PENDAHULUAN
kehidupan umat Islam, sebab adanya warisan mengatur adanya pengalihan dan
kemungkinan yang dapat terjadi dalam proses pengalihan harta kekayaan, maka
terbitlah berbagai aturan yang bertujuan untuk mengatur perpindahan hak dan
Secara umum waris berasal dari kata mirāts yang berarti harta pusaka atau
harta peninggalan, juga mengandung arti proses pemberian harta warisan dan
Berpijak pada pengertian di atas, maka rukun-rukun waris ada tiga. Jika
ketiganya ada, maka pewarisan dapat dilangsungkan. Ketiga rukun tersebut yaitu
(pewaris), sedangkan orang yang berhak menerima warisan disebut dengan warits
(ahli waris), dan peninggalan mayit yang berupa harta atau selainnya dinamakan
maurūts (tirkah).2
Salah satu kegiatan penting dari beberapa hal tersebut diatas yang hingga
1
Djamanat Samosir, Hukum Adat, Eksistensi Dalam Dinamika Perkembangan Hukum
Indonesia (Bandung: CV Nuansa Aulia, 2013), h. 210.
2
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris (Jakarta: Senayan
Abadi Publishing, 2004), h. 27.
1
2
pula. Misalnya, masyarakat adat bugis yang di mana seorang anak perempuan
seperti Suku Batak dan Suku Sentani di Jayapura yang menganut sistem
pewarisan Patrilineal.3
beralih ke orang lain yang ditinggalkannya. Untuk itu diperlukan adanya aturan-
aturan yang mengatur hubungan antara orang yang telah meninggal dengan harta
kekayaannya dan dengan orang yang akan menerima peralihan harta kekayaan
dengan hukum waris adat. Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat
garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta
warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan
Dalam hal ini yang telah di atur dalam Keputusan Mahkamah Agung
itu sama besarnya tanpa mempersoalkan anak laki-laki atau anak perempuan. Hal
3
Erman Suparman, Hukum Waris Indonesia (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), h. 44-56
4
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), h. 7.
3
yang mengakui adanya persamaan hak dan kedudukan setiap warga negara
sekarang masih bersifat pluralistis, yaitu ada yang tunduk kepada Hukum Waris
Perdata, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat. Masyarakat Indonesia
yang terdiri atas beragam suku bangsa memiliki adat istiadat dan hukum adat
yang beragam antara yang satu dengan yang lainnya berbeda dan memiliki
hukum waris menjadi pluralistis pula, namun negara tetap mengakui keberadaan
hukum adat yang ada di Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945
sistem kekeluargan dengan menarik garis keturunan dari kedua belah pihak orang
tua, yaitu baik dari garis bapak maupun dari garis ibu. 7 Sistem kekeluargaan
parental atau bilateral ini memiliki ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa yang
merupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak perempuan. Mereka
5
Lihat Peraturan Mahkamah Agung Rupublik Indonesia Tahun 1961 Nomor 176 Pasal 13.
6
Lihat Perubahan Kedua Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 B
7
Mustara, Perkembangan Hukum Waris Adat di Sulawesi Selatan (Sulawesi Selatan: UNHAS
Press, 2007), h. 15.
4
mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orangtuanya sehingga dalam
proses pengalihan sejumlah harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris, anak
Berdasarkan hasil survey dari beberapa tempat yang akan di jadikan objek
penelitian ini dalam pembagian waris yang di jumpai adalah berupa perselisihan
pendapat terhadap peranan wanita dalam menguasai hak waris pusaka berupa
rumah merupakan hak dari pada keturunan perempuan dari si pewaris. Kasus
agama Islam.
Oleh sebab itu, dengan sistem pembagian harta waris untuk anak
ketika anak laki-laki ingin diwariskan bentuk rumah, maka dari permasalahan
serta sengketa dari kedua yang terjadi. Hal ini pulalah yang akan penulis bahas
terlebih lanjut yaitu terkait bagaimana status dan kedudukan anak perempuan
tersebut dalam sistem kewarisan adat Bugis serta pandangan hukum Islam di
B. Rumusan Masalah
penelitian ini adalah bagaimana cara Merujuk pada masalah pokok tersebut,
8
Hamid, Pananrangi, dkk, Dampak Modernisasi Terhadap Hubungan Kekerabatan Daerah
Sulawesi Selatan (Jakarta: Depdikbud 2001), h. 117
5
menganggap perlu adanya pokok masalah yang dapat di jadikan sebagai pusat
Kecamatan Sibulue ?
