Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum waris adalah peraturan-peraturan yang mengatur akibat seseorang


meninggal dunia terhadap harta benda yang ditinggalkannya. Menurut
Oemarsalim hukum waris adalah suatu cara penyelesainan perhubungan-
perhubungan hukum dalam masyarakat, yang melahirkan sedikit-banyaknya
kesulitan sebagai akibat dari meninggalnya seorang manusia.1 Dengan lain
perkataan : ada pelbagai perhubungan hukum antara seorang manusia itu di satu
pihak dan dunia luar di sekitarnya di lain pihak sedemikian rupa bahwa ada saling
mempengaruhi dari kedua belah pihak itu berupa kenikmatan atau beban yang
dirasakan oleh masing-masing pihak. 2

Berdasar ketentuan pasal II Aturan Peralihan ( AP ) Undang-Undang Dasar


Negara RI atau pasal I Aturan Peraihan ( AP ) Undang-Undang Dasar RI
amandemen yang berbunyi : “Segala peraturan perundang-undangan yang ada
masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang
Dasar”, telah dan masih berlaku hukum waris KUHPerdata,hukum waris Islam
dan hukum waris adat sepenjang belum ada aturan-aturan baru yang
menggantinya.

Pemberlakuan hukum waris terpengaruh oleh hukum apa yang digunakan


seseorang ketika melaksanakan perkawinannya dan agama apa yang dianutnya
pada saat ia meninggal dunia. Karena sebelum tahun 1974 hukum perkawinan di
Indonesia masih plural ( beraneka ragam ) maka Pemerintah menentukan politik
hukumnya yaitu meng-univikasi-kan hukum, salah satunya hukum perkawinan ke

1
Oemarsalim. Dasar-Dasar Hukum Waris Indonesia. hlm 2
2
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris di Indonesia. Hlm 11

1
dalam satu hukum yaitu dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 .
Pada saat itulah pernikahan dilaksanakan menurut Undang-Undang No 1 Tahun
1974. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dibuat/ diracang berdasarkan roh hukum
adat dan agama. Hal ini tertera pada sahnya perkawinan yang ditentukan menurut
hukum agama dan kepercayaan masing-masing serta hukum adat juga
berpengaruh dalam pelaksanaan-pelaksanaan yang lain dalam UU No 1 Tahun
1974.

Setelah di berlakukanya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974


terlihat eksistensi dari hukum waris KUHPerdata berkurang. Dalam hal ini hukum
waris KUHPerdata hanya berlaku bagi oarng-orang yang melakukan perkawinan
berdasarkan hukum perkawinan KUHPerdata dan melaksaakan perkawinan
terebut sebelum diberlakukanya Undang-Undang Perkawinan. Sehingga setelah
berlakunya Undang-Undang Perkawinan yang terlihat eksistensinya adalah
hukum adat dan hukum islam dimana hal ini akan berpengaruh juga pada hukum
waris yang akan digunakan.

Walaupun Hukum waris KUHPerdata eksistensinya berkurang tetapi tetap


saja hukum waris positif atau hukum waris yang berlaku di Indonesia ada 3 yaitu
hukum waris Islam, hukum waris adat dan hukum waris KUHPerdata.

Menurut Kompilasi Hukum Islam, hukum kewarisan adalah hukum yang


mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagianya
masig-masing.

Menurut Pitlo dalam buku hukum waris Indonesia menurut perundangan,


hukum adat dan hukum agama Hindu-Islam oleh Hilman Hadikusuma, yang
dimaksud hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum
mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan
kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi
orang-orang yang memperolehnya,baik dalam hubungan antara mereka dengan
mereka, maupun hubunga mereka dengan pihak ke tiga. Intinya adalah

2
peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap
harta kekayaan yang berwujud perpindahan kekayaan si pewaris dan akibat
hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan antara
sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak lain.3

Menurut Ter Haar dalam bahan pembelajaran hukum waris adat oleh Trusto
Subekti, hukum waris adat adalah aturan-atuan hukum yang bertalian dengan
proses dari abad ke abad, penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud
(materiiel) dan tidak berwujud (immateriiel ) dari satu generasi kepada generasi
berikutnya.

