Anda di halaman 1dari 12

ASPEK TINGKAT KESALAHAN KORBAN TINDAK PIDANA

SEBAGAI PEDOMAN PEMIDANAAN


DALAM KEBIJAKAN LEGISLASI

Oleh :
Efendik Kurniawan, S.H.
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara
Surabaya.
Jl. A. Yani No. 114, Surabaya, Jawa Timur, 60231.
efendikkurniawan@gmail.com

A. Pendahuluan
Pengkajian terhadap kebijakan kriminal (criminal policy)1 dengan
menggunakan sarana kebijakan hukum pidana (penal policy), masih berorientasi
pada perbuatan dan pelaku tindak pidana (daad dader strafrecht).2 Dengan kata
lain, kebijakan hukum pidana saat ini menekankan pada perbuatan (tindak pidana)
yang berpedoman pada „asas legalitas‟, sedangkan pada pembuat (dader)
menekankan pada „asas kesalahan‟. Sisi korban tindak pidana, dalam konsep
tersebut kurang diperhatikan, baik dalam konteks perlindungan hukum korban,
atau perbuatan korban yang dapat memprovokasi terjadinya tindak pidana.
Dalam perkembangan fenomenanya di masyarakat, bukan tidak mungkin
tindak pidana yang terjadi juga terdapat andil perbuatan korban. Maksudnya,
pelaku terprovokasi melakukan tindak pidana, karena perbuatan atau perbuatan
melawan hukum dari korban. Fenomena seperti ini, yang sering juga dijumpai di
masyarakat. Tetapi, penegakan hukum (in concreto) saat ini, masih belum
memperhatikan aspek tersebut. Sehingga, pelaku tetap harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya di dalam proses peradilan pidana.
Misalnya, peristiwa yang terjadi di Malang, dengan duduk perkara seorang
begal (Misnan berusia 35 tahun) dianiaya oleh Pelajar (ZA) berumur 17 tahun,

1
Kebijakan kriminal (criminal policy) merupakan suatu upaya rasional yang dilakukan
untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Lihat Barda Nawawi Arief, 2014,
Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan,
Cet. Keempat, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 77.
2
Konsep daad dader strafrecht lahir karena pandangan monodualistik dalam hukum
pidana. Maksud dari konsep ini yakni memperhatikan segi obyektif dari perbuatan dan segi
subyektif dari pembuat (dader). Lihat Marcus Priyo Gunarto, Asas Keseimbangan dalam Konsep
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Mimbar Hukum, Vol. 24,
No. 1, Februari 2012, hlm. 88.

1
sehingga menyebabkan meninggal dunia.3 Dalam keterangan di persidangan, ZA
menyatakan bahwa melakukan penganiaayan kepada Misnan, karena Misnan
berusaha memeras harta bendanya, yakni sepeda motor dan telepon genggamnya,
serta hendak memperkosa kekasih ZA yang bernama VN. Hakim dalam
pertimbangan hukumnya menjatuhkan sanksi pidana berupa pembinaan dalam
lembaga LKSA Darul Ulum selama 1 (satu) tahun.
Dalam konteks perkara di atas, Hakim kurang memperhatikan perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh korban (Misnan), yang hendak melakukan
pencurian dengan kekerasan dan pemerkosan kepada kekasih pelaku. Hakim
hanya melihat bahwa pelaku melakukan tindak pidana penganiayaan yang
mengakibatkan korban meninggal dunia. Perbuatan yang dilakukan oleh pelaku
memang termasuk dalam tindak pidana penganiayaan, tetapi perbuatan tersebut
didahului oleh perbuatan melawan hukum dari korban, yakni pencurian dengan
kekerasan dan pemerkosaan. Dengan kata lain, aspek kesalahan korban kurang
menjadi perhatian oleh Hakim dalam memutus perkara tersebut.
Selain itu, Hakim di dalam pertimbangan hukumnya untuk memutus suatu
perkara, selalu mencantumkan „alasan pemberat‟, dan „alasan peringan‟. Tetapi,
alasan pemberat dan alasan peringan yang dicantumkan tersebut, selalu melihat
sisi obyektif perbuatan pelaku dan sisi subyektif dari keadaan-keadaan pelaku
tindak pidana. Misalnya, „alasan pemberat‟ yakni perbuatan pelaku membuat rasa
tidak nyaman di masyarakat, sedangkan pada „alasan peringan‟ yakni pelaku tidak
pernah dihukum dan berbuat sopan selama proses persidangan. Hampir setiap
perkara, alasan-alasan tersebut yang menjadi pertimbangan hukum hakim dalam
memutus suatu perkara. Pendek kata, belum ada „pedoman pemidanaan‟ yang
jelas dan tegas untuk Hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara pada
kebijakan legislasi saat ini.
Agar lebih komunikatif statement dan gagasan yang hendak disampaikan
dalam artikel ini, secara sistematis akan dibahas 2 (dua) masalah krusial. Pertama,
sejauhmana tingkat kesalahan korban tindak pidana menjadi pedoman
pemidanaan oleh hakim dalam memutus suatu perkara (kebijakan faktual). Kedua,
aspek tingkat kesalahan korban sebagai pedoman pemidanaan dalam kebijakan
legislasi yang akan datang (kebijakan ideal).
B. Pembahasan
1. Kebijakan Faktual Aspek Tingkat Kesalahan Korban yang dapat menjadi
Pedoman Pemidanaan
Kebijakan legislasi saat ini (kebijakan faktual) di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), masih berorientasi pada
konsep daad dader strafrecht. Artinya, di dalam melihat suatu tindak pidana,

