Anda di halaman 1dari 17

Pembagian Harta Warisan dalam

Masyarakat Adat Jawa

0
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang
bertempat tinggal di pedesaan yang masih memegang tradisi lokal yang
kuat. Setiap anggota masyarakat di pedesaan pada umumnya sangat
menghormati adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang secara
turun temurun. Bahkan adat istiadat merupakan dasar utama hubungan
antar personal atau kelompok.
Adat-istiadat atau kebiasaan masyarakat tersebut kemudian
berkembang menjadi hukum adat dimana harus dipatuhi oleh segenap
anggota masyarakat. Hukum adat dalam masyarakat adat, masih
dianggap sebagai aturan hidup untuk mencapai kedamaian dalam
masyarakat. Akan tetapi, sebagai hukum yang hidup (living law), hukum
adat tidak selamanya memberi rasa adil kepada masyarakatnya. Hal itu
dikarenakan, pemberlakuan hukum adat dipaksakan oleh penguasa adat
dan kelompok sosialnya.
Terlepas dari berbagai teori tersebut, adat istiadat yang kemudian
menjadi hukum adat, bukanlah suatu regulasi yang tertulis seperti halnya
undang-undang. Akan tetapi, hukum tersebut tidak pernah tertulis,
meskipun memang ada beberapa hukum adat yang sudah tertulis, dan
hidup ditengah-tengah masyarakat sebagai kaidah atau norma. Sebagai
contoh adalah hukum waris adat.
Waris yang merupakan sarana untuk melanjutkan suatu
kepemilikan harta benda, merupakan salah satu bentuk hukum adat yang
sampai sekarang masih dipegang teguh, terutama oleh masyarakat
pedesaan. Mereka lebih memilih menyelesaikan perkara waris
menggunakan hukum adat daripada hukum konvensional, karena

1
menganggap hukum waris adat lebih bisa memberikan keadilan bagi ahli
waris.
Dalam makalah ini penulis secara khusus akan memaparkan
tentang sistem kewarisan masyarakat adat yang berlaku di Jawa.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan demi
memudahkan pembahasannya, maka penulis membatasi masalah. Yaitu,
Bagaimana proses pewarisan dalam masyarakat adat Jawa?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini untuk Menjelaskan proses pewarisan
dalam masyarakat adat Jawa.

2
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARISAN
MASYARAKAT ADAT JAWA

A. Pengertian Waris Adat


Penggunaan istilah waris adat ini adalah untuk membedakan
dengan istilah hukum waris barat, hukum waris Islam, dan hukum waris
Indonesia. Karena substansi pembahasan dari ketiga istilah tersebut
sangat berbeda meski dalam satu bidang yang sama.
Istilah waris sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang kemudian
diadopsi langsung ke dalam bahasa Indonesia. Hukum waris adat
merupakan hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang
sistem dan asas-asas hukum waris, harta waris, pewaris, dan ahli waris
serta prosedur bagaimana harta waris tersebut dialihkan pemilikan dan
penguasaannya dari pewaris kepada ahli waris.
Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum
yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dari generasi ke generasi.
Sedangkan menurut Soepomo, hukum adat waris memuat
beberapa aturan yang mengatur proses penerusan serta pengoperan
barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud
benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.
Dari beberapa pengertian tersebut kiranya dapat diambil
kesimpulan bahwa hukum waris adat adalah serangkaian kaidah yang
mengatur tata cara peralihan dan penerusan harta baik yang berupa
benda berwujud maupun benda yang tidak berwujud dari pewaris
kepada ahli warisnya.
Selain itu, dari berbagai term pengertian diatas, dapat disimpulkan
pula bahwa hukum waris adat memuat tiga unsur pokok, yaitu: pertama,
mengenai subyek hukum waris, yaitu siapa yang menjadi pewaris dan

3
siapa yang menjadi ahli waris. Kedua, mengenai kapan suatu warisan itu
dialihkan dan bagaimana cara yang dilakukan dalam pengalihan harta
waris tersebut, serta bagaimana bagian masing-masing ahli waris. Ketiga,
mengenai obyek hukum waris itu sendiri, yaitu tentang harta apa saja
yang dinamakan harta warisan serta apakah harta-harta tersebut semua
dapat diwariskan.

