Anda di halaman 1dari 23

HAK WARIS

Dosen Pengampu : Tresia Elda S.H., M.H

Universitas Islam Negeri


SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

DISUSUN OLEH
1. Nurul Anissa Hasanah (11160480000049)
2. Muhammad Ulil Amri (11160480000103)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


PRODI ILMU HUKUM
2017
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .................................................................................................................. i
BAB I ................................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 1

BAB II .................................................................................................................................. 2
A. Pengertian Hukum Waris ....................................................................................... 2
B. Hukum Waris Adat.................................................................................................. 3
C. Subjek Hukum Waris Adat ...................................................................................... 5
D. Objek Hukum Waris Adat ....................................................................................... 9
E. Sifat Hukum Waris Adat ......................................................................................... 10
F. Corak Hukum Waris Adat Serta Hak Waris Masing-masing Corak......................... 12
G. Hak dan Kewajiban Ahli Waris ................................................................................ 16
BAB III ................................................................................................................................. 18
Kesimpulan ............................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 20
Kata pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha penyayang, kami panjatkan puji
syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini kami buat dengan semaksimal mungkin dan dibantu oleh beberapa
sumber sehingga dapat membantu memperlancar pembuatan makalah ini.
Sebelumnya kami menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam makalah kami.
Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan
terutama bagi kami selaku penulis.

Ciputat, 2017

Penulis

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang
telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang
lebih berhak. hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: hukum Waris Adat,
hukum Waris Islam dan hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-
beda sesuai dengan sistem kekerabatan yang mereka anut.

bila ditinjau dari Hukum Adat, pengertian hukum waris adalah: “aturan-aturan yang
mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan
yang berwujud & tidak dari generasi pada generasi”.

Meski mempunyai intisari yang sama dalam pengertian, Tentu saja pengaturan hak waris
dalam tiap masyarakat adat di tiap daerah berbeda satu sama lain dan mempunyai ciri khas
nya masing-masing.

B. Rumusan masalah

Setelah berdiskusi terkait dengan materi yang telah kami kaji, kami menyusun beberapa
rumusan masalah yang menjadi tolak ukur kami dalam mencari ide serta gagasan untuk
menyelesaikan materi “Hak Waris” sebagai berikut ini :

1. Apa itu Hukum Waris?


2. Apa itu Hukum Waris Adat?
3. Siapa yang menjadi subyek dalam Hukum Waris Adat?
4. Siapa yang menjadi objek dalam Hukum Waris Adat?
5. Bagaimana sifat dari hukum Waris Adat?
6. Bagaimana Corak Hukum Waris Adat Serta Hak Waris Masing-masing Corak?
7. Apa saja Hak dan Kewajiban seorang ahli waris?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Waris

Soepomo (1997:81, 82), Menyatakan bahwa hukum waris itu1:

“…memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan


barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele
goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses tersebut tidak
menjadi akuut oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu
adalah suatu peristiwa yang penting dalam proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak
mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta
bukan benda tersebut”

Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang
telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang
lebih berhak. hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: hukum Waris Adat,
hukum Waris Islam dan hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-
beda sesuai dengan sistem kekerabatan yang mereka anut.

Sumber utama dalam hukum Waris Islam adalah Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 11-12.
hukum Waris Islam atau ilmu faraidh adalah ilmu yang diketahui. siapa yang berhak
mendapat waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli waris.

Ilmu Faraidh termasuk ilmu yang paling mulia tingkat bahayanya, paling tinggi
kedudukannya, paling besar ganjarannya, oleh karena pentingnya, bahkan sampai Allah
sendiri yang menentukan takarannya, Dia terangkan jatah harta warisan yang didapat oleh
setiap ahli waris, dijabarkan kebanyakannya dalam beberapa ayat yang jelas, karena harta
dan pembagiannya merupakan sumber ketamakan bagi manusia, sebagian besar dari harta

1
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 1942), Hlm. 259

2
warisan adalah untuk pria dan wanita, besar dan kecil, mereka yang lemah dan kuat, sehingga
tidak terdapat padanya kesempatan untuk berpendapat atau berbicara dengan hawa nafsu.

Hukum waris dalam ilmu hukum merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pengaturan mengenai hukum waris tersebut
dapat dijumpai dalam pasal 830 sampai dengan pasal 1130 KUH Perdata. Meski demikian,
pengertian mengenai hukum waris itu sendiri tidak dapat dijumpai pada bunyi pasal-pasal
yang mengaturnya dalam KUH Perdata tersebut.

