OLEH :
Angga Nugraha Agung 13300093
FAKULTAS HUKUM
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh manusia.
Dalam keluarga, manusia belajar untuk mulai berinteraksi dengan orang lain. Oleh
karena itulah umumnya orang banyak menghabiskan waktunya dalam lingkungan
keluarga. Sekalipun keluarga merupakan lembaga sosial yang ideal guna
menumbuhkembangkan potensi yang ada pada setiap individu, dalam kenyataannya
keluarga sering kali menjadi wadah bagi munculnya berbagai kasus kekerasan atau
aktivitas ilegal lain sehingga menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan, yang
dilakukan oleh anggota keluarga satu terhadap anggota keluarga lainnya seperti
penganiayaan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan.
Pembahasan tentang kekerasan dalam rumah tangga, terutama kekerasan yang
dilakukan oleh orangtua terhadap anak, merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Hal
ini disebabkan kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan kasus yang paling
banyak dijumpai dibandingkan dengan kasus kekerasan lainnya. Kekerasan dalam rumah
tangga juga merupakan hal yang kompleks. Tidak seperti halnya kejahatan lainnya, di
mana korban dan pelaku berada dalam hubungan personal, legal, institusional serta
berimplikasi sosial.
Pada kasus KDRT dengan korban anak, terdapat kasus di mana pelakunya
adalah perempuan dalam status sebagai ibu. Dengan kata lain, perempuan dapat terlibat
dalam lingkaran KDRT. Pada satu pihak, perempuan menjadi korban KDRT, tetapi di
pihak lain, perempuan yang sama melakukan KDRT terhadap anaknya.
Persoalan yang mengemuka dalam konteks ini adalah bukan saja mengapa
anak menjadi korban yang paling dominan dalam KDRT, tetapi juga mengapa
kekerasan justru terjadi di tempat dimana seharusnya anggota keluarga merasa aman?
B. RUMUSAN MASALAH
TINJAUAN PUSTAKA
1. Apa yang dirumuskan sebagai kejahatan dan fenomenanya yang terjadi dalam
masyarakat, kejahatan dan siapa penjahatnya, merupakan bahan penelitian para ahli
kriminologi
2. Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab timbulnya atau dilakukannya kejahatan.2
Untuk menjawab pertanyaan ini sudah cukup lama kriminologi berusaha untuk
menggali penyebab kejahatan. Sejak sekitar permulaan abad ke-19 hingga dewasa ini terus
dicari faktor-faktor yang berhubungan dengan timbulnya kejahatan. Namun masih saja
kriminolog mencari dan tiada satu teori pun yang dapat diterima secara mutlak oleh semua
yang menguasai kriminologi. Hal ini karena sifat kejahatan, sifat manusia, dan sifat
masyarakat yang senantiasa berubah. Yang jelas adalah upaya menggali sebab musabab
kejahatan adalah tugas kriminologi untuk mempelajarinya, dimana kriminolog dituntut untuk
mempelajari kausa kriminalitas, berpendapat, dan bila mungkin membangun sebuah teori.
Berbeda halnya dengan ilmu pengetahuan hukum pidana yang mempelajari atau
meneliti kejahatn itu hanya sebatas suatu perbuatan yang melanggar hukum serta
memberikan ancama hukuman kepada pelakunya, kana tetapi tidak dapat mencari mengapa
seseorang melakukan kejahatan. Hal ini dikarenakan ilmu pengetahuan hukum pidana hanya
memabahas dan meneliti kejahatan dalam arti yuridis. Karena itu dibutuhkan ilmu lain yang
dapat membantunya dan ilmu itu adalah kriminologi yaitu ilmu pengetahuan yang tidak
hanya membahas kejahatan dalam arti yuridis, tetpi juga dalam arti sosiologis.
