DOSEN PENGAMPU:
DR. YUSEP MULYANA S.H., M.H
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
MEI 2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………………...2
1.2 Identifikasi Masalah…………………………………………………………….………..3
1.3 Metode Penelitian………………………………………………………………………...4
1.4 Tujuan Penelitian………………………………………………………….……………..5
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………22
B. Saran………………………………………………………………………………..23
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………24
LAMPIRAN
i
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam suatu kehidupan pasti ditemukan adanya dinamika yang terjadi antara korban
dengan kejahatan, akibat dorongan ekonomi, politis, dan psikis. Idealnya selalu berkurang
jumlah korban dan pelaku. Jika terjadi semakin bertambah korban, maka yang terpenting
adalah pemberian hak dan perlindungan terhadap korban semaksimal mungkin. Demikian pula
bila pelaku bertambah, hendaklah diperlakukan sesuai hak-haknya. Selanjutnya bila menjadi
terpidana atau narapidana hendaknya diterapkan sistem permasyarakatan. Juga tidak kalah
pentingnya bagi pelaku untuk dapat memberi ganti kerugian atau restitusi kepada korban.
Korban dalam lingkup viktimologi memiliki arti yang luas karena tidak hanya terbatas
pada individu yang secara nyata menderita kerugian, tetapi juga kelompok, orporasi, swasta
maupun pemerintah, sedangkan yang dimaksud dengan akibat penimbulan korban adalah sikap
atau tindakan korban dan atau pihak pelaku serta mereka yang secara langsung atau tidak
terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan. Kajian ilmu viktimologi memberikan pengertian
1
Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia,
PT Refika Aditama, Bandung, Hal 3.
1
yang lebih baik teentang korban kejahatan sebagai hasil manusia yang menimbulkan
penderitaan secara mental, fisik maupun sosial kemasyarakatan. Bukan untuk memanjakan
para korban, melainkan memberikan penjelasan mengenai peranan sesungguhnya para korban
dan hubungan diantaranya.2
Masalah korban telah menjadi masalah ketimpangan sosial yang memiliki aspek hukum
dari kausalistis bentuk-bentuk ketimpangan sosial dalam rumusan kejahatan dan pelanggaran.
Arif Gosita menyebutkan dengan, “masalah korban ini bukan merupakan masalah baru, hanya
karena hal tertentu yang kurang mendapat perhatian secara proposional dimensional dari
peranan korban dalam timbulnya suatu kejahatan. Viktimologi hanya memusatkan perhatian
pada si korban dalam usaha yang berdiri sendiri, mempunyai kecenderungan pada si korban
dan perbuatannya yang menjadikan dia sebagai korban suatu tindak pidana.
2Lisna Julianti Matiti, 2016,Aanalisis Viktimologi Kasus Tindak Pidana Penadahan diKota Gotontalo ,Fakultas
Hukum Universitas negeri Gorontalo, Hal 3.
2
b. Jenis-jenis korban berdasarkan jumlahnya.
1) Korban individual.
Yaitu mereka yang secara perseorangan menjadi korban dari suatu peristiwa atau
perbuatan.
2) Korban berkelompok.
Yaitu mereka yang secara bersama-sama menjadi korban dari suatu peristiwa atau
perbuatan.
3) Korban masyarakat/negara, yang mana cakupannya lebih luas daripada korban
berkelompok.
c. Berdasarkan hubungannya dengan sasaran tindakan pelaku.
1) Korban langsung.
Yaitu mereka yang secara langsung menjadi sasaran tindak pidana.
2) Korban tidak langsung.
Yaitu mereka yang tidak secara langsung menjadi sasaran perbuatan pelaku, tetapi
juga mengalami penderitaan atau nestapa.