Selanjutnya bila ditinjau dari Hukum Adat, pengertian hukum waris adalah: “aturan-
aturan yang mengenai cara bagaimana dari abad kea bad penerusan dan peralihan dari harta
kekayaan yang berwujud & tidak dari generasi pada generasi”2

Apabila berbicara mengenai hukum waris, maka pusat perhatian tidak terlepas dari 3
(tiga) unsur pokok yakni3 :

1. Adanya harta peninggalan (kekayaan ) pewaris yang disebut warisan


2. Adanya pewaris yaitu orang menguasai atau memiliki harta warisan dan
mengalihkan atau meneruskannya, dan
3. Adanya ahli waris, orang yang menerima pengalihan (penerusan) atau pembagian
harta warisan tersebut.

B. Hukum Waris Adat

Ter Haar, 1950 ; 1997 menyatakan “Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang
mengenai cara bagaimana dari abad keabad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan
yang berwujud dan tidak berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi” 4.

2
Dr. Elfrida R Gultom, SH.MH, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Jakarta:Literata, 2010), Hlm 14
3
Dr. Elfrida R Gultom, SH.MH, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Jakarta:Literata, 2010), Hlm. 13-14
44
Dr. Elfrida R Gultom, SH.MH, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Jakarta:Literata, 2010), Hlm. 21

3
Soerojo Wignjodipoero, mengatakan : “Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum
yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun immaterial yang manakah dari
seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya.

Menurut Hilman Hadikusuma, digunakannya istilah hukum waris adat dalam hal ini
dimaksudkan untuk membedakan dengan istilah hukum watis barat, hukum waris islam,
hukum waris Indonesia, hukum waris nasional, hukum waris Minangkabau, hukum waris
Batak, hukum waris Jawa dan sebagainya. Jadi istilah hukum waris adat atau bisa disebut
hukum adat waris tidak ada bedanya.5

Jadi, Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tentang cara
penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari
generasi ke generasi. Dengan demikian, hukum waris itu mengandung tiga unsur, yaitu:
adanya harta peninggalan atau harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta
kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang
akan menerima bagiannya.

Hukum waris adat sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada
masyarakat yang bersangkutan, yang mungkin merupakan prinsip patrilineal murni,
patrililienal beralih-alih (alternerend) matrilineal ataupun bilateral (walaupun sukar
ditegaskan dimana berlakunya di Indonesia), ada pula prinsip unilateral berganda atau
(dubbel-unilateral).

Hukum adat waris mengenal adanya tiga sistem kewarisan, yaitu6:

1. Sistem Kewarisan individual yang merupakan sistem kewarisan dimana para ahli waris
mewarisi secara perorangan, (Batak, Jawa, Sulawesi dan lain-lain).
2. Sistem kewarisan kolektif, dimana para ahli waris secara kolektif (bersama-sama)
mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-
masing ahli waris (Minangkabau).

5
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: P.T Citra Aditya Bakti 1993), hlm 7
6
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 1942), Hlm.260

4
3. Sistem kewarisan mayorat:
a. Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki sulung (atau keturunan laki-laki)
merupakan ahli waris tunggal, seperti di Lampung.
b. Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuang tertua pada saat pewaris
meninggal, adalah ahli waris tunggal, misalnya, pada masyarakat di Tanah
Semendo.

C. Subjek Hukum Waris Adat

Pada hakikatnya sabyek hukum waris adalah pewaris dan ahli waris. Pewaris adalah
seseorang yang meninggalkan harta warisan, sedangkan ahli waris adalah seseorang atau
beberapa orang yang merupakan penerima harta waris. Pada umumnya mereka yang
menjadi ahli waris adalah mereka yang besar bersama dan hidup sangat lama dengan si
peninggal warisan. Pada dasarnya yang menjadi ahli waris adalah anak-anak dari si peninggal
harta, baik anak laki-laki maupun anak perempuan.

Masyarakat yang menganut prinsip garis keturunan patrilineal, ahli warisnya adalah anak
laki-laki saja.

