Anda di halaman 1dari 13

UNIVERSITAS PELITA BANGSA

HUKUM WARIS MENURUT ADAT JAWA TENGAH

TUGAS MAKALAH
MATA KULIAH HUKUM ADAT

DISUSUN OLEH :

Yeni Eriana Rizky (442010110)

KELAS HKM.20.C2
Dosen Pengampu : DRS. HUSEIN MANALU S.H., MM., 0M.H

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN HUMANIORA


BEKASI
SEPTEMBER 2022
Pendahuluan

Istilah hukum adat berasal dari Bahasa Arab, yaitu hakama yahkmu-hukman yang
berarti ketentuan dan ‘adah yang berarti kebiasaan. Jadi dapat dikatakan bahwa “hukum adat”
adalah hukum kebiasaan.1

Selain itu, istilah “hukum adat” adalah terjemahan dari istilah dalam Bahasa Belanda
adaterch, untuk kali pertama dikemukakan oleh Snouck Hurgronje. Istilah ‘adatrecch
kemudian dikutip dan dipakai oleh Van Vollehoven sebagai istilah teknis-yuridis. Dalam
perundang-undanganm istilah adatrech itu baru muncul pada tahun 1920, yaitu untuk pertama
kali dipakai dalam Udang-Undang Belanda mengenai perguruan tinggi di Belanda. Akan tetapi
pada permulaan abad ke-20, lama sebelum dipakai dalam perundang-undangan, istilah
adatrech makin sering dipakai dalam literatur (kepustakaan) tentang hukum adat, yaitu dipakai
oleh Nederburghm Juynboll, dan Scheuer.

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang
ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada asasnya
hanya hak-hak dan kewajibankewajiban dalam lapangan hukum kekayaan/ harta benda saja
yang dapat diwariskan.2

Warisan merupakan segala sesuatu peninggalan yg diturunkan sang pewaris yang telah
meninggal pada orang yg sebagai pakar waris oleh pewaris tadi. Wujudnya mampu berupa
harta beranjak (mobil, deposito, logam mulia, dll) atau tak beranjak (tempat tinggal , tanah,
bagunan, dll), dan termasuk juga hutang atau kewajiban sang pewaris. hukum Waris
merupakan hukum yang mengatur tentang harta warisan tersebut. mengatur cara-cara
berpindahnya, siapa-siapa saja orang yang pantas mendapatkan harta warisan tersebut, hingga
harta apa saja yg diwariskan.3

Menurut Soepomo4 "Hukum waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses


meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barangbarang yang tidak
berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada
turunannya." Proses ini telah mulai pada waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak
menjadi "akuut" oleh sebab orang tua meninggal dunia. Meninggalnya bapak atau ibu adalah

1 Siska Lis Sulistiani, Hukum Adat (Jakarta: Siinar Grafika, 2020), hlm. 25.
2 Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm 3.
3 Pasal 171
4 5Eman Suparman, Loc. Cit.,

2
suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi tidak mempengaruhi secara radikal
proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut.

B. Ter Haar Bzn dalam bukunya "Azas-azas dan Susunan Hukum Adat" yang
dialihbahasakan oleh K. Ng. Soebakti Poesponoto memberikan rumusan hukum waris sebagai
berikut: "Hukum waris adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad
ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari
generasi ke generasi.”5

Wujud warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam sangat berbeda dengan
wujud warisan menurut hukum waris barat sebagaimana diatur dalam Burgerlijk Wetboek
(BW) maupun menurut hukum waris adat. Warisan atau harta peninggalan menurut hukum
Islam yaitu "sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan
bersih." Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta
benda serta segala hak, "setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan
pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal waris."6

Hukum Kewarisan ialah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa- siapa yang berhak menjadi ahli waris serta
berapa bagiannya masing- masing7

