(Studi Kasus Penganiyayaan Terhadap TKI oleh Duta Besar Arab Saudi di Jerman)
JURNAL
Oleh:
130200198
FAKULTAS HUKUM
MEDAN
2017
PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH PEJABAT DIPLOMATIK DALAM
MELAKSANAKAN TUGAS DIPLOMATIKNYA DITINJAU DARI ASPEK
HUKUM INTERNASIONAL
(Studi Kasus Penganiyayaan Terhadap TKI oleh Duta Besar Arab Saudi di Jerman)
ABSTRAKSI
Salah satu bentuk kerja sama antar negara di dunia adalah dalam bentuk
Hubungan Internasional dengan menempatkan perwakilan diplomatik di berbagai
negara. Perwakilan Diplomatik ini memiliki hak kekebalan dan hak istimewa terhadap
hukum Yurisdiksi negara penerima serta kekebalan sipil dan kriminal terhadap saksi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penyalahgunaan hak kekebalan
dan hak istimewa yang dilakukan oleh Pejabat diplomatik Arab Saudi terhadap
pelayan pribadinya di Jerman.
Metode normatif digunakan dalam penelitian ini yang fokus pada legalitas Norma
hukum Positif hak Imunitas dan hak istimewa yang diberikan oleh Konvensi Wina
tahun 1961 untuk memastikan Pelaksanaan fungsi diplomatik, tapi bukan berarti
pejabat diplomatik bisa bebas Untuk bertindak di Negara penerima. Sebagai wakil dari
negara pengirim, dia harus menghormati undang-undang tersebut Dan peraturan
negara penerima (Pasal 41 ayat 1 Konvensi Wina tahun 1961).
Satu dari Kekebalan yang dinikmati oleh agen diplomatik adalah kekebalan dari
yurisdiksi pidana penerimaan Negara Bagian (Pasal 31 ayat 1 Konvensi Wina tahun
1961). Jika agen diplomatik melanggar hukum Dan peraturan negara penerima, dia
tidak dapat dikenakan sanksi berdasarkan hukum nasional untuk menerima Negara
karena ia menikmati imunitas seperti yang ditemukan dalam Pasal 31 ayat 1. Dalam
kasus yang terjadi Pada tahun 2009, seorang diplomat Arab Saudi dan keluarganya
menyiksa pelayan pribadinya di Jerman.
Pelayan pribadi diplomat tersebut adalah seorang pekerja migran asal Indonesia,
bernama Dewi. Diplomat Dari Arab Saudi dan keluarganya tidak membayar upah
sesuai kesepakatan, Dewi disiksa secara fisik, dan paspornya ditahan. Tindakan
diplomat dan keluarganya melanggar ketentuan Pasal 41 Konvensi Wina tahun 1961.
Sebagai wakil negara pengirim (negara Arab Saudi), Diplomat tersebut tidak dapat
dihukum dengan hukum nasional Jerman menurut pasal 31 ayat 1 Pada Konvensi
Wina tahun 1961.
Kata kunci: Imunitas dan hak istimewa, pejabat diplomatik, Konvensi Wina tahun
1961.
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**Dosen Pembimbing I
***Dosen Pembimbing II
THE ABUSE OF AUTHORITY BY DIPLOMATIC OFFICERS IN EXECUTING
THEIR DUTIES OBSERVED FROM THE ASPECT OF INTERNATIONAL LAW
(A Case Study On Mistreating Migrant Workers by The Ambassador of Saudi
Arabia In Germany)
ABSTRACT
* Hanna Safira Nasution
** Chairul Bariah, S.H, M.Hum
*** Dr. Sutiarnoto, S.H., M. Hum
A. Latar Belakang
penting dalam masyarakat internasional karena merupakan suatu bukti atas kemampuan
merupakan refleksi adanya kemerdekaan dan kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara.