Dalam hal ini untuk berbicara mengenai hak-hak korban tindak pidana penganiayaan,
maka jenis korban yang akan lebih rinci dijelaskan penulis adalah korban berdasarkan
hubungannya dengan sasaran tindakan pelaku yaitu korban langsung. Kasus perkelahian antara
teman karena saling mengejek sering terjadi di lingkungan sekitar. mengingat viktimologi
merupakan ilmu pengetahuan yang melihat kejahatan dari sudut pandang korban, dimana
korban dianggap dapat juga memiliki peranan dalam terjadinya kasus kekerasan fisik terhadap
dirinya. Maka, penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul “ANALISA
DALAM PANDANGAN VIKTIMOLOGI BERDASARKAN PUTUSAN NOMOR
2/PID.SUS.ANAK/2019/PN.DMK TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN ANAK”
3 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 2003.
4
Adapun tujuan penelitian studi kasus pada Putusan Nomor 2/Pid. Sus.
Anak/2019/PN.Dmk sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui secara jelas apa saja faktor penyebab terjadinya tindak pidana
penganiayaan anak.
b. Untuk mengetahui secara jelas bagaimana penegakan hukum bagi pelaku tindak pidana
dalam Putusan Nomor 2/Pid. Sus. Anak/2019/PN.Dmk.
c. Untuk mengetahui hasil analisa terkait peran hukum dalam putusan tersebut serta
bagaimana perlindungan hukum yang diterima oleh korban dalam Putusan Nomor
2/Pid. Sus. Anak/2019/PN.Dmk.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4 Dikdik, M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2006, Urgensi Perlindungan Korban kejahatan Antara Norma
dan Realita, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.34.
5
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993, hlm. 40
6
Made Darme Weda, Beberapa Catatan Tentang Korban Kejahatan Korporasi, dalam Bunga Rampai
Viktimisasi, Eresco, Bandung, 1995, hlm. 200
6
seseorang, oleh seseorang, baik untuk kepentingan diri sendiri, maupun orang lain (seseorang
dapat individu atau kelompok).
Pada dasarnya, viktimologi topik-topi sebagai ilmu yang membahas mengenai korban,
seperti: peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban,
rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan pidana. Viktimologi
merupakan suatu studi yang bertujuan untuk:
a. Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korban.
b. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimasi.
c. Mengembangkan sistem tindakan guna untuk mengurangi adanya penderitaan manusia.7
7
Lilik Mulyadi, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Djambatan, Denpasar, hlm.32
8
Ibid.
7
kebakaran yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan
manusia baik individu maupun masyarakat yang tidak bertaggung jawab.
d. Korban masyarakat, bangsa dan negara adalah masyarakat yang diperlakukan
diskriminatif tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak
sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.
2.2.2 Hak-Hak Korban Kejahatan
Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga korban
kejahatan, meliputi: Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang
dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya,
seperti Negara atau lembaga khusus yang dibetuk untuk menangani masalah ganti kerugian
korban kejahatan, Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi, Hak untuk
memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku, Hak untuk memperoleh bantuan hukum,
Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya, Hak untuk memperoleh akses atas
pelayanan medis, Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari
tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan.
2.2.3 Peranan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana
Di dalam sistem peradilan pidana, korban kejahatan perlu dilindungi dengan
argumentasi bahwa Pertama; proses pemidanaan berkaitan dengan penetapan pidana
melalui infrastruktur penitensier (hakim, petugas lembaga pemasyarakatan, dan
sebagainya. Di sini terkandung di dalamnya tuntutan moral, dalam wujud keterkaitan
filosofis pada satu pihak dan keterkaitan sosiologis dalam kerangka hubungan antar
manusia dalam masyarakat pada lain pihak. Kedua; argumentasi lain yang mengedepankan
perlindungan hukum bagi korban kejahatan adalah argument kontrak sosial dan argument
solidaritas sosial. Negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap
kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi, oleh karena itu bila terjadi
kejahatan dan membawa korban, negara harus bertanggung jawab untuk memperhatikan
kebutuhan para korban tersebut. Ketiga; perlindungan korban kejahatan biasanya dikaitkan
dengan salah satu tujuan pemidanaan, yang dewasa ini banyak dikedepankan yakni
penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.9
9
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 2002, 176-177
8
Selama ini pengaturan perlindungan korban khususnya dalam Sistem Peradilan
Pidana Indonesia belum menampakkan pola yang jelas. Dalam hukum pidana positif yang
berlaku pada saat ini perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan tidak
langsung. Artinya berbagai rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan
selama ini pada hakekatnya telah ada perlindungan secara langsung terhadap kepentingan
hukum dan hak asasi korban 10
2.2.4 Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Perlindungan anak dalam suatu masyarakat, bangsa dan negara merupakan tolak
ukur peradaban manusia, jadi demi perkembangan manusia seutuhnya maka kita wajib
mengusahakan perlindungan anak sesuai demi kepentingan masa depan bangsa dan
negara. Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yaitu:
1) Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi: perlindungan dalam bidang
hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan
2) Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, yang meliputi: perlindungan dalam
bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan.
