Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

HUKUM PERDATA
ANALISIS PEMBAGIAN HARTA WARISAN DI INDONESIA
MENURUT ISLAM

NAMA : Dea Febrianti Lubis

NIM : 2011111019

JURUSAN : HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BHAYANGKARA SURABAYA

BAB 1
PENDAHULUAN
Latar belakang

Pengertian Warisan, adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik
harta maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarga nya yang
masih hidup. "Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para
ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan kerabatnya. Namun, melihat
di masyarakat mengembangkan dengan pembaharuan yang adil untuk rata-rata atau porsi yang
sama dengan tidak menentukan antara anak laki-laki dan anak perempuan. dalam pembahasan
waris perdata juga di atur tentang pergantian tempat, ganti warisan. Untuk itu perlu sekali untuk
menjelaskan kepada masyarakat tentang hukum waris perdata. Hal ini perlu untuk menghindari
masalah dalam pembahasan warisan bagi golongan yang lain yang ingin beralih pada hukum
Waris yang harusnya dia pakai bukan Hukum waris perdata.

membicarakan tentang warisan yang menjadi permasalahan dan orang tersebut


meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang lazim disebut harta warisan, dengan cara apa
kita hendak menyelesaikan atau membagi harta warisan tersebut, hukum apa yang akan kita
terapkan dalam penyelesaian harta warisan itu serta bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-
hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. Penyelesaian hak-hak dan
kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris.

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum. jadi,warisan
itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan
(berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. etimologis mawaris adalah
bentuk jamak dari kata miras, yang merupakan mashdar yaitu warasa - yarisu - irsan - mirasan.
Maknanya berpindahnya sesuatu seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada
kaum lain.

Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindah nya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal
secara syar'i. jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum islam yang pemindahan hak
milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai dengan
ketentuan dalam al-qur'an dan al-hadis.

Rumusan Masalah.

1. Jelaskan bagian-bagian hak waris?

2. Sebutkan golongan ahli waris?


BAB 2

PEMBAHASAN

HUKUM WARIS MENURUT ISLAM

Pengertian waris menurut islam tidak terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan
harta, akan tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Sedangkan secara terminologi
hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang pembagian harta
warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari peninggalan
untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya. kalau dalam istilah umum, waris adalah
perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih
hidup. Seperti yang disampaikan oleh Wiryono Projodikoro, definisi waris adalah soal apakah
dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.

Selain kata waris tersebut, kita juga menemukan istilah lain yang berhubungan dengan
warisan, diantaranya adalah:

1. Waris, adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.

2. Muwaris, adalah orang yang diwarisi harta bendanya (orang yang meninggal) baik secara
haqiqy maupun hukmy karena adanya penetapan pengadilan.

3. Al-Irsi, adalah harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris yang berhak setelah
diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang dan menunaikan wasiat.

4. Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.

5. Tirkah, yaitu seluruh harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk
pemeliharaan jenazah, melunasi hutang, menunaikan wasiat.

- rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu :

Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya.
Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia. Kematian seorang muwaris itu,
menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam :

a) Mati Haqiqy (mati sejati).


Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan putusan
hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera dan
dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.

b) Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis)

Mati hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian yang dinyatakan
atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan hakim
secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat kemungkinan muwaris
masih hidup.

c) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).

Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris) berdasarkan dugaan
keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun.
Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan keras kematian itu diakibatkan
oleh pemukulan terhadap ibunya.

Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik
hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena memerdekakan
hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui
benarbenar dalam keadaan hidup.

Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah,
pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.

Golongan ahli waris :

Orang-orang yang berhak menerima harta waris dari seseorang yang meninggal sebanyak 25
orang yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan.

Golongaan ahli waris dari pihak laki-laki, yaitu :

1. Anak laki-laki.

2. Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu) dari pihak anak laki-laki, terus kebawah, asal
pertaliannya masih terus laki-laki.

3. Saudara laki-laki seibu sebapak.

4. Saudara laki-laki sebapak saja.

5. Saudara laki-laki seibu saja.


6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak.

7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja.

8. Saudara laki-laki bapak (paman) dari pihak bapak yang seibu sebapak.

9. Saudara laki-laki bapak yang sebapak saja.

10. Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang seibu sebapak.

Apabila 10 orang laki-laki tersebut di atas semua ada, maka yang mendapat harta warisan
hanya 3 orang saja, yaitu :

1. Bapak.

2. Anak laki-laki.

3. Suami.

Golongan dari pihak perempuan, yaitu :

1. Anak perempuan.

2. Ibu.

3. Ibu dari bapak.

4. Ibu dari ibu terus ke atas pihak ibu sebelum berselang laki-laki.

5. Saudara perempuan seibu sebapak.

6.Saudara perempuan yang sebapak.

7. Saudara perempuan seibu.

8. Istri.

9. Perempuan yang memerdekakan si mayat.

10. Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya.

Apabila 10 orang tersebut di atas ada semuanya, maka yang dapat mewarisi dari mereka itu
hanya 5 orang saja, yaitu :

1. isteri.
2. Anak perempuan.

