Anda di halaman 1dari 25

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG KEWARISAN DAN PERKAWINAN

A. Kewarisan

1. Pengertian Ilmu Waris

Ilmu waris terdapat beberapa macam definisi, diantaranya ilmu

mawaris disebut al-Irts secara bahasa adalah seseorang yang masih hidup

setelah yang lain mati kemudian orang yang masih hidup mengambil

sesuatu yang telah ditinggalkan oleh orang yang mati. Menurut fiqih adalah

sesuatu yang ditinggalkan oleh si mayit berupa harta ataupun hak-hak si

mayit yang ketika kematiannya menjadi hak ahli waris secara syar’i. Ilmu

mawaris ini juga disebut dengan ‘ilmu Mira>ts. ‘Ilmu Mira>ts adalah

kaidah-kaidah fiqih dan perhitungan untuk mengetahui bagian-bagian ahli

waris atas harta peninggalan si pewaris. (Az-Zuhaili, tt: 340)

Ilmu mawaris ilmu farāidh. farāidh secara bahasa adalah bentuk jama’

dari kata farīdhah (sesuatu yang diwajibkan), kata ini diambil dari kata al-

Fardhu. Secara etimologi kata al-Fardhu memiliki beberapa arti,

diantaranya al-Wājibu (wajib), al-Muqaddaru (diperkirakan), al-Hazzu

(pembatasan), al-Taqdīru (ketentuan), al-Qat’u (ketetapan/kepastian), al-

Muqaddaru al-Mafrūdhu (bagian-bagian yang ditentukan). Sedangkan

secara terminologi ilmu farāidh atau ilmu mawaris adalah ilmu yang

diambil dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ Ulama, dan Ijtihad Ulama untuk
mengetahui ahli waris dan kadar setiap ahli waris serta tata cara

pembagiannya. (Muhibbussabry, 2020: 1)

2. Landasan Hukum Kewarisan

Secara normatif dasar hukum yang mengatur kewarisan dalam Islam

adalah al-Qur’an, Sunnah Maqbulah, dan fiqih sebagai hasil ijtihad para

Fuqoha dalam memahami ketentuan-ketentuan al-Qur’an.(Basyir, 2013: 4)

Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam pertama telah memberikan

penjelasan mengenai hukum kewarisan secara jelas. Meskipun al-Qur’an

telah menjelaskan hukum kewarisan secara rinci, juga terdapat hadits yang

menerangkan beberapa ketentuan hukum kewarisan yang tidak dijelaskan

dalam al-Qur’an. Selain itu ada fiqih sebagai hasil ijtihad para Fuqoha,

sebagai dugaan kuat tentang hukum Allah berdasarkan pemahaman mereka

atas firman Allah swt. dan Hadits Nabi saw.

Sementara itu, di Indonesia terdapat tiga sumber hukum yang

mengatur ketentuan-ketentuan dalam pembagian warisan. Pertama hukum

waris Islam yang diatur dalam al-Qur’an, dan Sunnah maqbulah yang

kemudian diformilkan dalam intruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1

tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. (Tambi, 2018: 44-45) Kedua

adalah hukum adat yang timbul dari alam pikiran tradisional masyarakat

Indonesia. Hukum adat ini bersendikan pada prinsip-prinsip yang timbul

dari alam pikiran yang dijiwai sifat komunal (kebersamaan), kekeluargaan,

persatuan, dan kesatuan. (Sembiring, 2021: 13) Ketiga adalah hukum


perdata, hukum yang berlaku paling umum di Indonesia dan beberapa

aturannya mirip dengan kebudayaan barat. Hal ini disebabkan karena

hukum ini diadopsi oleh Indonesia dari era pemerintahan penjajaha Hindia

Belanda. Hukum waris perdata ini diberlakukan bagi orang Eropa dan orang

yang disamakan dengan orang-orang Eropa seperti orang Tionghoa.

