Anda di halaman 1dari 4

Perkawinan, selain bertujuan memperoleh keturunan juga untuk dapat bersama-sama hidup pada

suatu masyarakat dalam suatu perikatan (keluarga). Suami isteri beserta anak-anaknya dalam
masyarakat adat dinamakan Somah atau serumah. Somah sebagai kesatuan keluarga kecil bersama
somah-somah yang lain merupakan keluarga besar yang disebut kerabat. Guna keperluan hidup
dibutuhkan kekayaan duniawi. Sesungguhnya harta perkawinan merupakan modal kekayaan yang
dapat dipergunakan oleh suami isteri untuk membiayai kehidupan sehari-hari.
Menurut UU No.1 Th.1974 Pasal 35 dinyatakan bahwa “Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing- masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.”
Dalam penjelasan Pasal 35 tersebut dikatakan: “Apabila perkawinan putus, maka harta bersama
tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing (hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya.”
Menurut Hukum Adat yang dimaksud Harta Perkawinan adalah: “Semua harta yang dikuasai suami
istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, harta
perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta
pencaharian hasil bersama suami isteri, dan barang-barang hadiah.” Kadang batas antara harta
perkawinan / harta keluarga dengan harta kerabat / harta famili sangat lemah, tidak mudah dilihat,
tetapi juga kadang-kadang sangat jelas & tegas. Dalam suatu masyarakat di mana hubungan
kekeluargaan / ikatan kerabat masih sangat kuat, kadang kekuasaan kerabat mencampuri pula urusan
harta keluarga. Namun pada umumnya harta perkawinan / harta keluarga diperuntukkan pertama-
tama bagi keperluan somah.
Pembagian harta warisan secara adil sesuai aturan hukum yang berlaku merupakan hal utama dalam
proses pewarisan. Keselarasan, kerukunan, dan kedamaian merupakan hal terpenting yang harus
mampu dijalankan. Kesepakatan dalam musyawarah merupakan suatu nilai dasar kebersamaan dalam
kehidupan keluarga yang harus dikedepankan. Kebersamaan tanpa harus terjadi perselisihan atau
sengketa dalam proses pembagian harta warisan merupakan hal terpenting, karena dalam hal ini nilai
kebersamaan dankekeluargaan seharusnya mampu menjadi pijakan tanpa harus mengedepankan ego
dan kepentingan masing-masing pihak.
Pengertian warisan sendiri adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban
tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang
masih hidup. Hukum Waris sendiri adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan
yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli waris.
Keberadaan hukum waris sangat penting dalam proses pembagian warisan, karena dengan
keberadaanya tersebut