negeri yang kemudian menjadi kebutuhan bagi setiap negara. Banyak negara yang
negara lain untuk memperlancar hubungan negaranya dengan negara lain. Kerjasama
dipandang sebagai solusi terbaik untuk mengatasi berbagai permasalahan bagi negara dan
Kerjasama yang dilakukan oleh suatu negara ke negara lain tersebut kemudian
menimbulkan suatu hubungan diplomatik dengan kehadiran seorang diplomat dari negara
negara yang melakukan hubungan dengan pemerintahan negara lain yang didasari atas
mengutamakan kepentingan negara di atas segalanya, menjaga nama baik negara, dan
tujuan negaranya. Dalam Pasal 3 Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan
diplomasi, wakil-wakil negara agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan efisien
diplomat terhadap alat-alat kekuasaan Negara penerima dan kekebalan terhadap segala
terhadap yurisdiksi hukum perdata, hukum acara, maupun hukum pidana. Keistimewaan
yang dimaksud ialah berbagai hak istimewa (previlege) yang melekat pada perwakilan
diplomatik asing (sebagai institusi) dan anggota missi (sebagai individu) di Negara
penerima.
kesejahteraannya pada masa dinas aktif, salah satunya atas prinsip timbal balik. 2
sesuai Konvensi Wina 1961 dapat dikelompokkan menjadi kekebalan kantor perwakilan
dan tempat kediaman diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 22, kekebalan tempat tinggal resmi
diplomat diatur dalam Pasal 30, kekebalan diplomat dalam melaksanakan tugas kedinasan
diatur dalam Pasal 26, Pasal 27, Pasal 29, Pasal 31.
Keistimewaan misi diplomatik dalam bidang pajak dan iuran diatur dalam Pasal
23, Pasal 28, Pasal 34, pembebasan dari bea cukai diatur dalam Pasal 36, hak-hak agen
diplomatiknya diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 33. 3 Pemberian hak kekebalan dan
1
Teori Kekebalan Diplomatik dan Keistimewaan Pejabat Misi Diplomatik, dalam
http://www.landasanteori.com/2015/09/teori-kekebalan-diplomatik-dan.html?m=1, diakses pada 8 Januari
2017.
2
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, dalam
Syahmin,Ak., 2008, Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Studi Analisis, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta,
hlm. 119.
3
Widodo, 2009, Op.Cit., hlm. 123-161.
Bagi mereka yang menikmati kekebalan dan keistimewaan diplomatik dari
Negara penerima, tetap mempunyai kewajiban tidak hanya saja untuk menghormati
hukum dan peraturan-peraturan Negara penerima, tetapi juga untuk tidak mencampuri
urusan dalam negeri Negara tersebut.4 Oleh karena itu, Konvensi Wina 1961 memberikan
batasan-batasan secara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 , 36, 41 ayat (1),
dan 42.5
beradanya, misi boleh menggunakan semua sarana yang pantas, termasuk kurir
diplomatik dan pesan-pesan dengan sandi atau kode. Namun demikian, misi
resmi adalah semua korespondensi yang berhubungan dengan misi dan fungsi-
fungsinya.
4. Paket yang ada di dalam tas diplomatik harus memperlihatkan tanda yang jelas
dapat terlihat dari luar yang menunjukkan sifatnya dan hanya boleh berisi
4
Syahmin,Ak., Op.Cit., hlm.99
5
Sumaryo Suryokusumo, 1995, Hukum Diplomatik teori dan Kasus, Penerbit Alumni, Bandung,
hlm.124.
