Anda di halaman 1dari 3

1. Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual.

Hukum Waris Adat mengatur proses


penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu
masih hidup atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta waris adalah harta yang ditinggalkan
atau yang diberikan oleh pewaris kepada warisnya, baik yang dapat dibagi maupun yang tidak dapat dibagi.
Harta waris dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu : harta asal, harta pemberian, harta pencaharian, hak
dan kewajiban yang diwariskan.
Di dalam sistem patrinial kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol,
contohnya pada masyarakat Batak dan Bali. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki.
Dalam system matrilinial semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri baik untuk
harta pusaka tinggi maupun untuk harta pusaka rendah. Jika yang meninggal itu adalah seorang laki-laki
maka anak-anaknya dan jandanya tidaklah ahli waris mengenai harta pusaka tinggi, tetapi ahli warisnya
adalah seluruh kemenakannya dari pihak laki-laki.
Sistem kekeluargaan parental atau bilateral ini memiliki ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa yang
merupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak perempuan. Mereka mempunyai hak yang sama
atas harta peninggalan orangtuanya sehingga dalam proses pengalihan sejumlah harta kekayaan dari
pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai hak untuk diperlakukan sama
2. tiga syarat pengakuan
keberadaan masyarakat adat di dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 51 ayat (1) UU
Mahkamah Konstitusi dengan kriteria berikut:
1. ada masyarakat yang warganya memiliki perasaan sebagai satu kelompok karena adanya
nilai-nilai yang dirawat secara bersama-sama;
2. ada lembaga adat yang tumbuh secara tradisional;
3. ada harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
4. ada norma hukum adat yang masih berlaku; dan
5. ada wilayah adat tertentu;

3.
Sistem Pewarisaan Hukum BW Sistem Pewarisaan Hukum
Adat
         Sistem kewarisan dalam1.      Sistem Keturunan
KUHPdt (BW) berlatar belakang          Sistem Patrilinial
pada bentuk kehidupan (kelompok garis
masyarakat Barat yang parental kebapakan)
dan mandiri. Namun dalam          Sistem Matrilinial
KUHPdt sendiri, sistem (kelompok garis keibuan)
keturunan yang dianut adalah          Sistem Parental atau
sistem parental atau bilateral Bilateral (kelompok garis
terbatas, dimana setiap anggota ibu-bapak)
keluarga menghubungkan 2.      Sistem Pewarisan
dirinya pada keturunan ayah dan Individual
ibunya. Kemudian system3.      Sistem Pewarisan Kolektif
kewarisan yangdianut 4.      Sistem Pewarisan Mayorat
KUHPdt adalah sisitem
individual, artinya setiap ahli
waris berhak menuntut
pembagian harta warisan dan
memperoleh bagian yang
menjadi haknya, baik harta
warisan dan ibunya maupun
harta dari ayahnya.
- Dasar hukum waris BW adalah sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 830 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, yaitu
“Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”, pengertian yang dapat
dipahami dari kalimat singkat tersebut adalah, bahwa jika seseorang meninggal dunia, maka seluruh hak dan
kewajibannya beralih atau berpindah kepada ahli warisnya. Sehingga dalam hal ini pewarisan akan terjadi,
bila terpenuhinya tiga persyaratan, yaitu : a.Ada seseorang yang meninggal dunia. b.Ada orang yang masih
hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia c. Ada sejumlah
harta kekayaan yang ditinggal pewaris.
Sedangkan Dasar Hukum Waris Adat Hukum waris adat meliputi keseluruhan asas, norma dan keputusan
hukum yang bertalian dengan proses penurunan serta pengalihan harta benda ( material ), harta cita
( nonmaterial ) dari generasi satu kepada generasi berikutnya. Berbeda dengan sistem pewarisan yang lain,
hukum waris adat memiliki kekhasan tersendiri, yaitu tidak mengenal adanya pembagian yang ditentukan.
Semuanya dikembalikan pada asas musyawarah mufaka, kelayakan, kepatuhan, dan juga kebutuhan masing-
masing ahli waris. Kemufakatan itulah yang menjadi dsar hukum pembagian waris adat
- Pembagian Warisan Menurut KUHPerdata (BW)
Dalam KUHPerdata Pasal 830 dan Pasal 832 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa harta warisan bisa
diwariskan pada pihak lain hanya bila terjadi suatu kematian. Dan yang mendapat Ahli Waris adalah orang
yang punya hubungan darah dengan pewaris.
Artinya, orang yang punya hak waris hanya mereka yang hubungan darah dengan pewaris, baik itu
keturunan langsung maupun dari orang tua, saudara, nenek/ kakek atau keturunan dari saudara pewaris.