B. Sistem Kekerabatan Masyarakat adat Jawa

Mengetahui sistem kekerabatan dalam hal kewarisan merupakan


sesuatu yang sangat urgen. Karena pembagian warisan dalam masyarakat
adat sangat bergantung pada sistem kekerabatan ini. Dan agaknya tidak
berlebihan jika Hazairin mengatakan bahwa dari seluruh hukum yang
ada, maka hukum perkawinan dan kewarisan lah yang menentukan dan
mencerminkan sistem kekerabatan yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Di dalam masyarakat Indonesia secara teoritis sistem kekerabatan
dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sistem patrilineal, matrilineal,
dan parental atau bilateral.
Sistem patrilineal merupakan sistem kekerabatan yang ditarik
menurut garis bapak, maksudnya dalam hal ini setiap orang hanya
menarik garis keturunannya kepada ayahnya saja. Hal ini mengakibatkan
kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari pada wanita dalam
pewarisan. Sistem ini di anut oleh masyarakat Gayo, Alas, Batak, Nias,
Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, dan Irian.
Sistem matrilineal adalah sistem kekerabatan yang ditarik menurut
garis ibu, sehingga dalam hal kewarisan kedudukan wanita lebih
menonjol pengaruhnya dari pada pria. Sistem kekerabatan ini dianut oleh
masyarakat Minangkabau, Enggano, dan Timor.
Sedangkan masyarakat Jawa, seperti halnya masyarakat Aceh,
Sumatra Timur, Sumatra Selatan, Riau, Kalimantan, seluruh Sulawesi,

4
Madura, Ternate, dan Lombok menganut sistem kekerabatan parental
atau bilateral. Sistem ini ditarik dari dua garis keturunan yaitu keturunan
bapak dan ibu. Sehingga memberikan implikasi bahwa kedudukan laki-
laki dan perempuan dalam hal waris adalah seimbang dan sama.
Dengan tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan,
maka masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang terbuka. Artinya,
suami secara otomatis telah menjadi bagian keluarga perempuan dan
sebaliknya perempuan menjadi keluarga pihak laki-laki, sehingga dengan
keadaan tersebut dimungkinkan akan menimbulkan kesatuan-kesatuan
keluarga yang besar seperti tribe dan rumpun.

C. Asas Pewarisan Masyarakat Adat Jawa


Secara umum, asas pewarisan yang dipakai dalam masyarakat adat
tergantung dari jenis sistem kekerabatan yang dianut. Namun, menurut
Hazairin, hal itu bukan suatu hal yang paten. Artinya, asas tersebut tidak
pasti menunjukkan bentuk masyarakat dimana hukum warisan itu
berlaku. Seperti misalnya, asas individual tidak hanya ditemukan pada
masyarakat yang menganut asas bilateral, tetapi juga bisa ditemukan pada
masyarakat yang menganut asas patrilineal. Seperti misalnya, masyarakat
Batak yang notabene menganut sistem kekerabatan patrilineal dalam asas
pewarisannya menganut asas individual seperti masyarakat Jawa dan
Sulawesi.
Masyarakat Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan
matrilineal, dalam asas pewarisannya menganut asas kolektif, yaitu para
ahli waris secara kolektif (bersama-sama) mewarisi harta peninggalan
yang tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada ahli waris masing-
masing. Setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan,
dan mendapatkan hasil dari harta peninggalan tersebut berdasarkan
musyawarah mufakat di antara para ahli warisnya.