Pasal 36 Konvensi Wina Tahun 1961 berisi: “Pembebasan dari bea cukai untuk misi
diplomatik dan agen-agen dan keluarga mereka.” Sedangkan dalam Pasal 41 ayat (1)
Konvensi Wina Tahun 1961 yang menyebutkan mengenai kewajiban seseorang yang
Hak-hak yang dimiliki seorang diplomat seperti hak kekebalan (immunity) dan
tugasnya sebagai perwakilan negara pengirim di negara penerima. Hak-hak tersebut juga
dapat melindungi mereka dari sebuah gangguan yang ada termasuk tindakan penahanan
yang dilakukan oleh penguasa ditempat negara penerima. Hak kekebalan tersebut
dihapus. Hal ini dapat saja terjadi apabila dalam hubungan diplomatik tersebut diwarnai
adanya ketegangan yang timbul antara Negara penerima dan Negara pengirim.
nagara pegirim tetapi biasanya terlebih dahulu diajukan permohonan yang dilakukan oleh
Negara penerima. Baik itu dengan adanya pengesahan khusus dari Negara pengirim atau
Seiring banyaknya hak, baik itu kekebalan ataupun keistimewaan yang diberikan
wewenang yang dilakukan oleh para Diplomat tersebut. Kekebalan diplomatik itu juga
yang dapat menjadi ancaman bagi seorang diplomat, adakalanya para pejabat diplomat
6
Wasito, Sm.Hk., Sm.Hk, 1984, Konvensi-Konvensi Tentang Hubungan Diplomatik, Hubungan
Konsuler Dan Hukum Perjanjian/Traktat, Andi Offset, Yogyakarta, hlm. 34.
Salah satu kasus yang akan saya bahas disini yaitu mengenai penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh seorang pejabat diplomatik dari Arab Saudi dengan
melakukan tindak pidana terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) dari Indonesia di negara
penerimanya yaitu di Berlin, Jerman. Seorang tenaga kerja Indonesia bekerja pada
seorang Pejabat Diplomat Arab Saudi dan ia akan dibawa ke Berlin. Ia menandatangani
perjanjian kerja yang mengatur upah minimal pembantu rumah tangga bagi diplomat di
Jerman, yaitu 750 (tujuh ratus lima puluh) Euro sebulan untuk 40 (empat puluh) jam kerja
perminggu, sekitar 6 (enam) jam perhari, dan cuti tahunan selama satu bulan. Keluarga
diplomat tersebut hanya membayar upahnya sekali, yaitu sebesar 150 (seratus lima puluh)
Tenaga kerja asal Indonesia tersebut bekerja bagi ketujuh anggota keluarga
diplomat, dari pukul 06.00 pagi sampai larut malam, dalam tujuh hari dalam seminggu. Ia
bekerja untuk membersihkan rumah, memasak, melayani keperluan istri diplomat yang
lumpuh, melayani anak- anaknya termasuk membukakan sepatu mereka, dan tidur di atas
lantai. Pelayan pribadi diplomat tersebut mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya
dari keluarga diplomat tersebut, seperti paspornya yang disita, gajinya tak dibayar, ia tak
mendapatkan pukulan dan hinaan dari keluarga Diplomat Arab Saudi tersebut.
Jerman dan berhasil menyelamatkan diri dari apa yang telah dialaminya sekitar 19
(sembilan belas) bulan pada Oktober 2010. Organisasi Ban Ying, aktivis buruh dan
perempuan Heide Pfarr serta pengacara Klaus Bertelsmann mengajukan kasus pelayan
pribadi Diplomat Arab Saudi ke pengadilan tenaga kerja di Berlin, dengan tuntutan gaji,
uang lembur dan uang ganti rugi total 70.000 (tujuh puluh ribu) Euro, sekitar 840
tanggal 14 (empat belas) bulan Juni tahun 2011, Pengadilan Tenaga Kerja Jerman
majikan. Dewi Ratnasari, nama samaran dari pelayan pribadi Diplomat Arab Saudi yang
juga digunakan dalam pengaduan, sudah kembali ke tanah air, tetapi tuntutannya ke
pengadilan berjalan terus, ia percayakan kepada aktivis buruh dan perempuan Heide
Pfarr.
Disamping itu, Tenaga Kerja Wanita dari Indonesia yang menjadi korban tindak
pidana oleh Diplomat Arab Saudi di Jerman tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu
anggota keluarga Pejabat Diplomatik tersebut. Sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 37
“The members of family of diplomatik agent forming part of his household shall, if they
jika mereka ini bukan warga negara Negara penerima, mendapat hak-hak istimewa dan
B. Perumusan masalah
berikut :
pejabat diplomatik?