Beberapa keputusan Mahkamah Agung telah menetapkan mengubah ketentuan ahli


waris menurut hukum adat, khususnya ahli waris anak dan istri yang ditinggalkan. Seperti
keputusan Mahkamah Agung No.179/Sip/1961 tanggal 23 November 1961, yang
menyatakan bahwa :

”...berdasarkan selain rasa peri kemanusiaan dn keadilan umum, juga atas hakikat
persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan
menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan
anak laki-laki dari seorang peninggal wars bersama-sama berhak atas harta warisan dalam
arti bahwa bagioan anak laki-laki adalah sama dengan perempuan.”

Dari landasan tersebutlah anak perempuan dan istri yang ditinggalkan dinyatakan sebagai
ahli waris. Jadi walaupun anak perempuan dan istri yang ditinggalkan bukanlah merupakan
ahli waris, akan tetapi mereka berhak menikmati atas bagian dari harta warisan selama tidak
5
terputus haknya. Ada beberapa hal yang menjadikan kehilangan hak menikmati dari harta
warisan, apabila anak perempuan itu ; (a.) Kawin ke luar, (b.) Dipecat sebagai anak oleh orang
tuanya. Sedangkan untuk istri yang ditinggalkan adalah (a.) Berzina, dan (b.) Kawin lagi. Hal
tersebut didasari dengan adanya keputusan No.588 K/Sip/1974 tanggal 1 Desember 1976,
yang menyatakan bahwa selain istri yang ditinggal suami (janda) yang melakukan
perhubungan di luar kawin dengan laki-laki lain sehingga melahirkan anak dan keluarga
“kepurusa” dekat berhak mengajukan keberatan atas pebuatan itu, karena janda tersebut
telah menyalahi darmanya sebagai janda dan tidak berhak menguasai harta peninggalan
suaminya.

Pada masyarakat adat Batak, Bali, dan Sumatera Selatan menganut prinsip garis
keturunan patrilineal, yang dimana ahli warisnya hanyalah anak laki-laki saja, di Bali selain
anak laki-laki, juga tergolong sebagai ahli waris adalah anak laki-laki angkat, dan di Sumatera
Selatan anak perempuan juga dapat di golongkan sebagai ahli waris.

Sebagai pengecualian dari sistem patrilineal dalam hukum kekeluargaan Bali, apabila
pewaris hanya mempunyai anak perempuan maka si anak dapat dijadikan sentana rajeg
dengan melakukan perkawinan nyeburin yaitu si wanita kawin dengan si laki-laki dengan
menaik laki-laki itu ke alam keluarganya. Di sini si wanita menjadi berkedudukan sebagai laki-
laki, sedangkan si laki-laki berkedudukan sebagai perempuan. Bagi si wanita akan berlaku
hukum kewarisan yang lazim berlaku untuk laki-laki di keluarga itu. Bagi laki-laki yang kawin
nyeburin, kedudukannya dalam warisan adalah sebagai wanita. Apabila pewaris tidak
mempunyai keturunan sama sekali, maka pewaris mengangkat anak laki-laki dari saudara
kandung lelaki tersebut, demikian seterusnya sehingga hanya anak laki-laki yang jadi ahli
waris dan terhadap segala sesuatu harus didasarkan atas musyawarah dan mufakat para
anggota kerabat.

Di Sumatera Selatan, berdasarkan hasil penelitian lapangan, apabila seorang laki-laki yang
belum kawin itu meninggal dunia, ahli waris utama adalah orang tua si pewaris, sedangkan
apabila yang meninggal itu seorang suami yang tidak memiliki keturunan, ahli warisnya
adalah orang tua pihak suami dan istrinya. Apabila si pewaris itu adalah eorang gadis, maka

6
ahli warisnya adalah orang tua dengan kemungkinan bahwa saudara-saudara kandungnya
dapat pula menjadi seorang waris. Apabila yang meninggal itu seorang istri yang mempunyai
keturunan maka ahli waris utama adalah anak atau keturunannya dengan kemungkinan
suami dapat menjadi ahli waris.

Pada masyarakat Lampung, selain dari anak laki-laki tertua, terdapat golongan ahli waris
lainnya, yaitu orang tua dari pihak laki-laki (ayah) dan orang tuadari pihak orang tua laki-laki
(kakek). Kedudukan para ahli waris tersebut saling tutup-menutupi, artinya bahwa apabila
terdapat anak tertua laki-laki dari si peninggal warisan, maka tertutup kemungkinan bagi
ayah (orangtua dari pihak suami), demikian seterusnya.