3
Lihat di Kompas.com, Rachmawati, “Duduk Perkara Pelajar Bunuh Begal di Malang,
Divonis Pembinaan 1 Tahun di Pesantren”,
http://regional.kompas.com/read/2020/01/24/10500011/duduk-perkara-pelajar-bunuh-begal-di-
malang-divonis-pembinaan-1-tahun-di?amp=1&page=3, diakses 1 Agustus 2020.

2
menitikberatkan pada perbuatan dan pelaku tindak pidana. Konsep tersebut lahir
karena sumbangsih ilmu bantu kriminologi.4 Khusus dalam artikel ini, hendak
melihat suatu tindak pidana dari perspektif korban, maka dalam kajiannya
menggunakan ilmu bantu viktimologi.
Perkembangan dari viktimologi sebagai ilmu bantu hukum pidana, baru
dimulai pada abad ke-20 oleh Benjamin Mendelsohn, di dalam sebuah makalah
yang berjudul, “New Fio Psycho Social Horizons Victimology”, dan di dalam
bukunya, “Revue Internasionale de Criminologie et de Police Technique”.5
Selanjutnya, pertama kali simposium diadakan di Jerussalem, Israel pada tahun
1973 dengan mengangkat sebuah tema : “The First International Symposium on
The Victimology”. Sedangkan, di Indonesia secara formal, persoalan Viktimologi
dibahas pada forum seminar Kriminologi III di Universitas Diponegoro
Semarang, pada tahun 1976.6 Dengan kata lain, perkembangan viktimologi masih
terbilang baru, tidak setua kriminologi.
Penekanan konsep daad dader strafrecht di atas, salah satunya yakni pada
pembuat (dader), yang dapat dilihat pada „asas kesalahan‟ di dalam ilmu hukum
pidana. Asas kesalahan merupakan asas yang fundamental di dalam ilmu hukum
pidana, yakni dengan dikenalnya adagium „tiada pidana tanpa kesalahan‟ (geen
straft zonder schuld).7 Dengan dianut dan diterapkannya asas kesalahan dalam
kebijakan legislasi saat ini,8 maka pertanggungjawaban pidana ditentukan
berdasarkan kesalahan pelaku.
Tetapi, di dalam perkembangan ilmu bantu viktimologi, yang melihat
suatu tindak pidana dari perspektif korban, dikenal juga kategori tipologi korban
berdasarkan tingkat kesalahan korban.9 Pembagian tingkat kesalahan korban
tersebut, sebagai berikut : 10