2. Bagaimana Kedudukan anak perempuan dalam hukum waris Islam dan
C. Definisi Operasional
diangkat, terdiri dari rangkaian kata yang saling berhubungan untuk membentuk
satu makna sebagai fokus masalah pada penelitian ini. Untuk memahami dan
memperjelas uraian serta bahasan terhadap kandungan judul ini terhadap ruang
lingkup penelitian, maka diperlukan penjelasan dan batasan definisi kata dan
variabel yang tercakup dalam judul tersebut. Adapun penjelasan sebagai berikut:
pergaulannya, serta hak dan kewajiban.11 Kedua istilah tersebut memiliki arti
yang sama serta digambarkan dengan kedudukan (status) saja. Sedangkan anak
9
Yan pramadya Puspa, Kamus Hukum (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2008) h. 284.
10
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/minyak,
(diakses tanggal 10 Juni 2021) pukul. 10.00 WITA.
11
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Cet. I; Jakarta : Sinar Grafika 2009), h. 29.
6
Secara umum definisi waris berasal dari kata mirāts yang berarti harta
pusaka atau harta peninggalan, juga mengandung arti proses pemberian harta
tiga. Jika ketiganya ada, maka pewarisan dapat dilangsungkan. Ketiga rukun
tersebut yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan waris dinamakan
dengan warits (ahli waris), dan peninggalan mayit yang berupa harta atau
harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi
waris dalam hukum waris dalam Islam adat Bugis memberikan dampak positif
yang berlandasakan dengan KHUP tentang waris yang dimana seorang orang
tua/ahli waris dapat bijak dalam mengatur dan memberikan waris kepada anak
anak perempuan dalam hukum waris Islam dan hukum waris adat Bugis di
Kecamatan Sibulue.
12
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris (Jakarta: Senayan
Abadi Publishing, 2004), h. 27.
13
Effendi Perangin, Hukum Waris (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h- 3
7
tujuan yang hendak dicapai dan kegunaan dalam penelitian ini. Tujuan dan
1. Tujuan Penelitian
dalam hukum waris islam dan hukum waris adat bugis di Kecamatan
2. Kegunaan Penelitian
yang telah di tentukan oleh pemerintah baik dalam Islam itu sendiri.
E. Tinjauan Pustaka
secara komprehensif. Karya dan literatur yang erat kaitannya dari pembahasan
Waris Adat Di Indonesia, yang menyatakan bahwa hukum waris islam yang
terjadi di Indonesia hak waris pembagian antara janda dan anak-anak itu sama
besarnya tanpa mempersoalkan anak laki-laki atau anak perempuan dalam hal
tetap, menurut teori tersebut adanya persamaan hak dan kedudukan setiap
Indonesia yang terdiri atas beragam suku bangsa memiliki adat istiadat dan
hukum adat yang beragam antara yang satu dengan yang lainnya berbeda dan
14
Djojodigono Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat Di Indonesia, Jakarta 2006, h.64
9
dalamnya hukum waris menjadi pluralistis pula, namun negara tetap mengakui
dilakukan adalah teori ini lebih mengarah kepada pembagian waris adat
dalam hukum waris Islam dan hukum waris adat Bugis, sedangkan dari
2. Jurnal yang ditulis oleh Deo Andika Putra Sihombing, dengan judul
dilakukan dengan tiga cara: hibah dari hadiah, wasiat atau wasiat terakhir dan
wasiat, dan setelah pewaris meninggal. Itu Sengketa waris di Kecamatan Enok
adalah tentang pemilihan harta warisan sistem oleh keluarga; tidak mungkin
bagi wanita untuk mendapatkan porsi lebih dari laki-laki. Mereka masih
putra atau paman tertua diangkat sebagai penengah. Jika negosiasi gagal, itu
10
perselisihan.15
waris Islam dan hukum waris adat Bugis, sedangkan dari persamaannya
adalah terletak pada pembagaian waris yang dimana pembagian disini sama
3. Skripsi yang ditulis Rifki Fuadi, yang berjudul “Kedudukan Waris Anak
dari hukum islam dan hukum adat di Cilacap)” adapun metode dalam
laki-laki dan satu bagian untuk anak perempuan. Bentuk pembagian harta
waris berdasarkan adat di Cilacap merupakan tata cara dan sistem tersendiri.