Hukum waris adat artinya Hukum lokal suatu daerah ataupun suku tertentu yg berlaku,
diyakini dan dijalankan oleh rakyat-masyarakat wilayah tersebut. hukum waris adat pada
Indonesia tak terlepas berasal impak susunan rakyat kekerabatannya yg tidak sinkron. hukum
waris istiadat tetap dipatuhi dan dilakukan sang masyarakat adatnya terlepas asal hukum waris
adat tersebut telah ditetapkan secara tertulis maupun tidak tertulis. sesuai hukum waris tata cara
dikenal beberapa macam sistem pewaris, yaitu:

Sistem keturunan: pewaris berasal asal keturunan bapak atau bunda ataupun keduanya.
a. Sistem individual: setiap ahli waris menerima bagisannya masing-masing.
b. Sistem kolektif: pakar waris menerima harta warisan namun tak dapat dibagi-bagikan
dominasi ataupun kepemilikannya. Setiap ahli waris hanya mendapatkan hak buat memakai
ataupun mendapatkan hasil berasal harta tersebut.

5 ibid
6 Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hlm 17
7 Pasal 171 KHI ayat a

3
c. Sistem mayorat: harta warisan diturunkan kepada anak tertua menjadi pengganti ayah dan
ibunya.

Hukum waris norma tidak mengenal adanya hak bagi waris buat sewaktu-ketika
menuntut supaya harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana diklaim pada alinea
kedua asal pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum waris Islam. tapi Bila si waris
memiliki kebutuhan atau kepentingan, sedangkan beliau berhak menerima waris, maka dia bisa
saja mengajukan permintaannya buat dapat memakai harta warisan dengan cara
bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.

Di intinya pembagian warisan berdasarkan Hukum Waris istiadat sangat majemuk


tergantung ketentuan suatu tata cara tadi dengan permanen memperhatikan prinsip keadilan
antara para ahli waris.

4
Hukum Waris Adat Jawa Tengah

Pembangunan di bidang hukum Indonesia diarahkan kepada peningkatan dan


penyempunan pembinaan hukum nasional dengan memperhatikan kesadaran hukum dalam
masyarakat, mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta menempatkan
supremasi hukum dalam tatanan bernegara dan bermasyarakat.

Hukum adat merupakan salah satu sumber hukum yang penting dalam rangka
pembangunan hukum nasional yang menuju kearah peraturan perundang-undangan.
Unsurunsur kejiwaan hukum adat yang berintikan kepribadian bangsa Indonesia perlu
dimasukkan ke dalam peraturan hukum baru agar hukum yang baru itu sesuai dengan dasar
keadilan dan perasaan hukum masyarakat Indonesia.

Hukum Adat sebagai hukum yang berasal dari akar masyarakat Indonesia tidak pernah
mengenal Kodifikasi. Selain itu menurut Snouck Hurgronje, hukum adat pun dijalankan
sebagaimana adanya (taken for granted) tanpa mengenal bentuk-bentuk pemisahan, seperti
dikenal dalam wacana hukum barat bahwa individu merupakan etnis yang terpisah dari
masyarakat. Dengan kata lain bahwa hukum adat diliputi semangat kekeluargaan, individu
tunduk dan mengabdi pada dominasi aturan masyarakat secara keseluruhan. Corak demikian
mengindikasikan bahwa kepentingan masyarakat lebih utama daripada kepentingan individu.

Sistem Pewarisan dan Ahli Waris menurut Hukum Adat

Hukum adat waris mengenal 3 (tiga) sistem kewarisan/ pewarisan, yaitu:9

a) Sistem kewarisan individual, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa para ahli
waris mewarisi secara perorangan, misalnya; Jawa, Batak, Sulawesi, dan lainlain.
b) Sistem kewarisan kolektif, yaitu sistem yang menetukan bahwa para ahli waris
mewarisi harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif) sebab harta peninggalan
yang diwarisi itu tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masingmasing ahli
waris, contohnya; harta pusaka di Minangkabau dan Tanah Dati di Semenanjung Hitu-
Ambon.
c) Sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa harta
peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak. Sistem ini ada 2 macam:

8 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Bandung: PT Toko Gunung Agung, 1983 hlm. 7
9 Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, Bandung: CV. Armico, 1985, hlm. 51

5
• Mayorat laki-laki; yaitu apabila anak laki-laki tertua/ sulung atau keturunan
laki-laki merupakan ahli waris tunggal si pewaris, misalnya di Lampung.
• Mayorat perempuan; yaitu apabila anak perempuan terua merupakan ahli waris
tunggal dari pewaris, misalnya pada masyarakat Tanah Semendo di Sumatera
Selatan.

