Anda di halaman 1dari 11

1

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pasangan suami istri yang akan melangsungkan pernikahan harus


diperhatikan rukun dan syaratnya atau prosedur-prosedur akad nikah baik
ketentuan dalam hukum Islam maupun ketentuan resmi yang diberlakukan
pada masyarakat Indonesia berupa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam khususnya umat Islam
Indonesia. Rukun dan syarat memiliki kedudukan yang sangat penting dalam
setiap akad apapun. Begitu juga dalam hal pernikahan yang merupakan dasar
bagi sahnya suatu pernikahan.
Jika satu rukun atau satu syarat saja tidak ada, maka akadnya batal. Di
antara lima rukun pernikahan itu adalah adanya dua orang saksi. Persaksian
dalam pernikahan tidak boleh cacat dan akad menjadi tidak sah tanpa
persaksian. Andaikata yang dilakukan hanya pengiklanan dan pengumuman
nikah tanpa persaksian pada akad maka akadnya batal. Persaksian ketika
berlangsungnya akad menurut mayoritas fuqaha wajib bagi keabsahannya.1
Sebagai salah satu syarat sahnya nikah adalah seorang wali, sebab itu wali
menempati kedudukan yang sangat penting dalam pernikahan. Seperti
diketahui dalam prakteknya, yang mengucapkan “Ijab” adalah pihak
perempuan dan yang mengucapkan ikrar “Qobul” adalah pihak laki-laki,
disinilah peranan wali sangat menentukan sebagai wakil dari pihak calon
pengantin perempuan. Kedudukan wali nikah dalam hukum Islam adalah
sebagai salah satu rukun nikah, oleh karena itu Imam Syafi‟i berpendapat

1
Setianto. (2014). Makalah Wali Nikah. Retrieved November 02, 2021, from
eprints.walisongo.ac.id:
http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/3703/2/092111043_Bab1.pdf

1
2

bahwa nikah dianggap tidak sah atau batal, apabila wali dari pihak calon
pengantin perempuan tidak ada.2

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan Wali dan Saksi Nikah dalam Islam?
2. Bagaimana hukumnya Nikah tanpa wali dalam Islam?
3. Bagaimana Perbedaan Hak menikah antara gadis dengan janda?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian dari Wali dan Saksi Nikah dalam Islam.


2. Mengetahui bagaimana hukumnya Nikah tanpa wali dalam Islam.
3. Mengetahui perbedaan hak menikah antara gadis dengan janda.

D. Metode Penulisan

Adapun metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah


library research, yaitu dengan menggunakan buku-buku terkait yang ada di
google book dan metode internet research sebagai referensi dalam penulisan
makalah ini.

2
Ghozali, A. R. (2012). Fiqh Munakahat cet. ke- 5, h. 32. Jakarta: Kencana.

2
3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wali dan Saksi Nikah dalam Islam

Wali dalam pernikahan adalah rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai perempuan yang bertindak untuk menikahkannya.Perwalian dalam
fiqh Islam disebut dengan “al-walayah” ( ‫)ةيَلَوْ اَل‬, seperti kata ( ‫)ةَل َالَضاَل‬. Secara
etimologis memiliki beberapa arti, diantaranya adalah cinta (‫ )المحبة‬dan
pertolongan (‫) نشرة‬. Hakikat dari (‫ )الوالية‬adalah (‫)توالى االمر‬
(mengurus/menguasai sesuatu).

Ada beberapa pendapat tentang pentingnya wali sebagai syarat untuk


sahnya nikah menurut hukum Islam. Hal ini sudah lama menjadi bahan diskusi
para ahli ilmu fiqh sejak lahirnya mazhab Syafi`i dan mahzab Hanafi. Mahzab
Syafi`i mengemukakan bahwa wali merupakan salah satu syarat untuk sahnya
nikah, sedangkan mahzab Hanafi mengemukakan bahwa wali merupakan
sunnah hukumnya, seperti yang terdapat dalam firman Allah SWT Surat Al
Baqarah ayat 234:

“orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan


isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka
tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut.Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”

Disebutkan bahwa akad nikah yang dilakukan oleh perempuan dan segala
sesuatu yang dikerjakannya tanpa menggantungkannya kepada wali atau
izinnya adalah sah. Berdasarkan ayat di atas, Hanafi memberikan hak
sepenuhnya kepada perempuan mengenai urusan dirinya dengan meniadakan
campur tangan orang lain, dalam hal ini adalah campur tangan seorang wali
berkenaan dengan masalah pernikahan. Pertimbangan yang rasional dan logis

3
4

inilah yang membuat Hanafi mengatakan tidak wajibnya wali nikah bagi
wanitayang hendak menikah.

