Anda di halaman 1dari 9

A.

Latar Belakang
Diantara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang
ditetapkan Allah Swt adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan
pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Harta yang
ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan
tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana
cara mendapatkannya.
Aturan tentang waris tersebut ditetapkan oleh Allah Swt melalui
firmannya yang terdapat dalam Al-Qur’an, terutama surah an-nisa’ ayat 7, 8,
11, 12, dan 176. Pada dasarnya ketentuan Allah Swt yang berkenaan dengan
warisan telah jelas maksud, arah dan tujuannya. Hukum kewarisan islam atau
yang juga dikenal The Islamic Law of Inheritance mempunyai karakteristik
tersendiri jika dibandingkan dengan sistem hukum lainnya.
Ditinjau dari perspektif sejarah, implementasi hukum kewarisan islam
pada zaman penjajahan belanda ternyata tidak berkembang, bahkan secara
politis posisinya dikalahkan oleh sistem kewarisan hukum adat. Pada masa itu
diintrodusir teori persepsi yang bertujuan untuk mengangkat hukum
kewarisan adat dan menyisihkan penggunaan hukum kewarisan islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mawaris
Warisan adalah segala sesuatu (harta) peninggalan oleh ahli waris secara
mutlak. Para fuqaha madzhab Hanafi telah menetapkan lalu berkata
“sesungguhnya allah telah mewajibkan warisan dalam harta yang telah
ditinggalkan oleh manusia setelah kematiannya, tidak dalam selain harta. Adapun
hak-hak, dia tidak diwariskan. Tidak ada hak yang diwariskan kecuali yang
mengikuti harta atau yang semakna dengan harta, untuk mengambil manfaat dan
menguasai, serta untuk tinggal ditanah yang dikhususkan untuk pembangunan
dan penanaman.
Sedangkan mazhab imam maliki, syafi’i, dan hanbali warisan mencakup
semua harta dan hak-hak yang ditinggalkan oleh si mayit, baik yang berkaitan
dengan harta maupun tidak.
B. Hak-Hak yang berkaitan dengan warisan

Hak-hak yang berkaitan dengan warisan yaitu ada 4, dan semuanya tidak
memiliki kedudukan yang sama, akan tetapi yang paling diutamakan, urutannya
adalah sebagai berikut :

1. Pengkafanan dan penyiapan si mayit sesuai dengan syara’


2. Pembayaran hutang seperti zakat, kafarat, maupun hutang-hutang kepada
manusia
3. Pelaksanaan wasiat dari sepertiga harta yang tersisa setelah pembayaran
hutang
4. Pembagian harta dari yang tersisa dari pewaris diantara para ahli waris
C. Rukun Pewarisan
Pewarisan membutuhkan adanya 3 hal berikut :
1. Ahli waris, yaitu orang yang memiliki hubungan dengan si mayit.
2. Pewaris, yaitu orang yang mati secara hakiki atau secara hukum.
3. Warisan, yaitu harta atau hak-hak yang dipindahkan dari pewaris kepada ahli
waris.
D. Sebab Pewarisan
Warisan berhak didapatkan dengan sebab-sebab berikut ini :
1. Nasab hakiki
‫ب هَّللا ِ ۗ ِإنَّ هَّللا َ بِ ُك ِّل ش َْي ٍء َعلِي ٌم‬
ِ ‫ض ِفي ِكتَا‬ ُ ‫َوُأولُو اَأْل ْر َح ِ'ام بَ ْع‬
ٍ ‫ض ُه ْم َأ ْولَ ٰى بِبَ ْع‬
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya
lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam
kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
2. Nasab secara hukum
‫ب‬ َ َّ‫ال َواَل ُء لُ ْح َمةٌ َكلُ ْح َم ِة الن‬
ِ ‫س‬
“Wala’ adalah kekerabatan seperti kekerabatan nasab”. (Sunan Al-
Baihaqi)