CONTOH KASUS

Sistem pembagian waris dalam masyarakat hukum adat Batak Toba

Khususnya di Indonesia banyak dikenal system hukum waris yang dapat diberlakukan dalam masyarakat, ini tidak
terlepas dari aspek sejarah bahwa system hukum yang pernah eksis dalam sejarah Negara Indonesia sangat plural
(majemuk) , antara lain hukum waris, hukum barat, hukum waris islam, dan hukum waris adat.

Hukum waris adat merupakan penggunaan istilah yang berbeda dengan hukum waris lainnya, sehingga terlihat
hukum waris adat merupakan system yang berbeda dengan hukum waris islam dan hukum waris barat yang sampai
sekarang masih banyak dianut oleh anggota masyarakat.

Oleh karenanya, perlu ditegaskan hukum waris adat merupakan salah satu dari sekian banyak system hukum yang
ada dalam hukum adat yang bersumber dari akar budaya asli bangsa Indonesia yang beraneka ragam.

Dalam pembagian warisan orang tua. Yang mendapatkan warisan adalah anak laki – laki sedangkan anak perempuan
mendapatkan bagian dari orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan
cara hibah. Pembagian harta warisan untuk anak laki – laki juga tidak sembarangan, karena pembagian warisan
tersebut ada kekhususan yaitu anak laki – laki yang paling kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan. Dan
dia mendapatkan warisan yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak Parmalim, pembagian harta warisan tertuju
pada pihak perempuan. Ini terjadi karena berkaitan dengan system kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan
emosional kekeluargaan. Dan bukan berdasarkan perhitungan matematis dan proporsional, tetapi biasanya
dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak – anak nya dalam pembagian harta warisan.

Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur dengan budaya dari luar), hal itu juga dimungkinkan
terjadi. Meskipun besaran harta warisan yang diberikan kepada anak perempuan sangat bergantung pada situasi,
daerah, pelaku, doktrin agama dianut dalam keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi ada sebagian orang yang
lebih memilih untuk menggunakan hukum perdata dalam hal pembagian warisannya.

Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak anak kandung. Karena sebelum seorang anak
diadopsi atau diangkat, harus melewati proses adat tertentu. Yang bertujuan bahwa orang tersebut sudah sah secara
adat menjadi marga dari orang yang mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta yang tidak dapat
diwariskan kepada anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka turun - temurun keluarga. Karena yang berhak
memperoleh pusaka turun-temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang mewariskan. Dalam Ruhut-ruhut
ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas di sana diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal
pembagian harta warisan bahwa anak perempuan hanya memperoleh: Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang
(Indahan Arian), warisan dari Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Dalam adat Batak yang masih
terkesan Kuno, peraturan adat – istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan dalam pewarisan,
anak perempuan tidak mendapatkan apapun. Dan yang paling banyak dalam mendapat warisan adalah anak Bungsu
atau disebut Siapudan. Yaitu berupa Tanak Pusaka, Rumah Induk atau Rumah peninggalan Orang tua dan harta yang
lain nya dibagi rata oleh semua anak laki – laki nya. Anak siapudan juga tidak boleh untuk pergi meninggalkan
kampong halaman nya, karena anak Siapudan tersebut sudah dianggap sebagai penerus ayahnya, misalnya jika
ayahnya Raja Huta atau Kepala Kampung, maka itu Turun kepada Anak Bungsunya (Siapudan).

Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara
anak perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orang tuanya. Dalam hukum adatnya mengatur bahwa
saudara ayah yang memperoleh warisan tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si
pewaris sampai mereka berkeluarga.

Dan akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak lagi banyak dilakukan oleh masyarakat batak.
Khususnya yang sudah merantau dan berpendidikan. Selain pengaruh dari hukum perdata nasional yang dianggap
lebih adil bagi semua anak, juga dengan adanya persamaan gender dan persamaan hak antara laki – laki dan
perempuan maka pembagian warisan dalam masyarakat adat Batak Toba saat ini sudah mengikuti kemauan dari
orang yang ingin memberikan warisan. Jadi hanya tinggal orang-orang yang masih tinggal di kampung atau daerah
lah yang masih menggunakan waris adat seperti di atas. Beberapa hal positif yang dapat disimpulkan dari hukum
waris adat dalam suku Batak Toba yaitu laki-laki bertanggung jawab melindungi keluarganya, hubungan kekerabatan
dalam suku batak tidak akan pernah putus karena adanya marga dan warisan yang menggambarkan keturunan
keluarga tersebut. Dimana pun orang batak berada adat istiadat (partuturan) tidak akan pernah hilang.

Anda mungkin juga menyukai