Membincang adat budaya Jawa dalam soal pembagian harta waris memiliki
seperangkat aturan yang mengatur seluruh mekanisme yang berkaitan dengan asas pewarisan
yang dalam prosesnya berbeda dengan ketentuan-ketetuan yang dianut oleh masyarakat diluar
masyarakat Jawa tentang adat yang mengatur ahli waris. Memahami hal mengenai kewarisan
maka sistim kekerabatan menjadi hal yang penting untuk dimengerti hal itu lebih dikarenakan
pembagian warisan dalam masyarakat adat sangat bergantung pada sistim kekerabatan.
Menurut Hazairin asas pewarisan yang dipakai dalam masyarakat adat tergantung dari jenis
sistim kekerebatan yang dianut. Pada masyarakat jawa sistim masyarakat jawa yang dianut
adalah parental atau bilateral. Sistim ini ditarik dari dua garis keturunan bapak dan ibu.
Sehingga memberikan implikasi bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hal waris
adalah seimbang dan sama. Sistim ini kemudian mengharuskan setiap ahli waris mendapatkan
pembagian untuk dapat menguasai dan memiliki haknya masing-masing.

Pewarisan adalah suatu proses peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris. Proses
pewarisan ini dapat terjadi pada waktu orang tua(pewaris) masih hidup atau dapat pula terjadi
pada waktu orang tua (pewaris) sudah meninggal dunia. Proses pewarisan itu dimulai pada
waktu orang tua (pewaris) masih hidup dengan cara pemberian kemudian apabila masih ada
sisa harta yang belum diberikan, dilanjutkan setelah pewaris meninggal dunia. pada masyarakat
Jawa didominasi oleh dua sistem kewarisan yang terjadi ketika pewaris masih hidup dan setelah
pewaris meninggal.

Prinsip tahap regenerasi inilah yang merupakan ciri pokok yang esensial dalam
masyarakat Adat Jawa. Timbulnya dua tahap regenerasi ini terjadi karena harta keluarga yang
terdiri dari harta asal suami, harta asal istri dan harta bersama merupakan dasar materiil bagi
kehidupan keluarga. Harta itu nantinya akan disediakan pula untuk dasar materiil bagi
kehidupan keturunan keluarga itu. Oleh karena itu keturunan (anak) merupakan hal yang
penting dalam kehidupan keluarga dan merupakan salah satu tujuan utama dalam perkawinan,
yaitu untuk meneruskan angkatan atau keturunan. Sehingga kematian pewaris tidak begitu
berpengaruh dalam proses pewarisan hal inilah yang menyebabkan pemahaman masyarakat

6
Jawa mengenai pelaksanaan kewarisan yang dilakukan sebelum meninggal, walaupun
kematian orang tua (pewaris) merupakan suatu peristiwa penting bagi proses tersebut. Pada
masyarakat yang pada umumnya adalah penduduk yang beragama Islam, seharusnya proses
pewarisan adalah tahap regenerasi harta warisan setelah orang tua (pewaris) sudah meninggal.
Namun pada kenyataannya yang terjadi pada masyarakat Jawa menyatakan proses pewarisan
berlangsung pada waktu orang tua (pewaris) masih hidup.

Sikap dan tindakan orang tua tersebut timbul dari rasa kekawatiran sesuatu hal yang
mungkin terjadi diantara ahli waris dengan adanya harta warisan. Menghindari perselisihan
juga nampaknya merupakan salah satu unsur yang dominan yang mendorong orang tua
melakukan pembagian harta warisan.

