin bin Syaraf al-Nawawi, Kitâb al-Majmû„, Juz 17 (Cet. I; Beirut: Dar Ihya’
al-Turats al-Arabi,), h. 208
13
Syamsuddin Muẖammad bin Muẖammad al-Khatibi, al-Iqnâʻ, Juz II (Cet. III; Beirut: Dar al-Kutub
Al-Ilmiyah,2007), h. 245
14
Muẖammad Nashiruddin al-Albani, al-Mu‟tamad, Juz II (Cet. II; Beirut: Dar al-Khair,2001), h. 154
15
Zainuddin al-manji bin Usman, al-Mumta‟fî Syarẖi Muqna‟, Juz III ( Cet. III; Makkah: Maktabahal-
Asadi, 2003), h. 548
13
B. Wali Nikah
1. Pengertian Wali dan Macam-macamnya
Perwalian menurut bahasa adalah rasa cinta dan pertolongan. Menurut fuqaha wali
adalah kemampuan untuk langsung bertindak dengan tanpa bergantung kepada izin
seseorang.16
Secara etimologis wali mempunyai arti pelindung, penolong atau penguasa. Wali
pernikahan diartikan sebagai orang yang berhak menikahkan seorang perempuan, jika
wali yang bersangkutan tidak hadir atau karena ada suatu sebab ia tidak dapat bertindak
sebagai wali maka hak kewaliannya berpindah kepada orang lain. Imam Malik, Imam
Syafi’i, mengatakan bahwa wali itu adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah, bukan
dari garis ibu.17
Wali dalam nikah adalah orang yang menjadi acuan sahnya akad nikah. Dengan
demikian akad nikah dinyatakan tidak sah bila tanpa wali. Yang dimaksud denga wali
nikah adalah Bapak (wali mujbir) atau orang yang mendapat wasiat darinya, kerabat
ashabah, orang yang memerdekakan budak, hakim dan tuan dari seorang budak (wali
maula).18
Syarat-syarat wali menurut fuqaha yaitu Islam, baligh, berakal dan merdeka.
Mazhab Syafi’i dan Maliki menyatakan wali sebagai rukun nikah, sedangkan mazhab
Hambali dan Hanafi wali bukan termasuk rukun nikah. Namun Hanafi menyatakan
bahwa wali termasuk kepada syarat sah nikah.19
Wali sebagai unsur akad nikah tidak selalu hanya pada mempelai perempuan,
walau hampir semua akad nikah yang dipraktekkan dalam masyarakat penentuan wali
sebagai unsur akadnya selalu untuk mempelai perempuan saja. Jadi penentuan wali untuk
mempelai lelaki jarang terjadi, dan dengan ketentuan dari pasal 7 ayat 1 Undang-undang
perkawinan yang menyatakan “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun,” maka praktis mempelai lelaki
melangsungkan akadnya sendiri karena dalam unsur tersebut mereka tidak berada di
bawah perwalian lagi.20
Dalil-dalil tentang wali dari Al-Qur’an dan hadis:
• Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, ditakhrij oleh Abu Dawud, at-Tirmizi dan
Ibnu Majah:
اح َها ََب ِط ٌل ِ ُّ ِ أَُُّّيَا ْامرأَةٍ ََل ي ْنكِ ْح َها الْو: .م. قال رسول هللا ص:عن عائشة رضي هللا عنها قالت
ُ ِل فَن َك َ ُْ َ
ُّ َاب ِم ْن َها فَِإ ِن ا ْشتَ َج ُروا ف
ُّالس ْلطَا ُن َوِِل َ َص َ َصا ََبَا فَ لَ َها َم ْه ُرَها ِِبَا أ
ِ
َ اح َها ََبط ٌل فَِإ ْن أ
ِ ِ
ُ اح َها ََبط ٌل فَن َك
ِ
ُ فَن َك
َّ َِم ْن َلَ َو
ُِل لَه
Artinya: " Dari Aisyah ra berkata : Rasulullah SAW bersabda: "Tiap-tiap wanita
yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka
nikahnya batal. Jika perempuan itu telah disetubuhi, maka dia berhak menerima
16
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Depok: Gema Insani), Jilid. 9, h. 178
17
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: RajaGrafindo, 2009), h. 90
18
Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), Jilid 5, h. 54
19
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, h. 185
20
Achmad Kuzary, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), Cet. I, h. 41
14
mahar dengan sebab persetubuhan itu. Maka jika para wali enggan (berselisih),
maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada wali."
