Anda di halaman 1dari 15

Mata Kuliah DosenPembimbing

Fiqh Munakahat 1 Syukran, S.HI, M.Sy.

RESUME DASAR HUKUM PERNIKAHAN, RUKUN DAN SYARAT


PERNIKAHAN, TALAK BID’I DAN SUNNI, TALAK RAJ’I DAN BAIN,
DAN MASA IDDAH

Disusun Oleh :

Rahman Afif (12020515308)

PRODI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM

RIAU

2022

1
PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Pernikahan


Adapun dasar hukum perkawinan dalam Islam adalah firman Allah Swt
dalam Al-Qur’an surat Ar-Ruum ayat 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.” (QS. Ar- Ruum: 21).
Ayat di atas menjelaskan bahwasanya tujuan pernikahan adalah untuk
menciptakan rumah tangga yang rukun, penuh cinta dan kasih sayang (sakinah,
mawaddah wa rahmah). Kehidupan seperti ini merupakan kebutuhan yang telah
menjadi fitrah atau naluri setiap manusia. Hal tersebut bisa diperoleh apabila
pasangan (suami isteri) bisa menjalankan kehidupan rumah tangga sesuai dengan
ajaran yang telah disyari’atkan dalam agama Islam.
Selain ayat Al-Qur’an, adapun hadits-hadits Nabi yang berisi anjuran-
anjuran untuk menikah yaitu:
“Dari Anas bin Malik r.a, bahwa Nabi SAW memuji Allah SWT dan
menyanjung- Nya. Kemudian beliau bersabda: “ Akan tetapi aku shalat, aku tidur,
aku puasa, aku makan dan aku pun mengawini perempuan. Maka barang siapa
yang tidak suka akan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari
Muslim).
Berdasarkan dalil-dalil yang menjadi dasar hukum disyari’atkannya
perkawinan tersebut di atas, maka bisa ditegaskan hukum asal perkawinan adalah
mubah (boleh). Namun berdasarkan illat-nya atau dilihat dari segi kondisinya,
maka perkawinan tersebut dapat berubah hukumnya menjadi wajib, sunnah,
makruh, haram dan mubah.
1. Nikah itu akan berubah hukumnya menjadi wajib, apabila seseorang
dipandang telah mampu benar mendirikan rumah tangga, sanggup
memenuhi kebutuhan dan mengurus kehidupan keluarganya, telah matang
betul pertumbuhan rohani dan jasmaninya. Dalam keadaan seperti ini, ia
wajib melaksanakan perkawinan, sebab kalau ia tidak kawin ia akan

2
cenderung berbuat dosa (zina).
2. Nikah dapat berubah hukumnya menjadi anjuran atau sunah, kalau
dilakukan oleh seseorang yang pertumbuhan rohani dan jasmaninya
dianggap telah wajar benar untuk hidup berumah tangga. Kalau ia kawin
dalam keadaan yang demikian, ia akan mendapat pahala dan kalau ia
belum mau berumah tangga, asal mampu menjaga dirinya ia tidak berdosa.
3. Nikah berubah hukumnya menjadi makruh bila dilakukan oleh orang-
orang yang relatif maka (belum cukup umur), belum mampu menafkahi
dan mengurus rumahtangga. Kalau orang kawin juga dalam usia demikian,
ia akan membawa sengsara bagi hidup dan kehidupan keluarganya.
Memang, dalam keadaan ini, ia tidak berdosa dalam melaksanakan
perkawinan, tetapi perbuatannya dapat dikelompokan ke dalam kategori
perbuatan tercela.
4. Hukumnya berubah menjadi haram kalau dilakukan oleh seorang laki-laki
dengan maksud menganiaya wanita atau calon isterinya.
5. Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan
berbuat zina dan apabila ia melakukan perkawinan, ia tidak menelantarkan
isterinya.
Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan sebagai
suatu lembaga mempunyai banyak segi dan dapat dilihat dari berbagai sudut
pandangan, misalnya dari sudut pandang agama, hukum masyarakat, dan
sebagainya. Jika dipandang dari segi ajaran agama dan hukum Islam perkawinan
adalah suatu lembaga yang suci.