5
Selain itu, masih ada lagi asas mayorat yang dibagi menjadi
mayorat laki-laki dan perempuan. Asas mayorat ini sebenarnya sama
dengan asas kolektif. Bedanya adalah bahwa penerusan harta waris
diserahkan kepada anak laki-laki atau perempuan yang paling tua. Hal ini
mengandung konsekuensi bahwa anak tertua tersebut harus
menggantikan ayah yang meninggal dalam memelihara, memberi nafkah,
menyekolahkan, mendidik saudara-saudaranya dan dalam segala hal
bertindak atas nama ayahnya.
Sedangkan pada masyarakat adat Jawa, seperti yang sedikit telah
dijelaskan di muka, menganut asas individual karena pada sistem
kekerabatannya menganut sistem parental atau bilateral. Sistem ini
mengharuskan setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat
menguasai dan memiliki haknya masing-masing.
Faktor yang menyebabkan perlu dilaksanakan pembagian warisan
secara individual adalah dikarenakan tidak ada lagi keinginan untuk
memiliki harta waris tersebut secara kolektif. Hal itu disebabkan para ahli
waris tidak lagi pada satu rumah kerabat atau rumah orang tuanya serta
telah tersebar sendiri-sendiri mengikuti para istri atau suaminya (mencar).
Kebaikan dari sistem individual ini adalah bahwa para ahli waris
yang telah memiliki secara pribadi dapat dengan leluasa untuk menguasai
dan mengembangkan harta tersebut sebagai bekal kehidupannya yang
selanjutnya tanpa dipengaruhi oleh saudara yang lain.
Namun, sistem ini juga meninggalkan celah yang negatif.
Kelemahan dari sistem ini adalah bahwa pecahnya harta warisan dan
merenggangnya tali kekerabatan dapat mengakibatkan timbulnya hasrat
untuk menguasai harta secara pribadi dan mementingkan diri sendiri.
Pada perkembangan selanjutnya, hal ini bisa mengakibatkan perselisihan-
perselisihan antara ahli waris itu sendiri.

D. Harta Waris dalam Masyarakat Adat Jawa

6
Berbicara mengenai harta waris berarti membahas tentang obyek
dari hukum waris itu sendiri, yaitu harta-harta yang bisa diwariskan.
Secara umum, harta warisan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Harta pusaka, yaitu suatu benda yang tergolong kekayaan di mana
benda tersebut mempunyai kekuatan magis.
2. Harta bawaan, yaitu sejumlah harta kekayaan yang dibawa oleh
(calon) istri atau suami pada saat pelaksanaan perkawinan.
3. Harta pencaharian, yaitu harta yang diperoleh oleh suami-istri dalam
ikatan perkawinan, baik secara bersama-sama maupun sendiri-
sendiri.
4. Harta yang berasal dari pemberian seseorang kepada suami atau istri
maupun kedua-duanya.
Pada masyarakat adat Jawa harta waris diklasifikan menjadi dua
macam, yang mana kedua macam harta warisan yang akan dijelaskan
kemudian dirasa telah merepresentasikan keempat klasifikasi harta waris
di atas. Adapun harta-harta yang menjadi harta waris pada masyarakat
adat Jawa adalah:
a. Gawan (Harta Bawaan)
Harta ini merupakan harta asal yang dibawa oleh suami atau istri
pada saat akan melaksanakan perkawinan. Termasuk ke dalam
pengertian harta bawaan, harta bawaan lain yang berasal dari hasil usaha
sendiri (harta penghasilan), harta pemberian atau hibah wasiat, baik yang
diterima dari kerabat atau orang lain sebelum atau selama perkawinan.
Apabila dalam perjalanan perkawinan seseorang terjadi perceraian,
maka harta bawaan tersebut kembali kepada masing-masing pihak suami
dan istri. Seperti yang dinyatakan oleh orang Jawa, “tetep dadi duwekke
dewe-dewe, bali menyang asale.” Kecuali dalam perkawinan antara istri
rendah (miskin) dengan suami tinggi (kaya) atau yang disebut dengan

