Anda di halaman 1dari 16

Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN


(Perspektif Imam Syafi’i dan Imam Hanafi)
Qurrotul Ainiyah1
Ainiyah.id@gmail.com
Abstract

Talking about the position of guardian in marriage is about


whether it is included in the pillar of marriage or not. This is
important to know because it will affect the validity of the
marriage contract. Based on the same text, between Imam
Syafi'i and Imam Hanafi have different thoughts. Imam
Syafi'i stated that guardian is one of the pillars of marriage
that must exist and its legal requirements are met, while
Imam Hanafi states that guardian is not a harmonious
marriage, so its absence does not affect the validity of a
marriage. This literary research tries to reveal the background
and results of the thoughts of each of these Madzhab priests.
Keywords : Guardian of Marriage , Imam Syafi’i, Imam
Hanafi

PENDAHULUAN

Pernikahan adalah perjanjian ikatan antara pihak laki-laki dengan


pihak perempuan untuk melangsungkan kehidupan sebagai suami istri,
menjalani kehidupan berumah tangga, dan dapat melanjutkan keturunan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum agama Islam.
Pernikahan di dalam agama Islam dapat ditinjau dari berbagai segi.
Pertama, dari segi ibadah. Pernikahan dapat dikategorikan sebagai
ibadah. Sebab pernikahan merupakan ajaran agama yang diperintahkan
oleh Allah dan rasul-Nya. Terdapat beberapa ayat dalam al-Qur’an dan
banyak Hadith nabi yang mengandung perintah untuk menikah. Oleh
sebab itu pernikahan dapat dinilai sebagai penyempurnaan agama
seseorang. Dalam salah satu Hadith, rasul pernah menghimbau agar para
pemuda segera menikah jika mereka telah mampu. Rasulullah juga
menegaskan bahwa nikah adalah salah satu dari sunnahnya, maka
barangsiapa yang tidak suka dengan nikah dikategorikan bukan umatnya.

1
Dosen Tetap STIT al-Urwatul Wutsqo Jombang.
107 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume III Nomor 2 Septembr 2020
e-ISSN 2620-5122
Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

Kedua, dari segi hukum Islam, pernikahan merupakan perjanjian yang


kuat, sebagaimana dalam QS. al-Nisa’ (4) : 21:
.‫َو َك ْي َف تَأْخ ُُذون َ ُه َوقَدْ َأفْ ََض ب َ ْعضُ ُ ُْك إ ََل ب َ ْع ٍض َو َأخ َْذ َن ِمنْ ُ ُْك ِميث َاقًا غَ ِل ًيظا‬
ِ
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami isteri, dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.2

Dalam pernikahan terdapat perjanjian yang teguh di antara suami dan


istri. Sebagai akibat dari pernikahan, masing-masing pihak terikat oleh
hak dan kewajiban. Oleh sebab itu, bagi suami yang hendak memutuskan
hubungan perkawinan, mereka harus melalui beberapa syarat, prosedur
dan memberikan alasan-alasan kuat. Ketiga, dari segi sosial, pernikahan
bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling mencintai,
menyayangi dan mengasihi antar sesama anggota keluarga. Keluarga
adalah bagian dari masyarakat, maka anggota keluarga memiliki peran
penting dalam membentuk masyarakat yang harmonis, saling menyayangi
dan lain sebagainya. Dengan berkeluarga, manusia akan mendapatkan
keturunan, menjalin hubungan dengan sesama melalui pernikahan dan
dapat berintraksi di dalam suatu masyarakat. Oleh sebab itu Rasulullah
SAW. melarang umatnya menjalani hidup kerahiban, menyendiri dengan
tidak mau menikah. Sebab hal tersebut menyebabkan seseorang tidak
mendapatkan keturunan, keluarga dan melenyapkan umat manusia dari
muka bumi.
Syari’at pernikahan memiliki hubungan yang cukup erat dengan
syari’at lainnya, semisal waris, aturan nasab, muhrim, perwalian dan lain
sebagainya. Misalnya, seorang istri berhak mendapatkan harta waris dari
suaminya jika sang suami meninggal dunia, dan sebaliknya. Sang ayah
memiliki hak untuk menjadi wali nikah jika anaknya perempuan. Jika
pernikahan tidak diatur dengan baik, maka hal-hal yang sudah dijelaskan
di atas tidak dapat diketahui dan ditentukan dengan jelas dan pasti.
Mencermati keluhuran syari’at pernikahan tersebut, agama Islam
telah memberikan tata aturan yang cukup jelas. Tata aturan tersebut
dijelaskan dalam Islam, misalnya, rukun-rukun pernikahan adalah

2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1995),120
108 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume III Nomor 2 Septembr 2020
e-ISSN 2620-5122
Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali mempelai perempuan,