Berbeda dengan masyarakat Hitu Ambon, tanah-tanah yang diperoleh secara membeli
atau secara membuka tanah, lama-kelamaan akan menjadi milik keluarga dan kemudian
menjadi milik famili dari keturunan si pemilik tanah semula.

Anak yang lahir di luar kawin (perkawinan), maka ia akan berstatus sebagai anak kandung
baisa dan pada dasarnya tidak berhak mewarisi, melaikan hanya akan mendapat santunan
hidup yang layak sebagai anak, jadi tetap merupakan tanggung jawab daripada orangtua
(bapak) tirinya, demikian yang berlaku pada masyarakat Lampung (papadon).

Berlainan dengan masyarakat patrilineal, pada masyarakat sistem bilateral yang


merupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak perempuan. Semua anak, baik laki-
laki maupun perempuan mempunyai hak sama atas harta peninggalan orang tuanya. Hak
sama itu mengandung hak untuk diperlakukan sama oleh orangtuanya di dalam proses
meneruskan dan mengoperasikan harta benda keluarga.

Bagi masyarakat adat yang menganut sistem bilateral seperti di Jawa, di Kalimantan yaitu
suku Dayak, dan di Sulawesi pada masyarakat Tanah Toraja nya, semua anak baik laki-laki
maupun perempuan mempunyai hak sama atas harta peninggalan orang tuanya. Hak sama
itu mengandung hak untuk diperlakukan sama (geligik gerechtigh) oleh orang tuanya di
dalam proses meneruskan dan mengoperasikan harta benda keluarga. Anak laki-laki dan
anak perempuan merupakan ahli waris nya.

7
Walaupun masyarakat Sawu menganut sistem bilateral yang mana anak perempuan dan
anak laki-laki merupakan ahli waris, akan tetapi mereka mempunyai hukum waris yang
spesifik. Anak laki-laki hanyalah merupakan ahli waris dari harta peninggalan bapaknya dan
anak perempuan hanyalah merupakan ahli waris dari harta peninggalan ibunya.

Masyarakat Tasifetp di Kabupaten Belu Timur (NTT) yang merupakan ahli waris utama
adalah keponakan tertua yaitu anak saudara kandung ayahnya (anak paman). Anak-anak nya
sendiri tidak memperoleh warisan, jadi bukan ahli waris.

Di Tanah Semendo, dan dikalangan suku-suku Dayak Sandak dan Dayak Tayan di
Kalimantan tengah, yang merupakan ahli waris adalah anak perempuan tertua, dan bila tidak
ada anak perempuan, digantikan oleh anak laki-laki termuda.

Pada masyarakat Minangkabau, di mana anak-anak termasuk dalam golongan clan


ibunya, sehingga ahli waris anaknya menurut hukum waris adat atas harta peninggalan
bapaknya adalah tidak mungkin sama sekali. Jadi anak-anak bukan merupakan ahli waris
secara utuh, tetapi hanya mewarisi dari ibunya. Tetapi, selain dari anak kandung, kerabat
pun juga sebagai ahli waris. Pada masyarakat Minangkabau, harta warisan itu merupakan
harta pusaka milik dari suatu keluarga dan tidak dapat dimiliki oleh warga keluarga secara
individual. Harta tersebut merupakan harta yang diturunkan pada generasi pertama atau
biasa disebut harta sako, juga sering disebut harta pusaka rendah. Ada juga yang dinamakan
harta pusaka tinggi, yaitu harta pusaka yang telah turun-temurundari beberapa generasi.
Harta pusaka ini tetap menjadi milik kerabat serta dikuasai oleh penghulu andiko atau
mamak kepala waris. Mengenai harta pusaka terdiri dari dan penguasaannya dilakukan
oleh7:

1. Harta pusaka tinggi, dikuasai oleh keluarga yang lebih besar atau kerabat yang diimpin
oleh seorang penghulu andiko atau mamak kepala waris

7
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 1942), Hlm. 267

8
2. Harta pusaka rendah, dikuasai oleh keluarga yang lebih kecil, yang terdiri dari istri dan
anak-anaknya, atau suami dengan saudara-saudara kandungnya beserta keturunan
saudara perempuan yang sekandung.