Namun pada umumnya, umat Islam di Indonesia menganut paham mahzab


Syafi`i. Menurut mazhab Syafi`i, wali merupakan masalah yang sangat penting
dalam pembahasan nikah karena tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi
syarat bagi sahnya suatu pernikahan. Alasan pendapat ini di antaranya yaitu
hadits Nabi SAW riwayat Abu Daud dari Aisyah yang menyatakan bahwa:

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir, telah


mengabarkan kepada kami sufyan, telah mengabarkan kepadakami Ibnu
Juraij, dari Sulaiman bin Musa dari Az Zuhri dariUrwah, dari Aisyah ia
berkata: “Setiap wanita yang menikahtanpa seizin walinya, maka
pernikahannya adalah batal (tiga kali) .apabila ia telah mencampurinya
maka baginya mahar karena apayang ia peroleh darinya, kemudian
apabila mereka berselisihmaka penguasa adalah wali bagi orang yang
tidak memiliki wali”.

Adapun yang dimaksud dengan perwalian dalam terminologi para fuqaha


seperti yang diformulasikan oleh Abdurrrahman al-Jaziri, wali ialah orang yang
mengakadkan nikah itu menjadi sah. Nikah yang tanpa wali adalah tidak sah
hukumnya. Wali adalah ayah dan seterusnya. Sejalan dengan itu, menurut Amir
Syarifuddin yang dimaksud dengan wali secara umum adalah seseorang yang
karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama
orang lain.

4
5

Orang yang mengurusi atau menguasai sesuatu (akad/transaksi) disebut


dengan wali. Atas dasar pengertian kata wali di atas, dapat dipahami mengapa
hukum Islam menetapkan bahwa orang yang paling berhak untuk menjadi wali
bagi kepentingan anaknya adalah ayah. Alasannya karena ayah adalah tentu
orang yang paling dekat, bahkan yang selama itu mengasuh dan membiayai
anak-anaknya. Jika tidak ada ayahnya, barulah kemudian hak perwaliannya
digantikan oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah.

Sebagian ulama terutama dari kalangan Hanafiah membedakan perwalian


ke dalam tiga bagian, yaitu pertama perwalian terhadap jiwa (al-walayah 'alan
nafs), kedua perwalian terhadap harta (al-walayah 'alal-mal), dan ketiga
perwalian terhadap jiwa dan harta sekaligus (al-walayah 'alan-nafsiwaf-mali
ma'an). Perwalian dalam nikah tergolong ke dalam al-walayah 'alan-nafs,
adalah perwalian yang berhubungan dengan pengawasan (al-isyraf) terhadap
urusan atau masalah-masalah keluarga seperti pernikahan, pemeliharaan dan
pendidikan anak, kesehatan, dan aktivitas anak yang hak kepengawasannya
pada dasarnya berada di tangan ayahatau kakek dan para wali yang lain.

Adapun dasar hukum wali sebagai berikut:

Artinya: “Dari Abu Burdah dari abu musa bahwa Nabi SAW
bersabda:“Tidak ada (tidak sah) Pernikahan kecuali dengan wali

Pentingnya wali bagi perempuan dalam akad nikah selain karena


merupakan perintah agama, juga disebabkan karena perempuan adalah
makhluk mulia yang memiliki beberapa hak dan telah disyariatkan oleh Tuhan
serta mempunyai satu kedudukan yang dapat menjaga martabat, kemanusiaan,

5
6

dan kesuciannya serta merupakan wujud cinta kasih seorang ayah atau
keluarganya kepada anak perempuannya yang akan membina rumah tangga.3