sighat akad, dan 2 (dua) orang saksi. Terpenuhi tidaknya rukun-rukun
pernikahan tersebut akan dapat mempengaruhi pada sah atau tidaknya
suatu pernikahan. Salah satu rukun pernikahan yang masih menjadi
perdebatan adalah wali bagi mempelai perempuan.
Wali secara bahasa berarti al-mahabbah (cinta kasih) dan al-nas}rah
(penolong) sebagaimana yang terdapat dalam QS. al-Mai’dah (5) : 56,3
dan dalam QS. al-Tabah (9) : 71.4 Wali juga dapat berarti al-sult}ah
(kekuasaan) dan al-qudrah (kemampuan). Wali secara istilah adalah
setiap orang yang memiliki kekuasaan atas suatu perkara, baik laki-laki
ataupun perempuan. Ketika disandarkan kepada pernikahan maka wali
nikah adalah seseorang yang berhak melangsungkan akad nikah atas
mempelai perempuan.5
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa wali dalam pernikahan
adalah orang yang berkuasa mengurus dan memelihara orang-orang yang
berada di bawah perwaliannya atau perlindungannya. Wali nikah juga
memiliki pengertian, seseorang yang bertindak atas nama pengantin
perempuan pada saat melangsungkan pernikahan. Pada saat itu wali
perempuan bertindak sebagai pihak yang melakukan janji nikah dengan
pengantin laki-laki. Oleh karena itu, wali dalam pernikahan memiliki
tanggung jawab yang besar, sebab telah digariskan dan dikukuhkan oleh
Allah dalam nas agama Islam.
Wali nikah bagi mempelai perempuan sebagai rukun dalam
pernikahan Islam dipandang sebagai salah satu contoh perlakuan
diskriminatif, dikarenakan adanya perlakuan yang berbeda antara laki-
laki dan perempuan. Adanya persyaratan wali nikah bagi perempuan
menjadikan seorang perempuan seakan tidak cakap hukum atau tidak
mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena dibatasi oleh izin sang wali,
bahkan wali punya kekuasaan penuh untuk memaksa atas perempuan

3
al-Qur’an, 5: 56.
َ‫اَّلل ُه ُم ْالغَا ِلبُون‬
ِ َّ ‫ب‬َ ‫سولَه ُ َوالَّذِينَ آ َمنُوا فَإ ِ َّن حِ ْز‬ َّ ‫َو َم ْن َيت ََو َّل‬
ُ ‫اَّللَ َو َر‬
Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman
menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti
menang
4
al-Qur’an, 9: 71.
ُ ‫َو ْال ُمؤْ مِ نُونَ َو ْال ُمؤْ مِ نَاتُ َب ْع‬
....‫ض ُه ْم أ َ ْو ِل َيا ُء َب ْعض‬
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain...
5
Ibrahim Unais, al-Mu’jam al-Wasit, vol. 2 (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972), 1058.
109 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume III Nomor 2 Septembr 2020
e-ISSN 2620-5122
Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

yang berada dalam perwaliannya, yang dikenal dengan istilah wali


mujbir. Tulisan ini meneliti tentang pandangan Imam Syafi’i dan Imam
Hanafi tentang kedudukan wali dalam pernikahan.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah kepustakaan (Library Research), artinya meneliti
buku-buku yang berasal dari beberapa sumber yang ada relevansinya
dengan permasalahan yang diteliti dengan menggunakan pendekatan
deskriptif analisis yaitu mendeskripsikan segala hal yang berkaitan dengan
pokok pembicaraan secara sistematis, faktual, dan akurat.6 Sedangkan
hasil penelitiannya akan dianalisa dengan Content Analisys Methode yaitu
penelitian yang dilakukan terhadap informasi yang didokumentasikan
dalam rekaman, baik gambar, suara ataupun tulisan yang bertujuan
menjawab fokus yang dirumuskan dalam penelitian ini.7 Proses analisis
data dalam prakteknya tidak dapat dipisah-pisahkan dengan proses
pengumpulan data. Kedua kegiatan ini berjalan serempak dan dilanjutkan
setelah pengumpulan data selesai.

KAJIAN TEORI

A. Wali Nikah Perspektif Madzhab Shafi’i


Sebelum membahas tentang pandangan Imam Syafi’i tentang
kedudukan wali dalam pernikahan, maka terlebih dahulu perlu
diketahui tentang dasar pemikiran Ushul Fikih Imam Syafi’i, yaitu:
a. Didasarkan pada Syari’at Islam secara holistik, komprehensip dan
universal (kully), bukan didasarkan pada Syariat secara parsial
(juz’i).
b. Didasarkan pada ilmu Kalam / Teologi. Perumusan dan penetapan
hukum Islam / fikih harus berdasarkan al-Qu’an dan Sunnah.
Seluruh keputusan fikih harus berangkat dari Allah melalui wahyu-
Nya, dan seluruh umat Islam wajib mengamalkan keduanya.
c. Didasarkan pada kaidah-kaidah istinbath hukum lughawy (secara
bahasa dan sastra Arab) dalam memahami sumber hukum Islam,
yakni al-Qur’an dan Sunnah. Dengan jalan memahami bahasa dan

6
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Urwatul Wutsqo, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jombang:
Tim Penyusun, 2015), 33.
7
M. Ikbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Methodologi Penelitian dan Aplikasinya (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2002), 171.
110 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume III Nomor 2 Septembr 2020
e-ISSN 2620-5122
Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

sastra Arab seseorang dapat mengetahui maqasyid al-syari’ah


(tujuan pembentukan Hukum Islam), mengetahui makna dari
berbagai pernyataan, baik yang berbentuk haqiqi atau majazi.
Selain itu juga untuk mengetahui dan membedakan antara bahasa
yang syarih dan yang kinayah, antara yang ‘am dan khas, muthlaq
dan muqayyad, dan dapat memahami manthuq dan mafhum.

