Anda di halaman 1dari 27

TINJAUAN KRIMINOLOGI MENGENAI KDRT TERHADAP ANAK

OLEH :
Angga Nugraha Agung 13300093

Dyah Arintha Reinaningtyas 13300111

Khatimatul Husna 13300087

Imaniar Ajeng 13300078

Ifna Setyowati 13300102

Gilang Cipta Pilar Gumilang 13300046

Muhammad Sahri Ramadhan 13300047

Firstiana Nurul Widya 13300018

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2015
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh manusia.
Dalam keluarga, manusia belajar untuk mulai berinteraksi dengan orang lain. Oleh
karena itulah umumnya orang banyak menghabiskan waktunya dalam lingkungan
keluarga. Sekalipun keluarga merupakan lembaga sosial yang ideal guna
menumbuhkembangkan potensi yang ada pada setiap individu, dalam kenyataannya
keluarga sering kali menjadi wadah bagi munculnya berbagai kasus kekerasan atau
aktivitas ilegal lain sehingga menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan, yang
dilakukan oleh anggota keluarga satu terhadap anggota keluarga lainnya seperti
penganiayaan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan.
Pembahasan tentang kekerasan dalam rumah tangga, terutama kekerasan yang
dilakukan oleh orangtua terhadap anak, merupakan  hal yang menarik untuk dikaji. Hal
ini disebabkan kasus kekerasan dalam rumah tangga  merupakan kasus yang paling
banyak dijumpai dibandingkan dengan kasus kekerasan lainnya. Kekerasan dalam rumah
tangga juga merupakan hal yang kompleks. Tidak seperti halnya kejahatan lainnya, di
mana  korban dan pelaku berada dalam  hubungan personal, legal, institusional serta
berimplikasi sosial.

Kekerasan terhadap anak termasuk dalam konteks dalam rumah tangga


merupakan perbuatan berdasarkan emosi dan kekhilafan yang berakibat atau mungkin
berakibat kesengsaraan atau penderitaan anak secara fisik, seksual atau psikologis,
termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan
secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik maupun dalam kehidupan
pribadi.

Pada kasus KDRT dengan korban anak, terdapat kasus di mana pelakunya
adalah perempuan dalam status sebagai ibu. Dengan kata lain, perempuan dapat  terlibat
dalam lingkaran KDRT. Pada satu pihak, perempuan menjadi korban KDRT, tetapi di
pihak lain, perempuan yang sama melakukan KDRT terhadap anaknya.
Persoalan yang mengemuka dalam konteks ini adalah bukan saja mengapa
anak menjadi korban yang paling dominan dalam KDRT, tetapi juga mengapa
kekerasan justru terjadi di tempat dimana  seharusnya anggota keluarga merasa aman?

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)?


2. Bagaimana analisa kasus mengenai permasalahan KDRT?
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN TENTANG KDRT


1. Pengertian Kriminologi

Berdasarkan ensiklopedia, kriminologi digambarkan sebagai ilmu pengetahuan yang


sesuai dengan namanya, yaiutu ilmu pengetahan tentang kejahatan. Arti yang demikian
adalah usaha untuk menunjukkan bahwa kriminologi mempunyai misi atau tuga ‘mempelajari
kejahatan’.1

Menurut Soedjono Dirdjosiworo, bahwa yang menjadi misi kriminologi adalah :

1. Apa yang dirumuskan sebagai kejahatan dan fenomenanya yang terjadi dalam
masyarakat, kejahatan dan siapa penjahatnya, merupakan bahan penelitian para ahli
kriminologi
2. Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab timbulnya atau dilakukannya kejahatan.2

Untuk menjawab pertanyaan ini sudah cukup lama kriminologi berusaha untuk
menggali penyebab kejahatan. Sejak sekitar permulaan abad ke-19 hingga dewasa ini terus
dicari faktor-faktor yang berhubungan dengan timbulnya kejahatan. Namun masih saja
kriminolog mencari dan tiada satu teori pun yang dapat diterima secara mutlak oleh semua
yang menguasai kriminologi. Hal ini karena sifat kejahatan, sifat manusia, dan sifat
masyarakat yang senantiasa berubah. Yang jelas adalah upaya menggali sebab musabab
kejahatan adalah tugas kriminologi untuk mempelajarinya, dimana kriminolog dituntut untuk
mempelajari kausa kriminalitas, berpendapat, dan bila mungkin membangun sebuah teori.

Konsepsi yang rasional empiris untuk menjawab bagaimana kejahatan dapat


ditanggulangi secara efektif, juga merupakan satu persoalan besar dan rumit. Karena apabila
rumusan ‘apakah kejahatan itu?’ masih bersifat subyektif dan relatif, para kriminolog terus
mencari dan berargumentasi. Dihubungkan pula denga upaya menggali sebab musabab
kejahatan yang hampir dua abad terus berlangsung. Bagaiamana kita menyusun sebuah
konsepsi yang obyektif. Banyak hasil konsepsi namun tiap kriminolog mempunyai caranya
sendiri. Tetapi betapapun tiap masyarakat bisa memanfaatkan dengan cara menrapkan secara
1
Soedjono Dirdjosisworo, Ruang Lingkup Kriminologi, Remadja Karya, Bandung, 1984
2
Soedjono Dirdjosisworo, Ruang Lingkup Kriminologi, Remadja Karya, Bandung, 1984, hal 11
hati-hati manakah konsep yang cocok untuk diolah selaras dengan kondisi yang nyata pada
masyarakat yang bersangkutan.

Berbeda halnya dengan ilmu pengetahuan hukum pidana yang mempelajari atau
meneliti kejahatn itu hanya sebatas suatu perbuatan yang melanggar hukum serta
memberikan ancama hukuman kepada pelakunya, kana tetapi tidak dapat mencari mengapa
seseorang melakukan kejahatan. Hal ini dikarenakan ilmu pengetahuan hukum pidana hanya
memabahas dan meneliti kejahatan dalam arti yuridis. Karena itu dibutuhkan ilmu lain yang
dapat membantunya dan ilmu itu adalah kriminologi yaitu ilmu pengetahuan yang tidak
hanya membahas kejahatan dalam arti yuridis, tetpi juga dalam arti sosiologis.