D. Objek Hukum Waris Adat

Harta warisan merupakan objek hukum waris yang berarti semua harta yang ditinggalkan
oleh seseorang yang meninggal dunia (pewaris). Pengertian harta dalam hal ini tidak saja
menyangkut harta yang mempunyai nilai ekonomis saja, melainkan meliputi pula harta yang
mempunyai nilai religius. Soeripto menjelaskan bahwa setiap keluarga Hindu Bali mempunyai
harta benda baik yang mempunyai nilai-nilai magis religius yaitu yang ada hubungannya
dengan keagamaan atau upacara-upacara keagamaan dan harta tidak mempunyai nilai
religius antara lain: harta akas kaya, karta jiwa dana, dan harta druwe gabro.

Yang merupakan objek hukum waris itu adalah harta keluarga itu. Harta keluarga dapat
berupa :

a. Harta suami atau istri yang merupakan hibah atau pemberian kerabat yang dibawa ke
dalam keluarga
b. Usaha suami atau istri yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan
c. Harta yang merupakan hadiah kepada suami-istri pada waktu perkawinan
d. Harta yang merupakan usaha suami-istri dalam masa perkawinan

Pada masyarakat di Nusa Tenggara Timur harta yang dapat di wariskan adalah :

a. Harta milik sendiri dari ayah yang berupa pusaka


b. Harta milik ibu, berupa:
I. Milik sendiri
II. Milik “bua fua mua” (milik bawaan)
c. Harta Ue Malak (harta milik usaha bersama)

9
Pada masyarakat bali, kedudukan wanita dalam hukum waris menurut hukum adat Bali,
terdiri dari:

a. Harta pusaka, terdiri dari:


I. Harta pusaka yang tidak dapat dibagi, yaitu harta warisan yang mempunyai
nilai magis-religius seperti tempat ibadah, alat pemujaan, keris, dll
II. Harta pusaka yang dapat dibagi, yaitu harta warisan yang tidak memiliki niali
magis-religius, misalnya sawah, ladang, dll
b. Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa balik oleh mempelai wanita maupun pria ke
dalam perkawinan
c. Harta perkawinan, yaitu harta yang diperoleh dalam perkawinan
d. Hak yang didaat dari masyarakat, misalnya bersembahyang di Kahyangan Tiga,
mempergunakan kuburan, melakukan upacara Pitra Yadyana

Pada masyarakat lampung harta warisan itu dapat berupa:

a. Harta pusaka, yaitu suatu benda yang tergolong kekayaan yang dimana benda
tersebut dianggap memiliki kekuatan magis
b. Harta bawaan, yaitu sejumlah harta kekayaan yang dibawa oleh (calon) istri pada
pelaksanaan perkawinan, atau sesan
c. Harta pencaharian, yaitu harta yang diperoleh oleh suami-istri dalam ikatan
perkawinan, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri
d. Harta yang berasal dari pemberian seseorang pada suami atau istri maupun kepada
kedua-duanya.

E. Sifat Hukum Waris Adat

Jika hukum waris adat kita bandingkan dengan hukum waris Islam atau hukum waris atau
hukum waris barat seperti disebut didalam KUH Perdata, maka nampak perbedaan-
perbedaannya dalam harta warisan dan cara-cara pembagiannya yang berlainan.

10
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai
harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis
macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai
kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan
yang berlaku sebagaimana didalam hukum waris Islam atau hukum waris barat.

Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan
pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi
adalah milik bersama para waris, ia tidak boleh dimiliki secara perseorangan, tetapi ia dapat
dipakai dan dinikmati. Hal ini bertentangan dengan pasal 1066 KUH Perdata alinea pertama
yang berbunyi:

“Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan


menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi”

Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat digadai jika keadaan sangat mendesak
berdasarkan persetujuan para tetua adat dan para anggota kerabat bersangkutan. Bahkan
untuk harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan (dijual) oleh waris kepada orang lain
harus dimintakan pendapat diantara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak
ketetanggaan (naastingsrecht) dalam kerukunan kekerabatan.

Hukum waris adat tidak mengenal azas “legitieme portie” atau bagian mutlak
sebagaimana hukum waris barat dimana untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris
atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam pasal 913 KUHPerdata atau
di dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’.

Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut
agar harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari
pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum Islam. Akan tetapi jika si waris mempunyai
kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat saja

11
mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara
bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.8

F. Corak Hukum Waris Adat Serta Hak Waris Masing-masing Corak.

Secara teoritis hukum waris adat di Indonesia sesungguhnya dikenal banyak ragam sistem
kekeluargaan di dalam masyarakat. Akan tetapi secara umum yang dikenal sangat menonjol
dalam peraturan hukum adat ada tiga corak yaitu: prinsip patrilineal, matrilineal, dan bilateral
atau parental.

Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1. Patrilineal

Sistem ini pada dasarnya adalah sistem keturunan yang menarik garis ketururan
dimana kedudukan seorang pria lebih menonjol dan hanya menghubungkan dirinya
kepada ayah atas ayahnya dan seterusya atau keturunan nenek moyang laki-laki didalam
pewarisan.

Dalam sistem ini keturunan laki-laki saja yang berhak mewarisi harta peninggalan
pewaris yang meninggal dunia, sedangkan anak perempuan sama sekali tidak mewaris.
Hal ini di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

a. Silsilah keluarga, keluarga didasarkan pada laki-laki. Anak perempuang tidak


dapat melanjutkan silsilah.
b. Dalam rumah tangga, istri bukan kepala keluarga, dan istri di golongkan
kedalam keluarga (marga) suaminya.
c. Dalam adat, wanita tidak dapat mewakili orang tua (ayahnya) sebab ia masuk
anggota suaminya.
d. Dalam adat, kalimbubu (laki-laki) di anggap anggota kelaurga, sebagai orang
tua (ibu)

8
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 19-20.

12
e. Apabila terjadi perceraian, suami-istri maka penyerakan anak-anak menjadi
tanggung jawab ayahnya.
f. Anak laki-laki kelak merupakan ahli waris dari ayahnya baik dalam adat
maupun harta benda.

Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum adat waris di tanah Patrilineal,
terdiri dari9:

a. Anak laki-laki

Yaitu, semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi seluruh harta kekayaan,
baik harta pencaharian maupun harta pusaka. Jumlah harta kekayaan pewaris di
bagi rata antara para ahli waris.

b. Anak angkat

dalam masyarakat Karo, anak angkat kedudukannya sama dengan anak kandung
(sah), namun anak angkat ini hanya menjadi ahli waris terhadap harta
pencaharian/harta bersama orang tua angkatnya. Sedangkan untuk harta pusaka
anak angkat tidak berhak.

c. Ayah dan ibu serta saudara-saudara si pewaris.


d. Keluarga terdekat dalam derajat tidak tertentu.
e. Persekutuan adat.

Apabila para ahli waris yang di sebutkan tidak ada maka harta waris jatuh kepada
persekutuan adat.

2. Matrilineal

Dalam corak ini keluarga menarik garis keturunan ke atas melalui ibu, ibu dari ibu,
terus ke atas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya. Akibat hukum

9
Dr. Elfrida R Gultom, SH.MH, Hukum Waris Adat di Indonesia (Jakarta:Literata, 2010), Hlm. 35

13
yang timbul adalah semua keluarga adalah keluarga ibu, anak-anak adalah masuk
keluarga ibu, serta mewarisi dari keluarga ibu. Suami atau bapak tidak masuk dalam
keluarga ibu atau tidak masuk dalam keluarga istri. Sehingga dapat dikatakan bahwa
sistem kekeluargaan yang ditarik dari pihak ibu ini, kedudukan wanita lebih menonjol
daripada pria di dalam pewarisan. Contoh dari masyarakat hukum adat ini antara lain:
masyarakat Minangkabau.

Menurut hukum adat minangkabau ahli waris dapat dibedakan antara lain10:

a. Waris bertali darah

Yaitu ahli waris kandung atau ahli waris sedarah yang terdiri dari waris setampok,
waris sejangka, dan waris saheto.

b. Waris bertali adat

Yaitu, waris yang sesama ibu asalnya yang berhak memperoleh hak warisannya
bila tidak ada sama sekali waris bertali darah, warisan bertali adat ini dibedakan
sebagai berikut:

1) Menurut caranya menjadi waris : waris batali ameh, waris batali suto, waris
batali budi, waris tambilang basi, waris tamblinag perak.
2) Menurut jauh dekatnya: waris di bawah daguek, waris didao, waris dibawah
pusat, waris di bawah lutut.
3) Menurut datangnya yaitu: waris orang dating, waris air tawar, waris mahindu.