mampu menciptakan tatanan hukumnya dalam kehidupan masyarakat tentang peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli waris.
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya. Keberadaan anak dalam hukum waris mempunyai kedudukan
yang sangat penting.
Keberadaan anak secara langsung akan mengakibatkan terjadinya proses pewarisan antara orang tua
kepada anaknya. Perpindahan warisan dari orang tua kepada anaknya harus dilakukan secara baik,
sesuai aturan hukum yang berlaku dengan mengedepankan musyawarah untuk mencapai
kesepakatan.
Ketentuan dan keberadaan hukum waris adat telah mengatur mengenai pembagian warisan, di
manapengaturan tersebut telah mengakomodir hak dan kewajiban di antara pewaris dan ahli
warisnya. Salah satu aturan hukum yang digunakan dalam proses pembagian harta warisan adalah
hukum adat.
Secara sederhana hukum adat dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal
ataupun atas dasar keturunan. Hukum adat selalu mengedepankan kesetaraan dengan tetap
memandang kebersamaan sebagai acuan dalam proses pewarisan.
Keberadaan hukum adat dalam tatanan kehidupan masyarakat akan selalu ada dan tetap tumbuh,
karena hukum adat merupakan aturan yang hidup dan berkembang sesuai budaya dan nilai sosial yang
dianut di dalam masyarakat. Keberadaan hukum adat dijadikan sebagai tatanan dan cerminan dalam
pola tingkah laku masyarakat sebagai pijakan nilai luhur yang harus tetap dilestarikan.
Keberadaan hukum adat setelah adanya amandemen konstitusi, telah diakui dan dijamin
keberadaanya sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B Ayat (2) yang
menyatakan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat. dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang. 1. Janda dalam
Sistem Hukum Waris Adat.
Hukum Waris Adat menurut Ter Haar sebagaimana dikutip oleh Dewi Sulastri adalah “aturan hukum
mengenai cara penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari
satu generasi ke generasi berikutnya.”10 Dari pengertian tersebut dapat dipahmi bahwa subyek
Hukum Waris Adat adalah pewaris dan ahli waris. Pewaris adalah seseorang yang meninggalkan harta
warisan, sedangkan ahli waris adalah seseorang atau beberapa orang yang menrupakan penerima
harta warisan.11
Untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris digunakan dua macam garis pokok, yakni garis pokok
keutamaan dan garis pokok penggantian. Garis pokok keutamaan merupakan suatu garis hukum yang
menentukan urutan keutamaan di antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris.12 Tegasnya,
golongan yang satu lebih diutamakan daripada golongan yang lain. Termasuk dalam kategori ini adalah
pertama, keturunan pewaris (anak-anak pewaris), kedua, orang tua pewaris, ketiga, saudara pewaris
beserta keturunannya, dan yang keempat kakek dan nenek pewaris. Adapun garis pokok penggantian
merupakan garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapakah di antara orang-orang dalam
kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris yang sungguh-sungguh menjadi ahli waris.
Golongan tersebut adalah orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris; dan orang yang
tidak ada lagi penghubungannya dengan pewaris.13.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa karena yang dijadikan syarat bagi
waris itu adalah adanya tali kekeluargaan berdasarkan atas persamaan darah atau keturunan, maka
kedudukan janda baik dalam masyarakat yang menganut sistem patrilineal, matrilineal maupun
parental/bilateral, tidak termasuk dalam garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian. Dengan
demikian, janda tidak termasuk kelompok ahli waris sehingga tidak mendapat bagian dari harta
peninggalan suaminya. . a. Kedudukan dan hak anak kandung dalam mewarisi.
Semua anak yang dilahirkan dari perkawinan ayah dan ibunya secara sah disebut anak kandung. Jika
perkawinan ayah dan ibunya tidak sah, maka anaknya menjadi anak kandung yang tidak sah ( anak
kowar, anak haram jadah, anak kampang, anak astra ). 11 Anak kandung yang sah adalah sebagai ahli
waris dari orang tuanya yang melahirkannya. Adapun anak kandung yang tidak sah ada, kemungkinan,
sebagai berikut :
1. Tidak berhak sebagai ahli waris dari orang tuanya yang melahirkannya, baik dari ayahnya maupun
dari ibunya.
2. Hanya berhak sebagai ahli waris dari ibu yang melahirkannya atau mungkin dari ayahnya saja tanpa
dari ibunya.
3. Berhak sama dengan anak kandung yang sah sebagai ahli waris dari ayah-ibu kandungnya. 12
Kedudukan anak kandung dalam pewarisan dari harta peninggalan sangat penting, karena anak
kandung adalah yang akan mewarisi semua harta peninggalannya. Hubungannya dengan kedudukan
anak kandung dalam hukum waris adat, maka dapat dilihat dari sistemkekerabatan yang ada, yaitu
sistem kekerabatan patrilinial, sistem kekerabatan matrilineal, dan sistem kekerabatan parental atau
bilateral. Pada masyarakat patrilinial yang menganut garis keturunan laki-laki, maka kedudukan anak
laki-laki sangat menonjol daripada anak perempuan, sehingga anak laki- laki sebagai penerus
keturunan dan sebagai ahli waris dari orangtuanya/bapak. Anak laki-laki adalah penerus keturunan
bapaknya yang ditarik dari satu bapak asal, sedangkan anak perempuan disiapkan untuk menjadi anak
orang lain yang akan memperkuat keturunan orang lain. Oleh karena itu, kedudukan anak perempuan
bukan sebagai penerus keturunan dan bukan sebagai ahli waris.
Pada masyarakat patrilinial, jika tidak mempunyai keturunan sama sekali, maka pewaris mengangkat
anak laki-laki dari saudara kandungnya, karena anak angkat laki-laki dapat menjadi ahli waris orang
tua angkatnya. Oleh karena dapat dikatakan dalam keluarga tidak mempunyai keturunan laki-laki,
maka dapat dikatakan “putus keturunan” (Batak : punu,Lampung: mupus,Bali : putung).
Pada masyarakat Batak, apabila ada orang yang meninggal dunia tidak mempunyai keturunan anak
laki-laki, maka harta kekayaan memekar ke samping (secara kolateral). Hal seperti ini akan menjadi
punah apabila ia tidak mempunyai anak laki-laki. Istilah singkat untuk mewaris secara kolateral adalah
hak milik orang yang sudah meninggal dunia yang tidak mempunyai keturunan anak laki-laki,
diwariskan ke alur samping yang sejajar. Selain itu, ada juga pembagian untuk anak perempuan
walaupun berbeda dengan anak laki-laki, karena anak perempuan tidak mempunyai hak tertentu
dalam harta warisan orangtuanya. Jika anak perempuan dengan baik-baik meminta sebagian dari
warisan, maka kemungkinan akan diberikan kepada anak perempuannya, hal ini ahli waris laki-laki,
anak laki-laki dan/atau kolateral menyetujuinya. Hal ini disebabkan karena dalam hukum adat juga
mempunyai sifat-sifat kerukunan dan kebersamaan.13 Namun, adakalanya anak perempuan dalam
masyarakat Batak tidak mendapatkan harta warisan berupa harta peninggalan dari orang tuanya,
karena kedudukan perempuandinyatakan bukan sebagai ahli waris. Dengan demikian, yang berhak
mewaris seluruh harta peninggalan orang tua (bapak) adalah semua keturunan laki-laki. Apabila tidak
mempunyai anak laki-laki, maka harta peninggalan tersebut jatuh pada kerabatnya (laki-laki), akan
tetapi tidak menutup kemungkinan anak perempuan terkadang juga mendapat harta kekayaan dari
orang tuanya (bapaknya) melalui hibah dan hadiah, apabila orang tuanya tergolong mampu dan mau
memberi sebagian harta kekayaannya.
Pada masyarakat kekerabatan matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu,
dimana kedudukan anak perempuan lebih menonjol daripada anak laki-laki. Salah satu sistem
kekerabatan matrilineal, yaitu masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau dilator belakangi
dari bentuk perkawinannya, yaitu perkawinan “semendo” yang pada dasarnya merupakan
perkawinan bertandang yang mendatangkan laki-laki dari luar kerabatnya untuk tinggal di rumah
keluarga perempuan (istrinya), namun laki-laki atau suami tersebut tidak ikut masuk ke dalam
kekerabatan istrinya. Suami di dalam rumah kekerabatan istrinya tetap dianggap sebagai orang
semendo (orang pendatang atau orang lain), sehingga suami tersebut tidak memiliki kekuasaan penug
didalam rumah tersebut.
Berdasarkan sistem kekerabatan matrilineal, dalam hal kewarisan maka anak-anaknya baik laki-laki
maupun perempuan hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri berupa harta pusaka tinggi,
yaitu harta yang turun- temurun dari satu generasi. Jika yang meninggal dunia adalah seorang anak
laki-laki, maka anak-anaknya dan jandanya tidak menjadi ahli waris untuk harta pusaka tinggi, yang
menjadi ahli warisnya adalah seluruh kemenakannya.
Pada sistem kekerabatan yang bersistem parental atau bilateral yaitu sistem keturunan yang ditarik
menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan tidak
dibedakan. Dalam kekerabatan parental atau bilateral berlaku perkawinan bebas, dimana kedudukan
suami- istri sederajat dan seimbang. Sistem kekerabatan ini diikuti pada masyarakat Jawa, Aceh,
Kalimantan, Sunda dan lain sebagainya.
Kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan sebagai ahli waris yang berhak