4
E. Utrecht, 1986, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas,
Surabaya, hlm. 289.
5
Muhammad Mustofa, Viktimologi Posmodern, Jurnal Kriminologi Indonesia, Volume
13, No. 2, November 2017, hlm. 57.
6
H.R. Abdussalam, 2010, Victimology, PTIK Press, Jakarta,hlm. 406.
7
Chairul Huda, 2015, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet.ke-6, Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 4.
8
Asas kesalahan secara eksplisit tidak tercantum di dalam KUHP, tetapi dapat dilihat di
dalam Pasal 191 ayat (1) Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Selanjutnya disebut KUHAP), yang pada pokoknya menyatakan “jika pengadilan berpendapat
bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.” Garis bawah
oleh Penulis.
9
G. Widiartana, 2014, Viktimologi Perspektif Korban dalam Penanggulangan
Kejahatan, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm. 28-29.

3
1) Korban Ideal, yaitu korban yang sama sekali tidak bersalah. Dengan kata lain,
ia murni menjadi korban tindak pidana. Misalnya, imigran seorang desa yang
berangkat ke kota, sering menjadi korban tindak pidana penjambretan.
2) Korban dengan sedikit kesalahan, yaitu kekurangwaspadaanya terhadap
orang-orang asing yang hadir di dalam kehidupannya. Misalnya, mudah
percaya terhadap orang-orang yang mampu menjanjikan menggandakan uang.
3) Korban yang tingkat kesalahannya sama dengan pelaku tindak pidana.
Misalnya, korban menyetujui untuk dilakukan tindak pidana human trafficking
kepada dirinya dengan bentuk prostitusi.
4) Korban yang tingkat kesalahannya melebihi pelaku tindak pidana. Misalnya,
korban yang provokatif (the provoker victim), yaitu korban yang dengan
sengaja melakukan provokasi pelaku untuk melakukan tindak pidana.
5) Korban yang satu-satunya bersalah. Artinya, tingkat kesalahan korban jauh
melebihi pelaku. Misalnya, seorang pelaku tindak pidana pemerkosaan yang
justru meninggal dunia, karena terbunuh oleh perempuannya karena ada
pembelaan diri.
6) Korban imajiner, yaitu korban yang dengan kepura-puraanya atau
imajinasinya melakukan penyesatan terhadap proses peradilan pidana, dengan
harapan ada pemidanaan terhadap Terdakwa. Misalnya, Penderita Paranoid.
Beranjak pada konsep tipologi korban berdasarkan tingkat kesalahan
korban di atas, maka dalam kebijakan faktual konsep ini secara implisit masuk
dalam konsep „Alasan Peniadaan Pidana‟. Menurut pengamatan Penulis, terdapat
2 (dua) bentuk, yakni „Pembelaan Terpaksa‟ dan „Pembelaan Terpaksa melampaui
Batas‟.
A. Pembelaan Terpaksa (noodweer)
Ketentuan terhadap Pembelaan Terpaksa, diatur di dalam Pasal 49 ayat (1)
KUHP , yang dirumuskan secara rinci dengan unsur-unsurnya sebagai berikut :
1) Pembelaan yang dilakukan Pembuat bersifat terpaksa;
2) Perbuatan pembelaan tersebut ditujukan untuk diri sendiri, orang
lain, kehormatan kesusilaan, harta benda sendiri, atau harta benda
orang lain;
3) Terdapat serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat
dekat pada saat itu;
4) Perbuatan serangan yang dilakukan itu bersifat „melawan hukum‟.