Bonger dalam Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa menyebutkan bahwa kriminologi
adalah ‘ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki segala kejahatan seluas-luasnya’.3
Sutherland dalam I.S Susanto mengemukakan, bahwa kriminologi terdiri dari tiga
bagian utama yaitu :
1. Etiologi kriminal yaitu usaha secara ilmiah untuk mencari sebab-sebab kejahatan.
2. Penologi yaitu pengetahuan yang mempelajari tentang sejarah lahirnya hukman,
perkembangannya, serta arti dan faedahnya.
3. Sosiologi hukum (pidana) yaitu analisis ilmiah terhadap kondisi-kondisi yang
mempengaruhi perkembangan hukum pidana.5
Berdasarkan aliran-aliran dalam krimonologi, maka secara garis besar objek studi
kriminologi adalah sebagai berikut :
1. Kejahatan
3
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT.Raja Gafindo Persada, Jakarta, 2001, hal.7
4
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT.Raja Gafindo Persada, Jakarta, 2001, hal.8
5
I.S Susanto, Kriminologi, Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1995, hal 21
5
Kejahatan yaitu perbuatan yang disebut sebagai kejahatan. Damlam hal ini
yang dipelajari terutama adalah perundangan-undangan (pidana) yaitu norma-norma
yang termuat dalam peraturan pidana. Akibatnya kriminologi memperluas studinya
terhadap perbuatan-perbuatan yang dipandang sebagai sangat merugikan masyarakat
luas, baik kerugian materi maupun kerugian/bahaya terhadap jiwa dan kesehatan
manusia walaupun tidak diatur dalam undang-undang pidana.
2. Pelaku
Pelaku adalah orang yang melakukan kejahatan atau sering disebut penjahat.
Studi terhadap pelaku ini terutama dilakukan oleh kriminologi positif dengan tujuan
untuk mencari sebab-sebab orang melakukan kejahatan. Dalam mencari sebab-sebab
kejahatan, kriminologi positif menyandarkan pada asumsi bahwa penjahat berbeda
dengan bukan penjahat, perbedaan tersebut ada pada aspek biologik, psikologik
maupun sosio kultural.
3. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan pelaku
Studi mengenai reaksi masyarakat terhadap kejahatan bertujuan untuk
mempelajari pandangan serta tanggapan masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan
atau gejala yang timbul di masyarakat yang dipandang sebagai merugikan atau
mebahayakan masyarakat luas akan tetapi undang-undang belum mengaturnya.
Dengan demikian kriminologi akan menguraikan secara teoritis bagaimana reaksi
masyarakat dan reaksi pelaku serta akar reksi masyarakat terhadap apa yang
dinamakan denagn kejahatan.
3. Aliran Kriminologi
Yang dimaksud dengan aliran disini adalah cara pandang, kerangka, acuan, para
kriminolog dalam melihat, menafsirkan, menanggapi, dan menjelaskan fenomena kejahatan.
a. Aliran klasik
Aliran pemikiran ini mendasarkan pada pandangan bahwa integrasi dan rasionalitas
merupakan ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku
manusia, baik yang bersifat perorangan maupun yang bersifat kelompok.
b. Aliran kriminologi positif
Aliran pemikiran ini bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan
oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik yang berupa faktor biologis maupun
kultural.
c. Aliran Kriminologi Kritis
Aliran kritis tidak berusaha menjawab peranyaan apakah perilaku manusia itu bebas
atau ditentukan, akan tetapi lebih mengarahkan pada mempelajari proses-proses
manusia dalam membangun dunianya di mana dia hidup. Kriminologi kritis
mempelajari proses-proses dimana kumpulan dari orang-orang dan tindakan-tindakan
ditunjuk sebagai kriminal di waktu dan tempat tertentu.
Kejahatan bukanlah peristiwa bawaan sejak lahir, dan juga bukan merupakan warisan
biologis. Tingkah laku kriminal itu bisa dilakukan oleh siapapun juga, baik wanita maupun
pria, dapat berlangsung pada usia anak, dewasa maupun lanjut usia. Tindak kejahatan itu
dilakukan secara sadar yaitu dipikirkan, direncanakan, dan diarahkan pada suatu maksud
tertentusecara sadar benar, tetapi dapat juga dilakukan secra setengah sadar misalnya
didorong oleh oleh impuls-impuls yang hebat dan oleh obsesi-obsesi.
