Disusun Oleh:
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Fiqh Munakahat dengan dosen pengampu Dr. Khairani, S. Ag.,
M.Ag.. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi
para pembaca dan juga penulis. Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih
terdapat kekurangan, baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian
dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Kami berharap
semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi
untuk pembaca.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia. Untuk melangsungkan sebuah pernikahan yang sah, perlu diketahui
rukun dan syarat-syaratnya. Oleh sebab itu makalah ini secara ringkas akan
membahas tentang rukun dan syarat pernikahan, yang saat ini banyak perselisihan
tentang apa saja rukun dan syarat pernikahan, dan bagaimana pula rukun dan
syarat pernikahan itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendapat ulama tentang syarat dan rukun nikah?
2. Bagaimana syarat nikah menurut fukaha mazhab?
3. Bagaimana rukun nikah menurut fukaha mazhab?
4. Bagaimana keberadaan wali dan perannya?
5. Bagaimana hirarki wali dalam pernikahan?
6. Bagaimana saksi dan syarat-syaratnya?
7. Bagaimana akad nikah, sighat, ijab dan qabul?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pendapat ulama tentang syarat dan rukun nikah.
2. Mengetahui syarat nikah menurut fukaha mazhab.
3. Mengetahui rukun nikah menurut fukaha mazhab.
4. Mengetahui keberadaan wali dan perannya.
5. Mengetahui hirarki wali dalam pernikahan.
6. Mengetahui saksi dan syarat-syaratnya.
7. Mengetahui akad nikah, sighat, ijab dan qabul.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendapat Ulama Tentang Syarat dan Rukun Nikah
Rukun nikah artinya sesuatu yang harus ada ketika pernikahan di-
langsungkan. Ketika salah satu rukun tersebut tidak terpenuhi, maka
pernikahannya tidak sah. Adapun syarat adalah sesuatu yang berada di luar rukun,
akan tetapi keabsahan nikah tergantung pada terpenuhinya syarat tersebut.
Para ulama berbeda pendapat apakah wali menjadi syarat sahnya nikah atau
tidak. Malik berpendapat bahwa nikah tidak sah kecuali dengan wali dan itu
merupakan syarat sahnya.
Abu Hanifah. Zufar, Sya'bi. dan Az-Zuhri mengatakan bahwa jika seorang
wanita melakukan akad nikah tanpa walinya, sedangkan calon suaminya setara
dengannya, maka dibolehkan.
Sedangkan menurut Daud, beliau membedakan antara gadis dan janda,
disyaratkan adanya wali pada gadis dan tidak disyaratkan adanya wali pada janda.
Berdasarkan riwayat Ibn Al Qasim dari Malik tentang perwalian, bahwa
disyaratkannya wali dalam nikah adalah sunah bukan wajib.
Sebab perbedaan pendapat ini karena tidak adanya ayat dan hadis yang
dengan jelas mensyaratkan wali dalam pernikahan, lebih-lebih jika dalam hal itu
terdapat nash.1
1. Saksi
Abu Hanifah, Syafi'i, dan Malik sepakat bahwa saksi termasuk syarat nikah.
Dan mereka berpendapat apakah itu termasuk syarat kesempurnaan yang hal itu
diperintahkan ketika hendak menggauli istri atau syarat sah yang diperintahkan
ketika melakukan akad nikah. Dan ini sesuai dengan Sabda Nabi SAW.
Menurut jumhur ulama, saksi nikah bukan termasuk rukun nikah, melainkan
syarat sah nikah. Dalam pandangan mayoritas ulama, rukun nikah itu ada empat,
yaitu:
1
Muhiyi Shubhie, Pendidikan Agama Islam Fiqh Munakahat Dan Waris (Ponorogo: Uwais
Inspirasi Indonesia, 2023), hal. 32-33.
1) shigat (ijab qobul)
2) isteri
3) suami
4) wali.2
Adapun saksi dikelompokkan sebagai syarat sah nikah seperti halnya
maskawin. Namun demikian, ada sebagian ahli fiqh yang menganggap saksi
sebagai rukun nikah. Dan pandangan terakhir inilah yang kemudian diadopsi oleh
Kompilasi Hukum Islam (KHI): "Saksi dalam perkawinan merupakan rukun
pelaksanaan akad nikah" (pasal 24:1), sehingga, "Setiap perkawinan harus
disaksikan oleh dua orang saksi" (pasal 24:2).
Ketentuan KHI soal saksi nikah di atas, juga sebelumnya diatur dalam pasal
10 ayat 3 PP No. 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No 1/1974 tentang Perkawinan:
"Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing- hukum agamanya
dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat
dan dihadiri oleh dua orang saksi".