2. Objek dan Ruang Lingkup Kriminologi

Bonger dalam Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa menyebutkan bahwa kriminologi
adalah ‘ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki segala kejahatan seluas-luasnya’.3

Sutheland dalam Topo Santoso merumuskan kriminologi ‘sebagai keseluruhan ilmu


pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial’.4

Dengan demikian, secara umum kriminologi bertujuan untuk memelajari kejahatan


dari berbagai aspek, sehingga diharapakan dapat memperoleh pemahaman mengenai
fenomena kejahatan denga baik.

Sutherland dalam I.S Susanto mengemukakan, bahwa kriminologi terdiri dari tiga
bagian utama yaitu :

1. Etiologi kriminal yaitu usaha secara ilmiah untuk mencari sebab-sebab kejahatan.
2. Penologi yaitu pengetahuan yang mempelajari tentang sejarah lahirnya hukman,
perkembangannya, serta arti dan faedahnya.
3. Sosiologi hukum (pidana) yaitu analisis ilmiah terhadap kondisi-kondisi yang
mempengaruhi perkembangan hukum pidana.5

Berdasarkan aliran-aliran dalam krimonologi, maka secara garis besar objek studi
kriminologi adalah sebagai berikut :

1. Kejahatan

3
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT.Raja Gafindo Persada, Jakarta, 2001, hal.7
4
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT.Raja Gafindo Persada, Jakarta, 2001, hal.8
5
I.S Susanto, Kriminologi, Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1995, hal 21
5
Kejahatan yaitu perbuatan yang disebut sebagai kejahatan. Damlam hal ini
yang dipelajari terutama adalah perundangan-undangan (pidana) yaitu norma-norma
yang termuat dalam peraturan pidana. Akibatnya kriminologi memperluas studinya
terhadap perbuatan-perbuatan yang dipandang sebagai sangat merugikan masyarakat
luas, baik kerugian materi maupun kerugian/bahaya terhadap jiwa dan kesehatan
manusia walaupun tidak diatur dalam undang-undang pidana.
2. Pelaku
Pelaku adalah orang yang melakukan kejahatan atau sering disebut penjahat.
Studi terhadap pelaku ini terutama dilakukan oleh kriminologi positif dengan tujuan
untuk mencari sebab-sebab orang melakukan kejahatan. Dalam mencari sebab-sebab
kejahatan, kriminologi positif menyandarkan pada asumsi bahwa penjahat berbeda
dengan bukan penjahat, perbedaan tersebut ada pada aspek biologik, psikologik
maupun sosio kultural.
3. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan pelaku
Studi mengenai reaksi masyarakat terhadap kejahatan bertujuan untuk
mempelajari pandangan serta tanggapan masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan
atau gejala yang timbul di masyarakat yang dipandang sebagai merugikan atau
mebahayakan masyarakat luas akan tetapi undang-undang belum mengaturnya.
Dengan demikian kriminologi akan menguraikan secara teoritis bagaimana reaksi
masyarakat dan reaksi pelaku serta akar reksi masyarakat terhadap apa yang
dinamakan denagn kejahatan.

3. Aliran Kriminologi

Yang dimaksud dengan aliran disini adalah cara pandang, kerangka, acuan, para
kriminolog dalam melihat, menafsirkan, menanggapi, dan menjelaskan fenomena kejahatan.

Adapun aliran dalam kriminologi tersebut adalah sebagai berikut :

a. Aliran klasik
Aliran pemikiran ini mendasarkan pada pandangan bahwa integrasi dan rasionalitas
merupakan ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku
manusia, baik yang bersifat perorangan maupun yang bersifat kelompok.
b. Aliran kriminologi positif
Aliran pemikiran ini bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan
oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik yang berupa faktor biologis maupun
kultural.
c. Aliran Kriminologi Kritis
Aliran kritis tidak berusaha menjawab peranyaan apakah perilaku manusia itu bebas
atau ditentukan, akan tetapi lebih mengarahkan pada mempelajari proses-proses
manusia dalam membangun dunianya di mana dia hidup. Kriminologi kritis
mempelajari proses-proses dimana kumpulan dari orang-orang dan tindakan-tindakan
ditunjuk sebagai kriminal di waktu dan tempat tertentu.

4. Pandangan Kriminologi tentang Kejahatan Kekerasan

Kejahatan bukanlah peristiwa bawaan sejak lahir, dan juga bukan merupakan warisan
biologis. Tingkah laku kriminal itu bisa dilakukan oleh siapapun juga, baik wanita maupun
pria, dapat berlangsung pada usia anak, dewasa maupun lanjut usia. Tindak kejahatan itu
dilakukan secara sadar yaitu dipikirkan, direncanakan, dan diarahkan pada suatu maksud
tertentusecara sadar benar, tetapi dapat juga dilakukan secra setengah sadar misalnya
didorong oleh oleh impuls-impuls yang hebat dan oleh obsesi-obsesi.

Mengenai latar belakang terjadinya tindak kejahatan denga kekerasan, banyak


dipengaruhi berbagi faktor. Berbagai macam hal yang melatarbelakangi seorang pelaku
melakukan tindak pidana kejahatan. Hal-hal tersebut seperti misalnya tingkat pendidikan,
keadaan kejiwaan, yang tidak normal, faktor pengagguran, lingkungan sosial dan budaya dan
juga dikarenakan pelaku-pelaku tindak pidana itu dihukum karena melakukan suatu kejahatan
dengan hukuman yang sangat rendah, sehingga ia menjalani hukuman tersebut kemungkinan
ia akan mengulanginya.

