Anda di halaman 1dari 27

PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH PEJABAT DIPLOMATIK DALAM

MELAKSANAKAN TUGAS DIPLOMATIKNYA DITINJAU DARI ASPEK


HUKUM INTERNASIONAL

(Studi Kasus Penganiyayaan Terhadap TKI oleh Duta Besar Arab Saudi di Jerman)

JURNAL

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana


Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

HANNA SAFIRA NASUTION

130200198

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2017
PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH PEJABAT DIPLOMATIK DALAM
MELAKSANAKAN TUGAS DIPLOMATIKNYA DITINJAU DARI ASPEK
HUKUM INTERNASIONAL
(Studi Kasus Penganiyayaan Terhadap TKI oleh Duta Besar Arab Saudi di Jerman)

ABSTRAKSI

*Hanna Safira Nasution


**Chairul Bariah, S.H, M.Hum
***Dr. Sutiarnoto,S.H.,M.Hum

Salah satu bentuk kerja sama antar negara di dunia adalah dalam bentuk
Hubungan Internasional dengan menempatkan perwakilan diplomatik di berbagai
negara. Perwakilan Diplomatik ini memiliki hak kekebalan dan hak istimewa terhadap
hukum Yurisdiksi negara penerima serta kekebalan sipil dan kriminal terhadap saksi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penyalahgunaan hak kekebalan
dan hak istimewa yang dilakukan oleh Pejabat diplomatik Arab Saudi terhadap
pelayan pribadinya di Jerman.
Metode normatif digunakan dalam penelitian ini yang fokus pada legalitas Norma
hukum Positif hak Imunitas dan hak istimewa yang diberikan oleh Konvensi Wina
tahun 1961 untuk memastikan Pelaksanaan fungsi diplomatik, tapi bukan berarti
pejabat diplomatik bisa bebas Untuk bertindak di Negara penerima. Sebagai wakil dari
negara pengirim, dia harus menghormati undang-undang tersebut Dan peraturan
negara penerima (Pasal 41 ayat 1 Konvensi Wina tahun 1961).
Satu dari Kekebalan yang dinikmati oleh agen diplomatik adalah kekebalan dari
yurisdiksi pidana penerimaan Negara Bagian (Pasal 31 ayat 1 Konvensi Wina tahun
1961). Jika agen diplomatik melanggar hukum Dan peraturan negara penerima, dia
tidak dapat dikenakan sanksi berdasarkan hukum nasional untuk menerima Negara
karena ia menikmati imunitas seperti yang ditemukan dalam Pasal 31 ayat 1. Dalam
kasus yang terjadi Pada tahun 2009, seorang diplomat Arab Saudi dan keluarganya
menyiksa pelayan pribadinya di Jerman.
Pelayan pribadi diplomat tersebut adalah seorang pekerja migran asal Indonesia,
bernama Dewi. Diplomat Dari Arab Saudi dan keluarganya tidak membayar upah
sesuai kesepakatan, Dewi disiksa secara fisik, dan paspornya ditahan. Tindakan
diplomat dan keluarganya melanggar ketentuan Pasal 41 Konvensi Wina tahun 1961.
Sebagai wakil negara pengirim (negara Arab Saudi), Diplomat tersebut tidak dapat
dihukum dengan hukum nasional Jerman menurut pasal 31 ayat 1 Pada Konvensi
Wina tahun 1961.

Kata kunci: Imunitas dan hak istimewa, pejabat diplomatik, Konvensi Wina tahun
1961.
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**Dosen Pembimbing I
***Dosen Pembimbing II
THE ABUSE OF AUTHORITY BY DIPLOMATIC OFFICERS IN EXECUTING
THEIR DUTIES OBSERVED FROM THE ASPECT OF INTERNATIONAL LAW
(A Case Study On Mistreating Migrant Workers by The Ambassador of Saudi
Arabia In Germany)

ABSTRACT
* Hanna Safira Nasution
** Chairul Bariah, S.H, M.Hum
*** Dr. Sutiarnoto, S.H., M. Hum

One form of cooperation between countries in the world is in the form of


International Relations by placing diplomatic representation in various countries. This
Diplomatic Representative has the right of immunity and privilege against the law of the
receiving State Jurisdiction as well as civil and criminal immunity against witnesses. The
purpose of this study was to find out the abuses of immunity and privileges committed by
Saudi Arabian diplomatic officials against his personal servants in Germany.
The normative method used in this study focuses on the legality of legal norms
Positive immune rights and privileges granted by the Vienna Convention of 1961 to
ensure the Implementation of diplomatic functions, but that does not mean diplomatic
officials can be free To act in the recipient country. As a representative of the sending
country, he shall respect the law and the rules of the receiving country (Article 41
paragraph 1 of the Vienna Convention of 1961).
One of the Immunities enjoyed by diplomatic agents is the immunity from the
criminal jurisdiction of State acceptance (Article 31 paragraph 1 of the Vienna
Convention of 1961). If a diplomatic agent violates the laws and regulations of the
receiving country, he can not be subject to sanctions under national law to accept the
State because he enjoys immunity as found in Article 31 paragraph 1. In the case of 2009
Personality in Germany.
The diplomat's private servant is an Indonesian migrant worker, named Dewi.
Diplomat Of Saudi Arabia and his family did not pay wages according to agreement,
Dewi was physically abused, and her passport was arrested. The actions of the diplomat
and his family violated the provisions of Article 41 of the Vienna Convention of 1961. As
the representative of the sending country (Saudi Arabia), the Diplomat could not be
punished by German national law in chapter 31 verse 1 at the Vienna Convention of
1961.

Keywords: Immunity and privilege, diplomatic officer, Vienna Convention of 1961.


