Anda di halaman 1dari 18

AL ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN 5

OLEH:
MIRNAWATI

105610520814

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
1. AHLI WARIS
A. DASAR HUKUM WARIS DAN PEWARIS
Dasar-Dasar Hukum Waris Islam – Sumber hukum waris islam yang
utama adalah Al Quran, lalu Hadist, kemudian ijma’ para ulama dan
sebagian kecil hasil ijtihad para mujtahid.
a) Al Quran
Dalam Islam saling mewarisi antara kaum muslimin hukumnya
adalah wajib berdasarkan Al Quran dan hadist rasulullah.
Diantaranya firman Allah swt dalam Q.S. An-Nisa/4:7 :

Artinya:
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnyam baik sedikit atau banyak
menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Selain itu ada banyak ayat-ayat lain tentang ilmu waris ini, diantara
lain di dalam surat :
Q.S An-Nisa(4:7 sampai 12 dan ayat 176)
Q.S An Nahl(16:75)

b) As-Sunnah/Hadist
Dari ibnu mas’ud, Rasullullah saw bersabda: “Pelajarilah Al
Quran dan ajarkanlah ia kepada manusia dan pelajarilah al faraidh
dan ajarkanlah ia kepada manusia. Maka sesungguhnya aku ini
manusia yang akan mati, dan ilmu pun akan diangkat. Hampir saja
nanti akan terjadi dua orang yang berselisih tentang pembagian harta
warisan dan masalahnya, maka mereka berdua pun tidak menemukan
seseorang yang memberitahukan pemecahan masalahnya kepada
mereka”. (H.R. Ahmad)
Hadist dari Abdullah bin ‘Amr bahwa nabi bersabda :
“Ilmu itu ada tiga macam dan yang selain tiga macam itu sebagai
tambahan saja, ayat muhkamat, sunnah yang datang dari nabi dan
faraidh yang adil”. (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah)
B. PEMBAGIAN WARIS
Pembagian harta waris dalam islam telah begitu jelas diatur dalam
al qur an, yaitu pada surat An Nisa. Allah dengan segala rahmat-Nya,
telah memberikan pedoman dalam mengarahkan manusia dalam hal
pembagian harta warisan. Pembagian harta ini pun bertujuan agar di
antara manusia yang ditinggalkan tidak terjadi perselisihan dalam
membagikan harta waris.
Harta waris dibagikan jika memang orang yang meninggal
meninggalkan harta yang berguna bagi orang lain. Namun, sebelum
harta waris itu diberikan kepada ahli waris, ada tiga hal yang terlebih
dahulu mesti dikeluarkan, yaitu peninggalan dari mayit:

Segala biaya yang berkaitan dengan proses pemakaman jenasa;


Wasiat dari orang yang meninggal
Hutang piutang sang mayit.
Ketika tiga hal di atas telah terpenuhi barulah pembagian harta
waris diberikan kepada keluarga dan juga para kerabat yang berhak.

Pembagian Harta Waris dalam Islam


Adapun besar kecilnya bagian yang diterima bagi masing-masing
ahli waris dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pembagian harta waris dalam islam telah ditetukan dalam al qur an
surat An Nisa secara gamblang dan dapat kita simpulkan bahwa ada 6
tipe persentase pembagian harta waris, yaitu:

a) Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak


mendapatkan waris separoh (1/2):
Seorang suami yang ditinggalkan oleh istri dengan syarat ia tidak
memiliki keturunan anak laki-laki maupun perempuan, walaupun
keturunan tersebut tidak berasal dari suaminya kini.
Seorang anak kandung perempuan dengan 2 syarat: pewaris tidak
memiliki anak laki-laki, dan anak tersebut merupakan anak
tunggal.
Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan 3 syarat:
apabila cucu tersebut tidak memiliki anak laki-laki, dia
merupakan cucu tunggal, dan Apabila pewaris tidak lagi
mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.
Saudara kandung perempuan dengan syarat: ia hanya seorang diri
(tidak memiliki saudara lain) baik perempuan maupun laki-laki,
dan pewaris tidak memiliki ayah atau kakek ataupun keturunan
baik laki-laki maupun perempuan.
Saudara perempuan se-ayah dengan syarat: Apabila ia tidak
mempunyai saudara (hanya seorang diri), pewaris tidak memiliki
saudara kandung baik perempuan maupun laki-laki dan pewaris
tidak memiliki ayah atau kakek dan katurunan.

b) Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang


berhak mendapatkan waris seperempat (1/4):
yaitu seorang suami yang ditinggal oleh istrinya dan begitu pula
sebaliknya:
Seorang suami yang ditinggalkan dengan syarat, istri memilki
anak atau cucu dari keturunan laki-lakinya, tidak peduli apakah
cucu tersebut dari darah dagingnya atau bukan.
Seorang istri yang ditinggalkan dengan syarat, suami tidak
memiliki anak atau cucu, tidak peduli apakah anak tersebut
merupakan anak kandung dari istri tersebut atau bukan.

c) Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak


mendapatkan waris seperdelapan (1/8):
yaitu istri yang ditinggalkan oleh suaminya yang memiliki anak atau
cucu, baik anak tersebut berasal dari rahimnya atau bukan.

d) Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang


berhak mendapatkan waris duapertiga (2/3):
Dua orang anak kandung perempuan atau lebih, dimana dia tidak
memiliki saudara laki-laki (anak laki-laki dari pewaris).
Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan
syarat pewaris tidak memiliki anak kandung, dan dua cucu
tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki
Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) dengan syarat
pewaris tidak memiliki anak, baik laki-laki maupun perempuan,
pewaris juga tidak memiliki ayah atau kakek, dan dua saudara
perempuan tersebut tidak memiliki saudara laki-laki.
Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) dengan syarat
pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek. ahli waris yang
dimaksud tidak memiliki saudara laki-laki se-ayah. Dan pewaris
tidak memiliki saudara kandung.

e) Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang


berhak mendapatkan waris sepertiga (1/3):
Seorang ibu dengan syarat, Pewaris tidak mempunyai anak atau
cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki. Pewaris tidak
memiliki dua atau lebih saudara (kandung atau bukan)
Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau
lebih dengan syarat pewaris tidak memiliki anak, ayah atau kakek
dan jumlah saudara seibu tersebut dua orang atau lebih.

C. KETENTUAN WARIS
Di dalam agama Islam, pembagian harta warisan telah mendapat
perhatian khusus yang ditegaskan oleh Allah SWT, agar tidak ada
saudara yang saling bermusuhan hanya karena berebut harta warisan.
Sebagaimana yang tercantum dalam Al Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 11-
12:

Artinya:
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian
dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (An-
Nisa’:11).

Artinya:
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-
laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat
(kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Penyantun (An-Nisa’:12).
Dari kedua ayat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum
waris Islam telah ditetapkan oleh Allah SWT secara detail, agar tidak
terjadi perebutan harta di antara para ahli waris.

