Anda di halaman 1dari 21

PENYELESAIAN PERKARA PEWARIS KALALAH SISTEM PERADILAN DI

INDONESIA NOMOR 299/Pdt. P/2023/PA. Tgrs..

(Studi Kasus di Pengadilan Agama Tigaraksa)

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan untuk Menyusun Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Pada Jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syari’ah

Universitas Islam Negeri

Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Oleh:

MASFUFAH ROSYIDAH
NIM: 201110028
FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

2023 M / 1444 H

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Balakang Masalah

Secara bahasa, kata Mawarits merupakan jamak dari mirats, (irts, wirts, wiratsah dan
turats yang dimaknakan dengan mauruts) adalah “harta peninggalan orang yang meninggal yang
diwariskan kepada para warisnya.” Orang yang meninggalkan disebut muwarits. Sedang yang
berhak menerima harta waris disebut warits.1
Secara terminologi, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian harta
waris, mengetahui bagianbagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap ahli waris
yang berhak.2 Dalam redaksi lain, Hasby AshShiddieqy mengemukakan , hukum kewarisan
adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian setiap
ahli waris dan cara-cara pembagiannya.3 Sedangkan faraidh, jamak dari faridhah. Kata ini
diambil dari fardhu yang dalam istilah ulama fiqh mawaris ialah bagian yang telah ditetapkan
oleh syara‟. 4
Mawarits merupakan salah satu hal penting yang harus mendapat perhatian khusus oleh
setiap muslim. Hukum mempelajari ilmu mawarits adalah fardlu kifayah. Nabi Muhammad
SAW memotivasi para umatnya untuk mempelajari dan mengajarkannya sebagaimana
disebutkan dalam banyak hadits.5 Salah satunya yaitu:
‫ َو ُىَو أَّوُل ِع لٍم ُي ْن زُع ِم ْن اَّم تي‬,‫ َو ُىَو ُي نَس ى‬, ‫ فإنُو نْص ُف الِع لِم‬, ‫ َو َع ِّلُم ْو اَىا الناَس‬, ‫َت َعلُم ْو ا الَفَر ائَض‬
(‫)رواه ابن ماجو‬

Artinya:“Pelajarilah ilmu faraidh (Mawarits), dan ajarkaanlah kepada manusia. Karena


ia adalah setengah dari ilmu, dan ia akan dilupakan, serta ia merupakan ilmu pertama yang akan
diangkat dari umatku.6

1
Pasal 171 huruf a KHI
2
Muhammad Syarbini al-khatib, mughni al-Muhtaj, juz 3, (Kairo: Mushthafa al-Baby al-Halaby, 1958), hlm. 3.
3
T.M. Hasby ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Yogyakarta: Mudah, tt, hlm. 8
4
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris Hukum Pembagian Warisan Menurut Syariat Islam,
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2013, hlm. 5.
5
Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, Jakarta: Gema Insani, 2006, hlm. 560.
6
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, kitab al-faraidh, Juz 2, No. 2719, Beirut: Dar al-Fikr, tt, hlm 908.
Dasar Hukum Waris, Berikut merupakan ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadits yang
membahas tentang waris dan kemudian menjadi dasar hukumnya.

a. Al-Qur‟an
1. QS An-Nisa‟ [4]: 176:
Artinya:“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia,
dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai dua saudara perempuan, maka bagi
saudara perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya
yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan) jika ia tidak
mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yag ditinggalkan oleh orang yang meninggal.
Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudarasaudara laki dan perempuan,
maka bagian saudara lakilaki sebanyak dua bagian saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS An-Nisa‟[4]: 176)7
b. Hadist
1. Hadis riwayat Muttafaq ‘alaih:
‫الِح ُقْو ا ا ْلَفَر ائَض بأْىلَها فَم ا بِقَي فِِلْو لى رُج ٍل ذَك ر)متفق عليو‬
Artinya:“Nabi SAW. Bersabda: “Berikanlah bagianbagian tertentu kepada orang-
orang yang berhak. Dan sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (deket
kekerabatannya).” (al-Bukhari dan Muslim).8

Syarat dan Rukun Waris

a) Syarat waris ada tiga:


1. Meninggalnya pewaris, baik secara hakiki, secara hukum, maupun secara perkiraan.
2. Masih hidupnya ahli waris setelah kematian pewaris, meskipun secara hukum, seperti
janin dalam kandungan.
3. Tidak ada salah satu penghalang waris, 9yaitu:
1. Perbudakan
7
Al Quraan dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, hlm. 153.
8
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, hlm.170.
9
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: PT. Al-Maarif, 1981, hlm. 83-97.
2. Pembunuhan
3. Berbeda agama10
b) Sebelum dibagikannya harta waris para ahli waris harus memenuhi hak-hak pewaris.
Hak-hak pewaris yang dimaksud antara lain:
1. Biaya Perawatan Jenazah
2. Pelunasan Hutang

