Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam memberikan konsep waris sebagaimana potensi dari proses

kehidupan umat Islam, sebab adanya warisan mengatur adanya pengalihan dan

penerimaan harta kekayaan. Pentingnya masalah tersebut dan kemungkinan-

kemungkinan yang dapat terjadi dalam proses pengalihan harta kekayaan, maka

terbitlah berbagai aturan yang bertujuan untuk mengatur perpindahan hak dan

kewajiban terhadap harta dengan jalan pewarisan.1

Secara umum waris berasal dari kata mirāts yang berarti harta pusaka atau

harta peninggalan, juga mengandung arti proses pemberian harta warisan dan

berpindahnya harta tersebut kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya.

Berpijak pada pengertian di atas, maka rukun-rukun waris ada tiga. Jika

ketiganya ada, maka pewarisan dapat dilangsungkan. Ketiga rukun tersebut yaitu

orang yang meninggal dunia dan meninggalkan waris dinamakan muwarits

(pewaris), sedangkan orang yang berhak menerima warisan disebut dengan warits

(ahli waris), dan peninggalan mayit yang berupa harta atau selainnya dinamakan

maurūts (tirkah).2

Salah satu kegiatan penting dari beberapa hal tersebut diatas yang hingga

saat ini pelaksanaannya masih seringkali menimbulkan permasalahan dalam

masyarakat itu sendiri yaitu, mengenai pelaksanaan pewarisan adat. Kita

1
Djamanat Samosir, Hukum Adat, Eksistensi Dalam Dinamika Perkembangan Hukum
Indonesia (Bandung: CV Nuansa Aulia, 2013), h. 210.
2
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris (Jakarta: Senayan
Abadi Publishing, 2004), h. 27.

1
2

mengetahui bahwa adat masing-masing daerah berbeda, sehingga dalam hal

pelaksanaan pewarisan adat di berbagai daerah di Indonesia tentunya berbeda

pula. Misalnya, masyarakat adat bugis yang di mana seorang anak perempuan

biasanya mendapatkan waris bentuk rumah. Sedangkan di beberapa daerah

seperti Suku Batak dan Suku Sentani di Jayapura yang menganut sistem

pewarisan Patrilineal.3

Pewarisan hanya dapat dilakukan setelah kematian seseorang. Kemudian

dengan meninggalnya seseorang tersebut maka kekayaan-kekayaanya akan

beralih ke orang lain yang ditinggalkannya. Untuk itu diperlukan adanya aturan-

aturan yang mengatur hubungan antara orang yang telah meninggal dengan harta

kekayaannya dan dengan orang yang akan menerima peralihan harta kekayaan

tersebut. Aturan-aturan yang mengatur mengenai hubungan tersebut dikenal

dengan hukum waris adat. Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat

garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta

warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan

penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris.4

Dalam hal ini yang telah di atur dalam Keputusan Mahkamah Agung

Republik Indonesia tahun 1961 Nomor 179/Sip/1961 yang merupakan

yurisprudensi tetap di Indonesia menyatakan bahwa bagian janda dan anak-anak

itu sama besarnya tanpa mempersoalkan anak laki-laki atau anak perempuan. Hal

ini diperkuat melalui Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

3
Erman Suparman, Hukum Waris Indonesia (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), h. 44-56
4
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), h. 7.
3

yang mengakui adanya persamaan hak dan kedudukan setiap warga negara

Indonesia baik laki-laki maupun perempuan.5

Hukum waris yang berlaku di kalangan masyarakat Indonesia sampai

sekarang masih bersifat pluralistis, yaitu ada yang tunduk kepada Hukum Waris

Perdata, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat. Masyarakat Indonesia

yang terdiri atas beragam suku bangsa memiliki adat istiadat dan hukum adat

yang beragam antara yang satu dengan yang lainnya berbeda dan memiliki

karakteristik tersendiri yang menjadikan hukum adat termasuk di dalamnya

hukum waris menjadi pluralistis pula, namun negara tetap mengakui keberadaan

hukum adat yang ada di Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945

pasal 18B ayat (2) yang berbunyi:

Negara mengakui dan menghormati satu kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,

yang diatur dalam undang-undang.6

Sistem pewarisan dalam suku Bugis khususnya di Kecamatan Sibulue

Kabupaten Bone adalah sistem kekerabatan Parental, yakni yang menganut

sistem kekeluargan dengan menarik garis keturunan dari kedua belah pihak orang

tua, yaitu baik dari garis bapak maupun dari garis ibu. 7 Sistem kekeluargaan

parental atau bilateral ini memiliki ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa yang

merupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak perempuan. Mereka

5
Lihat Peraturan Mahkamah Agung Rupublik Indonesia Tahun 1961 Nomor 176 Pasal 13.
6
Lihat Perubahan Kedua Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 B
7
Mustara, Perkembangan Hukum Waris Adat di Sulawesi Selatan (Sulawesi Selatan: UNHAS
Press, 2007), h. 15.
4

mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orangtuanya sehingga dalam

proses pengalihan sejumlah harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris, anak

laki-laki dan anak perempuan mempunyai hak untuk diperlakukan sama.8

Berdasarkan hasil survey dari beberapa tempat yang akan di jadikan objek

penelitian ini dalam pembagian waris yang di jumpai adalah berupa perselisihan

pendapat terhadap peranan wanita dalam menguasai hak waris pusaka berupa

rumah si pewaris. Dimana menurut pembagian waris, harta peninggalan berupa

rumah merupakan hak dari pada keturunan perempuan dari si pewaris. Kasus

pembagian waris lainnya juga dijumpai seperti penolakan pembagian secara

musyawarah dan lebih memilih pembagian dengan sistem kewarisan menurut

agama Islam.
Oleh sebab itu, dengan sistem pembagian harta waris untuk anak

perempuan hanya difokuskan kepada rumah, namun akan menjadi permasalahan

ketika anak laki-laki ingin diwariskan bentuk rumah, maka dari permasalahan

serta sengketa dari kedua yang terjadi. Hal ini pulalah yang akan penulis bahas

terlebih lanjut yaitu terkait bagaimana status dan kedudukan anak perempuan

tersebut dalam sistem kewarisan adat Bugis serta pandangan hukum Islam di

masyarakat di Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi masalah pokok dalam

penelitian ini adalah bagaimana cara Merujuk pada masalah pokok tersebut,

8
Hamid, Pananrangi, dkk, Dampak Modernisasi Terhadap Hubungan Kekerabatan Daerah
Sulawesi Selatan (Jakarta: Depdikbud 2001), h. 117
5

menganggap perlu adanya pokok masalah yang dapat di jadikan sebagai pusat

dalam penulisan ini yaitu:

1. Bagaimana pembagaian waris antara anak perempuan dan anak laki-laki di

Kecamatan Sibulue ?
2. Bagaimana Kedudukan anak perempuan dalam hukum waris Islam dan

hukum waris adat bugis di Kecamatan Sibulue ?

C. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan penjelasan mengenai judul skripsi yang

diangkat, terdiri dari rangkaian kata yang saling berhubungan untuk membentuk

satu makna sebagai fokus masalah pada penelitian ini. Untuk memahami dan

memperjelas uraian serta bahasan terhadap kandungan judul ini terhadap ruang

lingkup penelitian, maka diperlukan penjelasan dan batasan definisi kata dan

variabel yang tercakup dalam judul tersebut. Adapun penjelasan sebagai berikut:

Kedudukan berarti status, baik untuk seseorang, tempat, maupun benda.9

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kedudukan sering dibedakan antara

pengertian kedudukan (status) dan kedudukan sosial (sosial status).10 Kedudukan


diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial,

sedangkan kedudukan sosial adalah tempat seseorang dalam lingkungan

pergaulannya, serta hak dan kewajiban.11 Kedua istilah tersebut memiliki arti

yang sama serta digambarkan dengan kedudukan (status) saja. Sedangkan anak

perempuan dalam KBBI adalah gadis atau wanita.

9
Yan pramadya Puspa, Kamus Hukum (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2008) h. 284.
10
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/minyak,
(diakses tanggal 10 Juni 2021) pukul. 10.00 WITA.
11
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Cet. I; Jakarta : Sinar Grafika 2009), h. 29.
6

Secara umum definisi waris berasal dari kata mirāts yang berarti harta

pusaka atau harta peninggalan, juga mengandung arti proses pemberian harta

warisan dan berpindahnya harta tersebut kepada orang-orang yang berhak

mendapatkannya. Berpijak pada pengertian di atas, maka rukun-rukun waris ada

tiga. Jika ketiganya ada, maka pewarisan dapat dilangsungkan. Ketiga rukun

tersebut yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan waris dinamakan

muwarits (pewaris), sedangkan orang yang berhak menerima warisan disebut

dengan warits (ahli waris), dan peninggalan mayit yang berupa harta atau

selainnya dinamakan maurûts (tirkah).12

Hukum Waris merupakan adalah hukum yang mengatur tentang peralihan

harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi

para ahli warisnya. Pasal 830 KUHPdt menyebutkan, “pewarisan hanya

berlangsung karena kematian”.13


Berdasarkan hal di atas, kedudukan anak perempuan sebagai penerima

waris dalam hukum waris dalam Islam adat Bugis memberikan dampak positif

yang berlandasakan dengan KHUP tentang waris yang dimana seorang orang

tua/ahli waris dapat bijak dalam mengatur dan memberikan waris kepada anak

perempuannya. Olehnya itu, penulis lebih mengarah kepada objek kedudukan

anak perempuan dalam hukum waris Islam dan hukum waris adat Bugis di

Kecamatan Sibulue.