3. Pernikahan yang sah, berdasarkan firman Allah SWT.
'‫ف' َم' ا' تَ' َر' َك' َأ ْ'ز' َ'و' ا' ُ'ج' ُك' ْم‬ 'ْ 'ِ‫َ'و' لَ' ُك' ْم' ن‬
'ُ '‫ص‬
“ Dan bagianmu (suami) adalah seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu.....” (QS. An-Nisa’ : 12)
E. Syarat Pewarisan
Ada tiga hal penting terkait syarat dalam pewarisan, yaitu sebagai berikut :
1. Kematian secara hakiki
2. Kehidupan ahli waris setelah kematian pewaris, meskipun secara hukum
3. Tidak hal-hal yang menghalangi pewarisan
F. Hal yang menghalangi Pewarisan
Ada hal yang bisa menghalangi seseorang untuk mendapatkan hak warisan,
sebagai berikut :
1. Perbudakan
2. Pembunuhan
3. Perbedaan agama
4. Perbedaan negri
G. Orang yang berhak mendapatkan warisan
Orang-orang yang berhak mendapatkan warisan diurutkan sebagai berikut :
1. Ashhabul furudh
2. Ashabah nasabiyyah
3. Ashabah sababiyyah
4. Radd untuk ashhabul furudh
5. Dzawil arham
6. Maula muwalah
7. Orang yang diakui nasabnya
8. Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga
9. Baitul maal
H. Yang berhak mendapatkan waris (ashhabul furudh)
Ashhabul furudh adalah orang yang memiliki satu diantara enam bagian yang
telah ditentukan, 1/2,1/4 , 1/8, 2/3, 1/3, 1/6. Berikut ini penjelasan tentang bagian
masing masing dari mereka secara terperinci :
1. Bapak
Bapak memilik 3 kondisi :
1) Kondisi pertama, bapak mewarisi dengan bagian yang telah ditentukan jika
bersamanya terdapat anak laki-laki dari mayit, baik sendirian maupun
bersama yang lain. Dalam kondisi ini, bagian bapak adalah seperenam.
2) Kondisi kedua, bapak mewarisi sebagai ‘ashabah jika si mayit tidak
memiliki anak. Bapak mengambil semua warisan jika dia sendirian atau
mengambil sisa ashabul-furudh jika bersamanya ada seorang di antara
mereka.
3) Kondisi ketiga, bapak mewarisi dengan bagian yang telah ditentukan dan
sebagai ‘ashabah sekaligus jika bersamanya ada anak perempuan yang
mewarisi. Dalam kondisi ini, bapak mengambil bagian seperenam, lalu
mengambil sisa dari ashhabul-furudh sebagai ‘ashabah.
2. Kakek
Kakek ada yang sah ada juga yang tidak sah. Kakek yang sah adalah
yang mungkin dinisbatkan kepada si mayit tanpa diselai dengan seorang
perempuan, seperti bapak dan bapak. Dan kakek yang tidak sah adalah yang
tidak dinisbatkan kepada si mayit kecuali diselai oleh seorang
perempuan,seperti bapak dari ibu. Kakek yang sah berhak mendapatkan
warisan berdasarkan ijma’ yakni seperenam.
3. Saudara seibu
Yang dimaksud dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan
disini adalah saudara seibu. Dan dari ayat (Q.S. An-Nisa’ [4] : 12) tampak
jelas bahwa mereka memiliki tiga kondisi sebagai berikut.
1) Seorang saudara seibu , baik laki-laki maupun perempuan, mendapatkan
seperenam.
2) Dua orang atau lebih saudara seibu mendapatkan sepertiga. Sama saja
antara laki-laki dan perempuan.
3) Mereka tidak mewarisi apa-apa dengan adanya cabang yang mewarisi,
seperti anak dan anak dari anak, dan dengan adanya pokok laki-laki yang
mewarisi,seperti bapak dan kakek. Mereka tidak dihalangi oleh ibu atau
nenek.
4. Suami
Ayat dari Q.S. An-Nisa’ [4]: 12) menunjukkan bahwa suami memiliki dua
kondisi.