B. Rukun dan Syarat Nikah


Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu yang termasuk dalam rangkaian pekerjaan
itu. Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu
pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkai pekerjaan itu.
Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.

3
Pernikahan yang didalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang
memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad.
Adapun rukun nikah adalah:
1. Mempelai laki-laki.
2. Mempelai perempuan.
3. Wali.
4. Dua orang saksi.
5. Shigat ijab kabul.
Pernikahan dianggap sah apabila telah memenuhi rukun nikah yang
disebutkan di atas, begitu pula sebaliknya apabila salah satu rukun tidak dipenuhi
dalam melangsungkan pernikahan, maka pernikahan itu tidak sah. Dari kelima
rukun nikah di atas, yang paling penting adalah Ijab dan Qabul.
Adapun syarat nikah ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun
pernikahan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul.
Syarat-syarat pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan dalam Islam.
Apabila syarat-syaratnya itu terpenuhi, maka pernikahan itu sah dan
menimbulkan hak dan kewajiban suami isteri.
Syarat-syarat mempelai laki-laki (calon suami)
1. Bukan mahram dari calon isteri.
2. Tidak terpaksa atas kemauan sendiri.
3. Orangnya tertentu, jelas orangnya.
4. Tidak sedang ihram.
Syarat-syarat mempelai perempuan (calon istri):
1. Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak
sedang masa iddah
2. Merdeka, atas kemauan sendiri.
3. Jelas orangnya.
4. Tidak sedang berihram.
Syarat-syarat wali:
1. Laki-laki.
2. Baligh.
3. Tidak dipaksa.

4
4. Adil.
5. Tidak sedang ihram.
Syarat-syarat saksi:
1. Laki-laki (minimal dua orang).
2. Baligh.
3. Adil.
4. Tidak sedang ihram.
5. Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab qabul.
Syarat-syarat ijab qabul:
1. Ada ijab (pernyataan) mengawinkan dari pihak wali.
2. Ada qabul (pernyataan) penerimaan dari calon suami.
3. Memakai kata-kata “nikah”, “tazwij” atau terjemahannya seperti “kawin”.
4. Antara ijab dan qabul, bersambungan, tidak boleh terputus;
5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.
6. Orang yang terkait ijab dan qabul tidak sedang dalam keadaan haji dan
umrah.
7. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal empat orang yaitu calon
mempelai pria atau wakilnya, wali dari calon mempelai wanita atau
wakilnya, dan dua orang saksi.
Uraian syarat-syarat nikah di atas merupakan hal yang mesti dipenuhi dari
bagian rukun nikah yaitu, calon kedua mempelai yaitu suami isteri, wali, saksi dan
shighat ijab qabul. Oleh karena itu jika ada salah satu syarat yang tidak dipenuhi,
maka pernikahannya bisa dikategorikan batal atau tidak sah.

C. Pengertian Talak
Talak secara bahasa ialah memutuskan ikatan. Diambil dari kata itlaq
yang artinya adalah melepaskan dan meninggalkan. Sedangkan menurut
istilah syara’, talak yaitu “melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri
hubungan suami isteri.”
Dalam istilah fiqh talak mempunyai dua arti, yaitu arti yang umum dan
arti yang khusus. Talak menurut arti yang umum ialah segala macam bentuk
perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh Hakim,

5
maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena
meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri.
Talak dalam arti yang khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh
suami.
Dengan pengertian talak tersebut, maka jelas yang dimaksud dengan talak adalah
melepaskan ikatan antara suami-isteri, sehingga diantara keduanya tidak
berhak berkumpul lagi dalam arti tidak boleh mengadakan hubungan suami-
isteri tanpa diadakan rujuk terlebih dahulu dalam masa iddahnya.