3. Pelaksanaan Wasiat
Kompilasi pasal 171 huruf f menyatakan bahwa wasiat adalah pemberian suatu
benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah
pewaris meninggal dunia.11
c) Rukun waris ada tiga, yaitu:
1. Muwarits (orang yang meninggal dunia dan meninggalkan hartanya)
2. Mauruts (harta waris)
3. Warits (ahli waris)12
d) Sebab-sebab seseorang menerima harta waris ada tiga, yaitu:
1. Al-Qarabah atau pertalian darah yang dimaksud di sini yaitu semua ahli waris
yang ada pertalian darah, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun
anak-anak. Bahkan bayi yang masih di dalam kandungan pun mempunyai hak
yang sama dengan yang sudah dewasa. Namun dalam hal ini, berlaku ketentuan
ahli waris yang lebih dekat dapat menutupi (menghijab) ahli waris yang jauh,
sesuai ketentuan Al-Qur‟an dan al-Sunnah. Dan bagian wanita separuh dari laki-
laki.
2. Al-Mushaharah (Hubungan Perkawinan), Perkawinan yang sah antara seseorang
laki-laki dan seorang perempua, baik menurut hukum agama dan kepercayaan
maupun hukum Negara.
3. Al-Wala‟ , Al-Wala‟ adalah hubungan kewarisan karena seseorang
memerdekakan hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong-menolong. Bagian
yang diperoleh yaitu 1/6 dari harta pewaris. Dalam kompilasi sebab yang ketiga

10
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2013, hlm. 308-312.

11
Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta: PT. rineka Cipta, 1994, hlm. 275
12
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 206.
ini tidak dicantumkan, karena perbuddakan sudah tidak diakui. Sehingga hanya
tercantum dua sebab yaitu sebab yang pertama dan kedua.13

Pembagian waris secara ilmu faraidh, Dalam ilmu faraidh, terdapat pembagian harta waris
yang bagiannya berbeda antara ahli waris tergantung status kedekatan kekerabatannya dan
situasi. Misalnya, seorang istri yang mempunyai anak atau tidak ketika ditinggalkan pewaris
akan mendapatkan bagian yang berbeda. Berikut akan dijelaskan mengenai bagian masing-
masing ahli waris. Ahli waris terbagi menjadi dua, yaitu ahli waris Nasabiyah dan ahli waris
Sababiyah.

1. Ahli Waris Nasabiyah ,dibagi menjadi dua. Pertama, ashhab al-furudl al-muqaddarah,
yaitu penerima bagian tertentu yang telah ditentukan al-Qur‟an dan pada umunya
perempuan. Kedua, ashhab al‘ushubah, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa
setelah diambil oleh ashhab al-furudl al-muqaddarah dan pada umumnya ahli waris
penerima sisa ini laki-laki
Bagian warisan ashhab al-furudl al-muqaddarah akan dikemukakan menurut urutan
pasal-pasal yang ada dalam kompilasi sebagai berikut:
1) Anak perempuan, menerima bagian: ½ bila hanya seorang, 2/3 bila dua orang atau
lebih, dan sisa, bersama-sama anak laki-laki, dengan ketentuan ia menerima
separuh bagian anak laki-laki.
2) Ayah, menerima bagian: Sisa, bila tidak ada far’u waris (anak atau cucu), 1/6 bila
bersama anak lakilaki (dan atau anak perempuan), 1/6 tambah sisa, jika bersama
anak perempuan saja, dan 2/3 sisa dalam masalah gharrawain (ahli warisnya
terdiri dari suami/istri, ibu dan ayah).
3) Ibu, menerima bagian: 1/6 bila ada anak atau dua orang saudara lebih, 1/3 bila
tidak ada anak atau saudara dua orang lebih dan atau bersama satu orang saudara
saja, dan 1/3 sisa dalam masalah gharrawain.
4) Saudara perempuan seibu, menerima bagian: 1/6 satu orang tidak bersama anak
dan ayah dan 1/3 dua orang atau lebih, tidak bersama anak dan ayah.
5) Saudara perempuan sekandung, menerima bagian: ½ satu orang, tidak ada anak
dan ayah, 2/3 dua orang atau lebih, tidak bersama anak dan ayah, sisa bersama