Penguasaannya di bidang ilmu Hadith juga menjadikan diri Imam


Syafi’i memiliki kemampuan untuk mengetahui perihal Hadith, baik yang
masih diperselisihkan (mukhtalaf) maupun Hadith yang sudah disepakati
(muttafaq). Selain itu, ia juga mengetahui antara sunnah dan athar para
sahabat Rasulullah SAW. Berdasarkan ilmu Hadith tersebut, imam Syafi’i
mampu menetapkan posisi sunnah di hadapan al-Qur’an dan mampu
menetapkan persesuaian antara Sunnah dan al-Qur’an. Berdasarkan
pengetahuannya tentang perbedaan pendapat di kalangan para sahabat,
imam Syafi’i juga berhasil merumuskan ilmu Nasakh dan Mansukh,
memahami tujuan syari’at secara umum (al-maqashid al-syari’ah al-
‘ammah) yang terkandung dalam hukum-hukum syari’at.8
Pernikahan merupakan salah satu tuntunan shari’at Islam. Hal itu
dibuktikan dengan beberapa ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang berisi
anjuran untuk menikah, dan melarang hidup dalam kerahiban. Pernikahan
akan menjadikan kehidupan manusia di muka bumi dapat berkesinambungan
dari satu generasi ke generasi berikutnya, sebagaimana yang terdapat dalam
QS. al-Nahl (16) : 72.
‫إَّلل َج َع َل لَ ُ ُْك ِم ْن َأنْ ُف ِس ُ ُْك َأ ْز َوإ ًجا َو َج َع َل لَ ُ ُْك ِم ْن َأ ْز َوإجِ ُ ُْك ب َ ِي َ َ َو َف َفدَ ً َو َز َزقَ ُ ُْك ِم َن ه‬
ِ ‫إلَ ِ بي َاا‬ ُ ‫َو ه‬
َ ‫إَّلل ُ ُْه يَ ْك ُف ُر‬
.‫ون‬ ِ ‫ون َو ِب ِي ْع َم ِت ه‬ َ ُ‫َأفَبِالْ َاا ِطلِ ي ُ ْؤ ِمن‬
Allah menjadikan bagi kalian isteri-isteri dari jenis kalian
sendiri dan menjadikan bagi kalian dari isteri-isteri kalian
anak-anak dan cucu-cucu, dan memberi rizki yang baik-baik.
Maka mengapa mereka beriman pada yang batil dan
mengingkari nikmat Allah? 9

8
.Qurrotul Ainiyah, Keadilan Gender Dalam Islam, Konvensi PBB dalam Perspektif Mazhab
Shafi’i, (Malang : Intran Publishing, 2015), 101.
9
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1995),
412
111 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume III Nomor 2 Septembr 2020
e-ISSN 2620-5122
Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

Dalam hal pernikahan, Imam Syafi’i berpendapat bahwa pernikahan


bukan hanya dijadikan sebagai media penyaluran nafsu syahwat (libido)
yang mengakibatkan kelahiran generasi penerus manusia. Lebih dari itu
pernikahan merupakan perbuatan yang lebih mulia dari itu semua, di
dalamnya terdapat media untuk menjalin kasih sayang, mewujudkan
kedamaian dan ketentraman. Jika kehidupan suatu keluarga tenteram dan
damai, maka akan tercipta juga masyarakat yang damai, aman dan tenteram.
Suatu pernikahan dipandang sah jika memenuhi rukun dan syarat tertentu,
yaitu adanya mempelai, wali mempelai wanita, mahar, ijab dan qabul.
Imam Syafi’i mensyaratkan adanya wali nikah bagi pihak calon
mempelai perempuan. Wali adalah orang yang berkuasa mengurus dan
memelihara orang-orang yang berada di bawah perwaliannya atau
perlindungannya. Wali nikah juga berarti seseorang yang bertindak atas
nama pengantin perempuan pada saat melangsungkan pernikahan. Pada saat
itu wali bertindak sebagai pihak yang melakukan janji nikah dengan
pengantin laki-laki. Oleh karena itu, wali dalam pernikahan memiliki
tanggung jawab yang besar, sebab telah digariskan dan dikukuhkan oleh
Allah dalam nas agama Islam. Imam Syafi’i berpendapat bahwa wali bagi
mempelai perempuan merupakan salah satu rukun dan syarat sahnya
pernikahan, sehingga pernikahan tanpa ada wali adalah tidak sah.
Mencermati kedudukannya yang urgen, maka kewenangan wali nikah tidak
boleh dilimpahkan pada pihak yang tidak memiliki hak. Wali nikah harus
dilakukan oleh seorang yang memang memiliki hak untuk itu, yakni
seseorang yang memiliki kaitan struktur keluarga (hubungan nasab). Imam
Syafi’i berpendapat wali bagi mempelai perempuan adalah salah satu rukun
dan syarat sahnya pernikahan, sehingga pernikahan yang tanpa wali adalah
tidak sah.10
Dalil yang dijadikan dasar pijakan imam Syafi’i antara lain
dalam QS al-Baqarah (2) : 232:
ْ ْ ُ َ‫إَج هن إ َذإ تَ َرإضَ ْوإ بَيْهَن‬ ُ َ ‫َوإ َذإ َطل ه ْق ُ ُُت إل ِن ب َس َاء فَ َبلَغ َْن َأ َجلَه هُن فَال ت َ ْعضُ لُوه هُن َأ ْن ي َ ْي ِك ْح َن َأ ْز َو‬
ِ ِ ‫ِِبِلْ َم ْع ُر‬
ُ ‫وف َذ ِ َِل يُو َعظُ ِب ِه َم ْن ََك َن ِم ْن ُ ُْك ي ُ ْؤ ِم ُن ِِب ه َِّلل َوإلْ َي ْو ِم إل آ ِخ ِر َذ ِل ُ ُْك َأ ْز ََك لَ ُ ُْك َو َأ ْطه َُر َو ه‬
‫إَّلل‬
.‫ي َ ْع َ َُل َو َأن ُ ُْْت ال ت َ ْعل َ ُمون‬
Apabila kalian mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, maka janganlah kalian (para wali) menghalangi
mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah
terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf.
10
Imam Shafi’i, al-Umm, vol. 5 (Bairut: Dar al-Fikr, 1990), 13.
112 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume III Nomor 2 Septembr 2020
e-ISSN 2620-5122
Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