Sikap kebersamaan dalam keluarga ini adalah merupakan unsur penting dalam tataan
kehidupan keluarga maupun masyarakat, sehingga dengan sikap ini akan menjadikan ahli waris
tidak lagi mempermasalahkan sama atau tidaknya jumlah pembagian waris yang diterima, akan
tetapi yang paling diutamakan adalah rasa kerukunan diantara pihak ahli waris.

Pelaksanaan pengoperan atau peralihan harta warisan sebelum pewaris meninggal


dapat terjadi “saat itu”, yang artinya harta warisan itu dimiliki dan dikuasainya serta
dimanfaatkan secara langsung pada saat setelah pemberian berlangsung. Disamping itu atas
harta warisan hanya “mengolah” yang beralih artinya hak milik harta warisan itu masih dimiliki
oleh pewaris, sedangkan ahli waris hanya diserahi hak pemanfaatan atau pengolahan harta
tersebut. Kemudian cara yang terakhir dari peralihan dan pengoperan adalah “ditunjuk” artinya
ahli waris hanya ditunjukkan bagian masing-masing, tetapi baik harta warisan maupun hak
penguasaannya belum beralih dan masih dikuasai orang tua. Sedangkan pemilikan dan
penguasaan harta warisan itu baru akan beralih setelah pewaris meninggal dunia. Motivasi
adanya penunjukkan dalam proses pewarisan adalah suatu usaha untuk mencegah perselisihan
antar ahli waris. Disamping itu agar pembagian itu memenuhi rasa keadilan menurut anggapan
pewaris. Kemudian pelaksanaan pembagian warisan pada upacara selamatan kematian
pewaris, karena pada saat itu para ahli waris sedang berkumpul di rumah orang tua (pewaris).

Lebih lanjut pada masyarakat Jawa proses pewarisan dapat berjalan sebelum pewaris
meninggal dunia. Proses pewarisan ketika pewaris masih hidup dapat terjadi dengan beberapa
cara, yaitu penerusan atau pengalihan (lintiran), penunjukan (acungan), dan mewasiatkan atau
berpesan (weling atau wekas).

7
Pengalihan (lintiran) atau penerusan harta kekayaan pada saat pewaris masih hidup
adalah diberikannya harta kekayaan tertentu sebagai dasar kebendaan sebagai bekal bagi anak-
anaknya untuk melanjutkan hidup atau untuk membangun rumah tangga. Sebagai contoh
pewarisan dengan cara penerusan adalah keluarga yang terdiri dari dua anak lakilaki dan dua
anak perempuan. Karena anak laki-laki tertua telah dewasa dan kuwat gawe (mampu bekerja)
maka ayahnya memberikan sebidang tanah. Anak kedua perempuan saat dinikahkan ia diberi
sebuah rumah. Penunjukan (acungan) adalah pewaris menunjukan penerusan harta waris untuk
pewaris akan tetapi hanya untuk pengurusan serta diambil manfaatnya saja, mengenai
kepemilikan masih sepenuhnya milik pewaris. Kepemilikan harta terhadap ahli waris akan
berlaku sepenuhnya jika pewaris telah meninggal. Sebagai contoh, misalnya sawah dari pohon
jambu sampai batas sungai adalah untuk si A, sedangkan dari batas sungai sampai pohon
beringin untuk si B.

Berpesan (weling atau wekas) adalah pewarisan yang dilakukan ketika seseorang
kawatir akan penyakitnya yang tidak akan sembuh dan akan meninggal, maka untuk
menghindari perselisihan diantara ahli waris maka pewaris berpesan untuk membagi-bagikan
hartanya dengan cara yang layak atau sama rata untuk ahli warisnya.

Pada umumnya, pewarisan di Kelurahan Kotagajah dibagikan kepada ahli waris ketika
pewaris masih hidup dan ahli waris sudah dewasa/ menikah dan berpisah dari orang
tuanya/pewarisnya harta warisan dibagi tidak serempak antara para ahli warisnya, karena
pewaris melakukan pengalihan atau penunjukkan saat anak-anaknya sudah mantap dalam
berumah tangga. Biasanya anak laki-laki atau perempuan yang sudah menikah dibekali tanah
pertanian (sawah), pekarangan untuk membangun rumah, atau hewan ternak.