sama atas harta warisan orang tuanya berlaku di masyarakat Jawa sebagaimana Putusan Landraad
Purworejo tanggal 19 Juli 1937 yang menyatakan, bahwa menurut adat di Jawa Tengah anak-anak,
baik laki-laki dan perempuan berhak atas harta peninggalan orang tuanya dengan pembagian yang
sama. . Kedudukan dan hak anak angkat dalam mewarisi
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga
sendiri, sehingga antara orang yang mengangkat anak dan anak yang diangkat itu timbul hubungan
hukum kekeluargaan yangsama seperti yang ada di antara orang tua dengan anak kandungnya
sendiri.15 Pendapat lain juga dikemukakan oleh Imam Sudiyat yang mengatakan bahwa pengangkatan
anak adalah suatu perbuatan hukum mengangkat seorang anak dari luar ke dalam kerabat sehingga
terjalin suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologisnya.16 Ter Haar
menyebutkan, bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak, bukannya sebagai orang asing.
Sepanjang perbuatan ambil anak (adopsi) telah menghapuskan perangainya sebagai “orang asing” dan
menjadikannya perangai “anak”, maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah
titik pangkalnya hukum adat. Namun, boleh jadi bahwa terhadap kerabatnya kedua orang tua yang
mengambil anak itu anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapat apa-apa dari barang asal
daripada bapak atau ibu angkatnya atas barang-barang mana kerabat-kerabat sendiri tetap
mempunyai haknya yang tertentu, namun ia mendapat barang-barang (semua) yang diperoleh dalam
perkawinan. Ambil anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan.
Dalam hukum waris adat, kedudukan anak angkat di beberapa daerah tidak sama, hal ini tergantung
pada sifat dari pada susunan kekeluargaan, yaitu patrilinial, matrilineal, dan parental atau bilateral.
Pengangkatan anak biasanya dilakukan sesuai dengan hukum adat yang hidup dan berkembang di
daerah yang bersangkutan, pada umumnya dengan mengadakan upacara adat atau upacara
selamatan. Dalam upacara selamatan pengangkatan anak, kepala desa mengumumkan terjadinya
pengangkatan anak yang kemudian disusul dengan upacara penyerahan anak yang diangkat oleh
orangtua kandungnya dan penerimaan oleh orang tua angkatnya, maka secara adat resmilah
pengangkatan anak tersebut.

Anda mungkin juga menyukai