Itulah yang dinasehatkan pada orang-orang yang beriman di


antara kalian kepada Allah dan Akhirat. Hal itu lebih baik
bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.”11

Imam Syafi’i menjelaskan maksud ayat di atas jika seorang suami


menceraikan istrinya, lalu masa ‘iddah istri yang ditalak tersebut telah
habis, maka para wali dilarang menghalangi jika mereka hendak menikah
kembali. Ayat tersebut jelas sekali memberi petunjuk bahwa wali memiliki
hak dan kewenangan terhadap pernikahan anak perempuannya. Sebagai
bukti, Allah melarang para wali bersikap menghalang-halangi ketika mereka
secara suka rela hendak menikah lagi.12
Ayat lain yang dijadikan dasar imam Syafi’i terkait keharusan
seorang wali adalah QS. al-Baqarah (2) : 221:
‫ْش َك ٍة َولَ ْو أ ْ ََْع َا ْت ُ ُْك َوال تُ ْي ِك ُحوإ‬
ِ ْ ‫ْش ََك ِ َف هَّت ي ُ ْؤ ِم هن َو أل َم ٌة ُم ْؤ ِمنَ ٌة خ ْ ٌَْي ِم ْن ُم‬ ِ ْ ‫َوال تَ ْي ِك ُحوإ إلْ ُم‬
..... ‫ْش ٍك َول َ ْو َأ ْ َْع َا ُ ُْك‬ ِ ْ ‫إلْ ُم‬
ِ ْ ‫ْش ِك َ َ َف هَّت ي ُ ْؤ ِمنُوإ َول َ َع ْا ٌد ُم ْؤ ِم ٌن خ ْ ٌَْي ِم ْن ُم‬
Dan janganlah kalian (laki-laki) menikahi perempuan-
perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
perempuan budak yang mukmin lebih baik dari perempuan
musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Dan janganlah
kalian (laki-laki) menikahkan orang-orang musyrik (dengan
perempuan-perempuan mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hati kalian…..13

Ayat tersebut memberikan pemahaman bahwa pada lafaz{ ‫َوال ت َ ْن ِك ُحوا‬


ِ ‫( ْال ُم ْش ِركَا‬Janganlah kalian -wahai para laki-laki muslim- menikah dengan
‫ت‬
perempuan-perempuan musyrikat) mengandung pengertian bahwa laki-laki
muslim dilarang menikah dengan perempuan musyrik. Lafaz menikah
mengandung pengertian menikah untuk dirinya sendiri, yang mana ia tidak
membutuhkan orang lain untuk menikahkan dirinya. Sedangkan pada lafaz
berikutnya َ ‫ْش ِك‬ ِ ْ ‫( وال تُ ْي ِك ُحوإ إلْ ُم‬janganlah kalian -wahai para wali- menikahkan -para
perempuan mukminah- dengan laki-laki musyrik). Lafaz ini mengandung
pengertian para wali dilarang menikahkan perempuan-perempuan mukminah

11
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...., 56
12
Imam Shafi’i, al-Umm, vol. 5..., 13.
13
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...., 53-54
113 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume III Nomor 2 Septembr 2020
e-ISSN 2620-5122
Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

dengan laki-laki Musyrik. Kalimat tersebut mengandung pengertian bahwa


perempuan mukminah itu dinikahkan, dia tidak bisa menikahkan dirinya
sendiri, tapi ada sosok lain yang lebih berhak menikahkan mereka, yaitu
walinya.
Lebih lanjut Imam Syafi’i menyatakan ayat-ayat di atas
dikuatkan Hadith nabi yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA. :
‫ َأي ُّ َما إ ْم َر َأ ٍ نَ َك َح ْت ِبغ ْ َِْي إ ْذ ِن َو ِل ِ بّيَا‬:‫إَّلل عَل َ ْي ِه َو َس ه ََل‬ ِ ‫ول ه‬
ُ ‫إَّلل َص هَّل ه‬ ُ ‫َع ْن عَائِشَ َة قَالَ ْت قَا َل َز ُس‬
ِ 14 .‫ل‬ ٌ ‫فَ ِن ََك ُُحَا َِب ِط‬
Dari Aisyah Ra., Rasulullah Saw. bersabda, “Siapapun
perempuan yang menikah tanpa mendapatkan izin dari
walinya maka pernikahannya batil (tidak sah)”.

Juga hadith yang diriwayatkan oleh Abu Burdah RA:


‫إَّلل عَل َ ْي ِه َو َس ه ََل َال‬ ِ ‫ول ه‬
ُ ‫إَّلل َص هَّل ه‬ َ ‫َع ْن َأ ِِب إ ْْس ََق َع ْن َأ ِِب بُ ْر َد َ َع ْن َأ ِِب ُم‬
ُ ‫وَس قَا َل قَا َل َز ُس‬
15 ‫ِن ََكح إ هال ِ بِو ِل‬
‫َ ِ َ ٍب‬
Berdasarkan hadith-hadith di atas, imam Syafi’i menyatakan bahwa
siapapun perempuan yang menikah tanpa mendapat izin walinya maka
perempuan tersebut tidak bisa dikatakan menikah, sebab nabi bersabda
(maka pernikahannya batil). Jika perempuannya terlanjur dicampuri maka
suaminya wajib memberikan mahar mithli. Hal ini menunjukkan bahwa
mahar tetap wajib diberikan sekalipun pada penikahan yang rusak (fasid)
oleh sebab telah terjadi percampuran.16 Oleh karena itu, keberadaan wali
dalam suatu pernikahan merupakan suatu keharusan, sebab mempelai
perempuan termasuk orang yang berada di bawah tanggung jawab walinya.
Wali merupakan orang yang harus mengetahui pria yang akan
mempersunting anak perempuannya supaya tidak terjadi fitnah.
Sebab-sebab Wali Nikah dan Implikasinya
a. al-Abuwwah (Ayah dan jalur ke atasnya yang meliputi kakek, ayah
kakek dan seterusnya).
b. al-‘Asubah (saudara laki-laki dan paman dari saudara ayah).
c. al-Sulthan (Hakim / Penguasa)
d. al-Mu’taq (orang yang memerdekakan budak perempuan)

