Anda di halaman 1dari 12

SISTEM KEWARISAN SECARA ADAT DAN SISTEM KEWARISAN

ISLAM

Dosen Pembina :
Dr. Teuku Saiful, SH,. M.Hum

Oleh :
FATHYA SALSABILA (2003101010155)
MATA KULIAH HUKUM WARIS KELAS F

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA


BANDA ACEH
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, dan
hidayah- Nya yang senantiasa diberikan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas resum makalah yang berjudul "Sistem Kewarisan Adat dan Sistem Kewarisan Islam"
dengan tepat waktu dan sebaik - baiknya.

Resume Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Waris kelas F.
Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan para mahasiswa dan pembaca lainnya
untuk mengetahui bagaimana sistematika kewarisan secara adat dan kewarisan dalam Islam.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Teuku Saiful, SH,. M.Hum selaku dosen
Mata Kuliah Hukum Waris Kelas F. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca supaya menjadi
masukan untuk tugas selanjutnya agar dapat lebih baik lagi. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat untuk semuanya, terutama untuk para pembaca.

Banda Aceh, 19 Oktober 2022

Penyusun,

Fathya Salsabila (2003101010155)


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Warisan merupakan segala sesuatu peninggalan yg diturunkan sang pewaris
yang telah meninggal pada orang yg sebagai pakar waris oleh pewaris tadi. Wujudnya
mampu berupa harta beranjak (mobil, deposito, logam mulia) atau tak beranjak (tempat
tinggal, tanah, bagunan) dan termasuk juga hutang atau kewajiban sang pewaris. Menurut
Wirjono: “Pengertian warisan ialah, bahwa warisan itu adalah soal apakah dan
bagaimanakah berbagai hak – hak dan kewajiban – kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih
hidup”.

Jadi warisan menurut Wirjono adalah cara penyelesaian hubungan hukum dalam
masyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya
seorang manusia, di mana manusia yang wafat itu meninggalkan harta kekayaan. Istilah
warisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan bendanya. Kemudian cara
penyelesaian itu sebagai akibat dari kematian seseorang.

Hukum Waris merupakan hukum yang mengatur tentang harta warisan,


mengatur cara – cara berpindahnya, siapa – siapa saja orang yang pantas mendapatkan
harta warisan tersebut, hingga harta apa saja yg diwariskan. Dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Indonesia yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan Islam adalah Hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewarisan,
menentukan siapa – siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing –
masing.

Sumber utama dalam hukum waris Islam adalah Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat


11, 12, dan 176 serta Ilmu Faraidh adalah ilmu untuk mengetahui siapa yang berhak
mendapat waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap
ahli waris.

Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam,


yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan adat istiadat yang berbeda satu sama lainnya,
memiliki ciri khas tersendiri dalam melaksanakan pembagian warisan. Masing – masing
masyarakat di setiap daerah memiliki beragam sistem kewarisan yang berbeda – beda
antara satu dengan yang lainnya. Seperti yang diketahui bersama, dalam pembagian harta
warisan di Indonesia, dikenal adanya tiga hukum waris, yakni hukum waris adat, hukum
waris Islam, dan hukum waris perdata.

Lebih lanjut, dalam hukum waris adat, dikenal pula adanya tiga sistem
kewarisan adat, yakni :

 Sistem Kewarisan Individual,


 Sistem Kewarisan Kolektif, dan
 Sistem Kewarisan Mayorat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang mengenai sistem kewarisan di atas, maka dapat di
ambil rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Sistem Kewarisan secara Adat di Indonesia?


2. Bagaimanakah Sistem Kewarisan secara Islam di Indonesia?

C. Tujuan Masalah

Berdasarkan uraian rumusan masalah mengenai sistem kewarisan di atas, maka dapat di
ambil tujuan masalah sebagai berikut :

1. Mengetahui Bagaimanakah Sistem Kewarisan secara Adat di Indonesia


2. Mengetahui Bagaimanakah Sistem Kewarisan secara Islam di Indonesia
PEMBAHASAN

A. Sistem Kewarisan secara Adat di Indonesia

Hukum waris adat artinya Hukum lokal suatu daerah ataupun suku tertentu


yang berlaku, diyakini dan dijalankan oleh rakyat dan masyarakat wilayah tersebut.
Hukum waris adat di Indonesia tak terlepas berasal impak susunan rakyat kekerabatannya
yang tidak sinkron. Hukum waris adat tetap dipatuhi dan dilakukan oleh masyarakat
adatnya terlepas asal hukum waris adat tersebut ditetapkan secara tertulis maupun tidak
tertulis.