Dari Abu Hurairah ditakhrij oleh Ibnu Majah & Daruquthni Nabi Saw bersabda;
س َها ُ ج ال َْم ْرأَةُ ال َْم ْرأَةَ َوَلَ تُ َزِِّو
َ ج ال َْم ْرأَةُ نَ ْف ُ َلَ تُ َزِِّو:.م. قال رسول هللا ص: عن أىب هريرة رضي هللا عنه قال
”Wanita tidak boleh menikahkan wanita, dan wanita tidak boleh menikahkan
dirinya sendiri.”
Diriwayatkan Abu Burdah dari Abu Musa dari ayahnya. Di takhrij oleh Ahmad dan
lainnya seperti at-Tirmizi, Abu Dawud dan Ibnu Majah:
ل ِ َِّ رسول
َ "َل نكاح إَل َبو:صلِّى هللا َعلَْيه َو َسلِّم
َ اّلل ُ قال
َ :قال
َ َع ْن أَيب بُ ْردةَ عن أيب موسى
Artinya: "Dari abi Burdah dari abiy Musa dari Bapaknya dari Nabi SAW bersabda:
Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali.
21
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008), Jilid 3, h. 370
15
2. Urutan Wali
Urutan wali dalam pernikahan menurut empat imam mazhab dapat kita lihat
dalam tabel di bawah ini:
No Mazhab Hanafi Mazhab Maliki Mazhab Syafi’i Mazhab Hambali
Anak laki-laki
1. (Walaupun dari Bapak Bapak Bapak
hasil perzinaan)
Cucu laki-laki Anak laki-laki
Kakek (dst ke
2. (dari anak laki- (Walaupun dari Kakek
atas)
laki dst ke bawah) hasil perzinaan)
Cucu laki-laki
Anak laki-laki
3. Bapak (dari anak laki- Bapak kakek
(dst ke bawah)
laki)
Bapak yang
bukan mujbir
(wanita tsb lahir
dg dia sebagai
Saudara laki-laki
Kakek (dari bapaknya dalam Saudara laki-laki
4. kandung
bapak dst ke atas) pernikahan yang kandung
sah) jika status
bapak karena zina
maka tidak ada
hak perwalian
Saudara laki-laki Saudara laki-laki Saudara laki-laki Saudara laki-laki
5.
kandung kandung sebapak sebapak
Saudara laki-laki Saudara laki-laki Anak laki-laki Anak laki-laki
6.
sebapak sebapak (no. 4) (no. 4)
Anak laki-laki Anak laki-laki Anak laki-laki Anak laki-laki
7.
(no.5) (no. 5) (no. 5) (no. 5)
Anak laki-laki Anak laki-laki Anak laki-laki
8. Paman kandung
(no.6) (no.6) dari (no. 6 & 7)
Saudara laki-laki
9. kakek Paman sebapak Paman kandung
kandung bapak
Saudara laki-laki
Saudara laki-laki Anak laki-laki
10. kandung bapak Paman sebapak
kandung bapak paman kandung
(sebapak)
Anak laki-laki Anak laki-laki Anak laki-laki Anak laki-laki
11.
(no. 9 & 10) no.10 paman sebapak paman kandung
Saudara kandung Anaklaki-laki
12. Bapak kakek Paman bapak
kakek paman sebapak
Beralih ke kerabat
13. dekat (zawil Paman bapak Paman kakek Paman kakek
arham) dan hakim
16
Beralih ke wali:
Beralih ke wali:
yang Anak laki-laki
14. pengasuhnya, dan
memerdekakan (no. 13)
hakim
budak, dan hakim
Beralih ke wali:
yang
15.
memerdekakan
budak dan hakim
Dalam mazhab Hanafi urutan wali pertama yaitu Ashabah karena nasab atau
karena sebab, seperti orang yang memerdekakan budak. Lalu kerabat dekat (zawil
arham) dan hakim. Uraian di dalam tabel adalah urutan wali ashabah. Mereka semua
memiliki hak perwalian yang memaksa pada anak perempuan dan anak laki-laki saat
masih kecil. Adapun pada saat anak laki-laki sudah dewasa, maka mereka tidak
memiliki hak perwalian kecuali terhadap yang gila baik laki-laki maupun perempuan.22
Pada mazhab Maliki, urutan wali yang pertama adalah mujbir yaitu bapak,
orang yang mendapat wasiat dari bapak, dan tuan atas hamba sahayanya. Lalu beralih
ke pengasuh dan hakim. Pada anak laki-laki yang hasil dari perzinaan, jika si ibu
menikah terlebih dahulu baru si anak lahir maka ia lebih didahulukan menjadi wali.