* Student of Faculty of Law University of North Sumatra
** Supervisor I
*** Supervisor II
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemampuan untuk berhubungan dengan negara lain mempunyai arti yang

penting dalam masyarakat internasional karena merupakan suatu bukti atas kemampuan

suatu negara dalam menjaga integritas teritorialnya. Kemampuan tersebut dapat

menumbuhkan persamaan kedudukan dan persamaan derajat antar negara, sekaligus

merupakan refleksi adanya kemerdekaan dan kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara.

Hubungan diplomatik dianggap sebagai salah satu instrumen hubungan luar

negeri yang kemudian menjadi kebutuhan bagi setiap negara. Banyak negara yang

melakukan kerjasama diplomatik dengan mengirimkan perwakilan diplomatiknya ke

negara lain untuk memperlancar hubungan negaranya dengan negara lain. Kerjasama

dipandang sebagai solusi terbaik untuk mengatasi berbagai permasalahan bagi negara dan

suatu cara untuk mencapai kepentingan nasional.

Kerjasama yang dilakukan oleh suatu negara ke negara lain tersebut kemudian

menimbulkan suatu hubungan diplomatik dengan kehadiran seorang diplomat dari negara

pengirim ke negara penerima. Diplomat adalah perwakilan dari sebuah pemerintahan

negara yang melakukan hubungan dengan pemerintahan negara lain yang didasari atas

kepentingan nasional suatu negara. Seorang diplomat memiliki kewajiban yaitu

mengutamakan kepentingan negara di atas segalanya, menjaga nama baik negara, dan

mencerminkan diplomat yang professional.

Diplomat berfungsi untuk mewakili negara asalnya dengan membawa tujuan-

tujuan negaranya. Dalam Pasal 3 Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan

Diplomatik menyebutkan bahwa misi diplomatik memiliki fungsi sebagai representasi

negara pengirim, proteksi kepentingan negara pengirim termasuk melindungi warga


negara pengirim, negosiasi, observasi dan hubungan persahabatan. Dalam melakukan

diplomasi, wakil-wakil negara agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan efisien

perlu untuk diberikan hak kekebalan dan hak keistimewaan. 1

Tidak dapat diganggu-gugat atau inviolabilitas (inviolability) adalah kekebalan

diplomat terhadap alat-alat kekuasaan Negara penerima dan kekebalan terhadap segala

gangguan yang merugikan, sedangkan kekebalan (immunity) diartikan sebagai kekebalan

terhadap yurisdiksi hukum perdata, hukum acara, maupun hukum pidana. Keistimewaan

yang dimaksud ialah berbagai hak istimewa (previlege) yang melekat pada perwakilan

diplomatik asing (sebagai institusi) dan anggota missi (sebagai individu) di Negara

penerima.

Semua agen diplomatik harus memperoleh jaminan keamanan dan

kesejahteraannya pada masa dinas aktif, salah satunya atas prinsip timbal balik. 2

Kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang diberikan kepada perwakilan diplomatik

sesuai Konvensi Wina 1961 dapat dikelompokkan menjadi kekebalan kantor perwakilan

dan tempat kediaman diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 22, kekebalan tempat tinggal resmi

diplomat diatur dalam Pasal 30, kekebalan diplomat dalam melaksanakan tugas kedinasan

diatur dalam Pasal 26, Pasal 27, Pasal 29, Pasal 31.

Keistimewaan misi diplomatik dalam bidang pajak dan iuran diatur dalam Pasal

23, Pasal 28, Pasal 34, pembebasan dari bea cukai diatur dalam Pasal 36, hak-hak agen

diplomatiknya diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 33. 3 Pemberian hak kekebalan dan

keistimewaan tersebut didasarkan atas tiga teori, yaitu exterritoriality theory,

representative theory, dan functional necessity theory.

1
Teori Kekebalan Diplomatik dan Keistimewaan Pejabat Misi Diplomatik, dalam
http://www.landasanteori.com/2015/09/teori-kekebalan-diplomatik-dan.html?m=1, diakses pada 8 Januari
2017.
2
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, dalam
Syahmin,Ak., 2008, Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Studi Analisis, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta,
hlm. 119.
3
Widodo, 2009, Op.Cit., hlm. 123-161.
Bagi mereka yang menikmati kekebalan dan keistimewaan diplomatik dari

Negara penerima, tetap mempunyai kewajiban tidak hanya saja untuk menghormati

hukum dan peraturan-peraturan Negara penerima, tetapi juga untuk tidak mencampuri

urusan dalam negeri Negara tersebut.4 Oleh karena itu, Konvensi Wina 1961 memberikan

batasan-batasan secara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 , 36, 41 ayat (1),

dan 42.5

Pasal 27 Konvensi Wina Tahun 1961 berisi:

1. Negara penerima harus mengijinkan dan melindungi kemerdekaan berkomunikasi

pada pihak misi untuk tujuan-tujuan resminya. Di dalam berkomunikasi dengan

Pemerintah, misi-misi dan konsulat-konsulat, dari Negara pengirim, dimanapun

beradanya, misi boleh menggunakan semua sarana yang pantas, termasuk kurir

diplomatik dan pesan-pesan dengan sandi atau kode. Namun demikian, misi

boleh menggunakan dan memasang pemancar radio hanya dengan persetujuan

dari Negara penerima.

2. Korespondensi resmi daripada misi tidak dapat diganggu gugat. Korespondensi

resmi adalah semua korespondensi yang berhubungan dengan misi dan fungsi-

fungsinya.