7
Setyo Widagdo dan Hanif Nur W, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Bayumedia Publishing,
Malang, 2008, hlm 38.
3. Bagaimana penyelesaian kasus penyalahgunaan wewenang yang dilakukan
Tujuan Penulisan :
1. Untuk mengetahui secara teoritis dan faktual mengenai apa yang sebenarnya
wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Diplomatik Arab Saudi terhadap pelayan
pribadinya.
Manfaat Penulisan :
tambahan bagi mahasiswa Fakultas Hukum yang ingin tahu lebih dalam
diplomatik yang dimiliki seorang diplomat dengan melibatkan negara ketiga atau
negara luar.
II. MEDOTE PENELITIAN
A. Spesifikasi Penelitian
disini ialah penelitian yang mengunakan cara untuk mendapatkan data informasi dengan
memanfaatkan fasilitas yang ada di perpustakaan, seperti Buku, Literatur, Diktat, dan
Konvensi yang berhubungan dengan skripsi ini yang selanjutnya dijadikan sebagai
B. Data Penelitian
Data penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah data yang terdiri dari:
1. Bahan hukum primer, terdiri atas Instrumen Hukum Internasional yaitu Konvensi
hak kekebalan dan keistimewaan oleh Pejabat Diplomatik Arab Saudi terhadap
2. Bahan Hukum sekunder yang terdiri atas buku-buku, pendapat para ahli yang
terdapat dalam literatur, hasil penelitian, Internet, Kamus Bahasa Inggris dan
Jika membahas mengenai hukum diplomatik, tentunya tidak dapat terpisah dari yang
diartikan sebagai suatu cara bernegosiasi atau berunding yang di lakukan antara para
pejabat Negara ataupun para kepala Negara yang berkaitan dengan kepentingan
negaranya masing-masing.
diantaranya adalah :
also to their relations with vassal states; or more briefly still, the conduct of
Dari faktor-faktor yang sudah disebutkan di atas, maka pengertian hukum diplomatik
mengatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar permufakatan
8
Gore - Booth, D. Pakenham, Satow’s Guide to Diplomatik Practice, Fith Edition, Longman Group
Ltd. London , 1979, hal. 3.
instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan
Tugas seorang duta besar dan para diplomatik adalah mewakili kepentingan negara
kedua negara. Di negara penerima, mereka mengikuti perkembangan yang terjadi serta
melaporkannya ke negara pengirin dan juga bertugas untuk melindungi warga negaranya
a) Representing the sending state in the receiving state (mewakili negara pengirim
di negara penerima);
b) Protecting in the receiving state the interests of the sending state and of its
(memperboleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan
pengirim);
e) Promoting friendly relations between the sending state and receiving state, and
menciptakan hukum. Khususnya dalam rangka hukum diplomatik adalah sebagai berikut :
termasuk didalamnya :
Disputes.
termasuk didalamnya :
9
Pasal 3 Konvensi Wina 1961
B. Hak Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat Diplomatik
Kekebalan Diplomatik adalah hal yang penting bagi wakil dari Negara-negara dalam
melakukan hubungannya dengan negara lain. Agar wakil-wakil negara tersebut dapat
melakukan tugasnya dengan baik dan efisien, maka para wakil-wakil negara dalam
berdiplomasi tersebut diberikan hak-hak istimewa dan kekebalan. Sehubungan dengan itu
pada kenyataannya ia sudah jelas berada diluar negeri sedang melaksanakan tugas-
2. Teori Diplomat sebagai wakil negara berdaulat atau wakil kepala negara
(Representative Character)
diplomatik, mewakili negara pengirim dan kepala negaranya. Dalam kapasitas itulah
pejabat dan perwakilan diplomatik asing menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan
para pejabat diplomatik tersebut dapat melaksanakan tugasnnya dengan baik dan lancar.
