A. Kewarisan
mawaris disebut al-Irts secara bahasa adalah seseorang yang masih hidup
setelah yang lain mati kemudian orang yang masih hidup mengambil
sesuatu yang telah ditinggalkan oleh orang yang mati. Menurut fiqih adalah
mayit yang ketika kematiannya menjadi hak ahli waris secara syar’i. Ilmu
mawaris ini juga disebut dengan ‘ilmu Mira>ts. ‘Ilmu Mira>ts adalah
Ilmu mawaris ilmu farāidh. farāidh secara bahasa adalah bentuk jama’
dari kata farīdhah (sesuatu yang diwajibkan), kata ini diambil dari kata al-
secara terminologi ilmu farāidh atau ilmu mawaris adalah ilmu yang
diambil dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ Ulama, dan Ijtihad Ulama untuk
mengetahui ahli waris dan kadar setiap ahli waris serta tata cara
adalah al-Qur’an, Sunnah Maqbulah, dan fiqih sebagai hasil ijtihad para
telah menjelaskan hukum kewarisan secara rinci, juga terdapat hadits yang
dalam al-Qur’an. Selain itu ada fiqih sebagai hasil ijtihad para Fuqoha,
waris Islam yang diatur dalam al-Qur’an, dan Sunnah maqbulah yang
tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. (Tambi, 2018: 44-45) Kedua
adalah hukum adat yang timbul dari alam pikiran tradisional masyarakat
hukum ini diadopsi oleh Indonesia dari era pemerintahan penjajaha Hindia
Belanda. Hukum waris perdata ini diberlakukan bagi orang Eropa dan orang
3. Sebab-sebab kewarisan
348) Dalam buku hukum waris Islam karya K.H. Ahmad Azhar Basyir
dijelaskan bahwa selain tiga sebab di atas terdapat satu sebab kewarisan
yaitu karena tujuan Islam (Jihatul Islam). Jihatul Islam ini adalah Baitul mal
yang menampung harta warisan orang yang tidak meninggalkan ahli waris
sama sekali karena tiga sebab yang telah disebutkan di atas. (Basyir, 2013:
19)
Posisi dan hak ahli waris dilihat dari ketentuan pembagiaannya, dapat
yang mendapat bagian dua pertiga, mereka adalah dua anak perempuan
dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 11. Selain itu mereka adalah dua
cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki yang tidak mewarisi
bersama cucu laki-laki dari anak laki-laki. Selanjutnya ada dua saudara
anak perempuan yang tidak mewarisi bersama anak laki-laki. Hal ini
dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 12. Selanjutnya ahli waris yang
laki sekandung, hal ini dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 176.
ada dua orang atau lebih saudara seibu baik itu laki-laki semua,
ahli waris anak dan ayah. Ketentuan ini sebagaimana dijelaskan dalam
suami apabila pewaris memiliki keturunan dan istri apabila pewaris tidak
mewarisi dengan seorang anak perempuan dan tidak bersama cucu laki-
bawah. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam surat an-Nisa ayat 12.
warisan pewaris apabila tidak ada ahli waris dzaw al-furu>dh sama
sekali. Akan tetapi, bila mana terdapat ahli waris dzaw al-furu>dh maka
ahli waris‘asha>bah akan menerima sisanya dan apabila tidak ada sisa
sama sekali maka ahli waris ‘asha>bah tidak mendapat bagian apapun.
(Basyir, 2013: 38) Dalam ilmu fara>idh terdapat dua macam ‘asha>bah
Menurut Imam Abu Hanifah ada empat kelompok yaitu jihatu al-
bunuwwah (anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan terus ke
ahli waris anak maka jalur ayah termahjub oleh anak, begitu pula
seterusnya.
yang memiliki bagian pasti bila bebarengan dengan ahli waris laki-laki
yang sejajar, maka ahli waris perempuan tersebut menjadi ahli waris
‘Asha>bah karena ditarik oleh ahli waris laki-laki yang sejajar tersebut.
(Az-Zuhaili, tt: 418) Seperti anak perempuan ditarik oleh anak laki-laki,
bersamaan dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-
c. Dzawu al-Arha>m
ahli waris dzaw al-furu>d dan ‘asha>bah. (Az-Zuhaili, tt: 451) Ahli
ahli waris dzaw al-furu>d berhak atas radd (sisa harta). Kedua dalam
dengan ahli waris dzaw al-furu>d. (Basyir, 2013: 89-90) Oleh karena itu
ahli waris dzawu al-arha>m hanya bisa mewarisi harta waris pewaris
apabila tidak ada ahli waris dzaw al-furu>d dan asha>bah sama sekali.
Kedudukan anak sebagai ahli waris telah diatur dalam Qur’an Surat
an-Nisa’ ayat 11, dalam ayat tersebut dijelaskan bagian anak laki-laki dua
kali lipat dari bagian anak perempuan apabila mereka mewarisi secara
bersama-sama.