Pada hakikatnya merupakan bagian yang integral dari kebijakan perlindungan
masyarakat secara keseluruhan, yaitu dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial. Oleh
sebab itu memberikan perlindungan kepada individu korban sekaligus juga mengandung
pengertian memberikan pula perlindungan kepada masyarakat, karena eksistensi individu
dalam hal ini adalah sebagai unsur bagi pembentukan suatu masyarakat, atau dengan kata
lain, bahwa masyarakat adalah terdiri dari individu-individu, oleh karena itu, antara
masyarakat dan individu saling tali-menali.11
Bahwa antara individu dan masyarakat saling mempunyai hak dan kewajiban.
Walaupun disadari bahwa antara masyarakat dan individu, dalam banyak hal mempunyai
kepentingan yang berbeda, akan tetapi harus terdapat keseimbangan pengaturan antara
hak dan kewajiban di antara keduanya itu. Dilakukannya kejahatan terhadap seseorang
anggota masyarakat, akan menghancurkan sistem kepercayaan yang telah melembaga
dan pengaturan hukum pidana dan lain-lain berfungsi untuk mengembalikan kepercayaan
tersebut karena masyarakat dipandang sebagai sistem kepercayaan yang melembaga
(system of institutionalized trust).12
10
Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan Pidana, Jurnal Hukum Pidana
Dan Kriminologi, Vol. I/No.I/1998, hal. 16-17
11
Barda Nawawi Arief, 1993, Beberapa Hukum Acara Pidana dalam Mengantisipasi Berlakunya Konsep KUHP
Baru, Semarang, hlm.1
12
Muladi, Op.Cit. hlm.5.
9
Kalau korban merupakan unsur-unsur tindak pidana, maka dapatlah dikatakan
korban mempunyai hak, kewajiban, peranan dan tanggung jawab dalam terjadinya tindak
pidana. Dengan pengakuan bahwa korban adalah subyek yang berhadapan dengan
subyek lain yakni pelaku. Argumen lain untuk mengedepankan perlindungan hukum
terhadap korban adalah berdasarkan argumen kontrak sosial (social contract argument)
dan argumen solidaritas sosial (social solidarity. argument).
Perundang-undangan yang berlaku yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Ganti kerugian seperti ini disebut sebagai “restitusi”. Restitusi dan kompensasi
merupakan bagian atas kebijakan dalam upaya mengurangi penderitaan korban. Tujuan
membuat kebijakan guna mengurangi penderitaan bagi korban, oleh B. Mendelsohn,
yang dikutip oleh Iswanto, dikatakan sebagai tujuan yang terpenting, karena dengan
demikian akan dapat lebih memberdayakan masyarakat serta menjamin kehidupannya.
Jenis kerugian yang diderita oleh korban, bukan saja dalam bentuk fisik seperti biaya-
biaya yang telah dikeluarkan untuk penyembuhan luka fisik serta kemungkinan
hilangnya pendapatan ataupun keuntungan yang mungkin akan diperoleh, tetapi juga
kerugian yang bersifat nonfisik yang sukar bahkan mungkin tidak dapat dinilai dengan
uang.
Konsep Perlindungan Korban Kejahatan sebagaimana dijelaskan dalam uraian
sebelumnya, suatu peristiwa kejahatan tentunya pelaku dan korbanlah yang menjadi
tokoh utama yang sangat berperan. Menurut Barda Nawawi Arief, pengertian
“perlindungan korban” dapat dilihat dari dua makna yaitu:
a. Dapat diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak
pidana” (berarti perlindungan HAM atau untuk kepentingan hukum seseorang);
b. Dapat diartikan sebagai “perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan
hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tidak pidana”
(Identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat berupa
pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain,
dengan permaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi,
jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya.
