Anda di halaman 1dari 20

AHLI WARIS BEDA AGAMA TIDAK PATUT MENDAPAT WARISAN

WALAUPUN MELALUI WASIAT WAJIBAH

Oleh: Drs. H. MASRUM M NOOR, M.H

(HAKIM PENGADILAN TINGGI AGAMA BANTEN)

MUKADIMAH

Nabi Muhammad SAW. diutus oleh Allah ke dunia adalah untuk memberi rahmat bagi
seluruh alam, utamanya manusia. Maka kemudian diturunkanlah syariat Islam untuk mengatur
kehidupan manusia dengan tujuan utama memberi rahmat dalam arti untuk menghindari dan
mencegah timbulnya kemadlaratan dan kerusakan di muka bumi serta untuk mendatangkan
kemaslahatan dan kemanfaatan dunia. Statemen tesebut telah teruji dan oleh karena itu diyakini
kebenarannya, baik oleh pemeluk islam, maupun pemeluk agama lainnya, sehingga lahir kaidah
pokok dalam hal tujuan syari’at islam:

‫درء اﻟﻤﻔﺎ ﺳﺪ اوﻟﻰ ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ‬

“mencegah madlarat lebih utama dari pada menarik maslahat”.

Syari’ah sebagaimana yang disebut di atas adalah aturan yang bersifat given secara qath’i
(tegas, jelas, pasti) dari Allah dan Rasulullah sebagaimana tersebut dalam kitab suci al-qur’an
dan al-hadits yang terhadapnya tidak perlu lagi ditafsirkan untuk memahami makna tersuratnya
karena telah jelas makna lahirnya. Disamping itu ada yang kita kenal dengan fiqh, yakni hukum-
hukum yang dihasilkan dari pemahaman para fuqaha’ (ulama fiqh) terhadap nash al-quran dan
al-hadits yang interpretable (dlanniy) yang memang mengandung makna ganda atau belum jelas
muatannya. Kaidah yang harus dipegang sehubungan dengan kedua istilah tersebut ialah jika fiqh
dapat berubah sesuai dengan perubahan tempat dan masa, maka syari’ah bersifat tetap dan tidak
boleh dirubah-rubah kapanpun dan dimanapun.

Dalam bidang hukum waris islam di Indonesia, pada tahun 1995, muncul penemuan
hukum baru yang hingga kini masih diperdebatkan, yaitu mengenai ahli waris yang berbeda

1
agama dengan Pewarisnya, dimana ahli waris beragama non islam sedang Pewarisnya beragama
islam. Perbedaan agama tersebut selama ini diyakini ummat islam sebagai penghalang seseorang
ahli waris untuk mendapatkan warisan dari Pewarisnya, tetapi Mahkamah Agung RI telah
mengambil putusan memberikan bagian kepada ahli waris beda agama tersebut melalui wasiat
wajibah.

Penemuan hukum baru ini dipelopori oleh Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dengan
putusannya Nomor 14/Pdt.G/1994/PTA.Jk dan Mahkamah Agung RI dengan putusannya nomor
368 K/AG/1995. Bermula dari kasus di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam putusannya
Nomor 377/Pdt.G/1993/PA.Jp berpendapat bahwa anak perempuan non muslimah tidak
termasuk ahli waris serta tidak berhak untuk mendapatkan bagian apapun dari harta
peninggalan orang tuanya yang beragama islam. Kemudian pada tingkat banding, Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta dalam putusan bandingnya nomor 14/Pdt.G/1994/PTA.Jk berpendapat,
bahwa ahli waris non muslim (anak perempuan non muslimah) memang bukan termasuk ahli
waris, tetapi berhak memperoleh bagian dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh
Pewarisnya yang beragama islam melalui wasiat wajibah, dan kepadanya diberi 3/4 bagian.
Kemudian pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya nomor 368
K/AG/1995 sependapat dengan pertimbangan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta tersebut,
namun bagiannya bukan ¾ bagian, tetapi 1/3 bagian.

II

WARIS DAN WASIAT

Waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan
oleh Pewaris. Hukum materiil Peradilan Agama dibidang waris adalah hukum kewarisan
sebagaimana termuat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan yurisprudensi yang bersumber
dari al-Qur’an, al-Hadits dan Ijtihad. Pasal 171 huruf (a) KHI memberikan pengertian sebagai
berikut: “Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) Pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris
dan berapa bagiannya masing-masing”. Sedangkan wasiat menurut Pasal 171 huruf (f) adalah
pemberian suatu benda dari Pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah
Pewaris meninggal dunia.

2
Agar kita memiliki persepsi yang sama tentang waris dan wasiat dalam hukum islam, di
bawah ini disampaikan rangkuman ketentuan-ketentuan pokok mengenai waris dan wasiat
menurut hukum islam, sebagai berikut:

A. Hukum Waris dalam Islam:


1. Syarat waris-mewarisi:
a. Orang yang mewariskan (Muwarrits/Pewaris) sudah meninggal;
b. Orang yang menerima warisan (ahli waris) masih hidup pada saat
kematian Pewaris (Muwarrits);
c. Tidak ada penghalang untuk mendapat warisan (tidak ada mawani’ul irtsi).
2. Hak-hak yang berkaitan dengan harta warisan yang harus dilaksanakan sebelum
dilakukan pembagian warisan:
a. Biaya perawatan dan penyelenggaraan jenazah Pewaris;
b. Utang-utang Pewaris;
c. Wasiat Pewaris.
3. Sebab-sebab waris-mewarisi:
a. Sebab kekerabatan
b. Sebab perkawinan
c. Sebab hubungan agama (kesamaan agama).
4. Kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
- Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-
laki, paman dan kakek,
- Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara
perempuan, saudara perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda dan janda
5. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak,
ayah, ibu, janda atau duda.
6. Tanggung jawab ahli waris terhadap utang atau kewajiban Pewaris hanya terbatas
pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.