Dari pengertian hukum waris dari prekspektif adat dan KUHPerdata ( definisi
dari Pitlo ) terlihat perbedaan. Hukum waris barat sebagaimana diatur dalam
KUHPerdata ( BW ) yang menekankan pada adanya kematian seseorang dan
adanya kebendaan yang ditinggalkan serta adanya ahli waris. Sedangkan menurut
hukum waris adat sebagaimana berlaku di kalangan berbagai masyarakat
Indonesia ( Asli ) tidak hanya mengatur pewarisan sebagai akibat kematian
seseorang, tetapi mengatur pewarisan sebagai akibat mengalihkan harta
kekayaanya baik yang berwujud maupun tidak berwujud, baik yang bernilai uang
atau tidak bernilai uang dari pewaris ketika ia masih hidup atau sudah mati kepada
para waris, terutama para ahli warisnya.4

Didalam kehidupan masyarakat di Indonesia para ahli waris atau waris


tidak terlepas dari pengaruh susunan kekerabatanya yang patrilineal, matrilineal
atau parental/bilateral; sistem perkawinan yang berbenuk dengan pembayaran
jujur ( Patrilokal ) atau tanpa pembayaran uang jujur ( Matrilokal ) atau
perkawinan mandiri; sistem kewarisan yang mayorat,kolektif dan individual, jenis
macam dari harta warisan, letak tempat harta warisan itu berada, serta kedudukan
dari para ahli waris/ waris itu sendiri.5

3
J, Satrio. Hukum Waris. Hlm 8
4
Hilman. Hukum Waris Indonesia menurut Perundangan,Hukum Adat dan Hukum Agama Hindu-
Islam. Hlm 7
5
Ibid, hlm 63

3
Sistem patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
bapak. Siatem Matrilineal, yaitu sistm keturunan yang ditarik dari garis keturunan
ibu. Sedangkan sistem patrilineal/ bilateral yaitu sistem keturunan yang ditarik
dari garis orang tua atau menurut garis dua sisi yaitu bapak-ibu.6

Pada asasnya dalam susunan masyarakat yang mempertahankan garis


keturunan pria (patrilineal) yang berhak menjadi ahli waris adalah anak laki-laki,
sedangkan anak-anak pwrempuan ideologisnya bukan ahli waris. Kemungkinan
wanita untuk menjadi ahli waris sangat kecil sekali, kecuali dikarenakan ia
sebagai janda dari almarhum pewaris menggunakan hak pakainya atas harta
peninggalan suaminya atau ia sebagai anak wanita yang diberi kedudukan sebagai
anak pria (pngganti) dengan melakukan perkawinan ‘ambil pria’.7

Dalam sistem matrilineal pada asasnya yang berhak menjadi ahli waris
adalah anak-anak perempuan. Anak laki-laki ideologisnya bukan termasuk
ahliwaris.

Dalam susunan patrilineal kedudukan anak-anak lelaki sebagaimana


dikatakan Ter Haar bersifat ‘vaderrechtelijke ordening’ , yaitu berdasarkan tata
hukum bapak, yang berarti segala sesuatunya dikuasai oleh kebapakan, sedangkan
dalam susunan matrilineal kedudukan anak wanita sebagai ahli waris bersifat
‘moderrechtlijke groepering’, yang berarti segala sesuatunya dikuasai oleh
kelompok keibuan.8

Dalam susunan parental/bilateral tidak ada pembedaan antara laki-laki dan


perempuan sebagai ahli waris. Sistem ini yang sekaang banyak dipakai oleh
masyarakat-masyarakat perkotaan karena dianggap bisa memenuhi rasa keadilan.

6
Trusto Subekti. Hukum Waris Adat. Hlm 21.
7
Hilman, Op.Cit, hlm 63
8
Ibid. hlm 96

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengaruh sistem kekerabatan parental/bilateral dalam pewarisan adat?
2. Apasaja jenis-jenis harta pewarisan adat dalam sistem kekerabatan
parental ?
3. Apa yang dimaksud pewarisan individu dan apa hubunganya dalam sistem
pewarisan adat sistem parental ?

