PROPOSAL SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MASFUFAH ROSYIDAH
NIM: 201110028
FAKULTAS SYARI’AH
2023 M / 1444 H
BAB I
PENDAHULUAN
Secara bahasa, kata Mawarits merupakan jamak dari mirats, (irts, wirts, wiratsah dan
turats yang dimaknakan dengan mauruts) adalah “harta peninggalan orang yang meninggal yang
diwariskan kepada para warisnya.” Orang yang meninggalkan disebut muwarits. Sedang yang
berhak menerima harta waris disebut warits.1
Secara terminologi, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian harta
waris, mengetahui bagianbagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap ahli waris
yang berhak.2 Dalam redaksi lain, Hasby AshShiddieqy mengemukakan , hukum kewarisan
adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian setiap
ahli waris dan cara-cara pembagiannya.3 Sedangkan faraidh, jamak dari faridhah. Kata ini
diambil dari fardhu yang dalam istilah ulama fiqh mawaris ialah bagian yang telah ditetapkan
oleh syara‟. 4
Mawarits merupakan salah satu hal penting yang harus mendapat perhatian khusus oleh
setiap muslim. Hukum mempelajari ilmu mawarits adalah fardlu kifayah. Nabi Muhammad
SAW memotivasi para umatnya untuk mempelajari dan mengajarkannya sebagaimana
disebutkan dalam banyak hadits.5 Salah satunya yaitu:
َو ُىَو أَّوُل ِع لٍم ُي ْن زُع ِم ْن اَّم تي, َو ُىَو ُي نَس ى, فإنُو نْص ُف الِع لِم, َو َع ِّلُم ْو اَىا الناَس, َت َعلُم ْو ا الَفَر ائَض
()رواه ابن ماجو
1
Pasal 171 huruf a KHI
2
Muhammad Syarbini al-khatib, mughni al-Muhtaj, juz 3, (Kairo: Mushthafa al-Baby al-Halaby, 1958), hlm. 3.
3
T.M. Hasby ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Yogyakarta: Mudah, tt, hlm. 8
4
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris Hukum Pembagian Warisan Menurut Syariat Islam,
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2013, hlm. 5.
5
Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, Jakarta: Gema Insani, 2006, hlm. 560.
6
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, kitab al-faraidh, Juz 2, No. 2719, Beirut: Dar al-Fikr, tt, hlm 908.
Dasar Hukum Waris, Berikut merupakan ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadits yang
membahas tentang waris dan kemudian menjadi dasar hukumnya.
a. Al-Qur‟an
1. QS An-Nisa‟ [4]: 176:
Artinya:“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia,
dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai dua saudara perempuan, maka bagi
saudara perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya
yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan) jika ia tidak
mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yag ditinggalkan oleh orang yang meninggal.
Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudarasaudara laki dan perempuan,
maka bagian saudara lakilaki sebanyak dua bagian saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS An-Nisa‟[4]: 176)7
b. Hadist
1. Hadis riwayat Muttafaq ‘alaih:
الِح ُقْو ا ا ْلَفَر ائَض بأْىلَها فَم ا بِقَي فِِلْو لى رُج ٍل ذَك ر)متفق عليو
Artinya:“Nabi SAW. Bersabda: “Berikanlah bagianbagian tertentu kepada orang-
orang yang berhak. Dan sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (deket
kekerabatannya).” (al-Bukhari dan Muslim).8
3. Pelaksanaan Wasiat
Kompilasi pasal 171 huruf f menyatakan bahwa wasiat adalah pemberian suatu
benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah
pewaris meninggal dunia.11
c) Rukun waris ada tiga, yaitu:
1. Muwarits (orang yang meninggal dunia dan meninggalkan hartanya)
2. Mauruts (harta waris)
3. Warits (ahli waris)12
d) Sebab-sebab seseorang menerima harta waris ada tiga, yaitu:
1. Al-Qarabah atau pertalian darah yang dimaksud di sini yaitu semua ahli waris
yang ada pertalian darah, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun
anak-anak. Bahkan bayi yang masih di dalam kandungan pun mempunyai hak
yang sama dengan yang sudah dewasa. Namun dalam hal ini, berlaku ketentuan
ahli waris yang lebih dekat dapat menutupi (menghijab) ahli waris yang jauh,
sesuai ketentuan Al-Qur‟an dan al-Sunnah. Dan bagian wanita separuh dari laki-
laki.