Soerojo Wignjodipoero dalam  Pengantar dan Asas – Asas Hukum


Adat menerangkan bahwa secara teoritis hukum waris adat di Indonesia mengenal banyak
ragam sistem kekeluargaan. Namun, di antara sekian banyak ragam tersebut, yang paling
menonjol adalah Prinsip Patrilineal, Matrilineal, dan Bilateral atau Parental. Secara
singkat, patrilineal adalah sistem kekerabatan yang menarik garis dari pihak Bapak.
Dalam sistem ini, kedudukan pria lebih menonjol dibandingkan wanita dalam hal
pembagian warisan. Kemudian, matrilineal adalah sistem kekerabatan yang ditarik dari
garis pihak Ibu. Dalam sistem ini, kedudukan wanita lebih menonjol daripada kedudukan
dari garis Bapak. Lalu, bilateral atau parental adalah sistem kekerabatan yang menarik
garis keturunan dari kedua belah pihak, Bapak dan Ibu. Dalam sistem ini, kedudukan
anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal mewaris adalah sama atau setara.

Kemudian, diterangkan Soerojo Wignjodipoero pula bahwa dalam sistem


kewarisan adat, dikenal dengan adanya tiga jenis sistem. Adapun sistem yang dimakud,
antara lain sistem kewarisan individual, sistem kewarisan kolektif, dan sistem kewarisan
mayorat.

1. Sistem Kewarisan Individual

Sistem kewarisan individual adalah sistem kewarisan di mana para ahli waris
mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan memiliki harta warisan secara
perorangan. Lebih lanjut, diterangkan bahwa sistem kewarisan adat ini umumnya terdapat
pada masyarakat hukum adat yang menganut sistem kekerabatan secara parental atau
bilateral. Hilman Hadikusuma dalam Hukum Kekerabatan Adat, menerangkan bahwa
sistem kewarisan ini dipengaruhi oleh tiap – tiap keluarga yang telah hidup sendiri dan
bertanggung jawab kepada keluarganya yang utama, seperti halnya masyarakat adat Jawa.
Ciri Sistem Kewarisan Individual, ialah bahwa harta peninggalan itu terbagi-bagi
pemilikannya kepada para waris, sebagaimana berlaku menurut KUH Perdata (Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata), dan Hukum Islam, begitu pula berlaku di lingkungan
masyarakat adat.

Kemudian, menurut Surwansyah (dalam Sutrisno, 2020: 39) kelebihan sistem


kewarisan individual adalah pewaris dapat bebas memiliki harta waris tanpa dipengaruhi
anggota keluarga lain, adanya pembagian, maka pribadi-pribadi waris mempunyai hak
milik yang bebas atas bagian yang telah diterimanya. Para waris bebas menentukan
kehendaknya atas harta warisan yang menjadi bagiannya, ia bebas untuk mentransaksikan
hak warisannya itu kepada orang lain. Adapun kekurangan sistem kewarisan individual
adalah pecahnya harta warisan dan renggangnya tali kekerabatan juga kemungkinan
timbulnya hasrat ingin menguasai secara pribadi.

2. Sistem Kewarisan Kolektif

Sistem kewarisan kolektif adalah sistem kewarisan di mana para ahli waris
dapat mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi secara bersama-sama.
Diterangkan Djaren Saragih dalam Hukum Adat Indonesia, dalam sistem pewarisan ini,
harta peninggalan dianggap sebagai keseluruhan yang tidak dapat terbagi dan dimiliki
bersama-sama oleh para ahli waris, seperti halnya pada masyarakat Minangkabau dan
Ambon. Adapun contoh harta bersama-sama yang tidak dapat dibagi adalah harta pusaka.

Ciri sistem kewarisan kolektif, ialah bahwa harta peninggalan itu


diwarisi/dikuasai oleh sekelompok waris dalam keadaan tidak terbagi- bagi, yang seolah-
olah merupakan suatu badan hukum keluarga kerabat (badan hukum adat). Sistem
kewarisan adat kolektif dipengaruhi oleh cara berpikir masyarakat adat yang
mementingkan kebersamaan atau komunal. Kewarisan kolektif dianggap sebagai harta
pusaka yang diwarisi bersama dan tidak boleh dibagi-bagikan; hanya boleh dibagikan hak
pakainya saja.