14
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 4 (Riyad: Dar ‘Alam al-Kutub, 2008 ), 124.
15
Al-Thirmizi, al Jami’ al sahih al sunan al Tirmizi, juz 3, (Beirut: Dar Ihya’ a; Turath al
Arabiy, tt), 407
16
Imam Shafi’i, al-Umm, vol. 5..., 14.
114 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume III Nomor 2 Septembr 2020
e-ISSN 2620-5122
Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm mengemukakan peristiwa


pernikahan antara Rasulullah dengan ‘Aisyah dengan menyunting
Hadith nabi yang menceritakan tentang pernikahan nabi dengan
‘Aisyah dan Abu Bakar sebagai walinya. Pada saat itu ‘Aisyah baru
berumur 6 atau 7 tahun, dan baru melakukan hubungan suami istri
pada usia 9 tahun.17 Hadith tersebut cukup menjadi bukti kuat bahwa
ayah lebih berhak atas anak perempuannya yang belum baligh. Hadith
tersebut juga menunjukkan bahwa ketika wali menikahkan anaknya
yang belum baligh, maka wali tidak bisa dimintai pertanggung
jawaban atas perbuatan yang dilakukannya tersebut. Ia berhak
menikahkan anak gadisnya yang belum baligh tanpa harus meminta
izin darinya terlebih dahulu. mun demikian jika anak gadisnya sudah
baligh, Imam Syafi’i menyatakan bahwa wali harus meminta izin dan
meminta kerelaan kepada anak perempuan yang sudah baligh tersebut.
Pendapat tersebut berdasarkan Hadith nabi:
‫عن ابن عباس أن النيب صلى هللا عليه و سلم قال األمي أحق بنفسها من‬
18
.‫ رواه مسلم‬.‫وليها والبكر تستأذن يف نفسها وإذهنا صماهتا‬
Dari Ibn Abbas, sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: “Seorang
janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, sedangkan
seorang gadis dimintai izin atas dirinya, dan izinnya adalah
dengan diamnya”.

Terkait Hadith di atas, Imam Syafi’i berpendapat rasul membedakan


antara gadis dan janda. Rasulullah memposisikan janda lebih berhak atas
dirinya dari pada walinya dan memposisikan gadis harus dimintai izin
apabila wali hendak menikahkannya. Hadith ini menunjukkan bahwa wali
dianjurkan bermusyawarah terlebih dahulu dan meminta izin kepada anak
gadisnya.19 Hadith di atas juga menunjukkan bahwa bagi seorang janda
ketika hendak menikah maka ia lebih berhak atas dirinya sendiri
dibandingkan dengan walinya. Jika wali pada kelompok ini memaksa mereka
(janda), maka pernikahannya tidak sah (mafsukh). Begitu juga, ketika
ayahnya menikahkan anaknya yang sudah janda tanpa sepengetahuan
mereka, maka pernikahannya tidak sah (mafsukh), baik setelah terjadinya

17
Imam Syafi’i, al ‘Umm, vol. 5,., 18.
18
Imam Muslim, Shahih Muslim, vol. 4, (Bairut: Dar al-Fikr, tt.) 141.
19
Imam Syafi’i, al ‘Umm, vol 5. ...., 19.
115 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume III Nomor 2 Septembr 2020
e-ISSN 2620-5122
Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

pernikahan anaknya rela ataupun tidak rela. Implikasinya, di antara kedua


mempelai tidak ada hak saling mewarisi, thalaq (perceraian) tidak berlaku di
antara keduanya dan pernikahannya dihukumi fasid.20
Adapun bagi perawan, ketika walinya hendak menikahkan mereka,
maka ia diperintah untuk meminta persetujuan dari anak gadisnya dengan
bermusyawarah terlebih dahulu. Persetujuan anak gadisnya adalah sikap
diamnya, karena hal itu sudah cukup dapat diartikan sebagai persetujuan
darinya. Dalam pada itu, Imam Syafi’i menguatkan pendapat dengan
menyatakan wali terlebih dahulu disunnahkan musyawarah dengan anak
gadisnya ketika hendak dinikahkan, hal ini berdasar firman Allah QS. Ali
‘Imran (3): 159:
‫إَّلل ِل ْي َت لَه ُْ ْ َولَ ْو ُك ْي َت فَ ًّظا غَ ِليظَ إلْ َقلْ ِب َالنْفَضُّ وإ ِم ْن َف ْو ِ َِل فَاع ُْف‬
ِ ‫فَ ِب َما َز ْ َْح ٍة ِم َن ه‬
‫إَّلل ُ ُِي ُّب‬ ِ ‫َّك عَ ََّل ه‬
َ ‫إَّلل إ هن ه‬ ْ ‫َعهَنْ ُ ْ ْ َو ْإس تَ ْغ ِف ْر لَهُ ْ ْ َوشَ ا ِو ْز ُ ُْه ِِف ْ َإل ْم ِر فَا َذإ َع َز ْم َت فَتَ َو ه‬
ِ ِ .َ َ ‫إلْ ُم َت َو ِ ب ِّك‬
Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Maka ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun
bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Maka apabila kamu telah membulatkan tekad,
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal.21
Namun demikian, jika dalam musyawarah anak gadisnya menolak
maka ayahnya (wali mujbir) masih memiliki hak dan otoritas untuk
menikahkannya, dengan syarat pernikahan tersebut betul-betul dapat
mendatangkan kebaikan untuk anak gadisnya dan tidak mendatangkan
bahaya (al-madharat).22Anak perempuan yang boleh dipaksa menikah oleh
wali mujbir adalah yang masih belum pernah menikah atau gadis, meskipun
sudah baligh. Namun demikian, Imam Syafi’i tetap mengharuskan para wali
bermusyawarah terlebih dahulu dengan anak gadisnya. Adapun bagi
perempuan yang sudah pernah menikah, atau janda, maka wali mujbir tidak
boleh memaksanya, sekalipun umurnya masih kecil.23 Keberadaan dan posisi