2. WASIAT DAN HIBAH


A. WASIAT
A.1 PENGERTIAN WASIAT
Wasiat merupakan salah satu bentuk pemilikan atas harta yang
dikenal dan diakui dalam syariat Islam, disamping bentuk-bentuk
pemilikan lainnya. Wasiat diambil dari kata washoitu al syaia, uushihi
yang bermakna asholtuhu yaitu menyampaikan sesuatu. Maka muushi
yaitu yang berwasiat adalah orang yang menyampaikan pesan di waktu
hidupnya untuk dilaksanakan sesudah ia mati. Dengan demikian, wasiat
adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang,
piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat
sesudah orang yang berwasiat.
A.Hanafi, mendefinisikan wasiat dengan pesan seseorang untuk
menyisihkan sebagian harta bendanya untuk orang yang ditentukannya
dan pelaksanaannya terjadi sesudah ia meninggal dunia.
Definisi tersebut mencakup seluruh bentuk wasiat, seperti
pemilikan harta, pembebasan seseorang dari utangnya, pembagian harta
bagi ahli waris yang ditinggalkan, wasiat berupa pemberian manfaat,
dan mencakup pula wasiat berupa pesan untuk melaksanakan
kewajiban yang masih tersangkut pada harta yang ditinggalkan.
Imam Syafi’i, mengatakan bahwa wasiat tidak boleh untuk ahli
waris, karena turunnya ayat-ayat kewarisan yang berarti tidak boleh
merugikan hak- hak ahli waris.menurut Ibn Qudamah, pengikut
madzhab Hanbali, menyatakan membolehkan adanya wasiat kepada
ahli waris apabila dikehendaki.
Sedangkan menurut Imam Malik, wasiat boleh dilaksanakan bila
disetujui oleh ahli waris.
Berbeda dengan hukum Islam, dalam hukum perdata barat, wasiat
berupa hibah tidak dibatasi berapa besarnya, sedangkan dalam hukum
Islam besarnya wasiat paling banyak hanya 1/3 (sepertiga) harta
peninggalan. Menurut Oemarsalim, jika wasiat (testament) tersebut
menetapkan penghibahan barang tertentu dipakailah sebutan “legaat”,
sedangkan istilah “efstelling” digunakan untuk penghibahan semua
harta warisan atau bagian tertentu (seperberapa) atas harta warisan
terhadap seseorang tertentu.
A.2 DASAR HUKUM WASIAT
Menurut Sayyid Sabiq, hukum wasiat itu ada beberapa macam yaitu
:
Wajib
Wasiat itu wajib dalam keadaan jika manusia mempunyai kewajiban
syara’ yang dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat,
seperti adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada
manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat yang belum
ditunaikan, atau haji yang belum dilaksanakan, atau amanat yang
harus disampaikan, atau dia mempunyai hutang yang tidak diketahui
sselain dirinya, atau dia mempunyai titipan yang tidak dipersaksikan.
Sunah
Wasiat itu disunatkan bila diperuntukkan bagi kebajikan, karib
kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang saleh.
Haram
Wasiat itu diharamkan jika ia merugikan ahli waris. Wasiat yang
maksudnya merugikan ahli waris seperti ini adalah batil, sekalipun
wasiat itu mencapai sepertiga harta. Diharamkan juga mewasiatkan
khamar, membangun gereja, atau tempat hiburan.
Makruh
Wasiat itu makruh jika orang yang berwasiat sedikit harta, sedang
dia mempunyai seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan
hartanya. Demikian pula dimakruhkan wasiat kepada orang yang
fasik jika diketahui atau diduga keras bahwa mereka akan
menggunakan harta itu di dalam kefasikan dan kerusakan.
Jaiz
Wasiat diperbolehkan bila ia ditujukan kepada orang yang kaya, baik
orang yang diwasiati itu kerabat ataupun orang jauh (bukan kerabat).

Dasar Hukum Wasiat


Al-Qur’an
Q.S Al-Baqarah ayat 180 :
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.

Hadits
Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku
mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada tiap-tiap yang
berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris." Riwayat Ahmad dan
Imam Empat kecuali Nasa'i. Hadits hasah menurut Ahmad dan
Tirmidzi, dan dikuatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-Jarud
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir, dia berkata: Telah
bersabda Rasulullah SAW : “ barang siapa yang mati dalam keadaan
berwasiat, maka dia telah mati di jalan Allah dan Sunnah, mati
dalam keadaan taqwa dan syahid, dan dia mati dalam keadaan
diampuni dosanya.”