Alhasil, terlepas dari perbedaan pendapat antara saksi sebagai syarat nikah
atau saksi sebagai rukun nikah, yang jelas saksi menempati posisi penting dalam
akad nikah. Karena Nabi SAW memerintahkan kita mengumumkan pernikahan
yang terjadi, dengan sabdanya: "A'linuu an-Nikaah…" (HR. Ahmad). Berdasarkan
hadits ini, hikmah suatu kesaksian adalah untuk mengumumkan (I'lan) telah
terjadinya suatu pernikahan dan mengukuhkan tetapnya suatu pernikahan di masa
mendatang bila terjadi pengingkaran nikah.3
2
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamu wa Adilatuhu (Beirut:Dar al-Fikr, 1989), jilid 4, hlm.
36-37.
3
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamu wa Adilatuhu (Beirut:Dar al-Fikr, 1989), jilid
4, hlm. 79.
Dengan mempertimbangkan kedudukan penghulu sebagai pihak yang diberi
tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk melakukan kegiatan pelayanan
dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan
masyarakat Islam (Pasal 1:7 Peraturan Menteri PAN dan RB No. 9 Tahun 2019
tentang Jabatan Fungsional Penghulu) atas nama Presiden selaku pemangku ulul
amri di Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka penghulu adalah pihak yang
berhak untuk menyatakan dan menetapkan sah tidaknya setiap tahapan dalam
proses pernikahan, mulai dari pendaftaran, pemeriksaan, pengumuman kehendak
nikah, dan pelaksanaan akad nikah menurut hukum Islam yang dilakukan oleh
warga negara/penduduk Indonesia yang beragama Islam.
Berkenaan dengan masalah keadilan bagi seorang saksi, Imam Abu Hanifah
mengatakan bahwa saksi dalam pernikahan tidak harus orang yang adil.
Sedangkan golongan Syafi'i dan Hambali, mereka mensyaratkan bahwa saksi itu
harus orang yang adil. Sebagaimana Hadits dari Aisyah r.a. berbunyi:
"Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Tidak pernikahan kecuali dengan wali dan
dua saksi yang adil. Pernikahan yang bukan atas jalan demikian, maka batil.
Seandainya mereka berbantahan, maka sulthan yang menjadi wali orang-orang
yang tidak mempunyai wali. (H.R. Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Beliau
mengatakan, tidak ada hadits yang shahih dalam penyebutan dua orang saksi
kecuali hadits ini.)4
Lebih lanjut prinsip perkawinan dalam Islam itu untuk selamanya, bukan
untuk suatu masa tertentu saja, maka Islam tidak membenarkan:
1) Akad nikah yang mengandung ketentuan pembatasan waktu perkawinan,
seperti ucapan wali: "Aku nikahkan engkau dengan anak saya Maimunah
dengan mahar Mushaf Al- Qur'an untuk selama 3 bulan atau 1 tahun", dan
sebagainya.
2) Nikah Mut"ah.
4
bnu al-Mulaqqan. Tuhfah al-Muhtaj 'ala Adallah al-Minhaj, Darul Hira', Makkah, Hlm, - 363-
364, No. Hadits 1427
Nikah mut"ah hukumnya haram. Nikah mut"ah disebut juga "Ziwaj
Muwaqqat" atau "Ziwaj Munqathi", artinya nikah yang ditentukan untuk
suatu waktu tertentu dengan maksud untuk dapat bersenang-senang
melepaskan keperluan syahwatnya.
3) Nikah Muhallil.
Nikah Muhallil adalah nikah yang dilakukan oleh seseorang terhadap wanita
yang telah dicerai tiga kali oleh suaminya yang pertama, setelah selesai
iddahnya. Oleh suami kedua, wanita itu dikumpuli dan dicerainya agar dapat
kawin lagi dengan suami pertama. Jadi dalam nikah muhallil itu ada unsur
perencanaan dan niat bukan untuk selamanya. Hukum perkawinan itu haram
dan akibatnya tidak sah.
4) Nikah Syighar.
Nikah Syighar adalah seorang wali mengawinkan putrinya dengan seorang
laki-laki dengan syarat agar laki-laki itu mengawinkan putrinya dengan si
wali tadi tanpa bayar mahar.
2. Mazhab Maliki
Ada beberapa syarat nikah disesuaikan dengan rukun-rukun nikah, yaitu:
1) Syarat berkaitan dengan wali pihak perempuan.