2. Al-Mushaharah (Hubungan Perkawinan), Perkawinan yang sah antara seseorang
laki-laki dan seorang perempua, baik menurut hukum agama dan kepercayaan
maupun hukum Negara.
3. Al-Wala‟ , Al-Wala‟ adalah hubungan kewarisan karena seseorang
memerdekakan hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong-menolong. Bagian
yang diperoleh yaitu 1/6 dari harta pewaris. Dalam kompilasi sebab yang ketiga
10
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2013, hlm. 308-312.
11
Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta: PT. rineka Cipta, 1994, hlm. 275
12
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 206.
ini tidak dicantumkan, karena perbuddakan sudah tidak diakui. Sehingga hanya
tercantum dua sebab yaitu sebab yang pertama dan kedua.13
Pembagian waris secara ilmu faraidh, Dalam ilmu faraidh, terdapat pembagian harta waris
yang bagiannya berbeda antara ahli waris tergantung status kedekatan kekerabatannya dan
situasi. Misalnya, seorang istri yang mempunyai anak atau tidak ketika ditinggalkan pewaris
akan mendapatkan bagian yang berbeda. Berikut akan dijelaskan mengenai bagian masing-
masing ahli waris. Ahli waris terbagi menjadi dua, yaitu ahli waris Nasabiyah dan ahli waris
Sababiyah.
1. Ahli Waris Nasabiyah ,dibagi menjadi dua. Pertama, ashhab al-furudl al-muqaddarah,
yaitu penerima bagian tertentu yang telah ditentukan al-Qur‟an dan pada umunya
perempuan. Kedua, ashhab al‘ushubah, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa
setelah diambil oleh ashhab al-furudl al-muqaddarah dan pada umumnya ahli waris
penerima sisa ini laki-laki
Bagian warisan ashhab al-furudl al-muqaddarah akan dikemukakan menurut urutan
pasal-pasal yang ada dalam kompilasi sebagai berikut:
1) Anak perempuan, menerima bagian: ½ bila hanya seorang, 2/3 bila dua orang atau
lebih, dan sisa, bersama-sama anak laki-laki, dengan ketentuan ia menerima
separuh bagian anak laki-laki.
2) Ayah, menerima bagian: Sisa, bila tidak ada far’u waris (anak atau cucu), 1/6 bila
bersama anak lakilaki (dan atau anak perempuan), 1/6 tambah sisa, jika bersama
anak perempuan saja, dan 2/3 sisa dalam masalah gharrawain (ahli warisnya
terdiri dari suami/istri, ibu dan ayah).
3) Ibu, menerima bagian: 1/6 bila ada anak atau dua orang saudara lebih, 1/3 bila
tidak ada anak atau saudara dua orang lebih dan atau bersama satu orang saudara
saja, dan 1/3 sisa dalam masalah gharrawain.
4) Saudara perempuan seibu, menerima bagian: 1/6 satu orang tidak bersama anak
dan ayah dan 1/3 dua orang atau lebih, tidak bersama anak dan ayah.
5) Saudara perempuan sekandung, menerima bagian: ½ satu orang, tidak ada anak
dan ayah, 2/3 dua orang atau lebih, tidak bersama anak dan ayah, sisa bersama
13
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia Edisi Revisi, hlm. 323-328.
saudara laki-laki sekandung, dengan ketentuan ia menerima separuh bagian laki-
laki („ashabah bi alghair), dan sisa, karena ada anak atau cucu perempuan garis
laki-laki (‘ashabah ma’a al-ghair).
6) Saudara perempuan seayah, menerima bagian: ½ satu orang, tidak ada anak dan
ayah, 2/3 dua atau lebih, tidak ada anak dan ayah, sisa bersama saudara lakilaki
seayah dengan ketentuan separuh dari bagian saudara laki-laki seayah, 1/6
bersama satu saudara perempuan sekandung, sebagai pelengkap 2/3 (altsulutsain),
dan sisa (‘ashabah ma’a al-ghair) karena ada anak atau cucu perempuan garis laki-
laki.
7) Kakek dari garis ayah, menerima bagian: 1/6 bila bersama anak atau cucu, sisa
bila tidak ada anak atau cucu, 1/6+sisa, hanya bersama anak atau cucu
perempuan, 1/3 (muqasamah) dalam keadaan bersama saudara-saudara sekandung
atau seayah, jika ini pilihan yang menguntungkan, dan 1/6 atau 1/3 x sisa atau
muqasamah sisa bersama saudara-saudara sekandung/seayah dan ahli waris lain,
dengan ketentuan dipilih bagian yang paling menguntungkan.