12
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris (Jakarta: Senayan
Abadi Publishing, 2004), h. 27.
13
Effendi Perangin, Hukum Waris (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h- 3
7

D. Tujuan dan Kegunaan

Sehubungan dengan penelitian yang akan dilakukan, maka ada beberapa

tujuan yang hendak dicapai dan kegunaan dalam penelitian ini. Tujuan dan

kegunaan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui dan memahami tentang pembagaian waris antara anak

perempuan dan anak laki-laki di Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone.

b. Untuk mengetahui dan memahami tentang kendudukan anak perempuan

dalam hukum waris islam dan hukum waris adat bugis di Kecamatan

Sibulue Kabupaten Bone.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah:

1. Kegunaan secara teoretis

a. Diharapkan mampu membangun Peradilan tentang hukum waris

yang telah di tentukan oleh pemerintah baik dalam Islam itu sendiri.

b. Dapat memperkaya khazanah intelektual pada umumnya dalam

rangka menambah wawasan ilmu pengetahuan yaitu tentang

kendudukan anak perempuan dalam hukum waris dalam adat Bugis.

c. Dapat digunakan sebagai acuan bagi pihak-pihak yang akan

melakukan penelitian lanjutan.

2. Kegunaan secara praktis

a. Dapat menjadi acuan bagi masyarakat umum yaitu tentang

kedudukan anak perempuan dalam hukum waris yang dimana


8

sebagai seorang anak perempuan yang selalunya hanya mendapat

waris sebagi rumah dan pandangan hukum Islam.


b. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan evaluasi dan koreksi

terhadap sistem pembagian hukum waris khususnya anak perempuan

yang ada di Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone.

E. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka merupakan salah satu metode untuk melakukan penelitian

dalam bentuk lapangan. Indikasinya melacak dan menelusuri literatur yang

memiliki substansi kajian sebagaimana inti pembahasan dalam penelitian ini

secara komprehensif. Karya dan literatur yang erat kaitannya dari pembahasan

penelitian tersebut adalah:

1. Menurut Djojodigono dalam buku yang berjudul Pemahaman Seputar Hukum

Waris Adat Di Indonesia, yang menyatakan bahwa hukum waris islam yang

terjadi di Indonesia hak waris pembagian antara janda dan anak-anak itu sama

besarnya tanpa mempersoalkan anak laki-laki atau anak perempuan dalam hal

ini yang telah di atur dalam Keputusan Mahkamah Agung Republik

Indonesia tahun 1961 Nomor 179/Sip/1961 yang merupakan yurisprudensi

tetap, menurut teori tersebut adanya persamaan hak dan kedudukan setiap

warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan.14 Masyarakat

Indonesia yang terdiri atas beragam suku bangsa memiliki adat istiadat dan

hukum adat yang beragam antara yang satu dengan yang lainnya berbeda dan

memiliki karakteristik tersendiri yang menjadikan hukum adat termasuk di

14
Djojodigono Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat Di Indonesia, Jakarta 2006, h.64
9

dalamnya hukum waris menjadi pluralistis pula, namun negara tetap mengakui

keberadaan hukum adat yang ada di Indonesia .

Berdasarkan teori di atas, perbedaan dari penelitian yang akan

dilakukan adalah teori ini lebih mengarah kepada pembagian waris adat

masyarakat yang ada di Indonesia, sedangkan dari penelitian yang akan

dilakukan oleh penulis lebih mengarah kepada kedudukan anak perempuan

dalam hukum waris Islam dan hukum waris adat Bugis, sedangkan dari

persamaannya adalah terletak pada pembagaian waris yang dimana pembagian

disini sama mengarah kepada anak perempuan.

2. Jurnal yang ditulis oleh Deo Andika Putra Sihombing, dengan judul

“pembagian waris adat masyarakat suku Bugis di Kecamatan Enok,

Kabupaten Indragiri Hilir,” Provinsi Riau, adapun metode dalam penelitian

ini, menggunakan metode empiris yudisial di mana hukum dipahami sebagai

struktur yang terkait dengan variabel sosial lainnya. Berdasarkan hasil

penelitian menunjukkan bahwa pembagian warisan dalam masyarakat Bugis

dilakukan dengan tiga cara: hibah dari hadiah, wasiat atau wasiat terakhir dan

wasiat, dan setelah pewaris meninggal. Itu Sengketa waris di Kecamatan Enok

adalah tentang pemilihan harta warisan sistem oleh keluarga; tidak mungkin

bagi wanita untuk mendapatkan porsi lebih dari laki-laki. Mereka masih

cenderung menyelesaikan masalah mereka dengan Negosiasi Keluarga di

mana pembagian warisan dirundingkan di antara anggota keluarga. Biasanya,

putra atau paman tertua diangkat sebagai penengah. Jika negosiasi gagal, itu
10

dibawa kepada pemimpin adat untuk membantu mereka menyelesaikan

perselisihan.15

Berdasarkan penelitian di atas, perbedaan dari penelitian adalah lebih

mengarah kepada pembagian waris adat masyarakat suku Bugis di

Kecamatan Enok, sedangkan dari penelitian yang akan dilakukan oleh

penulis lebih mengarah kepada kedudukan anak perempuan dalam hukum

waris Islam dan hukum waris adat Bugis, sedangkan dari persamaannya

adalah terletak pada pembagaian waris yang dimana pembagian disini sama

mengarah kepada anak perempuan.

3. Skripsi yang ditulis Rifki Fuadi, yang berjudul “Kedudukan Waris Anak

Laki-Laki dan Anak Perempuan (studi komparatif kedudukan waris ditinjau

dari hukum islam dan hukum adat di Cilacap)” adapun metode dalam

penelitian ini penelitian lapangan yang penulis lakukan di wilayah Cilacap

yang meliputi tiga Kecamatan. Metode pengumpulan datanya menggunakan

observasi, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan analisis datanya

menggunakan reduksi data, verifikasi dan penarikan kesimpulan. Hasil

penelitian ini yaitu; ada sebagian masyarakat di wilayah cilacap

melaksanakan pembagian harta waris berdasarkan hukum waris adat,

kebanyakan menggunakan forrmasi pembagian yaitu satu bagian untuk anak

laki-laki dan satu bagian untuk anak perempuan. Bentuk pembagian harta

waris berdasarkan adat di Cilacap merupakan tata cara dan sistem tersendiri.

Namun terdapat kesamaan dan juga perbedaan dengan pembagian waris

Islam. Dalam sistem pembagian harta waris Islam pembagian harta warisnya,

15
Deo Andika Putra Sihombing, Pembagian waris adat masyarakat suku Bugis di Kecamatan
Enok, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau (jurnal Hukum, Vol. 1 No. 2, 2017), h. 2.
11

yaitu dua bagian untuk laki-laki dan satu bagian untuk perempuan sedangkan

dalam pembagian waris adat (secara kekeluargaan) adalah, yaitu satu bagian

untuk laki-laki dan satu bagian untuk perempuan. Kedudukan anak laki-laki

dengan anak perempuan dalam pembagian waris secara hukum adat adalah

sama, sedangkan dalam Hukum Islam tidaklah sama, laki-laki mempunyai

bagian yang lebih banyak dari perempuan.16

Berdasarkan penelitian di atas, persamaan dari penelitian ini dengan

penelitian yang penulis akan lakukan adalah sama-sama membahas tentang

kedudukan waris anak laki-laki dan anak perempuan. Sedangkan dari

perbedaan dari penelitian di atas adalah penulis hanya mengarah kepada

kedudukan anak perempuan dalam hukum waris sedangkan penelitian

sebelumnya lebih terfokus kepada penelitian waris anak laki-laki dan anak

perempuan selain itu, penelitian di atas lebih berfokus kepada adat cilacap

sedangkan penulis mengarah kepada adat Bugis Bone.