7
manggih koyo, maka semua harta menjadi milik suami dan dikuasai oleh
suami.
b. Gono-gini (Harta Bersama)
Harta ini merupakan harta yang diperoleh selama dalam ikatan
perkawinan, yang diperoleh dalam usaha bersama-sama. Di Jawa, harta
gono-gini itu adalah “sraya ne wong loro lan duwekke wong loro”.
Namun, hal itu agak berbeda dengan putusan Mahkamah Agung
tanggal 7 September 1956 No. 51/K/Sip/1956 yang menyatakan bahwa,
menurut hukum adat semua harta yang diperoleh selama
berlangsungnya perkawinan, termasuk dalam gono-gini, meskipun hasil
kegiatan suami sendiri.
Kedua jenis harta diatas, pada dasarnya belum menjadi harta
waris. Akan tetapi, harta tersebut masih bersifat harta peninggalan. Oleh
karena itu harus dikurangi terlebih dahulu dengan hutang si pewaris. Sisa
setelah dikurangi hutang itulah yang kemudian menjadi harta waris dan
dibagi-bagi.

E. Ahli Waris dan Bagiannya


Pada dasarnya yang menjadi ahli waris adalah para warga pada
generasi berikutnya yang paling karib dengan pewaris atau disebut
dengan ahli waris utama, yaitu anak-anak yang dibesarkan dalam
keluarga/brayat si pewaris dan yang pertama mewaris adalah anak
kandung.
Menurut adat tradisional Jawa, semua anak baik laki-laki maupun
perempuan, lahir lebih dahulu atau belakangan, mempunyai hak sama
atas harta peninggalan orang tuanya. Namun, di beberapa daerah
terutama di Jawa Tengah, berlaku sistem sepikul segendong di mana anak
laki-laki mendapat bagian dua kali lipat lebih banyak dari pada bagian
anak perempuan.

8
Jika pewaris tidak mempunyai anak sama sekali, tidak pula
mempunyai anak pupon atau anak angkat dari anak saudara atau dari anak
orang lain, maka harta akan diwarisi berturut-turut oleh, pertama, orang
tua, bapak atau ibu pewaris, dan apabila tidak ada baru saudara-saudara
kandung pewaris atau keturunannya, dan jika ini tidak ada pula barulah
kakek atau nenek pewaris. Dan apabila kakek/nenek pewaris juga tidak
ada maka diberikan kepada paman atau bibi baik dari garis ayah maupun
dari garis ibu pewaris. Jika sampai tingkat ini tidak ada, maka akan
diwarisi oleh anggota keluarga lainnya.
Mengenai anak angkat, dia mendapatkan waris dengan sistem
ngangsu sumur loro, artinya mempunyai dua sumber warisan, yaitu dari
orang tua angkat dan dari orang tua kandungnya sendiri. Meskipun
begitu, seorang anak angkat dalam memperoleh wasiat tidak boleh
melebihi dari anak kandung jika masih ada.
Sedangkan mengenai kedudukan janda atau duda dalam sistem
kekerabatan bilateral atau parental masih sedikit menimbulkan masalah.
Hal itu berkisar tentang apakah ia dapat mewarisi suami yang wafat
ataukah hanya berhak menikmati warisan itu saja.
Pada asasnya menurut hukum adat Jawa, janda atau duda bukan
ahli waris dari suami atau istri yang meninggal. Akan tetapi, mereka
berhak mendapatkan bagian dari harta peninggalan suami atau istri
bersama-sama dengan ahli waris lain atau menahan pembagian harta
peninggalan itu bagi biaya hidup seterusnya. Namun, hukum yang
menyatakan janda bukan ahli waris suaminya, hanya ada sebelum
kemerdekaan. Sedangkan setelah kemerdekaan, janda merupakan ahli
waris dari suaminya.
Ada banyak yurisprudensi yang menyatakan bahwa janda adalah
ahli waris suaminya. Diantaranya adalah keputusan Mahkamah Agung
tanggal 25 Februari 1959 No. 387 K/Sip/1958 yang menyatakan bahwa
menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah seorang janda