A.3 YANG BERHAK MENERIMA WASIAT


Para ulama’ sepakat bahwa orang- orang atau badan yang
menerima wasiat adalah bukan ahli waris, dan secara hukum dapat di
pandang sebagai cakap untuk memiliki sesuatu hak atau benda.
Riwayat dari Abu Umamah berkata bahwaia mendengar
Rasulullah SAW, bersabda, ”sesungguhnya Allah telah memberikan
kepada orang yang mempunyai hak akan hak- haknya, maka tidak sah
wasiat kepada ahli waris”.
Hadis tersebut, oleh sebagian ulama’ di nilai bertentangan dengan
ayat yang men,jelaskan bahwa wasiat adalah untuk kedua orang tua
dan kerabat. Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa wasiat kepada
kerabat yang bukan ahli waris boleh dilaksanakan tetapi makruh.
Fuqaha’ syiah ja’fariyah menyatakan bahwa wasiat kepada ahli
waris yang menerima warisan adalah boleh, kendatipun ahli waris
lainnya tidak menyetujuinya. Dasarnya petunjuk umum (dalalah
al-‘am) Qs. Al- baqarah: 180. Pendapat yang membolehkan wasiat
kepada ahli waris dengan syarat apabila ahli waris lain menyetujui
adalah madzhab syafi’iyah, hanafiyah dan malikiyah. Dasarnya:”
tidak sah wasiat kepada ahli waris, kecuali apabila ahli waris lain
membolehkannya”. Masalah ini juga terdapat pada KHI pasal 195
yang di dalamnya juga mengatur teknis pelaksanaan wasiat. Sayid
Sabiq mengemukakan syarat orang yang menerima wasiat ada tiga,
pertama tidak ahli waris si pewasiat, kedua si penerima wasiat hadir
pada waktu wasiat dilaksanakan, dan ketiga, si penerima tidak
melakukan pembunuhan yang di haramkan kepada si pewasiat.
Kompilasi kemudian menegaskan bahwa dalam berwasiat hendaknya
orang yang menerima di tunjuk secara tegas.

B. HIBAH
B.1 Pengertian Hibah
Hibah secara bahasa berasal dari kata “wahaba” yang berarti lewat
dari satu tangan ke tangan yang lain atau dengan arti lain kesadaran
untuk melakukan kebaikan atau diambil dari kata hubub ar-rih (angin
berhembus) dikatakan dalam kitab Al-Fath, diartikan dengan makna
yang lebih umum berupa ibra’ (membebaskan utang orang), yaitu
menghibahkan utang orang lain dan sedekah menghibahkan sesuatu
yang wajib demi mencari pahala akhirat, dan ja’allah yaitu sesuatu yang
wajib diberikan kepada orang lain sebagai upah, dan dikhususkan
dengan masih hidup agar bisa mengeluarkan wasiat.
Pengertian Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang
kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan
pembagiannya biasanya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup.
Biasanya pemberian-pemberian tersebut tidak akan pernah dicela oleh
sanak keluarga yang tidak menerima pemberian itu, oleh karena pada
dasarnya seseorang pemilik harta kekayaan berhak dan leluasa untuk
memberikan harta bendanya kepada siapapun.
Adapun Menurut Asaf A. A. Fyzee, Pengertian Hibah ialah
penyerahan langsung dan tidak bersyarat tanpa pemberian balasan.
Selanjutnya diuraikan dalam Kitab Durru’l, Muchtar memberikan
definisi Hibah sebagai pemindahan hak atas harta milik itu sendiri oleh
seseorang kepada orang lain tanpa pemberian balasan.

B.2 Hukum Hibah


Salah satu syarat dalam hukum waris untuk adanya proses
pewarisan ialah adanya seseorang yang meninggal dunia dengan
meninggalkan sejumlah harta kekayaan. Sedangkan dalam hibah itu
sendiri, seseorang pemberi hibah itu harus masih hidup pada waktu
pelaksanaan pemberian.
Di dalam Hukum Islam dipebolehkan untuk seseorang
memberikan atau menghadiahkan sebagian atau seluruhnya harta
kekayaan ketika masih hidup kepada orang lain disebut “intervivos“.
Pemberian semasa hidup itu sering disebut sebagai ‘hibah”. Di dalam
hukum islam Jumlah Harta seseorang yang dapat dihibahkan itu tidak
dibatasi. Berbeda halnya dengan pemberian seseorang melalui surat
wasiat yang terbatas pada sepertiga dari harta peninggalan yang
bersih.
Berkaitan dengan Hibah ini, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan yaitu :
Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan oleh
penghibah ketika hidupnya untuk memberikan sesuatu barang
dengan cuma-cuma kepada penerima hibah.;
Hibah harus dilakukan antara dua orang yang masih hidup;
Hibah harus dilakukan dengan akta notaris, apabila tidak
menggunakan akta notaris, maka hibah dinyatakan batal;
Hibah antara suami dan isteri selama dalam perkawinan dilarang,
kecuali jika yang dihibahkan itu benda-benda bergerak yang
harganya tidak terlampau mahal.

Terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi dalam hal melakukan


Hibah Menurut Hukum Islam, yaitu :
Ijab, adalah pernyataan tentang pemberian tersebut dari pihak yang
memberikan;
Qabul, ialah pernyataan dari pihak yang menerima pemberian
hibah itu;
Qabdlah, merupakan penyerahan milik itu sendiri, baik penyerahan
dalam bentuk yang sebenarnya maupun secara simbolis.

Hibah Menurut Hukum Islam dapat dilakukan baik secara tertulis


maupun lisan, bahkan telah ditetapkan dalam Hukum Islam, pemberian
yang berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa
mempergunakan suatu dokumen tertulis. Namun jika ditemukan bukti-
bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak milik, maka
pemberian tersebut dapat dinyatakan secara tertulis. Jika pemberian
tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis, bentuk tersebut terdapat dua
macam yaitu :
Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya
menyatakan bahwa telah terjadinya pemberian;
Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat tersebut
merupakan suatu alat dari penyerahan pemberian itu sendiri.
Artinya, apabila penyerahan dan pernyataan terhadap benda yang
bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang
pemberian, maka yang demikian itulah yang harus didaftarkan.

Seseorang yang hendak menghibahkan sebagian atau seluruh harta


kekayaannya semasa hidupnya, menurut Hukum Islam harus
memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
Orang tersebut harus sudah dewasa.
Harus waras akan pikirannya.
Orang tersebut haruslah sadar dan mengerti tentang apa yang
diperbuatnya.
Baik Laki-laki maupun perempuan diperbolehkan melakukan
hibah.
Perkawinan bukan merupakan suatu penghalang untuk melakukan
hibah.

Tidaklah terdapat persyaratan tertentu bagi pihak yang akan


menerima hibah, sehingga hibah dapat saja diberikan kepada siapapun
dengan beberapa pengecualian sebagai berikut :
Bila hibah terhadap anak di bawah umur atau orang yang tidak
waras akal pikirannya, maka harus diserahkan kepada wali atau
pengampu yang sah dari anak di bawah umur atau orang yang tidak
waras itu;
Bila hibah dilakukan terhadap anak di bawah umur yang diwakili
oleh saudaranya yang laki-laki atau oleh ibunya, hibah menjadi
batal;
Hibah kepada seseorang yang belum lahir juga batal.

Pada dasarnya segala macam harta benda yang dapat dijadikan hak
milik dapat dihibahkan, baik harta pusaka maupun harta gono-gini
seseorang. Benda tetap maupun bergerak dan segala macam piutang
serta hak-hak yang tidak berwujud itu juga dapat dihibahkan oleh
pemiliknya.

B.3 Jenis Hibah


Hibah Biasa
Hibah adalah hadiah. Hakikatnya, hibah adalah satu
transaksi yang mudah. Ada pemberi, ada penerima dan ada
barang (hadiah). Dalam konteks ini, pemilik harta mahu
memberikan harta kepada seseorang. Harta itu mungkin dalam
bentuk rumah, tanah-tanah atau ladang-ladang.

Sudah pasti, hibah adalah sesuatu yang perlu diberi dalam


keadaan kedua-duanya masih hidup

Hibah Amanah
Untuk hibah amanah ada empat perkara;
- Pemberi hibah.
- Pemegang Amanah.
- Penerima hibah.
- Barang hibah.

Contoh Kasus:
Bapaknya mahu memberi tanah dan rumah kepada anaknya.
Disebabkan kalau diberi terus, anaknya akan gelap mata dan
tidak pandai menguruskan harta tersebut – bapaknya tidak beri
secara ‘direct’ atau terus kepada anaknya. Takut, anaknya jadi
boros, tidak berhati perut dan rakus.
Menguruskan risiko tadi (kemungkinan tidak baik), bapaknya
melantik seorang pemegang amanah yang dipercayai mampu
memikul tanggungjawab besar ini. Bapaknya memilih seorang
peguam dalam hal ini, nama peguam adalah Peguam Abu.
Bapaknya telah mengamanahkan Peguam Abu. Kalau berlaku
kematian, harta itu akan dipegang amanah oleh Peguam Abu
dan perlu menyerahkan kepada anaknya kelak.
Ini bukan menidakkan hak orang lain dalam faraid, tapi untuk
merancang lebih baik kepada anaknya kelak.
(Boleh rujuk kepada instrumen seperti Pri Hibah atau Amanah
Hayat, boleh juga rujuk kepada syarikat pemegang amanah
yang menawarkan instrumen begini)