5
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengaruh Sistem Parental/ Bilateral Terhadap Pewarisan


Adat

Pewarisan dalam adat dilakukan tergantung kepada sistem kekerabatan apa


yang dianut dalam sebuah daerah atau . Sistem kekerabatan yang mempengaruhi
sistem pewarisan dalam waris adat ada 3 yaitu :

a. Sistem Patrilineal, sistem kekerabatan atas dasar ketunggalan silsilah


yang dilacak dari keturunan laki-laki (bapak). Dalam sistem kekerabatan
ini kedudukan laki-laki adalah sebagai penerus silsilah dan sistem
perkawinanya dengan menggunakan “pembayaran jujur”, artinya si wanita
dibawa masuk kedalam marga suaminya dan lepas dari marga orang
tuanya. Jadi bagi marga orang tuanya, seorang anak perempuan adalah
sebagai orang yang meninggalkan marganya, dan dalam marga suaminya
sebaai warga pendatang. Dengan sendirinya anak menjadi milik marga
suaminya, dan anak laki-laki meruakan penerus silsilah bapaknya.
b. Sistem Matrilineal, sistem kekerabatan atas dasar ketunggalan silsilah
yang dilacak dari garis keturunan perempuan. Dalam sistem kekerabatan
ini hubunganya didasarkan pada sistem buah perut, artinya keanggotaan
kemasyarakatanya bertumpu pada seorang ibu beserta anak-anaknya.
Sistem perkawinanya menggunakan perkawinan semenda, artinya tidak
menyebabkan perpindahan hubungan kekerabatan. Jadi suami tetap
menjadi anggota masyarakat buah perut ibunya, dan si isteri juga menjadi
anggota masyarakat buah perut ibunya sendiri. Sehinga antara suami isteri
tidak memiliki hubungan solidaritas secara kelembagaan, juga antara anak-
anak dengan bapaknya juga tidak ada hubungan solidaritas secara
kelembagaan

6
c. Sistem Parental, Sistem kekerabatan atas dasar ketunggalan silsilah yang
dilacak dari garis keturunan dari bapaknya dan ibunya. Dalam sistem
kekerabatan parental kedudukan laki-laki dan perempuan adalah
seimbang, anak-anak sebagai penerus silsilah dari bapaknya maupu dari
ibunya. Suami mejadi kepala keluarga dari isteri sebagai pendamping
suami untuk mengurusi rumah tangganya. Sistem perkawinanya
meggunakan sistem semenda, yang artinya dengan adanya perkawinan
tersebut masing-masing suami dan/atau isterinya tetap memiliki hubungan
dengan kerabat masing-masing.9

Disini akan dijelaskan mengenai pewarisan dalam sistem kekerabatan


parental. Sistem kekerabatan parental biasanya juga disebut dengan sistem
bilateral. Sistem parental atau bilateral yaitu sistem keturunan yang ditarik
menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana
kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan didalam pewarisan ( Aceh, Sumatera
Timur, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain).10

Pada asasnya dalam susunan masyarakat yang bersifat keorangtuaan


(parental) atau yang menarik garis keturunan dari dua sisi, yaitu dari pihak ayah
dan dari pihak ibu ( bilateral ), tidak membedakan kedudukan anak laki-laki atau
anak perempuan sebagai waris. Baik anak laki-laki maupun anak perempuan
berhak mendapat bagian warisan dari orang tuanya, baik teradap harta
peninggalan yang tergolong harta pusaka keturunan, maupn yang berasal dari
harta bawaan ayah atau ibu, ataupun harta pencarian selama hidup mereka.11

Dalam sistem parental/ bilateral tidak ada perbedaan antara suami dan istri.
Maka dari itu, bukan menjadi masalah lagi kalo pernikahan antara suami-isteri
tersebut memiliki dua keluarga, sedangkan dalam kekeluargaan orang tuanya juga
masing-masing memiliki dua kekeluargaan, yaitu ayah dan ibunya.

9
Op.cit. Hlm 67
10
Hilman,Hadikusuma. Hukum Waris Adat. Hlm 23
11
Hilman, Op.cit, hlm 109

7
Dengan sifat kekeluargaan kebapak-ibuan tidak mengenal pembelian si
istri oleh suami atau oleh keluarga si suami. Tetapi disini si suami pertama-tama
dalam perkawinanya memberikan sejumlah uang kepada si istri, bukan berarti
uang tersebut merupakan suatu pembelian, tetapi dipergunakan untuk bermacam-
macam antara lain untuk kebutuhan rumah tangga dari suami atau istri.

