Anda di halaman 1dari 3

NAMA : UMI FADILLAH

NPM : 5117500219
KELAS : IV E (ILMU HUKUM)

HUKUM PERKAWINAN DAN WARIS ISLAM YANG SEHARUSNYA


DITERAPKAN DI INDONESIA

Aturan hukum perkawinan sudah ditegaskan dengan sangat jelas dan tegas berdasarkan Pasal 26
KUH Perdata. Dalam pasal itu, dijelaskan bahwa perkawinan adalah hukum perdata. Jadi, hanya
mengatur soal hubungan pribadi antara pria dan wanita yang saling mengikat janji di kehidupan
pernikahan.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Fiqh,
nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang
sempurna. Pernikahan itu bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan,
tetapi juga perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya.
Hukum nikah ini dapat dibagi menjadi lima macam yaitu : Sunnah, Wajib, Makruh, Haram,
Mubah,

Syarat Sah Perkawinan : Di Indonesia, syarat sah pertama perkawinan diatur soal batasan usia.
Untuk pria, baru sah menikah jika telah berusia 18 tahun. Sedangkan untuk wanita jika sudah
menginjak usia 15 tahun. Syarat berikutnya adalah adanya persetujuan dari kedua pihak. Jadi, tidak
ada unsur pemaksaan dari pihak pria dan sebaliknya. Khusus bagi pihak wanita yang pernah
menikah, jika mau menikah lagi setidaknya sudah melewati durasi 300 hari. Sedangkan bagi yang
masih di bawah umur dan mau menikah wajib mendapatkan ijin dari orang tua masing-masing.
Semua syarat itu wajib dipatuhi dan tak boleh dilanggar. Karena jika dilangsungkan tanpa
pemenuhan syarat, yang terjadi adalah tindakan pelanggaran hukum dan bisa mendapatkan sanksi.

Pencatatan Perkawinan: Perkawinan harus dicatat sebagai bukti sah yang kelak akan selalu
berguna bagi pasangan. Bukti ini pula yang akan menjadi dokumen penting di dalam semua
pengurusan dokumen dan syarat-syarat administrasi lain yang diwajibkan. Bagian 7 Pasal 100 dan
101 di dalam KUH Perdata menjelaskan dan mengatur soal pencatatan perkawinan ini. Dijelaskan
dalam Pasal 100 bahwa perkawinan diarsipkan melalui pencatatan resmi di akta yang sekaligus
dibukukan dalam kantor catatan sipil. Pasal 27 KUHPerdata pun menjelaskan bahwa aturan
perkawinan ini hanya berlaku satu kali. Maksudnya, di waktu yang bersamaan, seorang pria hanya
boleh memiliki satu istri. Sedangkan pihak wanita pun demikian. Hanya boleh punya satu suami
dalam waktu bersamaan.

Hukum Larangan Perkawinan: Hukum perkawinan juga mengatur soal beberapa larangan.
Larangan ini mencakup berbagai hal yang tak boleh dilakukan terkait pertalian perkawinan.
KUHPerdata menjelaskan beberapa larangan penting bagi pasangan yang hendak menikah seperti
tidak ada pertalian saudara dalam garis lurus ke atas dan bawah. Larangan yang sama juga
diberlakukan untuk saudara keluarga semenda. Atau larangan perkawinan karena sudah diputuskan
hakim bersalah karena tindak perzinaan.

Tata Cara Perkawinan: Perkawinan diatur dalam tata cara yang semestinya sudah dipahami oleh
pihak pria dan wanita yang akan menjalaninya. Runtutannya adalah pemberitahuan kepada pihak
kantor catatan sipil di tempat salah satu pihak pasangan. Bisa dilakukan perwakilan atau langsung.
Kemudian pihak kantor catatan sipil akan mengumumkannya di pintu utama tempat pencatatan
dilaksanakan. Pengumuman itu akan terus ditempel sampai 10 hari. Apabila sudah lewat dari 30
hari dan tidak ada perkawinan yang diselenggarakan, maka harus memberitahukan lagi ke pihak
kantor catatan sipil. Sementara itu prosedur perkawinan bisa dilangsungkan sesuai hukum adat,
agama, atau tata cara lain yang sudah disepakati. Yang penting dan wajib di sini adalah pencatatan
sipil dan urusan di Pengadilan Agama. Oleh karena itu, bagi yang hendak melangsungkan
perkawinan mesti memahami dulu semua syarat wajib dan apa saja yang mesti dilakukan untuk
kelancaran acara.