Hibah Bersyarat
Hibah bersyarat adalah hibah yang khusus dan istimewa
untuk takaful sahaja. Hibah bersyarat tidak boleh dilakukan
untuk harta rumah, harta tunai, ladang-ladang atau kereta.

Hibah bersyarat juga perlu ada tiga perkara ini:


- Pemberi hibah iaitu pemunya sijil takaful.
- Penerima hibah iaitu penama, untuk tuntutan kematian.
- Barang hibah iaitu pampasan takaful.

Takaful keluarga (atau takaful nyawa) secara teorinya tidak


mempunyai nilai tunai apabila pemunya sijil takaful itu hidup.
Takaful akan menjadi barang hibah apabila berlakunya kematian
– di sini barulah wujud barang hibah iaitu pampasan takaful itu
sendiri.
Hibah Bersyarat mempunyai keistimewaan sendiri dalam
Akta Perkhidmatan Kewangan Islam 2013 (IFSA). Anda boleh
rujuk sendiri di sini : Hibah Bersyarat.
Hibah bersyarat adalah salah satu instrumen untuk harta
pusaka, dimana keluarga boleh mendapatkan tunai dalam
keadaan cepat berbanding pengurusan harta seperti rumah dan
kereta. Akta itu sendiri, menjaminkan bahawa syarikat takaful
perlu membayar dalam masa 60 hari.

3. KHITTAH PERJUANGAN MUHAMMADIYAH


A. Pengertian Khittah
Khittah secara bahasa berarti langkah atau jalan. Dalam dunia
gerakan Muhammadiyah, Khittah dipakai untuk menyebut panduan
langkah-langkah dalam berjuang. Khittah adalah pedoman yang
dipegang oleh Muhammadiyah yang sangat berguna ketika
menghadapi kenyataan yang sebenarnya di masyarakat. Singkatnya
khittah adalah garis-garis garis haluan perjuangan Muhammadiyah.
Khittah itu mengandung konsepsi (pemikiran) perjuangan yang
merupakan tuntunan, pedoman, dan arah perjuangan. Hal tersebut
mempunyai arti penting karena menjadi landasan berpikir dan amal
usaha bagi semua pimpinan dan anggota muhammadiyah. Garis-garis
besar perjuangan Muhammadiyah tersebut tidak boleh bertentangan
dengan asas dan program yang telah disusun.

B. Latar Belakang Khittah


Perjuangan Muhammadiyah adalah perjuangan menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya. Perjuangan Muhammadiyah tersebut
dilaksankan melalui gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar di
seluruh lapangan kehidupan dengan sasaran umat dakwah dan umat
ijabah baik pada level perseorangan maupun masyarakat, sebagaimana
yang menjadi misi persyarikatan sesuai firman Allah dalam surat Ali
Imran 3:104

Artinya:
dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.

Ditinjau dari stuktur konsepsinya, pada hakekatnya perjuangan


Muhammadiyah merupakan operasionalisasi strategis dari Khittah
perjuangan muhammadiyah. Karena itu Khittah Perjuangan
Muhammadiyah dapat dikatakan dengan sebagai pola dasar dari strategi
perjuangan Muhammadiyah. Sedangkan dilihat dari substansinya,
Khittah Perjuangan Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai teori
perjuangan, yakni sebagai kerangka berfikir untuk memahami dan
memecahkan persoalan yang dihadapi Muhammadiyah sesuai dengan
gerakannya dalam konteks situasi dan kondisi yang dihadapi.
Adapun Khittah Perjuangan Muhammadiyah itu berisi
pernyataan tentang :
Hakikat Muhammadiyah
Muhammadiyah dan masyarakat
Muhammadiyah dan politik
Muhammadiyah dan Ukhuwah Islamiyah
Dasar Program Muhammadiyah

Fungsi khittah perjuangan Muhammadiyah adalah sebagai


landasan berpikir bagi semua pimpinan dan anggota juga menjadi
landasan setiap amal usaha Muhammadiyah.

