Anda di halaman 1dari 13

HUKUM WARIS

MASYARAKAT ADAT BALI


-KELOMPOK 2-
Disusun dan dipresntasikan oleh :

Arthur Kusuma Atmaja Manurung (121010246)

Aninda Zilva Nanda (121010238)

Dewi Kartika (121010248)

Didi Rosadi (121010258)

Rangga Dwi Pahdiansyah (121010235)

Sandy Meidianto (121010241)

Saffinah Rezaro Khoerunisa (121010315)

Tegar Eka Prasetyawan (121010231)


PENDAHULUAN

 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian para ahli terhadap definisi hukum waris?


2. Bagaimana unsur-unsur waris dalam hukum waris masyarakat adat Bali?
3. Bagaimana system hukum kekerabatan pada masyarakat adat Bali?
4. Bagaimana cara anak perempuan pada masyarakat adat Bali untuk mendapatkan
hak waris?

 Tujuan Pembuatan Makalah

1. Menjelaskan pengertian para ahli terhadap definisi hukum waris.


2. Menjelaskan unsur-unsur waris dalam hukum waris masyarakat adat Bali
3. Menjelaskan system hukum kekerabatan pada masyarakat adat Bali.
4. Menjelaskan cara anak perempuan pada masyarakat adat Bali untuk
mendapatkan hak waris.
PENGERTIAN PARA AHLI
MENGENAI HUKUM WARIS
M. Idris Ramulyo

Himpunan aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan

seseorang yang mati meninggalkan harta peninggalan. Bagaimana kedudukan masing-masing ahli waris

serta bagaimana caranya perolehan masing-masing ahli waris secara adil dan sempurna

Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, SH

Warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada

waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup

Prof. Dr. R. Soepomo SH

Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengalihkan

barangbarang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu

generasi manusia (generatie) kepada turunannya


SISTEM KEKERABATAN
MASYARAKAT ADAT BALI
Dalam ruang lingkup system hukum waris adat memuat
tiga unsur pokok, yaitu :
Mengenai subyek hukum waris, yaitu siapa yang menjadi
pewaris dan siapa yang menjadi ahli waris;
Mengenai kapan suatu warisan itu dialihkan dan
bagaimana cara yang dilakukan dalam pengalihan harta
waris tersebut serta bagaimana bagian masing-masing
ahli waris;
Mengenai obyek hukum waris itu sendiri, yaitu tentang
harta apa saja yang dinamakan harta warisan, serta
apakah harta-harta tersebut semua dapat diwariskan
PRINSIP POKOK GARIS
KEKERABATAN
Menurut Hazairin, terdapat tiga prinsip pokok garis kekerabatan, antara lain

1. Patrilineal. Yang menimbulkan kesatuan-kesatuan kekeluargaan yang besar-besar, seperti

clan, marga, di mana setiap orang itu selalu menghubungkan dirinya hanya kepada ayahnya.

Oleh karena itu, termasuk ke dalam clan ayahnya, yakni dalam sistem patrilineal murni

seperti di tanah Batak.

2. Matrilineal. Yang juga menimbulkan kesatuan-kesatuan kekeluargaan yang besarbesar,

seperti clan, suku, di mana setiap orang itu selalu menghubungkan dirinya hanya kepada

maknya atau ibunya, dan karena itu termasuk ke dalam clan.

3. Bilateral/Parental. Yang mungkin menimbulkan kesatuan-kesatuan kekeluargaan yang

besar-besar, seperti tribe, rumpun, di mana setiap orang itu menghubungkan dirinya dalam

hal keturunan baik kepada maknya maupun kepada ayahnya.


PRINSIP POKOK PEWARISAN
Berikut merupakan sistem pokok pewarisan dalam sistem hukum waris masyarakat adat yaitu antara lain :

 Sistem Pewarisan Kolektif Sistem Pewarisan Kolektif yaitu sistem kewarisan di mana para ahli waris mewarisi harta
peninggalan pewaris secara bersama-sama (kolektif). Hal ini terjadi karena harta peninggalan yang diwarisi itu
merupakan harta turun temurun dan tidak dapat dibagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris.

 Sistem pewarisan mayorat Sistem pewarisan mayorat adalah sistem kewarisan dimana harta peninggalan pewaris
hanya diwarisi oleh seorang anak tertua, sama dengan pewarisan kolektif namun diwaris oleh anak tertua. Sistem
pewarisan mayorat ini dibagi atas dua bagian, yaitu :
 mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki laki tertua (keturunan laki-laki) yang waris tunggal dari si pewaris,
dengan catatan anak tersebut harus menghidupi orang tua dan adik-adiknya, misalnya pada masyarakat
Lampung dan Bali’
 mayorat perrempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua yang merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris,
dengan catatan anak tersebut harus menghidupi orang tua dan adik-adiknya, misalnya pada masyarakat suku
Semendo di Sumatera Selatan, suku Dayak Landak dan Suku Dayak Tayan di Kalimantan Barat (anak pangkalan).