4
Schaffmeister menambahkan terhadap unsur yang tidak tercantum di
dalam KUHP, tetapi harus terpenuhi di dalam konsep Pembelaan Terpaksa, yakni
„cara pembelaan tersebut adalah patut‟.11
Jika dikaitkan dengan „tingkat kesalahan korban‟, dengan ilustrasi sebagai
berikut : Pembuat (si B) yang melukai korban (si A) hingga meninggal dunia,
sesungguhnya merupakan korban pencurian dengan kekerasan oleh si A. Dengan
kata lain, tingkat kesalahan korban (si A) jauh melebihi Pelaku. Artinya, tidak
mungkin si B melukai si A hingga meninggal dunia, jika si A tidak melakukan
pencurian dengan kekerasan dan hendak mengancam memperkosa kekasih dari si
B. Dengan demikian, kesalahan si A jauh melebihi kesalahan si B, meskipun si B
melakukan perbuatan penganiayaan tersebut, karena pembelaan terhadap dirinya,
harta benda, dan kekasihnya.
B. Pembelaan Terpaksa melampaui Batas (noodweer exces)
Secara normatif, pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces)
diatur di dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP. Konsep pembelaan terpaksa melampaui
batas ini, batasannya sama dengan „Pembelaan Terpaksa‟, tetapi ditambahkan
unsur „keguncangan jiwa yang hebat‟.
Misalnya, di dalam suatu peristiwa terdapat seorang wanita yang masih
gadis yang sedang diperkosa oleh laki-laki, wanita tersebut melakukan
perlawanan dan akhirnya laki-laki tersebut meninggal dunia. Wanita tersebut baru
pertama kali mendapat perlakuan seperti itu, sehingga terjadi kegoncangan jiwa
yang hebat dalam dirinya.
Jika dilihat dari perspektif Viktimologi, pembelaan terpaksa melampaui
batas ini, peristiwanya didahului dengan adanya „perbuatan melawan hukum‟ dari
korban (laki-laki). Artinya, andai saja korban tidak melakukan pemerkosaan,
maka tidak mungkin wanita ini menghilangkan nyawa laki-laki tersebut.
Sehingga, korban dalam konteks ini termasuk tipologi korban dengan tingkat
kesalahan „korban yang satu-satunya bersalah‟. Dengan kata lain, tingkat
kesalahan korban jauh melebihi tingkat kesalahan pelaku.
Dengan demikian, dalam kebijakan faktual konsep „Alasan Peniadaan
Pidana‟, merupakan sumbangsih ilmu bantu Viktimologi. Meskipun,
pencantumannya masih secara implisit terhadap „tingkat kesalahan korban tindak
pidana‟, tetapi konsep tersebut dapat menjadi „pedoman pemidanaan‟ untuk hakim
tidak menjatuhkan sanksi hukum pidana,12 baik sanksi pidana (straf / punishment)
atau sanksi tindakan (maatregel / treatment).

11
Schaffmeister, et. al. 1995, Hukum Pidana (Kumpulan Bahan Penataran Hukum
Pidana dalam Rangka Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda), diterjemahkan oleh J.E. Sahetapy,
Liberty, Yogyakarta, hlm. 59.
12
Pedoman Pemidanaan dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu „pedoman dalam
menggunakan sumber hukum‟ dan „pedoman dalam menjatuhkan sanksi hukum pidana‟. Khusus
dalam artikel ini, pedoman pemidanaan yang dimaksud yaitu pedoman dalam menjatuhkan sanksi
5
2. Kebijakan Ideal Aspek Tingkat Kesalahan Korban yang menjadi
Pedoman Pemidanaan
Fenomena kejahatan yang semakin berkembang di masyarakat, serta
perkembangan ilmu itu sendiri, khusunya dalam ilmu hukum pidana, menuntut
untuk adanya reorientasi dan reformulasi terhadap persoalan pokok yang kedua
dalam hukum pidana, yakni menyangkut „pertanggungjawaban pidana‟.
Reorientasi dan reformulasi yang dimaksud dalam konteks artikel ini, yakni
pertanggungjawaban pidana tidak hanya dilihat dari sudut pandang pelaku, yang
merupakan sumbangsih ilmu bantu „kriminologi‟, tetapi juga dilihat dari sudut
pandang korban, yang dalam hal ini merupakan sumbangsih dari ilmu bantu
„viktimologi‟.
Pertanggungjawaban pidana yang dalam proses peradilan pidana dapat
menjadi „pertimbangan hukum hakim‟, mempunyai peranan yang sangat esensial
untuk menetapkan berat-ringannya sanksi (strafmaat) atau tidak menjatuhkan
sanksi hukum pidana. Hakim di dalam pertimbangan hukumnya saat ini, secara
umum hanya memperhatikan aspek-aspek kesalahan pelaku, yang sudah
dijelaskan di dalam sub bab sebelumnya, yakni pada „alasan pemberat‟ dan
„alasan peringan‟.
Sebelum Penulis memberikan gagasan bagaimana kebijakan legislasi yang
seharusnya (kebijakan ideal), terkait „pedoman pemidanaan‟ yang memperhatikan
aspek tingkat kesalahan korban, maka Penulis akan menganalisis dulu pada
kebijakan legislasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Selanjutnya
disebut RKUHP Nasional). Di dalam RKUHP Nasional diatur secara khusus
„pedoman pemidanaan‟, sebagaimana tercantum di dalam Bab III tentang
Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan. Pedoman pemidanaan terhadap subyek
hukum perseorangan, secara umum masih memperhatikan sisi pelaku tindak
pidana, hal tersebut dapat dilihat dengan mecantumkan beberapa syarat yang
menjadi pedoman pemidanaan, misalnya bentuk kesalahan pelaku, riwayat hidup
pelaku, dan keadaan-keadaan pelaku tindak pidana.13
Jika di dalam KUHP, belum mengatur secara jelas dan tegas terkait
pedoman pemidanaan, yang masih secara implisit tercantum di dalam „Alasan
Peniadaan Pidana‟,maka berbeda di dalam RKUHP Nasional yang sudah
mengatur „Alasan Peniadaan Pidana‟, dengan membedakan pada „Alasan
Pembenar‟ dan „Alasan Pemaaf‟. Dalam konteks artikel ini, „Pembelaan Terpaksa‟
masuk dalam ruang lingkup „Alasan Pembenar‟, sebagaimana tercantum di dalam
Pasal 34 RKUHP Nasional, yang isi rumusan normanya sama dengan KUHP.
Sedangkan pada „Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas‟ di dalam
RKUHP Nasional, masuk dalam kategori „Alasan Pemaaf‟ sebagaimana
tercantum di dalam Pasal 43 RKUHP Nasional. Isi substansi norma tersebut, sama