3
7. Di bawah ini adalah ayat-ayat mawaris dalam al-Quran yang telah secara tegas,
jelas dan rinci menyebut ahli waris dan bagiannya masing-masing, sebagai
berikut:
a. Surat an-nisa’ ayat 11:
‫ﯾﻮﺻﯿﻜﻢ ﷲ ﻓﻰ اوﻻدﻛﻢ ﻟﻠﺬﻛﺮ ﻣﺜﻞ ﺣﻆ اﻻﻧﺜﯿﯿﻦ ﻓﺎن ﻛﻦ ﻧﺴﺎء ﻓﻮق اﺛﻨﺘﯿﻦ ﻓﻠﮭﻦ ﺛﻠﺜﺎ ﻣﺎ ﺗﺮك وان ﻛﺎﻧﺖ‬
‫واﺣﺪة ﻓﻠﮭﺎ اﻟﻨﺼﻒ وﻻﺑﻮﯾﮫ ﻟﻜﻞ واﺣﺪ ﻣﻨﮭﻤﺎ اﻟﺴﺪ س ﻣﻤﺎ ﺗﺮك ان ﻛﻦ ﻟﮫ وﻟﺪ ﻓﺎن ﻟﻢ ﯾﻜﻦ ﻟﮫ وﻟﺪ‬
‫وورﺛﮫ اﺑﻮاه ﻓﻼﻣﮫ اﻟﺜﻠﺚ ﻓﺎن ﻛﺎن ﻟﮭﺎ اﺧﻮة ﻓﻼﻣﮫ اﻟﺴﺪ س ﻣﻦ ﺑﻌﺪ وﺻﯿﺔ ﯾﻮﺻﻰ ﺑﮭﺎ اودﯾﻦ اﺑﺎؤﻛﻢ‬
‫واﺑﻨﺎؤﻛﻢ ﻻﺗﺪرون اﯾﮭﻢ اﻗﺮب ﻟﻜﻢ ﻧﻔﻌﺎ ﻓﺮﯾﻀﺔ ﻣﻦ ﷲ ان ﷲ ﻛﺎن ﻋﻠﯿﻤﺎ ﺣﻜﯿﻤﺎ‬
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka) untuk anak-
anakmua yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua
orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, maka bagi mereka 2/3 dari harta yang ditinggalkan. Jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh 1/2 harta. Dan untuk ibu
bapak bagi masing-masingnya 1/6 dari harta yang ditinggalkan jika yang
meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal itu tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat 1/3; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat 1/6. (Pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat dan sesudah dibayar utangnya. Tentang orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah maha mengetahuio lagi maha bijaksana”
Ayat ini menetapkan sebagai berikut:
1) Bagian anak perempuan:
- ½ jika seorang;
- 2/3 jika dua orang atau lebih;
- Asabah jika bersama dengan anak laki-laki.
2) Bagian anak laki-laki:
- Ashabah.
3) Bagian ibu:
- 1/6 jika Pewaris mempunyai anak atau dua orang saudara atau lebih;

4
- 1/3 jika Pewaris tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai dua
orang saudara atau lebih;
- 1/3 dari sisa (dalam masalah gharawain yang ahli warisnya terdiri dari
suami atau isteri, ibu dan bapak.
4) Bagian bapak:
- 1/6 jika Pewaris mempunyai anak laki-laki;
- Asabah, jika Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki.
b. Surat an-nisa’ ayat 12:
‫وﻟﻜﻢ ﻧﺼﻒ ﻣﺎ ﺗﺮك ازواﺟﻜﻢ ان ﻟﻢ ﯾﻜﻦ ﻟﮭﻦ وﻟﺪ ﻓﺎن ﻛﺎن ﻟﮭﻦ وﻟﺪ ﻓﻠﻜﻢ اﻟﺮﺑﻊ ﻣﻤﺎ ﺗﺮﻛﻦ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ وﺻﯿﺔ‬
‫ﯾﻮﺻﯿﻦ ﺑﮭﺎ او دﯾﻦ وﻟﮭﻦ اﻟﺮﺑﻊ ﻣﻤﺎ ﺗﺮﻛﺘﻢ ان ﻟﻢ ﯾﻜﻦ ﻟﻜﻢ وﻟﺪ ﻓﺎن ﻛﺎن ﻟﻜﻢ وﻟﺪ ﻓﻠﮭﻦ اﻟﺜﻤﻦ ﻣﻤﺎ ﺗﺮﻛﺘﻢ‬
‫ﻣﻦ ﺑﻌﺪ وﺻﯿﺔ ﺗﻮﺻﻮن ﺑﮭﺎ او دﯾﻦ وان ﻛﺎن رﺟﻞ ﯾﻮرث ﻛﻼﻟﺔ او اﻣﺮاة وﻟﮫ اخ او اﺧﺖ ﻓﻠﻜﻞ واﺣﺪ‬
‫ﻣﻨﮭﻤﺎ اﻟﺴﺪ س ﻓﺎن ﻛﺎﻧﻮا اﻛﺜﺮ ﻣﻦ ذاﻟﻚ ﻓﮭﻢ ﺷﺮﻛﺎء ﻓﻰ اﻟﺜﻠﺚ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ وﺻﯿﺔ ﯾﻮﺻﻰ ﺑﮭﺎ او دﯾﻦ ﻏﯿﺮ‬
‫ﻣﻀﺎر وﺻﯿﺔ ﻣﻦ ﷲ وﷲ ﻋﻠﯿﻢ ﺣﻠﯿﻢ‬
“Dan bagimu (suami-suami) ½ dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamumendapat ¼ dari harta yang ditinggalkan,
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau sesudah dibayar utangnya.
Para isteri memperoleh ¼ harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
1/8 dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat
atau dibayar utang-utangmua. Jika seseorang mati baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki (seibu saja) atau saudara perempuan
(seibu saja), maka masing-masing dari kedua jenis saudara itu 1/6 harta,
tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang 1/3 itu sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudlarat bagi ahli
waris. Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syariat yang benar-benar
dari Allah dan Allah maha mengetahui lagi maha penyantun”
Ayat ini menetapkan sebagai berikut:
1) Bagian suami (duda):