Dari dua makna perlindungan korban tersebut, maka pada dasarnya ada dua sifat
perlindungan yang dapat diberikan secara langsung oleh hukum, yaitu bersifat preventif
berupa perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana dan represif berupa
perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian
orang yang telah menjadi korban tindak pidana. Terkait dua sifat perlindungan korban
10
yang dapat diberikan oleh hukum tersebut, maka pada hakikatnya perlindungan yang
bersifat preventif dan represif memegang peranan yang sama pentingnya dalam
memberikan perlindungan terhadap masyarakat mengingat masyarakat yang telah menjadi
korban tidak boleh begitu saja dibiarkan menderita tanpa ada upaya perlindungan apapun
dari negara dan sebaliknya mencegah masyarakat menjadi korban juga merupakan titik
tekan yang utama. Konsep perlindungan korban selama ini dipandang sebagai hak hukum
pada hakikatnya adalah bagian dari masalah perlindungan hak asasi mahusia, sehingga
pada dasarnya konsep hak asasi manusia dapat di pandang sebagai hak hukum.13
2.2.5 Hubungan Korban dengan Kejahatan dan Peradilan Pidana
Dalam studi Viktimologi, peranan korban dalam kejahatan, hubungan korban
dalam kejahatan, hubungan korban dengan pelaku kejahatan, peranan korban dalam sistem
peradilan pidana, kerugian atau penderitaan yang dialami korban, perlunya tindakan
perlindungan dan pemulihan terhadap korban serta hal-hal lain yang menyangkut korban
dicoba untuk dikaji secara lengkap dan komprehensif Kedudukan korban dalam sistem
peradilan pidana, tidak menguntungkan bagi korban tindak pidana, karena terbentur dalam
problem yang mendasar yakni korban.
Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan yaitu
hanya sebagai saksi (168 KUHAP) sehingga kemungkinan untuk memperoleh keleluasaan
dalam memperjuangkan haknya sangatlah kecil. Korban tidak termasuk dalam bagian dari
unsur yang terlibat dalam sistem peradilan pidana, tidak sebagaimana terdakwa, polisi,
jaksa, hakim. Pengaturan hak-hak korban yang tertuang di dalam KUHAP, maka di dapat
pengaturan hak-hak bagi korban sangat minim sekali dibandingkan dengan pengaturan
tentang hak-hak pelaku tindak pidana.
Hak menuntut ganti rugi atas kerugian yang di derita dari akibat tindak pidana
dalam kapasitasnya sebagai pihak yang dirugikan dapat dijumpai dalam Pasal 98 sampai
dengan Pasal 101 KUHAP, namun penggabungan gugatan ganti kerugian hanya
memberikan peluang untuk kerugian materiil saja, sedangkan untuk pemulihan kerugian
immateriil masih harus diajukan secara terpisah melalui gugatan perdata yang pada
prakteknya tidak sederhana.
13
Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm.61.
11
2.3.1 Pengertian Anak
Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan
antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tidak menyangkut bahwa
seorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan pernikahan tetap
dikatakan anak. Pengertian anak memiliki aspek yang sangat luas, berbagai pengertian
terhadap anak dapat diterjemahkan untuk mendekati anak secara benar salah satunya
adalah pengertian anak ditinjau dari aspek hukum atau yuridis. Pengertian “anak” dimata
hukum positif di Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa
(minderjaring atau person under age), orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah
umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang
dibawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).14
2.3.2 Batas Usia Anak
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberi batasan mengenai pengertian
anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh
satu) tahun, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 330 yang berbunyi belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu
kawin. Sedangkan menurut, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa anak adalah seseorang
yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990
tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak, anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah
delapan belas tahun kecuali berdasarkan undang-undang lain yang berlaku bagi anak-anak
ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan anak
adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18
(delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan
apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Sementara Pasal 1 Angka 1 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
14
9 Sholeh Soeaidy dan Zulkhair, 2001, Dasar Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: CV. Novindo Pustaka
Mandiri, Hal. 5
12
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
Dengan demikian maka pengertian anak (juvenile) pada umumnya adalah seorang
yang masih di bawah umur tertentu, yang belum dewasa dan belum pernah kawin. Pada
beberapa peratuaran perundang–undangan di Indonesia mengenai batasan umur berbeda-
beda. Perbedaan tersebut bergantung dari sudut manakah pengertian anak dilihat dan
ditafsirkan. Dalam penelitian ini, menggunakan batasan umur anak lebih condong
mengikuti Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.