3. Tas diplomatik tidak boleh dibuka atau ditahan.

4. Paket yang ada di dalam tas diplomatik harus memperlihatkan tanda yang jelas

dapat terlihat dari luar yang menunjukkan sifatnya dan hanya boleh berisi

dokumen-dokumen diplomatik atau barang-barang yang diperuntukkan bagi

kegunaan resmi daripada misi.

4
Syahmin,Ak., Op.Cit., hlm.99

5
Sumaryo Suryokusumo, 1995, Hukum Diplomatik teori dan Kasus, Penerbit Alumni, Bandung,
hlm.124.
Pasal 36 Konvensi Wina Tahun 1961 berisi: “Pembebasan dari bea cukai untuk misi

diplomatik dan agen-agen dan keluarga mereka.” Sedangkan dalam Pasal 41 ayat (1)

Konvensi Wina Tahun 1961 yang menyebutkan mengenai kewajiban seseorang yang

menikmati hak-hak keistimewaan dan kekebalan untuk menghormati hukum dan

peraturan Negara penerima.6

Hak-hak yang dimiliki seorang diplomat seperti hak kekebalan (immunity) dan

hak keistimewaan (privileges) dapat memudahkan mereka dalam menjalankan tugas-

tugasnya sebagai perwakilan negara pengirim di negara penerima. Hak-hak tersebut juga

dapat melindungi mereka dari sebuah gangguan yang ada termasuk tindakan penahanan

yang dilakukan oleh penguasa ditempat negara penerima. Hak kekebalan tersebut

memberikan banyak keuntungan kepada setiap pejabat diplomat.

Meskipun demikian kekebalan diplomatik tersebut juga dapat ditanggalkan atau

dihapus. Hal ini dapat saja terjadi apabila dalam hubungan diplomatik tersebut diwarnai

adanya ketegangan yang timbul antara Negara penerima dan Negara pengirim.

Kemungkinan dikarenakan adanya penyalahgunaaan kekebalan dan keistimewaan yang

dimiliki oleh pejabat diplomatik.Hak untuk menegakkan kekebalan diplomatik adalah

nagara pegirim tetapi biasanya terlebih dahulu diajukan permohonan yang dilakukan oleh

Negara penerima. Baik itu dengan adanya pengesahan khusus dari Negara pengirim atau

hanya diwakilkan kepala perwakilan diplomatik.

Seiring banyaknya hak, baik itu kekebalan ataupun keistimewaan yang diberikan

kepada mereka, semakin tinggi pula angka kemungkinan terjadinya penyalahgunaan

wewenang yang dilakukan oleh para Diplomat tersebut. Kekebalan diplomatik itu juga

yang dapat menjadi ancaman bagi seorang diplomat, adakalanya para pejabat diplomat

menyalahgunakan hak kekebalan mereka itu sendiri untuk kepentingan pribadi.

6
Wasito, Sm.Hk., Sm.Hk, 1984, Konvensi-Konvensi Tentang Hubungan Diplomatik, Hubungan
Konsuler Dan Hukum Perjanjian/Traktat, Andi Offset, Yogyakarta, hlm. 34.
Salah satu kasus yang akan saya bahas disini yaitu mengenai penyalahgunaan

wewenang yang dilakukan oleh seorang pejabat diplomatik dari Arab Saudi dengan

melakukan tindak pidana terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) dari Indonesia di negara

penerimanya yaitu di Berlin, Jerman. Seorang tenaga kerja Indonesia bekerja pada

seorang Pejabat Diplomat Arab Saudi dan ia akan dibawa ke Berlin. Ia menandatangani

perjanjian kerja yang mengatur upah minimal pembantu rumah tangga bagi diplomat di

Jerman, yaitu 750 (tujuh ratus lima puluh) Euro sebulan untuk 40 (empat puluh) jam kerja

perminggu, sekitar 6 (enam) jam perhari, dan cuti tahunan selama satu bulan. Keluarga

diplomat tersebut hanya membayar upahnya sekali, yaitu sebesar 150 (seratus lima puluh)

Euro (Rp 1,8 juta) saat Ramadhan.

Tenaga kerja asal Indonesia tersebut bekerja bagi ketujuh anggota keluarga

diplomat, dari pukul 06.00 pagi sampai larut malam, dalam tujuh hari dalam seminggu. Ia

bekerja untuk membersihkan rumah, memasak, melayani keperluan istri diplomat yang

lumpuh, melayani anak- anaknya termasuk membukakan sepatu mereka, dan tidur di atas

lantai. Pelayan pribadi diplomat tersebut mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya

dari keluarga diplomat tersebut, seperti paspornya yang disita, gajinya tak dibayar, ia tak

boleh meninggalkan rumah, tidak boleh menghubungi keluarga, bahkan ia sering

mendapatkan pukulan dan hinaan dari keluarga Diplomat Arab Saudi tersebut.

Kemudian ia meminta bantuan pada organisasi Hak Asasi Manusia yaitu

Organisasi Ban Ying yang merupakan organisasi perlindungan pekerja perempuan di

Jerman dan berhasil menyelamatkan diri dari apa yang telah dialaminya sekitar 19

(sembilan belas) bulan pada Oktober 2010. Organisasi Ban Ying, aktivis buruh dan

perempuan Heide Pfarr serta pengacara Klaus Bertelsmann mengajukan kasus pelayan

pribadi Diplomat Arab Saudi ke pengadilan tenaga kerja di Berlin, dengan tuntutan gaji,

uang lembur dan uang ganti rugi total 70.000 (tujuh puluh ribu) Euro, sekitar 840

(delapan ratus empat puluh) juta rupiah.