5
- ½ jika Pewaris tidak mempunyai anak;
- ¼ jika Pewaris mempunyai anak.
2) Bagian isteri (janda):
- ¼ jika Pewaris tidak mempunyai anak;
- 1/8 jika Pewaris mempunyai anak.
3) Bagian saudara laki-laki/perempuan seibu (kasus kalalah/tidak
meninggalkan ayah dan anak):
- 1/6 jika seorang;
- 1/3 dibagi rata jika dua orang atau lebih.
c. Surat an-nisa’ ayat 176:
‫ﯾﺴﺘﻔﺘﻮﻧﻚ ﻗﻞ ﷲ ﯾﻔﺘﯿﻜﻢ ﻓﻰ اﻟﻜﻼﻟﺔ ان اﻣﺮؤ اھﻠﻚ ﻟﯿﺲ ﻟﮫ وﻟﺪ وﻟﮫ اﺧﺖ ﻓﻠﮭﺎ ﻧﺼﻒ ﻣﺎ ﺗﺮك وھﻮ ﯾﺮﺛﮭﺎ‬
‫ان ﻟﻢ ﯾﻜﻦ ﻟﮭﺎ وﻟﺪ ﻓﺎن ﻛﺎﻧﺘﺎ اﺛﻨﺘﯿﻦ ﻓﻠﮭﻤﺎ اﻟﺜﻠﺜﺎن ﻣﻤﺎ ﺗﺮك وان ﻛﺎﻧﻮا اﺧﻮة رﺟﺎﻻ وﻧﺴﺎء ﻓﻠﻠﺬﻛﺮ ﻣﺜﻞ‬
‫ﺣﻆ اﻻﻧﺜﯿﯿﻦ ﯾﺒﯿﻦ ﷲ ﻟﻜﻢ ان ﺗﻀﻠﻮا وﷲ ﺑﻜﻞ ﺷﯿﺊ ﻋﻠﯿﻢ‬
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalh, yaitu: Jika seseorang meninggal
dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan tiu 1.2 dari harta yang ditinggalkan
dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan). Jika ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu
dua orang, maka bagi keduanya 2/3 dari aharta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara
laki-laki dan perempuan, maka bahagian saudara laki-laki sebanyak
bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu supaya kamu tidak sesat. Dan Allah maha mengetrahui segala
sesuatu”
Ayat ini menetapkan sebagai berikut:
1) Bagian saudara perempuan sekandung atau sebapak (kasus kalalah):
- ½ jika seorang;
- 2/3 jika dua orang atau lebih;
- Asabah jika bersama saudara laki-laki sekandung atau sebapak.
2) Bagian saudara laki-laki sekandung atau sebapak (kasus kalalah);

6
- Asabah.

Sedangkan ayat-ayat mawaris yang lainnya hanya menjelaskan tentang norma-norma


hukum kewarisan, antara lain sebagai berikut:

a. Surat An-nisa’ ayat 7:


‫ﻟﻠﺮﺟﺎل ﻧﺼﯿﺐ ﻣﻤﺎ ﺗﺮك اﻟﻮاﻟﺪان واﻻﻗﺮﺑﻮن وﻟﻠﻨﺴﺎء ﻧﺼﯿﺐ ﻣﻤﺎ ﺗﺮك اﻟﻮاﻟﺪان واﻻﻗﺮﺑﻮن ﻣﻤﺎ ﻗﻞ ﻣﻨﮫ او ﻛﺜﺮ‬
‫ﻧﺼﯿﺒﺎ ﻣﻔﺮوﺿﺎ‬
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan”.
b. Surat An-nisa’ ayat 8:
‫واذا ﺣﻀﺮ اﻟﻘﺴﻤﺔ اوﻟﻮا اﻟﻘﺮﺑﻰ واﻟﯿﺘﺎﻣﻰ واﻟﻤﺴﺎﻛﯿﻦ ﻓﺎرزﻗﻮھﻢ ﻣﻨﮫ وﻗﻮﻟﻮا ﻟﮭﻢ ﻗﻮﻻ ﻣﻌﺮوﻓﺎ‬

“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang
miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang baik”.

c. Surat An-nisa’ ayat 9:


‫وﻟﯿﺨﺶ اﻟﺬﯾﻦ ﻟﻮ ﺗﺮﻛﻮا ﻣﻦ ﺧﻠﻔﮭﻢ ذرﯾﺔ ﺿﻌﺎﻓﺎ ﺧﺎﻓﻮا ﻋﻠﯿﮭﻢ ﻓﻠﯿﺘﻘﻮاﷲ وﻟﯿﻘﻮﻟﻮا ﻗﻮﻻ ﺳﺪﯾﺪا‬

“Dan hendaklah takut orang-orang yang seandainya meninggalkan


dibelakang mereka anak-anak yang lemah(ayat ini mengajarkan agar orang
kaya semasa hidupnya memperhatikan kesejahteraan anak keturunannya,
sehingga akan mengutamakan pemberian warisan kepada anaknya dari pada
pemberian wasiat kepada orang lain)

d. Surat An-nisa’ ayat 13:


‫ﺗﻠﻚ ﺣﺪود ﷲ وﻣﻦ ﯾﻄﻊ ﷲ ورﺳﻮﻟﮫ ﯾﺪﺧﻠﮫ ﺟﻨﺎت ﺗﺠﺮي ﻣﻦ ﺗﺤﺘﮭﺎ اﻻﻧﮭﺎر ﺧﺎﻟﺪﯾﻦ ﻓﯿﮭﺎ ذاﻟﻚ اﻟﻔﻮز اﻟﻌﻈﯿﻢ‬

(Ayat ini memberikan janji, bahwa Allah akan memberikan balasan syurga
terhadap orang-orang yang melaksanakan hukum waris sesuai dengan
ketentuan Allah dan RasulNya).