14
BAB III
PEMBAHASAN
3.3 Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Penganiayaan dalam Putusan Nomor
2/PID.SUS.ANAK/2019/PN.Dmk
16
Bahwa untuk menjatuhkan hukuman yang memenuhi rasa keadilan yang seadil-adilnya
dan sesuai dengan ketentuan yang terkandung dalam pasal 197 ayat (1) sub f KUHAP, maka
terlebih dahulu akan dipertimbangkan keadaan yang memberatkan dan keadaan yang
meringankan pada diri Anak pelaku sebagai berikut di bawah ini:
Keadaan yang memberatkan:
• Perbuatan Anak pelaku mengakibatkan rasa tidak nyaman terhadap Anak korban
sehingga akhirnya Anak korban sudah tidak lagi melanjutkan belajar di Pondok
Sirojuttolibin dan pindah mondok di Ponpes lain;
Hal-hal yang meringankan:
• Anak pelaku bersikap sopan di persidangan dan mengakui terus terang perbuatannya;
• Anak pelaku menyesali perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulangi lagi
perbuatannya dikemudian hari;
• Anak pelaku masih berusia muda dan diharapkan masih dapat memperbaiki kembali
perbuatannya dikemudian hari;
• Anak sampai sekarang masih menjalani masa pembelajaran di Ponpes Sirojuttolibin
Kebunagung Demak;
bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas dan dengan mempertimbangkan pembelaan
Penasihat Hukum Anak, rekomendasi dari Petugas Pembimbing Kemasyarakatan dan
permohonan Anak sendiri maka menurut hemat Hakim pidana yang akan dijatuhkan dan
disebutkan dalam amar putusan dibawah ini sudahlah tepat dan adil;
Mengingat pasal 76 C jo Pasal 80 ayat (1) UU RI No. 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-
undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan – peraturan hukum lain
yang berkaitan dengan perkara ini.
17
2. Menjatuhkan pidana kepada Anak pelaku DIKA INDRA LESMANA bin SUYANTO oleh
karena itu dengan pidana dengan syarat berupa pelayanan masyarakat yaitu membersihkan
lantai sekolah Mts Matholiul Anwar Desa Sarimulyo Kec. Kebonagung Kab. Demak
selama 1 (satu) bulan dengan ketentuan tidak boleh melebihi 3 (tiga) jam perhari serta tidak
dilakukan pada malam hari dan mengikuti pelatihan kerja di BLK Kab. Demak selama 3
(tiga) bulan;
3. Membebankan kepada Anak pelaku untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 3.000,-
(tiga ribu rupiah);
Menurut analisis penulis dalam putusan hakim tersebut sudah tepat karena terdapat
unsur perbuatan pelaku dan kesalahan pelaku yang telah memenuhi unsur tindak pidana
penganiayaan atau telah memenuhi unsur dari Pasal 76 C jo Pasal 80 ayat (1) UU RI No. 35
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
yang mana unsurnya sebagai berikut:
1. Unsur Setiap Orang
bahwa yang dimaksud dengan setiap orang identik dengan unsur Barang Siapa
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menunjuk kepada subjek
hukum atau pelaku tindak pidana yaitu orang (manusia) sebagai subjek hukum yang
apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pidana sebagaimana
didakwakan oleh Penuntut Umum, maka ia dapat disebut sebagai pelaku atau dader dari
tindak pidana tersebut. Selanjutnya, orang yang diajukan ke persidangan ternyata benar
anak pelaku DIKA INDRA LESMANA bin SUYANTO yang telah didakwa sebagai
pelaku tindak pidana dalam dakwaannya dengan segala identitasnya yang hal ini
diketahui dari pengakuan anak pelaku sendiri saat identitasnya ditanyakan di awal
persidangan maupun keterangan para saksi. Oleh karenanya dalam perkara ini
berdasarkan pertimbangan di atas maka unsur setiap orang telah terpenuhi.