Islam. Dalam sistem pembagian harta waris Islam pembagian harta warisnya,
15
Deo Andika Putra Sihombing, Pembagian waris adat masyarakat suku Bugis di Kecamatan
Enok, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau (jurnal Hukum, Vol. 1 No. 2, 2017), h. 2.
11
yaitu dua bagian untuk laki-laki dan satu bagian untuk perempuan sedangkan
dalam pembagian waris adat (secara kekeluargaan) adalah, yaitu satu bagian
untuk laki-laki dan satu bagian untuk perempuan. Kedudukan anak laki-laki
dengan anak perempuan dalam pembagian waris secara hukum adat adalah
sebelumnya lebih terfokus kepada penelitian waris anak laki-laki dan anak
perempuan selain itu, penelitian di atas lebih berfokus kepada adat cilacap
4. Tesis yang ditulis oleh Torop Eriyanto Sabar Nainggolan, dengan judul
16
Rifki Fuadi, “Kedudukan Waris Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan (studi komparatif
kedudukan waris ditinjau dari hukum islam dan hukum adat di Cilacap)” (Skripsi, Program studi
Hukum Islam, Fakultas Syariah, IAIN Purwokerto, 2019), h. vi.
12
akibat dari sistem itu terhadap kedudukan anak perempuan di dalam hal
laki dan anak perempuan didalam mewaris harta orang tuanya. Kesimpulan
Dengan sifat netral ini telah terjadi modernisasi yang mengarah kepada
dan perempuan dan memberikan pengaruh yang besar dalam bidang hukum
kedudukan anak perempuan dalam hukum waris adat begitu pun juga dengan
atas lebih mengarah kepada batak Toba sedangkan penulis lebih mengarah
5. Menurut Sofyan Mei Utama dalam buku yang berjudul Kedudukan Ahli
17
Torop Eriyanto Sabar Nainggolan, Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat
pada Masyarakat Batak Toba Di Kecamatan Pontianak Kota di Kota Pontianak (Tesis, Megister
Kenotariatan, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, 2005), h. vii.
13
Islam (KHI), hal itu sesuai dengan prinsip keadilan dalam warisan, dan
masa hidup pewaris dengan membagikan hartanya pada ahli waris atau
kelamin, di antara ahli waris atau ahli waris penganti, dengan maksud
kedudukan ahli waris yang dimana ahli kedudukan, ahli waris sebagai
ahli waris. Sedangkan dari perbedaan penelitan ini adalah terletak pada
sedangkan dari penelitian yang penulis akan lakukan adalah lebih mengarah
kedua adalah variabel kedua yakni prinsip keadilan dalam hukum waris
Islam sedangkan penulis lebih mengarah kepada dalam hukum waris Islam
dan hukum waris adat Bugis sehingga letak perbedaanya sangat jelas.
18
Sufyan Mei Utama, Kedudukan Ahli Waris Pengganti dan Prinsip Keadilan dalam Hukum
Waris Islam (Vol. 34 No. 1, 2016), h. 68.
14
semuanya tidak ada yang sama, maka dari itu, penulis akan melanjutkan
F. Kerangka Pikir
diagram. Hal ini bertujuan untuk mengarahkan penulis dalam memperoleh data
Perbandingan
Bagan
Hasil 1.1
Kerangka Pikir
15
bahwa kedudukan anak perempuan dalam hukum waris Islam sangatlah penting
sehingga bisa di dialogkan dengan adat bugis sebagai sumber dari sistem
hukum den adat bisa sejalan dengan hukum yang telah berlaku. Adapun sasaran
dari dalam kedudukan anak perempuan dalam hukum waris Islam adalah
G. Metode Penelitian
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. 19 Pada bagian ini
diuraikan tentang:
a. Jenis Penelitian
19
Sugiyono, Metode Penelitian Pedekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Cet. XXIII;
Bandung :Alfabeta CV, 2016), h. 3.