Tingkah laku seseorang sangat erat hubungannya dengan kebutuhan, karena pada
umumnya manusia mempunyai kebutuhan-kebuthan yang beraneka ragam. Begiu juga
perkembangan fisik pada masa pubertas yang begitu cepat dapat menyebabkan seseorang
mengalami keguncangan psikis sehingga dapat mengakibatkan hal-hal yang negatif serta
mengarah kepada perbuatan jahat. Dengan demikian kejahatan dipandang sebagai arah
perkembangan pribadi yang salah. Di dalam setiap pribadi anggota masyarakat terdapat bakat
yang masing-masing berbeda satu dengan lainnya.
Apabila seseorang mempunyai bakat di suatu bidang tertentu, maka orang tersebut
akan dengan mudah untuk menguasai bidang tersebut, karena ia berbakat dalam bidang itu.
Bakat tersebut dinilai baik jika menyangkut hal-hal yang positif, misalnya menyanyi, menari,
dan lain sebagainya. Pada sisi lain terdapat pula diantara warga masyarakat yang mempunyai
bakat yang menjurus pada hal-hal yang negatif seperti bakat untuk menipu, mencuri, dan lain
sebagainya, yang akibat dari tindakan tersebut dapat menimbulkan keresahan bagi waga
masyarakat lainnya.
Dengan adanya bakat yang menjurus kepada hal-hal yang negatif itu, merupakan
salah satu faktor atau yang melatarbelakangi atau yang mendorong terjadinya tindak pidana
kejahatan.
.
1. Aminah Azis, Aspek Perlindungan Anak, Usaha Ansional, Surabaya; 1998, hal.79
Hak-Hak Anak
Di Indonesia hak-hak anak telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979
Tentang Kesejahteraan Anak, yang tertera pada pasal 2 sampai dengan pasal 8, sebagai
berikut :
Kemudian selain hak-hak anak dikemukakan diatas, ada hak-hak yang diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perindungan Anak, yang tercantum dalam
pasal 4 sampai dengan pasal 12, sebagai berikut :
1. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
2. Setiap anak berhak atas nama sebagai identitas dan status kewarganegaraan.
3. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
4. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang
tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh
kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau
sebagai anak asuh atau anak angkat oelh orang lain sesuai dengan ketentuan dan
perarturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jamiana sosial sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.
6. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Khusus bagi
anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan
bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapat pendidikan khusus.
7. Setiap anak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan
informasi sesuai dengan tingkat keerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai
dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
8. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
anak yang sebaya, bermain, berekreasi, sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasaannya demi perkembangan diri.
9. Setiap anak yang menyangdang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Begitu pentingnya perhatian pada anak sehingga Perserikatan Bangsa (PBB) pada
tanggal 20 Nopember 1959 di Jenewa, menetapkan lahirnya Declaration of Rights of The
Child, yang isinya antara lain menganjurkan agar umat manusia berkewajiban memberikan
yang terbaik bagi anak.
2.
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal.16
BAB 3
PEMBAHASAN
A. PEMBAHASAN
1. Pengertian KDRT
Hal ini berarti bahwa ada empat aspek kesehatan yakni fisik, mental, sosial dan
ekonomi. Setiap individu, atau kelompok masyarakat yang tidak memenuhi semua
indikator kesehatan ini, maka ia dapat dikatakan tidak sehat atau sakit. Karena itu,
kesakitan pun memiliki empat aspek; fisik, mental, sosial dan ekonomi, begitupun
kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga.
Disampin hal-hal tersebut diatas dapat juga ditinjau dari sudut kepribadian
seseorang seperti misalnya pelaku itu mempunyai pribadi yang khas selalu ingin
melakukakn tindak pidana.
Dengan adaya bakat yang menjurus pada hal-hal yang negatip itu, merupakan
salah satu factor atau yang melatar belakangi atau mendorong terjadinya tindak pidana
kejahatan.