D. Macam-Macam Talak
Talak itu dapat dibagi-bagi dengan melihat kepada beberapa keadaan.
Dengan melihat kepada keadaan istri waktu talak itu diucapkan oleh suami, talak
itu ada dua macam:
1. Talak Sunni
Yang dimaksud dengan talak sunni ialah talak yang didasarkan pada
sunnah Nabi, yaitu apabila seorang suami mentalak istrinya yang telah disetubuhi
dengan talak satu pada saat suci, sebelum disetubuhi. Atau dengan kata lain yaitu
talak yang pelaksanaannya telah sesuai dengan petunjuk agama dalam Al-Qur'an
atau sunnah Nabi. Bentuk talak sunni yang disepakati oleh ulama adalah talak
yang dijatuhkan oleh suami yang mana si istri waktu itu tidak dalam keadaan haid
atau dalam masa suci yang pada masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya.
Di antara ketentuan menjatuhkan talak itu adalah dalam masa si istri yang di talak
langsung memasuki masa iddah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
at-Talak ayat 1:
“Hai Nabi bila kamu mentalak istrimu, maka talaklah di waktu akan memasuki
iddah. ” (Q.S. at-Thalaq: 1).
Yang dimaksud dengan masa iddah di sini adalah dalam masa suci yang
belum digauli oleh suami. Cara-cara talak yang termasuk dalam talak sunni diluar
yang disepakati oleh ulama di antaranya adalah talak dalam masa iddah, namun
diikuti lagi dengan talak berikutnya. Talak dalam bentuk ini tidak disepakati
ulama. ImamMalik berpendapat bahwa talak semacam itu tidak termasuk talak

6
sunni. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan yang demikian adalah talak sunni.
Hal ini juga berlaku di kalangan ulama Zhahiriyah.
2. Talak Bid'i
Talak bid'i yaitu talak yang dijatuhkan tidak menurut ketentuan agama.
Bentuk talak yang disepakati ulama termasuk dalam kategori talak bid'iy itu ialah
talak yang dijatuhkan sewaktu istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci,
namun telah digauli oleh suami. Talak dalam bentuk ini disebut bid'i karena
menyalahi ketentuan yang berlaku, yaitu menjatuhkan talak pada waktu istri
dapat langsung memulai iddahnya. Hukum talak bid'iy adalah haram dengan
alasan memberi mudarat kepada istri, karena memperpanjang masa iddahnya.
Yang menjadi dalil talak dalam kategori bid'i adalah sabda Nabi yang berasal dari
Ibnu Umar muttafaq alaih:
“Telah mengabarkan kepada kami dari Ismail bin Abdullah dari Malik dari Nafi'
dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Ibnu Umar r.a. mentalak istrinya sewaktu haid
dalam masa Rasulullah Saw, maka Umar (ayahnya) menanyakan kepada Nabi
Saw tentang hal itu. Nabi Saw. bersabda: "Suruh dia (Ibnu Umar) kembali kepada
istrinya, kemudian menahannya sehingga istrinya itu suci kemudian haid dan
kemudian suci. Sesudah itu bila ia mau dia dapat menahannya dan kalau dia mau
dia boleh mentalak istrinya itu sebelum digaulinya. Itulah masa iddah yang
disuruh Allah bila akan mentalak istrinya.” (HR. al-Bukhary)

Dengan melihat kepada kemungkinan bolehnya si suami kembali kepada


mantan istrinya, talak itu ada dua macam:
1. Talak Raj'i
Menurut Muhammad Jawad Mughniyah yaitu talak dimana suami masih
memiliki hak untuk kembali kepada istrinya (ruju') sepanjang istrinya tersebut
masih dalam masa iddah, baik istri tersebut bersedia diruju' maupun tidak. Hal
senada dikemukakan juga oleh Ibnu Rusyd bahwa talak raj'i adalah suatu talak
dimana suami memiliki hak untuk meruju' istri. Sedangkan menurut Ahmad
Azhar Basyir bahwa talak raj'i adalah talak yang masih memungkinkan suami
ruju' kepada bekas istrinya tanpa nikah. Dengan demikian dapat dikatakan