1) Kekebalan Pejabat Missi Diplomatik
kekebalan diplomat terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima dan kekebalan terhadap
terhadap Juridiksi dari negara penerima, baik hukum pidana maupun hukum perdata.
1961)
3. Kekebalan dari Kewajiban menjadi Saksi (Pasal 31 ayat 2 Konvensi Wina 1961)
melekat pada perwakilan diplomatik (sebagai institusi) dan anggota misi (sebagai
1. Pembebasan Pajak
10
Wasito, Konvensi-Konvensi Wina, Andi Offset, Yogyakarta, 1999, Halaman: 5
4. Pembebasan dari pelayanan pribadi, pelayanan umum dan militer.
bertanggungjawab pada Negara Jerman. Hal tersebut dikarenakan Negara Arab Saudi
Negara dalam kapasitas resmi jabatanya (dalam hal ini pejabat diplomatik asal Arab
Saudi) telah melakukan tindakan yang tidak sesuai hukum nasional dan internasional
yakni yang tertuang dalam Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak
Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, pejabat diplomatik asal Arab Saudi itu
telah melanggar pasal-pasal yang berisi pemenuhan hak yang dimiliki dan wajib
diberikan kepada buruh migran (termasuk tenaga kerja wanita asal Indonesia). Pasal-pasal
pidana kepada Tenaga Kerja Wanita Indonesia adalah dengan melakukan pengembalian
kebijakan dari Negara Arab Saudi tersebut, dapat diadili di negaranya sendiri ataupun
Negara Jerman. Akan tetapi, biasanya setelah dikembalikan di negaranya, maka yang
berwenang untuk mengadili adalah pengadilan Arab Saudi. Sehingga, diplomat Arab
Saudi di Jerman yang telah melakukan penyiksaan terhadap Tenaga Kerja Wanita
Indonesia tersebut dapat dihukum atau tidaknya dengan hukum Negara Jerman
berikut :
Jerman berhak menerapkan hukum atas pejabat diplomatik itu terkait dengan peraturan
yang ada di Negara Jerman. Jika pejabat diplomatik yang melanggar hukum tersebut tidak
diadili oleh Negara penerima, bukan berarti bebas begitu saja dari segala tuntutan hukum.
Deklarasi persona non grata yang dikenakan kepada seorang diplomat khususnya
terhadap mereka yang sudah tiba di negara tujuan, melibatkan kepada kegiatan yang
dinilai bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Konvensi Wina, yaitu:
bersifat politis maupun subversif dan bukan saja dapat juga merugikan
perundang-undangan Negara
penerima.11
dapat melakukan pengusiran atau persona non grata terhadap pejabat diplomatik, yang
mana hal ini di atur dalam Konvensi Wina 1961, pada Pasal-Pasal sebagai berikut:
1. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Konvensi Wina 1961, yang berbunyi:
1) Negara penerima, setiap waktu dan tanpa harus memberikan penjelasan atas
adalah persona non grata atau bahwa salah seorang staf perwakilan tersebut
non grata atau tidak dapat diterima bak sebelum tiba di wilayah negara
penerima.
2) Jikalau negara pengirim menolak atau tidak mampu dalam jangka waktu yang
pantas untuk melaksanakan kewajibannya tersebut dalam ayat (1) dari Pasal
ini, negara penerima dapat menolak untuk mengakui orang tersebut sebagai
Akan tetapi, apabila pemerintah Arab Saudi sebagai Negara pengirim tidak
sepenuhnya kepada Jerman untuk mengadili diplomatnya atas tindak pidana yang
11
Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit, halaman 122
penerima yang diatur dalam pasal 31 Konvensi Wina 1961. Penyerahan kewenangan
oleh Negara Arab Saudi kepada Negara Jerman sebelumnya diawali dengan tindakan
1961.