20
Imam Syafi’i, al ‘Umm, vol 5. ...., 20.
21
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...., 103
22
Imam Syafi’i, al ‘Umm, vol 5. ...., 20.
23
Al-Ghazali, al-Wajiz fi Fiqh Madhhab al-Imam al-Syafi’i, (Bairut: Dar al-Fikr, 2004),
247.
116 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume III Nomor 2 Septembr 2020
e-ISSN 2620-5122
Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

wali yang begitu sentral ini memungkinkan terjadinya pemaksaan, sekalipun


dengan syarat-syarat tertentu. Menurut Imam Syafi’i, sebagaimana
penjelasan di atas, seorang ayah atau kakek dari ayah dapat memaksa anak
atau cucu perempuan yang masih gadis untuk menikah dengan laki-laki yang
menjadi pilihannya dengan syarat kufu’ (sepadan), mendatangkan kebaikan
dan tidak mendatangkan bahaya.
Mencermati syarat-syarat yang tersebut di atas dapat diambil
pemahaman bahwa syarat seorang wali memaksa anak perempuannya adalah
mendatangkan kebaikan pada kehidupannya dan tidak mendatangkan
kerusakan dan bahaya. Jika mengacu pada kaidah fikih jalbu al-mashalih
(mendatangkan maslahat) dan dar’u al-mafasid (menolak bahaya) maka
syarat itu dapat berubah sesuai perubahan kemaslahatan dan bahaya yang
ditimbulkan, atau terdapat syarat lain yang perlu ditambahkan dan bisa jadi
ada beberapa syarat yang sudah tidak relevan. Dari syarat yang diajukan
oleh Imam Syafi’i memberi pemahaman bahwa yang menjadi parameternya
adalah kabaikan/kemaslahatan anak perempuan yang hendak dinikahkan
secara ijbar, baik kebaikan di dunianya terutama akhiratnya.
Wali shulthan atau yang sering diistilahkan wali hakim boleh
menikahkan seorang perempuan dalam beberapa keadaan; Pertama, ketika
seorang perempuan tidak memiliki wali. Kedua, ketika wali menghalangi
perempuan yang berada dalam perwaliannya untuk menikah (al-‘adhl).
Ketiga, ketika wali menghilang dan tidak diketahui keberadaannya (al-
ghaybah).24 Wali shulthan hanya boleh menikahkan perempuan yang sudah
baligh dan tidak diperkenankan menikahkan perempuan yang masih kecil.
Orang yang memiliki hak wali hakim adalah shulthan (penguasa), semisal
pemimpin/ pegawai yang diberi wewenang negara untuk menikahkan
perempuan yang tidak memiliki wali. Jika wali hakim dari negara tidak ada,
maka wali hakim dapat diangkat oleh orang terkemuka atau orang alim di
daerah tersebut. Tata aturan perwalian pada kelompok ini seperti tata aturan
dalam kelompok al-‘Ashubah (saudara dan paman dari jalur ayah).25

B. Wali Nikah dalam Perspektif Imam Hanafi


Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 Hijriah (696 M) dan meninggal
di Kufah pada tahun 150 Hijriah (767 M). Abu Hanifah hidup selama 52
tahun dalam masa Amawiyah dan 18 tahun dalam masa Abbasi. Maka segala
daya pikir, daya cepat tanggapnya dimiliki di masa Amawi, walaupun

24
Al-Ghazali, al-Wajiz fi Fiqh Madhhab al-Imam al-Syafi’i, ….., 247
25
Al-Ghazali, al-Wajiz fi Fiqh Madhhab al-Imam al-Syafi’i,……, 248.
117 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume III Nomor 2 Septembr 2020
e-ISSN 2620-5122
Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