4. Tesis yang ditulis oleh Torop Eriyanto Sabar Nainggolan, dengan judul

“Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat pada Masyarakat

Batak Toba Di Kecamatan Pontianak Kota di Kota Pontianak” Penelitian ini

menggunakan metode penelitian yuridis empiris. Sampel diambil dengan non

random sampling. Analisa dilakukan secara deskriptif analisis, yang akan

menggambarkan, memaparkan dan mengungkapkan sesaui dengang fakta,

hasil peneltian menjukkan bahwa, secara prinsip sistem kekeluargaan

patrilineal tetap dipertahankan dan yang berubah dan berkembang adalah

16
Rifki Fuadi, “Kedudukan Waris Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan (studi komparatif
kedudukan waris ditinjau dari hukum islam dan hukum adat di Cilacap)” (Skripsi, Program studi
Hukum Islam, Fakultas Syariah, IAIN Purwokerto, 2019), h. vi.
12

akibat dari sistem itu terhadap kedudukan anak perempuan di dalam hal

warisan. Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Agung Nomor

1769K/Sip/1961 sudah menuju kearah sistem Parental yang memberi

kesederajatan, kemanusiaan, keadilan dan persamaan hak antara anak laki-

laki dan anak perempuan didalam mewaris harta orang tuanya. Kesimpulan

dari hasil penelitian adalah kedudukan anak perempuan telah mengalami

perkembangan dalam pembagian warisan yang sama dengan anak laki-laki.

Dengan sifat netral ini telah terjadi modernisasi yang mengarah kepada

homogeniteit yaitu menunjukkan adanya persamaan derajat antara laki-laki

dan perempuan dan memberikan pengaruh yang besar dalam bidang hukum

adat, khususnya hukum waris adat Batak yang ada diperantauan.17

Berdasarkan hasil penelitian di atas tampak jelas persamaanya yakni

kedudukan anak perempuan dalam hukum waris adat begitu pun juga dengan

penelitian yang akan di lakukan oleh penulis lebih sama-sama mengarah

kepada kedudukan anak perempuan dalam hukum waris. Sedangkan dari

perbedaannya yakni terletak pada sistem adat yang digunakan penelitian di

atas lebih mengarah kepada batak Toba sedangkan penulis lebih mengarah

kepada adat Bugis Bone.

5. Menurut Sofyan Mei Utama dalam buku yang berjudul Kedudukan Ahli

Waris Pengganti dan Prinsip Keadilan Dalam Hukum Waris Islam

berdasarkan hasil yang dia dapatkan dilingkungannya Legalitas ahli

waris pengganti mendapat jaminan dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum

17
Torop Eriyanto Sabar Nainggolan, Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat
pada Masyarakat Batak Toba Di Kecamatan Pontianak Kota di Kota Pontianak (Tesis, Megister
Kenotariatan, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, 2005), h. vii.
13

Islam (KHI), hal itu sesuai dengan prinsip keadilan dalam warisan, dan

suatu kebijakan pewaris dalam pembagian warisan untuk ahli waris

pengganti, yang disebut dengan kebijaksanaan pre-empitiv yaitu, pada

masa hidup pewaris dengan membagikan hartanya pada ahli waris atau

ahli waris penganti. Pembagian tersebut tanpa membedakan jenis

kelamin, di antara ahli waris atau ahli waris penganti, dengan maksud

untuk kemaslahatan dalam hidup bersaudara. Seperti halnya dengan

tujuan hukum Islam (maqāṣhīd al-syari’ah) yang ditujukan untuk

kemaslahatan ummat. Salah satunya teori mengenai al-Maslahah Al-

Mursalah yang diperlukan untuk kehati-hatian, menghindari mengikuti

hawa nafsu belaka.18


Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh beliau di atas persamaan

dengan penelitian yang akan dilakukan. Sama-sama membahas tentang

kedudukan ahli waris yang dimana ahli kedudukan, ahli waris sebagai

pengganti sedangakan penulis kepada kedudukan anak perempuan dalam

ahli waris. Sedangkan dari perbedaan penelitan ini adalah terletak pada

variabel pertama yang dimana membahas tentang kedudukan ahli waris

sedangkan dari penelitian yang penulis akan lakukan adalah lebih mengarah

kepada kedudukan anak perempuan dalam dalam ahli waris. Perbedaan

kedua adalah variabel kedua yakni prinsip keadilan dalam hukum waris

Islam sedangkan penulis lebih mengarah kepada dalam hukum waris Islam

dan hukum waris adat Bugis sehingga letak perbedaanya sangat jelas.
18
Sufyan Mei Utama, Kedudukan Ahli Waris Pengganti dan Prinsip Keadilan dalam Hukum
Waris Islam (Vol. 34 No. 1, 2016), h. 68.
14

Dari beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan di atas

semuanya tidak ada yang sama, maka dari itu, penulis akan melanjutkan

proses penelitian terkait dengan kedudukan anak perempuan dalam hukum

waris Islam dalam adat Bugis di Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone.

F. Kerangka Pikir

Dalam sebuah penelitian, penting bagi peneliti menggambarkan alur

berpikirnya dalam menguraikan fokus penelitian kedalam sebuah skema atau

diagram. Hal ini bertujuan untuk mengarahkan penulis dalam memperoleh data

dan informasi yang diperlukan guna memecahkan masalah penelitian secara

ilmiah. Adapun kerangka pikir yang digunakan sebagai berikut:

Hukum Waris Islam Hukum Waris Adat Bugis

Kedudukan Anak Perempuan

Perbandingan

Bagan
Hasil 1.1

Kerangka Pikir
15

Dari skema di atas, dapat dipahami bahwa memberikan interpretasi

bahwa kedudukan anak perempuan dalam hukum waris Islam sangatlah penting

sehingga bisa di dialogkan dengan adat bugis sebagai sumber dari sistem

pewarisan dalam undang-undang yang telah di atur sehingga perbandingan antara

hukum den adat bisa sejalan dengan hukum yang telah berlaku. Adapun sasaran

dari dalam kedudukan anak perempuan dalam hukum waris Islam adalah

masyarkat yang ada di Kecamatan Sibulue.

G. Metode Penelitian

Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk

mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. 19 Pada bagian ini

diuraikan tentang:

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research),

diskriptif kualitatif, Menurut pakar metodologi kualitatif sebagaimana


yang diungkapkan oleh A. Chaedar Alwasilah telah sepakat bahwa (a)

tujuan penelitian kualitatif adalah untuk memahami (alih-alih

menjelaskan berbagai penyebab) fenomena sosial dari perspektif para

partisipan melalui perlibatan ke dalam kehidupan aktor-aktor yang

terlibat; (b) pendekatan penelitian yang paling cocok untuk

‘menangkap’ fenomena tersebut adalah etnografi yang membantu

pembaca memahami definisi situasi yang ditelaah; dan dalam upaya

19
Sugiyono, Metode Penelitian Pedekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Cet. XXIII;
Bandung :Alfabeta CV, 2016), h. 3.
16

untuk memahami perspektif para partisipan para peneliti perlu

“meluruhkan diri” ke dalam fenomena yang sedang dikaji; dan (c) sifat

realitas sosial paling baik dikemas-sajikan dalam “thick description”,

yang kelak akan dilaporkan kepada para pembaca dalam bentuk

naratif.20

Alasan peneliti menggunakan penelitian kualitatif adalah

peneliti bisa terjun langsung di masyarakat yang ada di Kec. Sibulue

Kabupaten Bone. Sesuai dengan data yang peneliti butuhkan memang

tepat apabila menggunakan metode penelitian kualitatif, dikarenakan

objek yang akan di teliti berada pada tempat tersebut. Ketika peneliti

menemukan kesulitan untuk mengetahui pendapat atau respon para

narasumber, maka penelitian yang harus digunakan adalah penelitian

kualitatif.

b. Pendekatan Penelitian

Pendekatan merupakan proses perbuatan, cara mendekati,

usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan

dengan orang yang diteliti.21Adapun pendekatan yang digunakan

sebagai berikut:

a. Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang dilakukan

berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori,

konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-

20
A.Chaedar Alwasilah, Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan
Penelitian Kualitatif (Cet. 1; Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2002), h. 27.
21
S. Nasution, Metodologi Research Penelitian Ilmiah (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 10.
17

undangan yang berhubungan dengan penelitian ini.22 Pendekatan

tersebut dimaksudkan untuk mengumpulkan berbagai macam

peraturan perundang-undangan yang erat hubungannya dengan

permasalahan yang akan dibahas. Pendekatan ini digunakan

dengan mengingat bahwa permasalahan yang diteliti yakni

kedudukan anak perempuan dalam hukum waris Islam yang

didialogkan dengan adat Bugis yang ada di Kec. Sibulue.

b. Pendekatan yuridis empiris yaitu pendekatan dengan meneliti dan

mengumpulkan data primer yang diperoleh secara langsung dari

objek penelitian melalui wawancara dengan narasumber yang

berhubungan dengan penelitian.23 Pendekatan ini dilaksanakan di

untuk menunjukkan bahwa kedudukan anak perempuan dalam

hukum waris Islam adat Bugis.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih oleh penulis yaitu di Kecamatan

Sibulue Kabupten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan.