Mereka jua mempunyai kewajiban untuk tidak mencampuri urusan-urusan dalam negara
memberikan bantuan hukum yang dapat diwakilkan pada Diplomat Indonesia khususnya
dapat melakukan negosiasi dengan pemerintah Arab Saudi untuk menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM itu ke dalam pengadilan Arab Saudi. Jika Pemerintah Arab Saudi
terhadap Pemerintah Jerman sebagai pihak ketiga yang dapat membantu menyelesaikan
kasus ini.
meminta Dewi Ratnasari untuk melayangkan gugatan yang ditujukan kepada mantan
majikannya tersebut. Selanjutnya gugatan itu diserahkan pada Pengadilan Umum Riyadh
penyelesaian kasus pidana yang melibatkan warga Negara Arab Saudi. Pemerintah
Understanding (MoU) yang menjamin hak-hak buruh migran asal Indonesia. Dengan
adanya perlindungan dan pendampingan hukum yang maksimal ini nantinya diharapkan
tidak ada lagi kejadian buruk yang menimpa warga Negara Indonesia sebagai TKI diluar
negeri.
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan penjelasan yang telah dijabarkan oleh penulis, maka
menjatuhi sanksi yang sesuai dengan hukum nasional yang berlaku di Arab
Saudi.
grata terhadap pejabat diplomatik Arab Saudi, yang mana hal ini di atur
dalam Konvensi Wina 1961. Tindakan yang diambil suatu negara terhadap
terhadap diri wakil diplomatik asing tersebut. Hal ini disebabkan dari
adanya hak-hak kekebalan yang melekat pada diri setiap wakil diplomatik
asing.
B. SARAN
2. Agar penegakan hukum internasional dapat lebih ditegakkan, maka kepada pihak
Indonesia sebagai salah satu peserta Konvensi Wina agar lebih memperhatikan
negeri.
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER BUKU:
Widodo. Hukum Diplomatik dan Konsuler Pada Era Globalisasi. Surabaya: Laks Bang
Justitia, 2009
Ak, Syahmin. Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: Penerbit
Rajawali Pers, 2008.
Suryokusumo, Sumaryo. Hukum Diplomatik teori dan Kasus. Bandung: Penerbit Alumni,
1995.
Widagdo, Setyo dan Hanif Nur W. Hukum Diplomatik dan Konsuler. Malang:
Bayumedia Publishing, 2008.
Thontowi, Jawahir. Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Penerbit UII Press
Yogyakarta, 2016.
Lord Gore-Booth, Desmon Pakenham. Satow's Guide to Diplomatik Practice. New York:
Published by Logman Inc, 1979.
Brownline, Ian. Principles of Public International Law. Oxford University Press, Third
Edition; 1979.
Krishnamurty, G.V.G. Modern Diplomacy, Dialectic and Dimension. New Delhi: First
Edition, Bhupender Sagar, 1980.
Green, Maryan N.A. International Law, Law of Peace. London: Mac Donald & Evans
Ltd, 1973.
M.M, Whiteman. Digest of International Law, Vol. I, N.S. Government Printing Office,
1963-1973.
Castaneda, Jorge. Legal Effects of United Nations Resolutions. New York: Columbia
University Press, 1970.
Mauna, Boer. Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni,2003.
B.Sen. A Diplomat Handbook of International Law and Practice. Nijhoff The Haque,
1979.
INSTRUMEN HUKUM
Vienna Convention tentang hubungan Diplomatik. Mulai berlaku Sejak 18 April 1961.
Resolusi Majelis Umum PBB 169 (II). Mulai berlaku Sejak 14 Desember 1973.
Statuta Komisi Hukum Internasional Tahun 1920. Mulai berlaku Sejak 1920.
Consular Convention between Government of the United States of America and the
Government of the Union of Soviet Socialist Republic 1964” & “European Convention
on Consular Function 1964” termasuk “Optional Protocol”. Mulai berlaku sejak 1964.
INTERNET
JURNAL
72 American Journal of International Law Tahun 1978.
CURRICULUM VITAE
IDENTITAS DIRI