hukum pidana. Lihat Barda Nawawi Arief, 2015, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan dan
Perbandingan Beberapa Negara, Cet. Kelima, Pustaka Magister, Semarang, hlm. 47.
13
Lihat dan simak di dalam Pasal 54 ayat (1) RKUHP Nasional.

6
dengan KUHP. Melihat perbedaan yang tercantum dalam RKUHP Nasional
antara „alasan pembenar‟ dan „alasan pemaaf‟tersebut, didasarkan pada pandangan
„monodualistis‟, yang membedakan secara tegas antara „tindak pidana‟ dan
„pertanggungjawaban pidana‟. Dapat sedikit ditarik kesimpulan, bahwa „alasan
pembenar‟ menghapuskan „sifat melawan hukum‟ dari perbuatan. Sedangkan,
pada „alasan pemaaf‟ menghapuskan „kesalahan‟ pelaku tindak pidana.
KUHP dan RKUHP Nasional yang mencantumkan konsep „alasan
peniadaan pidana‟ tersebut, didahului perbuatan melawan hukum dari korban.
Dengan kata lain, terdapat „kesalahan seketika‟ dari korban berupa „perbuatan
melawan hukum‟ yang hendak dilakukan terhadap pelaku (dalam konteks
pembelaan terpaksa & pembelaan terpaksa melampaui batas). Jika terdapat
„kesalahan seketika‟, maka dalam perkembangan fenomenanya di masyarakat
terdapat „kesalahan tidak seketika‟ oleh korban. Misalnya, kasus yang terjadi di
Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan. Pelaku berinisial Jef (18), nekat
melakukan pembunuhan terhadap ayah tirinya bernama Johan Saputra (49).
Alasan Jef melakukan pembunuhan tersebut, karena korban sering menganiaya
Ibunya Suryani (48) dan memperkosa adiknya.14
Melihat fenomena kasus di atas, maka terdapat kesalahan korban yang
mendorong pelaku untuk melakukan tindak pidana, meskipun konteksnya bukan
pada „pembelaan terpaksa‟ atau „pembelaan terpaksa melampaui batas‟. Dengan
demikian, terdapat „kesalahan tidak seketika‟ oleh korban, yang mendorong
pelaku untuk melakukan tindak pidana.
Selanjutnya pada pedoman pemidanaan yang sudah tercantum di dalam
RKUHP Nasional, dapat disebut sebagai „pedoman pemidanaan bersifat umum‟.
Dikatakan demikian, karena hakim dalam menjatuhkan sanksi hukum pidana,
secara umum wajib mempertimbangkan syarat-syarat tersebut. Jika hakim dalam
menjatuhkan sanksi hukum pidana, tidak memperhatikan syarat-syarat tersebut,
maka dapat dipersoalkan ketika terpidana melakukan „upaya hukum biasa‟ atau
„upaya hukum luar biasa‟. Dengan kata lain, pedoman pemidanaan ini bersifat
„imperatif‟ terhadap hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.
Mengingat terdapat istilah „pedoman pemidanaan bersifat umum‟, maka di
dalam RKUHP Nasional juga terdapat istilah „pedoman pemidanaan bersifat
khusus‟. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 70 RKUHP Nasional, yang pada
pokoknya menyatakan, “... pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan, jika
ditemukan keadaan ...”. Maksud dari istilah „pedoman pemidanaan bersifat
khusus‟, yakni syarat-syarat yang tercantum di dalam norma tersebut,
diperuntukkan pada „pedoman pemidanaan dengan tujuan tertentu‟, yang dalam
konteks ini yakni untuk sedapat mungkin hakim tidak menjatuhkan sanksi pidana
penjara. Dengan kata lain, hakim dapat menjatuhkan sanksi pidana denda dan/atau