8) Nenek, menerima bagian 1/6 baik seorang atau lebih.
9) Cucu perempuan garis laki-laki menerima bagian: ½ jika satu orang dan tidak ada
mu’ashshib (penyebab menerima sisa), 2/3 jika dua orang atau lebih, 1/6 bersama
satu anak perempuan (sebagai penyempurna 2/3), dan sisa (‘ashabah bi al-ghair)
bersama cucu laki-laki garis laki-laki.
2. Ahli Waris Sababiyah
Ahli waris sababiyah semuanya menerima bagian furudl al-muqaddarah sebagai berikut:
1) Suami, menerima: ½ bila tidak ada anak atau cucu, dan ¼ bila ada anak atau cucu.
2) Istri menerima bagian: ¼ bila tidak ada anak atau cucu, dan 1/8 bila ada anak atau
cucu.14
Kata kalalah berasal dari kata dasar kalla ) (كّلdengan bentuk masdarnya ,كال ,ِك لّة
,كالًال ,ُك لوال ,كاللة ُك لولة. secara harfiah kata ini berarti ta’iba wa a’ya (letih dan lelah).
Sementara pengertian kalalah menurut istilah , Di kalangan para sahabat ditemukan defenisi
tentang kalalah yang dikemukakan oleh Abu Bakar r.a. Pendapat ini disebutkan sejarawan juga
14
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Kekeluargaan Islam Kontemporer (Analisis Yurisprudensi dengan
Pendekatan Ushuliyah), Jakarta: Kencana, 2004, hlm. 340-343.
didukung oleh Umar bin Khathab, meskipun awalnya beliau menentang pengertian yang
disampaikan Abu Bakar. Menurut Abu Bakar kalālah adalah: “Seseorang yang meninggal dunia
yang tidak mempunyai anak dan ayah”. Para ulama menilai pendapat Abu Bakar ini sejalan
dengan hadits yang diriwayatkan dari Jābir bin Abdullah. Jābir bertanya kepada rasulullah SAW.
“wahai Rasululullah! Sesungguhnya saya mewariskan kalālah. Lalu bagaimana dengan harta
peninggalan saya?” Penting untuk diketahui bahwa ayah Jābir bin Abdullah meninggal sebelum
diturunkan Surah an-Nisa’ ayat 176. Ayah Jabir meninggalkan dua anak sebagai ahli waris, yaitu
Jabir dan saudara perempuan. Dikisahkan bahwa Jabir ketika meninggal tidak memiliki anak
yang dapat menerima harta warisannya. Satusatunya ahli waris yang akan menerima harta Jabir
adalah saudara perempuannya. Artinya, Jabir menjadi pewaris kalalah karena ia tidak
mempunyai ayah dan anak sebagai ahli waris harta yang ditinggalkannya.
Di kalangan para ulama disebutkan beberapa pengertian tentang pengertian kalalah. Sahib
al-Kasysyaf berkata bahwa kalālah dapat dibagi menjadi tiga katagori, yaitu orang yang tidak
meninggalkan anak dan bapak, orang yang tidak dengan anak dan bapak dari orang yang
ditinggalkan, dan kerabat yang selain dari golongan anak dan bapak.
pengertian harta kalalah. Dalam terminologi hukum kewarisan Islam, selain term harta
kalalah, kadang-kadang juga diistilahkan dengan al-amwāl al-fadhilah untuk jenis harta yang
tidak ada ahli waris yang dapat menerima tersebut. Al-amwāl al-fadhilah dapat diartikan dengan
harta yang berasal dari peninggalan orang Islam yang meninggal dunia dan tidak meninggalkan
ahli waris.15 Sementara dari sudut pandang hukum positif di Indonesia, istilah harta kalalah
disebutkan dalam KUHPdt. Pasal 1126 KUHPdt menyebutkan harta kalalah sebagai “harta tak
terurus”(onbeheerde nalatenschap), yaitu “Jika suatu warisan yang terbuka, tiada seorangpun
yang menuntutnya, ataupun apabila semua waris yang terkenal menolaknya, maka dianggaplah
warisan itu sebagai tak terurus”. Definisi yang lebih konkrit dan jelas tentang harta kalalah
terlihat dari bunyi Pasal 27 UU No. 48 Tahun 2007 yaitu: “Harta kekayaan yang pemiliknya dan
ahli warisnya tidak diketahui keberadaannya.