akalnya terus tembus dan ingin mengetahui apa yang belum diketahui,
istimewa akal ulama yang terus mencari tambahan. Apa yang dikemukakan
di masa Amawi adalah lebih banyak yang dikemukakan di masa Abbasi .
Nama beliau dari kecil ialah Nu’man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayah
beliau keturunan dari bangsa persi (Kabul-Afganistan), tetapi sebelum beliau
dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke Kufah. Oleh karena itu beliau bukan
keturunan bangsa Arab asli, tetapi dari bangsa Ajam (bangsa selain bangsa
arab) dan beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga berbangsa Persia.26
Imam Hanafi yang dikenal sebagai mujahid yang rasional berpendapat
bahwa wali itu dibutuhkan untuk menggantikan seseorang karena
ketidakmampuan dalam bertindak hukum atau karena berstatus sebagai
budak. Artinya jika dia merdeka dan punya kemampuan/cakap dalam
melakukan perbuatan hukum, maka tidak dibutuhkan seorang wali. Jika
seorang perempuan (baik perawan maupun janda) yang sudah baligh, berakal
sehat maka dianggap telah mampu dan memiliki hak untuk melangsungkan
akad nikah atas nama dirinya sendiri tanpa harus diwakili oleh walinya.
Imam Hanafi berpendapat, bahwa wali bukan merupakan rukun yang
harus ada dan bukan persyaratan yang harus terpenuhi untuk sahnya suatu
pernikahan, tetapi hanya sebagai penyempurna perjanjian pernikahan,
kecuali pernikahan perempuan yang belum dewasa dan atau orang gila
meskipun sudah dewasa. Wali hanya menjadi syarat sah bagi pernikahan
orang yang belum dewasa, gila dan budak. Sebaliknya wali tidak diperlukan
lagi bagi pernikahan perempuan mukallaf yang merdeka, sehingga tanpa izin
walinyapun pernikahannya tetap sah. Tetapi si wali berhak untuk menolak
apabila pernikahan tersebut tidak se-kufu’. Argumen tersebut didasari pada
pertimbangan adanya Hadith Nabi yang menyatakan bahwa perempuan
yang janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya. Gadis diminta
perizinannya dan perizinannya adalah diamnya.
Imam Abu Hanifah membedakan perempuan ke dalam 2 kategori yaitu
merdeka dan budak. Perempuan kategori merdeka adalah perempuan secara
umum, sedangkan kategori budak adalah perempuan dalam kondisi khusus.
Maka yang dimaksud hadith yang diriwayatkan oleh Sayyidati Aisyah
sebagai perkawinan yang batal karena tidak ada idzin walinya adalah khusus
bagi perempuan dengan kategori budak, sebab posisi atau kedudukan budak
adalah berada dalam genggaman tangan/kekuasaan tuannya. Sedangkan bagi
perempuan merdeka, apabila sudah dewasa, berakal sehat, gadis maupun

Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i,
26

Hambali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1955), 19


118 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume III Nomor 2 Septembr 2020
e-ISSN 2620-5122
Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

janda, menikah dengan laki-laki sekufu atau tidak sekufu dapat menentukan
dan memilih pasangan hidupnya secara bebas tanpa adanya wali.
Bahkan lebih lanjut Imam abu Hanifah menjelaskan bahwa dalam
QS. Al. Baqarah (2): 232 dan 234 menerangkan perempuan memiliki hak
melakukan akad nikahnya sendiri tanpa adanya wali/wakil sebagaimana
dalam akad jual beli atau yang lainnya. Sedangkan hadith yang
mensyaratkan wali untuk sahnya pernikahan adalah karena adanya kondisi
khusus seperti belum cukup umur, tidak berakal sehat, atau budak.27

ANALISA HASIL PENELITIAN

Berdasarkan uraian di atas dapatlah dianalisa, bahwa prinsip yang


dipakai oleh Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum Islam, pertama
memahami ayat-ayat al-Qur’an sebagai sumber hukum islam pertama dan
utama. Kedua mempergunakan akal sebatas pada penggunaan Qiyas yang
berpegangan pada nas, dikarenakan semua permasalahan sebenarnya sudah
ada jawabannya dalam al-Qur’an. Jika nas sudah mengaturnya, maka
penggunaan akal pikiran sudah tidak lagi diperlukan. Walau dikenal sebagai
tokoh moderat (memeadukan wahyu dan akal), tetapi lebih mengutamakan
pada nas yang bertujuan menegakkan otoritas nas yang mencakup seluruh
sendi kehidupan masyarakat, sehingga kemudian beliau dikenal sebagai
nashir al-Sunnah (pembela sunah).
Berdasarkan QS. al-Baqarah (2) : 221, al-Nuur (24):24 serta beberapa
Hadith yang salah satunya diriwayatkan oleh Sayyidati Aisyah, Imam
Syafi’i menjelaskan syarat adanya wali dalam pernikahan, sehingga jika
tidak ada wali, maka pernikahannya tidak sah (batal). Imam Syafi’i
membedakan perempuan dalam perawan dan janda. Jika perawan maka
wajib adanya wali, jika janda tidak harus ada wali. Terhadap perawan, maka
sang wali punya hak penuh meminta persetujuan sang perawan untuk
dinikahkan juga menjadi wali dalam akad nikah. Sedangkan janda lebih
berhak dibandingkan walinya, sang wali tidak boleh menghalang-halangi
sang janda untuk menikah, sebagaimana dalam QS. al-Baqarah (2) : 232 dan
234 juga dalam Hadith dari Ibnu ‘Abbas ;

27
Sofyan A.P.Kau dan Zulkarnain Suleman, Fikih Feminis, Menghadirkan Teks Tandingan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 106.
119 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume III Nomor 2 Septembr 2020
e-ISSN 2620-5122
Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

‫عن إبن عااس أأن إلييب صَّل هللا عليه و سَل قال إ ألمي أأفق بيفسها من ولّيا وإلاكر تس تأأذن‬
28.‫ زوإه مسَل‬.‫ِف نفسها وإذهنا صامهتا‬

Dari Ibn Abbas, sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: “Seorang


janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, sedangkan
seorang gadis dimintai izin atas dirinya, dan izinnya adalah
dengan diamnya”.