C. Matan (isi) Perjuangan Muhammadiyah


Isi khittah harus sesuai dengan tujuan Muhammadiyah, khittah disusun
sesuai dengan perkembangan zaman.
Jika dikaji secara menyeluruh, maka diketahui bahwa Muhammadiyah
memilki beberapa macam khittah. Ini setidaknya yang terekam dalam sejarah
rumusan khittah Muhammadiyah. Di antaranya adalah :
12 Langkah Muhammadiyah disusun oleh KH. Mas Mansyur pada masa
kepemimpinannya tahun 1936-1942:
Memperdalam masuknya iman
Memperbuahkan paham agama
Memperbuahkan budi pekerti
Menuntun amal intiqod
Menguatkan persatuan
Menegakkan keadilan
Melakukan kebiaksanaan
Menguatkan majelis tanwir
Mengadakan konferensi bagian
Mempermusyawarahkan putusan
Mengawasi gerakan jalan
Mempersambung gerakan luar

1) Langkah 12 Muhammadiyah 1938-1940


Memperdalam Masuknya Iman.
Hendaklah iman itu ditablighkan, disiarkan dengan selebar-lebarnya,
yakni diberi riwayatnya dan diberi dalil buktinya, dipengaruhkan dan
digembirakan, sampai iman itu mendarah daging, masuk di tulang
sumsum dan mendalam di hati sanubari kita, sekutu-sekutu Muham-
madiyah seumumnya.
Memperluas Faham Agama.
Hendaklah faham agama yagn sesungguhnya itu dibentangkan dengan
arti yang seluas-luasnya, boleh diujikan dan diperbandingkan, sehingga
kita sekutu-sekutu Muhammadiyah mengerti perluasan Agama Islam,
itulah yang paling benar, ringan dan berguna, maka, mendahulukanlah
pekerjaan keagamaan itu.
Memperbuahkan Budi Pekerti.
Hendaklah diterangkan dengan jelas tentang akhlaq yang terpuji dan
akhlaq yang tercela serta diperbahaskannya tentang memakainya akhlaq
yang mahmudah dan menjauhkannya akhlaq yang madzmumah itu,
sehingga menjadi amalan kita, ya seorang sekutu Muhammadiyah, kita
berbudi pekerti yang baik lagi berjasa.
Menuntun Amalan Intiqad (self correctie).
Hendaklah senantiasa melakukan perbaikan diri kita sendiri (self
correctie), segala usaha dan pekerjaan kita, kecuali diperbesarkan,
supaya diperbaikilah juga. Buah penyelidikan perbaikan itu
dimusyawarahkan di tempat yang tentu, dengan dasar mendatangkan
maslahat dan menjauhkan madlarat, sedang yang kedua ini didahulukan
dari yang pertama.
Menguatkan Persatuan.
Hendaklah menjadikan tujuan kita juga, akan menguatkan persatuan
organisasi dan mengokohkan pergaulan persaudaraan kita serta
mempersamakan hak-hak dan memerdekakan lahirnya pikiran-pikiran
kita.
Menegakkan Keadilan.
Hendaklah keadilan itu dijalankan semestinya, walaupun akan
mengenai badan sendiri, dan ketetapan yang sudah seadil-adilnya itu
dibela dan dipertahankan di mana juga.
Melakukan Kebijaksanaan.
Dalam gerak kita tidaklah melupakan hikmah, hikmah hendaklah
disendikan kepada Kitabullah dan Sunnaturrasulillah. Kebijaksanaan
yang menyalahi ke-dua pegangan kita itu, mestilah kita buang, karena
itu bukan kebijaksanaan yang sesungguhnya. Dalam pada itu, dengan
tidak mengurangi segala gerakan kemuhammadiyahan, maka pada
tahun 1838-1940 H. Muhammadiyah mengemukakan pekerjaan akan:
Menguatkan Majlis Tanwir.
Sebab majlis ini nyata-nyata berpengaruh besar dalam kalangan kita
Muhammadiyah dan sudah menjadi tangan kanan yang bertenaga disisi
Hoofdbestuur (PP) Muhammadiyah, maka sewajibnyalah kita
perteguhkan dengan diatur yang sebaik-baiknya.
Mengadakan Konperensi Bagian.
Untuk mengadakan garis yang tentu dalam langkah-langkah bagian kita,
maka hendaklah kita berikhtiar mengadakan Konperensi bagian,
umpama: Konperensi Bagian: Penyiaran Agama seluruh Indonesia dan
lain-lain sebagainya.
Mempermusyawaratkan Putusan.
Agar dapat keringanan dan dipermudahkan pekerjaan, maka hendaklah
setiap ada keputusan yang mengenai kepala Majlis (Bagian),
dimusyawarahkanlah dengan yang bersangkutan itu lebih dahulu,
sehingga dapatlah mentanfidzkan dengan cara menghasilkannya dengan
segera.
Mengawaskan Gerakan Jalan.
Pemandangan kita hendaklah kita tajamkan akan mengawasi gerak kita
yang ada di dalam Muhammadiyah, yang sudah lalu, yang masih
langsung dan yang bertambah (yang akan datang/berkembang).