Tingkah laku seseorang sangat erat hubungannya dengan kebutuhan, karena pada
umumnya manusia mempunyai kebutuhan-kebuthan yang beraneka ragam. Begiu juga
perkembangan fisik pada masa pubertas yang begitu cepat dapat menyebabkan seseorang
mengalami keguncangan psikis sehingga dapat mengakibatkan hal-hal yang negatif serta
mengarah kepada perbuatan jahat. Dengan demikian kejahatan dipandang sebagai arah
perkembangan pribadi yang salah. Di dalam setiap pribadi anggota masyarakat terdapat bakat
yang masing-masing berbeda satu dengan lainnya.

Apabila seseorang mempunyai bakat di suatu bidang tertentu, maka orang tersebut
akan dengan mudah untuk menguasai bidang tersebut, karena ia berbakat dalam bidang itu.
Bakat tersebut dinilai baik jika menyangkut hal-hal yang positif, misalnya menyanyi, menari,
dan lain sebagainya. Pada sisi lain terdapat pula diantara warga masyarakat yang mempunyai
bakat yang menjurus pada hal-hal yang negatif seperti bakat untuk menipu, mencuri, dan lain
sebagainya, yang akibat dari tindakan tersebut dapat menimbulkan keresahan bagi waga
masyarakat lainnya.

Dengan adanya bakat yang menjurus kepada hal-hal yang negatif itu, merupakan
salah satu faktor atau yang melatarbelakangi atau yang mendorong terjadinya tindak pidana
kejahatan.

3. TINJAUAN TENTANG ANAK


1. Pengertian Anak
Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat
disebut sebagai anak. Yang dimaksud dengan batas usia anak adalah pengelompokan usia
maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut
beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat
bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan
hukum yang dilakukan anak itu.
Untuk menetapkan ketentuan hukum yang lebih berprospek dalam meletakkan batas
usia maksimum seorang anak, akan ditemukan pendapat yang sangat beraneka ragam
kedudukan hukum yang diberikan pada status kedewasaan seorang anak.
Untuk meletakkan batas usia seseorang yang layak dalam pengertian hukum
nasional, telah dirumuskan ke dalam bangunan-bangunan pengertian yang diletakkan oleh
spesifikasi hukum, seperti berikut :

a. Menurut Hukum Perdata


Dalam pasal 330 KUHPerdata disebutkan bahwa belun dewasa adalah mereka
yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu menikah.
Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun,
maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum
dewasa dan berada di bawah kekuaasaan orang tua, berada dibawah perwalian.
Dengan demikian batas usia seseorang menurut pasal 330 KUHPerdata adalah :
1. Batas antara usia belum dewasa dengan telah dewasa adalah 21
2. Seorang anak yang berada dalam usia di bawah 21 tahun yang telah menikah
diaggap telah dewasa.

b. Menurut UU No. 1 Tahun 1974


Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dinyatakan
bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Pembatasan umur ini menurut memori penjelasan adalah menjaga suami isteri
dan keturunannya. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi
kepada Pengadilan Negeri.

c. Menurut UU No. 3 Tahun 1997


UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam pasal 1 ayat (1)
merumuskan bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum berumur 18 tahun dan belum pernah menikah.
Jadi anak dibatasi dengan umur antara delapan tahun sampai 18 tahun.
Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang
terkait dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak
sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, maka
si anak dianggap sudah dewasa walaupun umurnya belum genap 18 tahun.

d. Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak


Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (1)
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia
18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Aminah Azis menyatakan “ pembicaraan tentang pengertian anak dalam
kaitannya dengan perilaku anak nakal, biasanya dilakukan dengan mendasar pada
tingkatan usia”. 1
Dalam pasal 4 UU No. 3 Tahun 1997 jelas dinyatakan bahwa :
1. Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak sekurang-kurangnya 8
(delapan) tahun tetapi belum menapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.
2. Dalam hal anak melkukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan
melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 tahun tetap
diajukan ke sidang anak.
Penentuan batasan anak menurut UU No. 3 Tahun 1997 adalah orang- orang
dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum genap
berusia 18 tahun. Sedangkan anak nakal adalah “anak yang melakukan tindak pidana
penganiayaan, pemerkosaan, pelecehan seksual dan sebagainya”.

.
1. Aminah Azis, Aspek Perlindungan Anak, Usaha Ansional, Surabaya; 1998, hal.79

Hak-Hak Anak

Di Indonesia hak-hak anak telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979
Tentang Kesejahteraan Anak, yang tertera pada pasal 2 sampai dengan pasal 8, sebagai
berikut :

1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkankasih


sayang baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan
berkembang dengan wajar.
2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan
sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga
negara yang baik dan berguna.
3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan
maupun sudah dilahirkan.
4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang membahayakan atau
menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar
5. Dalam keadaan yang membahayakan anaklah yang pertama-tama berhak mendapatkan
pertolongan, bantuan dan perlindungan.
6. Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oeh negara atau
orang atau badan hukum.
7. Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan
keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar.
8. Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan
menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan
perkembangannya.
9. Anak yang mengalami masalah kelakukan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan
menlongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhannya, juga
diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum
berdasarkan keputusan hakim.
10. Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan
dan perkembangan sejauh batas kemampuan dan kesanggupan anak yang bersangkutan.
11. Bantuan dan pelayanan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak
setiap anak tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, agama, pendirian politik dan
kedudukan sosial.

Kemudian selain hak-hak anak dikemukakan diatas, ada hak-hak yang diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perindungan Anak, yang tercantum dalam
pasal 4 sampai dengan pasal 12, sebagai berikut :

1. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
2. Setiap anak berhak atas nama sebagai identitas dan status kewarganegaraan.
3. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
4. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang
tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh
kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau
sebagai anak asuh atau anak angkat oelh orang lain sesuai dengan ketentuan dan
perarturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jamiana sosial sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.
6. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Khusus bagi
anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan
bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapat pendidikan khusus.
7. Setiap anak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan
informasi sesuai dengan tingkat keerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai
dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
8. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
anak yang sebaya, bermain, berekreasi, sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasaannya demi perkembangan diri.
9. Setiap anak yang menyangdang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Begitu pentingnya perhatian pada anak sehingga Perserikatan Bangsa (PBB) pada
tanggal 20 Nopember 1959 di Jenewa, menetapkan lahirnya Declaration of Rights of The
Child, yang isinya antara lain menganjurkan agar umat manusia berkewajiban memberikan
yang terbaik bagi anak.