9
mendapat separoh dari harta gono-gini. Selain itu juga keputusan MA
tanggal 29 Oktober 1958 No. 298 K/Sip/1958 menyatakan bahwa menurut
hukum adat yang berlaku di pulau Jawa apabila dalam suatu perkawinan
tidak dilahirkan seorang anak pun, maka janda dapat tetap menguasai
barang-barang gono-gini sampai ia meninggal atau kawin lagi.
Selain itu menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Wirjono di
Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur pada tahun 1937 (T. 149-148)
berkesimpulan bahwa janda perempuan mendapat bagian yang sama
dengan bagian anak keturunan pewaris.

10
BAB III
PROSES PEWARISAN
DALAM MASYARAKAT ADAT JAWA

Proses pewarisan yang dimaksud pada bab ini merupakan suatu


cara bagaimana seorang pewaris berbuat untuk meneruskan atau
mengalihkan harta kekayaan yang akan ditinggalkannya kepada para ahli
waris ketika pewaris masih hidup serta bagaimana cara warisan tersebut
diteruskan penguasaan dan pemakaiannya. Selain itu juga tentang
bagimana pelaksanaan pembagian warisan kepada para ahli waris setelah
pewaris wafat.
Dan memang, dalam masyarakat adat, tak terkecuali masyarakat
Jawa, proses pewarisan terbagi dua, yaitu proses pewarisan sebelum
pewaris meninggal dan setelah pewaris meninggal. Proses pewarisan
pada saat pewaris masih hidup pada masyarakat Jawa dapat
dilaksanakan dengan cara lintiran (penerusan atau pengalihan), cungan
(penunjukan), atau dengan cara weling atau wekas (berpesan, berwasiat).
Pada bab ini yang akan lebih banyak dibahas adalah mengenai
proses pewarisan ketika pewaris masih hidup, sedangkan pewarisan
setelah pewaris wafat tidak akan banyak dibahas karena banyak
kesamaan dengan hukum konvensional.

A. Pewarisan Sebelum Pewaris Meninggal


Seperti telah disinggung di muka, proses pewarisan sebelum
pewaris meninggal ada berbagai jenis yang masing-masing berbeda
namun secara substansi tetap sama. Adapun lebih rinci akan dijelaskan
sebagai berikut.

1. Penerusan atau Pengalihan (Lintiran)

11
Ketika pewaris masih hidup, adakalanya telah melakukan
penerusan atau pengalihan kedudukan atau jabatan adat, hak dan
kewajiban dan harta kekayaan kepada ahli waris. Akibat dari penerusan
atau pengalihan ini adalah harta pewaris berpindah pemilikan dan
penguasaannya kepada ahli waris sejak penerusan atu pengalihan
diucapkan.
Termasuk dalam arti penerusan atau pengalihan harta kekayaan
pada saat pewaris masih hidup adalah diberikannya harta kekayaan
tertentu sebagai dasar kebendaan sebagai bekal untuk melanjutkan hidup
bagi anak-anak yang akan kawin mendirikan rumah tangga baru, atau
dalam istilah Jawa disebut mencar atau mentas.
Biasanya anak laki-laki atau perempuan yang akan kawin dibekali
tanah pertanian, pekarangan dengan rumahnya atau ternak. Benda-benda
tersebut merupakan bagiannya dalam harta keluarga yang akan
diperhitungkan pada pembagian harta waris sesudah orang tuanya
meninggal.
Selain untuk anak kandung, penerusan atau pengalihan ini juga
biasa diberikan kepada anak angkat, karena telah banyak mengabdi,
memberikan jasa-jasa baiknya untuk kehidupan rumah tangga. Pewarisan
secara penerusan ini dilakukan karena adanya kekhawatiran dari pewaris
kalau anak angkat tersebut tersingkir oleh anak kandungnya apabila
pembagiannya dilakukan setelah wafatnya.
Sebagai contoh pewarisan dengan cara penerusan adalah keluarga
yang terdiri dari dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Karena
anak laki-laki tertua telah dewasa dan dan kuat gawe, maka ayahnya
memberikan sebidang tanah. Anak kedua, perempuan, pada saat
dinikahkan ia diberi sebuah rumah.