2) Khittah Palembang 1956-1959


Menjiwai pribadi anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan
memperdalam dan mempertebal tauhid, menyempurnakan ibadah
dengan khusyu’ dan tawadlu’, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu
pengetahuan, dan menggerakkan Muham-madiyah dengan penuh
keyakinan dan rasa tanggung jawab.
Melaksanakan uswatun hasanah.
Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi.
Memperbanyak dan mempertinggi mutu anak
Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader.
Memperoleh ukhuwah sesama muslim dengan mengadakan badan
ishlah untuk mengantisipasi bila terjadi keretakan dan perselisihan.
Menuntun penghidupan anggota.

3) Khittah Ponorogo 1969


Kelahiran Parmusi merupakan buah dari Khittah Ponorogo (1969). Dalam
rumusan Khittah tahun 1969 ini disebutkan bahwa dakwah Islam amar
ma'ruf nahi munkar dilakukan melalui dua saluran: politik kenegaraan dan
kemasyarakatan. Muhammadiyah sendiri memposisikan diri sebagai
gerakan Islam amar ma'ruf nahi munkar dalam bidang kemasyarakatan.
Sayangnya, partai parmusi ini gagal sehingga khittah ponorogo kemudian
"dinasakh" meminjam istilah Haedar nashir lewat khittah ujung pandang.

4) Khittah Ujung Pandang 1971


Muhammadiyah adalah Gerakan Da’wah Islam yang beramal dalam
segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat.
Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak
memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang
dari ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muham-
madiyah.
Untuk lebih memantapkan muhammadiyah sebagai gerakan da’wah
islam setelah pemilu tahun 1971, muhammadiyah melakukan amar
ma’ruf nahi munkar secara konstruktif dan positif terhadap partai
muslimin Indonesia.
Untuk lebih meningkatkan partisipasi muhammadiyah dalam
pelaksanaan pembangunan nasional.

5) Khittah Surabaya 1978 (penyempurnaan dari khittah ponorogo 1969)


Muhammadiyah adalah Gerakan Da’wah Islam yang beramal dalam
segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai
hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari
sesuatu partai politik atau organisasi apapun.
Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak
memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang
dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan ketentuan-
ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah.

6) Khittah Denpasar 2002


Dalam Posisi yang demikian maka sebagaimana khittah Denpasar,
muhammadiyah dengan tetap berada dalam kerangka gerakan dakwah dan
tajdid yang menjadi fokus dan orientasi utama gerakannya dapat
mengembangkan fungsi kelompok kepentingan atau sebagai gerakan social
civil-society dalam memainkan peran berbangsa dan bernegara.

Anda mungkin juga menyukai