7
bahwa talak raj'i adalah talak di mana si suami diberi hak untuk kembali kepada
istrinya tanpa melalui nikah baru, selama istrinya itu masih dalam masa iddah.
Dalam al-Qur'an diungkapkan bahwa talak raj'i adalah talak satu atau talak
dua tanpa didahului tebusan dari pihak istri, di mana suami boleh ruju' kepada
istri, sebagaimana firman Allah pada surat
al-Baqarah (2) ayat 229:
“Talak itu adalah sampai dua kali, sesudah itu tahanlah dengan baik atau
lepaskanlah dengan baik.” (Q.S. al- Baqarah: 229)
2. Talak Bain
Menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal, talak bain adalah talak yang
menceraikan istri dari suaminya sama sekali, dimana suami tak dapat lagi secara
sepihak meruju'i istrinya. Dengan kata lain, talak bain yaitu talak yang putus
secara penuh dalam arti tidak memungkinkan suami kembali kepada istrinya
kecuali dengan nikah baru, talak bain inilah yang tepat untuk disebut putusnya
perkawinan.
Talak bain ini terbagi pula kepada dua macam:
1. Bain sughra, ialah talak yang menghilangkan hak-hak ruju' dari bekas
suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada bekas
istrinya itu. Atau talak yang suami tidak boleh ruju' kepada mantan
istrinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui
muhallil. Yang termasuk bain shughra itu adalah sebagai berikut:
 Pertama: talak yang dilakukan sebelum istri digauli oleh suami. 'Talak
dalam bentuk ini tidak memerlukan iddah. Oleh karena tidak ada masa
iddah, maka tidak ada kesempatan untuk ruju', sebab ruju' hanya dilakukan
dalam masa iddah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-
Ahzab (33) ayat 49:
“Hai orang-orang yang beriman bila kamu menikahi orang-orang
perempuan beriman kemudian kamu mentalaknya sebelum sempat kamu
gauli, maka tidak ada iddah yang harus mereka lakukan.” (Q.S. al-Ahzab:
49).
 Kedua: talak yang dilakukan dengan cara tebusan dari pihak istri atau yang
disebut khulu'. Hal ini dapat dipahami dari isyarat firman Allah dalam

8
surat al-Baqarah (2) ayat 229:
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak akan menegakkan ketentuan
Allah, maka tidak ada halangannya bagimu untuk memberikan uang
tebusan. Demikianlah ketentuan Allah, maka janganlah kamu
melampauinya. Barangsiapa yang melampaui ketentuan Allah mereka
itulah orang yang aniaya.” (Q.S. al-Baqarah: 229)
2. Bain kubra, yaitu talak yang telah dijatuhkan tiga. Atau dengan kata lain
talak yang tidak memungkinkan suami ruju' kepada mantan istrinya. Dia
hanya boleh kembali kepada istrinya setelah istrinya itu kawin dengan
laki-laki lain dan bercerai pula dengan laki-laki itu dan habis iddahnya.
Yang termasuk talak dalam bentuk bain kubra itu adalah sebagai berikut:
 Pertama: istri yang telah di talak tiga kali, atau talak tiga. Talak tiga
dalam pengertian talak bain itu yang disepakati oleh ulama adalah talak
tiga yang diucapkan secara terpisah dalam kesempatan yang berbeda
antara satu dengan lainnya diselingi oleh masa iddah. Termasuknya talak
tiga itu ke dalam kelompok bain kubra itu adalah sebagaimana yang
dikatakan Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 230:
“Jika kamu mentalaknya (setelah dua kali talak), maka tidak boleh lagi
kamu nikahi kecuali setelah dia kawin dengan laki-laki lain. Jika
kemudian dia (suami kedua) mentalaknya tidak ada halangannya bagi
keduanya untuk (nikah) kembali.” (Q.S. al-Baqarah: 230)
Tentang talak tiga yang diucapkan sekaligus dalam satu kesempatan,
menjadi perbincangan di kalangan ulama. Dalam hal ini terdapat empat
pendapat di kalangan ulama:
 Pendapat pertama: talak tiga dalam satu ucapan itu tidak jatuh.
Alasannya adalah karena dimasukkannya talak seperti ini ke dalam talak
bid'i, yang menurut kebanyakan ulama tidak jatuh sebagaimana
keadaannya talak dalam masa haid. Adapun yang menjadi alasan
dimasukkannya ke dalam kategori talak bid'i adalah kemarahan Nabi atas
pelakunya, sebagaimana dalam hadis Nabi Mahmud bin Labid menurut
riwayat al-Nasai:

9
“Telah mengabarkan kepada kami dari Sulaiman bin Daud dari Wahab
dari Mahramah dari bapaknya telah mendengar dari Mahmud bin Labid
berkata: Nabi Saw telah memberitakan kepada saya tentang seorang laki-
laki yang mentalak istrinya tiga kali dalam satu ucapan Nabi berdiri
sambil marah kemudian berkata: “Apakah kamu mempermain-mainkan
Kitabullah, sedangkan saya masih berada di antaramu". Seorang laki-laki
berdiri dan berkata: ya Rasul Allah, kenapa tidak saya bunuh saja orang
itu?”
 Pendapat kedua: dipegang oleh jumhur ulama yang mengatakan bahwa
talak tiga sekaligus itu jatuh talak tiga, dan dengan sendirinya termasuk
talak ba'in. Alasan yang digunakan golongan ini adalah ayat Al-Qur'an
yang disebutkan di atas. Mereka tidak memisahkan antara talak tiga dalam
satu ucapan atau dilakukan secara terpisah.
 Pendapat ketiga: yang dipegang oleh ulama Zhahiriyah, Syiah Imamiyah,
dan al-Hadawiyah. Menurut golongan ini talak tiga dalam satu ucapan
jatuh talak satu dalam kategori talak sunni. Ulama ini berdalil dengan
hadist Nabi dari Ibnu Abbas yang bunyinya:
“Dari Ibnu Abbas berkata: pada zaman Rasulullah Saw. zaman
kekhilafahan Abu Bakar dan dua tahun masa Umar, talak tiga itu dianggap
satu. Umar bin Khattab lalu mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang itu
sama terburu- buru terhadap suatu perkara yang sebetulnya mereka bisa
berlaku tenang dan sabar. Seandainya hal itu aku berlakukan terhadap
mereka, niscaya mereka tidak akan terburu-buru.” (HR. Muslim).
Kedua hadist dari Ibnu Abbas juga yang bunyinya:
Dari Abbas berkata Rukanah bin Yazid Saudara al-Mutallib mentalak
istrinya talak tiga dalam satu majelis kemudian dia sangat menyesal dan
sedih dan Nabi Saw. bertanya: "Bagaimana cara kamu mentalaknya". la
berkata: "Saya mentalaknya tiga dalam satu majelis". Nabi Saw. bersabda:
"Itu hanyalah talak satu, oleh karena itu ruju'lah kepada istrimu.” (H.R.
Ahmad)
 Pendapat keempat: merupakan pendapat sahabat Ibnu Abbas yang
kemudian diikuti oleh Ishaq bin Rahawaih. Pendapat ini mengatakan