Tapi jika si ibu melahirkan terlebih dahulu kemudian si ibu menikah maka bapaknya
(ayah si ibu) lebih didahulukan menjadi wali karena bapak sebagai wali mujbir.23
Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadi. Rasulullah Saw bersabda:
َّ ِل َم ْن ََّل َو
ُل لَه ُّ ِالس ْلطَا ُن َو
ُّ َف
Artinya: “Maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak
ada walinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud,Ibnu Majah dan Nasa’i).24
3. Klasifkasi Wali
Wali terbagi menjadi dua kategori, yaitu wali mujbir (yang berhak menikahkan
sebagian orang-orang yang berada di bawah perwaliannya tanpa izin dan ridhanya dan
wali ghairu mujbir.
Menurut mazhab Hanafi tidak ada wali kecuali wali mujbir. Menurut mazhab
Syafi’i, wali mujbir adalah bapak & kakek serta seterusnya ke atas. Wali ghairu mujbir
adalah ashabah dan anak laki-laki tidak termasuk wali. Menurut mazhab Maliki, wali
mujbir ialah bapak, kakek, orang yang mendapat wasiat dari bapak (setelah wafat), dan
tuan (pemilik). Sedangkan mazhab Hambali wali mujbir adalah bapak, orang yang
mendapat wasiat dari bapak, dan hakim.25
22
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, h. 183
23
Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, h. 58
24
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h. 97
25
Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, h. 60
17
▪ Mazhab Maliki
Wali mujbir hanya memiliki kewenangan khusus untuk memaksa anak
perempuan yang masih kecil dan wanita gila (baligh/belum) jika gilanya permanen.
Jika gilanya kambuhan maka barus meminta izin ketika ia sadar (jika wanita itu
janda).27
▪ Mazhab Syafi’i
Wali mujbir adalah memiliki kewenangan khusus untuk menikahkan anak
kecil laki-laki/perempuan, orang dewasa laki-laki/perempuan (walaupun gila), tanpa
harus meminta izin dan ridha mereka, dengan 7 syarat yaitu:
Tidak ada permusuhan antara wali dan yang dinikahkannya, tidak ada
permusuhan antara wanita dengan calon suaminya (jika menikahkannya dengan laki-
laki yang tidak ia sukai atau laki-laki itu berniat buruk kepada wanita maka
pernikahannya tidak sah), suami harus sepadan, suami harus memiliki kelapangan
ekonomi dan mampu membayar mahar. (keempat syarat ini harus terpenuhi terkait
sahnya akad nikah, jika tidak maka akad nikah tidak trsebut batil). Kemudian harus
menikahkannya dengan mahar yang setara, mahar dinilai dengan nilai mata uang
dalam negeri dan harus dibayar tunai. (ketiga syarat ini merupakan syarat
dibolehkannya wali mujbir melangsungkan akad nikah. Jika tidak maka ia berdosa
namun akad nikah tetap sah.28
26
Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, h. 63
27
Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, h. 69
28
Ibid., h. 75
18
▪ Mazhab Hambali
Wali mujbir boleh memaksa orang yang belum dibebani kewajiban syari’at
yaitu anak kecil baik perawan atau janda yang usianya di bawah 9 tahun. Jika
usianya sudah memasuki 9 tahun dan statusnya sebagai janda, maka dia tidak dapat
dipaksa harus ada izin darinya. Wali mujbir boleh menikahkan anak gadisnya yang
sudah baligh baik berakal maupun gila tanpa izin dan ridhanya, kecuali laki-laki
tetsebut mengalami cacat maka gadis tersebut diberi hak untuk memilih
pengguguran akad nikah.29
29
Ibid., h. 77
30
Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, h. 79
31
Ibid., h. 82
32
Ibid., h. 85
33
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h. 91
19
Menurut mazhab Hambali, harus mengikuti urutan wali. Hak wali dapat gugur
dalam kasus-kasus tertentu yaitu: jika wali tidak mengizinkan wanita menikah dengan
laki-laki pilihannya, menolak mahar yang telah wanita ridhai. Lalu wali bepergian
dengan jarak jauh, wali belum baligh, kafir, budak, dan tidak memenuhi syarat-syarat
wali.34
Empat imam mazhab sepakat bahwa wali boleh mewakilkan perwaliannya
kepada orang lain dengan alasan-alasan tertentu seperti yang sudah diuraikan di atas.