1. Data dan Sumber Data

a. Data

Data adalah segala keterangan (informasi) mengenai segala hal

yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Dengan demikian, tidak segala

informasi atau keterangan merupakan data. Data hanyalah sebagian saja

22
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h.
48.
23
A.Chaedar Alwasilah, Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan
Penelitian Kualitatif (Cet. 1; Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2002), h. 27.
18

dari informasi, yakni berkaitan dengan penelitian.24 Adapun data yang di

peroleh dari penelitian ini:

1) Data Primer

Data Primer merupakan data yang diperoleh langsung dari

sumber pertama. Adapun data primer dari penelitian ini berupa hasil

wawancara lansung terhadap pihak yang mengetahui dan menguasai

permasalahan yang terkait dengan objek penelitian.

2) Data Sekunder

Data Sekunder merupakan data primer yang telah diolah

lebih lanjut dan disajikan oleh pihak pengumpul data primer atau

oleh pihak lain.25 Adapun data sekunder dari penelitian adalah

Narasumber masyarakat yang terdiri beberapa keluarga yang ada di

Kec. Sibulue. Selain itu, tulisan dan artikel serta manuskrip-

manuskrip yang berkaitan dengan kedudukan anak perempuan

dalam hukum waris Islam dan hukum waris adat Bugis.

b. Sumber Data

Sumber data adalah subjek dari mana data diperoleh. 26 Adapun

sumber data dalam penelitian ini adalah:

1) Sumber hukum primer

24
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), h. 130.
25
Husein Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis (Cet XIII; Jakarta: Rajawali
Pers, 2014), h. 42.
26
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Cet. XII; Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2002), h. 107.
19

Sumber hukum primer yang menjadi sasaran penelitian.

peneliti yaitu para tenaga teknis Pengadilan tidak lain Hakim

Panitera, Advokat, dan pihak yang secara langsung berhubungan

dengan hukum acara elektronik. Hasil wawancara diperoleh dari

masyarakat, serta narasumber tokoh agama, tokoh masyarakat, yang

ada di Kecamatan Sibulue.

2) Sumber hukum sekunder

Sumber hukum sekunder yang peneliti maksud diperoleh dari

referensi berupa buku, jurnal, artikel dan berbagai hasil penelitian

yang relevan.27 Selain dari beberapa referensi yang relevan data

sekunder dalam penelitian ini juga melalui perantara pihak lain.

2. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan instrument berupa

panduan atau pedoman penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan data

atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Adapun

instrument yang penulis pergunakan dalam penelitian ini antara lain

panduan informasi dan pedoman wawancara. Di samping itu, juga

digunakan pula instrumen berupa alat dokumentasi antara lain handphone

(HP), daftar pertanyaan, alat tulis diantaranya buku saku, pulpen untuk

mencatat baik berupa jawaban responden melalui wawancara, maupun

berupa catatan tentang data dokumentasi lainnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

27
Muhammad Teguh, Metodologi Penelitian Ekonomi Teori da Aplikasi (Ed. 1-3; Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2005), h. 122.
20

Teknik pengumpulan data adalah cara yang dipakai untuk

mengumpulkan informasi atau fakta-fakta lapangan, Teknik pengumpulan

data ini merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian karena

tujuan utama penelitian adalah mendapatkan data. 28 Dalam rangka

pengumpulan data yang dibutuhkan oleh penelitian ini, baik data primer

ataupun data skunder diperlukan alat pengumpulan data yaitu:

a. Observasi

Observasi adalah pengumpulan data melalui pengamatan dan

pencatatan secara sistematik mengenai fenomena yang diselidiki.

Dalam hal ini penulis mengadakan pengamatan serta pengumpulan

data-data saat dirumah maupun di lokasi tempat penelitian yang ada di

Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone.

b. Wawancara

Dalam penelitian ini, penulis mengajukan pertanyaan atau

wawancara secara bebas terpimpin, artinya dimana pertanyaan-

pertanyaan yang telah dipersiapkan dan dapat disesuaikan dengan

situasi dan kondisi yang ada, namun tidak keluar dari pokok

permasalahan yang ada.29Wawancara dalam penelitian ini dilakukan

untuk mengungkapkan sebagian besar data tentang kedudukan anak

perempuan dalam hukum waris Islam adat bugis Bone studi di

Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone.

28
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h. 208.
29
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Cet. I; Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), h.126.
21

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data penelitian

mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku,

surat, Koran, majalah, agenda dan lain-lain. Dokumentasi dijadikan

sebagai bukti bahwa penelitian benar-benar telah dilakukan. 30Dalam

penelitian ini, dokumentasi digunakan untuk memperbanyak data-data

tentang kedudukan anak perempuan dalam hukum waris Islam dan

hukum waris adat bugis Bone (Studi pada Kecamatan Sibulue

Kabupaten Bone).

4. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan suatu cara yang digunakan untuk

menganalisis data, mempelajari, serta menganalisa data-data tertentu

sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yang konkrit tentang persoalan

yang diteliti dan sedang dibahas.

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis

data yang diperoleh dari hasil wawancara, catata lapangan dan

dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,

menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesis, menyusun kedalam

pola, memilih mana yang penting dan akan dipelajari, serta membuat

kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh sendiri maupun orang lain. 31

Dalam penelitian ini, teknik analisis ini digunakan untuk menggambarkan

30
Djunaldi Ghoni dan Fauzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif (Cet. I; Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2012), h. 175.
31
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Ed. Revisi II; (Cet. 22; Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2004), h. 189.
22

hasil observasi dan hasil wawancara yang menunjang penelitian ini

tentang kedudukan anak perempuan dalam hukum waris Islam adat bugis

studi pada Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone.

Pada saat penelitian melakukan pendekatan dan menjalin hubungan

dengan subjek penelitian dengan responden penelitian, melakukan

observasi, membuat catatan lapangan bahkan ketika berinteraksi dengan

lingkungan sosial subjek dan informan, itu semua merupakan proses

pengumpulan data yang hasilnya adalah data yang akan diolah. Adapun

Teknik pengolahan data sebagai berikut:

a) Reduksi data (data reduction)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang

pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, serta mencari tema

dan polanya. Dengan demikian, data yang telah direduksi akan

memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti

untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.32

b) penyajian data (data display)

Penyajian data dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan

bentuk uraian singkat, hubungan antara kategori badan dan

sejenisnya. Penyajian data akan memudahkan untuk memahami apa

yang terjadi, kemudian merencanakan kerja selanjutnya.

Penyajian data dalam hal ini adalah penyampaian informasi

berdasarkan data yang diperoleh dari para hakim sesuai dengan

focus penelitian untuk disusun secara baik, sehingga mudah dilihat,

32
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, h. 129.
23

dibaca dan dipahami tentang suatu kejadian, tindakan, peristiwa dari

penggunaan yang terkait dengan kedudukan anak perempuan dalam

hukum waris Islam dan hukum waris adat bugis studi Kecamatan

Sibulue Kabupaten Bone.

Pada tahap dilakukan perangkuman terhadap penelitian

dalam susunan yang sistematis untuk mengetahui kedudukan anak

perempuan dalam hukum waris Islam dan hukum waris adat bugis

studi Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone.

c) Penarikan kesimpulan (conclusion drawing/verification)

Kesimpulan awal masih bersifat sementara dan akan berubah

bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat pada tahap pengumpulan

selanjutnya, tetapi apabila kesimpulan awal tersebut didukung oleh

bukti-bukti yang valid dan konsisten pada pengumpulan data

selanjutnya, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan

kesimpulan yang kredibel.33

Pada tahap ini dilakukan pengkajian tentang kesimpulan

yang telah diambil dengan cara pembanding teori tertentu, melakukan

proses member check atau melakukan proses pengecekan ulang, mulai

dari pra survei (orientasi), wawancara, observasi dan dokumentasi,

kemudian membuat kesimpulan umum untuk dilaporkan sebagai hasil

dari penelitian yang telah dilakukan.