(Elviana, 2018: 116-117)

3. Sebab-sebab kewarisan

Sebab-sebab kewarisan yang disepakati dalam Islam bergantung atas

tiga hal, pertama karena adanya kekerabatan (Nasabiyah), kedua karena

adanya perkawinan (sababiyah), ketiga karena adanya hubungan bekas

budak dengan orang yang memerdekakannya (wala’). (Az-Zuhaili, tt: 346-

348) Dalam buku hukum waris Islam karya K.H. Ahmad Azhar Basyir

dijelaskan bahwa selain tiga sebab di atas terdapat satu sebab kewarisan

yaitu karena tujuan Islam (Jihatul Islam). Jihatul Islam ini adalah Baitul mal

yang menampung harta warisan orang yang tidak meninggalkan ahli waris

sama sekali karena tiga sebab yang telah disebutkan di atas. (Basyir, 2013:

19)

4. Posisi ahli waris dan haknya

Posisi dan hak ahli waris dilihat dari ketentuan pembagiaannya, dapat

digolngkan sebagai berikut:

a. Ahli Waris Dzawul Furu>dh


Ahli Waris Dzawul Furu>dh adalah ahli waris yang bagiannya

telah disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Pertama ahli waris

yang mendapat bagian dua pertiga, mereka adalah dua anak perempuan

atau lebih yang tidak mewarisi bersama saudara laki-laki, sebagaimana

dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 11. Selain itu mereka adalah dua

cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki yang tidak mewarisi

bersama cucu laki-laki dari anak laki-laki. Selanjutnya ada dua saudara

perempuan sekandung atau lebih apabila tidak mewarisi bersama saudara

laki-laki sekandung. Kemudian ahli waris yang mendapat bagian dua

pertiga secara bersamaan adalah dua atau lebih saudara perempuan

seayah yang tidak mewarisi bersama saudara laki-laki seayah.

Kedua ahli waris yang mendapat bagian setengah adalah seorang

anak perempuan yang tidak mewarisi bersama anak laki-laki. Hal ini

dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 12. Selanjutnya ahli waris yang

mendapat bagian setengah adalah seorang cucu perempuan dari anak

laki-laki yang tidak mewarisi bersama cucu laki-laki. Kemudian ada

sudara perempuan sekandung yang tidak mewarisi bersama saudara laki-

laki sekandung, hal ini dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 176.

Selanjutnya ada saudara perempuan seayah yang tidak mewarisi dengan

saudara laki-laki seayah. Selanjutnya ahli waris yang mewarisi ½ harta

dari pewaris adalah suami apabila tidak memiliki keterununan ke bawah.

Ketentuan ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 12.


Ketiga adalah ahli waris yang mewarisi sepertiga harta peninggalan

pewaris. Mereka adalah ibu pewaris ketika si pewaris tidak memiliki

keturunan ke bawah dan tidak memiliki saudara laki-laki. Selanjutnya

ada dua orang atau lebih saudara seibu baik itu laki-laki semua,

perempuan semua, maupun laki-laki dan perempuan apabila tidak ada

ahli waris anak dan ayah. Ketentuan ini sebagaimana dijelaskan dalam

surat an-Nisa ayat 11 - 12.

Keempat ahli waris yang mendapat bagian seperempat dari harta

peninggalan pewaris. Mereka yang mendapat ketentuan di atas adalah

suami apabila pewaris memiliki keturunan dan istri apabila pewaris tidak

memiliki keturunan. Ketentuan ini sebagimana dijelaskan dalam al-

Qur’an surat an-Nisa’ ayat 12.

Kelima ahli waris yang mendapat bagian seperenam dari harta

peninggalan pewaris adalah cucu perempuan dari anak laki-laki apibila

mewarisi dengan seorang anak perempuan dan tidak bersama cucu laki-

laki. Selanjutnya ahli waris yang berhak mendapat harta warisan

seperenam bagian adalah ibu dan ayah apabila pewaris memiliki

keturunan ke bawah. Selanjutnya ada kakek apabila pewaris memiliki

keturunan dan tidak ada bapak. Kemudian ada saudara perempuan

sebapak yang mewarisi bersama saudara perempuan sekandung dan tidak

mewarisi bersama saudara laki-laki seayah. Kemudian ahli waris yang

mendapat bagian seperenam harta warisan dari pewaris adalah seorang


saudara laki-laki maupun perempuan seibu, sesuai dengan ketentuan

dalam surat an-Nisa’ ayat 12.

Keenam, ahli waris yang mendapat bagian seperdelapan dari harta

peninggalan pewaris adalah istri apabila pewaris memiliki keturunan ke

bawah. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam surat an-Nisa ayat 12.