2. Penunjukan (Cungan)

12
Berbeda dengan penerusan atau pengalihan, pewarisan secara
penunjukan oleh pewaris kepada ahli warisnya membawa akibat hukum,
yaitu berpindahnya hak pemilikan dan pengusaan harta baru berlaku
sepenuhnya kepada ahli waris setelah pewaris meninggal. Adapun
sebelum pewaris meninggal, pewaris masih berhak dan berwenang
menguasai harta yang ditunjukkan itu, tetapi pengurusan dan
pemanfaatan, serta penikmatan hasilnya sudah ada pada ahli waris yang
ditunjuk.
Kemudian apabila dalam keadaan yang mendesak disebabkan
adanya kebutuhan mendadak yang harus diselesaikan, pewaris masih
bisa merubah maksudnya tersebut. Atau dengan kata lain, pewaris masih
bisa menarik kembali atau mentransaksikan harta tersebut kepada orang
lain. Dan tentunya hal itu harus ada musyawarah dengan ahli waris yang
sudah ditunjuk.
Penunjukan tersebut bukan hanya berlaku untuk barang-barang
bergerak saja, tetapi juga berlaku pada barang-barang yang tidak bergerak
seperti tanah lading, sawah, atau kebun. Pada masyarakat Jawa hal itu
lebih dikenal dengan istilah garisan, karena pewaris menunjuk garis batas
tanah yang diberikan kepada ahli waris. Sebagai contoh, misalnya
pewaris menyatakan, tanah dari pohon aren sampai pohon nangka itu
adalah untuk si A, sedangkan dari pohon nangka sampai tepi sungai
adalah untuk si B.
Dikalangan orang Jawa, adakalanya setelah bidang-bidang tanah
pertanian ditunjukkan atau diteruskan pengusaannya kepada anak lelaki
atau perempuan yang telah mencar (berpisah) dan hidup mandiri
diharuskan memberi punjungan. Cara itu berlaku juga meskipun telah
diteruskan atau dioperkan. Sebagian dari tanah itu masih ada yang
dikuasai dan dikerjakan oleh orang tua untuk kepentingan orang tua.
Baru setelah orang tua wafat, akan sepenuhnya menjadi milik ahli waris.

13
3. Pesan atau Wasiat (Welingan, Wekasan)
Pesan (welingan) ini biasanya dilakukan pada saat pewaris sakit
yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya, atau ketika akan bepergian
jauh seperti naik haji. Cara ini baru berlaku setelah pewaris tidak pulang
atau benar-benar meninggal. Jika pewaris masih pulang atau belum
meninggal, pesan ini bisa dicabut kembali.
Tujuan dilakukan pewarisan secara welingan ini pada dasarnya
adalah untuk mewajibkan kepada para ahli waris untuk membagi-bagi
harta warisan dengan cara yang layak menurut anggapan pewaris. Selain
itu juga supaya tidak terjadi perselisihan. Dan tujuan ketiga, pewaris
menyatakan secara mengikat sifat-sifat barang/harta yang
ditingggalkannya.

B. Pewarisan Setelah Pewaris Meninggal


Secara umum pewarisan setelah pewaris meninggal dunia sama
dengan pewarisan pada hukum konvensional. Pada masyarakat adat Jawa
yang sistem kekerabatannnya parental atau bilateral dan menganut asas
pewarisan individual, maka harta warisan tidak dikuasai oleh anggota
keluarga tertentu atau tetua adat, tetapi dibagi kepada para ahli waris
yang ada.
Adapun yang lebih menonjol pada pewarisan setelah pewaris
meninggal adalah mengenai bagaimana cara pembagian warisan tersebut
kepada ahli warisnya, dan kapan waktu pembagiannya.