10
bahwa seandainya talak tiga dalam satu ucapan itu dilakukan setelah
terjadi pergaulan antara suami istri, maka yang jatuh adalah talak tiga, dan
oleh karenanya termasuk talak bain kubra; namun bila talak diucapkan
sebelum di antara keduanya terjadi hubungan kelamin yang jatuh hanyalah
talak satu. (al-Shan'aniy 175) Mereka berdalil dengan hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh Abu Daud yang mengatakan:
“Dari Ibnu Abbas berkata: menurut sepengetahuanku bila seorang laki-laki
mentalak istrinya talak tiga sebelum digaulinya yang jatuh adalah talak
satu pada masa Nabi Saw.” (HR. Abu Daud)
 Kedua: istri yang bercerai dari suaminya melalui proses li'an. Berbeda
dengan bentuk pertama mantan istri yang di-li'an itu tidak boleh sama
sekali dinikahi, meskipun sesudah diselingi oleh adanya muhallil, menurut
jumhur ulama talak ditinjau dari segi ucapan yang digunakan terbagi
kepada dua macam yaitu:
 Talak tanjiz, yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan
ucapan langsung, tanpa dikaitkan kepada waktu, baik menggunakan
ucapan sharih (tegas) atau kinayah (sindiran). Inilah bentuk talak yang
biasa dilaksanakan. Dalam bentuk ini talak terlaksana segera setelah suami
mengucapkan ucapan talak tersebut.
 Talak ta'liq, yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan
ucapan yang pelaksanaannya digantungkan kepada sesuatu yang terjadi
kemudian. Baik menggunakan lafaz sharih atau kinayah. Seperti ucapan
suami: "Bila ayahmu pulang dari luar negeri engkau saya talak". Talak
dalam bentuk ini baru terlaksana secara efektif setelah syarat yang
digantungkan terjadi. Dalam contoh di atas talak terjatuh segera setelah
ayahnya pulang dari luar negeri/tidak pada saat ucapan itu diucapkan.
Talak ta'liq ini berbeda dengan taklik talak yang berlaku di beberapa
tempat yang diucapkan oleh suami segera setelah ijab qabul dilaksanakan.
Taklik talak itu adalah sebentuk perjanjian dalam perkawinan yang di
dalamnya disebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suami. Jika
suami tidak memenuhinya, maka si istri yang tidak rela dengan itu dapat
mengajukannya ke pengadilan sebagai alasan untuk perceraian.

11
E. Pengertian Iddah
Iddah berasal dari bahasa Arab yaitu “menghitung atau menyangka”.
Jadi kata iddah artinya hitungan atau perkiraan atau sangkaan.
Adapun pengertian iddah menurut istilah syara’, ada beberapa definisi
yang dikemukakan oleh beberapa ulama, antara lain:
1. Muhammad Abu Zahrah memberikan definisi iddah sebagai berikut:
“Iddah ialah masa yang ditetapkan untuk membersihkan diri dari sisa-
sisa perkawinan
2. Imam Hanafiyah menyebutkan definisi iddah sebagai berikut:
“Waktu yang ditentukan untuk membersihkan sisa-sisa pengaruh dari
akibat perkawinan atau hubungan di atas ranjang” .
3. Imam Malikiyah menyebutkan definisi iddah sebagai berikut:
“Suatu masa dimana masa tersebut dilarang menikah, baik karena
tertalaknya seorang wanita, atau kematian suaminya, atau fasakhnya
perkawinan
Berdasarkan beberapa definisi dan uraian yang telah dikemukakan ulama
mengenai iddah, kiranya dapat diambil satu kejelasan bahwa iddah itu
merupakan masa tunggu yang telah ditetapkan oleh syara’ bagi seorang wanita
untuk tidak mengadakan akad nikah dengan laki-laki lain di dalam masa iddah
tersebut. Masa tunggu itu sebagai akibat ditinggal mati atau perceraian dengan
suaminya, dengan maksud tujuan untuk mengetahui apakah rahimnya benar-benar
bersih tidak berisi janin.