يوصيكم الّله ْيف اوالدكم للّذ كر مثل حّظ االنثينيۚ فان كّن نساء فوق اثنتني فلهّن ثلثا
... ۗما تركۚ وان كانت واحدة فلها الّنصف
Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian
warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya
perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu
seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang
ditinggalkan)...
perempuan semua lebih dari dua maka bagiannya dua per tiga dibagi
maka bagiannya setengah dari harta peninggalan pewaris. Selain surat an-
Nisa ayat 11 yang mengatur tentang kewarisan anak, juag ada hadits yang
أحْل قوا الفرائض بأهلها فما بقي فهو ألوىل رجل ذكر
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 176. Sama seperti ketentuan
dalam surat an-Nisa ayat 11, dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 176
dijelaskan bahwa, anak perempuan apabila ia mewarisi hanya seorang diri
anak perempuan lebih dari dua orang maka bagiannya dua pertiga dari
mewarisi bersama dengan anak laki-laki bagian anak laki-laki dua kali
Menurut KHI dan Sunni ahli waris anak laki-laki disebut dengan
ahli waris ‘asha>bah. Sedangkan menurut Syi’ah dan Hazairin ahli waris
anak laki-laki disebut dengan ahli waris qarabah. Anak laki-laki apabila
mewarisi dengan ahli waris lain yang tidak terhijab, anak laki-laki sebagai
ahli waris ‘asha>bah menerima sisa dari ahli waris dzawu al-furu>dh.
Apabila ada ahli waris lain yang termahjub dengan anak laki-laki maka
anak laki-laki mengambil semua harta warisan. Jika anak laki-laki lebih
dari satu orang maka harta warisan dibagi secara rata di antara para anak
bersama anak perempuan maka anak perempuan ditarik oleh anak laki-
ketentuan anak laki-laki bagiannya dua kali lipat lebih banyak dari anak
perempuan.
mewarisi harta orang tuanya dalam dua keadaan, pertama sebagai dzawu
al-furu>dh, kedua ‘ashabah bi al-gair. Anak perempuan menjadi ahli
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 11,
dalam ayat tersebut dijelaskan apabila ada lebih dari dua anak perempuan
pertiga dari dari harta orang tuanya dibagi secara rata. Kemudian apabila
hanya ada satu anak perempuan maka bagian anak tersebut adalah
َف ِاْن ُكَّن ِنَس ۤاًء َفْو َق اْثَنَتِنْي َفَلُه َّن ُثُلَث ا َم ا َتَر َك ۚ َو ِاْن َك اَنْت َو اِح َد ًة َفَلَه ا...
... ۗ الِّنْصُف
ketentuan bagian anak laki-laki dua kali lipat lebih banyak dari pada anak
perempuan.
B. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
pada setiap makhluk Tuhan, baik itu pada manusia, hewan, maupun
Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan
perkawinan.(Sabiq, 2008: 196-197) Hal ini telah dijelaskan oleh Allah swt
melalui firmannya,
mengikat anatara dua belah pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran
Tuhan Yang Maha Esa, supaya kehidupan berkeluarga dan berumah tangga
serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama
suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap
Jadi menurut hukum adat perkawinan tidak hanya hubungan perdata seperti
hak dan kewajiban suami istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
pasangan suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Hilman, 1990:
7-10)
adalah suatu akad pernikahan yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan
2. Hukum Perkawinan
wajib. Apabila dilihat dari segi kondisi pada seseorang hukum perkawinan
bisa menjadi:
a. Wajib
mendesak dan takut terjerumus dalam perbuatan zina maka bagi dia
hukumnya wajib, sedangkan untuk itu tidak dapat dilakukan dengan baik
hadits riwayat jama’ah dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah saw bersabda
فإّنه أغّض للبصر وأحصن،يا معشر الّش باب من استطاع منكم الباءة فليتزّو ج
ومن مل يستطع فعليه بالّص وم فإّنه له وجاء،للفرج
b. Sunnah
mampu untuk menahan dirinya dari perbuatan zina maka bagi dia
seperti karena sakit jiwa atau kusta atau mukanya bupeng atau ada
d. Makruh
e. Mubah
208-211)
syarat-syarat formil.
(mutlak) yang merupakan syarat mutlak yang wajib dipenuhi bagi pihak
3) Calon suami atau istri minimal harus berusia 19 tahun, hal ini diatur
Tahun 1974.
Hal ini diatur dalam bab 4 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
yang ditinggal mato oleh suaminya adalah 130 hari. Dan bagi yang
persetujuan wali.
antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agama atau
melakukan perzinahan.
Ketentuan ini diatur dalam pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.
oleh kedua mempelai, dua saksi, wali nikah dan Pegawai Pencatat
dan calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan pelaksanaan ijab dan qobul.
karena semuanya itu bersifat kumulatif-imperatif dalam arti tidak akan ada
perkawinan tanpa adanya kelima rukun tersebut. Oleh karena itu, menurut
agama Islam perkawinan tidak akan sah apabila kelima rukun nikah itu tidak
terpenuhi.
dapat diketahui bahwa tujuan dan cita-cita negara Indonesia adalah untuk
berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU No. 1 Tahun 1974
pasal 1)
Kemudian dalam pasal 2 UU perkawinan membahas mengenai syarat
sahnya suatu perkawinan, dalam pasal tersebut terdiri dari dua ayat yang
berbunyi:
dilakukan oleh wali calon mempelai Wanita dengan mempelai pria dan
disaksikan oleh dua orang saksi dan dihadiri oleh pegawai pencatatan
dilaksanakan di depan altar suci sang Budha dan dihadiri pula oleh pegawai
pencatatan perkawinan.
dalam pasal ini dijelaskan bahwa pencatatan perkawinan dari orang yang
pencatatan nikah yang diangkat oleh Menteri agama atau pegawai yang
pasal 2 ayat 1 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk. Bagi orang yang
DAFTAR PUSTAKA
Azhar Basyir, Ahmad. 2013. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press
Sagala, Elviana. Hak Mewarisi Menurut Ketentuan Hukum Waris Perdata. Jurnal
Ilmiah “Advokasi” Vol. 06/No. 01/Mar/2018
Sembiring, Rosnidar. 2021. Hukum Waris Adat. Depok: PT Raja Grafindo
Persada