C. Pembagian Warisan
Pada sub bab ini akan banyak diterangkan mengenai waktu
pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal dan juga bagaimana
cara pembagiannya.

1. Waktu Pembagian dan Juru Bagi

14
Pada umumnya hukum adat tidak mengatur secara baku kapan
waktu pembagian warisan harus dilakukan. Begitu juga mengenai juru
bagi juga tidak ada ketentuan.
Pada masyarakat Jawa pembagian warisan tersebut dapat
dilaksanakan setelah slametan (selamatan). Selamatan itu sendiri ada
berbagai macam dan dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu setelah
meninggalnya seseorang. Misalnya, mitung dino (setelah tujuh hari pasca
meninggalnya seseorang), matang puluh (setelah 40 hari), nyatus (setelah
seratus hari), dan nyewu (setelah seribu hari).
Namun, kebanyakan pembagian warisan dilaksanakan pada waktu
nyewu atau dengan istilah lain nemu tahun wafat, yaitu pada hari ulang
tahun meninggalnya pewaris. Karena pada hari itu diharapkan semua
anggota keluarga dan ahli waris berkumpul di tempat pewaris almarhum.
Dengan demikian, ketika semua pewaris telah berkumpul akan lebih
memudahkan pembagian harta waris dan sosialisainya kepada seluruh
anggota keluarga.
Adapun mengenai juru bagi juga tidak ada ketentuan pasti. Akan
tetapi, yang dapat menjadi juru bagi adalah sebagai berikut:
a. Orang tua yang masih hidup (janda atau duda pewaris),
b. Anak tertua lelaki atau perempuan,
c. Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur, adil, dan bijaksana,
d. Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat atau pemuka
agama yang diminta, ditunjuk atau dipilih oleh para ahli waris.

2. Cara Pembagian
Hukum adat dalam tata cara pembagian warisan tidak lah
mengenal pembagian secara matematis. Tetapi pembagian pada
masyarakat adat selalu didasarkan atas pertimbangan wujud benda dan
kebutuhan ahli waris yang bersangkutan. Jadi meskipun dikenal adanya
persamaan hak dan keseimbangan, tidak berarti setiap ahli waris

15
mendapatkan bagian yang sama, dengan nilai harga yang sama atau
menurut banyaknya bagian tertentu.
Pada masyarakat adat Jawa mengenal dua cara pembagian harta
warisan, yaitu dengan cara segendong sepikul, dimana pada cara
pembagian ini bagian anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan.
Kedua, dengan cara dundum kupat, dimana bagian anak laki-laki dan
perempuan sama dan seimbang.
Sebagai contoh pembagian waris secara berimbang antara laki-laki
dan perempuan adalah sebagai berikut:
”Setroidjojo bertempat tinggal di kelurahan Tandjunghardjo,
Kapanewon Nanggulan, Kabupaten Kulon-Progo, meninggal dunia
dengan meninggalkan seorang anak lelaki dan dua orang anak
perempuan. Ketiga anak tersebut telah kawin. Setahun kemudian
anak lelaki yaitu Setrowagijo meninggal dunia dengan
meninggalkan seorang istri dan seorang anak perempuan. Warisan
yang berwujud tanah pekarangan seluas 1000 m 2 dan 2000 m2 dari
Setrodidjojo dibagi tiga. Harta lain sudah tidak ada karena telah
dipakai untuk membiayai penguburan dan selamatan. Pemabagian
itu adalah seperti berikut: 1) Anak perempuan tertua tanah
pekarangan tabon (pekarangan tempat rumah orang tua berdiri
1000 m2 seharga Rp 1000,-), 2) Anak perempuan kedua tanah
pekarangan 1000 m2 seharga Rp 1000,- dan 3) Tjutju, anak dari anak
laki-laki tanah pekarangan 1000 m2 berharga Rp 800,-“

16

Anda mungkin juga menyukai