Harta kekayaan pewaris yang diberikan kepada ahli waris dimaksudkan sebagai bekal
kebendaan dalam mendirikan atau memperkokoh kehidupan rumah tangga anak. Pembagian
harta waris yaitu dengan cara musyawarah antara orang tua/pewaris dan semua anak ahli
warisnya tanpa ada campur tangan dari pihak luar.

Dalam prinsip masyarakat Jawa di Kelurahan Kotagajah Barat dikatakan bahwa orang
laki-laki membuat rumah sedangkan orang perempuan yang mengisinya (wong lanang
ngomahi wong wadon ngiseni).

Pesan atau wasiat dari orang tua kepada para waris ketika masih hidup biasanya
diucapkan secara terang dan di saksikan oleh para waris, anggota keluarga, tetrangga atau tua-
tua desa.

8
Setelah pewaris meninggal dunia, proses pewarisan terjadi melalui cara penguasaan
atau pembagian. Penguasaan atas harta warisan dilakukan jika harta warisan tersebut tidak
dibagi atau karena pembagiannya ditunda dengan berbagai alasan seperti pewaris tidak
mempunyai keturunan, ahli waris belum dewasa, atau adanya utang-piutang yang belum
diselesaikan. Apabila harta warisan akan dibagi, maka hal yang perlu diperhatikan adalah
masalah menentukan waktu yang baik untuk dilakukan pembagian warisan. Walaupun
pembagian warisan tidak ditentukan dengan pasti, tetapi pada umumnya pembagian warisan
dilakukan setelah upacara sedekah atau selamatan pewaris. Hal ini dikarenakan pada waktu
tersebut dapat dipastikan para ahli waris dapat berkumpul

Dapat dilihat dari hal ini bahwa pada masyarakat Jawa masalah waktu pembagian
warisan, terdapat perbedaan antara hukum Islam dengan hukum adat. Dalam hukum Islam,
pembagian warisan hanya dapat berlangsung setelah terjadinya kematian sedangkan tradisi
dalam Masyarakat Jawa tidak demikian karena pembagian warisan dapat berlangsung saat
pewaris masih hidup. Masalah pembagian waris pada masyarakat Jawa sangat ditentukan oleh
situasi dan kondisi masingmasing keluarga.

Mengingat masyarakat Jawa sebelum pewaris meninggal dunia sudah mengenal tradisi
ataupun kebiasaan memberi warisan baik lewat tradisi acungan, garisan, atau lintiran, maka
penundaan pembagian warisan dianggap wajar sebab masing-masing ahli waris sebenarnya
telah menerima bagian sebelum seseorang pewaris meninggal. Lain hal nya dalam Islam yang
sesegera mungkin harta warisan dibagiakan setelah semua biaya untuk keperluan pewaris
selesai.

Pada masyarakat Jawa di Kelurahan Kotagajah beranggapan bahwa membagikan harta


warisan sebelum meninggal dunia dan membagikannya sama rata antara anak laki-laki dan
perempuan sama rata itu lebih baik, karena dengan hal ini tidak akan terjadi perselisihan
ataupun perebutan harta warisan, karena masih disaksikan oleh pewaris.

Pada umumnya di masyarakat Jawa ahli waris merupakan seorang atau beberapa orang
yang berhak menerima harta warisan dari pewaris. Menurut masyarakat Jawa ahli waris yang
pertama dan utama dari pemilik harta kekayaan adalah anak. Dengan demikian dalam hal waris
mewarisi masyarakat Jawa di Kotagajah sangat mengutamakan hubungan darah. Disamping
itu, ada pula prinsip saling menutup bagi kelompok ahli waris satu terhadap hak waris
kelompok lainnya. Maksudnya adalah jika ahli waris anak hadir, maka secara otomatis ahli
waris lain tidak berhak menjadi ahli waris karena tertutup oleh ahli waris utama.