Menurut hasil wawancara dengan Dolman Sinaga, SH. Hakim pengadilan Negeri
Medan disebutkan bahwa factor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga adalah :
“Hampir mayoritas karena egonya sendiri sebagai suami dan egonya sebagai
orang tua. Kalau sebagai suami-istri karena kecemburuan antara suami istri sedangkan
dilihat dari iman yang krang menyadari, kurang melihat, status sebagai orang tua,
seandainya dipatuhi maka tidak akan terjadi kekerasan dalam rumah tangga”.
Sedangkan menurut Edi Irianto, pelaku kejahatan dalam rumah tangga disebutkan
bahwa “yang menjadi latar belakangi/motif sehingga melakukan kekerasan dalam rumah
tangga adalah disebabkan karena pada saat melakukan dalam keadaan stress karena
diberhentikan dari pekerjaan, jadi agak emosi”.
1. Masalah gender
Berbicara tentang kekerasan anak, maka terbelit dalam pikira seseorang
soal anak laki – laki dan perempuan yang memiliki persoalan, kebutuhan yang
saling berbeda.
Gender adalah perbedaan antara setiap anak laki – laki dan perempuan
yang lahir dari budaya dan segala keharusan-keharusannya. Diskriminasi
terhadap anak sudah terjadi sejk dalam kandungan. Contoh : masih banyak orang
yang mengharapkan anak yang dilahirkan dari seorang ibu adalah laki-laki. Selain
itu suburnya budaya patriaki menempatkan laki-laki lebih pentimh dari
perempuan.
Beban anak perempuan lebih banyak dirumah dari pada anak laki-laki.
Orang tua, khususnya ibu ikut melanggengkan hal tersebut, ibu dituntut harus
memiliki nilai-nilai. Padahal tanggung jawab terhadap anak bukan hanya milik
ibu melainkan milik ayah.
Anak perempuan lalu dituntuk untuk menggantikan peran ibu, ironisnya
malah sebagian anak perempuan terlibat dalam menggantikan peran istri dalam
keluarga. Anak perempuan lalu menjadi pembantu laten.
Kebebasan yang dinberikan pada anak perempuan lebih sempit
dibandingkan dengan anak laki-laki. System permainan, meilih sekolah, ikut
membedakan antara perempuan dan laki-laki. Perempuan terkungkung dalam
berbagai lai-nilai yang dibangun dalam masyarakat juga tidak kuat.
Kekerasan seksual terhadap anak peremuan adalah praktek yang sulit
terekpos. Selain terjadi dalam keluarga, banyak anak-anak perempuan yang
dijadikan komoditas bsnis-bisnis pelacuran. Ada perbedaan mendasar antara
perdagangan anak dan pekerja seks anak. Pekerja seks anak adalah anak-anak
yang memilih bekerja sebagai penjaja seks. Anak yang dilacurkan adalah anak-
anak yang tidak menginginkan sebagai pekerja seks tetapi karena kondisi yang
mangharuskan ini sebagai pekerjaan seks.
2. Hubungan Dengan Orang Tua
Anak harus patuh terhadap orang tua. Batas memberikan tindakan disiplin
atau melampiasakan kejengkelan sangat tipis sekali. Sehingga sering orang tua
menghukum anak yang melakukan kesalahan dengan hukuman-hukuman yang
bersifat tidak mendidik seperti menendang, menempeleng, dan memukul dengan
keras, sehingga anak merasa tersakiti fisiknya. Hal ini bukan merupakan tindakan
mendidik yang dilakukan orang tua terhadap anaknya yang tidak disiplin tetpi
mengarah pada penganiayaan terhadap anak-anaknya karena kesalahan yang
dibuatnya.
3. Penyakahgunaan Kekuasaan Peran Orang Tua
Pengalaman dianiyaya dalam keluarga, telah memaksa anaka untuk pergi
meninggalkan keluarganya, baik keluarga berada mauoun tidak berada. Bila
keluarga mengalami kesulitan ekonomi, kemungkinan terjadi hal tersebut menjadi
lebih besar. Hal ini sering diperburuk dengan jumlah naggota keluarga.