( Az-Zuhaili, tt: 378-382)

b. Ahli waris ‘asha>bah

Ahli waris ‘asha>bah adalah ahli waris yang tidak ditentukan

bagiaannya. Ahli waris ‘asha>bah ini akan menerima seluruh harta

warisan pewaris apabila tidak ada ahli waris dzaw al-furu>dh sama

sekali. Akan tetapi, bila mana terdapat ahli waris dzaw al-furu>dh maka

ahli waris‘asha>bah akan menerima sisanya dan apabila tidak ada sisa

sama sekali maka ahli waris ‘asha>bah tidak mendapat bagian apapun.

(Basyir, 2013: 38) Dalam ilmu fara>idh terdapat dua macam ‘asha>bah

yaitu ‘asha>bah sababiyah dan nasabiyah. ‘Asha>bah sababiyah terjadi

karena adanya sebab yaitu sebab memerdekakan budak. Ketika seorang

budak yang dimerdekakan meninggal dan tidak memiliki kerabat secara

nasab, maka tuan yang memerdekakannya yang akan mewarisi harta

peninggalannya. (Az-Zuhaili, tt: 414 - 415)

Sedangkan ‘asha>bah nasabiyah terjadi karena adanya hubungan

nasab dengan pewaris. Mereka ini adalah semua kerabat laki-laki


pewaris, seperti anak, ayah, saudara laki-laki, dan paman (saudara ayah).

‘Asha>bah nasabiyah terbagi menjadi tiga macam, pertama ‘Asha>bah

bi an-nafsi yaitu setiap laki-laki yang nasabnya dekat dengan pewaris.

Menurut Imam Abu Hanifah ada empat kelompok yaitu jihatu al-

bunuwwah (anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan terus ke

bawah), jihatu al-ubuwwah (ayah, kekek (bapaknya bapak), dan terus ke

atas), jihatu al-ukhuwwah (saudara laki-laki sekandung/seayah, anak

laki-laki dari saudara laki-laki sekandung/seayah), dan jihatu

al-‘umumah (saudara laki-laki ayah sekandung/seayah). Para ulama

menjelaskan bahwa jihatu al-bunuwah lebih didahulukan dari pada

jihatu al-ubuwwah. Dan jihatu al-ubuwwah didahulukan dari pada jihatu

al-ukhuwah, dan jihatu al-ukhuwwah didahulukan dari pada jihatu

al-‘umumah. (Az-Zuhaili, tt: 416-417) Oleh karena itu, apabila terdapat

ahli waris anak maka jalur ayah termahjub oleh anak, begitu pula

seterusnya.

Kedua adalah ‘Asha>bah bi al-Ghair adalah ahli waris perempuan

yang memiliki bagian pasti bila bebarengan dengan ahli waris laki-laki

yang sejajar, maka ahli waris perempuan tersebut menjadi ahli waris

‘Asha>bah karena ditarik oleh ahli waris laki-laki yang sejajar tersebut.

(Az-Zuhaili, tt: 418) Seperti anak perempuan ditarik oleh anak laki-laki,

cucu perempuan ditarik oleh cucu laki-laki, saudara perempuan

sekandung ditarik oleh saudara laki-laki sekandung, saudara perempuan

seayah ditarik oleh saudara laki-laki seayah.


Ketiga adalah ‘Asha>bah ma’a al-ghair adalah bagian ‘Asha>bah-

nya saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah bila

bersamaan dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-

laki. (Az-Zuhaili, tt: 419)

c. Dzawu al-Arha>m

Ahli waris dzawu al-arha>m adalah ahli waris yang mempunyai

hubungan kekerabatan dengan pewaris, tetapi bukan sebagai golongan

ahli waris dzaw al-furu>d dan ‘asha>bah. (Az-Zuhaili, tt: 451) Ahli

waris dzawu al-arha>m berhak menerima harta warisan apabila dalam

kondisi, pertama tidak mewarisi harta bersama dzaw al-furu>d, karena

ahli waris dzaw al-furu>d berhak atas radd (sisa harta). Kedua dalam

kondisi tidak mewarisi bersama ‘asha>bah, karena ahli waris ‘asha>bah

berhak atas seluruh harta warisan pewaris apabila tidak mewarisi

bersama dzaw al-furu>d dan menerima sisanya apabila bersama-sama

dengan ahli waris dzaw al-furu>d. (Basyir, 2013: 89-90) Oleh karena itu

ahli waris dzawu al-arha>m hanya bisa mewarisi harta waris pewaris

apabila tidak ada ahli waris dzaw al-furu>d dan asha>bah sama sekali.