Perlindungan Khusus Bagi Anak


Perlindungan hak asasi anak adalah meletakkan hak anak kedalam status sosial anak
dala kehidupan masyarakat, sebgai bentuk perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan
anak yang mengalami masalah sosial. Perlindungan dapat diberikan pada hak-hak dalam
berbagai cara. Proses perlindungan anak dimaksud sebagai proses edukasional terhadap
ketidakpahaman dan ketidakmampuan anak dalam melakukan suatu tugas-tugas sosial
kemasyarakatan. Perlindungan hak asasi anak dapat diberikan dengan cara yang sistematik,
melalui serangkaian program, simulasi, pendidikan, bimbingan, permainan, dan dapat juga
diberikan melalui bantuan hukum.

Menurut Irma Setyowati Soemitro menyebutkan bahwa perlindungan anak dapat


dibedakan dalam dua pengertian, yaiu :
1. Perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang :
a. Bidang Hukum Publik
b. Bidang Hukum Keperdataan
2. Perlindungan yang ebrsifat non yuridis yang meliputi :
a. Bidang Sosial
b. Bidang Kesehatan
c. Bidang Pendidikan2

2.
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal.16
BAB 3

PEMBAHASAN

A. PEMBAHASAN
1. Pengertian KDRT

Kekerasan adalah segala tindakan yang mengakibatkan kesakitan. Selama ini


memang kesakitan belum pernah didefinisikan. Jika kesakitan merupakan kondisi
kebalikan dari kesehatan, maka dapatlah diambil definisi kesehatan dari Undang-undang
No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Kesehatan adalah: “Keadaan sejahtera dari badan,
jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomi.” Sementara menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO); “Kesehatan adalah
keadaan sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial dan tidak hanya terbebas dari
penyakit dan cacat.”

Hal ini berarti bahwa ada empat aspek kesehatan yakni fisik, mental, sosial dan
ekonomi. Setiap individu, atau kelompok masyarakat yang tidak memenuhi semua
indikator kesehatan ini, maka ia dapat dikatakan tidak sehat atau sakit. Karena itu,
kesakitan pun memiliki empat aspek; fisik, mental, sosial dan ekonomi, begitupun
kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga.

Anne Grant  mendefisinsikan KDRT sebagai pola perilaku menyimpang


(assaultive) dan memaksa (corsive), termasuk serangan secara fisik, seksual, psikologis,
dan pemaksaan secara ekonomi yang dilakukan oleh orang dewasa.

Kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang 


No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT),
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

UU PKDRT memberikan pemahaman yang lebih variatif tentang jenis-jenis


kekerasan. Tidak hanya kekerasan fisik tapi juga kekerasan psikis, seksual, dan
penelantaran rumah tangga.
Kekerasan ekonomi dalam terminologi internasional tidak memasukkan secara
eksplisit tentang kekerasan ekonomi karena akibat yang ditimbulkan cenderung mengarah
kepada kekerasan psikis. Namun, untuk mengakomodasi kekhasan pengalaman kekerasan
perempuan di Indonesia yang juga kerap menggunakan dan mengenai aspek ekonomi,
maka UU PKDRT memasukkannya sebagai penelantaran rumah tangga. Artinya bahwa
kekerasan berbasis ekonomi diakui secara implisit dalam UU PKDRT.

2. Latar Belakang Timbulnya KDRT

Tidaklah muda menemukan penyebab yang paling dominan untuk mendorong


terjadinya kekerasn kejahatan oleh orang tua terhadap anaknya, sebab kejahatan timbul
sebagai suatu retntetan proses.

Mengenai latar belakang terjadinya tindak kejahatan dengan kekerasan banyak


dipengaruhi oleh factor. Berbagai macam hal yang melatar belakangi seseorang (pelaku)
melakukan tindak pidana kejahatan. Hal-hal tersebut misalnya tingkat pendidikan,
keadaan jiwa (psikologi) yang tidak normal atau karena sakit ingatan, factor
pengangguran atau pelakunya belum atau tidak mempunyai pekerjaan, lingkungan social
budaya yang juga miskin karena pelaku-pelaku tindak pidana itu dihukum karena
melakukan suatu kejahatan dengan hukuman yang sangat rendah, sehingga setelah ia
menjalani hukuman tersebut kemungkinn ia akan mengulanginya.

Disampin hal-hal tersebut diatas dapat juga ditinjau dari sudut kepribadian
seseorang seperti misalnya pelaku itu mempunyai pribadi yang khas selalu ingin
melakukakn tindak pidana.

Didalam membicarakan kepribadian yang menjadi perhatian adalah tingkah laku


dalam menghadapi interaksi dengan lingkungannya. Tingkah laku itu erat hubungannya
dengan kebutuhan, karena manusia pada umumnya mempunyai kebutuhan-kebutuhan
yang beraneka ragam. Begitu juga perkembangan fisik yang begitu cepata dapat
menyebabkan seseorang mengalami keguncangan psikis sehingga dapat menyebabkan
hal-hal yang negatip serat mengarah kepada perbuatan jahat. Dengan demikian kejahatan
dapat dipandang sebagai arah perkembangan pribadi yang salah. Di dalam setiap pribadi
anggota masyarakat terdapat bakat yang masing-masing berbeda yang satu dengan yang
lainnya.
Apabila seseorang mempunyai bakat dalam suatu bidang, maka orang tersebut
dengan mudah akan menguasai bidang tersebut, karena ia berbakat dalam bidang itu.
Bakat tersebut dinilai baik jika menyangkut hal-hal yang positip, misalnya bakat tersebut
adala menyanyi, menari, baca puisi, music, dan sebagainya. Pada sisi lain terdapat pula
diantara warga masyarakat yang mempunyai nakat yang menjurus kepada hal-hal yang
negatip seperti bakat untuk menipu, menganiaya, merampok, memperkosa, mencuri,
melakukan tindak kekerasan dan sebagainya yang akibat dari tindakan tersebut dapat
menimbulkan keresahan bagi warga masyarakat lainnya.