16
“meluruhkan diri” ke dalam fenomena yang sedang dikaji; dan (c) sifat
naratif.20
objek yang akan di teliti berada pada tempat tersebut. Ketika peneliti
kualitatif.
b. Pendekatan Penelitian
sebagai berikut:
20
A.Chaedar Alwasilah, Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan
Penelitian Kualitatif (Cet. 1; Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2002), h. 27.
21
S. Nasution, Metodologi Research Penelitian Ilmiah (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 10.
17
2. Lokasi Penelitian
a. Data
22
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h.
48.
23
A.Chaedar Alwasilah, Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan
Penelitian Kualitatif (Cet. 1; Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2002), h. 27.
18
1) Data Primer
sumber pertama. Adapun data primer dari penelitian ini berupa hasil
2) Data Sekunder
lebih lanjut dan disajikan oleh pihak pengumpul data primer atau
b. Sumber Data
24
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), h. 130.
25
Husein Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis (Cet XIII; Jakarta: Rajawali
Pers, 2014), h. 42.
26
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Cet. XII; Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2002), h. 107.
19
2. Instrumen Penelitian
(HP), daftar pertanyaan, alat tulis diantaranya buku saku, pulpen untuk
27
Muhammad Teguh, Metodologi Penelitian Ekonomi Teori da Aplikasi (Ed. 1-3; Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2005), h. 122.
20
data ini merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian karena
pengumpulan data yang dibutuhkan oleh penelitian ini, baik data primer
a. Observasi
b. Wawancara
situasi dan kondisi yang ada, namun tidak keluar dari pokok
28
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h. 208.
29
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Cet. I; Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), h.126.
21
c. Dokumentasi
Kabupaten Bone).
pola, memilih mana yang penting dan akan dipelajari, serta membuat
30
Djunaldi Ghoni dan Fauzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif (Cet. I; Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2012), h. 175.
31
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Ed. Revisi II; (Cet. 22; Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2004), h. 189.
22
tentang kedudukan anak perempuan dalam hukum waris Islam adat bugis
pengumpulan data yang hasilnya adalah data yang akan diolah. Adapun
32
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, h. 129.
23
hukum waris Islam dan hukum waris adat bugis studi Kecamatan
perempuan dalam hukum waris Islam dan hukum waris adat bugis
33
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, h. 95.
24
anak perempuan dalam hukum waris Islam adat bugis Bone studi
KAJIAN PUSTAKA
perpindahan hak kebendaan atau harta dari orang yang meninggal dunia
dengan ahli warisnya. Hal ini senada dengan pendapat Amir Syarifuddin yang
Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berwujud harta dari yang
telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku
barang-barang yang tak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada
keturunannya.35
Hal yang penting dalam masalah warisan ini adalah bahwa pengertian
34
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana, 2004), h. 6.
35
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia (Bandung: Refika Aditama, 2005), h 2.
25
26
harta kekayaan.