Sistem parental atau bilateral ini sekarang dianut oleh Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Disana dari sistem keluarganya si istri dan si
suami memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang seimbang dan sama tanpa
ada diskriminasi. Pada sistim parental ini dimana juga UU perkawinan
menganutnya, istri atupun suami sama-sama dianggap cakap sehingga mereka
sama-sama memiliki hak untuk menguasai dan mengelola harta kekayaanya
sendiri. Maka dari itu baik istri maupun suami dapat mewaris .Sistem keluarga
inilah pastinya juga mempengaruhi sistem harta perkawinan yang juga akan
berdampak pada sistem harta pewarisan sehingga pasti juga mempengaruhi sistem
pewarisanya.

Didalam sistem matrilineal dan patrilineal sudah jelas penyelesaianya apabila


ada pertanyaan bahwa apakah janda/duda memiliki hak waris. Tetapi tidak
semudah menjawab pertanyaan apabila kita melihat dari prespektif parental. Pada
asasnya menurut hukum adat jawa janda atau duda bukan waris dari suami atau
istri yang meninggal, akan tetapi mereka berhak mendapatkan bagian dari harta
peninggalan suami atau istri bersama-sama dengan waris lain atau menahan
pembagian harta peninggalan itu bagi biaya hidup seterusnya. ( dikutip dari
Madjalah Hukum Adat oleh Soedarso di dalam buku Hukum Waris Adat
Hilman Hadikusuma ).

2. Jenis-jenis harta pewarisan adat dalam sistem kekerabatan


parental

Jenis atau kalifikasi harta warisan memiliki korelasi dengan jenis atau
kualifikasi harta perkawinan.

8
Harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami istri selama
mereka terikat dalam perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta
perseorangan yang berasal dari harta warisan, hrta hibah, harta penghasilan
sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri, dan barang-barang hadiah.
Kesemuanya itu dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan yang dianut setempat dan
bentuk perkawinan yang berlaku terhadap suami atau istri yang bersangkutan.12

Harta perkawinan adalah harta penompang kehidupan keluarga atau harta akibat
perkawinan. Pada dasarnya kelompok atau kualifikasi harta perkawinan ada dua
(2) yaitu harta pribadi dan harta bersama. Harta bersama adalah harta yang didapat
dan diusahakan setelah ada perkawinan yang bukan termasuk harta pribadi
misalnya warisan atau hibah dari orang tua dll. Harta pribadi adalah harta yang
didapat atau diperoleh sebelum pernikahan tetapi bisa juga setelah pernikahan
dilaksanakan termasuk juga warisan dan hibah.

Harta pribadi dibagi lagi menjadi 2 yaitu harta asal dam harta bawaan.
Harta asal adalah harta warisan dari orang tua yang diperoleh sebelum atau
sesudah pernikahan. Harta bawaan adalah harta yang diperoleh sebelum
pernikahan misalnya dari gaji bekerja sebelum meikah. Didalam sistem
kekeluargaan partilineal, matrilineal dan parental kualifikasi harta perkawinanya
berbeda-beda. Lihat tabel dibawah ini :

Patrilineal Matrilineal Parental


Harta pribadi Suami - Harta pribadi
Suami
- Harta pribadi Istri Harta pribadi Istri
Harta Bersama Harta Bersama Harta Bersama
Tabel i.i

Sesuai tabel diatas, sistem kekeluargaan berpengaruh terhadap struktur


atau kualifikasi harta bersama.

Sistem patrilineal hanya ada harta asal suami dan harta bersama, hal ini
dikarenakan tidak ada kesamaan hak antara suami dan istri terhadap harta
12
Hilman Hadikusuma. Hukum Perkawinan Adat. Hlm 156

9
bendanya. Laki-laki dalam sistem kekeluargaan patrilineal memiliki kedudukan
yang lebih tinggi dibanding perempuan/ suami lebih tinggi dibanding istri.

Sistem matrilineal hanya ada harta asal istri dan harta bersama. Hal ini
dikarenakan tidak ada kesamaan hak antara suami atau istri terhadap harta
bendanya. Perempuan memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding laki-laki atau
istri berkedudukan lebih tinggi dibanding suami.