5. Kedudukan anak sebagai ahli waris

Kedudukan anak sebagai ahli waris telah diatur dalam Qur’an Surat

an-Nisa’ ayat 11, dalam ayat tersebut dijelaskan bagian anak laki-laki dua
kali lipat dari bagian anak perempuan apabila mereka mewarisi secara

bersama-sama.

‫يوصيكم الّله ْيف اوالدكم للّذ كر مثل حّظ االنثينيۚ فان كّن نساء فوق اثنتني فلهّن ثلثا‬
... ۗ‫ما تركۚ وان كانت واحدة فلها الّنصف‬
Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian
warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya
perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu
seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang
ditinggalkan)...

Lebih lanjut, dalam ayat di atas dijelaskan apabila anaknya

perempuan semua lebih dari dua maka bagiannya dua per tiga dibagi

secara bersama-sama dan apabila anaknya hanya satu anak perempuan,

maka bagiannya setengah dari harta peninggalan pewaris. Selain surat an-

Nisa ayat 11 yang mengatur tentang kewarisan anak, juag ada hadits yang

menjadi dasar pembagian waris terhahadap anak, sebagaimana hadits

yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas RA.

‫أحْل قوا الفرائض بأهلها فما بقي فهو ألوىل رجل ذكر‬

Berikan bagian warisan itu kepada ahli warisnya, selebihnya


menjadi milik laki-laki yang paling dekat.

Kewarisan anak menurut hukum positif di Indonesia telah diatur

dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 176. Sama seperti ketentuan

dalam surat an-Nisa ayat 11, dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 176
dijelaskan bahwa, anak perempuan apabila ia mewarisi hanya seorang diri

maka bagiannya adalah setengah dari harta peninggalan pewaris. Apabila

anak perempuan lebih dari dua orang maka bagiannya dua pertiga dari

harta peniggalan pewaris. Kemudian apabila anak perempuan tersebut

mewarisi bersama dengan anak laki-laki bagian anak laki-laki dua kali

lipat lebih banyak dari bagian anak perempuan.

Menurut KHI dan Sunni ahli waris anak laki-laki disebut dengan

ahli waris ‘asha>bah. Sedangkan menurut Syi’ah dan Hazairin ahli waris

anak laki-laki disebut dengan ahli waris qarabah. Anak laki-laki apabila

mewarisi dengan ahli waris lain yang tidak terhijab, anak laki-laki sebagai

ahli waris ‘asha>bah menerima sisa dari ahli waris dzawu al-furu>dh.

Apabila ada ahli waris lain yang termahjub dengan anak laki-laki maka

anak laki-laki mengambil semua harta warisan. Jika anak laki-laki lebih

dari satu orang maka harta warisan dibagi secara rata di antara para anak

laki-laki tersebut. Kemudian apabila anak laki-laki tersebut mewarisi

bersama anak perempuan maka anak perempuan ditarik oleh anak laki-

laki sebagai ahli waris ‘ashabah bi al-gaer. Sehingga anak perempuan

tersebut mewarisi secara bersama-sama dengan anak laki-laki dengan

ketentuan anak laki-laki bagiannya dua kali lipat lebih banyak dari anak

perempuan.

Dalam mewarisi harta warisan orang tuanya, anak perempuan

mewarisi harta orang tuanya dalam dua keadaan, pertama sebagai dzawu
al-furu>dh, kedua ‘ashabah bi al-gair. Anak perempuan menjadi ahli

waris dzawu al-furu>dh apabila tidak mewarisi bersama anak laki-laki.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 11,

dalam ayat tersebut dijelaskan apabila ada lebih dari dua anak perempuan

mewarisi harta orang tuanya secara bersama-sama maka bagiannya dua

pertiga dari dari harta orang tuanya dibagi secara rata. Kemudian apabila

hanya ada satu anak perempuan maka bagian anak tersebut adalah

setengah dari harta peninggalan orang tuanya.

