Anda di halaman 1dari 11

MENGENAL SISTEM HUKUM WARIS ADAT DAN SISTEM HUKUM

WARIS ISLAM

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah Hukum Kewarisan

Dosen Pengajar :
Dr. Ilyas, S.H., M.Hum.

Oleh :
Tia Tasia Zein
NIM 2203202010037

MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

BANDA ACEH

2023
BAB I
PENDAHULUAN

Hukum Adat merupakan sistem hukum non-statutair yang diciptakan oleh Snouck

Hurgronje pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di Indonesia sebagai suatu

hukum kebiasaan dan sebagian kecilnya adalah hukum Islam. Hukum Adat meliputi

hukum-hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim dan berisikan asas-asas hukum

lingkungan, di mana ia memutuskan perkara, di mana hukum Adat berurat berakar pada

kebudayaan tradisional yang bersifat lokal.

Hukum adat disebut hukum tidak tertulis (unstatuta law), yang berbeda dengan

hukum kontinental sebagai hukum tertulis (statute law). Dalam sistem hukum Inggris,

hukum tidak tertulis disebut "Common Law" atau "Judge Made Law". Hukum adat

merupakan produk budaya yang mengandung substansi tentang nilai-nilai budaya sebagai

cipta, karsa, dan rasa manusia. Dalam arti bahwa hukum adat lahir dari kesadaran atas

kebutuhan dan keinginan manusia untuk hidup secara adil dan beradab sebagai aktualisasi

peradaban manusia. Selain itu, hukum adat juga merupakan produk sosial, yaitu sebagai hasil

kerja bersama dan merupakan karya bersama (milik sosial) dari suatu masyarakat hukum

adat.1

Hukum adat adalah suatu model hukum yang dibangun baik bersifat riil maupun idiil

dari bangsa Indonesia dengan bahasa suku bangsa itu. Berlakunya hukum adat di masyarakat,

menurut Moh. Koesno bersandar pada kehalusan rasa harmoni dari para anggota. masyarakat

yang mendatangkan rasa susila yang tajam bagi mereka. Rasa susila yang tinggi inilah yang

memberi mereka kepekaan terhadap rasa malu, rasa takut akan terkena "wirang" atau "sirik".2

Hukum Adat merupakan hukum kebiasaan yang mempunyai akibat hukum (sein

sollen), dan berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan belaka, di mana kebiasaan yang merupakan

1
Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia; Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum
Adat Di Indonesia, (Bandung; Nuansa Aulia, 2013), hlm. 1.
2
Rosnidar Sembiring, Hukum Waris Adat, (Depok: Rajawali Press, 2021), hlm.1.
Adat adalah perbuatan-perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Namun

hukum dalam bentuk ini juga dapat dijumpai di setiap negara termasuk negara maju, dan di

negara-negara Islam, dalam hukum Islam disebut “al-’urf” atau “al- ‘âdah”.

Hukum Adat di Indonesia yang ditemukan van Vollenhoven yang merupakan

rekayasa politik hukum Belanda untuk melaksanakan politik devire et impera bangsa

Indonesia. Bahkan dalam kehidupan bangsa Indonesia khususnya bagi warga negara yang

beragama Islam telah menciptakan tata nilai yang mengatur tata kehidupan paling tidak

menentukan baik-buruk yang menjadi perintah dan larangan agama, dan kepatuhan hukum

dan yurisprudensi islam telah diserap menjadi bagian hukum positif.

Akibat adanya ciptaan hukum Adat oleh orang-orang Belanda hukum Adat dan

hukum Islam saling bertentangan satu sama lain,3 sedangkan dalam perkembangannya kedua

hukum tersebut satu sama lain saling mengisi, bahkan dalam hukum perkawinan dan hukum

wakaf, hukum Islam telah merevisi atau telah menjadi hukum adaptasi, termasuk hukum

warisan, yang dulunya bagian antara laki-laki dan perempuan dengan istilah “belah ketupat”

kemudian menjadi “sepikul segendongan”.