13
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia Edisi Revisi, hlm. 323-328.
saudara laki-laki sekandung, dengan ketentuan ia menerima separuh bagian laki-
laki („ashabah bi alghair), dan sisa, karena ada anak atau cucu perempuan garis
laki-laki (‘ashabah ma’a al-ghair).
6) Saudara perempuan seayah, menerima bagian: ½ satu orang, tidak ada anak dan
ayah, 2/3 dua atau lebih, tidak ada anak dan ayah, sisa bersama saudara lakilaki
seayah dengan ketentuan separuh dari bagian saudara laki-laki seayah, 1/6
bersama satu saudara perempuan sekandung, sebagai pelengkap 2/3 (altsulutsain),
dan sisa (‘ashabah ma’a al-ghair) karena ada anak atau cucu perempuan garis laki-
laki.
7) Kakek dari garis ayah, menerima bagian: 1/6 bila bersama anak atau cucu, sisa
bila tidak ada anak atau cucu, 1/6+sisa, hanya bersama anak atau cucu
perempuan, 1/3 (muqasamah) dalam keadaan bersama saudara-saudara sekandung
atau seayah, jika ini pilihan yang menguntungkan, dan 1/6 atau 1/3 x sisa atau
muqasamah sisa bersama saudara-saudara sekandung/seayah dan ahli waris lain,
dengan ketentuan dipilih bagian yang paling menguntungkan.
8) Nenek, menerima bagian 1/6 baik seorang atau lebih.
9) Cucu perempuan garis laki-laki menerima bagian: ½ jika satu orang dan tidak ada
mu’ashshib (penyebab menerima sisa), 2/3 jika dua orang atau lebih, 1/6 bersama
satu anak perempuan (sebagai penyempurna 2/3), dan sisa (‘ashabah bi al-ghair)
bersama cucu laki-laki garis laki-laki.
2. Ahli Waris Sababiyah
Ahli waris sababiyah semuanya menerima bagian furudl al-muqaddarah sebagai berikut:
1) Suami, menerima: ½ bila tidak ada anak atau cucu, dan ¼ bila ada anak atau cucu.
2) Istri menerima bagian: ¼ bila tidak ada anak atau cucu, dan 1/8 bila ada anak atau
cucu.14

Kata kalalah berasal dari kata dasar kalla ) ‫ (كّل‬dengan bentuk masdarnya ,‫كال‬ ,‫ِك لّة‬
,‫كالًال‬ ,‫ُك لوال‬ ,‫كاللة‬ ‫ُك لولة‬. secara harfiah kata ini berarti ta’iba wa a’ya (letih dan lelah).
Sementara pengertian kalalah menurut istilah , Di kalangan para sahabat ditemukan defenisi
tentang kalalah yang dikemukakan oleh Abu Bakar r.a. Pendapat ini disebutkan sejarawan juga

14
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Kekeluargaan Islam Kontemporer (Analisis Yurisprudensi dengan
Pendekatan Ushuliyah), Jakarta: Kencana, 2004, hlm. 340-343.
didukung oleh Umar bin Khathab, meskipun awalnya beliau menentang pengertian yang
disampaikan Abu Bakar. Menurut Abu Bakar kalālah adalah: “Seseorang yang meninggal dunia
yang tidak mempunyai anak dan ayah”. Para ulama menilai pendapat Abu Bakar ini sejalan
dengan hadits yang diriwayatkan dari Jābir bin Abdullah. Jābir bertanya kepada rasulullah SAW.
“wahai Rasululullah! Sesungguhnya saya mewariskan kalālah. Lalu bagaimana dengan harta
peninggalan saya?” Penting untuk diketahui bahwa ayah Jābir bin Abdullah meninggal sebelum
diturunkan Surah an-Nisa’ ayat 176. Ayah Jabir meninggalkan dua anak sebagai ahli waris, yaitu
Jabir dan saudara perempuan. Dikisahkan bahwa Jabir ketika meninggal tidak memiliki anak
yang dapat menerima harta warisannya. Satusatunya ahli waris yang akan menerima harta Jabir
adalah saudara perempuannya. Artinya, Jabir menjadi pewaris kalalah karena ia tidak
mempunyai ayah dan anak sebagai ahli waris harta yang ditinggalkannya.

Di kalangan para ulama disebutkan beberapa pengertian tentang pengertian kalalah. Sahib
al-Kasysyaf berkata bahwa kalālah dapat dibagi menjadi tiga katagori, yaitu orang yang tidak
meninggalkan anak dan bapak, orang yang tidak dengan anak dan bapak dari orang yang
ditinggalkan, dan kerabat yang selain dari golongan anak dan bapak.

pengertian harta kalalah. Dalam terminologi hukum kewarisan Islam, selain term harta
kalalah, kadang-kadang juga diistilahkan dengan al-amwāl al-fadhilah untuk jenis harta yang
tidak ada ahli waris yang dapat menerima tersebut. Al-amwāl al-fadhilah dapat diartikan dengan
harta yang berasal dari peninggalan orang Islam yang meninggal dunia dan tidak meninggalkan
ahli waris.15 Sementara dari sudut pandang hukum positif di Indonesia, istilah harta kalalah
disebutkan dalam KUHPdt. Pasal 1126 KUHPdt menyebutkan harta kalalah sebagai “harta tak
terurus”(onbeheerde nalatenschap), yaitu “Jika suatu warisan yang terbuka, tiada seorangpun
yang menuntutnya, ataupun apabila semua waris yang terkenal menolaknya, maka dianggaplah
warisan itu sebagai tak terurus”. Definisi yang lebih konkrit dan jelas tentang harta kalalah
terlihat dari bunyi Pasal 27 UU No. 48 Tahun 2007 yaitu: “Harta kekayaan yang pemiliknya dan
ahli warisnya tidak diketahui keberadaannya.