Tindakan kekerasan dan penyalahgunaan kekerasan, peran orang tua terjadi
karena orang tua mengalami kekecewaan dalam hidupnya. Mereka merasa bahwa
setiap hari beban hidupnya semakin berat. Banyak dari mereka yang telah
kehilangan pekerjaan atau bekerja keras setiap hari dan jarang bertemu dengan
keluarga dan anak-anak. Dalam kenyataan dalam masyaraat sering seorang ayah
terlibat dalam penggunaan alcohol yang berlebihan, berjudi dan akhirnya
kehabisan uang. Dalam banyak hal, anak-anak mudah menjadi sasaran kemarahan
dan frustasi yang dialami orang tua, terutama bila anak tidak bisa diam, tidak mau
membantu orang tua atau sangat aktif secara fisik.
Harus pula diketahui bahwa anak laki-laki dan perempuan mempunai reaksi
yang berbeda terhadap kekerasan dalam keluarga yang mereka alamai. Walaupun
anak perempuan mengalami tindak kekerasan, penganiayan bahwak mengalami
perlakuan salah secara seksual dalam keluarga, mereka sering memilih diam.
Konsekuensi bila mereka mengungkapkan kekerasan yang dialaminya, mungkin
pengucilan dan penolakan. Sebaliknya anak laki0-laki cenderung mengekpresikan
kemarahannya dengan pelampiasan pada anak lain yang lebih muda usianya.
Mereka juga lebih terbuka dalam membicarakan pengalamannya.
4. Kemiskinan
Salah satu penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak dalam keluarga
adalah bermula dari factor-faktor ekonomi yang dialami keluarga sehingga anak
disuruh beerja mencari nafkah tambahan. Banyak orang tua yang tidak menyadari
ketika menyuruh anak bekerja sesungguhnya mereka telah merampas keerdekaan
anak karena anak yang dalam usia masih mudah bukanlah merupakan tugas anak
untuk mencari nafkah. Dalam bekerja anak juga kehilangan kesempatan menuntut
ilmu dan lebih tragis lagi anak-anak menjadi memasuki suatu lingkungan yang
secarah alamiah belum layak dikenal anak-anak.
Banyak juga diantara orang tua yang berpendapat bukanlah merupakan
suatu kesalahan menyuruh anak bekerja karena didasarkan kepada suatu asumsi :
anak masih dalam tanggungan orang tua dan orang tua berhak untuk mengatur
anak-anaknya.
Mengingat usia yang belum dewasa serta posisi anak-anak yang demikian
lemahnyabterhadap pengusaha atau majikan menyebabkan anak mudah
diekploitasi, ditakut-takuti, diancam, dirampas bahkan harus bersedia melakukan
berbagai perbuatan yang bertentangan dengan kepatuan umum maupun nilai-nilai
moral. Sungguh tragis karena ketidak berdayaan dank arena tekanan ekonomi
yang dialaminya menjadi anak-anak korban kekerasan.
5. Lingkungan Pendidikan Yang Melahirkan Bias
Penyalahgunaan peran guru dihadapan murid. Anak dihukum melebihi
kepentigan dengan alas an yang tidak jelas. Misalnya seorang anak yang tidak
mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan hukuman dengan menampar atau
bahkan sampai menendang fisik anak tersebut. Padahal hukuman yang besifat
mendidik bagi anak yang tidak melakukan pekerjaan rumah yang diberikan cukup
dengan mengerjakan tugas tersebut didepan kelas.
6. Kekerasan Di Tempat Umum
Presepsi negara anak jalan pastilah nakal. Atas nama sapta pesona tidak
diperbolehkan anak-anak berada dijalanan.