7
e. Surat An-nisa’ ayat 14:

‫وﻣﻦ ﯾﻌﺺ ﷲ ورﺳﻮﻟﮫ وﯾﺘﻌﺪ ﺣﺪوده ﯾﺪﺧﻠﮫ ﻧﺎرا ﺧﺎﻟﺪا ﻓﯿﮭﺎ وﻟﮫ ﻋﺬاب ﻣﮭﯿﻦ‬

(Ayat ini memberi ancaman Allah berupa neraka terhadap orang-orang yang
membagi harta warisan tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan RasulNya).

8. Halangan kewarisan terdiri dari:


a. Halangan kewarisan karena ahli waris membunuh Pewaris

Dasarnya adalah al-hadits riwayat imam Malik dan imam Ahamad:

‫ﻟﯿﺲ ﻟﻠﻘﺎ ﺗﻞ ﻣﻦ اﻟﻤﯿﺮاث ﺷﯿﺊ‬

“Tidak sesuatupun dari harta warisan yang didapat oleh si Pembunuh”

Dan al-hadits riwayat Imam Ahmad:

‫ﻣﻦ ﻗﺘﻞ ﻗﺘﯿﻼ ﻓﺎﻧﮫ ﻻﯾﺮﺛﮫ وان ﻟﻢ ﯾﻜﻦ ﻟﮫ وارث ﻏﯿﺮه وان ﻛﺎن واﻟﺪه او وﻟﺪه ﻓﻠﯿﺲ ﻟﻘﺎﺗﻞ ﻣﯿﺮاث‬

”Siapa yang membunuh seseorang, ia tidak akan menerima waris dari


padanya, meskipun ia tidak memiliki ahli waris yang lain, walaupun ia
adalah ayahnya atau anaknya. Bagi si Pembunuh tidak ada hak warisan”

Kompilasi Hukum Islam Pasal 173 menyatakan: “Seorang terhalang menjadi


ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dihukum karena:

- Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau


menganiaya berat pada Pewaris.
- Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
Pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 (lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih berat”.
b. Halangan kewarisan karena ahli waris beragama bukan islam sedang Pewaris
beragama islam (ahli waris beda agama):

Ketentuan ini berdasarkan al-hadits Imam Bukhari dan Imam Muslim:

8
‫ﻻ ﯾﺮث اﻟﻤﺴﻠﻢ اﻟﻜﺎﻓﺮ وﻻاﻟﻜﺎﻓﺮ اﻟﻤﺴﻠﻢ‬

“Orang muslim tidak berhak mendapat bagian harta warisan orang kafir dan
sebaliknya orang kafir tidak berhak mendapat bagian harta warisan orang
muslim”. ( muttafaq alaih).

Kompilasi Hukum Islam tidak secara tegas menyatakan perbedaan agama


sebagai penghalang kewarisan, namun Pasal 171 huruf (c), KHI menjelaskan,
bahwa ahli waris adalah orang yang mempunyai unsur-unsur berikut ini:

- Memiliki hubungan darah dengan Pewaris atau hubungan perkawinan


dengan Pewaris,
- Beragama islam dan
- Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Dengan kata lain, status seseorang dapat dianggap sebagai ahli waris apabila
memenuhi ketiga unsur tersebut di atas secara komulatif; yakni mempunyai
hubungan darah (kerabat Pewaris) dan mempunyai hubungan perkawinan
(suami/isteri Pewaris) dan beragama islam (seagama dengan Pewaris) dan
tidak terhalang karena hukum ( misalnya Pembunuh Pewaris).

c. Halangan kewarisan karena perbudakan.


B. Hukum Wasiat dalam Islam:
1. Dasar hukum wasiat adalah:
a. al-Qur’an, surat al-Baqarah Ayat 180:

‫ﻛﺘﺐ ﻋﻠﯿﻜﻢ اذا ﺣﻀﺮ اﺣﺪﻛﻢ اﻟﻤﻮت ان ﺗﺮك ﺧﯿﺮا اﻟﻮﺻﯿﺔ ﻟﻠﻮاﻟﺪﯾﻦ واﻻﻗﺮﺑﯿﻦ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف ﺣﻘﺎ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺘﻘﯿﻦ‬

“Diwajibkan atas kamu, apa bila diantara kau kedatangan (tanda-tanda)


maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak
dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-
orang yang bertaqwa”.

b. Hadits Rasulullah saw riwayat Imam Bukhari dan Muslim:

‫ﻣﺎ ﺣﻖ اﻣﺮئ ﻣﺴﻠﻢ ﻟﮫ ﺷﯿﺊ ﯾﻮﺻﻰ ﻓﯿﮫ ﯾﺒﯿﺖ ﻟﯿﻠﺘﯿﻦ اﻻ ووﺻﯿﺘﮫ ﻣﻜﺘﻮﺑﺔ ﻋﻨﺪه‬

9
“Tidaklah seseorang mewasiatkan suatu hak untuk seorang muslim, lalu
wasiatnya belum ditunaikan hingga dua malam, kecuali wasiatnya itu
diwajibkan di sisinya”

2. Kompilasi Hukum Islam (fiqh Indonesia) menetapkan ketentuan-ketentuan pokok


tentang wasiat sebagai berikut:

Pasal 194:

(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan
tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada
orang lain atau lembaga;
(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari Pewasiat;
(3) pemilikam terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
baru dapat dilaksanakan sesudah Pewasiat meninggal dunia.