Selain itu diajukan tuntutan karena melakukan eksploitasi tenaga kerja. Pada

tanggal 14 (empat belas) bulan Juni tahun 2011, Pengadilan Tenaga Kerja Jerman

memutuskan menolak tuntutan itu, dengan alasan kekebalan hukum diplomatik si

majikan. Dewi Ratnasari, nama samaran dari pelayan pribadi Diplomat Arab Saudi yang

juga digunakan dalam pengaduan, sudah kembali ke tanah air, tetapi tuntutannya ke

pengadilan berjalan terus, ia percayakan kepada aktivis buruh dan perempuan Heide

Pfarr.

Disamping itu, Tenaga Kerja Wanita dari Indonesia yang menjadi korban tindak

pidana oleh Diplomat Arab Saudi di Jerman tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu

anggota keluarga Pejabat Diplomatik tersebut. Sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 37

ayat 1 Konvensi Wina 1961 yang berisi sebagai berikut :

“The members of family of diplomatik agent forming part of his household shall, if they

are not nationals of the receiving immunities specified in articles 29 to 36.” 7

Artinya, Anggota-anggota keluarga agen diplomatik yang membentuk rumah tangganya,

jika mereka ini bukan warga negara Negara penerima, mendapat hak-hak istimewa dan

kekebalan hukum yang disebutkan di dalam Pasal 29 sampai 36.

B. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis merumuskan masalah sebagai

berikut :

1. Bagaimana Tugas dan fungsi pejabat diplomatik serta bagaimana pengangkatan

seorang pejabat diplomatik itu?

2. Bagaimana Hak Kekebalan dan hak keistimewaan yang diberikan kepada

pejabat diplomatik?
7
Setyo Widagdo dan Hanif Nur W, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Bayumedia Publishing,
Malang, 2008, hlm 38.
3. Bagaimana penyelesaian kasus penyalahgunaan wewenang yang dilakukan

pejabat diplomatik Arab Saudi ditinjau dari aspek Hukum Internasional?

C. Tujuan dan manfaat penulisan

Tujuan Penulisan :

Adapun yang merupakan tujuan dari penulisan ini yaitu :

1. Untuk mengetahui secara teoritis dan faktual mengenai apa yang sebenarnya

menjadi kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki pejabat diplomatik

2. Untuk mengetahui penyalahgunaan hak kekebalan dan keistimewaan apa yang

dilakukan oleh pejabat diplomatik Arab Saudi

3. Untuk mengetahui bagaimana cara penyelesaian kasus penyalahgunaan

wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Diplomatik Arab Saudi terhadap pelayan

pribadinya.

Manfaat Penulisan :

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi suatu sumber informasi

tambahan bagi mahasiswa Fakultas Hukum yang ingin tahu lebih dalam

mengenai Hukum Diplomatik. Penulisan ini juga memberikan wawasan pada

penulis dan diharapkan juga pada pembacanya dalam menanggapi kekebalan

diplomatik yang dimiliki seorang diplomat dengan melibatkan negara ketiga atau

negara luar.
II. MEDOTE PENELITIAN

A. Spesifikasi Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan

(library research), yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode

pengumpulan data pustaka. Penelitian kepustakaan (library research) yang dimaksud

disini ialah penelitian yang mengunakan cara untuk mendapatkan data informasi dengan

memanfaatkan fasilitas yang ada di perpustakaan, seperti Buku, Literatur, Diktat, dan

Konvensi yang berhubungan dengan skripsi ini yang selanjutnya dijadikan sebagai

landasan untuk berpikir dan landasan dalam pembahasan.

B. Data Penelitian

Data penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah data yang terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, terdiri atas Instrumen Hukum Internasional yaitu Konvensi

Wina1961 tentang Hubungan Diplomatik yang berkaitan dengan penyalahgunaan

hak kekebalan dan keistimewaan oleh Pejabat Diplomatik Arab Saudi terhadap

pelayan pribadinya di Jerman, khususnya mengenai penggunaan maupun

pemanfaatan hak kekebalan dan keistimewaan oleh pejabat diplomatik, batasan

dalam penggunaan hak-hak kekebalan dan keistimewaan, serta sanksi yang

dikenai bagi pelanggar hak kekebalan dan keistimewaan tersebut.

2. Bahan Hukum sekunder yang terdiri atas buku-buku, pendapat para ahli yang

terdapat dalam literatur, hasil penelitian, Internet, Kamus Bahasa Inggris dan

Kamus Hukum yang relevan dengan penelitian ini.


III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Tugas dan Fungsi Pejabat Diplomatik

Jika membahas mengenai hukum diplomatik, tentunya tidak dapat terpisah dari yang

dinamakan diplomasi. Seiring berjalannya waktu, sekarang ini perkembangan diplomasi

diartikan sebagai suatu cara bernegosiasi atau berunding yang di lakukan antara para

pejabat Negara ataupun para kepala Negara yang berkaitan dengan kepentingan

negaranya masing-masing.

Beberapa ahli mencoba untuk memberikan definisi dari Diplomasi, beberapa

diantaranya adalah :

1) Random House Dictionary :

“The conduct by goverment officials of negotiations and other relations between

nationas; the art of science of conducting such negotiations; skill in managing

negotiations, handling of people so that there is little or no ill-will tact”.

2) Sir Ernest Satow :

“Diplomacy is the application of intelligence and tact to the conduct of official

relations between the Goverments of Independent States, extending sometimes

also to their relations with vassal states; or more briefly still, the conduct of

business between States by peaceful means”.8

Dari faktor-faktor yang sudah disebutkan di atas, maka pengertian hukum diplomatik

pada hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang

mengatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar permufakatan

bersama dan ketentuan atau prinsip-prinsip tersebut dituangkan dalam instrumen-

8
Gore - Booth, D. Pakenham, Satow’s Guide to Diplomatik Practice, Fith Edition, Longman Group
Ltd. London , 1979, hal. 3.
instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan

pengembangan kemajuan hukum internasional.