Dengan adaya bakat yang menjurus pada hal-hal yang negatip itu, merupakan
salah satu factor atau yang melatar belakangi atau mendorong terjadinya tindak pidana
kejahatan.

Menurut hasil wawancara dengan Dolman Sinaga, SH. Hakim pengadilan Negeri
Medan disebutkan bahwa factor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga adalah :

“Hampir mayoritas karena egonya sendiri sebagai suami dan egonya sebagai
orang tua. Kalau sebagai suami-istri karena kecemburuan antara suami istri sedangkan
dilihat dari iman yang krang menyadari, kurang melihat, status sebagai orang tua,
seandainya dipatuhi maka tidak akan terjadi kekerasan dalam rumah tangga”.

Sedangkan menurut Edi Irianto, pelaku kejahatan dalam rumah tangga disebutkan
bahwa “yang menjadi latar belakangi/motif sehingga melakukan kekerasan dalam rumah
tangga adalah disebabkan karena pada saat melakukan dalam keadaan stress karena
diberhentikan dari pekerjaan, jadi agak emosi”.

Latar belakang atau factor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan


terhadap anak dalam keluarga adalah pada umumnya disebabkan :

1. Masalah gender
Berbicara tentang kekerasan anak, maka terbelit dalam pikira seseorang
soal anak laki – laki dan perempuan yang memiliki persoalan, kebutuhan yang
saling berbeda.
Gender adalah perbedaan antara setiap anak laki – laki dan perempuan
yang lahir dari budaya dan segala keharusan-keharusannya. Diskriminasi
terhadap anak sudah terjadi sejk dalam kandungan. Contoh : masih banyak orang
yang mengharapkan anak yang dilahirkan dari seorang ibu adalah laki-laki. Selain
itu suburnya budaya patriaki menempatkan laki-laki lebih pentimh dari
perempuan.
Beban anak perempuan lebih banyak dirumah dari pada anak laki-laki.
Orang tua, khususnya ibu ikut melanggengkan hal tersebut, ibu dituntut harus
memiliki nilai-nilai. Padahal tanggung jawab terhadap anak bukan hanya milik
ibu melainkan milik ayah.
Anak perempuan lalu dituntuk untuk menggantikan peran ibu, ironisnya
malah sebagian anak perempuan terlibat dalam menggantikan peran istri dalam
keluarga. Anak perempuan lalu menjadi pembantu laten.
Kebebasan yang dinberikan pada anak perempuan lebih sempit
dibandingkan dengan anak laki-laki. System permainan, meilih sekolah, ikut
membedakan antara perempuan dan laki-laki. Perempuan terkungkung dalam
berbagai lai-nilai yang dibangun dalam masyarakat juga tidak kuat.
Kekerasan seksual terhadap anak peremuan adalah praktek yang sulit
terekpos. Selain terjadi dalam keluarga, banyak anak-anak perempuan yang
dijadikan komoditas bsnis-bisnis pelacuran. Ada perbedaan mendasar antara
perdagangan anak dan pekerja seks anak. Pekerja seks anak adalah anak-anak
yang memilih bekerja sebagai penjaja seks. Anak yang dilacurkan adalah anak-
anak yang tidak menginginkan sebagai pekerja seks tetapi karena kondisi yang
mangharuskan ini sebagai pekerjaan seks.
2. Hubungan Dengan Orang Tua
Anak harus patuh terhadap orang tua. Batas memberikan tindakan disiplin
atau melampiasakan kejengkelan sangat tipis sekali. Sehingga sering orang tua
menghukum anak yang melakukan kesalahan dengan hukuman-hukuman yang
bersifat tidak mendidik seperti menendang, menempeleng, dan memukul dengan
keras, sehingga anak merasa tersakiti fisiknya. Hal ini bukan merupakan tindakan
mendidik yang dilakukan orang tua terhadap anaknya yang tidak disiplin tetpi
mengarah pada penganiayaan terhadap anak-anaknya karena kesalahan yang
dibuatnya.
3. Penyakahgunaan Kekuasaan Peran Orang Tua
Pengalaman dianiyaya dalam keluarga, telah memaksa anaka untuk pergi
meninggalkan keluarganya, baik keluarga berada mauoun tidak berada. Bila
keluarga mengalami kesulitan ekonomi, kemungkinan terjadi hal tersebut menjadi
lebih besar. Hal ini sering diperburuk dengan jumlah naggota keluarga.
Tindakan kekerasan dan penyalahgunaan kekerasan, peran orang tua terjadi
karena orang tua mengalami kekecewaan dalam hidupnya. Mereka merasa bahwa
setiap hari beban hidupnya semakin berat. Banyak dari mereka yang telah
kehilangan pekerjaan atau bekerja keras setiap hari dan jarang bertemu dengan
keluarga dan anak-anak. Dalam kenyataan dalam masyaraat sering seorang ayah
terlibat dalam penggunaan alcohol yang berlebihan, berjudi dan akhirnya
kehabisan uang. Dalam banyak hal, anak-anak mudah menjadi sasaran kemarahan
dan frustasi yang dialami orang tua, terutama bila anak tidak bisa diam, tidak mau
membantu orang tua atau sangat aktif secara fisik.
Harus pula diketahui bahwa anak laki-laki dan perempuan mempunai reaksi
yang berbeda terhadap kekerasan dalam keluarga yang mereka alamai. Walaupun
anak perempuan mengalami tindak kekerasan, penganiayan bahwak mengalami
perlakuan salah secara seksual dalam keluarga, mereka sering memilih diam.
Konsekuensi bila mereka mengungkapkan kekerasan yang dialaminya, mungkin
pengucilan dan penolakan. Sebaliknya anak laki0-laki cenderung mengekpresikan
kemarahannya dengan pelampiasan pada anak lain yang lebih muda usianya.
Mereka juga lebih terbuka dalam membicarakan pengalamannya.
4. Kemiskinan
Salah satu penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak dalam keluarga
adalah bermula dari factor-faktor ekonomi yang dialami keluarga sehingga anak
disuruh beerja mencari nafkah tambahan. Banyak orang tua yang tidak menyadari
ketika menyuruh anak bekerja sesungguhnya mereka telah merampas keerdekaan
anak karena anak yang dalam usia masih mudah bukanlah merupakan tugas anak
untuk mencari nafkah. Dalam bekerja anak juga kehilangan kesempatan menuntut
ilmu dan lebih tragis lagi anak-anak menjadi memasuki suatu lingkungan yang
secarah alamiah belum layak dikenal anak-anak.
Banyak juga diantara orang tua yang berpendapat bukanlah merupakan
suatu kesalahan menyuruh anak bekerja karena didasarkan kepada suatu asumsi :
anak masih dalam tanggungan orang tua dan orang tua berhak untuk mengatur
anak-anaknya.
Mengingat usia yang belum dewasa serta posisi anak-anak yang demikian
lemahnyabterhadap pengusaha atau majikan menyebabkan anak mudah
diekploitasi, ditakut-takuti, diancam, dirampas bahkan harus bersedia melakukan
berbagai perbuatan yang bertentangan dengan kepatuan umum maupun nilai-nilai
moral. Sungguh tragis karena ketidak berdayaan dank arena tekanan ekonomi
yang dialaminya menjadi anak-anak korban kekerasan.
5. Lingkungan Pendidikan Yang Melahirkan Bias
Penyalahgunaan peran guru dihadapan murid. Anak dihukum melebihi
kepentigan dengan alas an yang tidak jelas. Misalnya seorang anak yang tidak
mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan hukuman dengan menampar atau
bahkan sampai menendang fisik anak tersebut. Padahal hukuman yang besifat
mendidik bagi anak yang tidak melakukan pekerjaan rumah yang diberikan cukup
dengan mengerjakan tugas tersebut didepan kelas.
6. Kekerasan Di Tempat Umum
Presepsi negara anak jalan pastilah nakal. Atas nama sapta pesona tidak
diperbolehkan anak-anak berada dijalanan.
7. Tidak Ada Perlindungan Hukum
Ada benturan hukum dalam penegakan hak-hak anak yang menjadi korban
kekerasan, misalnya hukum pidana menyatakan perlu 2 (dua) alat bukti sementara
banyak anak-anak yang menjadi korban kekerasan tidak dapat menunjukan alat
bukti. Keadaan makin parah, ketika hakim terkesan tidak bisa dijerat oleh hukum.
Buktinya ia tidak dapat dipidanakan bila melakukan kesalahan dalam
memutuskan perkara. Surat edaran Mahkama Agung No. 9 tahun 1976 hakim
tidak bisa disalahkan.