7. Tidak Ada Perlindungan Hukum
Ada benturan hukum dalam penegakan hak-hak anak yang menjadi korban
kekerasan, misalnya hukum pidana menyatakan perlu 2 (dua) alat bukti sementara
banyak anak-anak yang menjadi korban kekerasan tidak dapat menunjukan alat
bukti. Keadaan makin parah, ketika hakim terkesan tidak bisa dijerat oleh hukum.
Buktinya ia tidak dapat dipidanakan bila melakukan kesalahan dalam
memutuskan perkara. Surat edaran Mahkama Agung No. 9 tahun 1976 hakim
tidak bisa disalahkan.
Demikianlah faktor-faktor timbulnya kejahatan yang pada dasarnya tidak terlepas dari
dalam diri dan dari luar diri seseorang. Selain faktor tersebut diatas, faktor situasi dan kondisi
pada waktu melakukan kejahatan merupakan salah satu faktor yang mendorong dilakukannya
tindak pidana. Yang dimaksud dengan situasi dan kondisi disini adalah factor-faktor atau
keadaan-keadaan yang memungkinkan pelaku untuk melakukan tindak pidana kejahatan.
a. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang megakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat.
b. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilanhnya rasa
percaya diri, hilannya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ayau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
c. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah etiap perbuatan yang berupa pemaksan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak
disukai, pemaksaa hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komerisal
dan/atau tujuan tertentu.
Kekerasan seksual tersebut meliputi :
1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam ringkup rumah tangga tersebut.
2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam ruang lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan
tertentu.
Dengan memiliki citra mengenai manusia ini, diharapkan akan diperbesar rasa
tanggung jawab terhadap sesama manusia yang ada bersama dalam suatu masyarakat.
Penderitaan dalam arti menjadi korban jangka pendek dan jangka panjang
yang berupa kerugian fisik , mental , atau moral , sosial , ekonomis,kerugian yang
hampir sama sekali dilupakan, diabaikan oleh kontrol ssosial , yang
melembaga,seperti penegak hukum, penuntut hukum,pengadilan, petugas pribation,
dan petugas pembinaan.
Sampai akhir tahun 2006 kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak
selalu meningkat. Di satu sisi semua mengutuk dan menerima agar ada tindakan tegas
terhadap pelakunya, tetapi di sisi lain semua pihak juga tidak tahu apa yang harus
diperbuat dan siapa yang harus bertanggungjawab.
Di samping itu perlu juga diinginkan bagi parat penegak hukum dan keadilan
agar tidak memfokuskan pada persyaratan formalitas. Sebab tidak jarang didengar
lolos atau bebasnya pelaku KDRT ini hanya dikarenakan alat bukti.
Usaha repressif ini adalah keseluruhan usaha, daya upaya kebijaksanaan dan
tindakan yang diambil sesudah atau terjadinya kejahatan itu dengan tujuan agar
kejahatan sedemikian jangan sampai terulang lagi.
3. Usaha rehabilitasi
Usaha rehabilitasi berarti usaha mengembalikan kepada bentuk semula. Usaha ini
merupakan suatu usaha untuk merubah seseorang yang sudah pernah melakukan
kejahatan dan agar orang tersebut tidak lagi melakukan kejahatan dan kembali
menjadi anggota masyarakat yang baik.
Dalam usaha rehabilitasi seperti yang di lakukan Lembaga Pemasyarakatan , para
narapidana tidak hanya berdiam diri saja, tetapi mereka juga bekerja sesuai dengaan
kemampuan dan bakat dari narapidana tersebut. Kegiatan itu berupa cocok tanam,
kerajianan tangan dan lain-lain.
B. ANALISA KASUS
1. Kasus Posisi
Kasus yang dilakukan oleh DSD (18) yang tega menganiaya anaknya sendiri
DLR (5) hingga tewas (17 Maret 2013). DSD tega memukuli DLR dan
mendorongnya ke lantai kamar mandi hingga sang anak mengalami pendarahan otak
lantaran sang Ibu menganggap bahwa tindakan sang anak balita tersebut yang tidur
pada pagi hari adalah melanggar aturan.