Surwansyah (dalam Sutrisno, 2020: 29) menerangkan bahwa kelebihan


sistem kewarisan kolektif akan terlihat jika harta keluarga dapat berperan atau berfungsi,
baik di masa lalu, masa sekarang, dan seterusnya. Kemudian, akan berfungsi jika
hubungan keluarga masih dapat dibina dan dikembangkan. Adapun kelemahan dari
sistem kewarisan kolektif adalah dapat menimbulkan cara berpikir yang sempit dan
tertutup, kesulitan dalam mencari kerabat yang dapat diandalkan, dan memudarnya rasa
setia terhadap kerabat.

3. Sistem Kewarisan Mayorat


Sistem kewarisan mayorat adalah sistem di mana harta waris diberikan
kepada anak tertua yang bertugas menjadi kepala keluarga dan menggantikan kedudukan
ayah atau ibunya. Dalam sistem kewarisan mayorat, dikenal dengan adanya mayorat laki-
laki dan mayorat perempuan. Mayorat laki-laki berarti laki-laki tertua lah yang menjadi
ahli waris tunggal dari pewaris. Sebaliknya, mayorat perempuan berarti anak perempuan
tertualah yang menjadi ahli waris.

Surwansyah (dalam Sutrisno, 2020: 27) menerangkan jika sistem ini sama
halnya dengan sistem kewarisan adat kolektif. Namun, berdanya, hak penerusan diberikan
kepada anak yang tertua. Perlu dicatat bahwa dalam sistem kewarisan adat ini, anak
pertama ini bukanlah pemilik perseorangan, melainkan berperan sebagai pemegang
mandat.

Kelemahan dan kebaikan sistem kewarisan mayorat, adalah terletak pada


kepemimpinan anak tertua dalam kedudukannya sebagai pengganti orang tua yang telah
wafat, dalam mengurus harta kekayaan dan memanfaatkannya guna kepentingan semua
anggota keluarga yang ditinggalkan. Hal ini disebabkan, karena anak tertua bukanlah
sebagai pemilik harta peninggalan secara perseorangan, tetapi sebagai pemegang mandat
orang tua yang dibatasi oleh musyawarah keluarga, dibatasi oleh kewajiban mengurus
orang tua yang dibatasi oleh musyawarah keluarga lain, dan berdasarkan atas tolong-
menolong oleh bersama untuk bersama.

Adapun kelebihan lain dari sistem kewarisan mayorat adalah jika


kepemimpinan anak tertuanya bertanggung jawab, keutuhan keluarga dapat
dipertahankan. Kemudian, sebaliknya, jika tidak bertanggung jawab, keutuhan keluarga
pun terancam.

B. Sistem Kewarisan secara Islam di Indonesia


Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), ketentuan tentang kewarisan diatur
dalam Buku II, yang terdiri dari 23 Pasal, dari Pasal 171 sampai dengan Pasal 193.
Dalam berbagai ketentuan tersebut terdapat beberapa hal yang tidak ada didalam fiqih
klasik, tetapi ada dalam KHI, maupun ketentuan yang seharusnya ada, tetapi tidak
dicantumkan dalam KHI.

Adapun beberapa ketentuan yang dimaksud diantaranya:


1. Besarnya bagian laki-laki dan perempuan tetap dipertahankan sesuai dengan
dalil Al-Qur’an, yaitu bagian laki-laki dua kali bagian perempuan;
2. Adanya prinsip musyawarah dalam pembagian warisan (Pasal 183), bahwa
para ahli dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta
warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya;
3. Pembagian waris tidak mesti harus membagikan bendanya secara fisik. Pasal
189 mengatur tentang pembagian warisan yang berupa lahan pertanian yang
luasnya kurang dari 2 hektar yang harus dipertahankan dan dimanfaatkan
bersama atau dengan membayar harga tanah sehingga tanahnya tetap dipegang
oleh seorang ahli waris saja.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi di dalam pembagian harta warisan, yaitu :

1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqi, hukmy, (misalnya


dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri;
2. Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqi pada waktu pewaris meninggal
dunia;
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti bagian-bagian masingmasing.

Tentang pewaris dan ahli waris telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pewaris tercantum dalam Pasal 171 huruf b: “Pewaris adalah orang yang pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan
beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.”. Terjadinya pewarisan
disyaratkan untuk pewaris adalah telah meninggal dunia, baik secara hakiki maupun hukum.
Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh ulama tentang syarat-syarat terjadinya pewarisan
antara lain meninggalnya pewaris baik secara hakiki, hukum atau takdir. Selain disyaratkan
telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan beragama Islam dan mempunyai ahli waris
serta memiliki harta peninggalan.
Sedangkan ahli waris tercantum di dalam KHI Pasal 171 huruf c yang berbunyi
: “Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena
hukum untuk menjadi ahli waris”.