34
Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, h. 87
35
Ibnu Elmi ASP dan Abdul Helim, Konsep Kesaksian, ( Malang: setara press. 2015), h.6
36
Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2000), h.146
37
Imam Syafi’i, Abu Adullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm, terj. Imaron Rosadi,
dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.447
20
akan dinikahkan dan saat itu ia telah baligh. Adapun batasan baligh adalah telah
mengalami haid (menstruasi) atau usianya telah cukup 12 tahun. Kedua, keridhaan laki-
laki yang akan menikah dan saat itu ia telah baligh pula. Ketiga, wanita itu harus
dinikahkan wali atau sultan (penguasa). Keempat, pernikahan ini disaksikan oleh dua
orang saksi yang adil. Apabila pernikahan tidak memenuhi salah satu dari 4 unsur ini,
maka perikahan dianggap rusak (tidak sah)”.
Tetapi Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki, atau
seorang laki-laki dengan dua orang perempuan, tanpa disyarakan harus adil. Namun
mereka berpendapat bahwa kesaksian kaum wanita saja tanpa laki-laki dinyatakan tidak
sah.38
Menurut Imam Malik dan para sahabatnya bahwa saksi dalam akad nikah itu
tidak wajib dan cukup diumumkan saja.39
Imam Malik da para pengikutnya berpendapat bahwa kesaksian bukanlah
sesuatu yang diwajibkan dalam pernikahan. Menurut mereka pernikahan cukup dengan
disebarkan dan diumumkan. Mereka mendasarkan pendapat mereka dari jual beli,
kesaksian tidak termasuk kewajiban yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan praktik
tersebut. Adapun kesaksian di dalam pernikahan yang tidak pernah disinggung
langsung dalam qur’an akan lebih leluasa untuk tidak dijadikan sebagai salah satu hal
pokok yang harus dipenuhi, karena inti dari kesaksian adalah pemberitahuan dan
pemberitaan sehingga hal itu dapat menyelamatkan keturunan dari ketidakselasan
nasab”.
ادةَ َع ْن َجابِ ِر بْ ِن َزيْ ٍد َع ْن َ َيد َع ْن قَ ت ٍ ِي حدَّثَنَا َعب ُد ْاألَ ْعلَى َعن سع
َ ْ ْ َ ُّ ص ِر
ٍ ف بن َْح
ْ ََّاد الْب ُ ْ ُ وس ُ َُحدَّثَنَا ي
س ُه َّن بِغَ ِْْي بَيِِّنَ ٍة ِ َّ اٰي
َ الَلِِت يُنْك ْح َن أَنْ ُف َ َاّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق
َ َال الْبَ غ َّ صلَّى َ ََّن النَّبِي
َّ اس أ
ٍ َّابْ ِن َعب
38
Muhammad Jawwad Mughriyah, fiqih lima mazhab
39
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 3, (Jakarta: pena pundi akasara, 2010), h. 272
40
Departeman Aagama RI, Alqur’an dan terjemahanya, (Jakarta: bumi restu, 1976), h.115
21
“Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Hammad Al Bashri, telah menceritakan
kepada kami Abdul A'la dari Sa'id dari Qatadah dari Jabir bin Zaid dari Ibnu
Abbas bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wanita-wanita pezina
ialah mereka yang menikahkan diri mereka sendiri tanpa adanya bayyinah (yaitu wali
atau saksi)." 41
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa saksi dalam akad nikah merupakan
rukun dari akad tersebut. Beliau mengqiyaskan persaksian dalam akad akad nikah
dengan persaksian dalam akad muammalah. Kesaksian merupakan rukun dari akad
muammalah, maka menurut beliau akad nikah lebih utama dari akad muammalah.