Sistem parental terdapat kualifikasi harta perkawinan sebagai berikut :


harta asal istri, harta asal suami dan harta bersama. Kualifikasi harta yang lengkap
ini hanya ada didalam sistem paretal. Pada masyarakat parental kedudukan suami
dan stri sama atau seimbang. Istri dan suami sama sama cakap sehingga sama
sama berhak menguasai dan mengatur harta kekayaan. Masing-masing
mempunyai hak kepemilikan secara pribadi atas harta yang diperoleh sebelum
kawin atau atas harta yang diperoleh dari warisan. Dalam parental ini secara
normatif perkawinan merupakan persekutuan antara dua orang (suami-istri) maka
dari persekutuan ini lahir harta yang diperoleh selama perkawinan dengan disebut
sebagai harta bersama.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa sistem kekeluargaan


mempengaruhi harta warisan. Lihat tabel iii : harta peninggalan

Patrilineal Matrilineal Parental


Harta Asal Suami Harta Asal Suami
Harta Asal Istri Harta Asal Istri
Harta Bersama Harta Bersama Harta Bersama

Dalam hal pewarisan dalam sistem kekeluargaan parental ahli waris baik
pria maupun wanita mendapat hak yang sama, tidak ada pembedaan antara laki-
laki maupun perempuan. Suami dan istri juga berkedudukan sama dan sama-sama
dianggap cakap sehingga dapat melakukan tindakan hukum dan menguasai atas
harta benda baik pribadi maupun bersama. Maka dari itu baik istri maupun suami
dalam sistem parental dapat mewaris.

10
3. Pewarisan individu dan penerpanya dalam sistem
pewarisan adat sistem kekerabatan parental

Sistem kewarisan adat ada 3 yaitu sistem kewarisan individual, siatem


kewarisan kolektif dan sistem kewarisan mayorat.

Sistem kewarisan kolektif adalah istem kewarisan bahwa harta peninggalan itu
diwarisi (lebih tepat di kuasai ) oleh sekelompok waris dalam keadaan tidak
terbagi-bagi, yang seolah-olah merupakan suatu badan hukum keluarga/kerabat
(badan hukum adat). Siste kewarisan ini biasa digunakan pada daerah yang sistem
kekeluargaanya adalah matrilineal.

Sistem kewarisan mayorat ialah apabila harta peninggalan orang tua atau harta
peninggalan leluhur kerabat tetap utuh tidak dibagi-bagi kepada para waris.,
melainkan dikuasai oleh anak tertua lelaki. Distem kewarisan ini biasanya
digunakan pada daerah yang sistem keluargaanya adalah patrilineal.

Sistem kewarisan mayorat ini bersamaan dengan sistem kewarisan mayorat


ini bersamaan dengan sistem kewarisan kolektif dimana harta peninggalan itu
tidak dibagi-bagi kepada waris., melainkan dikuasai berasma sebagai hak milik
bersama. Bedanya adalah pada sistem mayorat anak tertua berkdudukan sebagai
penguasa tunggal atas harta peninggalan dengan hak dan kewajiban mengatur dan
mengurus kepentingan adik-adiknya atas darasr musyawarah dan mufakat para
anggota kelompok waris yang lain.13

Pewarisan dengan sistem individual atau perseorangan adalah sistem


pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai
dan atau memiliki harta warisan menurut bagianya masing-masing. 14 Ciri-ciri
kewarisan indvidual ialah bahwa harta peninggalan itu terbagi-bagi pemilikan nya
kepada para waris. Sistem kewarisan individual biasanya di anut oleh daerah yang
menganut sistem parental atau bilateral yaitu pada daerah jawa.

13
Ibid, hlm 18
14
Hilman, Op.cit hlm 24

11
Kebaikan sistem individual ini ialah dengan adanya pembagian maka
pribadi-pribadi waris mempunyai hak milik yang bebas menentukan kehendaknya
atas harta warisan yang menjadi bagianya, ia bebas untuk mentransaksikan hak
warisnya itu kepada orang lain. Kelemahannya ialah bukan saja pecahnya harta
warisan, tetapi juga putusnya hubungan kekerabatan antara keluarga waris yang
satu dan yang lain. Hal ini berarti lemahnya asas hidup kebersamaan dan tolong
menolong antara keluarga yang satu dan keluarga yang lain yang seketurunan.15

Penerapan sistim pewarisan individual didalam sistem parental adalah


semua ahli waris perempuan atau laki-laki tanpa ada perbedaan karena memang
sstem parental menganut asas keseimbangan antara laki-laki dan perempuan
mendapat harta warisan secara individu. Maksudnya adalah harta yang dibagikan
ke masing-masing dari mereka menjadi milik mereka secara pribadi tanpa ada
yang boleh mengganggu gugat.