1) Kondisi pertama, didalamnya suami mewarisi setengah. Itu terjadi ketika
tidak ada cabang yang mewarisi, yaitu anak laki-laki ddan terus kebawah,
anak perempuan, dan anak perempuan dari anak laki-laki, baik darinya
maupun dari suami yang lain.
2) Kondisi kedua, didalamnya suami mewarisi seperempat. Itu terjadi ketika
ada cabang yang mewarisi (adapun cabang yang tidak mewarisi, seperti
anak perempuan dari anak perempuan, dia tidak mengurangi bagian suami
atau istri).
5. Istri
Dalam Q.S.An-Nisa’[4] : 12 menjelaskan bahwa istri memiliki dua kondisi
berikut.
1) Kondisi pertama, dia berhak memperoleh seperempat ketika tidak ada
cabang yang mewarisi, baik darinya maupun dari istri yang lain.
2) Kondisi kedua, dia berhak memperoleh seperdelapan ketika ada cabang
yang mewarisi.
Jika terdapat lebih dari seorang istri,maka mereka berbagi sama rata
dalam seperempat atau seperdelapan itu.
Istri yang ditalak
Istri yang ditalak dengan talak raj’I mewarisi suaminya jika sang
suami meninggal sebelum masa iddahnya berahir.
Para fuqaha madhzab hambali berpendapat bahwa perempuan yang
ditalak sebelum bercampur dan berkhalwat mewarisi suaminya yang
mentalaknya ketika sedag sakit menjelang kematian, jika sang suami
meninggal dalam sakitnya itu, selama dia belum menikah lagi. Begitu pula
perempuan yang ditalak setelah berkhalwat, selama dia belum menikah lagi
dan sedang menjalani iddah kematian.
6. Anak perempuan
Dalam ayat QS.An-Nisa’ [4] :11 menunjukkan bahwa anak perempuan
memiliki tiga kondisi berikut.
1) Kondisi pertama, dia mendapatan setengah jika hanya seorang diri.
2) Kondisi kedua, dua anak perempuan atau lebih mendapatkan dua pertiga
jika bersama mereka tidak ada seorang anak laki-laki atau lebih.
3) Kondisi ketiga, dia mewarisi sebagai ‘ashabah jika bersamanya ada
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.
Demikian pula halnya jika jumlah anak perempuan lebih dari satu atau
jumlah anak laki-laki lebih dari satu.
7. Saudara perempuan sekandung
Saudara perempuan sekandung (syaqiqah) memiliki lima kondisi sebagai
berikut.
1) Seorang saudara perempuan sekandung sendirian mendapatkan setengah
jika bersamanya tidak ada anak,anak dari anak laki-laki,bapak,kakek,atau
saudara laki-laki sekandung.
2) Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih mendapatkan dua
pertiga ketika orang-orang yang kita sebutkan barusan tidak ada.
3) Jika bersama mereka ada seorang saudara laki-laki sekandung,sedangkan
yang lain tidak ada, maka dia menjadikan mereka sebagai ashabah. Dan
bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua orang saudara
perempuan.
4) Mereka menjadi ashabah bersama anak-anak perempuan atau anak-anak
perempuan dari anak laki-laki. Mereka mengambil sisa warisan setelah
dikurangi bagian anak-anak perempuan atau anak-anak perempuan dari
anak laki-laki.
5) Mereka tanggal dengan adanya cabang laki-laki yang mewarisi,seperti anak
laki-laki dan anak laki-laki dari anak laki-laki,dan dengan adanya pokok
laki-laki yang mewarisi, seperti bapak dan kake. Tanggalnya mereka
dengan adanya bapak telah disepakati oleh fuqaha. Sementara itu,
tanggalnya mereka dengan adanya kakek adalah pendapat Abu Hanifah
yang ditentang oleh Abu Yusuf dan Muhammad. Dan perselisihan
pendapat ini telah dijelaskan diatas.
8. Saudara perempuan sebapak
Saudara – saudara perempuan sebapak memiliki enam kondisi sebagai berikut.
1) Seorang saudara perempuan sebapak mendapatkan setengah ketika dia
sendirian dan tidak disertai oleh saudara perempuan sebapak
sepertinya,saudara laki-laki sebapak,atau saudara perempuan sekandung.
2) Dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih mendapatkan dua
pertiga.
3) Mereka mendapatkan seperenam jika bersama mereka ada seorang saudara
perempuan sekandung yang sendirian untuk menggenapkan dua pertiga.
4) Mereka mewarisi sebagai ashabah jika bersama mereka ada seorang atau
lebih saudara laki-laki sebapak. Dan bagian seorang saudara laki-laki sama
dengan bagian dua orang suadara perempuan.
5) Mereka mewarisi sebagai ashabah jika bersama mereka ada seorang atau
lebih anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki. Mereka
mendapatkan sisa setelah dikurangi bagian anak perempuan atau anak
perempuan dari anak laki-laki.
6) Mereka tanggal dengan adanya orang-orang berikut ini.
a) Pokok atau cabang laki-laki yang mewarisi.
b) Saudara laki-laki sekandung.
9. Anak perempuan dari anak laki-laki
Anak perempuan dari anak laki-laki memilik lima kondisi sebagai berikut ini.
1) Seorang anak perempuan dari anak laki-laki mendapatkan setengah ketika
tidak ada anak kandung.
2) Dua orang anak perempuan dari anak laki-laki mendapatkan dua pertiga
ketika tidak ada anak kandung.
3) Seorang atau lebih anak perempuan dari anak laki-laki mendapatkan
seperenam ketika bersama seorang anak perempuan kandung untuk
menggenapkan dua pertiga. Kecuali jika bersama mereka ada seorang cucu
laki-laki yang setingkat dengan mereka, maka dia menjadikan mereka
sebagai ‘ashabah. Setelah dikurangi bagian anak perempuan, sisa warisan
dibagi antara cucu-cucu ini. Bagian seorang cucu-cucu laki-laki sama
dengan bagian dua orang cucu perempuan.
4) Mereka tidak mewarisi jika ada anak laki-laki.
5) Mereka tidak mewarisi ketika ada dua anak perempuan kandung atau lebih.
Kecuali jika bersama mereka ada seorang anak laki-laki dari anak laki-laki
yang sejajar dengan mereka atau dari tingkatan dibawah mereka, maka dia
menjadikan mereka sebagai ‘ashabah.
10. Ibu
Seorang ibu memiliki 3 kondisi sebagai berikut.
1) Dia mengambil seperenam jika bersamanya ada seorang anak, seorang
anak dari anak laki-laki,atau dua orang saudara laki-laki atau dua orang
saudara perempuan secara mutlak,baik sebapak dan seibu,sebapak saja
maupun seibu saja.
2) Dia mengambil sepertiga sdari keseluruhan harta jika orang-orang yang
telah disebutkan ini tidak ada.
3) Dia mengambil sepertiga dari sisa ketika orang-orang yang telah
disebutkan itu tidak ada setelah dikurangi bagian suami atau istri. Ini terjadi
dalam dua perkara yang dinamakan gharra’iyyah. Perkara pertama, ketika
si mayit meninggalkan suami dan kedua orang tua. Perkara
11. Nenek
Para nenek-nenek yang sah memiliki tiga kondisi berikut.
1) Bagian mereka adalah seperenam. Jika hanya ada seorang nenek, maka dia
memiliki bagian ini sendirian. Dan jika ada lebih dari seorang nenek, maka
mereka bersekutu didalamnya,dengan syarat tingkatan mereka sama, seperti
ibu dari ibu dan ibu dari bapak.
2) Nenek yang dekat,dari pihak manapun, menghalangi nenek yang jauh. Ibu
dari ibu, misalnya menghalangi ibu dari ibu dari ibu dan juga menghalangi
ibu dari bapak dari bapak.
3) Para nenek, dari pihak manapun, tanggal dengan adanya ibu. Nenek dari
pihak bapak, tetapi nenek dari pihak ibu tidak tanggal dengannya. Dan kakek
juga menghalangi ibunya karena dia dinisbatkan kepada si mayit melalui
kakek.

Anda mungkin juga menyukai