Oleh karena itu adanya saksi dalam akad nikah lebih utama dan diperlukan dari pada
adanya saksi-saksi dalam akad muammalah.42
Secara umum keberadaan saksi dalam nikah diterima oleh jumhur ulama, akan
tetapi terdapat perbedaan pendapat/pandangan terhadap masalah syarat0syarat yang
harus dimiliki oleh saksi sewaktu menjadi saksi nikah. Menurut KHI pasal 25, yang
dapat ditunujuk untuk menjadi saksi dalam akad nikah islah seorang laki-laki muslim,
aqil baligh, adil, tidak terganggu da tina tuna rungu atau tuli. Salah satu syarat yang
perlu diperhatikan menueut penulis ialah diisyaratkannya adil bagi saksi dalam
pernikahan.
Mengenai disyaratkannya adil ini terdapat perbedaan pandangan kalangan para
fuqaha. Ulama dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa sifat adil tidak disyaratkan
bagi saksi. Artinya pernikahan yang telah dilaksanakan dengan disaksikan oleh dua
orang saksi yang fasik hukumnya tetap sah. 43 Namun berbeda pendapat dengan imam
Syafi’I, menurutnya saksi mengandung du aarti yaitu pengumuman dan penerimaan,
jadi disyaratkan menggunakan saksi yang adil. Beliau mengatakan bahwa “kami tidak
memperbolehkan perkawinan, selain perkawinan yang dilakukan akadnya dengan
dihadiri dua saksi yang adil”44
41
Muhammad Isa bin surah at-tirmidzi, sunan at-tirmidzi, juz II, (bairut-Libanon: daar al-fikri, 1994),
h. 298
42
Soemiyati, Hukum perkawinan islam dan undang-undang, (Yogyakarta: Liberty, 1986), h.51
43
Sayyid Sabiq, fiqih sunnah 3, (Jakarta: pena pundi aksara, 2010),h. 274
44
Muhammad bin idris al-Syafi’i, al-umm, h. 35
22
45
Ahmad Rofikm, hukum islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 95
46
Ahdam Rofikm, Op.Cit, h. 96
23
b) persaksian tersebut dapat membedakan antara halal dan haram. Biasnaya suatu
yang halal itu ditampakkan namun yang haram sengaja ditutupi. Sehingga
dengan persaksian tersebut dapat dinotariskan sehingga dapat dikeluarkan
catatanya saat diperlukan.
c) Saksi bertujuan untuk memberikan informasi kepada orang-orang agar tidak
timbul fitnah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Para ulama sepakat bahwa dalam perkawinan harus ada yang namanya Ijab Qabul.
Akad nikah merupakan wujud nyata sebuah ikatan antara seorang pria yang menjadi suami
dengan seorang wanita sebagai isteri, yang dilakukan di depan (paling sedikit) dua orang
saksi, dengan menggunakan sighat ijab dan qabul.
Kedua pernyataan antara ijab dan qabul nikah inilah yang dinamakan akad dalam
pernikahan. Ijab merupakan pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak,
yang mengandung keinginan secara pasti untuk mengikat diri. Sedangkan qabul adalah
pernyataan pihak lain yang mengetahui dirinya menerima pernyataan ijab tersebut. Ijab
dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita, sedangkan qabul dilakukan oleh mempelai
pria. Qabul yang diucapkan hendaknya dinyatakan dengan kata-kata yang menunjukan
kerelaan secara tegas. Jumhur ulama dan Mayoritas ulama dari Malikiyah, Syafiyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ijab itu adalah lafaz yang keluar
dari wali calon istri, sedangkan qabul adalah lafaz yang keluar dari calon suami atau yang
mewakili.
Secara umum tidak ada lafaz khusus yang yang harus digunkan
dalam ijab dan qabul, mungkin lafaz ini mirip-mirip dengan lafzh niat shalat yang biasa
digunakan oleh sebagian kita, atau seperti lafaz niat puasa, yang tidak mempunyai redaksi
khusus, sehingga memungkinkan bagi kita untuk berijtihad dalam mencari lafaz yang
bagus. Hanya saja para ulama menyepakati bahwa dalam lafaz itu harus ada kata-
kata nikah atau zawaj
Adapun syarat terhadap ijab qabul adalah: kedua belah pihak yang melakukan akad
nikah adalah orang yang sudah dewasa dan sehat rohani (tamyiz), ijab dan qabul
dilaksanakan dalam satu majelis, ucapan qabul hendaknya tidak menyalahi ucapan ijab,
ijab dan qabul harus dilakukan dengan lisan dan didengar oleh masing-masing pihak, baik
wali, mempelai maupun saksi dan antara pengucapan ijab dan kabul harus bersambung,
tidak boleh dipisah dengan pemisah yang panjang.