Demikianlah faktor-faktor timbulnya kejahatan yang pada dasarnya tidak terlepas dari
dalam diri dan dari luar diri seseorang. Selain faktor tersebut diatas, faktor situasi dan kondisi
pada waktu melakukan kejahatan merupakan salah satu faktor yang mendorong dilakukannya
tindak pidana. Yang dimaksud dengan situasi dan kondisi disini adalah factor-faktor atau
keadaan-keadaan yang memungkinkan pelaku untuk melakukan tindak pidana kejahatan.

3. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Menurut pasal 5 undang-undang No 23 tahun 2004 tentang penhapusan kekerasan


dalam rumah tangga disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekrasan dalam
rumah tangga terhadap orang dalam ruang lingkup rumah tangganya dengan cara :

a. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang megakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat.
b. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilanhnya rasa
percaya diri, hilannya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ayau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
c. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah etiap perbuatan yang berupa pemaksan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak
disukai, pemaksaa hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komerisal
dan/atau tujuan tertentu.
Kekerasan seksual tersebut meliputi :
1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam ringkup rumah tangga tersebut.
2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam ruang lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan
tertentu.

d. Penelantaran Rumah Tangga


Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada
orang tersebut.
Pelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketrgantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak
dalam atau diluar rumah sehingga korban berada dikendali orang tersebut.

4. Upaya Perlindungan Bagi Anak Korban KDRT


a. Peranan Aparat Penegak Hukum Terhadap Perlindungan Anak Korban
Kekerasan Dalam Keluarga
Pada hakikatnya undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga itu sedikit banyak mengatur nasib ,hidup seorang
manusia .sebab itu pemikiran citra yang tepat mengenai manusia dan kemanusiaan
oleh para penegak hukum (dalam arti luas) adalah suatu kemutlakan .Citra mengenai
manusia yang tepat adalah antara lain sebagai berikut :
1. Manusia dalam pengertian sesama yang sama harkat dan martabat.
2. Sesama manusia dalam pengertian yang ada bersama dengan kita dalam suatu
masyarakat.

Dengan memiliki citra mengenai manusia ini, diharapkan akan diperbesar rasa
tanggung jawab terhadap sesama manusia yang ada bersama dalam suatu masyarakat.

Sebagaimana diketahui bahwa manfaat dan tujuan undang-undang no 23 tahun


2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah antara lain untuk
meringankan kepedihan dan penderitaan manusia didalam dunia.

Penderitaan dalam arti menjadi korban jangka pendek dan jangka panjang
yang berupa kerugian fisik , mental , atau moral , sosial , ekonomis,kerugian yang
hampir sama sekali dilupakan, diabaikan oleh kontrol ssosial , yang
melembaga,seperti penegak hukum, penuntut hukum,pengadilan, petugas pribation,
dan petugas pembinaan.

Untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan,maka negara berkewajiban


melindungi warganya dari serangan kekerasan, baik di lingkup publik maupun
didalam rumah tangga. Untuk itu diperlukan jaminan hukum untuk mengatasi
persoalan kekarasan dalam rumah tangga.bantuan hukum merupakan komponen
penting dalam upaya membantu dan melindungi korban kekerasan dalam rumah
tangga.

Didalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan


kekerasan dalam rumah tangga disebutkan bahwa kepolisian sebagai pihak yang
berwajib melindungi masyarakatnya mempunyai peranan penting dalam melindungi
korban kekerasan dalam rumah tangga,dimana dalam perlindungan terhadap korban
kekerasan dalam rumah tangga tujuan utamanya yaitu memberikan rasa
aman,nyaman,tentram,membimbing ,mengayomi korban,memberi siraman rohani,
dan terhilang rasa ketakutan.

Menegenai peranannya dalam memberikan perlindungan terhadap korban


kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam pasal 16 undang-undang nomor 23 tahun
2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang menyebutkan bahwa :
(1) Dalam waktu 1x24 jam (satu kali dua puluh empat jam) terhitung sejak mengetahui
atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga,kepolisian wajib segera
memberikan perlindungan sementara pada korban
(2) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama
7(tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.
(3) Dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat jam) terhitung sejak pemberian
perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

Dalam memberikan perlindungan sementara kepolisian dapat bekerjasama dengan


tenaga kesehatan ,pekerja sosial, relawan pendamping dan atau pembimbing rohani
untuk mendampingi korban.

Dalam pasal 18 undang-undang no 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan


dalam rumah tangga disebutkan bahwa kepolisian wajib memberikan keterangan kepada
korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan.

Selanjutnya dalam pasal 19 undang-ndang nomor 23 tahun 2004 tentang


penghapusan kekerasan dalam rumah tangga disebutkan kepolisian wajib segera
melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga.

Sampai akhir tahun 2006 kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak
selalu meningkat. Di satu sisi semua mengutuk dan menerima agar ada tindakan tegas
terhadap pelakunya, tetapi di sisi lain semua pihak juga tidak tahu apa yang harus
diperbuat dan siapa yang harus bertanggungjawab.

Keprihatinan yang utama adalah perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak


korban kekerasan. Sebagaimana diketahui apabila perempuan korban kekerasaningin
mendapatkan keadilan, ia justru bisa menjadi korban berkali-kali yaitu pada saat ia
berhubungan dengan pihak-pihak yang seharusnya menolongnya, apakah itu rumah
sakit,polisi, atau pihak lain.hal ini menyebabkan banyak korban yang memiliki berdiam
diri.
b. Upaya Preventif, Represif dan Rehabilitasi Terhadap kejahatan
Kekerasan Dalam Keluarga
Untuk mencegah atau menanggulangi kejahatan KDRT dan juga pada
kejahatan-kejahatan lainnya tidaklah hanya merupakan tugas dan tanggung jawab
kepolisian semata, akan tetapi adalah tugas dan tanggung jawab masyarakat juga,
karena kejahatan ini melibatkan lebih dari satu pihakyaitu masyarakat sebagai korban
dan polisi sebagai aparat keamanan dan pihak lainnya.
Adapun upaya dan strategi yang pernah dan juga akan dilakukan dalam
penanggulan kejahatan KDRT adalah sebagai berikut :
1. Upaya preventif
“penanggulangan kejahatan secara preventif dimaksudkan kepada
upaya-upaya yang dilakukan sebelum tindak kejahatan tersebut terjadi”
Tindakan preventif dalam mencegah terjadinya kekerasan terhadap
anak dalam keluarga adalah dengan memberikan pengertian dan
mensosialisasikan keberadaan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak, sehingga orang tua mempunyai pemahaman tentang bahaya dan sanksi
yang dijatuhkan kepada pelaku yang melakukan kekerasan dalam rumah
tangga.
Selain mensosialisasikan perundangan tentang perlindungan anak,
peranan masyarakat juga sangat penting sekali didalam mengawasi, menilai
dan menganalisa fenomena-fenomena di tengah-tengah masyarakat. Sebab
tanpa partisipasi dari masyarakat untuk memantau perilaku-perilaku yang
menyimpang tersebut, maka aparat penegak hukum dan keadilan tidak akan
berbuat banyak.
Kepekaan, kepedulian dan rasa tanggung jawab ini sangat dituntut
sekali untuk terjaminnya suatu keamanan ketentraman serta ketertiban. Bila
masyarakat tidak peka terhadap gejala-gejala sosial yang terjadi
disekelilingnya, maka yang rugi adalah masyarakat itu sendiri.
2. Upaya represif
Melalui upaya ini diusahakan untuk melakukan tindakan tegas dan
keras kepada pelaku-pelaku kejahatan KDRT dengan tujuan untuk menekan
angka frekuensi dari kasus-kasus KDRT tersebut.
Menurut hasil wawancara dengan Dolman Sinaga,SH. Hakim
Pengadilan Negeri Medan disebutkan bahwa upaya yang dilakukan hakim
dalam mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
adalah :
Yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman
kepada pelaku kejahatan kekerasan dalam rumah tangga adalah dilihat dari 3
sisi yaitu: sisi yuridis, psikologis, dan agama. Kalau daari sisi psikologis
pakah korban kekerasan menjadi malu di masyarakat. Disatu sisiUndang-
undang lemah seolah-olah ada penghargaan terhadap orang tua untuk
mendidik, menuntut hakim harus ada hal yang wajar.
Penjatuhan hukuman yang setimpal dengan apa (kejahatan) yang telah
dilakukan akan menimbulkan preseden yang tidak baik bagi masyarakat.
Sebaliknya jadi alasan bagi mereka-mereka yang memang mempunyai niat
atau kehendak untuk melakukan kejahatan guna mewujudkan kehendaknya
tersebut.
Bila terhadap pelaku kejahatan KDRT yang terdahulu dijatuhi oleh
hakim dengan ancaman hukuman yang cukup rendah(katakanlah 5 sampai 7
tahun), maka hal ini tidak akan membuat jera orang yang dijatuhi hukuman
tersebut serta tidak akan membuat orang lain takut untuk melaksanakan dan
bahkan akan meniru perbuatan pelaku pertama.