Pasal 195:

(1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi atau tertulis
dihadapan dua orang saksi atau dihadapan notaris;
(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta
warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui;
(3) Wasiat kepada ahli waris berlaku apabila disetujui semua ahli waris;
(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lesan
di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di
hadapan notaris.

Pasal 196:

Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lesan harus disebutkan dengan tegas
dan jelas siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta
benda yang diwasiatkan.

10
3. Hukum wasiat:
Menurut jumhur (mayoritas) fuqaha, hukum wasiat terdiri dari lima kemungkinan
(al-Jazairiy), sebagai berikut:
a) Wajib; jika ia (pewasiat) mempunyai kewajiban yang dikhawatirkan akan
tidak terlaksana jika ia tidak berwasiat. Misalnya ia mempunyai kewajiban
zakat yang belum ditunaikan;
b) Sunnah; bila diperuntukkan untuk kebajikan, karib kerabat, orang-orang fakir
miskin atau orang-orang shaleh;
c) Haram; jika wasiat itu merugikan ahli waris atau mewasiatkan khamar,
membangun gereja atau tempat hiburan;
d) Makruh; jika yang berwasiat tergolong miskin, sedang ia memiliki banyak
ahli waris yang membutuhkan hartanya. Demikian pula kepada orang fasik,
sehingga dikhawatirkan akan menggunakan harta yang diwasiatkan didalam
kefasikan dan kemafsadatan;
e) Jaiz; bila wasiat diberikan kepada orang yang mampu, baik kepada ahli waris,
kerabat maupun bukan kerabat.
4. Beberapa ketentuan- ketentuan pokok menurut Fuqaha’ tentang wasiat:
a) Wasiat sah dilakukan oleh orang dewasa (21 tahun), berakal sehat dan tanpa
ada paksaan dari pihak lain;
b) Harta benda yang diwasiatkan harus milik Pewasiat;
c) Wasiat harus diikrarkan secara lesan atau tertulis dan sisaksikan oleh dua
orang saksi;
d) Dalam berwasiat harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau lembaga
apa yang ditunjuk akan menerima harta wasiat;
e) Wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris kecuali diijinkan oleh seluruh
ahli waris;
f) Wasiat batal diberikan kepada Pembunuh Pewasiat;
g) Wasiat tidak boleh merugikan ahli waris;
h) Wasiat tidak boleh melebihi 1/3 harta warisan;
i) Wasiat dilaksanakan sebelum membagi harta warisan.

11
III

WASIAT WAJIBAH UNTUK AHLI WARIS BEDA AGAMA

Wasiat wajibah ialah wasiat yang diwajibkan oleh Negara kepada seseorang yang
beragama islam yang telah wafat yang pada masa hidupnya tidak melakukan wasiat. Prosedur
penggunaan wasiat wajibah di Indonesia ialah melalui berperkara di Pengadilan Agama dalam
bentuk gugatan kewarisan yang di dalamnya ada salah satu atau beberapa pihak perperkara yang
terdiri dari ahli waris yang terhalang secara syar’iy karena berbeda agama dengan Pewaris.
Kemudian Pengadilan Agama menetapkan adanya wasiat wajibah kepada Pewaris dan memberi
bagian kepada mereka maksimal 1/3 bagian. Perbedaan wasiat dengan wasiat wajibah ialah
bahwa wasiat dilakukan oleh seseorang secara suka rela sebelum meninggal dunia, sedangkan
wasiat wajibah ditetapkan oleh Pengadilan Agama secara paksa kepada Pewaris yang pada saat
hidupnya tidak berwasiat. Pengadilan Agama, dengan pertimbangan demi kemanusiaan, rasa
keadilan dan kemaslahatan menetapkan wajibnya berwasiat kepada Pewaris yang pada saat
hidupnya tidak berwasiat, dengan memberi bagian ahli waris yang berbeda agama sebanyak 1/3
dari harta warisan.

Wasiat wajibah dalam hukum islam untuk pertama kali muncul di Mesir yang tercantum
dalam Pasal 76 dan 77 Undang-Undang Mesir Nomor 71 Tahun 1946 tentang Wasiat yang
terjemahan bebasnya sebagai berikut:

Pasal 76: Sekiranya seorang Pewaris tidak berwasiat untuk keturunan dari anak yang telah
meninggal sebelum dia (Pewaris), atau meninggal bersama-sama dengan dia,
sebesar bagian yang harus diterima anak itu dari warisan, maka keturunannya
tersebut akan menerima bagian itu melalui wasiat (wajib) dalam batas 1/3 harta
dengan syarat:

a. Keturunan tersebut tidak mewarisi;


b. Orang yang meninggal (Pewaris) belum pernah memberikan harta dengan cara-
cara yag lain sebesar bagiannya itu. Sekiranya telah pernah diberi tetapi kurang
dari bagian yang seharusnya dia terima, maka kekurangannya dianggap
sebagai wasiat wajibah.

12
Pasal 77: Kalau seseorang memberi wasiat lebih dari bagian yang seharusnya diterima, maka
kelebihan itu dianggap sebagai wasiat ikhtiyariyah. Sekiranya kurang, kekurangan
itu disempurnakan melalui wasiat wajib. Kalau berwasiat kepada sebagian
keturunan dan meninggalkan sebagian yang lain, maka wasiat wajib diperlakukan
kepada semua keturunan dan wasiat yang ada dianggap berlaku sepanjang sesuai
dengan ketentuan Pasal 76 di atas.