Kasus serupa yang dilakukan oleh Ervina (36) dan Surya (35) terhadap Adit
(7) anak mereka yang telah dengan sengaja dianiaya hingga menderita luka berat dan
dibuang ke kebun sawit. Ervina menuturkan alasannya tega menganiaya dan
membuang anaknya adalah karena ketidakmampuannya dalam menahan nafsu
amarah yang disebabkan oleh ulah nakal anaknya tersebut. Sehingga Ervina dengan
tega melakukan tindakan anarki kepada anaknya sendiri selama kebutuhan untuk
memuaskan nafsu amarahnya terpenuhi.
2. Analisa
a. Diancam dengan pidana dalam pasal 80 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 23 tahun
2002 tentang Perlindungan anak dengan unsur-unsur :
“Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau
penganiayaan terhadap anak yang mengakibatkan luka berat.”
Degan demikian tersangka terbukti melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga atau penganiayaan dalam keluarga sebagaimana dimaksud dalam pasal 80 Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2002 dan pasal 356 KUHP.
Menurut pasal 80 Undnag-Undang Nomor 23 tahun 2002 disebut sebagai berikut :
1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau
penganiayaan terhadap anak dipidana dengan penjara paling lama 3 tahun 6 bulan
dan denda paling banyak Rp. 72.000.000,- (tujuh puuh dua juta rupiah).
2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat. Maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
3. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku
dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
4. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(2) dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orangtuanya.
BAB 4
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Fenomena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terus meningkat akhir –
akhir ini terjadi karena berbagai faktor yaitu :
1. Masih rendahnya kesadaranuntuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat
sendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya,
maupun dari pihak- pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang
kekerasan dalam rumah tangga, sehingga data kasus tentang (KDRT) pun, banyak
dikesampingkan ataupun dianggap masalah yang sepele.
2. Masyarakat ataupun pihak yang tekait dengan KDRT, baru benar- benar bertindak
jika kasus KDRT sampai menyebabkan korban baik fisik yang parah dan maupun
kematian, itupun jika diliput oleh media massa. Banyak sekali kekerasan dalam
rumah tangga ( KDRT) yang tidak tertangani secara langsung dari pihak yang
berwajib, bahkan kasus kasus KDRT yang kecil pun lebih banyak dipandang
sebelah mata daripada kasus – kasus lainnya.
3. Masalah budaya, masyarakat yang patriarkis ditandai dengan pembagian
kekuasaan yang sangat jelas antara laki –laki dan perempuan dimana laki –laki
mendominasi perempuan. Dominasi laki – laki berhubungan dengan evaluasi
positif terhadap asertivitas dan agtresivitas laki – laki, yang menyulitkan untuk
mendorong dijatuhkannya tindakan hukum terhadap pelakunnya. Selain itu juga
pandangan bahwa cara yang digunakan orang tua untuk memperlakukan anak –
anaknya , atau cara suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan mereka
sendiri dapat mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan dalam rumah tangga
( KDRT).
4. Faktor Domestik, adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui
oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan
dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu
mengalahkan rasa sakit hati, masalah Domestik dalam keluarga bukan untuk
diketahui oleh orang lain sehingga hal ini dapat berdampak semakin menguatkan
dalam kasus KDRT.
5. Lingkungan, kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat untuk
merespon apa yang terjadi, hal ini dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban.
Karena bisa saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal
yang penting karena tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan
keyakinan dan keberanian korban untuk keluar dari masalahnya.
B. SARAN
Melihat dari faktor penyebab terjadinya KDRT maka petugas yang berwewenang
untuk menangani masalah ini harus lebih aktif lagi untuk menjalankan tugasnya
menghapuskan kekerasan dalam rumah tangga sesuai dengan dikeluarkannya UU
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, karena korban yang timbul akibat dari
perbuatan ini sangat membutuhkan perlindungan dari Negara. Pemerintah juga wajib
mengsosialisasikan tentang UU ini untuk menciptakan masyarakat yang taat pada hukum
sehingga mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan umum berdasarkan keadilan.