OLEH:
MIRNAWATI
105610520814
Artinya:
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnyam baik sedikit atau banyak
menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Selain itu ada banyak ayat-ayat lain tentang ilmu waris ini, diantara
lain di dalam surat :
Q.S An-Nisa(4:7 sampai 12 dan ayat 176)
Q.S An Nahl(16:75)
b) As-Sunnah/Hadist
Dari ibnu mas’ud, Rasullullah saw bersabda: “Pelajarilah Al
Quran dan ajarkanlah ia kepada manusia dan pelajarilah al faraidh
dan ajarkanlah ia kepada manusia. Maka sesungguhnya aku ini
manusia yang akan mati, dan ilmu pun akan diangkat. Hampir saja
nanti akan terjadi dua orang yang berselisih tentang pembagian harta
warisan dan masalahnya, maka mereka berdua pun tidak menemukan
seseorang yang memberitahukan pemecahan masalahnya kepada
mereka”. (H.R. Ahmad)
Hadist dari Abdullah bin ‘Amr bahwa nabi bersabda :
“Ilmu itu ada tiga macam dan yang selain tiga macam itu sebagai
tambahan saja, ayat muhkamat, sunnah yang datang dari nabi dan
faraidh yang adil”. (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah)
B. PEMBAGIAN WARIS
Pembagian harta waris dalam islam telah begitu jelas diatur dalam
al qur an, yaitu pada surat An Nisa. Allah dengan segala rahmat-Nya,
telah memberikan pedoman dalam mengarahkan manusia dalam hal
pembagian harta warisan. Pembagian harta ini pun bertujuan agar di
antara manusia yang ditinggalkan tidak terjadi perselisihan dalam
membagikan harta waris.
Harta waris dibagikan jika memang orang yang meninggal
meninggalkan harta yang berguna bagi orang lain. Namun, sebelum
harta waris itu diberikan kepada ahli waris, ada tiga hal yang terlebih
dahulu mesti dikeluarkan, yaitu peninggalan dari mayit:
C. KETENTUAN WARIS
Di dalam agama Islam, pembagian harta warisan telah mendapat
perhatian khusus yang ditegaskan oleh Allah SWT, agar tidak ada
saudara yang saling bermusuhan hanya karena berebut harta warisan.
Sebagaimana yang tercantum dalam Al Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 11-
12:
Artinya:
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian
dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (An-
Nisa’:11).
Artinya:
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-
laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat
(kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Penyantun (An-Nisa’:12).
Dari kedua ayat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum
waris Islam telah ditetapkan oleh Allah SWT secara detail, agar tidak
terjadi perebutan harta di antara para ahli waris.
Hadits
Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku
mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada tiap-tiap yang
berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris." Riwayat Ahmad dan
Imam Empat kecuali Nasa'i. Hadits hasah menurut Ahmad dan
Tirmidzi, dan dikuatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-Jarud
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir, dia berkata: Telah
bersabda Rasulullah SAW : “ barang siapa yang mati dalam keadaan
berwasiat, maka dia telah mati di jalan Allah dan Sunnah, mati
dalam keadaan taqwa dan syahid, dan dia mati dalam keadaan
diampuni dosanya.”
B. HIBAH
B.1 Pengertian Hibah
Hibah secara bahasa berasal dari kata “wahaba” yang berarti lewat
dari satu tangan ke tangan yang lain atau dengan arti lain kesadaran
untuk melakukan kebaikan atau diambil dari kata hubub ar-rih (angin
berhembus) dikatakan dalam kitab Al-Fath, diartikan dengan makna
yang lebih umum berupa ibra’ (membebaskan utang orang), yaitu
menghibahkan utang orang lain dan sedekah menghibahkan sesuatu
yang wajib demi mencari pahala akhirat, dan ja’allah yaitu sesuatu yang
wajib diberikan kepada orang lain sebagai upah, dan dikhususkan
dengan masih hidup agar bisa mengeluarkan wasiat.
Pengertian Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang
kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan
pembagiannya biasanya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup.
Biasanya pemberian-pemberian tersebut tidak akan pernah dicela oleh
sanak keluarga yang tidak menerima pemberian itu, oleh karena pada
dasarnya seseorang pemilik harta kekayaan berhak dan leluasa untuk
memberikan harta bendanya kepada siapapun.
Adapun Menurut Asaf A. A. Fyzee, Pengertian Hibah ialah
penyerahan langsung dan tidak bersyarat tanpa pemberian balasan.
Selanjutnya diuraikan dalam Kitab Durru’l, Muchtar memberikan
definisi Hibah sebagai pemindahan hak atas harta milik itu sendiri oleh
seseorang kepada orang lain tanpa pemberian balasan.
Pada dasarnya segala macam harta benda yang dapat dijadikan hak
milik dapat dihibahkan, baik harta pusaka maupun harta gono-gini
seseorang. Benda tetap maupun bergerak dan segala macam piutang
serta hak-hak yang tidak berwujud itu juga dapat dihibahkan oleh
pemiliknya.
Hibah Amanah
Untuk hibah amanah ada empat perkara;
- Pemberi hibah.
- Pemegang Amanah.
- Penerima hibah.
- Barang hibah.
Contoh Kasus:
Bapaknya mahu memberi tanah dan rumah kepada anaknya.
Disebabkan kalau diberi terus, anaknya akan gelap mata dan
tidak pandai menguruskan harta tersebut – bapaknya tidak beri
secara ‘direct’ atau terus kepada anaknya. Takut, anaknya jadi
boros, tidak berhati perut dan rakus.
Menguruskan risiko tadi (kemungkinan tidak baik), bapaknya
melantik seorang pemegang amanah yang dipercayai mampu
memikul tanggungjawab besar ini. Bapaknya memilih seorang
peguam dalam hal ini, nama peguam adalah Peguam Abu.
Bapaknya telah mengamanahkan Peguam Abu. Kalau berlaku
kematian, harta itu akan dipegang amanah oleh Peguam Abu
dan perlu menyerahkan kepada anaknya kelak.
Ini bukan menidakkan hak orang lain dalam faraid, tapi untuk
merancang lebih baik kepada anaknya kelak.
(Boleh rujuk kepada instrumen seperti Pri Hibah atau Amanah
Hayat, boleh juga rujuk kepada syarikat pemegang amanah
yang menawarkan instrumen begini)
Hibah Bersyarat
Hibah bersyarat adalah hibah yang khusus dan istimewa
untuk takaful sahaja. Hibah bersyarat tidak boleh dilakukan
untuk harta rumah, harta tunai, ladang-ladang atau kereta.
Artinya:
dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.