‫َف ِاْن ُكَّن ِنَس ۤاًء َفْو َق اْثَنَتِنْي َفَلُه َّن ُثُلَث ا َم ا َتَر َك ۚ َو ِاْن َك اَنْت َو اِح َد ًة َفَلَه ا‬...
... ۗ ‫الِّنْصُف‬

...Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih


dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.
Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh
setengah (harta yang ditinggalkan)... (Q.S. an-Nisa’ [4] : 11)

Selanjutnya anak perempuan sebagai ahli waris ‘ashabah bi al-gair

apabila mewarisi harta peninggalan orang tuanya bersama dengan anak

laki-laki. Anak perempuan mewarisi harta peninggalan orang tuanya

bersama anak laki-laki menjadi ahli waris ‘ashabah bi al-gair dengan

ketentuan bagian anak laki-laki dua kali lipat lebih banyak dari pada anak

perempuan.

... ۚ‫يوصيكم الّله يف اوالدكم للّذ كر مثل حّظ االنثيني‬

Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian


warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan...(Q.S. an-Nisa’ [4] :
11)

B. Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan salah satu dari sunnatullah yang umum terjadi

pada setiap makhluk Tuhan, baik itu pada manusia, hewan, maupun

tumbuhan. Sebagaimana firman Allah swt,

‫ومن كّل شيء خلقنا زوجني لعّلكم تذّك رون‬

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu


mengingat (kebesaran Allah). (Q.S. az-Zariyat [51] : 49)

Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan

bagi manusia untuk melanjutkan keturunan, setelah masing-masing

pasangan siap untuk melakukan peranannya dalam mewujudkan tujuan

perkawinan.(Sabiq, 2008: 196-197) Hal ini telah dijelaskan oleh Allah swt

melalui firmannya,

...‫ٰياّيها الّناس اّنا خلقنكم ّم ن ذكر ّو انثى‬

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan... (Q.S. al-Hujurat [49] : 13)

Dalam ayat yang lain,


‫ٰٓياّيه ا الّن اس اّتق وا رّبكم اّل ذي خلقكم ّم ن ّنفس ّو اح دة ّو خل ق مْنه ا زوجه ا وبّث‬
...‫منهما رجاال كثريا ّو نساء‬

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah


menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan
pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak...(Q.S. an-
Nisa [4] : 1)

Perkawinan menurut hukum agama adalah suatu perbuatan suci yang

mengikat anatara dua belah pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran

Tuhan Yang Maha Esa, supaya kehidupan berkeluarga dan berumah tangga

serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama

masing-masing. Jadi perkawinan apabila dilihat dari kacamata agama adalah

suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap

agama yang dianut oleh kedua mempelai beserta kerabatnya.

Perkawinan menurut hukum adat di Indonesia adalah suatu perikatan

perdata, perikatan adat, sekaligus perikatan kekerabatan dan ketetanggaan.

Jadi menurut hukum adat perkawinan tidak hanya hubungan perdata seperti

hak dan kewajiban suami istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan

kewajiban orang tua. Akan tetapi, perkawinan juga menyangkut hubungan

adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan, ketetanggaan serta

menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.

Perkawinan menurut pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
pasangan suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Hilman, 1990:

7-10)

Menurut Kompilasi Hukum Islam, perkawinan dalam hukum Islam

adalah suatu akad pernikahan yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan

untuk mentaati perintah-perintah Allah swt. dan bagi yang melaksanakannya

akan bernilai ibadah, dengan tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. (KHI BAB II pasal 2-3)

2. Hukum Perkawinan

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum asal perkawinan,

mayoritas ulama Syafi’iyah berpendapat hukum perkawinan mubah.

Madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali berpendapat bahwa hukum perkawinan

sunnah, dan madzhab Dzahiri berpendapat bahwa hukum perkawinan adalah

wajib. Apabila dilihat dari segi kondisi pada seseorang hukum perkawinan

bisa menjadi:

a. Wajib

Bagi seseorang yang sudah mampu kawin dan nafsunya sudah

mendesak dan takut terjerumus dalam perbuatan zina maka bagi dia

hukumnya wajib. Karena menjauhkan diri dari perbuatan haram

hukumnya wajib, sedangkan untuk itu tidak dapat dilakukan dengan baik

kecuali dengan jalan perkawinan.