Sedangkan hak mewaris dari masing-masing ahli waris berbeda-beda tergantung


dari jenis harta peninggalan yang akan ia warisi dan hak mewaris di atur menurut
urutan prioritasnya. Hal tersebut dapat terlihat dalam paparan dibawah ini.

a. Mengenai harta pusaka tinggi

Apabila harta peninggalan itu menyangkut harta pusaka tinggi, cara


pembagiannya berlaku sistem kewarisan kolektif, yaitu seluruh harta pusaka tinggi di

10
Dr. Elfrida R Gultom, SH.MH, Hukum Waris Adat di Indonesia (Jakarta:Literata, 2010), Hlm. 37

14
warisi oleh sekumpulan ahli waris dan tidak diperkenankan dibagi-bagi pemiliknya dan
dimungkinkan dilakukan “ganggam bauntuek”.

b. Mengenai harta pusaka rendah

Semua harta pusaka rendak adalah harta pencaharian. Harta ini mungkin dimiliki
oleh seorang laki-laki/perempuan. Pada mulanya harta pencaharian diwarisi oleh jurai
atau setidak-tidaknya kaum masing-masing. Akan tetapi dalam perkembangan
berikutnya karena hubungan seorang ayah dengan anaknya bertambah erat dan juga
sebagian pengaruh agama islam, maka seorang ayah dengan harta pencahariannya
dapat membuatkan sebuah rumah untuk anak-anaknya atau menanami tanah pusaka
istrinya dengan tanaman keras, misalnya pohon kelapa, durian, cengkeh, dan lain-lain.

c. Mengenai harta suarang

Harta suarang berbeda dengan harta pencaharian, sebab harta suarang adalah
harta yang diperoleh suami-istri secara bersama-sama selama dalam perkawinan.
Kritera untuk menunjukan adanya kerja sama dalam memperoleh harta suarang
dibedakan dalam dua periode yaitu, dahulu ketika suami masih merupakan anggota
keluarganya ia berusaha bukan untuk anak dan istrinya melainkan untuk orang tua
dan para kemenakannya sehingga ketika itu sedikit sekali kemungkinannya terbentu
harta suarang sebab yang mengurus dan membiayai anak dan istrinya adala saudara
atau mamak istrinya.

Sedangkan pada dewasa ini adanya kerja sama yang nyata anatara suami dan istri
untuk memperoleh harta suarang sudah jelas Nampak, terutama pada masyarakat
minangkabau yang sudah jauh merantau dari tanah asalnya telah menunjukan
perkembangan kearah pembentukan hidup keluarganya. Yaitu antara suami istri dan
anak-anaknya merupakan suatu kesatuan yang kompak11.

11
Dr. Elfrida R Gultom, SH.MH, Hukum Waris Adat di Indonesia (Jakarta:Literata, 2010), Hlm. 39

15
3. Parental

Corak ini pada dasarnya adalah sistem yang menarik garis keturunan dimana
seseorang itu menghubungkan dirinya baik ke garis ayah maupun ke garis ibu, sehingga
dalam kekeluargaan. Semacam ini pada hakekatnya tidak ada perbedaan antara pihak ibu
dan pihak ayah di dalam pewarisan.

Dalam sistem ini memiliki ciri khas tersendiri yaitum bahwa yang merupakan ahli waris
adalah anak laki-laki maupun perempuan, mereka mempunyai hak yang sama atas harta
peninggalan orang tuanya sehingga dalam proses pengalihan/pengoperan sejumlah harta
kekayaan dari pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai
hak untuk diperlukan sama.

a. Ahli waris dalam hukum adat parental12


1) Sedarah dan tidak sedarah

ahli waris sedarah terdiri dari anak kandung, orang tua, saudara dan cucu. Ahli
waris yang tidak sedarah yaitu anak angkat, janda atau duda.

Jenjang atau urutan ahli waris adalah:

a) Anak-anak
b) Orang tua apabila tidak ada anak
c) Saudara-saudara kalau tidak ada orang tua
2) Kepunahan atau nunggul pinang

Ada kemungkian pewaris tidak mempunyai ahli waris (punah) atau lazim
disebut nunggul pinang.

G. Hak dan Kewajiban Ahli Waris

Dengan meninggalnya pewaris dan meninggalkan harta warisan, maka perlu ditinjau
mengenai hak dan kewajiban dari ahli waris terkait dengan harta warisan yang diterima itu.