Sedangkan Saksi dalam pernikahan itu adalah dua orang yang menyaksikan
dan mendengarkan aqad nikah atau ijab qabul yang sedang berlangsung, saksi
tersebut bertugas hanya memberikan kesaksian bahwa perkawinan itu benar-
benar dilakukan oleh kedua pihak yang beraqad dan menyatakan dengan tegas
sah atau tidaknya ijab qabul yang diucapkannya. Dengan adanya saksi dalam
perkawinan ini akan dapat dijadikan sebagai alat bukti akan dapat
menghilangkan keragu-raguan dan juga dengan keyakinan masyarakat terhadap
telah berlangsungnya aqad nikah. Mayoritas ulama khususnya empat Imam
Madzhab mengemukakan bahwa saksi dalam pernikahan itu harus dua orang
laki-laki, namun, di antara ulama itu ada yang membuka peluang bagi sahnya
wanita menjadi saksi dalam pernikahan.4

Eksistensi saksi yang adil menurut ulama mazhab Syafi‟i dan Hanbali
adalah suatu keharusan dalam pernikahan. Dasar persoalan ini adalah hadits
yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda

Artinya: “Dari „Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu‟alaihi wasallam


bersabda: tidak (sah) pernikahan, kecuali dengan kehadiran seorang wali
dan dua orang saksi yang adil”. (HR. Ibnu Hibban)

3
Verawati, R. (2020). Wali Nikah dalam Persfektif Hadits. Skripsi Ushuluddin dan Studi
Agama , 18-21.

4
Afniadi, R. S. (2009). KESAKSIAN WANITA DALAM PERNIKAHAN.
Undergraduated thesis, Fakultas Hukum UNIB, vi.

6
7

Dalam pasal 25 Kompilasi Hukum Islam, “yang dapat ditunjuk menjadi


saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak
terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli”

Sebagaimana di dalam pasal 25 Kompilasi Hukum Islam tersebut, adil


termasuk salah satu dari syarat saksi nikah dan yang mesti diperhatikan. Pada
Kompilasi Hukum Islam tersebut tidak ada penjelasan mengenai kriteria adil
bagi saksi nikah.

B. Hukum Nikah tanpa wali dalam Islam

Ketentuan tentang pernikahan banyak dimuat dalam Al-Qur’an dan


hadis,namun aturan teknis bagaimanakah suatu perkawinan yang sah hanya
dijelaskan hadis.Pernikahan dianggap sah oleh syara’ apabila memenuhi syarat
dan rukunnya, adapun rukun perkawinan mewajibkan, yaitu:

1) Adanya calon pengantin pria dan wanita


2) Adanya wali
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

Artinya : Muhammad bin Qodamah bin A’yin menceritakan kepada kami,


ia berkata:Abu Ubaidah al-Hadad menceritakan kepada kami, dari Yunus dan
Israildari Abi Ishak dari Abi Burdah dari Abu Musa al-Asy’ari ra
sesungguhnyaRasulullah SAW bersabda: “tidak sah pernikahan tanpa
wali.”(HR. Abu Dawud)

3) Adanya dua orang saksi


Sebagaimana junjungan kita Rasulullah SAW bersabda:

7
8

Artinya : Ali bin Ahmad dan Muhammad bin Ja’far berkata, menceritakan
kepada kami, I’sa bin Abi Harbi menceritakan kepada Yahya bin Bakir ia
berkata:A’dyin bin Fadl dari ’Abdullah bin’Usman Khusaimi dari Sa’id bi
Jubair dari Ibnu Abbas berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda:“Tidak sah
pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” (HR. At-Tirmizi)

Ini adalah menurut pendapat Syafi’i, Maliki, Hambali mereka mengatakan


jika wanita yang baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mewalikan
dirinya ada pada wali, wali tidak boleh mengawinkan wanita janda tanpa
persetujuannya. Sebaliknya wanita itu pun tidak boleh mengawinkan dirinya
tanpa restu wali. Namun pengucapan akad adalah hak wali. Akad yang
diucapkan oleh wanita tersebut tidak berlaku sama sekali, walaupun akad itu
sendiri memerlukan persetujuannya.