Sementara jika nafsu seseorang telah mendesak, sedangkan dirinya

belum mampu untuk membina dan memenuhi kehidupan rumah tangga,

maka hendaknya dia menjaga kesuciannya sampai Allah melapangkan

rizkinya untuk membina rumah tangga, sebagaimana firman Allah swt

... ۗ‫وليستعفف اّلذين ال جيدون نكاحا حىّت يغنيهم الّله من فضله‬

Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga


kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka
dengan karunia-Nya... (Q.S. an-Nur [24] : 33)

Selain itu, di dalam sebuah hadits apabila seseorang belum mampu

melaksanakan perkawinan maka hendaklah dia berpuasa, sebagaimana

hadits riwayat jama’ah dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah saw bersabda

‫ فإّنه أغّض للبصر وأحصن‬،‫يا معشر الّش باب من استطاع منكم الباءة فليتزّو ج‬
‫ ومن مل يستطع فعليه بالّص وم فإّنه له وجاء‬،‫للفرج‬

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian


berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih
menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan
barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa),
karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”

b. Sunnah

Adapun bagi orang yang nafsunya sudah mendesak dan

mampu untuk membina kehidupan rumah tangga, tetapi masih

mampu untuk menahan dirinya dari perbuatan zina maka bagi dia

sunnah hukumnya melakukan perkawinan.


c. Haram

Adapun bagi laki-laki yang belum mampu memberikan

nafkah lahir dan batin kepada istrinya dan nafsunya tidak

mendesak, maka bagi dia haram hukumnya melaksanakan

perkawinan. Begitu pun bagi perempuan apabila dia sadar tidak

mampu untuk memenuhi hak-hak suaminya, atau ada hal-hal yang

menyebabkan dia tidak mampu melayani hak-hak batin suaminya,

seperti karena sakit jiwa atau kusta atau mukanya bupeng atau ada

penyakit pada kemaluannya maka dia tidak boleh mendustai

suaminya. Oleh karena itu wajib baginya menerangkan pada laki-

lakinya, ibarat seperti seorang pedagang yang wajib menerangkan

keadaan barang-barangnya bilamana didapati suatu aib.

d. Makruh

Adapun bagi laki yang belum mempunyai kemauan kuat

untuk menikah dan belum mampu memberi belanja kepada

istrinya, meskipun tidak merugikan istrinya maka makruh baginya

untuk melakukan perkawinan.

e. Mubah

Adapun bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh suatu alasan

yang mewajibkannya untuk segera kawin atau karena alasan-

alasan yang mengharamkannya untuk kawin, maka baginya


hukumnya mubah untuk melakukan perkawinan. (Sabiq, 2008:

208-211)

3. Syarat dan Rukun Perkawinan

Perkawinan yang merupakan perbuatan yang sangat sakral, tentu

ada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dalam

Undang-Undang Perkawinan, syarat-syarat perkawinan ini dimuat

dalam pasal 6 sampai pasal 12. Menurut Marthalena Pohan syarat

perkawinan ini terbagi menjadi dua, yaitu syarat-syarat meteriil dan

syarat-syarat formil.

a) Syarat-syarat materiil ini adalah syarat terhadap para pihak, terutama

mengenai kehendak, wewenang, dan persetujuan orang lain yang

diperlukan oleh pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Syarat

materiil ini terbagi menjadi dua, pertama syarat meteriil absolut

(mutlak) yang merupakan syarat mutlak yang wajib dipenuhi bagi pihak

yang akan melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat mutlak ini terdiri

atas lima hal:

1) Kedua calon mempelai masing-masing sedang tidak terikat dalam

suatu perkawinan yang sah. Hal ini sebagaimana terdapat dalam

pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan yang di dalamnya dijelaskan pada

asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh

mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh

mempunyai seorang suami. Namun terdapat pengecualian pada asas


ini yang diatur dalam ayat (2) dan pasal 3 UU Perkawinan, yaitu

pengadilan dapat memberikan ijin kepada seorang seorang suami

untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak

yang bersangkutan, serta terpenuhi syarat-syarat yang tertera dalam

pasal 4 dan pasal 5 UU Perkawinan.

2) Adanya persetujuan sukarela (antaradhin) antara suami dan Istri, hal

ini sebagaimana dijelaskan dalam pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan.

Maksud dari persetujuan di sini adalah, kedua mempelai yang akan

melangsungkan perkawinan harus sama-sama rela dan tidak boleh

ada unsur paksaan dari siapapun.

3) Calon suami atau istri minimal harus berusia 19 tahun, hal ini diatur

dalam UU No. 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU No. 1

Tahun 1974.