8
Al-Syaikh Abdul Hamid al-Syarwani dan al-Syaikh Ahmad bin Qasim al-Ibadu, Hawasyi
Tuhfah al-Muhtaj biSyorh al-Minhaj li Syihabuddin Ahmad Ibn Hajar al-Haitomi al-Syafi, Juz 7,
190-194
9
Syeikh Muhyiddin an-Nawawi, Kitab al-Majmu, Syarh al-Muhazzab li al-Syirazi, Juz
17, 253.
2) Mahar. Mahar ini tidak wajib disebut ketika akad.
3) Suami.
4) Istri yang tidak ada halanagan syari'i untuk Istri dinikahi.
Syarat berkaitan dengan shighat.
3. Mazhab Hanafi
Syarat nikah berkaitan dengan rukun nikah, yaitu:
Pertama, syarat berkaitan dengan sighat:
1) Menggunakan lafaz khusus, baik yang sarih (jelas) atau kinayah
(sindiran/tidak jelas).
2) Harus satu majelis
3) Ijab dan qabul harus sesuai
4) Sighat harus didengar kedua pihak (secara hakikat seperti ucapan, atau
secara hukun seperti berupa tulisan).
5) Tidak boleh ada batasan waktu dalam akad sebagaimana nikah mut'ah.10
Adanya batasan waktu dalam akad nikah menyebabkan pernikahan tidak
sah.11
Kedua, syarat berkitan dengan dua orang yang berakad (suami dan istri).
1) Harus berakal
2) Balig
3) Orang merdeka (bukan budak)
4) Istri adalah perempuan yang bisa dan sah untuk dinikahi
5) Suami dan istri harus jelas dan tertentu
6) Akad nikah ditujukan kepada istri secara keseluruhan
10
Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ala Mazahib al-Arba'ah, juz 4, 17-19.
11
Syamsuddin al-Sarakhsi, Kitab al-Mabsüt, Juz 5, 95.
2) Berakal
3) Balig
4) Orang merdeka (bukan budak).
5) Beragama Islam. Berdasar syarat ini, tidak sah seorang saksi yang
beragama non-Muslim, kecuali istri yang dinikahi beragama non-Muslim
yang drimmi, sedangkan laki-laki beragama Islam. Seorang laki-laki yang
menikahi perempuan Nasrani, walinya boleh beragama nasrani menurut
Abu Hanifah dan Abu Yusuf, sedangkan menurut Muhammad dan Zufar,
pernikahannya tidak sah.
6) Kedua saksi harus mendengar perkataan (akad) kedua pihak yang berakad
secara bersama-sama.12
Pendapat Mazhab Hanafi mengatakan bahwa seorang fasik boleh menjadi
saksi karena dia masih dianggap orang yang bisa memberi kesaksian. Orang fasiq
tidak bisa memberi kesaksian karena ada ada potensi kebohongan dari mereka.
Jika orang fasiq hadir dan kesaksiannya bisa disimak dan didengarkan, maka
potensi kebohongan itu tidak ada sehingga mereka boleh menjadi saksi.13
14
Abdurrahman Al-Jazairi, Kitaabul Fiqhi ‘Alal Mazaahib al-Arba’ah, Beirut: Darul Kutub al-
Ilmiah, tahun 2010, Cet. 4, Jil. 2, hal. 716.
Di sana tidak disebutkan shighad (akad) dan mahar. Ini boleh jadi menurut
mereka sebagai rukun, bukan syarat.15
DAFTAR PUSTAKA
15
Muhiyi Shubhie, Pendidikan Agama Islam Fiqh Munakahat Dan Waris (Ponorogo: Uwais
Inspirasi Indonesia, 2023), hal. 42-43.
16
Mahmud Junus, Perkawinan Dalam Islam, Jakarta, Penerbit Bulan Bintang, 1964,
Hal. 53.
17
Abdullah Kelib, Hukum Islam, semarang, Penerbit PT. Tugu Muda Indonesia, 1990,
Hal. 8.
Muhiyi Shubhie, Pendidikan Agama Islam Fiqh Munakahat Dan Waris, Penerbit
Uwais Inspirasi Indonesia, Ponorogo, 2023.
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamu wa Adilatuhu, Beirut:Dar al-Fikr, 1989.
Abdurrahman Al-Jazairi, Kitaabul Fiqhi ‘Alal Mazaahib al-Arba’ah, Beirut:
Darul Kutub al-Ilmiah, 2010.
Mahmud Junus, Perkawinan Dalam Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta,
1964.
Abdullah Kelib, Hukum Islam, Penerbit PT. Tugu Muda Indonesia, Semarang,
1990.