Tiga tahap tersebut harus dilakukan secara bertahap oleh

penulis. Diawali dari tahap mereduksi data, menyajikan data,

33
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, h. 95.
24

kemudian menarik kesimpulan dari seluruh penelitian. Selanjutnya

data yang diperoleh atau terkumpul dianalisis dengan cara deskriptif

untuk mencari dan menemukan esensi persoalan yang menjadi bahan

objek pembahasan. Dari hasil analisa tersebut maka penulis dapat

memberikan gambaran substansi objek kajian mengenai kedudukan

anak perempuan dalam hukum waris Islam adat bugis Bone studi

Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kedudukan Anak Perempuan dalam hukum Waris

1. Pengertian Hukum Waris Islam

Hukum waris dalam Islam adalah aturan yang mengatur mengenai

perpindahan hak kebendaan atau harta dari orang yang meninggal dunia

(pewaris) kepada ahli warisnya dengan bagian masing-masing yang tidak

sama tergantung kepada status kedekatan hubungan hukum antara pewaris

dengan ahli warisnya. Hal ini senada dengan pendapat Amir Syarifuddin yang

mendefinisikan Hukum Kewarisan Islam adalah:

Seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah

Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berwujud harta dari yang

telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku

dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.34

Lebih lanjut menurut Soepomo dikutip Eman Suparman

mendefinisikan hukum waris secara umum itu memuat aturan-aturan yang

mengatur proses meneruskan serta peralihan barang-barang harta benda dan

barang-barang yang tak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada

keturunannya.35

Hal yang penting dalam masalah warisan ini adalah bahwa pengertian

warisan itu memperlihatkan adanya tiga unsur yang masing- masing

merupakan unsur yang esensial (mutlak), yakni:

34
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana, 2004), h. 6.
35
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia (Bandung: Refika Aditama, 2005), h 2.

25
26

a. Seorang peninggal warisan yang pada saat wafatnya meninggalkan

harta kekayaan.

b. Seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima

kekayaan yang ditinggalkan ini.

c. Harta warisan atau harta peninggalan, yaitu kekayaan in concreto yang

ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli waris itu.36

Dengan demikian, hukum kewarisan Islam menurut penulis adalah

segala bentuk peraturan yang membahas mengenai berpindahnya atau

beralihnya barang atau harta benda peninggalan dari orang yang telah

meninggal dunia (pewaris) kepada orang yang masih hidup (ahli waris)

berdasarkan hukum Islam.

2. Dasar Hukum tentang kewarisan Islam

Pada masa jahiliyah, aturan pusaka orang Arab didasarkan atas nasab dan

qarâbah (hubungan darah dan kekeluargaan). Namun terbatas kepada anak-

anak laki-laki yang sudah dapat memanggul senjata untuk membela

kehormatan keluarga dan dapat memperoleh harta rampasan perang. 37 Mereka

tidak memberikan pusaka, kepada para wanita dan anak-anak yang masih

kecil. Berlaku sampai permulaan Islam, sehingga turun ayat yang

menerangkan bahwa para lakilaki memperoleh bagian (pusaka) dari harta itu

sedikit ataupun banyak. Islam kemudian datang dan menghapus ketentuan

jahiliyah. Allah berfirman dalam QS. al-Nisâ’ 4:11

36
Prodjojo Hamidjojo, Hukum Waris Indonesia (Jakarta: Stensil, 2000), h. 37
37
Subhan Bashori, al-faroidh (Jakarta: Nusantara Publisher, 2009), h. 18
27

‫ َف ِإْن ُكَّن ِنَس اًء َفْو َق‬، ‫ُيوِص يُك ُم الل ُه ِفي َأْو اَل ِد ُك ْم ِلل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َح ِّظ اُأْلْنَثَيْيِن‬
‫ِل‬
‫ َو َأِلَبَو ْي ِه ُك ِّل‬، ‫ َو ِإْن َك اَنْت َو اِح َد ًة َفَلَه ا الِّنْص ُف‬، ‫اْثَنَتْيِن َفَلُه َّن ُثُلَثا َم ا َتَر َك‬
‫ َف ِإْن َلْم َيُك ْن َل ُه َو َل ٌد‬، ‫َو اِح ٍد ِم ْنُه َم ا الُّس ُد ُس ِم َّم ا َتَر َك ِإْن َك اَن َل ُه َو َل ٌد‬
‫ َفِإْن َك اَن َل ِإ ٌة َفُأِلِّم ِه الُّس ُد ِم ِد ِص َّيٍة‬، ‫ِر َث َأ ا َفُأِلِّم ِه الُّثُلُث‬
‫ُس ْن َبْع َو‬ ‫ُه ْخ َو‬ ‫َو َو ُه َبَو ُه‬
،‫ آَب اُؤ ُك ْم َو َأْبَن اُؤ ُك ْم اَل َتْد ُر وَن َأُّيُه ْم َأْقَر ُب َلُك ْم َنْف ًع ا‬، ‫ُيوِص ي ِبَه ا َأْو َد ْيٍن‬
)QS al-nisā/4:11 ( ‫ِكي‬ ‫ا‬ ‫ي‬ ‫ ِإَّن الل َك اَن ِل‬،‫َفِر ي ًة ِم اللِه‬
Terjemahnya:
‫ًم‬ ‫َح‬ ‫َع ًم‬ ‫َه‬ ‫َض َن‬
Allah memerintahkan kalian tentang (pembagian harta waris untuk)
anak-anak kalian, yaitu bagian laki-laki sama dengan bagian anak
perempuan; bila semuanya perempuan yang lebih dari dua orang,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan mayit;
bila anak perempuan itu satu orang saja, maka ia memperoleh separo
harta. Dan untuk dua orang ibu-ayah, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, bila orang yang meninggal
mempunyai anak; bila ia tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-ayahnya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; bila orang
yang meninggal mempunyai saudara perempuan, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
Orang tua dan anak-anak kalian, kalian tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagi kalian. Itu
adalah ketetapan dari Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.” QS al-nisā/4:11.38
Ayat ini turun untuk menghapus sistem warisan yang berlaku pada

masyarakat jahiliyah, dimana mereka tidak memberikan hak waris kepada

wanita dan anak-anak. Al-Qur’an mengajarkan, anak perempuan mempunyai

hak dan kedudukan. sebagai ahli waris dalam pembagian harta pusaka.

Menurut Ibu Katsir bahwa, ini berkeanaan dengan hadis dari Jabir istri

Sa’ad bin Rabī datang kepada Nabi Muhammad saw dan menanyakan

perihalketentuan hak waris kedua anak perempuan Saad bin Ra’bi yang tidak

38
Kementerian Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahnya (Cet. IIV; Jakarta: CV. Nala Dana,
2013), h. 421-422.
28

mendapatkan hak waris di sebabkan pamannya (Saudara Sa’ad bin Rabi)

mengambil seluruh harta warisan Sa’ad bin Rabi’. Padahal harta warisan

tersebut akan di gunakan untuk biaya pernikahan kedua anaknya. Oleh sebab

itu, turunlah QS al-Nisā /4:11 ini untuk memberikan ketentuan terhadap anak

hak waris anak perempuan Sa’ad bin Rabi. Berdasarkan turunnya ayat ini lalu

Nabi Muhammad saw memanggil saudara Sa’ad bin Rabi’ dan membagi harta

tersebut menjadi anak perempuan 2/3 harta warisan, istri Sa’ad mendapat 1/8

sendagkan sisanya untuk saudara Sa’ad bin Rabi’.39

Selanjutnya, dalam QS al-Nisā/4:11-12 yang berbunyi:

‫َو َلُك ْم ِنْص ُف َم ا َتَر َك َأْز َٰو ُج ُك ْم ِإن ْمَّل َيُك ن ُهَّلَّن َو َل ٌد ۚ َف ِإن َك اَن ُهَلَّن َو َل ٌد‬
‫َفَلُك ُم ٱلُّر ُبُع َّمِما َتَر ْك َن ۚ ِم ۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُيوِص َني َهِبٓا َأْو َدْيٍن ۚ َو ُهَلَّن ٱلُّر ُبُع َّمِما‬
ۚ‫َتَر ْك ُتْم ِإن ْمَّل َيُك ن َّلُك ْم َو َل ٌد ۚ َف ِإن َك اَن َلُك ْم َو َل ٌد َفَلُه َّن ٱلُّثُمُن َّمِما َتَر ْك ُتم‬
‫ِّم ۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُتوُص وَن َهِبٓا َأْو َدْيٍن ۗ َو ِإن َك اَن َر ُج ٌل ُيوَر ُث َك َٰل َل ًة َأِو ٱْم َر َأٌة‬
‫ِل‬ ‫ٍد‬ ‫ِل‬
‫َو َل ٓۥُه َأٌخ َأْو ُأْخٌت َف ُك ِّل َٰو ِح ِّم ْنُه َم ا ٱلُّس ُد ُس ۚ َف ِإن َك اُنٓو َأْك َثَر ِم ن َٰذ َك‬
‫۟ا‬
ۚ ‫َفُه ْم ُش َر َك ٓاُء ىِف ٱلُّثُلِث ۚ ِم ۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُيوَص ٰى َهِبٓا َأْو َدْيٍن َغْيَر ُمَض ٓاٍّر‬
‫ِل ِل‬ ‫ِه‬ ‫ِص‬
)QS al-nisā/4:-11-12 (
‫َو َّيًة ِّم َن ٱلَّل ۗ َو ٱلَّلُه َع يٌم َح يٌم‬

Terjemhanya:

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-

isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu

mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang

ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah

dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu

39
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir (Jilid. III; Surakarta: Insan Kamil, 2015), h. 288.
29

tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak,

maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan

sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-

hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak

meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang

saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),

maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.

Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka

bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat

olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat

(kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at

yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha

Penyantun.40

Al-Qur’an surat An-Nisâ’ ayat dua belas di atas mengandung beberapa

kandungan hukum kewarisan dalam Islam, yaitu:

a. Duda mendapatkan 1/2 dari harta peninggalan isteri apabila isteri /

pewaris tidak meninggalkan anak, jika bersama dengan anak maka

mendapatkan 1/4 dari harta peninggalan

b. Janda mendapatkan bagian 1/4 dari harta peninggalan suami / pewaris

apabila pewaris tidak meninggalkan anak, apabila pewaris meninggalkan

anak maka bagian janda adalah 1/8 dari harta peninggalan

c. Pelaksanaan pembagian waris dari nomor 1 dan 2 dilaksanakan setelah

ditunaikannya wasiat dan hutang pewaris.

40
Departemen Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 442.
30

d. Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak

meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai

seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan

(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu 1/6

dari harta peninggalan. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari

seorang, maka mereka bersekutu dalam bagian 1/3 dari harta peninggalan.

e. Pembagian dimaksud dalam nomor 4 adalah setelah ditunaikannya wasiat

dan hutang pewaris.


f. Wasiat dan hutang pewaris tidak boleh mendatangkan kemudharatan bagi
ahli waris.41

B. Hukum Waris Adat Bugis

Hukum waris merupakan kumpulan peraturan, yang mengatur hukum

mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan

kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi

orangorang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan

pihak ketiga.42

Pengertian waris timbul karena adanya peristiwa kematian. Peristiwa

kematian ini, terjadi pada seseorang anggota keluarga, misalnya ayah, ibu atau

anak. Apabila orang yang meninggal itu memiliki harta kekayaan, maka yang

menjadi pokok persoalan bukanlah peristiwa kematian itu, melainkan harga

kekayaan yang ditinggalkan. Artinya, siapakah yang berhak atas harta kekayaan

yang ditinggalkan oleh si pewaris. Dan juga siapakah yang wajib menanggung

41
M. Athoillah, Fikih Waris (Cet. II; Bandung: Yrama widya, 2013), h. 20.
42
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat (Ed. III, Cet. 1V; Jakarta: Penerbitan Universitas,
2008), h. 72.
31

dan membereskan hutang-hutang si pewaris jika ia meninggalkan hutang yang

menjadi kewajibannya

Kemudian, Soepomo memberikan rumusan hukum waris, yaitu bahwa:

“Hukum waris memuat perturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan

serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak

berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie)

kepada turunannya. Proses ini telah mulai pada waktu orang tua masih hidup.

Proses tersebut tidak menjadi “akut” oleh sebab orang tua meninggal dunia.

Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi

proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses

penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut.43

Menurut Hukum Islam, mawaris berarti hal-hal yang berhubungan dengan

waris dan warisan. Ilmu yang mempelajari mawaris disebut ilmu farāid . Ilmu

artinya pengetahuan dan farāid berarti bagian-bagian yang tertentu. Jadi, ilmu

farāid berarti ilmu pengetahuan yang menguraikan cara membagi harta

peninggalan seseorang kepada ahli waris yang berhak menerimanya.44 Ilmu

farāid , sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan Islam, bersumber dari Al-

Quran dan Hadist. Tujuan diturunkannya ilmu farāid adalah agar pembagian

warisan dilakukan secara adil, tidak ada ahli waris yang dirugikan sehingga tidak

akan terjadi perselisihan atau perpecahan di antara ahli waris karena pembagian

warisan.

43
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, h. 79.
44
Syamsuri, Pendidikan Agama Islam (Cet. II; Jakarta: Erlangga, 2007), h. 140.
32

Selanjutnya menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku II tentang

hukum kewarisan, bab I ketentuan umum Pasal 171 menyebutkan bahwa hukum

kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta

peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli

waris dan berapa baginya masing-masing.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), hukum waris

adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta

kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia, dengan perkataan lain mengatur

peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal

dunia beserta akibat-akibatnya bagi ahli waris.45

Harta warisan atau harta peninggalan itu dapat berupa harta benda yang

berwujud dan yang tidak berwujud. Harta warisan yang berwujud benda misalnya

berupa bidang tanah, bangunan rumah, alat perlengkapan pakaian (adat), barang

perhiasan (wanita), perabot rumah tangga, alat-alat dapur, alat-alat transport

(sepeda, gerobak, kendaraan bermotor), alat-alat pertanian, senjata, baik yang

berasal dari harta pusaka, harta bersama (pencarian), orang tua suami istri, harta

bawaan, ternak dan sebagainya. Sedangkan harta warisan yang tidak berwujud

benda misalnya berupa kedudukan atau jabatan adat, gelar-gelar (adat), hutang-

hutang, ilmu-ilmu ghaib, pesan, amanat atau perjanjian.

1. Pengertian hukum Waris Adat

Pengertian Hukum Waris Adat Hukum waris adat merupakan hukum

kewarisan yang berlaku dikalangan masyarakat Indonesia yang tidak

45
Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata
33

bersumber pada peraturan. Perumusan tersebut berdasar atas pengertian

hukum adat yang dikemukakan Djojodigono, yang menyatakan:

“Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada

peraturanperaturan, sebagai pengecualian hukum waris Islam yang

berlaku di suatu daerah di Indonesia meskipun tidak berdasar

peraturan, tidak disebut sebagai hukum adat.46

Istilah hukum waris adat dalam hal ini dapat dilihat dari pendapat para

ahli hukum waris adat. Definisi hukum waris adat, menurut pendapat

beberapa sarjana dan ahli hukum adalah:

Menurut Hilman Hadikusuma bahwa,“Hukum Waris Adat adalah

hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas

hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara

bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dan

pewaris kepada ahli waris, dengan kata lain hukum penerusan harta kekayaan

dari suatu generasi kepada keturunannya”.47

Sedangkan Menurut Iman Sudiyat mengatakan bahwa: “Hukum Waris

Adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan yang bertalian dengan

proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta kekayaan

materiil dan non materiil dari generasi ke generasi.48

Oleh karena itu Meninggalnya orang tua merupakan peristiwa penting

bagi proses itu, tetapi tidak mempengaruhi secara radikal proses pengoperan

46
Hilman Hadikusuma. Hukum Kekerabatan Anak (Cet. I; PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta
2001), hal. 140
47
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (PT. Citra Aditya bakti, Bandung), h, 45.
48
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Azas (Ed. III, Cet. VII; Yogyakarta: Liberty, 2002), h.
151.
34

harta benda dan harta bukan benda tersebut, dimana proses berjalan terus

menerus hingga angkatan baru yang akan mencar dan mentasnya anakanak.

Ini merupakan keluarga baru yang mempunyai dasar kehidupan materiil

sendiri dengan barang-barang dari harta peninggalan orang tuanya sebagai

fundamen. Keluarga mempunyai harta benda yang terdiri dari barang-barang

asal suami, barangbarang asal istri serta barang-barang suami istri sepanjang

perkawinan. Segala barang tersebut merupakan dasar materiil bagi kehidupan

dan akan disediakan untuk kehidupan keturunan dari keluarga itu.

2. Sifat Hukum waris adat

Sifat hukum waris menunjukkan coraknya yang khas dari aliran

pikiran tradisional indonesia. Hukum waris adat bersendikan atas prinsip

yang timbul dari paham atau aliran-aliran pikiran magis relijius, komunal,

konkrit dan kontan. Oleh karena itu hukum waris adat memiliki sifat yang

berbeda dengan hukum waris islam dan hukum waris barat.49

Adapun perbedaan hukum waris adat dengan hukum waris barat

adalah:

1) Hukum Waris Adat

a) Hukum waris adat tidak mengenal Legitieme portie. Akan tetapi

hukum waris adat menetapkan dasar persamaan hak, hak ini

mengandung hak untuk diperlakukan sama oleh orangtuanya didalam

proses meneruskan dan mengoperkan harta benda keluarga.

49
Dominikus Rato, Hukum Kontemporer (Surabaya: LaksBang Justicia, 2015), h. 110.
35

b) Disamping dasar persamaan hak, hukum waris adat juga meletakkan

dasar kerukunan pada proses pelaksanaan pembagian berjalan secara

rukun dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap waris.

c) Harta warisan tidak boleh dipaksakan untuk dibagi antara para ahli

waris.50

2) Hukum Waris Barat

a) Mengenal hak tiap ahli waris atas bagian yang tertentu dari harta

peninggalan bagian warisan menurut ketentuan Undang-undang

(“Wettelijk erfdeel” atau “legitieme portie”, Pasal 913 sampai dengan

Pasal 929).

b) Menentukan adanya hak mutlak dari ahli waris masing-masing untuk

sewaktu-waktu menuntut pembagian harta warisan (Pasal 1066

KUHPerdata).