12
Dr. Elfrida R Gultom, SH.MH, Hukum Waris Adat di Indonesia (Jakarta:Literata, 2010), Hlm. 41

16
Macam-Macam Hak dan Kewajiban Ahli Waris di Berbagai Daerah di Indonesia

1. Pada masyarakat Lampung yang menganut prinsip garis keturunan patrilineal dengan
sistem pewarisan mayorat ahli waris mempunyai hak untuk menikmati harta warisan
terutama untuk kelangsungan hidup keluarganya sebagai sumber kehidupan baik
untuk pribadi bersama keluarganya dan untuk saudara-saudaranya.

2. Pada masyarakat di Minangkabau yang sistem pewarisannya adalah kolektif, maka


harta warisan itu merupakan harta pusaka milik suatu keluarga. Barang-barang yang
diwariskan hanya dapat dipakai saja oleh keluarga yang bersangkutan dan tidak dapat
dimiliki secara individual.

3. Di daerah Tapanuli, Kalimantan, dan Bali, para ahli waris mempunyai kewajiban
membayar hutang pewaris. Ahli waris juga berkewajiban untuk menyelenggarakan
upacara penguburan jenazah pewaris.13

Kewajiban lainnya adalah seperti menyelenggarakan upacara atau selamatan dalam


memperingati hari meninggalnya pewaris. Dalam masyarakat Indonesia terdapat tradisi
untuk mengadakan selamatan yang dimulai dari tiga hari setelah wafatnya, tujuh hari, empat
puluh hari, seratus hari, setahun, dan seribu hari yang pada umumnya biaya-biaya untuk
mengadakan selamatan tersebut ditanggung oleh ahli waris.

13
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2015) hal. 275-276

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang
telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang
lebih berhak. hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: hukum Waris Adat,
hukum Waris Islam dan hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-
beda sesuai dengan sistem kekerabatan yang mereka anut.

Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tentang cara penerusan
dan peralihan harta kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari generasi ke
generasi. Dengan demikian, hukum waris itu mengandung tiga unsur, yaitu: adanya harta
peninggalan atau harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan
adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan
menerima bagiannya.

Hukum adat waris mengenal adanya tiga sistem kewarisan, yaitu:

4. Sistem Kewarisan individual yang merupakan sistem kewarisan dimana para ahli waris
mewarisi secara perorangan, (Batak, Jawa, Sulawesi dan lain-lain).
5. Sistem kewarisan kolektif, dimana para ahli waris secara kolektif (bersama-sama)
mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-
masing ahli waris (Minangkabau).
6. Sistem kewarisan mayorat:
c. Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki sulung (atau keturunan laki-laki)
merupakan ahli waris tunggal, seperti di Lampung.
d. Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuang tertua pada saat pewaris
meninggal, adalah ahli waris tunggal, misalnya, pada masyarakat di Tanah
Semendo.

18
Pada hakikatnya sabyek hukum waris adalah pewaris dan ahli waris. Pewaris adalah
seseorang yang meninggalkan harta warisan, sedangkan ahli waris adalah seseorang atau
beberapa orang yang merupakan penerima harta waris.

Harta warisan merupakan objek hukum waris yang berarti semua harta yang ditinggalkan
oleh seseorang yang meninggal dunia (pewaris). Pengertian harta dalam hal ini tidak saja
menyangkut harta yang mempunyai nilai ekonomis saja, melainkan meliputi pula harta yang
mempunyai nilai religius.

Secara teoritis hukum waris adat di Indonesia sesungguhnya dikenal banyak ragam sistem
kekeluargaan di dalam masyarakat. Akan tetapi secara umum yang dikenal sangat menonjol
dalam peraturan hukum adat ada tiga corak yaitu: prinsip patrilineal, matrilineal, dan bilateral
atau parental.

Dengan meninggalnya pewaris dan meninggalkan harta warisan, maka perlu ditinjau
mengenai hak dan kewajiban dari ahli waris terkait dengan harta warisan yang diterima itu.
Hak dan kewajiban dari ahli waris tiap-tiap daerah berbeda satu sama lain dan memiliki ciri
khas masing-masing.

19
DAFTAR PUSTAKA

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 1942)

Dr. Elfrida R Gultom, SH.MH, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Jakarta:Literata, 2010)

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: P.T Citra Aditya Bakti 1993)

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Alumni, 1983)

20

Anda mungkin juga menyukai