3. Anak perempuan dari anak laki-laki.

4. Ibu.

5. Saudara perempuan yang seibu sebapak.

Jika 25 orang di atas dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan semuanya ada, maka yang
pasti mendapat hanya salah seorang dari dua suami isteri, ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak
perempuan. Anak yang berada dalam kandungan ibunya juga mendapatkan warisan dari
keluarganya yang meninggal dunia sewaktu dia masih berada di dalam kandungan ibunya.

Bagian-bagian ahli waris :

Dalam fiqih mawaris ada ilmu yang digunakan untuk mengetahui tata cara pembagian dan untuk
mengetahui siapa-siapa saja yang berhak mendapat bagian, siapa yang tidak mendapat bagian
dan berapa besar bagiannya. Ketentuan kadar bagian masing-masing ahli waris adalah sebagai
berikut :

Yang mendapat setengah harta :

Anak perempuan, apabila ia hanya sendiri, tidak bersama-sama saudaranya. Allah berfirman
dalam surah An-Nisa’ ayat 11 :

ِ ‫لنِّصْ فُا فَلَهَا َو‬


ْ ‫اح َدةً َكان‬
‫َت َوِإ ْن‬

Artinya : “Jika anak perempuan itu hanya seorang, maka ia memperolah separo harta.”

Anak perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak perempuan.

Saudara perempuan yang seibu sebapak atau sebapak saja, apabila ia saudara perempuan seibu
sebapak tidak ada dan ia hanya seorang saja.

Suami, apabila isterinya yang meninggal dunia itu tidak meninggallkan anak dan tidak pula ada
anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.

Yang mendapat seperempat harta :


Suami, apabila isteri meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak laki-laki ataupun anak
perempuan, atau meninggalkan anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
Firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu :

ْ‫صيَّ ٍة بَ ْع ِد ِم ْن تَ َر ْكنَ ِم َّما الرُّ بُ ُع فَلَ ُك ُم َولَ ٌد لَه َُّن َكانَ فَِإ ْن َدي ٍْن َأو‬
ِ ‫ُوصينَ َو‬
ِ ‫بِهَا ي‬

Artinya : “Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang di tinggalkannyasesudah dik penuhi wasiat yang mereka buat atau sesudah di bayar
utangnya.”

Istri, baik hanya satu orang ataupun berbilang, jika suami tidak meninggalkan anak(baik anak
laki-laki maupun anak perempuan) dan tidak pula anak dari anak laki-laki(baik laki-laki maupun
perempuan). Maka apabila istri itu berbilang, seperempat itu di bagi rata antara mereka.

Yang mendapat seperdelapan harta :

Istri baik satu ataupun berbilang, mendapat warisan dari suaminya seperdelapan dari
harta kalau suaminya yang meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak laki-laki
ataupun perempuan, atau anak dari anak laki-laki, baik laki-laki ataupun perempuan.

Sebab-sebab tidak mendapatkan harta waris :

Ahli waris yang telah di sebutkan di atas semua tetap mendapatkan harta waris menurut
ketentuan-ketentuan yang telah di sebutkan, kecuali apabila ada ahli waris yang lebih
dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka.

KESIMPULAN

Dengan penjelasan-penjelasan mengenai hukum waris di atas, maka dapat di


simpukan bahwa :

Waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada
ahli waris yang masih hidup.

Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)


adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI).
Ahli waris adalah orang-orang mendapatkan hak memperoleh harta peninggalan
orang yang telah meninggal yang masih mempunyai hubungan darah.

Bagian-bagian yang di peroleh ahli waris telah di tetapkan dalam Al-Qur’an,


sehingga tidak ada kata tidak adil karena Al-Qur’an adalah Firman Allah SWT.
Yang di jamin kebenarannya.

Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan di jalankan sesudah
seseorang meninggal dunia dan hukum wasiat adalah sunnah.

SARAN
Mempelajari hak waris ini juga untuk mengetahui dengan jelas orang-orang yang berhak
menerima warisan sehingga tidak terjadi fitnah dan terhindar dari perselisihan dan perebutan
harta peninggalan yang meninggal.

Mengajarkan ilmu hak waris ini memang tidak mudah, karena metode pengajaran yang sangat di
perlukan kerena tidak dapat di pungkiri bahwa ilmu ini sudah mulai tidak di gunakan lagi,
padahal ilmu tentang hak waris ini seperti yang telah di jelaskan di dalam Al-Qur’an yang di
jamin kebenarannya. Metode pengajaran yang dapat di lakukan adalah dengan menerapkannya
langsung pada kisah nyata kehidupan sehari-hari orang-orang dalam suatu masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Rasjid, Sulaiman. 2000. Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo.

H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000, hlm.
371

Ditbinbapera Islam Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 81

H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000, hlm.
357

Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2001, hlm. 4

Muslich Wiryono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur, 1983.


hlm.13Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris (Asas Mawaris), Semarang, t.th. hlm. 1
Asymuni A. Rahman, et al., Ilmu Fiqh 3, Jakarta: IAIN Jakarta , 1986, Cet. Ke-2, hlm. 1

https://jurnal.ulb.ac.id/index.php/advokasi/article/view/254

Anda mungkin juga menyukai