beralihnya barang atau harta benda peninggalan dari orang yang telah
meninggal dunia (pewaris) kepada orang yang masih hidup (ahli waris)
Pada masa jahiliyah, aturan pusaka orang Arab didasarkan atas nasab dan
tidak memberikan pusaka, kepada para wanita dan anak-anak yang masih
menerangkan bahwa para lakilaki memperoleh bagian (pusaka) dari harta itu
36
Prodjojo Hamidjojo, Hukum Waris Indonesia (Jakarta: Stensil, 2000), h. 37
37
Subhan Bashori, al-faroidh (Jakarta: Nusantara Publisher, 2009), h. 18
27
َف ِإْن ُكَّن ِنَس اًء َفْو َق، ُيوِص يُك ُم الل ُه ِفي َأْو اَل ِد ُك ْم ِلل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َح ِّظ اُأْلْنَثَيْيِن
ِل
َو َأِلَبَو ْي ِه ُك ِّل، َو ِإْن َك اَنْت َو اِح َد ًة َفَلَه ا الِّنْص ُف، اْثَنَتْيِن َفَلُه َّن ُثُلَثا َم ا َتَر َك
َف ِإْن َلْم َيُك ْن َل ُه َو َل ٌد، َو اِح ٍد ِم ْنُه َم ا الُّس ُد ُس ِم َّم ا َتَر َك ِإْن َك اَن َل ُه َو َل ٌد
َفِإْن َك اَن َل ِإ ٌة َفُأِلِّم ِه الُّس ُد ِم ِد ِص َّيٍة، ِر َث َأ ا َفُأِلِّم ِه الُّثُلُث
ُس ْن َبْع َو ُه ْخ َو َو َو ُه َبَو ُه
، آَب اُؤ ُك ْم َو َأْبَن اُؤ ُك ْم اَل َتْد ُر وَن َأُّيُه ْم َأْقَر ُب َلُك ْم َنْف ًع ا، ُيوِص ي ِبَه ا َأْو َد ْيٍن
)QS al-nisā/4:11 ( ِكي ا ي ِإَّن الل َك اَن ِل،َفِر ي ًة ِم اللِه
Terjemahnya:
ًم َح َع ًم َه َض َن
Allah memerintahkan kalian tentang (pembagian harta waris untuk)
anak-anak kalian, yaitu bagian laki-laki sama dengan bagian anak
perempuan; bila semuanya perempuan yang lebih dari dua orang,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan mayit;
bila anak perempuan itu satu orang saja, maka ia memperoleh separo
harta. Dan untuk dua orang ibu-ayah, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, bila orang yang meninggal
mempunyai anak; bila ia tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-ayahnya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; bila orang
yang meninggal mempunyai saudara perempuan, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
Orang tua dan anak-anak kalian, kalian tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagi kalian. Itu
adalah ketetapan dari Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.” QS al-nisā/4:11.38
Ayat ini turun untuk menghapus sistem warisan yang berlaku pada
hak dan kedudukan. sebagai ahli waris dalam pembagian harta pusaka.
Menurut Ibu Katsir bahwa, ini berkeanaan dengan hadis dari Jabir istri
Sa’ad bin Rabī datang kepada Nabi Muhammad saw dan menanyakan
perihalketentuan hak waris kedua anak perempuan Saad bin Ra’bi yang tidak
38
Kementerian Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahnya (Cet. IIV; Jakarta: CV. Nala Dana,
2013), h. 421-422.
28
mengambil seluruh harta warisan Sa’ad bin Rabi’. Padahal harta warisan
tersebut akan di gunakan untuk biaya pernikahan kedua anaknya. Oleh sebab
itu, turunlah QS al-Nisā /4:11 ini untuk memberikan ketentuan terhadap anak
hak waris anak perempuan Sa’ad bin Rabi. Berdasarkan turunnya ayat ini lalu
Nabi Muhammad saw memanggil saudara Sa’ad bin Rabi’ dan membagi harta
tersebut menjadi anak perempuan 2/3 harta warisan, istri Sa’ad mendapat 1/8
َو َلُك ْم ِنْص ُف َم ا َتَر َك َأْز َٰو ُج ُك ْم ِإن ْمَّل َيُك ن ُهَّلَّن َو َل ٌد ۚ َف ِإن َك اَن ُهَلَّن َو َل ٌد
َفَلُك ُم ٱلُّر ُبُع َّمِما َتَر ْك َن ۚ ِم ۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُيوِص َني َهِبٓا َأْو َدْيٍن ۚ َو ُهَلَّن ٱلُّر ُبُع َّمِما
َۚتَر ْك ُتْم ِإن ْمَّل َيُك ن َّلُك ْم َو َل ٌد ۚ َف ِإن َك اَن َلُك ْم َو َل ٌد َفَلُه َّن ٱلُّثُمُن َّمِما َتَر ْك ُتم
ِّم ۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُتوُص وَن َهِبٓا َأْو َدْيٍن ۗ َو ِإن َك اَن َر ُج ٌل ُيوَر ُث َك َٰل َل ًة َأِو ٱْم َر َأٌة
ِل ٍد ِل
َو َل ٓۥُه َأٌخ َأْو ُأْخٌت َف ُك ِّل َٰو ِح ِّم ْنُه َم ا ٱلُّس ُد ُس ۚ َف ِإن َك اُنٓو َأْك َثَر ِم ن َٰذ َك
۟ا
ۚ َفُه ْم ُش َر َك ٓاُء ىِف ٱلُّثُلِث ۚ ِم ۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُيوَص ٰى َهِبٓا َأْو َدْيٍن َغْيَر ُمَض ٓاٍّر
ِل ِل ِه ِص
)QS al-nisā/4:-11-12 (
َو َّيًة ِّم َن ٱلَّل ۗ َو ٱلَّلُه َع يٌم َح يٌم
Terjemhanya:
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
39
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir (Jilid. III; Surakarta: Insan Kamil, 2015), h. 288.