Harta Kalalah Menurut KHI, Secara garis besar, pengaturan harta kalalah dalam pasal-
pasal KHI dapat dikelompokkan kepada dua hal. Pertama adalah pasal-pasal KHI yang mengatur
tentang ahli waris yang akan menerima harta warisan dari pewaris kalalah serta bagian yang
15
Osman Bin Haji Khalid, Pengurusan di Zaman Rasulullah, dalam Pentadbiran dan Pengurusan dalam Islam,
Persatuan Bekas Mahasiswa Islam Timur Tengah (PBMIT), Kuala Lumpur, 1996, hlm. 17.
diperoleh oleh para ahli waris. Kedua, pasal-pasal KHI yang mengatur tentang kewenangan
Baitul Mal sebagai pengelola harta warisan yang ditinggalkan pewaris kalalah. Berikut adalah
penjelasan mengenai dua persoalan pokok tersebut.

1. Ahli waris dan bagiannya dari harta kalalah

Pasal-pasal dalam KHI yang menjelaskan tentang ahli waris dan bagian yang diperoleh masing-
masing mereka dari harta kalalah terdapat dalam Pasal 181 dan Pasal 182 yang berbunyi;

Pasal 181: Bila seseorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki
dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapatkan seperenam (1/6) bagian. Bila mereka
itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapatkan sepertiga (1/3) bagian.

Pasal 182: Bila seseorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia
mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separuh (½)
bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan
kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga
(2/3) bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-
laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua banding satu dengan saudara
perempuan. Ahli waris yang disebutkan dalam dua pasal di atas ;

1) saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu 1/6


2) jika saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu itu dua orang atau lebih 1/3
3) satu saudara perempuan kandung atau seayah 1/2
4) saudara perempuan bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua
orang atau lebih 2/3
5) saudara perempuan bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah,
saudara laki-laki dua banding satu dengan saudara perempuan

Semua ahli waris yang disebutkan dalam tabel berasal dari garis menyamping, yaitu saudara dari
pewaris, baik saudara kandung ataupun saudara tiri. Mereka mendapatkan harta warisan
disebabkan tidak ada penghalang dari garis keturunan, yaitu anak atau cucu orang yang
meninggal. Penetapan mereka sebagai ahli waris dalam KHI didasarkan pada tekstual Alquran
Surah An-Nisa’: 11 dan 12.
Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas maka Penulis mengambil

permasalahan yakni:

1. Bagaimana kedudukan saudara kandung , saudara seibu dan saudara sebapak dalam

waris kalalah?

2. Apa dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan anak perempuan dari anak laki-laki

beserta saudara laki-laki sebagai penerima wasiat wajibah, bukan sebagai ahli waris

pengganti?

3. Siapa saja yang berhak atas penerima wasiat wajibah?

Fokus Penelitian

Penelitian ini Penulis fokuskan pada perspektif ‘Ulaama fiqh tentang kedudukan ahli

waris dari Pewaris kalalah dihubungkan dengan perkara perdata Penetapan Ahli waris di

Pengadilan Agama Tigaraksa (analisis Penetapan Nomor ; 299/Pdt/G/2023 /PA.Tgrs.)

Tujuan Penelitian

Tujuan dan perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka yang dapat diambil

yakni:

Untuk mengetahui Kedudukan saudara kandung, saudara seibu dan saudara sebapak

dalam waris kalalah .

Untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan Hakim terhadap putusan.

Untuk mengetahui siapa saja yang berhak menerima wasiat wajibah.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat yang diharapkan dapat berguna untuk semua pihak baik

aspek teoritisnya maupun praktisnya. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

Aspek Teoritis, Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan

tentang putusan Pengadilan yang pada proses pembuktiannya menggunakan saksi

istifadhah. Penelitian ini diharapkan menarik perhatian penelitilain untuk lebih

meningkatkan perhatiant terhadap pembuktian di Persidangan, karena pembuktian

menjadi sumber yang menjadi dasar Hakim dalam menggali fakta-fakta hukum suatu

perkara dan dalam mempertimbangkan amar suatu putusan.