Pada umumnya sistem individual ini cenderung dipakai dalam kalangan


masyarakat yang mandiri yang tidak terikat kuat engan hubungan kekerabatan.
Biasanya masyarakat yang mandiri ini terdapat pada masyarakat modern atau
masyaakat adat yang sudah tidak lagi kuno atau masyarakat adat modern.

BAB III

PENUTUP

15
Hilman, Op.cit hlm 16

12
Kesimpulan

Hukum waris adalah peraturan-peraturan yang mengatur akibat seseorang


meninggal dunia terhadap harta benda yang ditinggalkannya.

Berdasar ketentuan pasal II Aturan Peralihan ( AP ) Undang-Undang


Dasar Negara RI atau pasal I Aturan Peraihan ( AP ) Undang-Undang Dasar RI
amandemen yang berbunyi : “Segala peraturan perundang-undangan yang ada
masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang
Dasar”, telah dan masih berlaku hukum waris KUHPerdata,hukum waris Islam
dan hukum waris adat sepenjang belum ada aturan-aturan baru yang
menggantinya.

Perbedaan hukum waris KUHPerdata, Islam dan Adat adalah hukum waris
KUHPerdata dan Islam mengatur tentang harta meteril seseorang yang meninggal
tetapi pada hukum waris adat tidak hanya harta materil tetapi pengoperan,
peralihan dari harta immateril.

Pemberlakuan hukum waris terpengaruh oleh hukum apa yang digunakan


seseorang ketika melaksanakan perkawinannya dan agama apa yang dianutnya
pada saat ia meninggal dunia.

Dalam hal setelah diberlakukanya UU No 1 Tahun 1974 tentang


perkawinan, hukum perkawinan di Indonesia telah mengalami univikasi hukum
setelah sebelumnya ada beranekaragam hukum perkawinan yang digunakan

Berlakunya UU perkawinan yang rohnya diambil dari hukum agama dan


adat mengakibatkan hukum perkawinan KUHPerdata tidak lagi berlaku.

Dalam hal hukum perkawinan KUHPerdata tidak berlaku lagi, tetapi hal
ini tidak mengakibatkan hukum waris KUHPerdata pun ikut tidak berlaku.
Berlakunya UU perkawinan hanya menggeser ekistensi hukum waris
KUHPerdata.

13
Artinya Hukum waris KUHPerdata hanya berlaku bagi orang-orang yang
melaksanakan pernikahan sebelum berlakunya UU Perkawinan dan atau
melaksanakan perkawinanya dengan hukum perkawiana KUHPerdata.

Sistem kewarisan adat sangat dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan apa


yang dianut didalam subuah daerah. Ada sistem Kekeluargaan patrilineal, ada
sistem matrilineal dan sistem parental atau bilateral. Pada masyarakat patrilineal,
sistem kekerabatan atas dasar ketunggalan silsilah yang dilacak dari keturunan
laki-laki (bapak). Pada masyarakat matrilineal, sistem kekerabatan atas dasar
ketunggalan silsilah yang dilacak dari aris keturunan perempuan. Dan pada
masyarakat parental, ketunggalan silsilah dilacak dari garis laki-laki dan
perempuan, disini laki-laki dan perempuan meiliki kedudukan yang sama.

Pada masyarakat patrilineal telah berkembang bahwa terhadap anak


perempuan diberikan suatu pemberian sebagai bekal bukan sebagai ahli waris.
Pada masyarakat matrilineal pada asasnya bulah yang mewaris tetapi dalam
perkembanganya bahwa anak-anak dapat menerima warisan dari harta bersama
bapaknya. Pada parental suami istri meiliki keudukan yang sama dan dapat
mewaris kepada anak-anaknya, dan dalam perkembanganya bahwa janda/duda
dinyatakan sebagai ahli waris terhadap harta peninggalan suami/istrinya.