Sedangkan Imam Hanafi yang dikenal rasional berpendapat bahwa wali


itu mempunyai fungsi mewakili seseorang yang tidak mampu untuk
melaksanakan perbuatan hukum, salah satunya adalah akad. Perempuan dan
laki-laki yang akan menikah yang telah dewasa (cukup umur), berakal sehat
mempunyai hak yang sama untuk melangsungkan akad nikah karena telah
memenuhi persyaratan untukmelakukan perbuatan hukum, maka tidak lagi
diperlukan wali bagi keduanya.
Tentang maksud dalil nas QS. Al-Baqarah (2) : 232, 234, (janganlah
para wali menghalang-halangi), maka Imam Hanafi menisbatkannya dengan
perempuan boleh melakukan akad nikah sebagaimana perempuan juga
diperbolehkan melakukan akad jual beli, akad hutang piutang dan lain
sebagainya. Sedangkan dalam memahami isi Hadith, Imam Hanafi
mengartikan kata imro’ah, dalam 2 kategori yaitu kategori merdeka dan
kategori budak, Perempuan merdeka (baik perawan ataupun janda) yang
telah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan menentukan calon
pasangan hidupnya dan melaksanakan akad nikah secara mandiri serta tidak
ada seseorangpun yang mempunyai kewenangan atas dirinya ataupun
menentang atas pilihannya dengan syarat laki-laki yang dipilihnya sekufu
serta maharnya tidak kurang dari mahar mitsil. Sedangkan bagi perempuan
budak (tidak merdeka), maka dia tidak punya hak/kebebasan dalam
melaksanakan perbuatan hukum, karena statusnya dibawah penguasaan
orang lain yaitu tuannya, sehingga jika akan memilih pasangan hidup/suami
harus atas izin tuannya dan jika melaksankan akad nikah harus diwakili oleh
tuannya sebagai walinya. Ini yang dalam ilmu Ushul Fiqih disebut ta’wil dan
takhsish.
Pandangan Imam Hanafi tersebut menurut Imam Ghozali batal atau
tidak sah. Karena lafaz imro’ah tersebut lafaz ‘am (umum), yang mencakup
semua berjenis kelamin perempuan, baik perawan maupun janda, merdeka

28
Imam Muslim, Syahih Muslim, vol. 4, (Bairut: Dar al-Fikr, tt.) 141.
120 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume III Nomor 2 Septembr 2020
e-ISSN 2620-5122
Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

atau budak, kecil atau dewasa dan lain sebagainya, sehingga tidak boleh
ditakhsis dan diberlakuakn sesuai keumuman lafaz. Apalagi hadith di awali
dengan lafaz ayyuma yang merupakan qarinah yaitu tanda atau alamat atau
indikasi yang menunjukkan pada yang dimaksud hadith tersebut bermakna
semua perempuan secara umum, bukan hanya bermakna perempuan merdeka
dan budak.29

KESIMPULAN

1. Imam Syafi’i berpegangan kepada teks nas al-Qur’an dan Hadith yang
mensyaratkan sahnya pernikahan salah satunya harus adanya wali.
Walaupun wali punya hak atas perwaliannya tetapi tetap dianjurkan
bermusyawarah atau meminta persetujuannya. Kewajiban ada wali
nikah merupakan bentuk rasa tanggung jawab dan perlindungan
kepada perempuan, bukan melemahkan hak perempuan. Pertimbangan
kemaslahatan, maqashid al-syari’ah, akal publik, kearifan lokal tidak
boleh bertentangan dengan teori kemaslahatan dan maqashid al
syari’ah yang tidak hanya berdasarkan pertimbangan kebahagiaan
dunia tetapi kebahagiaan di alam akhirat yang selama-lamanya.
2. Keberadaan wali dalam pernikahan menurut Imam Hanafi tidak wajib
jika perempuan itu merdeka, dewasa dan memenuhi persyaratan untuk
melakukan akad / perbuatan hukum, sebagaimana kebolehan
melakukan akad jual beli dan sebagainya. Hal ini dengan dasar
pemikiran bahwa wali itu dibutuhkan karena mewakili seseorang yang
dianggap tidak atau belum punya kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum.

29
Imam Ghazali, Al-Mankhul min Ta’liqat al- Ushul, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1980), 180-181
121 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume III Nomor 2 Septembr 2020
e-ISSN 2620-5122
Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

DAFTAR PUSTAKA
Ainiyah, Qurrotul, 2015, Keadilan Gender Dalam Islam, Konvensi PBB
dalam Perspektif Mazhab Shafi’i, Malang : Intran Publishing.

Al-Thirmizi, al Jami’ al sahih al sunan al Tirmizi, juz 3, Beirut: Dar Ihya’ a;


Turath al Arabiy.

Chalil, Moenawir, 1955, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi,


Maliki, Syafi’i, Hambali, Jakarta: Bulan Bintang.

Departemen Agama RI, 1995, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT.


Karya Toha Putra.
Ghazali Al-, 2004, al-Wajiz fi Fiqh Madhhab al-Imam al-Syafi’i, Bairut: Dar
al-Fikr.

Hasan, M. Ikbal, 2002, Pokok-Pokok Materi Methodologi Penelitian dan


Aplikasinya, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hanbal, Ahmad bin, 2008, Musnad Ahmad, vol. 4, Riyad: Dar ‘Alam al-
Kutub.

Kau, Sofyan A.P. dan Zulkarnain Suleman, 2014, Fikih Feminis,


Menghadirkan Teks Tandingan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muslim, Imam, Shahih Muslim, vol. 4, Bairut: Dar al-Fikr.

Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Urwatul Wutsqo, 2015, Pedoman


Penulisan Skripsi, Jombang: Tim Penyusun

Shafi’i, Muhammad bin Idris Al, 1990, Al Umm, Vol. 5, Bairut: Dar al-Fikr.
Unais, Ibrahim, 1972, al-Mu’jam al-Wasit, vol. 2, Kairo: Dar al-Ma’arif.

122 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman


Volume III Nomor 2 Septembr 2020
e-ISSN 2620-5122

Anda mungkin juga menyukai