Bahkan dalam kehidupan bangsa Indonesia khususnya bagi warga negara yang

beragama Islam telah menciptakan tata nilai yang mengatur tata kehidupan paling tidak

menentukan baik-buruk yang menjadi perintah dan larangan agama, dan kepatuhan hukum

dan yurisprudensi lslam telah diserap menjadi bagian hukum positif.4

3
Muhammad Yahya Harahap, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam Hukum Adat, (Bandung:
Citra Aditya Bakti. 1993), hlm. 60.
4
Juhaja S. Praja dkk, Hukum Islam di Indonesia dalam Pemikiran dan Praktek, (Bandung: Remaja
Rosdakarya. 1991), hlm. 15.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Sistem Hukum Waris Adat

Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat mempunyai budaya berupa adat

istiadat yang mencerminkan dari pada kepribadian sesuatu bangsa Indonesia, selanjutnya

menjadi sumber bagi sistem hukum Adat.5 Sedangkan istilah adat berasal dari bahasa Arab,

dan istilah ini telah hampir menjadi bahasa di semua daerah Indonesia. Adat dapat juga

diartikan kebiasaan, sehingga secara sederhana hukum Adat atau Adatrecht dapat diartikan

kedalam bahasa Indonesia menjadi hukum kebiasaan.

Selain itu, A. Qodri Azizy memberikan konsepsi secara dinamis bawa hukum Adat

Indonesia ini, lebih tepat disebut “hukum kebiasaan” (customary law) atau hukum yang hidup

di masyarakat (living law)6 , sedangkan dalam pengertian yang statis adalah kebiasaan atau

Adat-istiadat bangsa Indonesia yang telah dijadikan sebuah disiplin dan dikategorikan secara

baku. Demikian juga Soerjono Soekanto juga mengatakan bahwa pada hakikatnya hukum

Adat merupakan hukum kebiasaan, artinya kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat

hukum (sein sollen), berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan belaka, kebiasaan yang merupakan

adat adalah perbuatan-perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama.7

Dalam pelaksanaan hukum warisan adat di Indonesia banyak dipengaruhi oleh prinsip

garis kekerabatan atau keturunan, baik melalui ayah maupun melalui ibu. Bentuk kekerabatan

itu ditentukan oleh prinsip keturunan (principle decent) menurut Kuncoroningrat ada empat

prinsip pokok garis keturunan di Indonesia, yaitu:

a. Prinsip Patrilineal (Patrilineal Descent) yang menghitung hubungan kekerabatan

melalui laki-laki saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa tiap individu dalam

5
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung. 1995), hlm.
13.
6
A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum,
(Yogyakarta: Gama Media. 2002), hlm. 110.
7
Soerjono Soekanto, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : Rajawali. 1993), hlm. 37.
masyarakat semua kaum kerabat ayah masuk ke dalam batas hubungan

kekerabatannya sedang kaum kerabat ibu jatuh di luar batas itu. Dalam hal ini

kedudukan laki-laki sangat menonjol atau kuat, misalnya: di masyarakat Batak yang

berkah pewaris hanya laki-laki. Seorang perempuan yang sudah kawin akan keluar

dari kerabatnya dan mengikuti suami setelah jujuran lunas, semua anaknya juga

masuk dalam kerabat suaminya.

b. Prinsip Matrilineal (Matrilineal Descent), yang menghubungkan hubungan

kekerabatan melalui perempuan saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa tiap-tiap

individu dalam masyarakat semua kerabat ibu dalam batas hubungan kekerabatannya,

sedang kaum kerabat ayah jatuh di luar batas itu. Anak perempuan lebih menonjol

dari anak laki�laki, yang menjadi ahli waris adalah anak perempuan seperti adat

Minangkabau.