Ketentuan dalam Undang-Undang Mesir tentang wasiat wajib ini keberlakuannya


terbatas hanya dalam masalah ahli waris pengganti, yakni cucu sebagai mengganti kedudukan
ayahnya karena ayahnya telah meninggal terlebih dahulu dari pada Kakeknya (Pewaris) dan
dalam masalah waris mati bersama. Namun di Indonesia, wasiat wajibah diberlakukan bukan
saja dalam persoalan ahli waris pengganti atau waris mati bersama, tetapi kini telah berkembang
dengan diterapkan juga terhadap masalah anak angkat dan ahli waris beda agama. Sehingga
wasiat wajibah sejauh ini setidak-tidaknya telah diterapkan dalam kasus-kasus sebagai berikut:

1. Kasus ahli waris pengganti; yakni anak menggantikan kedudukan ayahnya yang
meninggal lebih dahulu dari pada Pewaris (kakek), sedang saudara ayah (paman)
masih hidup. Seharusnya menurut faraidl, cucu tersebut terhalang oleh paman, namun
melalui wasiat wajibah cucu tersebut dapat ditetapkan mengganti kedudukan
ayahnya. Di Indonesia, ahli waris pengganti ini telah menjadi ashabul furudl,
sehingga tidak algi menggunakan lembaga wasiat wajibah (Pasal 165 KHI).
2. Kasus waris mati bersama; yakni orang yang saling mewarisi dalam waktu yang sama
sekaligus meninggal dunia atau tidak diketahui siapa yang meninggal lebih dahulu
dan yang kemudian.
3. Kasus orang tua angkat dan anak angkat; yakni antara orang tua angkat dan anak
angkat yang menurut faraidl tidak saling mewarisi. Dengan wasiat wajibah orang tua
angkat dan anak angkat diberi bagian sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan.
(Pasal 209 KHI).
4. Kasus ahli waris beda agama, dimana ahli waris beragama non islam, sedang
Pewarisnya beragama islam. (yurisprudensi Mahkamah Agung RI).

Indonesia bukan saja memberi bagian warisan kepada cucu pengganti dengan
menggantukan kedudukan anak melalui wasiat wajibah, akan tetapi secara langsung telah

13
memasukan penyelesaian ahli waris pengganti tersebut ke dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum
Islam sebagai bagian dari ketentuan hukum waris islam tanpa harus melalui wasiat wajibah.
Pasal 185 KHI dimaksud berbunyi sebagai berikut:

Pasal 185 KHI:

1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si Pewaris maka kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya, kecuali oleh mereka yang tersebut dalamn Pasal 173;
2) Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti.

Substansi dari Pasal 76 dan 77 UU Wasiat Mesir dan Pasal 185 KHI sesungguhnya
memang sama, hanya saja dalam UU Wasiat Mesir dinyatakan dengan tegas adanya lembaga
hukum yang digunakan dalam menetapkan anak sebagai ahli waris pengganti ayahnya, yakni
melalui lembaga wasiat wajibah. Sedangkan dalam KHI penetapan ahli waris pengganti tidak
melalui wasiat wajibah, tetapi dapat secara langsung menempati kedudukan ayahnya sebagai ahli
waris sebagai zawil furudl dengan mendapat bagian sebanyak tidak boleh melebihi dengan
bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Wasiat wajibah dalam hukum wasiat islam di Indonesia kemudian mengalami


perkembangan dengan diterapkannya wasiat wajibah tersebut dalam masalah kewarisan anak
angkat dan orang tua angkat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam,
sebagai berikut:

Pasal 209 KHI:

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193
tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya;
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Selanjutnya lembaga wasiat wajibah diterapkan di Pengadilan Agama dalam masalah


waris beda agama. Perbedaan agama antara ahli waris dengan Pewaris tidak lagi menjadi
penghalang untuk menadapat bagian warisan. Namun hasil ijtihat hakim peradilan agama ini

14
belum diterima oleh para ulama dan ummat islam Indonesia, sehingga telah membuat
keguncangan ditengah-tengah masyarakat, baik dikalangan masyarakat akademisi maupun
masyarakat santri, bahkan dikalangan para hakim agama sendiri. Meskepun demikian langkah
terobosan yang ditempuh sebahagian hakim agama dengan lembaga wasiat wajibah dalam
masalah waris beda agama tersebut telah mendapat apresiasi yang sangat terpuji dari kalangan
masyarakat pejuang egaliterime dan pluralisme di Indonesia.

Pada awalnya kasus wasiat wajibah beda agama ini muncul dalam perkara keluarga alm
H. Sanusi – Hj. Suyatmi. Pasangan suami istri ini memiliki enam orang anak yakni Djoko
Sampurno, Untung Legianto, Siti Aisjah, Sri Widyastuti, Bambang Setyabudhi dan Esti Nuri
Purwanti. Bambang Setyabudhi mengajukan gugatan waris ke PA Jakarta Pusat dengan nomor
perkara 377/Pdt.G/1993/PA.JP dan meminta untuk menetapkan semua ahli waris minus Sri
Widyastuti sebagai ahli yang sah. Semua ahli waris sepakat harta waris orang tuanya dibagi
berdasarkan hukum Islam. Menurut penggugat, Sri tidak layak lagi mendapatkan hak waris
karena telah berpindah agama. Sebaliknya, Sri menolak pembagian secara Islam. Ia juga
menganggap Pengadilan Agama bukan forum yang tepat untuk mengadili perkara waris yang
dipersengketakan oleh orang yang berbeda agama. Menurut Sri, Pengadilan Agama adalah forum
peradilan bagi mereka yang beragama Islam, bukan bagi orang yang beragama Kristen seperti
dirinya.