2. Unsur dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh, melakukan atau
turut serta melakukan kekerasan terhadap Anak.
- yang dimaksud “Dengan Sengaja” adalah sikap batin yang letaknya dalam hati
sanubari seseorang yang tidak dapat dilihat oleh orang lain, sungguhpun demikian
sub unsur ini dapat dipelajari, dianalisa dan disimpulkan dari rangkaian perbuatan
yang dilakukan oleh terdakwa, karena setiap orang dalam melakukan suatu
perbuatan selalu dilakukan sesuai dengan niat, kehendak atau maksud hatinya,
sehingga perbuatan tersebut dikehendaki dan dimengerti oleh terdakwa serta
dilakukan dengan penuh kesadaran.
18
- yang dimaksud “Kekerasan” mengandung pengertian, bahwa perbuatan yang
dilakukan dengan menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani sekuat mungkin
secara tidak sah yang ditujukan kepada orang dengan cara memukul dengan tangan
atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya yang
dapat mengakibatkan orang lain mengalami rasa sakit, luka, pingsan atau tidak
berdaya.
- sedangkan “Ancaman Kekerasan” adalah rangkaian kata-kata atau gerak tubuh
yang sifatnya paksaan yang menggambarkan keinginan pelaku yang apabila
keinginan pelaku tidak dipenuhi, maka pelaku akan melakukan sesuatu hal yang
dapat berakibat merugikan bagi kebebasan, kesehatan atau keselamatan nyawa
orang yang diancam
- Menimbang, bahwa secara khusus (lex specialis) yang dimaksud dengan sub unsur
“anak” sebagaimana ketentuan Undang-Undang R.I Nomor 35 tahun 2014 tentang
perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan;
Berdasarkan realita yang terungkap dipersidangan dapat diketahui bahwa pada
hari Minggu tanggal 15 April 2018 sekira pukul 19.00 WIB bertempat di Pondok
Pesantren Sirojut’tolibin Desa Sarimulyo Kecamatan Kebonagung Kabupaten Demak,
Anak pelaku telah melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak dibawah umur
yaitu anak korban Mahendra dengan umur pada saat itu 12 Tahun. Yang mana kejadian
tersebut berawal ketika pada hari hari Minggu tanggal 15 April 2018 sekitar jam 19.00
WIB di Pondok Pesantren Sirojut’tolibin Desa Sarimulyo Kec. Kebonagung Kab.
Demak, saat itu Anak pelaku sedang bersama Anak saksi Muhammad Nur Rohim dan
Anak korban berada di aula belakang Pondok Pesantren sedang berbincang dan
bercandaan, kemudian Anak pelaku datang mengambil kitab yang ada di aula dan
memanggil Anak korban Mahendra Putra Sugiarto dengan menyebut nama bapaknya
“Ko” dan setelah itu Anak korban Mahendra Putra Sugiarto menengok.
Selanjutnya Anak korban Mahendra Putra Sugiarto membalas dengan
memanggil Anak Dika Indra Lesmana dengan sebutan ayah Anak Dika Indra Lesmana
“ To Yanto”, oleh karena tidak terima dengan perkataan dari Anak korban Mahendra
Putra Sugiarto, lalu Anak Dika Indra Lesmana menghampiri Anak korban Mahendra
Putra Sugiarto kemudian memukul kepala bagian belakang sebanyak 1 (satu) kali
dengan menggunakan tangan, kemudian Anak Dika Indra Lesmana berjalan telah
19
ditendang oleh Anak korban Mahendra Putra Sugiarto hingga terjatuh, kemudian Anak
Dika Indra Lesmana berdiri dan mendekati Anak korban Mahendra Putra Sugiarto
kemudian kedua tangan Anak Dika Indra Lesmana memegangi pundak Anak korban
Mahendra Putra Sugiarto dari belakang lalu menggigit lengan kanan Anak korban
Mahendra Putra Sugiarto, hingga akhirnya dilerai oleh Anak saksi Yoga Satyo. Dari
kejadian tersebut, anak korban mengalami dua luka yakni luka lebam pada dahi kanan
3 cm dan memar pada lengan kanan 4 cm.