29
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak,
maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-
hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
(kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at
yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun.40
40
Departemen Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 442.
30
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu 1/6
dari harta peninggalan. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam bagian 1/3 dari harta peninggalan.
kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi
pihak ketiga.42
kematian ini, terjadi pada seseorang anggota keluarga, misalnya ayah, ibu atau
anak. Apabila orang yang meninggal itu memiliki harta kekayaan, maka yang
kekayaan yang ditinggalkan. Artinya, siapakah yang berhak atas harta kekayaan
yang ditinggalkan oleh si pewaris. Dan juga siapakah yang wajib menanggung
41
M. Athoillah, Fikih Waris (Cet. II; Bandung: Yrama widya, 2013), h. 20.
42
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat (Ed. III, Cet. 1V; Jakarta: Penerbitan Universitas,
2008), h. 72.
31
menjadi kewajibannya
kepada turunannya. Proses ini telah mulai pada waktu orang tua masih hidup.
Proses tersebut tidak menjadi “akut” oleh sebab orang tua meninggal dunia.
Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi
proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses
penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut.43
waris dan warisan. Ilmu yang mempelajari mawaris disebut ilmu farāid . Ilmu
artinya pengetahuan dan farāid berarti bagian-bagian yang tertentu. Jadi, ilmu
farāid , sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan Islam, bersumber dari Al-
Quran dan Hadist. Tujuan diturunkannya ilmu farāid adalah agar pembagian
warisan dilakukan secara adil, tidak ada ahli waris yang dirugikan sehingga tidak
akan terjadi perselisihan atau perpecahan di antara ahli waris karena pembagian
warisan.
43
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, h. 79.
44
Syamsuri, Pendidikan Agama Islam (Cet. II; Jakarta: Erlangga, 2007), h. 140.
32
hukum kewarisan, bab I ketentuan umum Pasal 171 menyebutkan bahwa hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta
kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia, dengan perkataan lain mengatur
peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal
Harta warisan atau harta peninggalan itu dapat berupa harta benda yang
berwujud dan yang tidak berwujud. Harta warisan yang berwujud benda misalnya
berupa bidang tanah, bangunan rumah, alat perlengkapan pakaian (adat), barang
berasal dari harta pusaka, harta bersama (pencarian), orang tua suami istri, harta
bawaan, ternak dan sebagainya. Sedangkan harta warisan yang tidak berwujud
benda misalnya berupa kedudukan atau jabatan adat, gelar-gelar (adat), hutang-
45
Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata
33
Istilah hukum waris adat dalam hal ini dapat dilihat dari pendapat para
ahli hukum waris adat. Definisi hukum waris adat, menurut pendapat
hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas
hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara
pewaris kepada ahli waris, dengan kata lain hukum penerusan harta kekayaan
bagi proses itu, tetapi tidak mempengaruhi secara radikal proses pengoperan
46
Hilman Hadikusuma. Hukum Kekerabatan Anak (Cet. I; PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta
2001), hal. 140
47
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (PT. Citra Aditya bakti, Bandung), h, 45.