 Sistem Pewarisan Individual Berdasarkan sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memilki harta warisan
menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat yang menganut sisten
kemasyarakatan parental atau bilateral seperti masyarakat Jawa.
UNSUR-UNSUR WARIS DALAM HUKUM
WARIS MASYARAKAT ADAT BALI
Adapun yang menjadi unsur-unsur pewarisan yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut :

 Pewaris

Paham ini tampaknya dilandasi pemikiran bahwa dalam sistem kekeluargaan purusa, ayah adalah kepala keluarga, pencari

nafkah dan pemilik harta keluarga yang diwarisi secara turun-temurun dari ayah-ayah sebelumnya. Dalam logika ini, harta

warisan diturunkan melalui garis laki-laki sehingga semua harta adalah milik laki-laki, sedangkan perempuan bukanlah

pemilik harta.

 Harta Warisan

1. Tetamian yang tidak dapat dibagi, ialah harta yang mempunyai nilai magis religius, seperti tempat persembahyangan
keluarga (sanggah/merajan), dan lain-lain.
2. Tetamian yang dapat dibagi, yaitu harta warisan yang tidak mempunyai nilai religius, seperti sawah, ladang, dan lain-
lain.
3. Tetatadan, yaitu harta yang dibawa dah masing-masing suami dan isteri ke dalam perkawinan, baik yang diperoreh atas
usahanya sendiri (sekaya), ataupun pemberian/hibah (jiwadana).
4. Pegunkaya (gunakaya), yaitu harta yang diperoleh oleh suami isteri selama perkawinan berlangsung. Menurut Peswara
Pewarisan Tahun 1900, harta warisan terjadi dari hasil bersih kekayaan pewaris setelah dipotongkan hutangnya
termasuk juga hutang-hutang yang dibuat untuk ongkos penyelenggaraan pengabenan pewaris.
 Ahli Waris

Ahli waris adalah orang yang menerima warisan. Mengenai ahli waris, dalam hukum adat dikenal adanya
penggolongan ahli waris berdasarkan garis pokok keutamaan dan garis pokok pengganti. Garis pokok keutamaan adalah
garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan di antara golongan-golongan keluarga pewaris dengan
pengertian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan dari golongan yang lain. Garis pokok pengganti adalah garis
hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa di antara kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris.
Dengan garis pokok keutamaan tadi, maka orang-orang yang mempunyai hubungan darah dibagi dalam golongan-
golongan, yaitu :

1. Kelompok keutamaan pertama adalah keturunan pewaris.

2. Kelompok keutamaan kedua adalah prang tua pewaris.

3. Kelompok keutamaan ketiga adalah saudara-saudara pewaris dan keturunannya.

4. Kelompok keutamaan keempat adalah kakek dan nenek pewaris, dan seterusnya.
AHLI WARIS MENURUT
HUKUM ADAT
Berikut merupakan ahli waris menurut hukum adat yaitu

 Anak. Hukum waris adat menempatkan empat anak yang mendapatkan tempat sebagai ahli waris yaitu :

1. Anak kandung Anak yang lahir dari perkawinan yang sah menurut ajaran agama dan kepercayaan serta sesuai
dengan apa yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Anak kandung
mempunyai hale mewaris paling sempurna dan merupakan ahli waris tingkat pertama.
2. Anak angkat Anak yang bukan dari keturunan suami isteri, tapi merupakan anak yang diambil, dipelihara,
dan diberlakukan oleh mereka yang mengangkat anak sebagai anak kandungnya sendiri, yang sebelumnya
melalui upacara pengangkutan anak (upacara meperas).
3. Anak tiri Anak yang lahir bukan dari hasil perkawinan suami isteri yang bersangkutan, tetapi merupakan anak
bawaan dari salah satu pihak dari perkawinannya terdahulu.
4. Anak luar nikah Anak yang lahir diluar ikatan perkawinan yang sahnya ini hanya menjadi ahli waris dalam
kekerabatan pihak ibu.

 Janda Kedudukan janda dalam hukum waris adat terhadap peninggalan suaminya terdapat perbedaan dengan

anak-anaknya, yaitu kalau dilihat dari tali kekeluargaan yang semata-mata didasarkan atas persamaan darah,
maka sudah jelas sekali bahwa seorang janda itu tidak mungkin menjadi ahli waris dari suaminya.

 Saudara pewaris Jika keturunan pewaris tidak ada, sedangkan orang tua si pewaris tidak ada pula, maka

saudara pewarislah yang berhak untuk menggantikan sebagai ahli waris


KEWAJIBAN AHLI WARIS TERHADAP
PEWARIS
Konsekwensi dari hak yang diterima, seorang ahli waris mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu, yaitu :

 Memelihara pewaris ketika pewaris dalam keadaan tidak mampu dalam melakukan kegiatannya sehari-hari.