4) Seorang wanita yang sedang dalam masa tunggu (iddah) karena

perceraian atau ditinggal mati oleh suaminya dilarang menikah lagi.

Hal ini diatur dalam bab 4 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.

Dalam bab tersebut dijelaskan bahwa waktu tunggu seorang janda

yang ditinggal mato oleh suaminya adalah 130 hari. Dan bagi yang

putus perkawinan akibat perceraian maka waktu tunggunya 3 kali

masa suci atau sekurang-kurangnya 90 hari. Dan bagi janda yang

putus perkawinan sedang dalam kondisi hamil maka waktu

tunggunya sampai melahirkan. Kemudian tidak ada waktu tunggu

bagi janda yang belum pernah dicampuri oleh bekas suaminya.


5) Adanya persetujuan dari pihak ketiga, maksudnya di sini adalah

persetujuan wali.

Kedua syarat materiil relatif adalah syarat-syarat yang mengandung

larangan perkawinan tertentu, seperti;

1) Larangan perkawinan bagi yang ada hubungan kekeluargaan, dan

antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agama atau

peraturan lain dilarang. Hal ini diatur dalam pasal 8 UU Perkawinan.

2) Larangan bagi mereka yang oleh hakim diputus telah terbukti

melakukan perzinahan.

3) Larangan perkawinan karena perkawinan terdahulu, hal ini diatur

dalam pasal 10 UU Perkawinan.

b) Syarat-syarat formil adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan tata

cara atau formalitas tentang berlangsungnya perkawinan. Syarat formil

ini terbagi atas empat tahap:

1) Tahap pemberitahuan kehendak untuk melangsungkan perkawinan

oleh kedua calon mempelai kepada Pegawai Pencatatan Perkawinan.

Ketentuan ini diatur dalam pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.

9 Tahun 1975. Kemudian pada ayat (2) dijelaskan bahwa

pemberitahuan perkawinan sekurang-kurangnya harus dilakukan 10

hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.


2) Tahap pengumuman kehendak untuk melangsungkan perkawinan

oleh pegawai pencatatan sipil. Hal ini sebagaimana tertera dalam

pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.

3) Tahap pelaksanaan perkawinan, hal ini diatur dalam pasal 10

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Tata cara perkawinan

dilakukan berdasarkan ketentuan agama dan kepercayaannya

masing-masing dan dilakukan di hadapan Pegawai Pencatatan

Perkawinan dengan dihadiri oleh dua orang saksi.

4) Tahap Penandatanganan Akta Perkawinan sebagai alat bukti

perkawinan yang sah, hal ini diatur dalam pasal 13 Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Penandatanganan ini ditandatangani

oleh kedua mempelai, dua saksi, wali nikah dan Pegawai Pencatat

Perkawinan. (Bing Waluyo, 20: 195-197)

Undang-undang di Indonesia telah menjelaskan bahwa perkawinan itu

dipandang sah apibila dilakukan menurut ketentuan agama dan

kepercayaannya masing-masing. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas

masyarakatnya beragama Islam telah mengadopsi hukum Islam sebagai

hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia yang disajikan dalam

bentuk Kompilasi Hukum Islam. Dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam

dijelaskan bahwa rukun-rukun dari perkawinan harus adanya calon suami

dan calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan pelaksanaan ijab dan qobul.

(KHI Pasal 14)


Dari kelima rukun tersebut tidak boleh ada satupun yang kurang,

karena semuanya itu bersifat kumulatif-imperatif dalam arti tidak akan ada

perkawinan tanpa adanya kelima rukun tersebut. Oleh karena itu, menurut

agama Islam perkawinan tidak akan sah apabila kelima rukun nikah itu tidak

terpenuhi.

4. Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia

Dasar-dasar hukum perkawinan di Indonesia terdapat pada pasal 28 B

ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam pasal tersebut berbunyi:

“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan


melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah” (UUD 1945
pasal 28 B)

Berdasarkan uraian dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 B ayat (1)

dapat diketahui bahwa tujuan dan cita-cita negara Indonesia adalah untuk

memajukan kesejahteraan rakyat dengan memberikan hak kepada setiap

rakyatnya untuk mempertahankan kehidupannya. Dengan demikian,

segenap rakyat Indonesia mempunyai hak untuk melanjutkan keturunan dan

mempunyai hak untuk membentuk keluarga.