F. Macam-macam Iddah dan Dasar Hukumnya


Macam-macam iddah sekaligus dalil–dalil yang menjadi dasar hukumnya
adalah sebagai berikut:
1. Iddah wanita yang masih berdarah haid.
Wanita bersuami ada yang sudah di campuri oleh suaminya adapula yang
belum. Wanita bersuami yang belum pernah di campuri oleh suaminya, jika cerai
hidup tidak wajib iddah meskipun ia masih dalam usia haid. Dasar hukumnya
adalah surat al Ahzab ayat 49 yaitu:

12
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelu kamu
mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya, Maka berilah mereka mut`ah (pemberian) dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”.
2. Iddah wanita yang tidak disetubuhi.
Iddah wanita yang tidak berhaid meliputi ; anak-anak yang belum pernah
berhaid sama sekali atau sudah dewasa dan pernah haid kemudian putus. Iddah
mereka itu adalah
tiga bulan yang menjadi dasar hukum dan ketentuan ini adalah firman Allah
ٰ ٓ
SWT, dalam surat at Thalaq ayat 4 yaitu:
“Dan perempuan-perempuan yang putus dari haid di antara perempuan-
perempuanmu, jika kamu ragu-ragu (tentang masa iiddahnya) maka iddah
mereka adalah tiga bulan dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid”.
3. Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya.
Para ulama sepakat bahwa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya dan
wanita itu tidak dalam kondisi hamil adalah empat bulan sepuluh hari. Ini
mencakup wanita dan anak-anak, yang sudah menopause atau belum, dan juga
meliputi wanita yang sudah dicampuri atau belum. Hal ini bila diperoleh kepastian
bahwa wanita itu tidak hamil,adapun jika diperkirakan ia hamil, ia harus
menunggu sampai melahirkan, atau diperoleh kepastian tidak ada benih.
Selanjutnya perlu dikemukakan bahwa dasar hukum ketentuan ini adalah firman
Allah dalam surat al Baqarah ayat 234 yaitu :
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu, dengan meninggalkan
istri-istri, (hendaklah para istri itu ) menangguhkan dirinya (beriddah) empat
bulan sepuluh hari. Kemudian bila habis masa iddahnya, maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut,
Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.

G. Hikmah Adanya Iddah

13
Allah melarang atau memerintahkan sesuatu kepada hambanya tentu ada
hikmahnya. Demikian pula ditetapkannya iddah bagi isteri setelah putus
perkawinannya mengandung beberapa hikmah antara lain sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang isteri sehingga tidak
tercampur antara keturunan seorang dengan yang lain.
2. Iddah bagi isteri yang ditalak raj’i oleh suaminya mengandung arti
memberi kesempatan secukupnya kepada bekas suami-isteri itu untuk
memikirkan, merenungkan dan memperbaiki diri pribadi masing-masing
dan memahami kekurangannya, mempertimbangkan kemaslahatan hidup
bersama di masa-masa selanjutnya, mengenang jasa dan kebaikan hati
pihak yang satu terhadap yang lainnya, mempertimbangkan nasib anak-
anaknya. Kesemuanya itu dianalisa dalam suasana tenang dan hati yang
dingin. Dengan demikian masing-masing pihak berkesempatan luas untuk
mempertimbangkan kesemuanya itu dengan sebaik- baiknya, kemudian
mengambil langkah bijaksana untuk kemungkinan bersepakat ruju’
kembali sebagai suami-isteri.
3. Suatu masa yang harus dipergunakan oleh calonnya terutama suami yang
akan menikahinya untuk tidak cepat-cepat masuk ke dalam kehidupan si
isteri yang baru bercerai dengan mantan suaminya.
4. Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami isteri
sama-sama hidup lama dalam ikatan aqadnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Muhammad, Abdur Rahim, Pengantar ke Fiqih Imam Ali RA.,


Penerjemah Suaidi, Arista, Jakarta, 1988.
2. Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta,
2000.
3. Departemen Agama RI., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
Gunung Pesagi, Bandar Lampung, 1996.
4. ,Al Quran dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang, 1989.
5. Sumiati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang
Perkawinan NO 1, 1974, Liberty, Jakarta, 1986.
6. Bin As-Sayyid Salim, Kamal, Fiqh Sunnah lin Nisa’, Cet. 1, Jakarta:
Tiga Pilar, 2007.
7. Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2010.

15

Anda mungkin juga menyukai