ISLAM
Dosen Pembina :
Dr. Teuku Saiful, SH,. M.Hum
Oleh :
FATHYA SALSABILA (2003101010155)
MATA KULIAH HUKUM WARIS KELAS F
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, dan
hidayah- Nya yang senantiasa diberikan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas resum makalah yang berjudul "Sistem Kewarisan Adat dan Sistem Kewarisan Islam"
dengan tepat waktu dan sebaik - baiknya.
Resume Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Waris kelas F.
Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan para mahasiswa dan pembaca lainnya
untuk mengetahui bagaimana sistematika kewarisan secara adat dan kewarisan dalam Islam.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Teuku Saiful, SH,. M.Hum selaku dosen
Mata Kuliah Hukum Waris Kelas F. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca supaya menjadi
masukan untuk tugas selanjutnya agar dapat lebih baik lagi. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat untuk semuanya, terutama untuk para pembaca.
Penyusun,
Jadi warisan menurut Wirjono adalah cara penyelesaian hubungan hukum dalam
masyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya
seorang manusia, di mana manusia yang wafat itu meninggalkan harta kekayaan. Istilah
warisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan bendanya. Kemudian cara
penyelesaian itu sebagai akibat dari kematian seseorang.
Lebih lanjut, dalam hukum waris adat, dikenal pula adanya tiga sistem
kewarisan adat, yakni :
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang mengenai sistem kewarisan di atas, maka dapat di
ambil rumusan masalah sebagai berikut :
C. Tujuan Masalah
Berdasarkan uraian rumusan masalah mengenai sistem kewarisan di atas, maka dapat di
ambil tujuan masalah sebagai berikut :
Sistem kewarisan individual adalah sistem kewarisan di mana para ahli waris
mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan memiliki harta warisan secara
perorangan. Lebih lanjut, diterangkan bahwa sistem kewarisan adat ini umumnya terdapat
pada masyarakat hukum adat yang menganut sistem kekerabatan secara parental atau
bilateral. Hilman Hadikusuma dalam Hukum Kekerabatan Adat, menerangkan bahwa
sistem kewarisan ini dipengaruhi oleh tiap – tiap keluarga yang telah hidup sendiri dan
bertanggung jawab kepada keluarganya yang utama, seperti halnya masyarakat adat Jawa.
Ciri Sistem Kewarisan Individual, ialah bahwa harta peninggalan itu terbagi-bagi
pemilikannya kepada para waris, sebagaimana berlaku menurut KUH Perdata (Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata), dan Hukum Islam, begitu pula berlaku di lingkungan
masyarakat adat.
Sistem kewarisan kolektif adalah sistem kewarisan di mana para ahli waris
dapat mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi secara bersama-sama.
Diterangkan Djaren Saragih dalam Hukum Adat Indonesia, dalam sistem pewarisan ini,
harta peninggalan dianggap sebagai keseluruhan yang tidak dapat terbagi dan dimiliki
bersama-sama oleh para ahli waris, seperti halnya pada masyarakat Minangkabau dan
Ambon. Adapun contoh harta bersama-sama yang tidak dapat dibagi adalah harta pusaka.
Surwansyah (dalam Sutrisno, 2020: 27) menerangkan jika sistem ini sama
halnya dengan sistem kewarisan adat kolektif. Namun, berdanya, hak penerusan diberikan
kepada anak yang tertua. Perlu dicatat bahwa dalam sistem kewarisan adat ini, anak
pertama ini bukanlah pemilik perseorangan, melainkan berperan sebagai pemegang
mandat.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi di dalam pembagian harta warisan, yaitu :
Tentang pewaris dan ahli waris telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pewaris tercantum dalam Pasal 171 huruf b: “Pewaris adalah orang yang pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan
beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.”. Terjadinya pewarisan
disyaratkan untuk pewaris adalah telah meninggal dunia, baik secara hakiki maupun hukum.
Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh ulama tentang syarat-syarat terjadinya pewarisan
antara lain meninggalnya pewaris baik secara hakiki, hukum atau takdir. Selain disyaratkan
telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan beragama Islam dan mempunyai ahli waris
serta memiliki harta peninggalan.
Sedangkan ahli waris tercantum di dalam KHI Pasal 171 huruf c yang berbunyi
: “Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena
hukum untuk menjadi ahli waris”.
Dari Pasal 174,181,182 dan 185 KHI dapat dilihat bahwa ahli waris terdiri atas :
1. Ahli waris laki-laki, ialah ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, kakek
dan suami.
2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek
dan isteri.
3. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti adalah seperti
cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki atau perempuan.
Dalam Pasal 172 KHI : “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui
dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau 36 kesaksian, sedangkan bagi bayi
yang baru lahir atau yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya.” Menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah seseorang yang
dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab
semenda atau perkawinan dan beragama Islam serta tidak terhalang mewarisi seperti yang
disebutkan di dalam Pasal 173 KHI.
Sehingga dalam hukum waris islam tentang masalah waris memuat hal-hal sebagai
berikut:
1. Sumber hukum: Al-Quran, Hadist dan Ijtihad
2. Sistem kewarisan: Bilateral, Individual
3. Terjadinya pewarisan karna: adanya hubungan darah, adanya perkawinan
4. Perbedaan agama tidak mendapatkan warisan
5. Ahli waris hanya bertanggung jawab sampai batas harta peninggalan
6. Bagian anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1
7. Bagian ahli waris tertentu: ½, ¼, 1/3, 2/3, 1/6, 1/8
8. Anak (cucu) dan orang tua tidak saling menutup
9. Wasiat maksimum 1/3 dari harta peninggalan
10. Jenis harta dalam perkawinan: Harta bawaan, Harta campur
Penerapan hukum Islam termasuk hukum kekewarisan dapat terjadi tidak sesuai
dengan tektualnya, apalagi yang berhubunmgan dengan perkembangan dari tektual dalam
ayat-ayat Al-Qura’an. Al Qur’an umumnya hanya mengatur yang pokok-pokoknya saja.
Dalam hukum kekewarisan tentang ahli waris Al-Qur’an hanya mengatur ayah, ibu, suami.
istri dan anak, di luar itu tidak diatur. Sehingga dikembangkan oleh para ahli hukum Islam
seperti ahli waris kakek, nenek, cucu dan lain sebagainya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Semoga seluruh ketentuan sistem kewarisan baik secara adat, secara hukum Islam, dan
secara Perdata dapat berjalan dengan baik sesuai dengan isi dan kaidah – kaidahnya yang
telah diatur sedemikian rupa. Sangat diharapkan seluruh ketentuan yang ada dapat
diterapkan dengan baik agar tidak terjadi perselisihan antar saudara yang disebabkan oleh
perebutan harta warisan.
DAFTAR PUSTAKA
Area, F. H. (2015). Pengertian Hukum Waris Adat yang Berdasarkan Pasal 171.
hukumonline.com. (2022, agustus 22). 3 Sistem Kewarisan Adat: Individual, Kolektif, dan Mayorat.
Putri Ayu Trisnawati, S. (2019, desember 19). Pembagian Waris Menurut Hukum Islam.