48
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Azas (Ed. III, Cet. VII; Yogyakarta: Liberty, 2002), h.
151.
34
harta benda dan harta bukan benda tersebut, dimana proses berjalan terus
menerus hingga angkatan baru yang akan mencar dan mentasnya anakanak.
asal suami, barangbarang asal istri serta barang-barang suami istri sepanjang
yang timbul dari paham atau aliran-aliran pikiran magis relijius, komunal,
konkrit dan kontan. Oleh karena itu hukum waris adat memiliki sifat yang
adalah:
49
Dominikus Rato, Hukum Kontemporer (Surabaya: LaksBang Justicia, 2015), h. 110.
35
c) Harta warisan tidak boleh dipaksakan untuk dibagi antara para ahli
waris.50
a) Mengenal hak tiap ahli waris atas bagian yang tertentu dari harta
Pasal 929).
KUHPerdata).
50
Dewi Wulansari, Pengantar Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar (Cet. I; PT. Refika
Aditama, 2014), h. 73.
36
tiap waris
peninggalan itu.51
2) Hukum Islam
sewaktu-waktu
51
Dewi Wulansari, Pengantar Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h. 79-80.
37
Pada Umumnya Fungsi atau arti Adat bagi masyarakat bugis tidak hanya
tetapi dia mempunyai arti yang lebih dalam lagi. Didalam adat itu terkandung
unsur kepercayaan yang hakiki dari setiap manusia kepada kekuasaan yang
mahatinggi yang telah menciptakan seluruh alam semesta ini. Adat itu dapat
dengan nilai-nilai Agama, termasuk dalam persoalan kewarisan. Dalam hal ini
masyarakat Bugis memiliki budaya yang sarat dengan nilai-nilai kearifan. Orang-
orang Bugis mempunyai karakter budaya yang khas dan telah berlangsung jauh
sebelum Islam datang, dan ini perlu dijadikan sebagai pertimbangan dalam
dalam kebidupan mereka. Sistem kekerabatan pada orang Bugis disebut assea-
jingeng ialah bersifat bilateral, Tetapi ada pula yang berpendapat sistem yang
setiap orang menghubungkan dirinya dalam hal keturunan kepada pihak ibu dan
menerima harta waris dari kedua belah pihak baik pihak kerabat laki-laki
dalam konteks budaya Bugis, asas kepatutan dalam bahasa Bugis disebut
asitinajang. Kata ini berasal dari tinaja yang berarti cocok, sesuai, pantas atau
dibaktikan memperoleh hak yang sepadan adalah sesuatu perbuatan yang patut.
Banyak atau sedikit, tidak dipersoalkan dalam konsep sitinaja. Mengambil yang
sedikit jika yang sedikit itu mendatangkan kebaikan, dan menolak yang banyak
apabila yang banyak itu mendatangkan kebinasaan “alai cedde’e risesena engkai
hak (warisan) juga harus mempertimbangkan asas kepatutan dan keadilan demi
telah lama mewarnai cara berpikir dan berprilaku masyarakat Bugis dalam
ketegangan antara para ahli waris, khususnya antara saudara perempuan dan laki-
laki. Hal ini juga eratkaitannya dengan budaya Bugis asitinajang (kepatutan) dan
52
Ibnu Qoyim,Adat dan Agama dalam Perkawinan dan Kewarisan Pada Masyarakat Bugis
(Jakarta: (PMB) LIPI, 2005), h. 117.
53
A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis (Cet. I; Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2011), h. 129.
54
A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, h. 130.
39
pudeceng”,
Tidak serakah (temmangoa) dan tidak memandang sesuatu itu baik kalu
hanya kebaikan pada dirinya merupakan cara pandang yang mengandung nilai-
nilai solidaritas dan rasa ibah (pesse) kepada sesama saudara termasuk dalam
hanya dalam konteks hak warisan, tetapi laki-laki apabila orangtuanya sudah
55
A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, h. 131.