Tugas seorang duta besar dan para diplomatik adalah mewakili kepentingan negara

pengirim di negara penerima (akreditas) dan sebagai penghubung antar pemerintahan

kedua negara. Di negara penerima, mereka mengikuti perkembangan yang terjadi serta

melaporkannya ke negara pengirin dan juga bertugas untuk melindungi warga negaranya

serta berbagai kepentingan warga negaranya di negara penerima. Tugas-tugas perwakilan

diplomatik ini, sebagai berikut:

The function of a diplomatik mission consist inter alia in:

a) Representing the sending state in the receiving state (mewakili negara pengirim

di negara penerima);

b) Protecting in the receiving state the interests of the sending state and of its

nationals, withinthe limits permitted by international law (melindungi

kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di negara

penerima dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum internasional);

c) Negotiating with the government of the receiving state (melakukan perundingan

dengan pemerintah negara penerima);

d) Ascertaining by all lawful means conditions and developments in the receiving

state, and reporting there on to the government of the sending state

(memperboleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan

perkembangan negara penerima dan melaporkannya kepada pemerintah negara

pengirim);

e) Promoting friendly relations between the sending state and receiving state, and

developing their economic, cultural and scientific relations (meningkatkan


hubungan persahabatan antara negara pengirim dan negara penerima serta

mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan). 9

Lebih dari 150 tahun telah banyak dicapai perjanjian-perjanjian yang

menciptakan hukum. Khususnya dalam rangka hukum diplomatik adalah sebagai berikut :

1. The Final Act of the Congress of Vienna (1815) on Diplomatik Ranks;

2. Vienna Convention on Diplomatik Realtions and Optional Protocols (1961),

termasuk didalamnya :

a. Vienna Convention of Diplomatik Relations;

b. Optional Protocol Concerning acquisition of Nationality;

c. Optional Protocol Concerning the Compuklsary Settlement of

Disputes.

3. Vienna Convention on Diplomatik Realtions and Optional Protocols (1963),

termasuk didalamnya :

a. Vienna Convention on Consular relations;

b. Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality;

c. Optional Protocol Concerning the Compulsary Settlemet of Disputes.

4. Convention on Special Missions and Optional Protocol (1969):

a. Convention on Special Missions;

b. Optional Protocol Concerning the Compulsary Settlement of Disputes.

5. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally

Protected Person, including Diplomatik Agents (1973);

6. Vienna Convention on the Representation of State in Their Relations with

International Organizations of a Universal Character (1975).

9
Pasal 3 Konvensi Wina 1961
B. Hak Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat Diplomatik

Kekebalan Diplomatik adalah hal yang penting bagi wakil dari Negara-negara dalam

melakukan hubungannya dengan negara lain. Agar wakil-wakil negara tersebut dapat

melakukan tugasnya dengan baik dan efisien, maka para wakil-wakil negara dalam

berdiplomasi tersebut diberikan hak-hak istimewa dan kekebalan. Sehubungan dengan itu

terdapat 3 teori mengenai landasan hukum pemberian kekebalan dan keisitimewaan

diplomatik luar negeri, yaitu sebagai berikut :

1. Teori Ekstrateritorialitas (Exterritotiality Theory)

Menurut teori ini, seorang pejabat diplomatik dianggap seolah-olah tidak

meninggalkan negaranya, ia hanya berada diluar wilayah negara penerima, walaupun

pada kenyataannya ia sudah jelas berada diluar negeri sedang melaksanakan tugas-

tugasnya dinegara dimana ia ditempatkan.

2. Teori Diplomat sebagai wakil negara berdaulat atau wakil kepala negara

(Representative Character)

Teori ini mengajarkan bahwa baik pejabat diplomatik maupun perwakilan

diplomatik, mewakili negara pengirim dan kepala negaranya. Dalam kapasitas itulah

pejabat dan perwakilan diplomatik asing menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan

kepada pejabat-pejabat diplomatik asing juga berarti bahwa negara penerima

menghormati negara pengirim, kebesaran dan kedaulatan serta kepala negaranya.

3. Teori kebutuhan fungsional

Teori ini mengajarkan bahwa hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan

diplomatik dan misi diplomatik hanya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan fungsional agar

para pejabat diplomatik tersebut dapat melaksanakan tugasnnya dengan baik dan lancar.
1) Kekebalan Pejabat Missi Diplomatik

Bahwa didalam istilah kekebalan terkandung dua pengertian, yaitu kekebalan

(immunity), dan tidak dapat diganggugugat atau inviolabilitas (Inviolability) adalah

kekebalan diplomat terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima dan kekebalan terhadap

segala gangguan yang merugikan. Sedangkan immunity diartikan sebagai kekebalan

terhadap Juridiksi dari negara penerima, baik hukum pidana maupun hukum perdata.

