Disusun Oleh :
Kelompok 3
RIAU
2021
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2
A. Kesimpulan ....................................................................................................................7
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Masalah kewarisan itu sangat erat kaitannya kehidupan manusia. Karena setiap manusia
pasti akan mengalami suatu peristiwa yang sangat penting dalam hidupnya yang disebut
meninggal dunia. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang akibatnya keluarga
dekatnya kehilangan seseorang yang mungkin sangat dicintainya sekaligus pula dapat
menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana caranya kelanjutan pengurusan hak-hak
kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia itu. Oleh karena itu munculah hukum
kewarisan.
Salah satu hukum kewarisan yang dipakai di Negara Indonesia adalah hukum kewarisan
Islam, yaitu hukum waris yang berdasarkan hukum Islam. Hukum Waris Islam atau Hukum
Kewarisan Islam yang berlaku di Negara Indonesia pada dasarnya adalah bersumber dari Al-
Qur’an dan Al-Hadist. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai sumber-sumber
Hukum Waris Islam atau Hukum Kewarisan Islam yang ada di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist
serta ijma’ dan ijtihad para ulama’.
B. Rumusan Masalah
3. Apa sumber hukum kewarisan islam dari Ijma’ dan ijtihad para ulama’?
1
BAB II
PEMBAHASAN
Dari sumber hukum yang pertama Al-Qur’an, setidaknya ada beberapa ayat yang memuat
dan berkaitan tentang hukum waris atau kewarisan yaitu:
Artinya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.1
Garis hukum kewarisan pada ayat diatas (QS. An-Nisa: 7) adalah sebagai berikut:
Bagi anak laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya.
Bagi aqrabun (keluarga dekat) laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan
aqrabun (keluarga dekat yang laki-laki atau perempuannya).
Bagi anak perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya.
Bagi aqrabun (keluarga dekat) perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan
aqrabun (keluarga dekat yang laki-laki atau perempuannya)
Ahli waris itu ada yang menerima warisan sedikit, dan ada pula yang banyak.
Pembagian-pembagian itu ditentukan oleh Allah SWT.2
Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa ayat ke-7 surat al-Nisa ini masih bersifat universal,
walaupun ini ayat pertama yang menyebut-nyebut adanya harta peninggalan. Harta peninggalan
yang disebut dalam ayat ini adalah (Maa Taraka). Sesuai dengan sistem ilmu hukum pada
umumnya, dimana ditemui perincian nantinya maka perincian yang khusus itulah yang mudah
memperlakukannya dan yang akan diperlakukan dalam kasus-kasus yang akan diselesaikan.3
1
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Depag RI, 1986, 78.
2
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1981), 7
3
Ibid. Hal. 9.
2
Artinya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin,
maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
baik.4
Artinya : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka
kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudarasaudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
4
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Depag RI, 1986, 79.
5
Ibid., 116.
3
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada
ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari´at yang benar-benar dari Allah,
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Dasar hukum kewarisan yang kedua yaitu dasar hukum yang terdapat dalam hadits. Dari
sekian banyak hadist Nabi Muhammad SAW yang menjadi landasan hukum kewarisan Islam,
penulis hanya mencantumkan beberapa dari hadist Nabi, diantaranya sebagai berikut:
Artinya: Dari Ibnu Abbas RA. Nabi Muhammad Saw bersabda: Berikanlah harta pusaka
kepada orang-orang yang berhak sesudah itu sisanya untuk laki-laki yang lebih utama.
(HR.Muslim).6
Artinya: Dari Usamah bin Said RA. Bahwasanya Nabi saw bersabda: tidaklah berhak
seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi. (HR. Bukhari dan
Muslim).7
6
Imam Az-Zabidi, Shahih Al-Bukori Ringkasan Hadis, (Jakarta, Pustaka Amani, 2002), 35.
7
Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Juz IV, Ahli Bahasa Zainuddin, Hamidy, DKK, Terjemah Shahih Bukhari,
Hadist no. 1799 (Jakarta: Widajaya, 1992), 91.
4
Artinya: Serahkanlah bagian-bagian kepada ahlinya, maka apa yang lebih adalah bagi
laki-laki yang lebih dekat. (Bukhari dan Muslim).8
Artinya: Allah telah menurunkan hukum waris bagi saudara-saudaramu yang perempuan
itu dan alloh telah menerangkan bahwa mereka mendapat bagian dua pertiga dari hartamu.
Artinya: Bagi yang membunuh tidak mendapatkan hak waris atau bagian harta warisan.
(HR. An-Nasaii).
Artinya: Seorang muslim tidak berhak mendapat bagian harta warisan dari seorang kafir,
dan sebaliknya seorang kafir tidak berhak mandapat bagian harta warisan dari seorang muslim
(HR. Jama’ah Ahlu Hadist).
Dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: Berikanlah faraidh (bagian-bagian
yang telah ditentukan) kepada yang berhak, dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari
keturunan laki-laki yang terdekat. (HR Bukhari dan Muslim).
Kesimpulan atau intisari hadits ini: Dalam pembagian warisan, ahli waris yang mendapat
bagian lebih dahulu adalah ahli waris golongan ashhabul-furudh (ahli waris yang bagian mereka
sudah tertentu), kemudian kalau ada sisanya baru diberikan kepada ahli waris
golongan ‘ashabah (ahli waris penerima sisa).
Hadist Nabi yang diriwayatkan dari Imron bin Hussein menurut riwayat Imam Abu
Daud: Artinya: Dari Umar bin Husain bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi lalu berkata
bahwasanya anak dari anak meninggalkan harta, Nabi menjawab: untukmu seperenam.
Artinya: Dari Usamah bin Zaid dari Nabi SAW: Orang Islam itu tidak mewarisi orang
kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang Islam.
Artinya: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa membunuh seorang korban, maka ia
tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris lain selain dirinya
sendiri, begitu juga walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri. Maka bagi
pembunuh tidak berhak menerima warisan.
C. Sumber Hukum Kewarisan Islam Dalam Ijma’ dan Ijtihad para ulama’
8
Ibid. Hal. 19.
5
Ulama Ijtihad adalah menyelidiki dalil-dalil hukum dari sumbernya yang resmi yaitu Al-
Qur’an dan hadist kemudian menarik garis hukum dari padanya dalam suatu masalah tertentu,
misalnya berijtihad dari Al-Qur’an kemudian mengalirkan garis-garis hukum kewarisan Islam
dari padanya.9 Dalam definisi lainnya, ijtihad yaitu pemikiran para sahabat atau ulama’ yang
memiliki cukup syarat dan kriteria sebagai mujtahid untuk menjawab persoalan-persoalan yang
muncul dalam pembagian harta warisan. Yang dimaksud disini ijtihad dalam menerapkan
hukum, bukan untuk mengubah pemahaman atau ketentuan yang telah ada.
Meskipun Al-Qur’an dan Hadist telah memberi ketentuan terperinci tentang pembagian
harta warisan, tetapi dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal
yang tidak ditentukan dalam kedua sumber hukum tersebut. Misalnya mengenai bagian warisan
bagi orang banci atau dalam ilmu faraidh disebut khunsta, harta warisan yang tidak habis terbagi
kepada siapa sisanya diberikan, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah atau duda
atau janda. Dan para sahabat, tab’in, generasi pasca sahabat dan tabi’i at-tabi’in dan generasi
pasca tabi’in, telah berijma atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraid dan tidak ada yang dapat
menyalahinya.
9
M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Ind Hilco, 1984), 8.
6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
7
DAFTAR PUSAKA