Harta Kalalah Menurut KHI, Secara garis besar, pengaturan harta kalalah dalam pasal-
pasal KHI dapat dikelompokkan kepada dua hal. Pertama adalah pasal-pasal KHI yang mengatur
tentang ahli waris yang akan menerima harta warisan dari pewaris kalalah serta bagian yang
15
Osman Bin Haji Khalid, Pengurusan di Zaman Rasulullah, dalam Pentadbiran dan Pengurusan dalam Islam,
Persatuan Bekas Mahasiswa Islam Timur Tengah (PBMIT), Kuala Lumpur, 1996, hlm. 17.
diperoleh oleh para ahli waris. Kedua, pasal-pasal KHI yang mengatur tentang kewenangan
Baitul Mal sebagai pengelola harta warisan yang ditinggalkan pewaris kalalah. Berikut adalah
penjelasan mengenai dua persoalan pokok tersebut.
Pasal-pasal dalam KHI yang menjelaskan tentang ahli waris dan bagian yang diperoleh masing-
masing mereka dari harta kalalah terdapat dalam Pasal 181 dan Pasal 182 yang berbunyi;
Pasal 181: Bila seseorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki
dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapatkan seperenam (1/6) bagian. Bila mereka
itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapatkan sepertiga (1/3) bagian.
Pasal 182: Bila seseorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia
mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separuh (½)
bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan
kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga
(2/3) bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-
laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua banding satu dengan saudara
perempuan. Ahli waris yang disebutkan dalam dua pasal di atas ;
Semua ahli waris yang disebutkan dalam tabel berasal dari garis menyamping, yaitu saudara dari
pewaris, baik saudara kandung ataupun saudara tiri. Mereka mendapatkan harta warisan
disebabkan tidak ada penghalang dari garis keturunan, yaitu anak atau cucu orang yang
meninggal. Penetapan mereka sebagai ahli waris dalam KHI didasarkan pada tekstual Alquran
Surah An-Nisa’: 11 dan 12.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas maka Penulis mengambil
permasalahan yakni:
1. Bagaimana kedudukan saudara kandung , saudara seibu dan saudara sebapak dalam
waris kalalah?
2. Apa dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan anak perempuan dari anak laki-laki
beserta saudara laki-laki sebagai penerima wasiat wajibah, bukan sebagai ahli waris
pengganti?
Fokus Penelitian
Penelitian ini Penulis fokuskan pada perspektif ‘Ulaama fiqh tentang kedudukan ahli
waris dari Pewaris kalalah dihubungkan dengan perkara perdata Penetapan Ahli waris di
Tujuan Penelitian
Tujuan dan perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka yang dapat diambil
yakni:
Untuk mengetahui Kedudukan saudara kandung, saudara seibu dan saudara sebapak
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat yang diharapkan dapat berguna untuk semua pihak baik
aspek teoritisnya maupun praktisnya. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
Aspek Teoritis, Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan
menjadi sumber yang menjadi dasar Hakim dalam menggali fakta-fakta hukum suatu
Secara Praktis. Hasil penelitian ini juga diharapkan menarik perhatian para praktisi
hukum tentang pentingnya kecermatan dalam menilai alat bukti khususnya alat bukti
saksi pada proses pemeriksaan perkara, sehingga putusannya memenuhi rasa keadilan
dan setiap putusan yang dibuat oleh Hakim Pengadilan Agama khususnya akan
sebagai berikut:
Maulana Hasanuddin Banten, Namun ada penelitian terdahulu yang relevan yang membahas
3. Selain dua judul Skripsi di atas, ada beberapa jurnal ilmiah yang juga membahas
mengenai saksi Istifadhah. Diantaranya adalah jurnal ilmiah yang berjudul “Derajat
Syahadah Istifadhah dan Testimonium de auditu” ditulis oleh Drs. Abdul Malik, yang
dimuat oleh admin Pengadilan Agama Batulicin pada tanggal 9 Juni 2012. Jurnal ini
dilatar belakangi oleh persoalan apakah Syahadah istifadhah maupun testimonium de
auditu termasuk alat bukti yang memenuhi syarat bagi suatu kesaksian dalam hukum
acara perdata Agama atau tidak? Maka dalam jurnal ini dibahas mengenai keabsahan
Syahadah Istifadhah sebagai alat bukti di dalam persidangan.