Lebih lanjut sabda Rasulullah SAW:

8
9

Artinya : Muhammad Ibn Katsir menceritakan kepada kami, ia berkata:


Sufyan mengabarkan kepada kami Ia berkata: Ibnu Juraij menceritakan
kepada Sulaiman bin Musa dari Az-Zuhri dari ’Urwah, dari ‘Aisyah rha
berkata:Rasulullah SAW bersabda: “wanita mana saja yang menikah tanpa
izinwalinya, maka nikahnya bathil-tiga kali.” (HR.Abu Dawud)5

C. Perbedaan Hak Menikah Antara Gadis Dengan Janda

Dikutip dari rubrik Syariah Nahdlatul Ulama, Islam mengatur kedua


hak itu. Namun tidak sampai melampaui batas. Masing-masing wanita baik
perawan maupun janda memiliki hak untuk menerima pinangan, namun dengan
cara yang berbeda..

Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al Fairuzzabadi Al Syairazi
dalam kitab Al Muhadzdzab fi Fiqh Al Imam As Syafi'i menguraikan
perbedaan hak tersebut.

" Diperbolehkan bagi ayah atau kakek menikahkan anak perawan tanpa
kerelaannya, baik kanak-kanak maupun dewasa sebagaimana hadits riwayat
Ibnu Abbas radliyallahu 'anh, bahwa Nabi bersabda: 'Janda berhak atas dirinya
ketimbang walinya, dan ayah seorang perawan boleh memerintah untuk
dirinya'. Hadits ini menunjukkan bahwa wali lebih berhak atas diri seorang
perawan. Jika si perawan tersebut sudah dewasa, maka disunnahkan untuk
meminta izin padanya, dan izinnya berupa diam, sebagaimana hadits riwayat
ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda: 'Janda lebih berhak bagi dirinya ketimbang
walinya, dan perawan memberikan izin untuk dirinya, dengan cara diam'."

Dari penjelasan di atas, para janda harus mengungkapkan sendiri kesediaannya


untuk menikah dengan seorang pria. Sedangkan bagi wanita perawan, wali bisa
menikahkan dengan pria yang baik, namun disunahkan untuk bertanya mengenai
kesediaan si gadis.6

5
Adhari, F. (2010). HUKUM PERNIKAHAN TANPA WALI DAN SAKSI. Skripsi IAIN
Syekh Nurjati Cirebon Fakultas Syariah, 13-17.
6
Ahmad Baiquni, ‘Islam Mengatur Perbedaan Hak Bagi Perawan dan Janda,’ diakses dari
https://www.dream.co.id/orbit/beda-hak-perawan-dengan-janda-ketika-menikah-apa-itu-
1712182.html pada 07 08 November 2021 pukul 22:11 wib.

9
10

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Wali nikah secara umum diartikan sebagai orang yang berhak


menikahkan anak perempuan dengan seorang laki-laki yang menjadi
pilihannya.

Menurut hukum islam perkawinan tanpa wali yang berwenang atau


berhak perkawinannya dianggap tidak sah. Sedangkan menurut Undang-
undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 perkawinan tanpa wali yang berwenang
dapat dibatalkan secara hukum oleh pihak-pihak seperti orang tua.

B. Saran

Kami sebagai penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di


atas masih banyak kesalahan serta jauh dari kata sempurna.Adapun nantinya
penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah itu dengan
menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun
dari para pembaca.

10
11

DAFTAR PUSTAKA

Adhari, F. (2010). HUKUM PERNIKAHAN TANPA WALI DAN SAKSI. Skripsi


IAIN Syekh Nurjati Cirebon Fakultas Syariah, 13-17.

Afniadi, R. S. (2009). KESAKSIAN WANITA DALAM PERNIKAHAN.


Undergraduated thesis, Fakultas Hukum UNIB, vi.

Baiquni Ahmad, ‘Islam Mengatur Perbedaan Hak Bagi Perawan dan Janda,’
diakses dari https://www.dream.co.id/orbit/beda-hak-perawan-dengan-
janda-ketika-menikah-apa-itu-1712182.html pada 07 08 November 2021
pukul 22:11 wib.

Ghozali, A. R. (2012). Fiqh Munakahat cet. ke- 5, h. 32. Jakarta: Kencana.

Setianto. (2014). Makalah Wali Nikah. Retrieved November 02, 2021, from
http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/3703/2/092111043_Bab1.pdf

Verawati, R. (2020). Wali Nikah dalam Persfektif Hadits. Skripsi Ushuluddin dan
Studi Agama , 18-21

11

Anda mungkin juga menyukai