Terhadap perkara tersebut, PA Jakarta Pusat berpendapat, bahwa Ia berwenang mengadili


perkara ini karena berdasarkan Pasal 1 dan 2 jo Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989,
personal keislaman Pewaris menjadi dasar Peradilan mana yang berwenang mengadili perkara
tersebut. Dalam kasus ini, karena Pewaris beragama islam, maka yang berwenang mengadili
adalah Pengadilan Agama dan hukum yang diterapkan dalam pembagian waris adalah hukum
Islam. menurut PA Jakarta Pusat, Sri Widyastuti terhalang untuk mendapatkan warisan dari
orang tuanya. Kemudian Sri banding dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dalam putusannya
Nomor 14/Pdt.G/1994/PTA.JK yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi
Nomor 368 K/AG/1995 berpendapat lain; Meskipun Sri Widyastuti tidak beragama islam, tetapi
dia diberi bagian dari harta peninggalan orang tuanya melalui wasiat wajibah.

Pertimbangan hukum yang digunakan Hakim Peradilan Agama dalam menerapkan wasiat
wajibah bagi ahli waris beda agama, adalah pertimbangan kemanusiaan, keadilan dan

15
kemaslahatan. Peradilan Agama menyadari, bahwa hadits Nabi Muhammad saw. tentang
larangan saling mewarisi antara ahli waris beda agama adalah qath’i (dalil pasti), shahih dan
memiliki kedudukan yang kuat. Namun dalam memutus perkara waris yang diajukan kepadanya,
Peradilan Agama harus mempertimbangkan aspek kemanusiaan keadilan dan kemaslahatan
semua pihak. Sedangkan memberikan sebahagian dari harta peninggalan kepada ahli waris beda
agama yang dirinya berada dalam keadaan tertentu dianggap memenuhi aspek kemanusiaan, rasa
keadilan dan akan mendatangkan kemaslahatan. Oleh karena itu Peradilan Agama
mempergunakan jalan “wasiat wajibah” tersebut agar ahli waris beda agama dimaksud mendapat
keadilan dan kemaslahatan.

Para simpatisan terhadap metode wasiat wajibah berpendapat, bahwa wasiat wajibah
sangat tepat diberlakukan di Negara pluralis seperti Indonesia ini, lantaran di Indonesia banyak
sekali dan sangat ditolerir adanya sebuah keluarga yang di dalamnya terdapat beberapa kerabat
yang berbeda agama, namun mereka dapat tetap hidup berdampingan secara harmonis, rukun dan
damai, bahkan tidak jarang Pewaris yang beragama islam itu semasa hidupnya lebih dekat
dengan kerabatnya yang berbeda agama dengannya. Jadi kondisi beda agama dalam system
kekeluargaan di Indonesia sama sekali tidak dipermasalahkan oleh seluruh ahli waris yang
beragama islam, apalagi kondisi yang seperti itu bahkan dilindungi oleh Negara. Mereka
berpandangan, oleh karena keberagamaan seseorang telah dilindungi UUD 1945. Maka alangkah
tidak adilnya, jika ahli waris yang secara kekeluargaan diterima secara senang hati dan
dilindungi oleh Negara, lantas kemudian ia tidak mendapat bagian apa-apa dari Pewaris yang ia
sayangi itu. Oleh karena itu Peradilan Agama memberi bagian kepadanya dengan menggunakan
wasiat wajibah.

Akhir-akhir ini timbul perdebatan keras tentang pertimbangan aspek kemanusiaan,


keadilan dan kemaslahatan dalam menggunakan lembaga wasiat wajibah dalam pembagian
warisan kepada ahli waris beda aagama itu. Kelompok Ulama, Akademisi dan Praktisi hukum
islam yang mengklaim dirinya progessif berpendapat, demi kemanusiaan, keadilan dan
kemaslahatan, kepada ahli waris beda agama yang secara syari’i terhalang mendapat warisan
layak digunakan lembaga wasiat wajibah. Sedangkan kelompok yang lain, tidak membenarkan
mempraktikkan wasiat wajibah terhadap ahli waris beda agama tersebut. Kelompok penentang
wasiat wajibah selalu mempertanyakan apakah wasiat wajibah itu mengalahkan keadilan dan

16
kemaslahatan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasulullah?. Apakah ketetapan Allah dan
RasululNya itu tidak manusiawi, tidak adil dan telah menimbulkan mafsadah?. Apakah keadilan
wasiat wajibah itu lebih tinggi dari pada keadilan Allah dan RasulNya?.

Dr. H. Habiburrahman, S.H, M.H adalah Hakim Agung pertama yang secara akademis
mempersoalkan hal ini. Melalui Sinopsis disertasinya yang berjudul “Rekonstruksi Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia” yang disampaiakan dalam ujian terbuka promosi doctornya,
nampaknya Habiburrahman sangat risau dengan perkembangan praktek wasiat wajibah di
Indonesia. Beliau menghawatirkan, penerapan wasiat wajibah dapat mengandung haillah
syar’iyah atau rekayasa syariah, sehingga menghalalkan yang haram atau membenarkan yang
salah atau memakruhkan yang mubah. Beliau akhirnya berkesimpulan, bahwa praktek wasiat
wajibah bukanlah didasarkan kepada landasan syari’ah yang dalalahnya bersifat qath’i.

Majelis Ulama Indonesia, setelah bermunculannya kejadian-kejadian dan pendapat-


pendapat yang membolehkan kewarisan beda agama, maka dalam Munasnya ke VII tahun 2005
telah mengeluarkan fatwa Nomor 5/MUNAS VII/MUI/9/2005 tertanggal 21 Jumadil Akhir 1426
H bertepatan dengan 28 Juli 2005 M tentang Waris Beda Agama, sebagai berikut:

1. Hukum waris islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar orang-orang yang
berbeda agama (antara muslim dan non muslim);

2. Pemberian harta antara orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam
bentuk hibah, wasiat dan hadiah.

Jika demikian halnya, maka penggunaan lembaga wasiat wajibah dalam perkara waris
beda agama dapat dianggap bertentangan dengan rasa keadilan ummat islam dan mayoritas
masyarakat Indonesia. Penerapan wasiat wajibah di Pengadilan Agama selama ini mungkin
dirasa manusiawi, adil dan maslahat oleh ahli waris non muslim, tetapi pasti dirasa tidak
manusiawi, dlolim dan mafsadat oleh ahli waris yang beragama islam, karena hak warisannya
telah dikurangi. Ahli waris yang beragama islam tentu akan berpandangan, apa bedanya hukum
waris Islam dengan hukum waris Barat dan hukum waris adat, jika keberagamaan seorang ahli
waris tidak lagi dipertimbangkan dalam pembagian warisan secara hukum waris islam.