Secara Praktis. Hasil penelitian ini juga diharapkan menarik perhatian para praktisi

hukum tentang pentingnya kecermatan dalam menilai alat bukti khususnya alat bukti

saksi pada proses pemeriksaan perkara, sehingga putusannya memenuhi rasa keadilan

dan setiap putusan yang dibuat oleh Hakim Pengadilan Agama khususnya akan

mempunyai nilai obyektif.

Penelitian Terdahulu yang Relevan

Untuk menghindari terjadinya persamaan-persamaan terhadap penelitian yang telah ada,

Penulis mengadakan penelusuran terhadap penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya,

sebagai berikut:

Penelitian tentang saksi Istifadhah dalam putusan Pengadilan Agama

Tigaraksa Nomor; 294/Pdt.G/2021/PA.Tgrs. tentang itsbat nikah belum ada di jurusan

Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah) Fakultas Syariah UIN Sunan

Maulana Hasanuddin Banten, Namun ada penelitian terdahulu yang relevan yang membahas

mengenai saksi istifadhah, diantaranya


1. Skripsi yang ditulis oleh Rizal Sidiq Amin tahun 2015, yang berjudul “Studi
Penerapan Syahadah Al Istifadhah dan Testimonium de auditu dalam Hukum Acara
Peradilan Agama” Jurusan Ahwalus Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
Penelitian yang dilakukan oleh Rizal Sidiq Amin menjelaskan tentang
penerapan saksi Istifadhah dan testimonium de auditu dalam hukum acara peradilan
agama. Berangkat dari latar belakang bahwa tidak selamanya sengketa perdata dapat
dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau surat, alat bukti saksi pun diperlukan dalam
hukum perdata bila tidak ditemukan bukti tertulis atau surat. Alat bukti saksi yang
sah menurut hukum adalah yang memenuhi syarat materil yang tercantum pada pasal
171 HIR dan pasal 1907 KUH Perdata, di luar kategori itu kesaksiannya disebut
testimonium de auditu, dalam hukum Islam disebut Syahadah istifadhah. Belum ada
dasar hukum yang menjadi penerapan kedua hal ini dikarenakan masih terjadinya
perbedaan dalam diterima atau tidaknya sebagai alat bukti.
2. Kemudian skripsi yang ditulis oleh Leera Sinta Mega Pamungkas tahun 2015,
yang berjudul “Pembatalan Putusan PA Bandung Nomor 2124 Tahun 2009 Tentang
Kesaksian Testimonium de auditu Oleh Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor
116 Tahun 2010” Jurusan Ahwalus Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Penelitian ini menjelaskan tentang Putusan
Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor 116 Tahun 2010 tentang Permohonan
Cerai Talak, yang membatalkan putusan Pengadilan Agama Bandung Nomor 2124
Tahun 2010 karena dalam pembuktiannya menggunakan Testimonium de auditu. Ada
kesamaan antara Syahadah istifadhah dengan testimonium de auditu, walaupun dalam
konsepnya terdapat perbedaan.

3. Selain dua judul Skripsi di atas, ada beberapa jurnal ilmiah yang juga membahas
mengenai saksi Istifadhah. Diantaranya adalah jurnal ilmiah yang berjudul “Derajat
Syahadah Istifadhah dan Testimonium de auditu” ditulis oleh Drs. Abdul Malik, yang
dimuat oleh admin Pengadilan Agama Batulicin pada tanggal 9 Juni 2012. Jurnal ini
dilatar belakangi oleh persoalan apakah Syahadah istifadhah maupun testimonium de
auditu termasuk alat bukti yang memenuhi syarat bagi suatu kesaksian dalam hukum
acara perdata Agama atau tidak? Maka dalam jurnal ini dibahas mengenai keabsahan
Syahadah Istifadhah sebagai alat bukti di dalam persidangan.

4. Kemudian jurnal ilmiah yang berjudul “Kekuatan Pembuktian Testimonium


de auditu dalam Perkara Perceraian”, ditulis pada tahun 2014 oleh Ramdani Wahyu
Sururie, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Penulisan jurnal ini berawal dari adanya perbedaan pertimbangan hukum oleh Hakim
dalam menilai alat bukti saksi testimonium de auditu yang berakibat pada terjadinya
disparitas putusan pada Pengadilan Agama dan pengadilan Tinggi Agama. maka
pembahasannya difokuskan pada kajian adanya diparitas didalam penilaian bukti
saksi yang testimonium de auditu dalam pemeriksaan perkara perceraian antara
Pengadilan Agama dan pengadilan tingkat banding.