Jenis atau kalifikasi harta warisan memiliki korelasi dengan jenis atau
kualifikasi harta perkawinan. Harta perkawinan adalah harta penompang
kehidupan keluarga atau harta akibat perkawinan. Pada dasarnya kelompok atau
kualifikasi harta perkawinan ada dua (2) yaitu harta asal atau/ harta pribadi atau/
harta bawaan dan harta bersama. Harta bersama adalah harta yang didapat dan
diusahakan setelah ada perkawinan yang bukan termasuk harta pribadi misalnya
warisan atau hibah dari oarng tua dll. Harta harta asal atau/ harta pribadi atau/
harta bawaan adalah harta yang didapat atau diperoleh sebelum pernikahan
termasuk juga warisan dan hibah.

Sistem patrilineal hanya ada harta asal suami dan harta bersama, hal ini
dikarenakan tidak ada kesamaan hak antara suami dan istri terhadap harta

14
bendanya. Laki-laki dalam sistem kekeluargaan patrilineal memiliki kedudukan
yang lebih tinggi dibanding perempuan/ suami lebih tinggi dibanding istri.

Sistem matrilineal hanya ada harta asal istri dan harta bersama. Hal ini
dikarenakan tidak ada kesamaan hak antara suami atau istri terhadap harta
bendanya. Perempuan memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding laki-laki atau
istri berkedudukan lebih tinggi dibanding suami.

Sistem parental terdapat kualifikasi harta perkawinan sebagai berikut :


harta asal istri, harta asal suami dan harta bersama. Kualifikasi harta yang lengkap
ini hanya ada didalam sistem paretal. Pada masyarakat parental kedudukan suami
dan stri sama atau seimbang. Masing-masing mempunyai hak kepemilikan secara
pribadi atas harta yang diperoleh sebelum kawin atau atas harta yang diperoleh
dari warisan. Dalam parental ini secara normatif perkawinan merupakan
persekutuan antara dua orang (suami-istri) maka dari persekutuan ini lahir harta
yang diperoleh selama perkawinan dengan disebut sebagai harta bersama.

Sistem kewarisan adat ada 3 yaitu sistem kewarisan individual, siatem


kewarisan kolektif dan sistem kewarisan mayorat.

Sistem kewarisan kolektif adalah istem kewarisan bahwa harta


peninggalan itu diwarisi (lebih tepat di kuasai ) oleh sekelompok waris dalam
keadaan tidak terbagi-bagi, yang seolah-olah merupakan suatu badan hukum
keluarga/kerabat (badan hukum adat).

Sistem kewarisan mayorat ialah apabila harta peninggalan orang tua atau
harta peninggalan leluhur kerabat tetap utuh tidak dibagi-bagi kepada para waris.,
melainkan dikuasai oleh anak tertua lelaki.

Pewarisan dengan sistem individual atau perseorangan adalah sistem


pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai
dan atau memiliki harta warisan menurut bagianya masing-masing.

Penerapan sistim pewarisan individual didalam sistem parental adalah


semua ahli waris perempuan atau laki-laki tanpa ada perbedaan karena memang

15
sstem parental menganut asas keseimbangan antara laki-laki dan perempuan
mendapat harta warisan secara individu. Maksudnya adalah harta yang dibagikan
ke masing-masing dari mereka menjadi milik mereka secara pribadi tanpa ada
yang boleh mengganggu gugat.

Pada umumnya sistem individual ini cenderung dipakai dalam kalangan


masyarakat yang mandiri yang tidak terikat kuat engan hubungan kekerabatan.
Biasanya masyarakat yang mandiri ini terdapat pada masyarakat modern atau
masyaakat adat yang sudah tidak lagi kuno atau masyarakat adat modern.

DAFTAR PUSTAKA

Hadikusuma, Hilman. 1983. Hukum Perkawinan Adat. Bandung : Alumni

16
Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum Waris Adat. Bandung : Cirta Aditya Bakti.

Hadikusuma, Hilman. 1991. Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan,

Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Oemarsalim. 2012. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta : Rineka

Cipta.

Prodjodikoro, Wirjono. 1983. Hukum Waris di Indonesia. Bandung : Sumur

Bandung.

Satrio, J. 1990. Hukum Waris. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Subekti, Trusto. 2014. Hukum Waris Adat. Purwokerto.

17
“Pewarisan Adat Dalam Sistem Kekerabatan
Parental/Bilateral”

Di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas

Mata Kuliah Hukum Adat

Dosen :Isni Rubiantini.,S.H.,M.H.

Disusun Oleh :

Dea Putri Noviani 17.4301.126

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG

2020

18

Anda mungkin juga menyukai