 Menguburkan jenasah pewaris dan atau menyelenggarakan pengabenan (upacara pembakaran jenasah) bagi pewaris
dan menyemayamkan arwahnya di sanggah/merajan (tempat persembahyangan keluarga).

 Menyembah arwah leluhur yang bersemayam di sanggah/merajan.

 Melaksanakan kewajiban-kewajiban (ayahan) terhadap banjar/desa

Kelalaian terhadap kewajiban-kewajiban di atas dapat dijadikan alasan untuk memecat kedudukan seseorang sebagai ahli
waris. Seorang ahli waris terputus haknya ma harts warisan antara lain disebabkan :

 Anak laki-laki kawin nyeburin.

 Anak laki-laki yang tidak melaksanak n dharmaning anak, misalnya durhaka terhadap leluhur, dan durhaka terhadap
orang tua.

 Sentana rajeg yang kawin keluar


PEREMPUAN DAPAT MENDAPATKAN
HAK WARIS ADAT BALI
Anak perempuan sebagai penerima waris. Sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa hukum adat mengenal
adanya perubahan-perubahan status dari perempuan menjadi laki-laki. Dengan adanya perubahan status tersebut maka
perempuan dalam perkawinannya ia berstatus sebagai suami. Perempuan yang demikian disebut perkawinan kaceburin dan
perempuan yang berubah status tersebut disebut dengan Sentana Rajeg.

 Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tanggal 19 Juli 1961 Nomor 81/ptd/1976/pdt, dan putusan Pengadilan Tinggi
Denpasar tanggal 18 Agustus1970 Nomor 2/PTD//1979/pdt, yang berbunyi “Anak angkat (sentana) menurut Hukum
Adat Bali adalah ahli waris dari orang tua angkatnya.”

 Keputusan Mahkamah Agung Nomor 100/Sip/1967, tanggal 14 Juni 1968, menyatakan bahwa “Karena mengingat
pertumbuhan masyarakat dewasa ini yang menuju kearah persamaan kedudukan antara pria dan wanita dan penetapan
janda sebagai ahli waris telah merupakan Yurisprudensi yang dianut oleh mahkamah Agung”

 Selanjutnya dari hasil-hasil diskusi hukum adat waris Bali, dinyatakan bahwa : ”Anak perempuan menurut hukum adat
waris Bali bukanlah ahli waris, akan tetapi berhak atas bagian harta warisan selama tidak terputus haknya tersebut yang
besarnya 1 : 2 dengan bagian warisan anak laki-laki”.

 Kitab agama Pasal 263 disebutkan : “Apabila saat masih hidup sorang laki-laki memberikan barang kepada bininya atau
kepada anaknya serta sudah diberitahukan dengan terang kepada anak-anaknya dan bininya yang lain, maka pemberian
jiwa dana namanya. Maka anak-anak yang lain tiada boleh menuntut jiwa dana itu melainkan yang mendapakannya
tetap berkuasa atas kekayaan itu.”
KESIMPULAN
Pertimbangan hukum menurut hukum adat bali yang berhak mewaris sebagai ahli waris adalah hanya keturunan laki-laki

dari keluarga laki-laki dan anak angkat laki-laki. Tolak ukur keadilan dalam pemberian pewarisan ini dirasa sangatlah adil.

Masalah waris diakui oleh beberapa pihak sebagai salah satu bagian dari hukum adat di Bali yang paling sukar, karena

adanya kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dalam masyarakat Bali. Sampai saat ini bangsa Indonesia belum mempunyai

hukum waris yang berlaku secara nasional, walaupun usaha-usaha kearah itu sudah lama dilakukan, seperti diamanatkan

oleh TAP MPRS Nomor II Tahun 1960. Dalam angka 402 huruf c sub 2 Ketetapan MPRS tersebut dinyatakan perlunya

perundang-undangan mengenai hukum warisan yang didasarkan prinsip-prinsip kewarisan parental/bilateral.

Kesulitan utama bagi terbentuknya hukum waris nasional adalah karena kemajemukan kondisi aerial budaya masyarakat

Indonesia, seperti tampak dari beragamnya sistem kekeluargaan yang dianut dalam masyarakat Indonesia. Dengan tidak

adanya hukum waris yang berlaku secara nasional, maka hukum waris yang berlaku bagi orang Bali adalah Hukum Adat

Bali. Idiologi yang digunakan dalam putusan MA ini adalah ideologi persamaan dalam hukum. Ideologi ini merupakan

asas dalam hukum yang dikenal dengan equality before the law. Asas equality before the law merupakan asas yang penting

dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa membeda-bedakan status

ataupun yang lainnya, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum. Jadi, setiap orang

mempunyai kedudukan yang sama didepan hukum.

Anda mungkin juga menyukai