14
Kompas.com, David Oliver Purba, “Jef Bunuh Ayah Tiri karena Kesal Adik Diperkosa
Berkali-kali dan Ibu Dipukuli”, http://regional.kompas.com/read/2020/08/01/0621001/jef-bunuh-
ayah-tiri-karena-kesal-adik-diperkosa-berkali-kali-dan-ibu, diakses 4 Agustus 2020.

7
dengan jenis sanksi (straf soort) lainnya, misalnya bentuk-bentuk dari sanksi
tindakan (maatregel / treatment).
Di dalam pedoman pemidanaan bersifat khusus tersebut, tercantum salah
satu syarat yang menurut pengamatan Penulis, masuk dalam „aspek tingkat
kesalahan korban‟, yakni “korban tindak pidana mendorong atau menggerakkan
terjadinya tindak pidana”.15 Dilihat dari konsep tipologi korban berdasarkan
tingkat kesalahan korban, maka ketentuan tersebut termasuk dalam tingkat
kesalahan korban sama dengan pelaku, tingkat kesalahan korban melebihi pelaku,
dan tingkat kesalahan korban jauh melebihi pelaku (korban satu-satunya yang
bersalah). Dengan kata lain, pengelompokkanya dilihat dari case by case. Dengan
demikian, di dalam kebijakan legislasi RKUHP Nasional, sudah mencantumkan
aspek tingkat kesalahan korban, meski belum secara jelas dan tegas sebagaimana
konsepnya dalam viktimologi.
Jika dibandingkan dengan KUHP beberapa negara, maka tingkat
kesalahan korban menjadi ketentuan yang menjadi „alasan peringan
pertanggungjawaban pidana‟. Misalnya, dalam KUHP Belarusia yang mengatur
„Circumstances Which Attenuate Responsibility‟ (keadaan-keadaan yang
memperingan pertanggungjawaban pidana) di dalam Article 37, commiting of a
crime under the influences of strong emotional feeling caused by illegal actions of
the sufferer (kejahatan dilakukan di bawah pengaruh perasaan emosional yang
sangat kuat yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dari korban).
Selanjutnya, pada KUHP Albania juga mengatur „tingkat kesalahan‟.
Sebagaimana tercantum dalam Article 47, yang menyatakan :
“Article 47 : Determination of punishment.
The court determines the punishment in compliance with the
provisions of the general part of this code and the limits of punishment on
criminal acts provided for by law.
In determining the range of punishment against a person the court
considers the dangerousness of the criminal act, the dangerousness of the
person who committed the act, the level of guilt, as well as both mitigating
and aggravating circumstances.”
(Pengadilan menetapkan pidana sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam
bagian umum KUHP ini dan dalam batas-batas pidana untuk kejahatan
yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Dalam menetapkan lamanya pidana terhadap seseorang, pengadilan
mempertimbangkan : sifat bahaya dari tindak pidana, sifat bahaya dari si pelaku,
tingkat kesalahan, faktor-faktor yang memperingan atau memperberat).