4. Dari kedua skripsi dan jurnal yang membahas tentang saksi istifadhah di atas,
belum ada yang meneliti tentang “Eksistensi Alat Bukti Saksi Istifadhah dalam Sistem
Peradilan di Indonesia.” serta bagaimana status legalitas alat bukti saksi istifadhah bisa
diterima sebagai suatu alat bukti? kemudian dasar hukum apa yang menjadi
pertimbangan Hakim terhadap putusan? Dan bagaimana pengaruh alat bukti saksi
istifadhah dalam pengambilan putusan Hakim? kemudian belum ada yang membahas
bagaimana analisis yuridis putusan Nomor;
294/Pdt.G/2021/PA.Tgrs. tentang itsbat nikah, berkaitan dengan diterimanya saksi
istifadhah dalam pertimbangan hukum Hakim yang

memeriksa perkara, khususnya perkara “Itsbat Nikah.”

Kerangka Pemikiran

Pembuktian merupakan salah satu proses pemeriksaan perkara di pengadilan

yang nantinya akan mencapai proses akhir yaitu sebuah putusan atau penetapan.

Menurut Ahmad Mujahidin, membuktikan adalah meyakinkan Majelis Hakim tentang

dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.


Hukum pembuktian (law of evidence) dalam berperkara merupakan bagian yang sangat

kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit, karena pembuktian

berkaitan dengan kemampuan merekontruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past event)

sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam

proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang bersifat absolut (ultimate truth), tetapi

bersifat kebenaran relatif atau bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable), namun untuk

mencari kebenaran yang demikian pun, tetap menghadapi kesulitan.16

Pembangunan hukum tidak hanya di tangan pembentuk undang-

undang (lembaga legeslatif) semata, tetapi hakimpun peran yang sangat besar dalam

pembangunan hukum. Bahkan hukum itu dalam praktiknya banyak diciptakan oleh

hakim. Hakim demi kepastian hukum dalam memutus perkara terikat oleh hukum acara, kelalaian

menerapkan hukum acara akan menyebabkan putusan sebaik apapun akan menjadi batal demi

hukum. Hal tersebut karena menyadari bahwa hakim adalah manusia biasa yang pengetahuannya

terbatas , yakni mengetahu sebatas yang dzahir, dan hanya Allah lah yang mengetahui segala yang

rahasia, maka dapat dipahami kebenaran yang diperoleh atas ijtihad hakim adalah kebenaran formil,

bukan kebenaran materiel.

Salah satu tugas Hakim adalah menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi
dasar gugatan telah
benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti
apabila Penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila
penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatannya,
maka gugatannya akan dikalahkan. Kecermatan Hakim untuk mengetahui tentang
duduk perkara yang sebenarnya adalah tugas yang harus diperhatikan.
Supomo dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri”
menerangkan bahwa pembuktian mempunyai arti luas dan arti terbatas. Di

16
John J. Cound, cs. Civil Procedure : Cases and Material (West Publishing: St. Paul Minn, 1985), h. 867
dalam arti luas membuktikan berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan
syarat-syarat bukti yang sah. Di dalam arti yang terbatas membuktikan hanya
diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh
tergugat. Apabila yang tidak dibantah itu tidak perlu dibuktikan. Kebenaran
dari apa yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan.7 Sudikno Mertokusumo dalam bukunya
“Hukum Acara Perdata
Indonesia” mengatakan bahwa membuktikan mengandung beberapa
pengertian yaitu arti logis, konvensional dan yuridis. Membuktikan dalam arti
logis adalah memberikan kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi
setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Untuk
membuktikan dalam arti konvensional, di sini pun berarti juga memberi
kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian nisbi atau
relatif sifatnya dan membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi
dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan
guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.17
Alat-alat bukti yang dijadikan dasar oleh hakim dalam memutus perkara diatur dalam
Pasal 164 HIR yang menyebutkan 5 macam alat-alat
bukti, ialah : a. Bukti surat; b. Bukti saksi; c. Persangkaan; d. Pengakuan; e. Sumpah.
Salah satu alat bukti yang diakui eksistensi dalam persidangan adalah bukti saksi, dan
pembuktian dengan saksi dalam praktek lazim disebut kesaksian.
Dalam Hukum Acara Perdata pembuktian dengan saksi sangat penting
terutama untuk perjanjian-perjanjian dalam dalam masyarakat, di mana
pada umumnya karena adanya saling percaya mempercayai tidak dibuat
sehelai surat pun. Oleh karena bukti berupa surat tidak ada, pihak-pihak akan
berusaha untuk mengajukan saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan
dalil-dalil yang dimajukan di muka persidangan. Dalam Hukum Adat
dikenal 2 macam saksi, yaitu saksi-saksi yang secara kebetulan melihat,
mendengar sendiri peristiwa-peristiwa yang menjadi persoalan dan saksi-
saksi yang pada waktu perbuatan hukum itu dilakukan, sengaja telah diminta
untuk menyaksikan perbuatan hukum tersebut. Yang dapat diterangkan oleh

17
Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 188
saksi hanyalah apa yang dilihat, didengar atau dirasakan sendiri, lagi pula
tiap-tiap kesaksian harus disertai alasan-alasan apa sebabnya, bagaimana
sampai ia mengetahui hal-hal yang diterangkan olehnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dirumuskan kerangka pemikiran sebagai berikut:


Alat bukti merupakan hal penting dalam pembuktian di muka persidangan,
dalam pasal 164 HIR/ Pasal 284 Rbg dan pasal 1866 KUH Perdata terdapat 5 jenis
alat bukti di Persidangan, salah satunya adalah alat bukti saksi. Dalam pasal 171 (1)
HIR, Pasal 308 (1) R.Bg dan Pasal 1907 KUH Perdata diatur bahwa yang menjadi
saksi itu harus memberikan keterangan dari hal-hal yang ia dapat melihat, mendengar
atau dapat meraba sendiri. Apa yang ia tahu dari keterangan orang lain atau
berdasarkan pengetahuan umum yang ada di masyarakat tidaklah diperkenankan.18
Perkara nomor; 294 tahun 2021 dalam pembuktiannya menggunakan saksi
yang tidak melihat, mendengar, serta mengalami sendiri
kejadian yang sesungguhnya, melainkan hanya berdasarkan pengetahuan umum di
masyarakat dan cerita dari orang tua saksi.19
Dalam putusan nomor;294/Pdt.G/2021/PA.Tgrs.
Saksi yang sumber pengetahuannya berdasarkan cerita orang lain diterima sebagai alat bukti
yang mempunyai kekuatan hukum mengikat,. Sebagaiman kita maklumi pada azasnya
pembuktian diperlukan . untuk membantu Hakim menyelesaikan
perkara, Hakim akan melihat dan menilai alat bukti di Persidangan, sebelum akhirnya
menjatuhkan putusan.
Hakim sebagai penegak hukum harus memperhatikan rasa
keadilan, serta wajib menggali, mengikuti, dam memahami nilai-nilai hukum yang
hidup di masyarakat, sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
nomor 4 Tahun 2004. Menurut penjelasan pasal ini, hakim berperan dan bertindak
sebagai perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.20

18
M MR. R. Tresna, Komentar HIR, (Ttp:, tt), h. 151R. R. Tresna, Komentar HIR, (Ttp:, tt), h. 151
19
Duduk Perkara Putusan Nomor 294/Pdt.G/2021/PA.Tgrs. Tentang Itsbat Nikah
20
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 798
Ijtihad hakim sangat diperlukan dalam setiap pemeriksaan perkara, dari ijtihad
tersebut akan lahir suatu penemuan hukum, atau penafsiran hukum. Semakin
dinamisnya kehidupan di masyarakat menyebabkan kaidah hukum selalu tertinggal.

Mengingat saksi Istifadhah dalam perkara nomor 294/Pdt.G/2021/PA.Tgrs. tidak


memenuhi syarat materil saksi dalam persidangan bila dilihat dalam ketentuan pasal
171 ayat (1) HIR. Hakim harus pandai dalam menilai keabsahan alat bukti, karena
apabila salah dalam menilai alat bukti, akan berpengaruh terhadap putusan.

Putusan Hakim bukan satu-satunya bentuk untuk menyelesaikan perkara. Di samping


putusan Hakim, masih ada penetapan Hakim. Penyelesaian perkara dalam
peradilan contentieus disebut putusan, sedangkan penyelesaian perkara dalam
peradilan voluntair disebut penetapan.

Putusan atau penetapan yang dihasilkan dari


proses pemeriksaan dalam persidangan tentunya akan mempunyai kekuatan hukum
dan dapat mempengaruhi status hukum seseorang. Didalam putusan nomor
294/Pdt.G/2021/PA.Tgrs. terdapat ketentuan tentang sahnya perkawinan. Hal ini dapat
merubah status perkawinan yang sebelumnya tidak mempunyai kekuatan hukum,

menjadi berkekuatan hukum.

Penulisan ini dilandasi kerangka


pemikiran bahwa pembuktian adalah salah satu proses pemeriksaan perkara di
pengadilan, dalam proses pembuktian diperlukan alat bukti, salah satunya adalah
bukti saksi. Namun dalam beberapa kasus alat bukti itu sudah musnah, maka
digunakan saksi Istifadhah. Padahal saksi Istifadhah menurut hukum acara perdata
tidak memenuhi syarat materil saksi, maka hakim akan menilai bukti-bukti tersebut
melalui ijtihadnya, yang kemudian akan dituangkan dalam sebuah putusan.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang Penulis gunakan adalah penelitian yuridis norrmatif yang bersifat
kualitatif, yaitu norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
mengacu pada putusan Pengadilan. Penelitian
ini mengacu pada putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor; 294 Pdt.G/2021/PA.Tgrs.
tentang perkara Itsbat Nikah. Dalam penelitian ini Penulis menggunakan penelitian kualitatif,
adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati.
Pengumpulan Data