Dasar hukum perkawinan juga terdapat di dalam Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 Bab I tentang dasar perkawinan. Di dalam Bab I tersebut

berisi 5 pasal yaitu pasal 1 sampai 5, dalam pasal 1 membahas mengenai

pengertian perkawinan. Dalam pasal 1 Undang-Undang perkawinan

berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU No. 1 Tahun 1974
pasal 1)
Kemudian dalam pasal 2 UU perkawinan membahas mengenai syarat

sahnya suatu perkawinan, dalam pasal tersebut terdiri dari dua ayat yang

berbunyi:

1) “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-


masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
2) “Tiap-tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.” (UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2)
Dasar hukum perkawinan juga terdapat dalam pasal 2 sampai pasal 10

Kompilasi Hukum Islam. Pasal 2 dari Kompilasi Hukum Islam membahas

tentang pengertian perkawinan yang dalam pasal tersebut berbunyi:

“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,


yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan iabadah.” (KHI Bab
II pasal 2)
Kemudian dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam membahas tentang tujuan

dari perkawianan yang dalam pasal tersebut berbunyi:

“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan


rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.” (KHI Bab II
pasal 3)
Kemudian dalam pasal 4 Kompilasi Hukum Islam membahas tentang

keabsahan perkawinan yang dalam pasal tersebut berbunyi:


“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan.” (KHI Bab II pasal 4)

5. Keabsahan Pernikahan Menurut Hukum Positif

Dalam berlangsungnya akad perkawinan menurut agama Islam

dilakukan oleh wali calon mempelai Wanita dengan mempelai pria dan

disaksikan oleh dua orang saksi dan dihadiri oleh pegawai pencatatan

perkawinan yang dilaksanakan di kediaman salah satu calon mempelai

ataupun di Kantor Urusan Agama setempat. Bagi yang beragama

Kristen/Katolik pernikahan dilaksanakan di gereja dan dihadiri oleh pegawai

pencatatan perkawinan. Begitu pula bagi yang beragama Budha, perkawinan

dilaksanakan di depan altar suci sang Budha dan dihadiri pula oleh pegawai

pencatatan pernikahan. Dan begitu pula bagi penganut agama Hindu

pernikahan dilaksanakan di hadapan Brahmana dan dihadiri oleh pegawai

pencatatan perkawinan.

Pencatatan pernikahan diatur dalam pasal 2 PP no 9 Tahun 1975,

dalam pasal ini dijelaskan bahwa pencatatan perkawinan dari orang yang

melakukan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai

pencatatan nikah yang diangkat oleh Menteri agama atau pegawai yang

ditunjuk olehnya, sebagaimana telah diatur dalam UU no 32 tahun 1954

pasal 2 ayat 1 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk. Bagi orang yang

melakukan perkawinan tidak menurut agama Islam, berdasarkan kententuan


PP no. 9 tahun 1975 pasal 2 ayat 2 pencatatan pernikahannya dilakukan oleh

pegawai pencatatn nikah di kantor catatan sipil.(Hilman, 1990: 88)

DAFTAR PUSTAKA

Azhar Basyir, Ahmad. 2013. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press

Az-Zuhaili, Wahbah. tt. Fiqih Islam wa Adillatuhu. tt: Daar al-Fikr

Faisal Tambi, Muhammad. Studi Komparasi Pembagian Warisan Menurut


Hukum Islam dan Hukum Adat. Jurnal. Lex Privatum Vol. VI/No.
9/Nov/2018

Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum perkawinan Indonesia menurut perundang-


undangan, hukum adat, dan hukum agama. Bandung: Mandar Maju

Muhibbussabry. 2020. Fikih Mawaris. Medan: Pusdikra Mitra Jaya

Sabiq, Sayyid. 2008. Fiqhu Sunnah (Terjemahan: Muhammad Nasiruddin al-


Albani). Jakarta: Cakrawala Publishing

Sagala, Elviana. Hak Mewarisi Menurut Ketentuan Hukum Waris Perdata. Jurnal
Ilmiah “Advokasi” Vol. 06/No. 01/Mar/2018
Sembiring, Rosnidar. 2021. Hukum Waris Adat. Depok: PT Raja Grafindo
Persada

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Citra Umbara, 2012

Waluyo, Bing. Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974


Tentang Perkawinan. Jurnal Media Komunikasi Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan Vol 2/No. 1/April/2020

Anda mungkin juga menyukai