Hukum Waris Islam adalah suatu hukum yang mengatur pembagian harta peninggalan
seseorang yang berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. bahwa hukum waris islam itu merupakan hukum
yang mengatur tentang pemindahan dan pembagian harta peninggalan dari seseorang yang
meninggal dunia kepada orang-orang yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkan,
orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), bagian masing-masing ahli waris maupun cara
penyelesaian pembagiannya.
Bahwa penerapan atau pelaksanaan hukum kewarisan Islam dapat dilaksanakan dengan
perdamaian atau islah diantara para ahli waris, meskipun hasil perdamaian tersebut, tidak sama
dengan norma-norma dalam Al-Qur’an sebagaimana disebut al-furudhul al-muqaddarah yaitu 1//2
(setengah), 1⁄4 (sperempat, 1/8 (seperdelapan) 1/3 (sepertiga), 1/6 (seperenam, dan 2/3 (dua
pertiga). Dan hasil penerapan atau pelaksanaan tersebut, tidak bertentangan dengan hukum
kewarisan Islam
Penerapan atau pelaksanaan hukum kewarisn Islam dengan teori perdamaian,(islah) tersebut,
secara tidak langsung juga menerapkan teori ibra’, (membebaskan) sehingga diantara para ahli
waris satu sama lain saling tolong-menolong (ta’awun), baik teori ibra’, dalam arti isqot
(menggugurkan) hak miliknya, maupun dalam arti tamlik, (menyerahkan) hak miliknya. Bentuk
cara seperti ini, bagi ahli waris yang mampu akan membantu meringankan beban atau penderitaan
kehidupan ahli waris yang tidak mampu. Apalagi diantara ahli waris masih ada hubungan darah
atau keluarga. Dengan demikian penyelesaian harta kewarisan dengan perdamaian merupakan
instrument yang baik untuk menjaga keutuhan hubungan keluarga, selain untuk menghindari atau
menyelesaikan perselisian, perseteruan, bakan permusuhan. Sehingga akan terjaga kerukunan dan
paguyupan kekerabatan atau kekeluargaan dalam masyarakat.
Dalam rangka untuk menghasilkan rumusan tentang penerapan atau pelaksanaan hukum
kewarisan Islam, perlu pendekataan dan mempertemukan dari berbagai pola pandang serta
mempersempit perbedaan-perbedaan pendapat para ahli hukum kewarisan Islam, yang selanjutnya
diperlukan diupayakan pendekatan konseptual hokum kewarisan nasional dengan tidak melupakan
tradisi atau kebiasaan masyarakat selama bertentangan dengan hukum Islam.
Untuk mendalami dan memahami tradisi di dalam masyarakat khusunya di Indonesia, bahwa
masyarakat Islam di Indonesia khususnya yang berhubungan dengan penerapan hukum kewarisan
Islam, diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut dengan didasarkan pada pemahaman pengertian
bahwa penerapan hukum Islam dapat terjadi ukulturasi dengan tradisi-tradisi atau kebiasaan
masyarakat (al-‘uruf), baik sebelum Islam maupun setelah Islam. Pemahaman pengertian tersebut
untuk menghindari sikab garis pemisah secara tegas antara kedua reverensi hukum Islam, sehingga
dapat menghilangkan pertentangan antara norma-norma dogmatis dengan norma-norma kontektual
dalam hukum Islam itu sendiri.
Dalam rangka untuk melaksanakan hukum Islam secara kaffah (menyeluruh),khususnya
masyarakat muslim, yang berkaitan dengan penerapan hukum kewarisan Islam, dipandang perlu
meningkatkan dakwah, dengan pemahaman bahwa hukum kewarisan Islam bagian dari ibadah.
Disamping itu pembagian harta kewarisan dengan perdamaian diantara para ahli waris termasuk
hukum Islam, bukan hukum adat, meskipun hasil bagian-bagian ahli waris tidak sesuai dengan
norama-norma al-Qur’an sebagaiamana disebut al-furudhul al- muqaddarah.

Anda mungkin juga menyukai