Sedangkan perbedaan antara hukum waris adat dengan hukum waris

menurut hukum islam dapat juga dilihat dalam uraian berikut:

1) Hukum Waris Adat

a) Harta peninggalan dapat bersifat tidak dapat dibagi-bagi atau

pelaksanaan pembagiannya ditunda untuk waktu yang cukup lama

ataupun hanya sebagian yang dibagi-bagi

b) Memberi kepada anak angkat, hak nafkah dari harta peninggalan

orang tua angkatnya.

c) Dikenal sistem penggantian waris

50
Dewi Wulansari, Pengantar Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar (Cet. I; PT. Refika
Aditama, 2014), h. 73.
36

d) Pembagiannya merupakan tindakan bersama, berjalan secara rukun

dalam suasana ramah tamah dengan memperhatikan keadaan khusus

tiap waris

e) Anak perempuan, khususnya dijawa, apabila tidak ada anak laki-laki,

dapat menutup hak mendapat bagian harta peninggalan kakek

neneknya dan saudara-saudara orangtuanya

f) Harta peninggalan tidak merupakan satu kesatuan harta warisan,

melainkan wajib dipertahankan sifat/macam, asal dan kedudukan

hukum dari barang-barang masing-masing yang terdapat dalam harta

peninggalan itu.51

2) Hukum Islam

a) Tiap ahli waris dapat menuntut pembagian harta peninggalan tersebut

sewaktu-waktu

b) Tidak dikenal ketentuan yang memberi kepada anak angkat, hak

nafkah dari harta peninggalan orang tua angkatnya.

c) Tidak dikenal sistem penggantian waris,

d) Bagian-bagian ahli waris telah ditentukan, pembagian harta

peninggalan menurut ketentuan tersebut;

e) Menjamin kepada anak perempuan mendapat bagian yang pasti dari

harta peninggalan orang tuanya

f) harta peninggalan merupakan satu kesatuan harta warisan.


Oleh sebab itu, hukum waris adat sangatlah erat hubungannya dengan

sifat-sifat kekeluargaan daripada masyarakat hukum yang bersangkutan

51
Dewi Wulansari, Pengantar Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h. 79-80.
37

beserta pengaruhnya pada harta kekayaan yang ditinggalkan dan berada

dalam masyarakat itu.

C. Pembagian Waris Pada Masyarakat Suku Bugis

Pada Umumnya Fungsi atau arti Adat bagi masyarakat bugis tidak hanya

sekedar mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat, akan

tetapi dia mempunyai arti yang lebih dalam lagi. Didalam adat itu terkandung

unsur kepercayaan yang hakiki dari setiap manusia kepada kekuasaan yang

mahatinggi yang telah menciptakan seluruh alam semesta ini. Adat itu dapat

membimbing masyarakat bersuku bugis dalam bermasyarakat.

Di setiap daerah, ada nilai-nilai kearifan lokal yang patut disenergikan

dengan nilai-nilai Agama, termasuk dalam persoalan kewarisan. Dalam hal ini

masyarakat Bugis memiliki budaya yang sarat dengan nilai-nilai kearifan. Orang-

orang Bugis mempunyai karakter budaya yang khas dan telah berlangsung jauh

sebelum Islam datang, dan ini perlu dijadikan sebagai pertimbangan dalam

memaknai teks-teks agama tanpa harus mengorbankan teks-teks agama.

Masyarakat Bugis, merupakan kelompok masyarakat yang taat terhadap


agama sekaligus terikat kuat oleh adat yang telah berlangsung turun temurun

dalam kebidupan mereka. Sistem kekerabatan pada orang Bugis disebut assea-

jingeng ialah bersifat bilateral, Tetapi ada pula yang berpendapat sistem yang

dianut itu ialah bilateral-parental. Iiberal sistem kesatuan kekeluargaan dimana

setiap orang menghubungkan dirinya dalam hal keturunan kepada pihak ibu dan

pihak bapaknya, dikaitkan dengan kewarisan maka mempunyai makna dapat


38

menerima harta waris dari kedua belah pihak baik pihak kerabat laki-laki

maupun pihak kerabat perempuan.52’

dalam konteks budaya Bugis, asas kepatutan dalam bahasa Bugis disebut

asitinajang. Kata ini berasal dari tinaja yang berarti cocok, sesuai, pantas atau

patut. Lontarak mengatakan:Duduki kedudukanmu, tempati tempatmu.53

Ade’ Wari (adat perbedaan) pada prinsipnya mengatur segala sesuatu

agar berada pada tempatnya, termasuk perbuatan mappasitinaja. Kewajiban yang

dibaktikan memperoleh hak yang sepadan adalah sesuatu perbuatan yang patut.

Banyak atau sedikit, tidak dipersoalkan dalam konsep sitinaja. Mengambil yang

sedikit jika yang sedikit itu mendatangkan kebaikan, dan menolak yang banyak

apabila yang banyak itu mendatangkan kebinasaan “alai cedde’e risesena engkai

mappideceng, sampeangngi maegai risesena engkai makkasolang”.54Mengambil

hak (warisan) juga harus mempertimbangkan asas kepatutan dan keadilan demi

memproteksi terjadinya kecemburuan dan konflik keluarga muslim.

Budaya “pessse” (solidaritas, empati, rasa ibah, dan kebersamaan) juga

telah lama mewarnai cara berpikir dan berprilaku masyarakat Bugis dalam

menyikapi pembagian pusaka, sehingga tidak menyebabkan terjadinya

ketegangan antara para ahli waris, khususnya antara saudara perempuan dan laki-

laki. Hal ini juga eratkaitannya dengan budaya Bugis asitinajang (kepatutan) dan

lempu’ (kejujuran). Ketika Tociung, Cendikiawan Luwu, diminta nasihatnya

52
Ibnu Qoyim,Adat dan Agama dalam Perkawinan dan Kewarisan Pada Masyarakat Bugis
(Jakarta: (PMB) LIPI, 2005), h. 117.
53
A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis (Cet. I; Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2011), h. 129.
54
A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, h. 130.
39

oleh calon raja (datu) Soppeng, La Manussa’ Toakkareng, Tociung menyatakan

ada empat perbuatan jujur, yaitu:

1) Memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya,

2) Dipercaya lalu tidak curang, artinya disandari lalu tidak berdusta,

3) Tidak menyerakahi yang bukan haknya, dan

4) Tidak memandang kebaikan kalau hanya untuk dirinya, baginya baru

dikatakan kebaikan kalau bisa dinikmati bersama. Dalam bahasa

Bugis dikatakan:“Eppa’ gau’na lempu’e: risalaie naddampeng,

riparennuangie temmacekko bettuanna risanresi teppabbelleang,

temmangoangenngi tenia alona, tennaseng deceng rekko nassamarini

pudeceng”,

Tidak serakah (temmangoa) dan tidak memandang sesuatu itu baik kalu

hanya kebaikan pada dirinya merupakan cara pandang yang mengandung nilai-

nilai solidaritas dan rasa ibah (pesse) kepada sesama saudara termasuk dalam

persoalan kewarisan. Sikap “serakah dan mementingkan diri sendiri” saja

merupakan sikap yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya Bugis.55

Bagi masyarakat Bugis, pemahaman mereka mengenai pembagian harta

warisan mengikuti syariat, yaitu sebagaimana sering diungkapkan bahwa

“mallempa’ orownewe-e, majjujung makkunraiye” “laki-laki memikul

(membawa dua), perempuan menjunjung (membawa satu)” (2 : 1). Filosofi

format 2 :1 (mallempa’ ana’ orowane-e majjujung ana’ makkunrai-iye) tidak

hanya dalam konteks hak warisan, tetapi laki-laki apabila orangtuanya sudah

meninggal maka ia bertanggungjawab atas sudaranya perempuannya yang belum

55
A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, h. 131.
40

menikah. Ia bertanggungjawab terhadap keluarga dan saudara perempuannya.