Perwalian menurut bahasa adalah rasa cinta dan pertolongan. Menurut fuqaha wali
adalah kemampuan untuk langsung bertindak dengan tanpa bergantung kepada izin
seseorang.
Syarat-syarat wali menurut fuqaha yaitu Islam, baligh, berakal dan merdeka.
Mazhab Syafi’i dan Maliki menyatakan wali sebagai rukun nikah, sedangkan mazhab
Hambali dan Hanafi wali bukan termasuk rukun nikah.
Menurut mazhab Hanafi tidak ada wali kecuali wali mujbir. Menurut mazhab
Syafi’i, wali mujbir adalah bapak & kakek serta seterusnya ke atas. Wali ghairu mujbir
adalah ashabah dan anak laki-laki tidak termasuk wali. Menurut mazhab Maliki, wali
mujbir ialah bapak, kakek, orang yang mendapat wasiat dari bapak (setelah wafat), dan
24
25
tuan (pemilik). Sedangkan mazhab Hambali wali mujbir adalah bapak, orang yang mendapat
wasiat dari bapak, dan hakim
Kesaksian adalah keterangan atau pernyataan yang disampaikan oleh seorang yang
disebut sebagai saksi karena ia mengetahui kejadian suatu peristiwa yang terkait dengan
kesaksiannya. Keterangan atau pernyataan yang diberikan itu sudah tentu yang menjadi saksi
adalah orang yang mengetahui dengan jelas tentang suatu peristiwa yang dilihatnya sendiri.
Syarat-syarat menjadi saksi menurut para ulama yaitu, islam, baligh, berakal,
merdeka, jika perempuan minimal 2 orang, laki-laki, dan adil. Dapat disimpulkan bahwa
menurut ulama Imam Hambali, Hanafi, dan syafi’i saksi itu menjadi syarat sah suatu
pernikahan, namun menurut imam Maliki itu tidak termasuk dari syarat pernikahan. Yang
terpenting adalah suatu informasi kepada oaring-orang tentang adanya suatu pernikahan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Bin Ahmad. 1997 . Al-Baẖru Al-Râiq, Juz III .Cet. I ; Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiah.
Ali Hasan. 2000. Perbandingan Mazhab Fiqih. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Al-Manji,Zainuddin Bin Usman, 2003. Al-Mumta‟Fî Syarẖi Muqna‟, Juz III.Cet. III;
Makkah: Maktabah Al-Asadi,
Az-Zuhaili ,Wahbah, 2006. Al-Fiqh Al-Islâmi Wa Adillatuhu, Juz IV Damaskus: Dar Al-Fikr,
Buku Ini Selanjunya “Al-Fiqh”; Idem, Al-Fiqh Al-Mâliki Al-Muyassar Cet. III;
Beirut: Dar Al-Kalam Al- Thayyib,2005,32. Buku Ini Selanjutnya Disebut “Al-
Maliki.
Departeman Agama RI, 1976. Alqur’an Dan Terjemahanya, Jakarta: Bumi Restu,
Elmi ASP ,Ibnu Dan Abdul Helim, 2015.Konsep Kesaksian, Malang: Setara Press.
Ibnu Elmi, Abdul Helim. 2015. Konsep Kesaksian. Malang: Setara Press.
Muslim ,Abu Husain Bin Al-Hajjaj An-Naisabury, Shahih Muslim, Semarang: Toha Putra, T.
Th
Muẖyiddin ,Abi Zakariya,Bin Syaraf Al-Nawawi, Kitâb Al-Majmû„, Juz 17 Cet. I; Beirut:
Dar Ihya’ Al-Turats Al-Arabi,
Nashiruddin Al-Albani ,Muẖammad ,2001.Al-Mu‟Tamad, Juz II Cet. II; Beirut: Dar Al-
Khair
Rofikm ,Ahmad. 1995. Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
26
27
Syatha, Abu Bakar. 1997. I’anah Ath-Thalibin. Beirut: Dar Al- Fikr
Syamsuddin, Muẖammad Bin Muẖammad Al-Khatibi, 2007.Al-Iqnâʻ, Juz II Cet. III; Beirut:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.
Tihami Dan Sohari Sahrani. 2013. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta:
Rajawali Pers,