c. Prinsip Bilineal (Bilineal Descent) prinsip ini juga sering disebut doble decent, yang

menghitungkan hubungan kekerabatan melalui pria saja, untuk sejumlah hak dan

kewajiban tertentu, dan melalui wanita saja untuk sejumlah hak dan kewajiban yang

lain, dan karena mengakibatkan bahwa bagi tiap-tiap individu dalam masyarakat

kadang-kadang semua kaum kekerabatan ayah masuk ke dalam batas hubungan

kekerabatannya, sedangkan kaum kerabat ibu jatuh di luar batas itu, dan

kadang-kadang sebaliknya; dan

d. Sistem Bilateral/Parental, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan

dari dua sisi baik pihak ayah atau ibu. Maka, kedudukan anak laki-laki dan anak

perempuan sama, yang keduanya sama-sama merupakan ahli waris dari kedua orang

tuanya.8

8
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi, (Jakarta: Dian Rakyat. 1992), hlm. 135.
Menurut pendapat Hazairin, di Indonesia memiliki 3 macam sistem hukum kewarisan

dalam hukum adat, sistem tersebut ada yang bersifat individual, kolektif, dan mayorat.

a. Sistem kolektif adalah sistem kewarisan di mana harta peninggalan tidak terbagi-bagi

secara perorangan. Menurut Tolib Setiady, sistem kewarisan kolektif memiliki ciri

bahwa harta peninggalan itu diwarisi sekumpulan ahli waris yang bersama-sama

merupakan semacam Badan Hukum di mana harta tersebut sebagai harta pusaka yang

tidak boleh dibagi-bagikan pemiliknya di antara para ahli waris, tetapi hanya boleh

dibagi-bagikan pemakaian, pengelolaan dan menikmati hasilnya (hanya mempunyai

hak pakai saja).9 Sistem kewarisan kolektif seperti ini terdapat pada masyarakat adat

Minangkabau, Ambon, Flores (Ngadhu Bhaga), Minahasa.

b. Sistem mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa harta peninggalan

yang tidak terbagi-bagi hanya diwarisi oleh seorang anak. Ciri-cirinya adalah harta

warisan diwarisi seluruh atau sebagian oleh si anak saja, yang berarti hak pakai, hak

mengolah dan memungut hasilnya seorang dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua

dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya sampai dapat

berdiri sendiri.10 Sistem mayorat ini terdapat di masyarakat Bali, Semendo di

Sumatera Selatan, Lampung, Irian Jaya, Kerinci.

c. Sistem kewarisan individual yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa ahli

waris mewarisi harta peninggalan dibagi-bagikan secara perorangan atau individual.

Ciri-cirinya adalah harta peninggalan atau harta warisan dibagi-bagikan di antara ahli

waris. Sistem pewarisan ini terjadi pada masyarakat bilateral seperti di Jawa, Sulawesi

(Toraja), Madura, Aceh, Lombok, Irian, dan lain-lain. Di Jawa, setiap anak dapat

9
Tolib Setiady, Intisari Hukum Indonesia dalam Kajian Kepustakaan, (Bandung; Alfabeta, ) hlm. 286
10
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm.
63.
memperoleh secara perorangan atau individual harta warisan dari ayah ibu atau kakek

neneknya.11

Dari hukum waris adat tidak perlu langsung menunjukkan kepada bentuk masyarakat

di mana hukum kewarisan itu berlaku karena sistem kewarisan individual bukan saja dapat

ditemui dalam masyarakat adat bilateral, tetapi juga dapat ditemukan dalam masyarakat adat

matrilineal, dan masyarakat parental, seperti orang Batak, bahkan di suku Batak mungkin

dijumpai sistem mayorat dan sistem kolektif terbatas. Demikian juga dengan sistem mayorat,

selain dalam masyarakat patrilineal yang beralih-alih ditahan Semendo dijumpai juga

masyarakat bilateral orang dayak Kalbar, sedangkan sistem kolektif dalam batas-batas

tertentu malah dapat pula dijumpai dalam masyarakat adat yang bilateral, seperti Minahasa,

Sulawesi Utara.12

Hukum Perdata Barat (BW) meskipun tidak sesuai dengan kondisi negara Indonesia,

namun untuk menghindari kekosongan hukum bagi warga negara keturunan asing, tetap

diberlakukan, meskipun Dewan Perwakilan Rakyat RI dan pemerintah telah menyadarinya,

tetapi belum merubah dan membuat hukum warisan Indonesia seperti hukum perkawinan

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

2. Sistem Hukum Waris Islam

Hukum warisan Islam hanya mengenal satu bentuk warisan karena adanya kematian.