Syarat mendapatkan dua kali lipat yaitu apabila ia bertanggungjawab memikul

(mallempa’) beban kebutuhan saudara perempuannya yang belum menikah. Jadi,

memikul berarti di bagian depan ia membawa tanggung jawab dan di belakang

membawa haknya. Inilah bentuk keseimbangan yang mendekati keadilan dalam

budaya Bugis.56

Sebaliknya, jika perempuan mendapatkan lebih banyak daripada

saudaranya yang laki-laki sebagaimana biasa dijumpai dalam tradisi sebagian

masyarakat Bugis yang mewariskan barang yang lebih besar nilainya (misalnya

rumah, ruko, emas) sedangkan saudara laki-laki hanya memperoleh bagian yang

lebih kecil sehingga menimbulkan ketidakadilan maka itu juga merupakan

bentuk kezhaliman dalam kewarisan. Oleh karena itu, asas asitinajang

(kepatutan) dapat menjadi salah satu alternatif untuk mendekati keadilan dalam

praktik kewarisan. Budaya asitinajang mengandung makna bahwa sejatinya

pembagian harta warisan mengandung nilainilai kearifan lokal (al-ūrf) yang

diakomodir dalam Islam. Esensi asitinajang dalamkonteks ini adalah

terealisirnya nilai-nilai keadilan dan terciptanya harmoni antara ahli waris.57

Oleh sebab itu, Pada dasarnya di masyarakat suku bugis dikenal istilah

sanre’i ade’e ri sara’e artinya ketentuan hukum adat bersandar atau bersumber

dari hukum Islam. Di lain pihak adat kebiasaan, perubahan kondisi sosial dan

hukum Islam merupakan pegangan masyarakat di dalam menentukan hidup dan

masa depannya. Namun kadang-kadang terjadi sikap individu atau masyarakat

56
A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, h. 132.
57
H. Ahmad Ubbe, Perkembangan Hukum Adat Di Propinsi Sulawesi Selatan (Cet. I; Jakarta:
Depkumham. 2005), h. 94.
41

yang terkesan terlalu berani mengambil resiko, hal tersebut adalah pengaruh kuat

dari adat kebiasaan yang bertumpu pada “siri” (harga diri) dan kemudian

disandarkan kepada syariat Islam.58

Hanya di dalam penerapannya menghadapi permasalahan yaitu kadang-

kadang hukum Islam dianggap bagian hukum Adat, atau kadang-kadang juga

terjadi sebaliknya, yaitu hukum Adat dianggap bagian dari hukum Islam, bahkan

tidak diketahui apakah suatu kaidah hukum adalah hukum Islam atau hukum

Adat.

Salah satu contoh di dalam hukum waris, dikenal istilah hukum

mallempa orowane, majjujung makkunreie (laki-laki memikul, perempuan

menjunjung), artinya pembagian waris laki-laki adalah dua berbanding satu

dengan anak perempuan. Di sisi lain, meskipun hukum Adat bersandar atau

bersumber dari hukum Islam, namun dalam praktek, tidak semua nilai-nilai

hukum Islam yang hidup menjadi perhatian untuk diterima sebagai bahan

pertimbangan, tetapi sebaliknya nilai tersebut dikoreksi atas dasar pertimbangan

rasa keadilan. Contohnya dalam sengketa waris terdapat istilah polo leteng (cucu

tidak mendapat warisan dari neneknya, karena ayahnya meninggal lebih dahulu

dari neneknya). Akan tetapi sejak tahun 1990 pemahaman masyarakat tentang

polo leteng tersebut dikoreksi dengan nilai hukum yang dianggap lebih

memenuhi rasa keadilan yakni dengan menerapkan hukum ahli waris

pengganti.59

58
A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, h. 133.
59
Ibnu Qoyim,Adat dan Agama dalam Perkawinan dan Kewarisan Pada Masyarakat Bugis,
h. 111.
42

Oleh karena itu, berdasarkan hal di atas bahwa hukum waris menurut

hukum adat pada masyarakat bugis di bedakan pula berdasarkan garis

keturunannya. Pada golongan bangsawansendiri warisan jatuh pada anak

perempuan sama dengan pada anak laki-laki,yaitu satu banding satu,karena anak

wanita juga dapat duduk dalam pemerintahan,sedang anak yang ibunya bukan

bangsawan, tidak berhak mendapat warisan mereka hanya dapat hadiah dari

saudarasaudaranya dan ayahnya yang dalam bahasa bugis disebut pammase.


DAFTAR RUJUKAN

Alwasilah A.Chaedar. Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan

Penelitian Kualitatif , Cet. 1; Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2002.

Amir Syarifuddin. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2004.

Andika Deo Putra Sihombing. Pembagian waris adat masyarakat suku Bugis di

Kecamatan Enok, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, Jurnal Hukum,

Vol. 1 No. 2, 2017.

Bashori Subhan. al-faroidh, (Jakarta: Nusantara Publisher, 2009.

Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Departemen Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahnya , Cet. IIV; Jakarta: CV. Nala

Dana, 2013.

Eman Suparman. Hukum Waris Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2005.

Eriyanto Torop Sabar Nainggolan. Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum

Waris Adat pada Masyarakat Batak Toba Di Kecamatan Pontianak Kota di

Kota Pontianak (Tesis, Megister Kenotariatan, Program Pasca Sarjana,

Universitas Diponegoro, 2005.

Fuadi Rifki. Kedudukan Waris Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan (studi

komparatif kedudukan waris ditinjau dari hukum islam dan hukum adat di

Cilacap), Skripsi, Program studi Hukum Islam, Fakultas Syariah, IAIN

Purwokerto, 2019.

Ghoni Djunaldi dan Fauzan Almanshur. Metode Penelitian Kualitatif, Cet. I;

Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.

Hadikusuma Hilman. Hukum Waris Adat (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003.

43
44

Hamid, Pananrangi, dkk. Dampak Modernisasi Terhadap Hubungan Kekerabatan

Daerah Sulawesi Selatan, Jakarta: Depdikbud 2001.

Hamidjojo Prodjojo. Hukum Waris Indonesia, Jakarta: Stensil, 2000.

Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir, Jilid. III; Surakarta: Insan Kamil, 2015.

Ishaq. Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Cet. I; Jakarta : Sinar Grafika 2009.

J. Moleong Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Ed. Revisi II; Cet. 22; Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2004.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online.

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/minyak, (diakses tanggal 10 Juni 2021)

pukul. 10.00 WITA.

Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar Mesir. Hukum Waris, (Jakarta:

Senayan Abadi Publishing, 2004.

Lihat Peraturan Mahkamah Agung Rupublik Indonesia Tahun 1961 Nomor 176 Pasal

13.

Lihat Perubahan Kedua Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 B

M. Athoillah. Fikih Waris , Cet. II; Bandung: Yrama widya, 2013.

Mei Sufyan Utama. Kedudukan Ahli Waris Pengganti dan Prinsip Keadilan dalam

Hukum Waris Islam Jurnal Hukum, Vol. 34 No. 1, 2016.

Mustara. Perkembangan Hukum Waris Adat di Sulawesi Selatan (Sulawesi Selatan:

UNHAS Press, 2007.

Nasution S. Metodologi Research Penelitian Ilmiah, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.

Nata Abuddin. Metodologi Studi Islam (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2008), h. 48.
45

Pelras Christian. Manusia Bugis, terj. Abdul Rahman Abud dkk., The Bugis Jakarta:

Nalar bekerja sama Forum Jakarta-Paris, EFEO, 2005.

Perangin Effendi. Hukum Waris, Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013.

Pramadya Yan Puspa. Kamus Hukum, Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2008.

Prastowo Andi. Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian,

Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.

Qoyim Ibnu. Adat dan Agama dalam Perkawinan dan Kewarisan Pada Masyarakat

Bugis(Jakarta: (PMB) LIPI, 2005.

Rahim A. Rahman. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, Cet. I; Yogyakarta:

Penerbit Ombak, 2011.

Rato Dominikus. Hukum Kontemporer. Surabaya: LaksBang Justicia, 2015.

Samosir Djamanat. Hukum Adat, Eksistensi Dalam Dinamika Perkembangan Hukum

Indonesia. Bandung: CV Nuansa Aulia, 2013.

Soepomo. Bab-bab Tentang Hukum Adat, Ed. III, Cet. 1V; Jakarta: Penerbitan

Universitas, 2008.

Sudiyat Iman. Hukum Adat Sketsa Azas Ed. III, Cet. VII; Yogyakarta: Liberty, 2002.

Sugiyono. Metode Penelitian Pedekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Cet.

XXIII; Bandung :Alfabeta CV, 2016.

Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek , Cet. XII;

Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002.

Suharsini Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. I; Jakarta:

Rineka Cipta, 2002.

Suparman Erman. Hukum Waris Indonesia Bandung: PT Refika Aditama, 2005.

Syamsuri. Pendidikan Agama Islam , Cet. II; Jakarta: Erlangga, 2007.


46

Tatang M. Amirin. Menyusun Rencana Penelitian, Cet. III; Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2003.

Teguh Muhammad. Metodologi Penelitian Ekonomi Teori da Aplikasi, Ed. 1-3;

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Ubbe H. Ahmad. Perkembangan Hukum Adat Di Propinsi Sulawesi Selatan, Cet. I;

Jakarta: Depkumham. 2005.

Umar Husein. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis,Cet XIII; Jakarta:

Rajawali Pers, 2014.

Wulansari Dewi. Pengantar Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Cet. I; PT.

Refika Aditama, 2014.

Anda mungkin juga menyukai