Dari Pasal 174,181,182 dan 185 KHI dapat dilihat bahwa ahli waris terdiri atas :
1. Ahli waris laki-laki, ialah ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, kakek
dan suami.
2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek
dan isteri.
3. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti adalah seperti
cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki atau perempuan.

Syarat-syarat sebagai ahli waris adalah;


1. Mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan,
2. Beragama Islam dan
3. tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Dalam Pasal 172 KHI : “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui
dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau 36 kesaksian, sedangkan bagi bayi
yang baru lahir atau yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya.” Menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah seseorang yang
dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab
semenda atau perkawinan dan beragama Islam serta tidak terhalang mewarisi seperti yang
disebutkan di dalam Pasal 173 KHI.

Sehingga dalam hukum waris islam tentang masalah waris memuat hal-hal sebagai
berikut:
1. Sumber hukum: Al-Quran, Hadist dan Ijtihad
2. Sistem kewarisan: Bilateral, Individual
3. Terjadinya pewarisan karna: adanya hubungan darah, adanya perkawinan
4. Perbedaan agama tidak mendapatkan warisan
5. Ahli waris hanya bertanggung jawab sampai batas harta peninggalan
6. Bagian anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1
7. Bagian ahli waris tertentu: ½, ¼, 1/3, 2/3, 1/6, 1/8
8. Anak (cucu) dan orang tua tidak saling menutup
9. Wasiat maksimum 1/3 dari harta peninggalan
10. Jenis harta dalam perkawinan: Harta bawaan, Harta campur
Penerapan hukum Islam termasuk hukum kekewarisan dapat terjadi tidak sesuai
dengan tektualnya, apalagi yang berhubunmgan dengan perkembangan dari tektual dalam
ayat-ayat Al-Qura’an. Al Qur’an umumnya hanya mengatur yang pokok-pokoknya saja.
Dalam hukum kekewarisan tentang ahli waris Al-Qur’an hanya mengatur ayah, ibu, suami.
istri dan anak, di luar itu tidak diatur. Sehingga dikembangkan oleh para ahli hukum Islam
seperti ahli waris kakek, nenek, cucu dan lain sebagainya.
PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum Kewarisan Islam adalah Hukum yang mengatur tentang pemindahan


hak pemilikan harta peninggalan pewarisan, menentukan siapa – siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing – masing. Indonesia sebagai negara
yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam, yang terdiri dari berbagai suku
bangsa dan adat istiadat yang berbeda satu sama lainnya, memiliki ciri khas tersendiri
dalam melaksanakan pembagian warisan. Masing – masing masyarakat di setiap daerah
memiliki beragam sistem kewarisan yang berbeda – beda antara satu dengan yang
lainnya. Seperti yang diketahui bersama, dalam pembagian harta warisan di Indonesia,
dikenal adanya tiga hukum waris, yakni hukum waris adat, hukum waris Islam, dan
hukum waris perdata. Dalam hukum waris adat, dikenal pula adanya tiga sistem
kewarisan adat, yakni : Sistem Kewarisan Individual, Sistem Kewarisan Kolektif, dan
Sistem Kewarisan Mayorat.

B. Saran

Semoga seluruh ketentuan sistem kewarisan baik secara adat, secara hukum Islam, dan
secara Perdata dapat berjalan dengan baik sesuai dengan isi dan kaidah – kaidahnya yang
telah diatur sedemikian rupa. Sangat diharapkan seluruh ketentuan yang ada dapat
diterapkan dengan baik agar tidak terjadi perselisihan antar saudara yang disebabkan oleh
perebutan harta warisan.
DAFTAR PUSTAKA

(KHI), K. H. (n.d.). Pasal 171 KHI ayat a.

Area, F. H. (2015). Pengertian Hukum Waris Adat yang Berdasarkan Pasal 171.

hukumonline.com. (2022, agustus 22). 3 Sistem Kewarisan Adat: Individual, Kolektif, dan Mayorat.

Putri Ayu Trisnawati, S. (2019, desember 19). Pembagian Waris Menurut Hukum Islam.

Anda mungkin juga menyukai