9
Ciri khusus yang lebih menonjol pada pembagian waris adat Jawa adalah dengan
menerapkan :

a. Asas Individual : Setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai
dan memiliki haknya masing-masing.
b. Asas Keseimbangan : Semua ahli waris mendapatkan hak mewaris, dengan pembagian
yang sama/seimbang.

Di beberapa daerah ada yang menerapkan Asas Sepikul segendongan (Jawa Tengah), Asas
satanggungan saaisan (Cianjur dan Pandeglang) : artinya anak laki-laki mendapatkan dua
bagian dan anak perempuan mendapatkan satu bagian (2 : 1), hampir sama dengan pembagian
waris terhadap anak dalam Hukum Islam.

1. Saat Pembagian Harta Waris

Hukum Waris itu sifatnya regelend recht atau aanvullend recht (ketentuan hukum
yang bersifat mengatur) artinya boleh dipilih atau tidak, dan dwingen recht (ketentuan hukum
yang bersifat memaksa). Proses pewarisan tidak menjadi “akuut” karena meninggalnya
seseorang, proses penerusan serta pengoperan harta tersebut, tidak menunggu adanya
kematian, pewarisan tersebut dapat beralih. Pewarisan dalam hukum adat Jawa dapat terjadi
pada saat pewaris masih hidup.10

Soerjono Soekanto, mengatakan bahwa proses meneruskan dan mengalihkan barang-


barang harta keluarga kepada anak-anak, sudah dapat dimulai selagi orang tua masih hidup.
Pemberian kepada anak tersebut bersifat mutlak, dan merupakan pewarisan atau
toescheiding.11 Sebagai contoh Bapak dan Ibu Edy yang tinggal di Blitar, mempunyai 3 orang
anak perempuan dan 1 anak laki-laki. Setelah anak perempuan pertamanya menikah, anak
tersebut diberikan sebidang tanah untuk dibangun rumah. Pemberian mana diperhitungkan
sebagai bagian warisan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembagian harta waris, tidak harus
menunggu adanya kematian terlebih dahulu. Seseorang dapat mewaris dimulai sejak pewaris
masih hidup. Pandangan yang sama disampaikan Umransyah Alie, bahwa menurut hukum
waris adat Jawa, harta pewaris dapat dibagikan/diberikan kepada ahli waris pada waktu pewaris
masih hidup, sedangkan di dalam hukum waris Islam, waris mewaris baru terjadi setelah
pewaris meninggal dunia (mati).12 Pada masyarakat adat Jawa, tidak ada kepastian waktu

10 Hajati, S.Op.Cit., hlm. 243


11 Soekanto, S. (2012). Hukum Adat Indonesia. Cetakan ke 12. Jakarta: Rajawali Pers. hlm. 270.
12 Ali, U,. (2004). “Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam dalam Prespektif Perbandingan”, Jurnal Hukum Ius Quia

Iustum, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, No.25, Vol 11, Januari, 2004, hlm. 173

10
mengenai harta warisan harus dibagikan. Ada yang dibagikan, sesaat setelah pewaris
meninggal sebagaimana dalam hukum waris Islam, setelah dikurangi biaya pemakaman,
dikurangi jika ada hutang-hutang yang masih harus dibayarkan, dan sudah dikurangi untuk
biaya selamatan sampai 1000 harinya. Setelah itu harta waris akan dibagikan. Di beberapa
daerah, dijumpai praktek saat pembagian warisan tersebut ditentukan berdasarkan lamanya
pewaris meninggal. Di Kabupaten Bandung, Kecamatan Ciamis, Cikoneng, Kawali, Banjar,
Indramayu, Kerawang dan Pandeglang, pembagian harta warisan biasanya dilakukan pada hari
ke-40 atau ke-100 sejak pewaris meninggal.13 Pada umumnya harta warisan dibagikan setelah
selesai selamatan 1000 harinya.