Dari kasus itu pula, kita dapat melihat bahwa dalam kejadian tersebut korban telah
melakukan pembelaan yaitu dengan cara memanggil balik nama ayah pelaku karena pelaku
memanggil dahulu nama ayah korban. Kesalahan yang diperbuatan pelaku tidak dapat
dimaafkan karena telah memanggil nama ayah korban dahulu lalu setelah korban membalas
pelaku tidak terima dan menganiayaanya.
Dalam kasus di atas bahwa keputusan hakim dengan memberikan hukuman pelayanan
masyarakat yaitu membersihkan lantai sekolah Mts Matholiul Anwar Desa Sarimulyo Kec.
Kebonagung Kab. Demak selama 1 (satu) bulan dengan ketentuan tidak boleh melebihi 3 (tiga)
jam perhari serta tidak dilakukan pada malam hari dan mengikuti pelatihan kerja di BLK Kab.
Demak selama 3 (tiga) bulan. Hal itu dikatakan tepat karena untuk membuat pelaku sadar dan
jera akibat perbuatan yang telah dilakukan sesuai dengan UU SPPA dengan tujuan agar dapat
mewujudkan peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum. Jika hukuman anak tersebut penjara menurut penulis
kurang tepat dikarena anak memilki mental yang kurang kuat dan pola pikirnya belum
terbentuk sehingga bisa saja anak tersebut melakukan tindak pidana lagi kepada orang yang
sama untuk balas dendam karena telah membuat pelaku di penjara sehingga tujuan dari
pemidanaan yaitu membuat anak yang berkonflik dengan hukum tidak tercapai.
Ketika melihat kasus di atas Anak yang berkonflik dengan hukum sebenarnya
merupakan korban dari apa yang dilihat didengar dan dirasakan serta pengaruh lingkungan
disekitar mereka. Banyak faktor yang melatarbelakangi anak yang melakukan tindak pidana
diantaranya, pendidikan, usia, pergaulan anak dan lingkungan keluarga.
20
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Faktor penyebab terjadinya tindak pidana penganiayaan dalam Putusan Nomor
2/Pid.Sus.Anak/2019/PN.Dmk adalah bermula dari candaan yang tidak diterimanya
oleh pihak terdakwa karena korban telah memanggil pihak terdakwa dengan nama
ayahnya, sebagaimana telah ditegaskan dalam kasus posisi Putusan Nomor 2/Pid. Sus.
Anak/2019/PN.Dmk Dalam kasus ini, pihak terdakwa atau pelaku merupakan pihak
yang mengawali candaanya dengan memanggil nama ayahnya dan di balas oleh korban
dengan memanggil nama ayahnya juga sehingga dapat disimpulkan bahwa keduanya
sama-sama salah dikarena ada penyebab yang membuat terdakwa melakukan
penganiayaan dan dalam kasus tersebut. tetapi pelaku melakukan pembalasan dengan
cara yang berlebihan yaitu menganiayaan korban dengan memukul, menendang lalu
mengigit. Sehingga dari perilaku yang dilakukan oleh terdakwa tersebut merupakan
perilaku yang telah memenuhi unsur dari pengertian tindak pidana penganiayaan, yang
mana suatu perbuatan dilakukan dengan tujuan menimbulkan rasa sakit atau luka pada
orang lain, unsur dengan sengaja di sini harus meliputi tujuan menimbulkan rasa sakit
atau luka pada orang lain.
b. Penegakan hukum dalam tindak pidana penganiayaan dalam Putusan Nomor
2/Pid.Sus.Anak/2019/PN.Dmk adalah dengan menjatuhkan hukuman yang memenuhi
rasa keadilan yang seadil-adilnya dan sesuai dengan ketentuan yang terkandung dalam
pasal 197 ayat (1) sub f KUHAP, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan keadaan
yang memberatkan dan keadaan yang meringankan pada diri anak pelaku.