15
Lihat dan simak di dalam Pasal 70 ayat (1) huruf h RKUHP Nasional.

8
Sedangkan, terkait „Pedoman Pemidanaan bersifat Khusus‟, dapat melihat
kajian perbandingan pada Model Penal Code USA sebagaimana tercantum dalam
Section 7.01. Criteria for Withholding :
“Sentence of Imprisonment and for Placing Defendant on Probation
(Kriteria untuk tidak menjatuhkan pidana penjara dan penempatan
terdakwa di bawah pengawasan). Terdapat beberapa kriteria tersebut,
tetapi dalam konteks artikel ini, maka Penulis akan memilih yang terdapat
hubungan kausalitasnya dengan Viktimologi, diantaranya adalah “the
defentdant acted under a strong provocation (perbuatan terdakwa berada
di bawah provokasi yang sangat kuat), the victim of the defendant’s
criminal conduct induced or facilitated its commission (korban mendorong
atau memudahkan terjadinya perbuatan jahat yang dilakukan terdakwa).
Melihat pada kajian dari KUHP Belarusia, Albania, dan USA yang sudah
menjadikan aspek tingkat kesalahan korban menjadi pedoman pemidanaan
bersifat umum yang digunakan untuk meringankan pertanggungjawaban pidana
dan pemidanaan yang bersifat khusus untuk tidak menjatuhkan pidana penjara dan
penempatan terdakwa di bawah pengawasan, maka sudah sepatutnya RKUHP
Nasional dituntut untuk lebih rinci, jelas, dan tegas dalam mencantumkan „aspek
tingkat kesalahan korban tindak pidana‟, menjadi pedoman pemidanaan sebagai
„alasan pemberat‟ dan „alasan peringan‟ pertanggungjawaban pidana.
Konsep di atas sama seperti yang disampaikan Jeremy Bentham, yakni
penyebab utama dari tindakan pelaku disebabkan oleh tindakan orang lain
(korban).16 Dengan kata lain, si pelaku tidak pernah bermimpi untuk melakukan
tindak pidana, dan ingin senantiasa berbuat baik. Dengan demikian, ketentuan
tingkat kesalahan korban tindak pidana perlu menjadi perhatian serius di dalam
kebijakan legislasi hukum pidana. Pada titik ini, sumbangsih ilmu bantu
viktimologi, sangat diperlukan oleh hukum pidana.
Kebijakan ideal yang memperhatikan aspek tingkat kesalahan korban
dalam KUHP di masa mendatang, diusulkan dengan hal-hal sebagai berikut :
a) Alasan Pemberat :
1) Tindak pidana dilakukan terhadap korban yang tidak
mempunyai kesalahan sama sekali.
b) Alasan Peringan :
1) Tindak pidana dilakukan terhadap korban yang melakukan
provokasi terhadap pelaku.
Dengan demikian, akan ada benang merahnya terhadap „alasan pemberat‟
dan „alasan peringan‟ dalam konteks „aspek tingkat kesalahan korban‟ yang
16
Jeremy Bentham, 2006, Teori Perundang-Undangan; Prinsip-Prinsip Legislasi Hukum
Perdata dan Hukum Pidana, Diterjemahkan dari The Theory of Legislation, Nusamedia, Bandung,
hlm. 296.

9
menjadi pedoman pemidanaan bersifat umum oleh hakim dalam memutus suatu
perkara.