17
Adapun terhadap pertimbangan rasa kemanusiaan, keadilan dan kemaslahatan yang
digunakan kelompok penggagas wasiat wajibah bagi ahli waris beda agama, maka dapat
dibantah dengan argumentasi, bahwa rasa kemanusiaan, keadilan dan kemaslahatan yang
dimaksud adalah kemanusiaan, keadilan dan kemaslahatan yang tidak bertentangan dengan al-
qur’an dan al-hadits. Jika al-hadits sudah menegaskan bahwa tidak ada saling mewarisi antara
dua pemeluk yang berbeda, maka ketentuan itulah yang manusiawi, ketentuan itulah yang adil
dan ketentuan itulah yang maslahah. Hakim Pengadilan Agama mesti ingat, bahwa dirinya
adalah penegak keadilan Tuhan, bukan keadilan yang lainnya.

Para pendukung gagasan wasiat wajibah dalam memberikan bagian warisan kepada ahli
waris beda agama juga mendasarkan pemikirannya kepada asas egaliter. Namun agaknya mereka
kebablasan dalam memahami asas tersebut. Sesungguhnya ajaran egaliter itu bermaksud
mensetarakan harkat dan martabat manusia demi kemanusiaannya secara ediologis, politis,
ekonomis dan sosiologis, sehingga semua manusia menurut ajaran egaliter adalah sama dan
sederajat, dimana satu sama lain harus saling menghormati tanpa diskriminasi apapun. Ajaran
egaliter memberi kebebasan seseorang untuk memilih agama apapun, bahkan untuk tidak
beragama sekalipun, akan tetapi ketika seseorang telah memilih islam, maka ia harus tunduk
kepada hukum-hukumnya. Islam memaknai egaliter dengan perngertian semua manusia memiliki
kedudukan yang sama di hadapan Allah. Akan tetapi manusia yang paling mulia dalam
pandanganNya adalah yang paling bertaqwa kepadaNya.

Doktrin agama islam, khususnya dalam hukum kewarisan islam mengajarkan kepada
ummatnya untuk mentaati kaidah-kaidah penting yang bersumber dari nash-nash al-aqur’an dan
al-hadits di bawah ini:

1. Allah akan memberikan balasan syurga terhadap orang-orang yang melaksanakan


hukum waris sesuai dengan ketentuan Allah dan RasulNya (an-nisa’:13);

2. Allah mengancam dengan ancaman neraka terhadap orang-orang yang membagi harta
warisan tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan RasulNya (an-nisa’: 14);

3. Apabila sewaktu pembagian warisan hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin,
hendaknya diberi bagian sekedarnya (an-nisa’: 8);

18
4. Taatilah Allah, taatilah Rasulullah dan ulil amri. jika kalian berselisih dalam suatu
perkara, maka kembalikanlah kepada ketentuan Allah dan RasulNya (an-nisa’: 59);

5. Tidak pantas bagi mukmin dan mukminat, apabila Allah dan RasulNya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan yang lain (al-ahzab: 36).

Keselarasan antara Mufti (MUI) dan Qadli (Hakim) dalam menerapkan teori keadilan dan
kemaslahatan adalah suatu keniscayaan. Apa jadinya, jika suatu ketetapan hukum oleh mufti
dipandang adil dan maslahat, tetapi dipandang dlalim dan mafsadat oleh Qadli. Padahal Mufti
dan Qadli adalah dua bintang pelita utama ummat islam yang harus ditaati dalam menjalani
hidup dan kehidupannya. Saran Penulis terhadap pendukung wasiat wajibah terhadap ahli waris
beda agama adalah segera kembali kepada sabda Nabi: ‫ ﻻ ﯾﺮث اﻟﻤﺴﻠﻢ اﻟﻜﺎﻓﺮ وﻻاﻟﻜﺎﻓﺮ اﻟﻤﺴﻠﻢ‬dan tidak
perlu melakukan haillah syar’iyyah dengan dalih apapun untuk membenarkan penggunaan wasiat
wajibah untuk ahli waris beda agama. (Allahu A’lam bis-Shawab).

BUKU BACAAN
1. Al-Ustaz, Dr. Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islamy wa adillatuhu, Damaskus,
Darul Fikri, Cet. 6, Jld.8, 2007.
2. Abdurrahman al-Jazairi, Al-Fiqhu ‘ala Mazhabi al-arba’ah, Kairo-Mesir, Darul
Hadits, Juz 2, 2004.
3. Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum kewarisan Islam, Jakarta, Kencana, cei. 3, 2008.
4. ---------------------------------, Garis-Garis besar Fiqh, Jakarta, Kencana, cet. 1, 2003.
5. Sajuti Thalib, S.H, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, cet.
9, 2008.
6. Drs. M. Ali Hasaan, Hukum Warisan dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, cet. 6,
1996.
7. Dr. M. Idris Ramulyo, S.H, M.H, Perbandingan Pelaksanaan Hukum kewarisan Islam
dengan Kewarisan Menurut KUHPerdata (BW), Jakarta, Sinar Grafika, cet. 2, 2000.

19
20

Anda mungkin juga menyukai