40
budaya Bugis.56
masyarakat Bugis yang mewariskan barang yang lebih besar nilainya (misalnya
rumah, ruko, emas) sedangkan saudara laki-laki hanya memperoleh bagian yang
(kepatutan) dapat menjadi salah satu alternatif untuk mendekati keadilan dalam
Oleh sebab itu, Pada dasarnya di masyarakat suku bugis dikenal istilah
sanre’i ade’e ri sara’e artinya ketentuan hukum adat bersandar atau bersumber
dari hukum Islam. Di lain pihak adat kebiasaan, perubahan kondisi sosial dan
56
A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, h. 132.
57
H. Ahmad Ubbe, Perkembangan Hukum Adat Di Propinsi Sulawesi Selatan (Cet. I; Jakarta:
Depkumham. 2005), h. 94.
41
yang terkesan terlalu berani mengambil resiko, hal tersebut adalah pengaruh kuat
dari adat kebiasaan yang bertumpu pada “siri” (harga diri) dan kemudian
kadang hukum Islam dianggap bagian hukum Adat, atau kadang-kadang juga
terjadi sebaliknya, yaitu hukum Adat dianggap bagian dari hukum Islam, bahkan
tidak diketahui apakah suatu kaidah hukum adalah hukum Islam atau hukum
Adat.
dengan anak perempuan. Di sisi lain, meskipun hukum Adat bersandar atau
bersumber dari hukum Islam, namun dalam praktek, tidak semua nilai-nilai
hukum Islam yang hidup menjadi perhatian untuk diterima sebagai bahan
rasa keadilan. Contohnya dalam sengketa waris terdapat istilah polo leteng (cucu
tidak mendapat warisan dari neneknya, karena ayahnya meninggal lebih dahulu
dari neneknya). Akan tetapi sejak tahun 1990 pemahaman masyarakat tentang
polo leteng tersebut dikoreksi dengan nilai hukum yang dianggap lebih
pengganti.59
58
A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, h. 133.
59
Ibnu Qoyim,Adat dan Agama dalam Perkawinan dan Kewarisan Pada Masyarakat Bugis,
h. 111.
42
Oleh karena itu, berdasarkan hal di atas bahwa hukum waris menurut
perempuan sama dengan pada anak laki-laki,yaitu satu banding satu,karena anak
wanita juga dapat duduk dalam pemerintahan,sedang anak yang ibunya bukan
bangsawan, tidak berhak mendapat warisan mereka hanya dapat hadiah dari
Andika Deo Putra Sihombing. Pembagian waris adat masyarakat suku Bugis di
Departemen Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahnya , Cet. IIV; Jakarta: CV. Nala
Dana, 2013.
Fuadi Rifki. Kedudukan Waris Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan (studi
komparatif kedudukan waris ditinjau dari hukum islam dan hukum adat di
Purwokerto, 2019.
Hadikusuma Hilman. Hukum Waris Adat (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003.
43
44
Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir, Jilid. III; Surakarta: Insan Kamil, 2015.
J. Moleong Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Ed. Revisi II; Cet. 22; Bandung:
Lihat Peraturan Mahkamah Agung Rupublik Indonesia Tahun 1961 Nomor 176 Pasal
13.
Mei Sufyan Utama. Kedudukan Ahli Waris Pengganti dan Prinsip Keadilan dalam
Nata Abuddin. Metodologi Studi Islam (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2008), h. 48.
45
Pelras Christian. Manusia Bugis, terj. Abdul Rahman Abud dkk., The Bugis Jakarta:
Perangin Effendi. Hukum Waris, Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013.
Pramadya Yan Puspa. Kamus Hukum, Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2008.
Qoyim Ibnu. Adat dan Agama dalam Perkawinan dan Kewarisan Pada Masyarakat
Soepomo. Bab-bab Tentang Hukum Adat, Ed. III, Cet. 1V; Jakarta: Penerbitan
Universitas, 2008.
Sudiyat Iman. Hukum Adat Sketsa Azas Ed. III, Cet. VII; Yogyakarta: Liberty, 2002.
Tatang M. Amirin. Menyusun Rencana Penelitian, Cet. III; Jakarta: PT. Raja
Umar Husein. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis,Cet XIII; Jakarta:
Wulansari Dewi. Pengantar Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Cet. I; PT.