4. Dari kedua skripsi dan jurnal yang membahas tentang saksi istifadhah di atas,
belum ada yang meneliti tentang “Eksistensi Alat Bukti Saksi Istifadhah dalam Sistem
Peradilan di Indonesia.” serta bagaimana status legalitas alat bukti saksi istifadhah bisa
diterima sebagai suatu alat bukti? kemudian dasar hukum apa yang menjadi
pertimbangan Hakim terhadap putusan? Dan bagaimana pengaruh alat bukti saksi
istifadhah dalam pengambilan putusan Hakim? kemudian belum ada yang membahas
bagaimana analisis yuridis putusan Nomor;
294/Pdt.G/2021/PA.Tgrs. tentang itsbat nikah, berkaitan dengan diterimanya saksi
istifadhah dalam pertimbangan hukum Hakim yang
Kerangka Pemikiran
yang nantinya akan mencapai proses akhir yaitu sebuah putusan atau penetapan.
kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit, karena pembuktian
berkaitan dengan kemampuan merekontruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past event)
sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam
proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang bersifat absolut (ultimate truth), tetapi
bersifat kebenaran relatif atau bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable), namun untuk
undang (lembaga legeslatif) semata, tetapi hakimpun peran yang sangat besar dalam
pembangunan hukum. Bahkan hukum itu dalam praktiknya banyak diciptakan oleh
hakim. Hakim demi kepastian hukum dalam memutus perkara terikat oleh hukum acara, kelalaian
menerapkan hukum acara akan menyebabkan putusan sebaik apapun akan menjadi batal demi
hukum. Hal tersebut karena menyadari bahwa hakim adalah manusia biasa yang pengetahuannya
terbatas , yakni mengetahu sebatas yang dzahir, dan hanya Allah lah yang mengetahui segala yang
rahasia, maka dapat dipahami kebenaran yang diperoleh atas ijtihad hakim adalah kebenaran formil,
Salah satu tugas Hakim adalah menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi
dasar gugatan telah
benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti
apabila Penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila
penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatannya,
maka gugatannya akan dikalahkan. Kecermatan Hakim untuk mengetahui tentang
duduk perkara yang sebenarnya adalah tugas yang harus diperhatikan.
Supomo dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri”
menerangkan bahwa pembuktian mempunyai arti luas dan arti terbatas. Di
16
John J. Cound, cs. Civil Procedure : Cases and Material (West Publishing: St. Paul Minn, 1985), h. 867
dalam arti luas membuktikan berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan
syarat-syarat bukti yang sah. Di dalam arti yang terbatas membuktikan hanya
diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh
tergugat. Apabila yang tidak dibantah itu tidak perlu dibuktikan. Kebenaran
dari apa yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan.7 Sudikno Mertokusumo dalam bukunya
“Hukum Acara Perdata
Indonesia” mengatakan bahwa membuktikan mengandung beberapa
pengertian yaitu arti logis, konvensional dan yuridis. Membuktikan dalam arti
logis adalah memberikan kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi
setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Untuk
membuktikan dalam arti konvensional, di sini pun berarti juga memberi
kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian nisbi atau
relatif sifatnya dan membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi
dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan
guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.17
Alat-alat bukti yang dijadikan dasar oleh hakim dalam memutus perkara diatur dalam
Pasal 164 HIR yang menyebutkan 5 macam alat-alat
bukti, ialah : a. Bukti surat; b. Bukti saksi; c. Persangkaan; d. Pengakuan; e. Sumpah.
Salah satu alat bukti yang diakui eksistensi dalam persidangan adalah bukti saksi, dan
pembuktian dengan saksi dalam praktek lazim disebut kesaksian.
Dalam Hukum Acara Perdata pembuktian dengan saksi sangat penting
terutama untuk perjanjian-perjanjian dalam dalam masyarakat, di mana
pada umumnya karena adanya saling percaya mempercayai tidak dibuat
sehelai surat pun. Oleh karena bukti berupa surat tidak ada, pihak-pihak akan
berusaha untuk mengajukan saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan
dalil-dalil yang dimajukan di muka persidangan. Dalam Hukum Adat
dikenal 2 macam saksi, yaitu saksi-saksi yang secara kebetulan melihat,
mendengar sendiri peristiwa-peristiwa yang menjadi persoalan dan saksi-
saksi yang pada waktu perbuatan hukum itu dilakukan, sengaja telah diminta
untuk menyaksikan perbuatan hukum tersebut. Yang dapat diterangkan oleh
17
Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 188
saksi hanyalah apa yang dilihat, didengar atau dirasakan sendiri, lagi pula
tiap-tiap kesaksian harus disertai alasan-alasan apa sebabnya, bagaimana
sampai ia mengetahui hal-hal yang diterangkan olehnya.