1. Kekebalan pribadi (Pasal 29 Konvensi Wina 1961)

a. Yurisdiksi Pidana (Pasal 31 ayat 1 Konvensi Wina 1961)

b. Yurisdiksi Perdata dan Administrasi (Pasal 31 ayat 1 Konvensi Wina 1961)

2. Kekebalan Keluarga seorang Wakil Diplomatik (Pasal 31 ayat 1 Konvensi Wina

1961)

3. Kekebalan dari Kewajiban menjadi Saksi (Pasal 31 ayat 2 Konvensi Wina 1961)

4. Kekebalan Korespondensi (27 Konvensi Wina 1961)

5. Kekebalan Kantor perwakilan Asing dan tempat kediaman seorang Wakil

Diplomatik (Pasal 22 dan 30 Konvensi Wina 1961)

6. Kekebalan para Pejabat Diplomatik pada waktu Transit

7. Perjalanan Karena Force Majeure.

2) Keistimewaan Pejabat Missi Diplomatik

Pengertian Hak Keistimewaan adalah berbagai hak istimewa (privilege) yang

melekat pada perwakilan diplomatik (sebagai institusi) dan anggota misi (sebagai

individu) di negara penerima. 10 Berikut Hak-Hak Keistimewaan para Pejabat Diplomatik

yang diatur dalam Konvensi Wina 1961 :

1. Pembebasan Pajak

2. Pembebasan dari Bea Cukai dan Bagasi

3. Pembebasan dari Kewajiban Keamanan Sosial

10
Wasito, Konvensi-Konvensi Wina, Andi Offset, Yogyakarta, 1999, Halaman: 5
4. Pembebasan dari pelayanan pribadi, pelayanan umum dan militer.

5. Pembebasan dari kewarganegaraan

C. Penyelesaian Kasus Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat Diplomatik

1. Kebijakan yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi terhadap Tindak Pidana

yang dilakukan Diplomatnya

Pemerintah Arab Saudi selaku Negara pengirim diplomatiknya wajib

bertanggungjawab pada Negara Jerman. Hal tersebut dikarenakan Negara Arab Saudi

memenuhi unsur-unsur timbulnya pertanggungjawaban negara, dimana tindakan organ

Negara dalam kapasitas resmi jabatanya (dalam hal ini pejabat diplomatik asal Arab

Saudi) telah melakukan tindakan yang tidak sesuai hukum nasional dan internasional

yakni yang tertuang dalam Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak

Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, pejabat diplomatik asal Arab Saudi itu

telah melanggar pasal-pasal yang berisi pemenuhan hak yang dimiliki dan wajib

diberikan kepada buruh migran (termasuk tenaga kerja wanita asal Indonesia). Pasal-pasal

itu antara lain:

a. Pasal 10 Konvensi Internasional Tahun 1990,

b. Pasal 11 Ayat (1) Konvensi Internasional Tahun 1990,

c. Pasal 21 Konvensi Internasional Tahun 1990,

d. Pasal 25 Ayat (1) bagian (a) Konvensi Internasional Tahun 1990.

Tindakan Pemerintah Arab Saudi terhadap Diplomatnya yang melakukan tindak

pidana kepada Tenaga Kerja Wanita Indonesia adalah dengan melakukan pengembalian

pejabat diplomat tersebut ke Arab Saudi. Ketentuan selanjutnya adalah tergantung

kebijakan dari Negara Arab Saudi tersebut, dapat diadili di negaranya sendiri ataupun

Negara Jerman. Akan tetapi, biasanya setelah dikembalikan di negaranya, maka yang

berwenang untuk mengadili adalah pengadilan Arab Saudi. Sehingga, diplomat Arab
Saudi di Jerman yang telah melakukan penyiksaan terhadap Tenaga Kerja Wanita

Indonesia tersebut dapat dihukum atau tidaknya dengan hukum Negara Jerman

tergantung dari negosiasi Negara pengirim dan Negara penerima.

Jika penyerahan kewenangan diberikan kepada Negara Jerman maka Negara

Arab Saudi harus menanggalkan kekebalan utusan diplomatiknya terlebih dahulu,

penanggalan kekebalan diplomatnya berdasarkan Pasal 32 Konvensi Wina 1961, sebagai

berikut :

1. The immunity from jurisdiction agents and of persons enjoying immunity

under…. May be waived by the sending state.

2. Waiver must always be express.

Setelah penanggalan kekebalan oleh Negara Arab Saudi, kemudian Negara

Jerman berhak menerapkan hukum atas pejabat diplomatik itu terkait dengan peraturan

yang ada di Negara Jerman. Jika pejabat diplomatik yang melanggar hukum tersebut tidak

diadili oleh Negara penerima, bukan berarti bebas begitu saja dari segala tuntutan hukum.

Ia dapat diadili dan dijatuhi hukuman oleh peradilan negaranya.

2. Tindakan Pemerintah Jerman dan Indonesia terhadap Perwakilan

Diplomatik Arab Saudi yang melakukan Tindak Pidana kepada Tenaga

Kerja Indonesia di Berlin, Jerman

Deklarasi persona non grata yang dikenakan kepada seorang diplomat khususnya

terhadap mereka yang sudah tiba di negara tujuan, melibatkan kepada kegiatan yang

dinilai bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Konvensi Wina, yaitu:

1. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para diplomat asing yang dianggap

bersifat politis maupun subversif dan bukan saja dapat juga merugikan

kepentingan nasional tetapi juga melanggar kedaulatan suatu negara penerima.


2. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu jelas-jelas melanggar peraturan hukum dan

perundang-undangan Negara

3. Kegiatan-kegiatan yang dapat digolongkan sebagai kegiatan spionase yang dapat

dianggap dapat mengganggu baik stabilitas maupun keamanan nasional negara

penerima.11

Terhadap tindakan penyalahgunaan kekebalan diplomatik, negara Jerman disini

dapat melakukan pengusiran atau persona non grata terhadap pejabat diplomatik, yang

mana hal ini di atur dalam Konvensi Wina 1961, pada Pasal-Pasal sebagai berikut:

1. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Konvensi Wina 1961, yang berbunyi:

1) Negara penerima, setiap waktu dan tanpa harus memberikan penjelasan atas

keputusannya, dapat memberitahukan kepada negara pengirim bahwa kepala

perwakilan atau salah seorang anggota staf diplomatik dari perwakilannya

adalah persona non grata atau bahwa salah seorang staf perwakilan tersebut

tidak dapat diterima baik. Dalam keadaan demikian, negara pengirim,

sepatutnya, harus memanggil kembali orang yang bersangkutan atau

mengakhiri tugasnya pada perwakilan. Seseorang dapat dinyatakan persona

non grata atau tidak dapat diterima bak sebelum tiba di wilayah negara

penerima.