Hal ini dipahami bahwa harta dalam Islam mempunyai sifat amanah (titipan), artinya

manusia berhak mengatur, tetapi harus sesuai dengan ketetapan-ketetapan Allah SWT,

sehingga apabila seorang telah meninggal dunia tidak mempunyai hak lagi untuk

mengaturnya, dan kembali kepada-Nya.

Di samping itu, dalam hukum warisan Islam terdapat unsur-unsur yang dalam hukum

Islam disebut rukun. Adapun unsur-unsur hukum kewarisan Islam, antara lain: pertama yaitu

11
Badriyah Harun, Panduan Praktis Pembagian Warisan, (Yogyakarta: Pustaka Yustitia, 2010), hlm. 9.
12
Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1991), him. 37.
pewaris (mawaris) adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta

warisan; dan kedua, harta warisan adalah harta, baik berupa harta bergerak, tidak bergerak,

dan harta yang tidak maujud, seperti hak intelektual, hak cipta dan lain-lain.

Keberadaan harta tersebut dapat dibagikan kepada para ahli waris, setelah dikurangi

biaya-biaya perawatan/pengobatan pewaris, pemakaman, pembayaran hutang, dan wasiat.

Sedangkan unsur yang terakhir adalah ahli waris yaitu orang yang berhak menerima harta

warisan. Pendek kata, harta warisan dapat dibagikan jika semua kewajiban muwaris telah

selesai digunakan. Adanya variasi pembagian warisan karena dipengaruhi oleh ajaran agama

Islam, karena hukum warisan Islam perolehan harta warisan antara laki-laki dengan

perempuan dua berbanding satu, artinya laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan

perempuan mendapat satu bagian, (lihat al-Quran Surat al-Nisâ’ ayat 11 dan 12).

Dengan adanya perubahan perolehan harta warisan antara laki-laki dengan

perempuan, ini membuktikan bahwa hukum warisan adat parental khususnya di Jawa telah

mendapat resepsi dari hukum Islam, meskipun dalam praktik belum seluruhnya masyarakat

meresepsi hukum warisan Islam. Hal ini dikarenakan umat Islam di Jawa khususnya di

pedalaman Islam dikembangkan dengan tafsir sifustik yang mementingkan hakekat dari pada

syariat yang kemudian membentuk budaya kebatinan atau sering disebut “ kejawen”.

Selain itu tentunya dakwah Islam berhubungan dengan hukum-hukum keluarga,

khususnya hukum warisan belum optimal dilakukan oleh para juru dakwah, sehingga

pengetahuan hukum warisan belum dipahami betul oleh umat Islam di daerah pedalaman. Hal

ini juga dapat diperhatikan bahwa penyampain ajaran Islam lebih banyak mengenai ibadah

mahdhah, kebanyakan yang berkaitan shalat, puasa, haji dan lain sebagainya.

Sementara itu ada seperangkat asas-asas hukum warisan Islam dalam teks al-Quran

dan al-Sunnah tidak dijumpai, dan asas tersebut merupakan hasil ijtihad para mujtahid atau

ahli hukum Islam. Dengan demikian kemungkinan asas hukum warisan Islam itu beragam.
Menurut Amir Syarifuddin asas hukum warisan Islam lima macam, yaitu asas ijbari, asas

bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas warisan semata akibat

kematian.13

a. Asas Ijbari secara etimologi mengandung arti paksaan untuk melakukan sesuatu diluar

kehendaknya sendiri. Karena hukum warisan Islam berasaskan ijbari, maka

pelaksanaan pembagian harta warisan menjadi keharusan, tidak berdasarkan dari

kehendak pewaris sebagaimana hukum warisan perdata barat.

b. Asas Individual adalah harta warisan yang telah diterima oleh ahli warisnya, dapat

dimiliki secara individu. Jadi bagian-bagian setiap ahli waris tidak terikat dengan ahli

waris lainnya, tidak seperti dalam hukum Adat ada bagian yang sifatnya tidak dapat

dimiliki secara perorangan, tetapi dimiliki secara kelompok.

c. Asas Bilateral artinya ahli waris menerima harta warisan dari garis keturunan atau

kerabat dari pihak laki-laki dan pihak perempuan, demikian sebaliknya peralihan

harta peninggalan dari pihak garis keturunan pewaris laki-laki maupun perempuan.