18
M MR. R. Tresna, Komentar HIR, (Ttp:, tt), h. 151R. R. Tresna, Komentar HIR, (Ttp:, tt), h. 151
19
Duduk Perkara Putusan Nomor 294/Pdt.G/2021/PA.Tgrs. Tentang Itsbat Nikah
20
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 798
Ijtihad hakim sangat diperlukan dalam setiap pemeriksaan perkara, dari ijtihad
tersebut akan lahir suatu penemuan hukum, atau penafsiran hukum. Semakin
dinamisnya kehidupan di masyarakat menyebabkan kaidah hukum selalu tertinggal.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang Penulis gunakan adalah penelitian yuridis norrmatif yang bersifat
kualitatif, yaitu norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
mengacu pada putusan Pengadilan. Penelitian
ini mengacu pada putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor; 294 Pdt.G/2021/PA.Tgrs.
tentang perkara Itsbat Nikah. Dalam penelitian ini Penulis menggunakan penelitian kualitatif,
adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati.
Pengumpulan Data
a. Studi Dokumentasi. Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
studi dokumentasi terhadap salinan putusan serta berkas-berkas lain yang berhubungan
dengan putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor; 294 Pdt.G/2021/PA.Tgrs. tentang
perkara Itsbat Nikah.
b. Wawancara Mendalam (Depth Interview). Wawancara dilakukan untuk melengkapi isi
dari dokumen tersebut. Adapun tahapan wawancara sebagai berikut :1) Menyusun daftar
pertanyaan, 2) Mengadakan janji dengan Hakim yang menjadi Ketua Majelis yang
(library research) yakni pengumpulan data melalui buku-buku yang berkaitan dengan
perihal judul penelitian, supaya bisa menjelaskan dan memaparkan dengan baik dan benar.
Pengolahan Data
Deduktif, yakni pengumpulan data-data yang bersifat umum menjadi hal-hal yang
bersifat khusus.
Teknik Penulisan
Dalam teknik penulisan ini penulis menggunakan beberapa sumber referensi, sebagai
berikut:
Buku Pedoman Penulisan Skripsi UIN “SMH” Banten Tahun 2019.
Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulis dalam menyusun skripsi ini, maka penulis bagi kepada lima
Bab 1, Berupa Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Perumusan
Pembahasan.
Bab 2, Tinjauan Teoritis Tentang Prinsip prinsip Waris Islam yang terdiri dari,
Pengertian dan dasar hokum waris Islam, azas waris Islam (karena perkawinan dan
hubungan darah), kelompok ahli waris dan sisitim hijab (menghalangi) dan mahjub
(terhalang).
Bab 3, Kondisi Objektif Pengadilan Agama Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, meliputi :
Bab 4, kedudukan saudara kandung , saudara seibu dan saudara sebapak dalam Pewaris
kalalah, Pertimbangan hakim dalam menetapkan anak perempuan dari anak laki-laki beserta
saudara laki-laki sebagai penerima wasiat wajibah, Kekuatan Alat Bukti Saksi Istifadhah
dalam Perkara Itsbat Nikah, dan Batasan Kelompok Penerima Wasiiat wajibah dan Ahli
A. Rasyid, Royhan, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1998
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, Jakarta:
Sinar Grafika, 2009
Jurnal Ilmiah, Hapsari, Auerlia Dini Vera Hapsari dan Kawan-kawan, Kekuatan
Pembuktian Penggunaan Saksi Testimonium de Auditu sebagai Alat Bukti Dalam Perkara
Perceraian di Pengadilan Negeri Karanganyar
Jurnal Ilmiah, Asmuni, Testimonium De Auditu Perspektif Hukum Acara Perdata Dan
Fiqh, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 2014)
Cound, John J, cs. Civil Procedure : Cases and Material West Publishing: St. Paul
Minn, 1985
Duduk Perkara Putusan Nomor 294/Pdt.G/2021/PA.Tgrs. Tentang Itsbat Nikah
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2013
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2014 Cetakan ke V
Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 188.