2) Jikalau negara pengirim menolak atau tidak mampu dalam jangka waktu yang

pantas untuk melaksanakan kewajibannya tersebut dalam ayat (1) dari Pasal

ini, negara penerima dapat menolak untuk mengakui orang tersebut sebagai

seorang anggota perwakilan.

Akan tetapi, apabila pemerintah Arab Saudi sebagai Negara pengirim tidak

melakukan re-called kepada diplomatnya, dan telah memberikan wewenang

sepenuhnya kepada Jerman untuk mengadili diplomatnya atas tindak pidana yang

dilakukan diplomatnya sesuai dengan yuridiksi pengadilan Jerman selaku Negara

11
Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit, halaman 122
penerima yang diatur dalam pasal 31 Konvensi Wina 1961. Penyerahan kewenangan

oleh Negara Arab Saudi kepada Negara Jerman sebelumnya diawali dengan tindakan

Negara Arab Saudi yang menanggalkan kekebalan utusan diplomatiknya terlebih

dahulu, penanggalan kekebalan diplomatnya berdasarkan Pasal 32 Konvensi Wina

1961.

2. Pasal 41 ayat (1), yang berbunyi:

“Tanpa mengurangi hak-hak istimewa dan kekebalan mereka, maka menjadi

kewajiban semua orang yang mempunyai hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan

demikian untuk menghormati hukum dan peraturan-peraturan dari negara penerima.

Mereka jua mempunyai kewajiban untuk tidak mencampuri urusan-urusan dalam negara

dari negara itu”.

Upaya hukum yang seharusnya dilakukan Pemerintah Indonesia adalah

memberikan bantuan hukum yang dapat diwakilkan pada Diplomat Indonesia khususnya

Atase Ketenagakerjaan KBRI di Jerman. Melalui diplomatnya/Atase Ketenagakerjaan

dapat melakukan negosiasi dengan pemerintah Arab Saudi untuk menyelesaikan kasus

tersebut dengan membawa pejabat diplomatik yang melakukan penganiayaan dan

pelanggaran HAM itu ke dalam pengadilan Arab Saudi. Jika Pemerintah Arab Saudi

menolak melakukan negosiasi, maka Pemerintah Indonesia dapat meminta bantuan

terhadap Pemerintah Jerman sebagai pihak ketiga yang dapat membantu menyelesaikan

kasus ini.

Pemerintah Indonesia juga dapat mengupayakan perlindungan hukum dengan

meminta Dewi Ratnasari untuk melayangkan gugatan yang ditujukan kepada mantan

majikannya tersebut. Selanjutnya gugatan itu diserahkan pada Pengadilan Umum Riyadh

sebagai pengadilan tingkat pertama yang memiliki kompetensinya dalam upaya

penyelesaian kasus pidana yang melibatkan warga Negara Arab Saudi. Pemerintah

Indonesia dan Arab Saudi juga sebaiknya segera membangun Memorandum of

Understanding (MoU) yang menjamin hak-hak buruh migran asal Indonesia. Dengan
adanya perlindungan dan pendampingan hukum yang maksimal ini nantinya diharapkan

tidak ada lagi kejadian buruk yang menimpa warga Negara Indonesia sebagai TKI diluar

negeri.
IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan penjelasan yang telah dijabarkan oleh penulis, maka

dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu :

1. Bahwa menurut Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik sebagai

Negara pengirim Pemerintah Arab Saudi wajib bertanggung jawab terhadap

negara penerima yakni dengan menanggalkan hak kekebalan dan keistimewaan

lalu memanggil pulang pejabat diplomatik yang bersangkutan kemudian

menjatuhi sanksi yang sesuai dengan hukum nasional yang berlaku di Arab

Saudi.

2. Ketentuan hukum tentang penyalahgunaan kekebalan diplomatik bahwa

meskipun diplomat diberikan hak kekebalan berupa inviolability maupun

immunity, seperti yang tercantum dalam Konvensi Wina. Namun jika

melakukan pelanggaran, terutama yang bersinggungan dengan tindak

pidana, ditentukan di dalam Konvensi Wina 1961 menyatakan Seorang

pejabat diplomatik kebal dari yurisdiksi pidana negara penerima.

3. Terhadap tindakan penyalahgunaan kekebalan diplomatik, Jerman selaku

sebagai negara penerima dapat melakukan pengusiran atau persona non

grata terhadap pejabat diplomatik Arab Saudi, yang mana hal ini di atur

dalam Konvensi Wina 1961. Tindakan yang diambil suatu negara terhadap

penyalahgunaan kekebalan diplomatik adalah berupa tindakan pengusiran

terhadap diri wakil diplomatik asing tersebut. Hal ini disebabkan dari

adanya hak-hak kekebalan yang melekat pada diri setiap wakil diplomatik

asing.
B. SARAN

1. Sebagai negara hukum, Indonesia hendaknya dapat lebih berhati-hati terhadap

pengiriman diplomat asing ke negara Indonesia agar dapat meminimalkan

tindakan penyalahgunaan kekebalan diplomatik ini.

2. Agar penegakan hukum internasional dapat lebih ditegakkan, maka kepada pihak

Indonesia sebagai salah satu peserta Konvensi Wina agar lebih memperhatikan

mengenai sanksi hukum terhadap penyalahgunaan kekebalan diplomatik ini.