a. Studi Dokumentasi. Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
studi dokumentasi terhadap salinan putusan serta berkas-berkas lain yang berhubungan
dengan putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor; 294 Pdt.G/2021/PA.Tgrs. tentang
perkara Itsbat Nikah.
b. Wawancara Mendalam (Depth Interview). Wawancara dilakukan untuk melengkapi isi

dari dokumen tersebut. Adapun tahapan wawancara sebagai berikut :1) Menyusun daftar

pertanyaan, 2) Mengadakan janji dengan Hakim yang menjadi Ketua Majelis yang

memeriksa perkara Nomor; 294/Pdt.G/2021/PA.Tgrs., 3) Menyalin hasil wawancara yang

dilakukan dengan cara direkam ke dalam catatan khusus

Penulis mengambil sumber-sumber data penelitian dengan menggunakan kepustakaan

(library research) yakni pengumpulan data melalui buku-buku yang berkaitan dengan

perihal judul penelitian, supaya bisa menjelaskan dan memaparkan dengan baik dan benar.

Pengolahan Data

Dalam hal ini penulis menggunakan metode:

Deduktif, yakni pengumpulan data-data yang bersifat umum menjadi hal-hal yang

bersifat khusus.

Komparatif, yakni perbandingan buku-buku kepustakaan, yang kemudian mengambil

pendapat masing-masing lebih akurat dan kuat pendapatnya.

Teknik Penulisan

Dalam teknik penulisan ini penulis menggunakan beberapa sumber referensi, sebagai

berikut:
Buku Pedoman Penulisan Skripsi UIN “SMH” Banten Tahun 2019.

Penulisan ayat-ayat al-Qur’an berpedoman pada Al-Hikmah Al-Qur’an dan terjemahnya

yang diterbitkan oleh Diponegoro

Dalam penulisan hadits diambil dari buku hadits asli.

Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulis dalam menyusun skripsi ini, maka penulis bagi kepada lima

bab dan beberapa suku bab yaitu sebagai berikut:

Bab 1, Berupa Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Perumusan

Masalah, Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat/Signifikansi Penelitian, Penelitian

Terdahulu yang Relevan, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, dan Sistematika

Pembahasan.

Bab 2, Tinjauan Teoritis Tentang Prinsip prinsip Waris Islam yang terdiri dari,
Pengertian dan dasar hokum waris Islam, azas waris Islam (karena perkawinan dan
hubungan darah), kelompok ahli waris dan sisitim hijab (menghalangi) dan mahjub
(terhalang).
Bab 3, Kondisi Objektif Pengadilan Agama Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, meliputi :

Kondisi Geografis, Kondisi Demografis dan Kondisi Sosiologis.

Bab 4, kedudukan saudara kandung , saudara seibu dan saudara sebapak dalam Pewaris

kalalah, Pertimbangan hakim dalam menetapkan anak perempuan dari anak laki-laki beserta

saudara laki-laki sebagai penerima wasiat wajibah, Kekuatan Alat Bukti Saksi Istifadhah
dalam Perkara Itsbat Nikah, dan Batasan Kelompok Penerima Wasiiat wajibah dan Ahli

waris Pengganti dalam Prakstek Pengadilan Agama.

Bab V, Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.


DAFTAR PUSTAKA

Mujahidin, Ahmad, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, Bogor: Ghalia


Indonesia, 2012.

Subekti, Hukum Acara Perdata, Bandung: Bina Cipta, 1977

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1995

A. Rasyid, Royhan, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1998

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, Jakarta:
Sinar Grafika, 2009

Jurnal Ilmiah, Hapsari, Auerlia Dini Vera Hapsari dan Kawan-kawan, Kekuatan
Pembuktian Penggunaan Saksi Testimonium de Auditu sebagai Alat Bukti Dalam Perkara
Perceraian di Pengadilan Negeri Karanganyar

Jurnal Ilmiah, Asmuni, Testimonium De Auditu Perspektif Hukum Acara Perdata Dan
Fiqh, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 2014)

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam,


Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997 Cetakan Ke II

An-Nawawi, Imam, Hadits Al-Arba’in An-Nawawiyah dan Terjemahannya, Ttp: , 2008

Tresna, R Komentar HIR, Jakarta: PT Pradya Paramita, 2001

Cound, John J, cs. Civil Procedure : Cases and Material West Publishing: St. Paul
Minn, 1985
Duduk Perkara Putusan Nomor 294/Pdt.G/2021/PA.Tgrs. Tentang Itsbat Nikah
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2013

Mertokusumo, Sudikno Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2009

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2014 Cetakan ke V

Moleong, Lexy J,, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya, 2008


Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ke-II, Cet. Ke-1, Liberty,
Yogyakarta, 1985, hal. 45. 7

Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 188.

Anda mungkin juga menyukai