c. Putusan Nomor 2/Pid. Sus. Anak/2019/PN.Dmk merupakan putusan yang telah tepat
karena unsur perbuatan pelaku dan kesalahan pelaku telah memenuhi unsur tindak
pidana penganiayaan atau telah memenuhi unsur dari Pasal 76 C jo Pasal 80 ayat (1)
UU RI No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Dalam kasus di atas bahwa keputusan hakim dengan memberikan
hukuman pelayanan masyarakat yaitu membersihkan lantai sekolah Mts Matholiul
Anwar Desa Sarimulyo Kec. Kebonagung Kab. Demak selama 1 (satu) bulan dengan
ketentuan tidak boleh melebihi 3 (tiga) jam perhari serta tidak dilakukan pada malam
hari dan mengikuti pelatihan kerja di BLK Kab. Demak selama 3 (tiga) bulan. Hal itu
21
dikatakan tepat karena untuk membuat pelaku sadar dan jera akibat perbuatan yang
telah dilakukan sesuai dengan UU SPPA dengan tujuan agar dapat mewujudkan
peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak
yang berhadapan dengan hukum. Jika hukuman anak tersebut penjara menurut penulis
kurang tepat dikarena anak memilki mental yang kurang kuat dan pola pikirnya belum
terbentuk sehingga bisa saja anak tersebut melakukan tindak pidana lagi kepada orang
yang sama untuk balas dendam karena telah membuat pelaku di penjara sehingga tujuan
dari pemidanaan yaitu membuat anak yang berkonflik dengan hukum tidak tercapai
4.2 Saran
Berdasarkan uraian dari penjelasan di atas dan kesimpulan yang didapat, maka
implikasi dari bab akhir makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Diharapkan bagi pihak sekolah selalu mengawasi dan memberikan didikan-didikan
sebagaimana mestinya, agar tidak terjadi kejadian yang sama. Kiranya instansi
sekolahan memberikan pemahaman yang lebih mendalam terkait pemikiran untuk
anak-anak remaja seusia pelaku maupun terdakwa.
b. Diharapkan pihak kepolisian, masyarakat dan yang bersangkutan selalu mengawasi
agar hukuman dapat terlaksana sebagaimana mestinya dan tidak memberatkan baik
bagi korban maupun pelaku, karena masih dalam tanggungan anak-anak. Selain itu,
selalu melakukan koordinasi diantara para pihak agar terjalin perilaku kerjasama yang
baik diantara banyak pihak.
c. Diharapkan pihak keluarga selalu memberi nasihat bagi anak-anaknya dan selalu
memberikan pemahaman sebagaimana mestinya.
22
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Achmad Ali. 2008. Menguak Tabir Hukum, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Alam, A.S, 2010, Pengantar Kriminologi, Makassar: Pustaka Refleksi Books.
Adami Chazawi. 2010. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta: Rajawali Pers.
Arif Gosita. 2004. Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
Bambang Waluyo. 2012. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Jakarta: Sinar Grafika.
Didik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom. 2008. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
antara Norma dan Realita, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
G. Widiartana. 2009. Viktimologi, Perspektif Korban dalam Penanggulangan
Kejahatan.Yogyakarta: Atmajaya.
Made Darma Weda. 1996. Kriminologi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Made Darma Wede. 1995. Beberapa Catatan Tentang Korban Kejahatan Korporasi, dalam
Bunga Rampai Viktimisasi. Bandung: Eresco.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1984. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni : Bandung
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2007. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: PT. Alumni.
Muhadar, Edi Abdullah, Husni Thamrin. 2010. Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem
Peradilan Pidana, Surabaya: CV. Putra Media.
Siswanto Sunarso. 2012. Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.
Sughandi, R. 1981. KUH PIDANA dengan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional.
Wirjono Projdodikoro. 2008. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung: PT.
Refika Aditama.
UNDANG-UNDANG
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
23