3. Pemerintah Indonesia sebaiknya perlu mempertegas dan lebih memperinci

undang-undang dalam peraturan ketenagakerjaan Tenaga Kerja Indonesia di luar

negeri.
DAFTAR PUSTAKA

SUMBER BUKU:

Suryono, Edy. Perkembangan Hukum Diplomatik. Bandung: Penerbit Mandar Maju,


1992.

Widodo. Hukum Diplomatik dan Konsuler Pada Era Globalisasi. Surabaya: Laks Bang
Justitia, 2009

Ak, Syahmin. Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: Penerbit
Rajawali Pers, 2008.

Suryokusumo, Sumaryo. Hukum Diplomatik teori dan Kasus. Bandung: Penerbit Alumni,
1995.

Sm.Hk., Wasito. Konvensi-Konvensi Tentang Hubungan Diplomatik, Hubungan Konsuler


Dan Hukum Perjanjian/Traktat. Yogyakarta: Andi Offset, 1984.

Widagdo, Setyo dan Hanif Nur W. Hukum Diplomatik dan Konsuler. Malang:
Bayumedia Publishing, 2008.

Istanto, Sugeng. Hukum Internasional. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya


Yogyakarta, 2010.

Thontowi, Jawahir. Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Penerbit UII Press
Yogyakarta, 2016.

Lord Gore-Booth, Desmon Pakenham. Satow's Guide to Diplomatik Practice. New York:
Published by Logman Inc, 1979.

Wright, Quincy. The Study of International Relations. New York: Appleton-Century-


Croffs, 1955.

Brownline, Ian. Principles of Public International Law. Oxford University Press, Third
Edition; 1979.

Krishnamurty, G.V.G. Modern Diplomacy, Dialectic and Dimension. New Delhi: First
Edition, Bhupender Sagar, 1980.

Green, Maryan N.A. International Law, Law of Peace. London: Mac Donald & Evans
Ltd, 1973.
M.M, Whiteman. Digest of International Law, Vol. I, N.S. Government Printing Office,
1963-1973.

Falk, Richard A. On the Quasi-Legislative Competence of the General Assembly. 60


American Journal of International Law 1966.

Castaneda, Jorge. Legal Effects of United Nations Resolutions. New York: Columbia
University Press, 1970.

Mauna, Boer. Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni,2003.

B.Sen. A Diplomat Handbook of International Law and Practice. Nijhoff The Haque,
1979.

Suryono, Edy dan Moenir Arissoendha. Hukum Diplomatik Kekebalan dan


Keistimewaannya. Bandung: Angkasa, 1991.

Kelsen, Hans. Principles of Internatioonal Law. New York, 1952.

Wasito. Konvensi-Konvensi Wina. Yogyakarta: Andi Offset,1999.

INSTRUMEN HUKUM

Vienna Convention tentang hubungan Diplomatik. Mulai berlaku Sejak 18 April 1961.

Dokumen PBB (Majelis Umum) A/CN.4/16. Mulai berlaku Sejak 1950.

Resolusi Majelis Umum PBB 169 (II). Mulai berlaku Sejak 14 Desember 1973.

Statuta Komisi Hukum Internasional Tahun 1920. Mulai berlaku Sejak 1920.

Consular Convention between Government of the United States of America and the
Government of the Union of Soviet Socialist Republic 1964” & “European Convention
on Consular Function 1964” termasuk “Optional Protocol”. Mulai berlaku sejak 1964.
INTERNET

_____. ”Teori Kekebalan Diplomatik dan Keistimewaan Pejabat Misi Diplomatik”, 8


Januari 2017
http://www.landasanteori.com/2015/09/teori-kekebalan-diplomatik-
dan.html?m=1,
_____. “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)”, 23 Januari 2017
http://kbbi.web.id/salah%20guna.menyalahgunakan,
Fahrudin, Sigit. “Hak istimewa Dan Kekebalan Diplomatik”, 23 Januari 2017
http://mukahukum.blogspot.com/2009/04/hak-istimewa-dan-kekebalan-
diplomatik.html
Kemlu. “Undang-undang Republik Indonesia nNomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan
Konvensi WINA mengenai Hubungan Diplomatik”, 12 Februari 2017
http://pih.kemlu.go.id/files/UU%20No.01%20Tahun%201982%20Tentang%20P
engesahan%20Konvensi%20Wina.pdf
Sumadi. “Terjemahan Konvensi WINA 1961 mengenai Hubungan Diplomatik”, 12
Februari 2017
https://sites.google.com/site/publishedbysumadi/vienna1961
_____. “Oxford Dictionary”, 13 Maret 2017
https://www.oxforddictionaries.com/

JURNAL
72 American Journal of International Law Tahun 1978.
CURRICULUM VITAE

(DAFTAR RIWAYAT HIDUP)

IDENTITAS DIRI

Nama Lengkap : Hanna Safira Nasution


Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 19 Agustus 1995
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Mandailing
Kewarganegaraan : Indonesia
Status : Belum Menikah
Alamat : Jl. Sei Tuntung Baru No. 17a
Medan
Tinggi/ Berat Badan : 168 cm/50 kg
Email : hannasafiranst@gmail.com
No hp. / Telp : 087869474190

DATA ORANG TUA


Nama Ayah/Ibu : Ahmad Hidayat Nasution / Agustina Matondang
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil / Pegawai Negeri Sipil
Alamat : Jl. Sei Tuntung Baru No. 17a Medan

RIWAYAT PENDIDIKAN FORMAL


2001 - 2007 : SD Percobaan Negeri , Medan
2007 - 2010 : SMP Swasta Nusantara, Tebing Tinggi
2010 - 2013 : SMA Harapan 1, Medan
2013 - 2017 : Program Sarjana (S-1) Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

Anda mungkin juga menyukai