2. Ahli Waris Pengganti

Ahli Waris adalah Orang yang berhak menerima harta peninggalan (mewarisi) orang
yang meninggal, baik karena hubungan keluarga, pernikahan, maupun orang lain. Anak
Kandung menjadi ahli waris utama jika orang tua (Pewaris) meninggal dan meninggalkan harta
warisan. Apabila pewaris tidak mempunyai anak kandung, maka harta warisan dapat diberikan
kepada ahli waris lain, sesuai dengan prioritas, seperti : kepada Orang tua Pewaris terlebih
dahulu; saudara pewaris ; Suami/Istri dari pewaris; Anak Angkat; Anak Tiri, setelah dilakukan
musyawarah dalam keluarga.

Pada masyarakat Jawa juga dikenal istilah ahli waris pengganti, yaitu ahli waris yang
menggantikan kedudukan ahli waris utama, jika ahli waris utama meninggal dunia, saat harta
warisan belum dibagikan. Adanya ahli waris pengganti atau menggantikan tempat ahli waris,
dikenal pada hampir semua daerah di Jawa. Penggantian tempat ini selalu dikaitkan dengan
ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris.

Sebagai contoh saya ilustrasikan sebagai berikut : Bapak R dan Ibu S adalah ahli waris
dari orang tuanya. Bagian dari Bapak R, rencananya akan diwariskan kepada 5 orang anaknya
yang berinisial AP, YU. JN, PW dan YB. Kelima anaknya tersebut, sudah menikah dan
mempunyai anak. Karena AP meninggal lebih dahulu, maka harta warisan tersebut tidak hanya
dibagikan kepada 4 (empat) anaknya yang masih hidup, tetapi posisi AP, digantikan oleh anak-
anaknya (ahli waris pengganti) yang berinisial AC, BD, CH, untuk menjadi ahli waris dari
Bapak R (kakeknya).

3. Bagian Ahli Waris

13 Suparman, E., Op.Cit., hlm. 60.

11
Di dalam hukum waris adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan
matematika.14 Sistem pewarisan yang berbeda-beda, maka cara pembagiannya pun berbeda-
beda. Pada masyarakat adat Jawa, yang mendasarkan pada asas individual dan keseimbangan,
dimana anak laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dan memperoleh bagian yang
sama/seimbang. Namun dalam pelaksanaannya, tidak lah selalu terjadi adanya
kesamaan/keseimbangan bagian di antara para ahli waris. Ada yang membagi warisan dengan
cara, yaitu : dengann cara segendong sepikul, artinya bagian anak lelaki dua kali lipat bagian
anak perempuan, atau dengan cara dum-dum kupat, artinya bagian anak lelaki sama dengan
bagian anak perempuan.15 Adakalanya pewaris juga memberikan bagian yang lebih kepada
anak terakhir (bungsu) atau kepada anak yang tetap tinggal bersama pewaris, dengan
pertimbangan bahwa anak tersebut yang merawat pewaris di masa tuanya.

14 Hadikusuma,H. (1993). Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 105.
15 Ibid., hlm. 106.

12
PENUTUP

Pembagian warisan menurut hukum waris adat Jawa, mempunyai karakteristik


tersendiri, yang dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan Parental atau Bilateral, yaitu anak laki-
laki dan anak perempuan merupakan ahli waris dari harta peninggalan oran tuanya, dan yang
menerapkan pembagian harta waris berdasarkan asas individual dan keseimbangan. Penerusan
harta kekayaan orang tua pada keturunannya sudah dapat dilakukan sejak pewaris masih hidup,
yang nantinya akan diperhitungkan sebagai bagian dari ahli waris, setelah pewaris meninggal
dunia. Jika ahli waris meninggal sebelum harta waris dibagikan, maka kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya (cucu Pewaris). Ahli waris dapat memperoleh bagian yang sama, baik
laki-laki maupun perempuan dan ada juga yang mendapat 2 bagian untuk laki laki dan 1 bagian
untuk perempuan. Atau ahli waris tertentu mendapat lebih banyak dibanding yang lainnya,
berdasarkan kesepakatan dalam keluarga.

13

Anda mungkin juga menyukai