d. Asas Keadilan Berimbang adalah asas yang memberikan warisan dari pihak laki-laki

dan pihak perempuan menerima harta warisan secara berimbang artinya sesuai dengan

keseimbangan tanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga.

e. Asas Warisan Semata Kematian maksudnya adalah hukum warisan Islam hanya

mengenal satu bentuk warisan karena adanya kematian, seperti dalam hukum warisan

perdata barat (BW), dengan istlah “ab intestato”, namun dalam hukum warisan BW,

juga karena adanya ”wasiat” yang disebut “testament” termasuk sebagai bagian dari

hukum warisan. Lain halnya dengan hukum Islam wasiat suatu lembaga hukum

tersendiri, bukan sebagai bagian hukum warisan.

13
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Edisi 1, Cetakan 1, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 18.
BAB III
KESIMPULAN

` Hukum adat disebut hukum tidak tertulis, yang berbeda dengan hukum kontinental

sebagai hukum tertulis . Dalam sistem hukum Inggris, hukum tidak tertulis disebut "Common

Law" atau "Judge Made Law". Hukum adat merupakan produk budaya yang mengandung

substansi tentang nilai-nilai budaya sebagai cipta, karsa, dan rasa manusia. Hukum adat

adalah suatu model hukum yang dibangun baik bersifat riil maupun idiil dari bangsa

Indonesia dengan bahasa suku bangsa itu.

Berlakunya hukum adat di masyarakat Indonesia memiliki kekhasan atau corak

tersendiri seperti dalam bentuk masyarakat sistem patrilineal, sistem matrilineal yaitu sistem

kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu (perempuan), anak perempuan

lebih menonjol dan sistem bilateral/parental yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis

keturunan dari dua sisi baik pihak ayah atau ibu. Di Indonesia, ada tiga macam sistem hukum

kewarisan dalam hukum adat. Menurut pendapat Hazairin, sistem tersebut ada yang bersifat

pertama, bersifat individual yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa ahli waris

mewarisi harta peninggalan dibagi-bagikan secara perorangan atau individual; kedua bersifat

kolektif yaitu sistem kewarisan di mana harta peninggalan tidak terbagi-bagi secara

perorangan; dan ketiga bersifat mayorat yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa

harta peninggalan yang tidak terbagi-bagi hanya diwarisi oleh seorang anak.

Hukum warisan merupakan hukum yang memuat seluruh peraturan hukum yang

mengatur pemindahan hak milik, barang-barang, harta benda dari generasi yang berangsur

mati (yang diwariskan) kepada generasi muda (para ahli waris). Dalam banyak kasus,

penerapan hukum waris pada umumnya mengacu kepada sumber hukum Adat yang asli

sebelum adanya resepsi dari hukum agama. Namun ada juga yang mengacu langsung kepada

ketentuan-ketentuan agama yang datang kemudian baik agama hindu maupun agama Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Harun, Badriyah. Panduan Praktis Pembagian Warisan. Yogyakarta: Pustaka Yustitia, 2010.

Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Edisi 1, Cetakan 1, Jakarta: Kencana, 2004.

Samosir, Djamanat. Hukum Adat Indonesia ; Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan


Hukum Adat Di Indonesia. Bandung: Nuansa Aulia, 2013.

Suparman, Eman. Intisari Hukum Waris Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1991.

Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju,
2003.

Praja, Juhaja S. dkk. Hukum Islam di Indonesia dalam Pemikiran dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1991.

Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi. Jakarta: Dian Rakyat, 1992.

Azizy, A. Qodri. Eklektisisme Hukum Nasional Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum. Yogyakarta: Gama Media, 2002.

Sembiring, Rosnidar. Hukum Waris Adat. Depok: Rajawali Press. 2021.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Jakarta : Rajawali, 1993.

Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung,
1995.

Harahap, Muhammad Yahya. Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam Hukum Adat.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.

Setiady, Tolib. Intisari Hukum Indonesia dalam Kajian Kepustakaan. Bandung: Alfabeta,
2018

Anda mungkin juga menyukai