C. Kesimpulan
Sebagai akhir dalam penulisan artikel ini, maka kebijakan hukum pidana
(penal policy) harus bersifat terbuka dengan bidang ilmu lainnya, demi
terwujudnya tujuan hukum yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Khusus pada pedoman pemidanaan dengan kebijakan faktual yang terdapat
keterkaitannya dengan „aspek tingkat kesalahan korban‟ yakni masih terbatas pada
konsep Alasan Peniadaan Pidana. Sedangkan, dalam RKUHP Nasional sudah
diatur secara tersendiri, meskipun terbatas pada pedoman pemidanaan bersifat
khusus. Sehingga, kebijakan ideal di masa mendatang seharusnya mencantumkan
secara jelas dan tegas, bahwa „aspek tingkat kesalahan korban‟ dapat menjadi
„alasan peniadaan pidana‟, „alasan pemberat‟ dan „alasan peringan‟ pada pedoman
pemidanaan bersifat umum.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi, 2014, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan


Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Cet. Keempat, Kencana
Prenadamedia Group, Jakarta.

, 2015, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan dan


Perbandingan Beberapa Negara, Cet. Kelima, Pustaka Magister, Semarang.

Bentham, Jeremy, 2006, Teori Perundang-Undangan; Prinsip-Prinsip


Legislasi Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Diterjemahkan dari The Theory of
Legislation, Nusamedia, Bandung.
E. Utrecht, 1986, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Pustaka Tinta
Mas, Surabaya.
G. Widiartana, 2014, Viktimologi Perspektif Korban dalam
Penanggulangan Kejahatan, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.
H.R. Abdussalam, 2010, Victimology, PTIK Press, Jakarta.
Huda, Chairul, 2015, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju
Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet.ke-6,
Prenadamedia Group, Jakarta.
Kompas.com, Rachmawati, “Duduk Perkara Pelajar Bunuh Begal di
Malang, Divonis Pembinaan 1 Tahun di Pesantren”,
http://regional.kompas.com/read/2020/01/24/10500011/duduk-perkara-pelajar-
10
bunuh-begal-di-malang-divonis-pembinaan-1-tahun-di?amp=1&page=3, diakses 1
Agustus 2020.
Kompas.com, David Oliver Purba, “Jef Bunuh Ayah Tiri karena Kesal
Adik Diperkosa Berkali-kali dan Ibu Dipukuli”,
http://regional.kompas.com/read/2020/08/01/0621001/jef-bunuh-ayah-tiri-karena-
kesal-adik-diperkosa-berkali-kali-dan-ibu, diakses 4 Agustus 2020.
Mustofa, Muhammad, Viktimologi Posmodern, Jurnal Kriminologi
Indonesia, Volume 13, No. 2, November 2017.
Priyo Gunarto, Marcus, Asas Keseimbangan dalam Konsep Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Mimbar Hukum, Vol.
24, No. 1, Februari 2012.

Schaffmeister, et. al. 1995, Hukum Pidana (Kumpulan Bahan Penataran


Hukum Pidana dalam Rangka Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda),
diterjemahkan oleh J.E. Sahetapy, Liberty, Yogyakarta.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

NAMA : EFENDIK KURNIAWAN, S.H.


TTL : MOJOKERTO, 26 JANUARI 1994
ALAMAT : DSN. JATI, DS. KESIMANTENGAH, KEC.
PACET, KAB. MOJOKERTO
PENDIDIKAN : SDN Kesimantengah 1999 -2005
SMPN 1 PACET 2005 -2008
SMAN 1 SOOKO 2008 - 2011
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
BHAYANGKARA SURABAYA 2014- 2018
MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS
BHAYANGKARA SURABAYA 2018 – Sekarang
Pengalaman Akademik : Panitia Penataran Dosen & Praktisi
Hukum Pidana Tingkat Nasional 2017
Bekerja : Asistant Dosen Hukum Pidana (Dr. M.
Sholehuddin, S.H., M.H.)
NPWP : 46.230.168.0-602.000
11
Melihat fenomena di masyarakat, bukan tidak mungkin tindak pidana yang
terjadi juga diprovokasi oleh korban (provocative victim). Pada titik ini,
sumbangsih ilmu bantuk viktimologi dalam kebijakan hukum pidana (penal
policy) sangat diperlukan.
Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) di masa mendatang sudah
seharusnya memperhatikan ilmu bantu, salah satunya ialah viktimologi. Perhatian
terhadap korban, dari aspek hukum pidana tidak hanya pada perlindungan korban.

12

Anda mungkin juga menyukai