Di samping itu perlu juga diinginkan bagi parat penegak hukum dan keadilan
agar tidak memfokuskan pada persyaratan formalitas. Sebab tidak jarang didengar
lolos atau bebasnya pelaku KDRT ini hanya dikarenakan alat bukti.

Usaha repressif ini adalah keseluruhan usaha, daya upaya kebijaksanaan dan
tindakan yang diambil sesudah atau terjadinya kejahatan itu dengan tujuan agar
kejahatan sedemikian jangan sampai terulang lagi.

3. Usaha rehabilitasi
Usaha rehabilitasi berarti usaha mengembalikan kepada bentuk semula. Usaha ini
merupakan suatu usaha untuk merubah seseorang yang sudah pernah melakukan
kejahatan dan agar orang tersebut tidak lagi melakukan kejahatan dan kembali
menjadi anggota masyarakat yang baik.
Dalam usaha rehabilitasi seperti yang di lakukan Lembaga Pemasyarakatan , para
narapidana tidak hanya berdiam diri saja, tetapi mereka juga bekerja sesuai dengaan
kemampuan dan bakat dari narapidana tersebut. Kegiatan itu berupa cocok tanam,
kerajianan tangan dan lain-lain.
B. ANALISA KASUS
1. Kasus Posisi
Kasus yang dilakukan oleh DSD (18) yang tega menganiaya anaknya sendiri
DLR (5) hingga tewas (17 Maret 2013). DSD tega memukuli DLR dan
mendorongnya ke lantai kamar mandi hingga sang anak mengalami pendarahan otak
lantaran sang Ibu menganggap bahwa tindakan sang anak balita tersebut yang tidur
pada pagi hari adalah melanggar aturan. 
Kasus serupa yang dilakukan oleh Ervina (36) dan Surya (35) terhadap Adit
(7) anak mereka yang telah dengan sengaja dianiaya hingga menderita luka berat dan
dibuang ke kebun sawit. Ervina menuturkan alasannya tega menganiaya dan
membuang anaknya adalah karena ketidakmampuannya dalam menahan nafsu
amarah yang disebabkan oleh ulah nakal anaknya tersebut. Sehingga Ervina dengan
tega melakukan tindakan anarki kepada anaknya sendiri selama kebutuhan untuk
memuaskan nafsu amarahnya terpenuhi. 

2. Analisa

a. Diancam dengan pidana dalam pasal 80 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 23 tahun
2002 tentang Perlindungan anak dengan unsur-unsur :

“Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau
penganiayaan terhadap anak yang mengakibatkan luka berat.”

b. Diancam pidana dalam pasal 356 (1) KUHP


c. Diancam pidana dalam pasal 351 (1) KUHP

Degan demikian tersangka terbukti melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga atau penganiayaan dalam keluarga sebagaimana dimaksud dalam pasal 80 Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2002 dan pasal 356 KUHP.
Menurut pasal 80 Undnag-Undang Nomor 23 tahun 2002 disebut sebagai berikut :
1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau
penganiayaan terhadap anak dipidana dengan penjara paling lama 3 tahun 6 bulan
dan denda paling banyak Rp. 72.000.000,- (tujuh puuh dua juta rupiah).
2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat. Maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
3. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku
dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
4. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(2) dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orangtuanya.
BAB 4
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Fenomena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terus meningkat akhir –
akhir ini terjadi karena berbagai faktor yaitu :
1. Masih rendahnya kesadaranuntuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat
sendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya,
maupun dari pihak- pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang
kekerasan dalam rumah tangga, sehingga data kasus tentang (KDRT) pun, banyak
dikesampingkan ataupun dianggap masalah yang sepele.
2. Masyarakat ataupun pihak yang tekait dengan KDRT, baru benar- benar bertindak
jika kasus KDRT sampai menyebabkan korban baik fisik yang parah dan maupun
kematian, itupun jika diliput oleh media massa. Banyak sekali kekerasan dalam
rumah tangga ( KDRT) yang tidak tertangani secara langsung dari pihak yang
berwajib, bahkan kasus kasus KDRT yang kecil pun lebih banyak dipandang
sebelah mata daripada kasus – kasus lainnya.
3. Masalah budaya, masyarakat yang patriarkis ditandai dengan pembagian
kekuasaan yang sangat jelas antara laki –laki dan perempuan dimana laki –laki
mendominasi perempuan. Dominasi laki – laki berhubungan dengan evaluasi
positif terhadap asertivitas dan agtresivitas laki – laki, yang menyulitkan untuk
mendorong dijatuhkannya tindakan hukum terhadap pelakunnya. Selain itu juga
pandangan bahwa cara yang digunakan orang tua untuk memperlakukan anak –
anaknya , atau cara suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan mereka
sendiri dapat mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan dalam rumah tangga
( KDRT).

4. Faktor Domestik, adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui
oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan
dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu
mengalahkan rasa sakit hati, masalah Domestik dalam keluarga bukan untuk
diketahui oleh orang lain sehingga hal ini dapat berdampak semakin menguatkan
dalam kasus KDRT.
5. Lingkungan, kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat untuk
merespon apa yang terjadi, hal ini dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban.
Karena bisa saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal
yang penting karena tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan
keyakinan dan keberanian korban untuk keluar dari masalahnya.

B. SARAN
Melihat dari faktor penyebab terjadinya KDRT maka petugas yang berwewenang
untuk menangani masalah ini harus lebih aktif lagi untuk menjalankan tugasnya
menghapuskan kekerasan dalam rumah tangga sesuai dengan dikeluarkannya UU
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, karena korban yang timbul akibat dari
perbuatan ini sangat membutuhkan perlindungan dari Negara. Pemerintah juga wajib
mengsosialisasikan tentang UU ini untuk menciptakan masyarakat yang taat pada hukum
sehingga mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan umum berdasarkan keadilan.

Anda mungkin juga menyukai